Anda di halaman 1dari 127

LAPORAN PENDAHULUAN

“SKIZOAFEKTIF DAN 7 DIAGNOSA KEPERAWATAN JIWA”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Program Profesi Ners Pada Stase
Keperawatan Jiwa

NAMA : IMELL DHEANY

NPM : 191 FK 04025

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

2019

0
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb ….

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan

pendahuluan ini yang berjudul “ Skizoafektif dan 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa “.

Penyelesaian laporan ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan salah

satu tugas program profesi ners pada stase keperawatan jiwa Tahun 2019. Saya

menyadari dalam pembuatan laporan ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan,

perhatian dan pengertian serta motivasi dari berbagai pihak. Maka dari itu, penyusun

mengucapkan terimakasih kepada :

1. H. Mulyana, S.H.,M.Pd.,M.HKes., Selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana

Bandung

2. Rd. Siti Jundiah, S.Kp.,M.Kep Selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Bhakti Kencana Bandung

3. Lia Nurlianawati. S.Kep.,Ners.,M.Kep Selaku Ketua Program Studi Fakultas

Keperawatan Universitas Bhakti Kencana.

4. Imam Abidin S.Kep.,Ners Selaku Koordinator Stase Keperawatan Jiwa

5. Rizki Muliani, S.Kep.,Ners.,MM, selaku dosen pembimbing dalam menyusun

laporan ini yang telah banyak membantu dan memberi masukan serta

membimbing peneliti dengan sabar dan ketulusannya.

i
6. Gian Nurmaindah H,S.Kep.,Ners.,MNS selaku dosen pembimbing dalam

menyusun laporan ini yang telah banyak membantu dan memberi masukan

serta membimbing peneliti dengan sabar dan ketulusannya.

7. Nenih N.,S.Kep.,Ns selaku pembimbing lapangan di Rumah Sakit Jiwa

provinsi Jawa Barat.

Penyusun menyadari dalam pembuatan laporan ini terdapat banyak kekurangan

dan ketidaksempurnaan.. Akhir kata semoga Allah membalas seluruh jasa, budi baik

serta melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua.

Cisarua, 07 November 2019

Imell Dheany

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 2

1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizoafektif ...................................................................... 5

2.1.1 Definisi Skizoafektif. .................................................................... 5

2.1.2 Klasifikasi Skizoafektif.. ............................................................... 5

2.1.3 Etiologi Skizoafektif. .................................................................... 7

2.1.4 Patofisiologi Skizoafektif. ............................................................. 8

2.1.5 Tanda Gejala Skizoafektif. ............................................................ 9

2.1.6 Diagnosis Skizoafektif. ................................................................. 13

2.1.7 Penatalaksanaan Skizoafektif. ....................................................... 18

2.2 Konsep dasar 7 diagnosa keperawatan jiwa. ................................. 20

2.2.1 Konsep dasar perilaku kekerasan. ................................................. 20

2.2.2 Konsep dasar bunuh diri ................................................................ 36

iii
2.2.3 Konsep dasar waham ..................................................................... 42

2.2.4 Konsep dasar halusinasi ................................................................ 51

2.2.5 Konsep dasar harga diri rendah ..................................................... 57

2.2.6 Konsep dasar deficit perawatan diri. ............................................. 71

2.2.7 Konsep dasar isolasi sosial. ........................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia,

karena tanpa kesehatan manusia sulit untuk menjalankan aktivitas. Menurut

Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, kesehatan adalah suatu

keadaan sehat, baik secara fisik,mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup untuk produktif secara sosial dan ekonomis.

Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa,

kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang

secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja, secara produktif, dan

mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.

Sedangkan menurut American Nurses Association (ANA) tentang

keperawatan jiwa, keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek

keperawatan yang menggunakan ilmu dan tingkah laku manusia sebagai dasar dan

menggunakan diri sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan,

mempertahankan, serta memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental

masyarakat dimana klien berada. Selain keterampilan teknik dan alat klinik,

perawat juga berfokus pada proses terapeutik menggunakan diri sendiri (use self

therapeutic) (Kusumawati F dan Hartono Y, 2010).

1
Kecenderungan meningkatnya angka gangguan mental psikiatrik dikalangan

masyarakat saat ini dan yang akan terus menjadi masalah sekaligus menjadi

tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya komunikasi profesi keperawatan.

Ketidakmampuan individu dalam menghadapi berbagai masalah social dalam

kehidupan menimbulkan masalah kejiwaan yang lebih mengacu pada kerusakan

interaksi social menarik diri yaitu seseorang cenderung menyendiri dan sering

melamun. Pada dasarnya kemampuan hubungan social berkembang sesuai dengan

proses tumbuh kembang individu mulai dari bayi sampai dengan dewasa lanjut,

untuk mengembangkan hubungan sosial positif. Setiap tugas perkembangan

sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses kemampuan berperan

serta proses hubungan diawali dengan kemampuan saling tergantung. Oleh karena

itu, perawat harus mempunyai kemampuan profesi dalam memberikan asuhan

keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik untuk

mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Untuk itu perawat memerlukan metode

ilmiah dalam melakukan proses terapeutik yaitu proses keperawatan.

Menurut penelitian WHO, jika provalensi gangguan jiwa di atas 100 jiwa

pertahun penduduk dunia, maka berarti Indonesia mencapai 264 orang per 1000

penduduk yang merupakan anggota keluarga. Data hasil survey kesehatan rumah

tangga (SKRT) tahun1995), artinya 2,6 kali lebih tinggi dari ketentuan WHO. Ini

adalah sesuatu yang sangat serius.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar Skizoafektif?

2. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa perilaku kekerasan?

3. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa bunuh diri?

4. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa waham?

5. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa halusinasi?

6. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa harga diri rendah?

7. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa isolasi sosial?

8. Bagaimana konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa defisit perawatan

diri ?

1.3 Tujuan

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui konsep dari Skizoafektif 7 diagnosa keperawatan jiwa dan

asuhan keperawatan yang harus dilakukan.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep dasar dari Skizoafektif

2. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa perilaku

kekerasan

3. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa bunuh

diri

4. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa waham

3
5. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa halusinasi

6. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa harga diri

rendah

7. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa isolasi

sosial

8. Untuk mengetahui konsep dasar dari diagnosa keperawatan jiwa deficit

perawatan

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Skizoafektif

2.1.1 Definisi

Gangguan Skizoafektif memiliki gejala skizofrenia maupun gangguan

afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia yang jelas

dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang

menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu, tipe manik dan tipe

depresif.

Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang

persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan

masalah suasana (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode

campuran.

2.1.2 Klasifikasi

1. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Pedoman diagnostik:

5
a. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik

yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian

besar episode skizoafektif tipe manik

b. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek

yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau

kegelisahan yang memuncak.

c. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih

baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan

untuk skizofrenia)

2. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif (F25.1)

Pedoman diagnostik:

a. Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe

depresif yang tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana

sebagian besar episode didominasi oleh skizoafektif tipe depresif

b. Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala

khas, baik depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti

tercantum dalam uraian untuk episode depresif (F.32)

c. Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan

sebaiknya ada dua gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan

dalam pedoman diagnosis skizofrenia (F.20).

3. Gangguan skizoafektif tipe campuran (F25.2)

6
Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia berada secara bersama-sama

dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6)

4. Gangguan skizoafektif lainnya (F25.8)

5. Gangguan skizoafektif YTT (F25.9)

2.1.3 Etiologi

Teori etiologi mengenai gangguan skizoafektif juga mencakup kausa

genetik dan lingkungan.

Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan

afektif mungkin berhubungan secara genetik. Ada peningkatan resiko

terjadinya gangguan skizofrenia diantara keluarga dengan gangguan

skizoafektif.

Empat model konseptual telah diajukan terhadap gangguan skizoafektif.

1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau

suatu tipe gangguan mood.

2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari

skizofrenia dan gangguan mood.

3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga

yang berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun

suatu gangguan mood.

4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah

kelompok gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga

7
kemungkinan pertama. Sebagian besar penelitian telah menganggap

pasien dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu kelompok

heterogen.

2.1.4 Patofisiologi

Pada prinsipnya patofisiologi dari skizoafektif sama dengan

skizofrenia yaitu dimana mungkin melibatkan ketidakseimbangan

neurotransmiter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamine

(Sadock dkk, 2003). Namun, proses patofisiologi gangguan skizoafektif

masih belum diketahui secara pasti. Penelitian yang mempelajari fungsi

neurotransmitter pada penderita gangguan skizoafektif sangatlah sedikit,

dan kebanyakan menggunakan sampel dari cairan serebrospinal atau

plasma. Telah dilaporkan pola abnormalitas neurotransmiter yang serupa

antara penderita gangguan skizoafektif, skizofrenia, dan gangguan bipolar.

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar norepinefrin,

prostaglandin E1 dan platelet 5HT pada pasien skizofrenia dan skizoafektif

(Abrams, dkk, 2008).

Secara umum, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa

gangguan skizoafektif dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama

bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk

substansia alba dan grisea. Dari sejumlah peneltian ini, daerah otak yang

8
secara konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hippocampus dan

parahipocampus (Abrams, dkk, 2008). Pada penelitian neuroimaging

pasien dengan gangguan skizoafektif, ditemukan penurunan volume

thalamus dan deformitas thalamus yang serupa dengan pasien skizofrenia,

tetapi abnormalitas pada nucleus ventrolateral penderita gangguan

skizoafektif tidak separah penderita skizofrenia. Penderita skizoafektif juga

menunjukkan deformitas pada area thalamus medius, yang berhubungan

dengan sirkuit mood (Smith, dkk, 2011).

Penelitian genetik penderita gangguan skizoafektif cenderung

menunjukkan adanya gangguan afek dan skizofrenia pada sanak saudara

penderita (Trimble dan George, 2010). Hodgkinson dkk (2004)

melaporkan bahwa penderita gangguan skizoafektif memiliki gangguan

pada kromosom lq42, yaitu abnormalitas pada DISC 1 (Disrupted-In-

Schizophrenia-1). DISC 1 berfungsi dalam perkembangan neuron dan

diekspresikan pada lobus frontal. Abnormalitas pada gen ini juga

menyebabkan disfungsi pada regulasi emosi dan proses informasi

(Ishizuka, dkk, 2006).

2.1.5 Tanda dan Gejala

Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik

gejala gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam

9
episode penyakit yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian

dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik dan manik menonjol pada

episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif

tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif

yang menonjol.

Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,

perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan

gejala gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif.

Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenia dan manik

yang sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama.

Gejala-gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ideide kebesaran, tetapi

kadang-kadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif

serta ide-ide kejaran. Terdapat peningkatan enersi, aktivitas yang

berlebihan, konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya hambatan norma

sosial. Waham kebesaran, waham kejaran mungkin ada. Gejala

skizofrenia juga harus ada, antara lain merasa pikirannya disiarkan atau

diganggu, ada kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha

mengendalikannya, mendengar suara-suara yang beraneka beragam atau

menyatakan ide-ide yang bizarre. Onset biasanya akut, perilaku sangat

terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa

minggu.

10
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis

gangguan jiwa (PPDGJ-III): Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini

yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu

kurang tajam atau kurang jelas):

a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,

walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau “thought

insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu

dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi

pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum

mengetahuinya;

b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh

suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” =

waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu

kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk

kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau

penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman

indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,

biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara

terus menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal

11
pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang

berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu

bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya

setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya

perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan

kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan

cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).

e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai

baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah

berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh

ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila

terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan

terus menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang

tidak relevan, atau neologisme.

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),

posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,

negativisme, mutisme, dan stupor.

h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,

dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya

12
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan

menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal

tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama

kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase

nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan

bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek

perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya

minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri

sendiri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala

definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama menonjol

pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain,

dalam episode yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif

mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif

atau campuran keduanya.

Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik

skizofrenia maupun gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria

diagnostik untuk gangguan skizoafektif mencerminkan perubahan yang

telah terjadi di dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi lain.

13
Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) adalah

bahwa pasien telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif

berat atau episode manik yang bersama-sama dengan ditemukannya

kriteria diagnostik untuk fase aktif dari skizofrenia. Disamping itu, pasien

harus memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua minggu

tanpa adanya gejala gangguan mood yang menonjol. Gejala gangguan

mood juga harus ditemukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan

residual. Pada intinya, kriteria dituliskan untuk membantu klinisi

menghindari mendiagnosis suatu gangguan mood dengan ciri psikotik

sebagai suatu gangguan skizoafektif.

Tabel 1.1

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama pada suatu waktu.

Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode campuran dengan

gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.

Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi.

B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama sekurangnya

2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.

14
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood ditemukan untuk sebagian bermakna

dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit.

D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang

disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

Sebutkan tipe:

Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau suatu manik

suatu episode campuran dan episode depresif berat)

Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.

Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita

gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang

pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe

manik atau suatu episode campuran dan episode depresif berat. Selain itu, pasien

diklasifikasikan menderita tipe depresif.

Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah karena

cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-kondisi lain

dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau membentuk

sebagian penyakit skizofrenik yang sudah ada, atau di mana gejala-gejala itu berada

15
bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguan-gangguan waham menetap

jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuai dalam F20-F29. Waham atau

halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan (mood) pada gangguan afektif tidak

dengan sendirinya menyokong diagnosis gangguan skizoafektif.

Tabel 1.2

Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III

 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif

adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-

sama menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam

beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit

yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit

tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau

depresif.

 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia

dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.

 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah

mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi

Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif

berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau

16
campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua

episode manik atau depresif (F30-F33)

Gangguan skizoafektif yaitu gejala skizofrenia dan gangguan afektif sama-

sama menonjol atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, tetapi dalam satu

episode penyakit (tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia maupun

gangguan afektif). Pedoman diagnosis gangguan skizoafektif tipe manic

berdasarkan PPDGJ-III yaitu :

1. Kategori ini digunakan baik untuk episode skizofrenia tipe manik yang

tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode

skizoafektif tipe manik.

2. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tidak

begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang

memuncak.

3. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi

dua, gejala skizorenia yang khas. Pemeriksaan status psikiatri pada pasien

ditemukan didapatkan penampilan wajar, roman muka tampak gembira,

kontak verbal dan visual cukup, mood euforia, afek inappropriate, bentuk

pikir logis realis, arus pikir koheren, isi piker waham kebesaran dan curiga

ada , pada dorongan instingtual didapatkan ada riwayat insomnia dan raptus.

Dari gejala di atas, pasien memenuhi kriteria skizoprenia yaitu adanya

17
waham kebesaran dan curiga, afek yang inappropiate sehingga dapat

digolongkan skizoprenia. Disamping itu, juga tampak adanya gejala

gangguan mood yaitu muka tampak gembira, mood euforia, berpakaian yang

aneh sehingga berdasarkan PPDGJ-III tampak adanya gejala skizofrenia

bersamaan dengan gangguan mood sehingga didiagnosis sebagai

“Skizoafektif Tipe Manik” (F25.0).

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanganan pasien gangguan skizoafektif meliputi :

1. Farmakoterapi

a. Gejala manik : antimanik

b. Gejala depresi : antidepresan

Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan

percobaan anti depresan dan terapi elektrokonvulsan (ECT)

sebelum mereka diputuskan tidak responsif terhadap terapi anti

depresan.

c. Gejala bipolar : antipsikotik. harus mendapatkan percobaan

lithium, carbamazepine (Tegretol), valporate (Depakene), atau

suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif

(Sadock, dkk., 2003).

2. Psikoterapi

18
a. Psikoterapi suportif

b. Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta

terapi kelompok

c. Psikoterapi reedukatif

1) Terhadap Pasien :

a) Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi

mengenai penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak,

faktor-faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis,

dan risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat

dan segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di

kemudian hari

b) Memotivasi pasien untuk berobat teratur

c) Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah

ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat

mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya

dengan cara yang lebih halus.

2) Terhadap Keluarga :

a) Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit

pasien, gejala, faktor- faktor pemicu, pengobatan,

komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian

hari.

19
b) Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor

pemicu penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang

mengabaikan pasien

c) Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat

setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi.

2.2 Konsep 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa


2.2.1 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut
maka perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua
bentuk yaitu sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu
(riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika
Sari, 2015:137).
Kemarahan menurut Yosep (2009 : 113) adalah suatu emosi yang terentang
mulai dari iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang.
Sedangkan Videbeck (2008: 250), berpendapat bahwa kemarahan emosi yang
normal pada manusia yakni respons emosional yang kuat dan tidak
menyenangkan terhadap suatu provokator baik nyata ataupun yang
dipersepsikan individu.

20
Perilaku kekerasan menurut Maramis (2005: 184) merupakan suatu keadaan
yang dapat timbul secara mendadak atau didahului tindakan ritualistik atau
meditasi pada seseorang (pria) yang masuk dalam suatu kesadaran yang yang
menurun atau perkabut (Trance Like State) tanpa dasar epilepsi. Yosep (2009:
146) menambahkan bahwa perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik baik kepada diri sendiri dan
orang lain.
Carpenito (2000: 144) berpendapat resiko terhadap tindak kekerasan adalah
keadaan dimana individu melakukan atau menyerang orang atau lingkungan.
NANDA (2005: 203) menuliskan bahwa resiko menciderai diri sendiri adalah
suatu risiko perbuatan dimana seseorang berperilaku pada dirinya dapat berupa
fisik, emosi dan atau perbuatan seks yang berbahaya pada dirinya Nurjanah
(2005: 21) menegaskan bahwa resiko perilaku kekerasan diarahkan pada orang
lain adalah kondisi dimana tingkah laku individu dapat menyakiti orang lebih
baik fisik, emosional atau seksual.

B. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK

Klien Klien gagal Klien merasa Klien Perasaan


mampu menapai tidak dapat mengeks- marah dan
mengungka tujuan mengungkap presikan bermusuhan
pkan rasa kepuasan saat kan secara fisik, yang kuat dan
marah tanpa marah dan perasaannya, tapi masih hilang
menyalahka tidak dapat tidak berdaya terkontrol, kontrol
n orang lain menemukan dn menyerah. mendorong disertai
dan alternatifnya. orang lain amuk,

21
memberika dengan merusak
n kelegaan. ancaman lingkungan

1. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
a) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
d) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon Maladaptif
a) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
b) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
c) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
d) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

22
C. Faktor Predisposisi
Etiologi menurut Dalami (2009 : 90) terdiri atas :

1) Kehilangan harga diri karena tidak dapat memenuhi kebutuhan sehingga


individu tidak berani bertindak, cepat tersinggung dan lekas marah.
2) Frustasi akibat tujuan tidak tercapai atau terhambat sehingga individu
merasa cemas dan terancam. Individu akan berusaha mengatasi tanpa
memperhatikan hak-hak orang lain.
3) Kebutuhan aktualisasi diri yang tidak tercapai sehingga menimbulkan
ketegangan dan membuat individu cepat tersinggung.
Respon marah dapat diungkapkan dengan cara:
1) Mengungkapkan secara verbal atau langsung pada saat itu sehingga dapat
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaannya.
2) Menekan kemarahan atau pura-pura tidak marah. Hal ini mempersulit diri
dan mengganggu hubungan interpersonal.
3) Menentang atau melarikan diri. Cara ini akan menimbulkan rasa bermusuhan
dan bila dipakai terus menerus kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri atau orang lain sehingga akn tampak sebagai psikomatis atau
agresi/amuk.
Fungsi positif marah menurut Dalami (2009: 92) terdiri dari :
1) Energizing Function
Rasa marah akan menambah energi atau tenaga seseorang karena emosi akan
meningkatkan adrenalin dalam tubuh yang mengakibatkan peningkatan
metabolisme tubuh sehingga terbentuk energi tambahan.
2) Expressive Function
Individu dengan mengekspresikan kemarahan dapat memperlihatkan atau
mengkomunikasikan pada orang lain keinginan dan harapannya secara
terbuka tanpa melalui kata-kata. Ekspresi yang terbuka menandakan
hubungan yang sehat.

23
3) Self Promotional Function
Marah dapat digunakan memproyeksikan konsep diri yang positif atau
meningkatkan harga diri.
4) Defensive Function
Kemarahan dapat meningkatkan pertahanan ego dalam menanggapi
kecemasan yang meningkat dalam konflik eksternal.
5) Potienting Function
Kemampuan koping terhadap rasa marah akan meningkatkan kemampuan
mengontrol situasi, persaingan tidak sehat. 11
6) Discriminating Function
Dengan mengekspresian rasa marah individu dapat membedakan keadaan
alam perasaannya sedih, jengkel, marah, ngamuk.

Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan menurut
Kusumawati dan Hartono (2010: 78) adalah sebagai berikut:
1. Faktor Biologis
Berdasarkan penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus elektris
ringan pada hipotalamus ternyata menimbulkan perilaku agresif. Jika terjadi
kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interprestasi indra penciuman
dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan
hendak menyerang objek yang ada disekitarnya.
Dalam otak sistim limbik berfungsi sebagai regulator/ pengatur perilaku.
Adanya lesi pada hipotalamus dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku
agresif. Penurunan nor epinefrin dapat menimbulkan perilaku agresif
misalnya pada peningkatan kadar hormon testoteron atau progesterone.
Pengaturan perilaku agresif adalah dengan mengatur jumlah metabolisme
biogenik amino nor epinefrin.

24
2. Faktor Psikologis
a) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku
kekerasan.
b) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
c) Frustasi.
d) Kekerasan pada rumah atau keluarga.
3. Faktor Sosial Kultural
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajari. Faktor ini dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membatu mendefinisikan ekspresi marah yang
dapat diterima dan tidak diterima.
Sedangkan Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku
kekerasan adalah:
1. Teori Biologis
a) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012:
hal 100).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara
perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian
otak dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada

25
lobus frontal dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan
(Nuraenah, 2012: 29).
b) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe
karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak
kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
c) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang
untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).
d) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat
berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam
atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke
otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon
androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA
(Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100).
e) Brain Area Disorder

26
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor
otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100).
2. Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang
dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang yang rendah. Perilaku
agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak
kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101)
b) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku
yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu
meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak
dikumpulkan untuk menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan
reward positif ( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain
diberikan tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium
boneka tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah).
Setelah anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah dilihatnya (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101).

27
c) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah (
Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
D. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan nenurut Yosep
(2009:247) seringkali berkaitan dengan:
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian misal dan sebagainya.
2) Ekspresi dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah dalam cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
4) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan keluarga.
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa reancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor pencetus
injury perilaku kekerassan adalah sebagai berikut (Wati, 2010) :
1) Klien kelemahan fisik, keputasasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
mersa terancam baik internal dari permasalan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lingkungan.

28
3) Lingkungan: panas, padat, dan bising.

E. Manifestasi Klinis
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot atau pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Wajah memerah dan tegang
6) Postur tubuh kaku
7) Pandangan tajam
8) Jalan mondar mandir

Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika Sari,


2015: 138) :
1) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
2) Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
3) Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4) Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-
debar, rasa tercekik dan bingung
5) Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
6) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat
mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan
perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :
Data Subyektif :

29
1) Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
2) Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
Data Obyektif :
1) Wajah tegang merah
2) Mondar mandir
3) Mata melotot, rahang mengatup
4) Tangan mengepal
5) Keluar banyak keringat
6) Mata merah
7) Tatapan mata tajam

F. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi
diri antara lain:
1) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
2) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
3) Represi

30
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan
dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia
dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
4) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012:
hal 103).
5) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding
kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 104).

G. Sumber koping
1 Aset ekonomi
2 Kemampuan dan keahlian
3 Tehnik defensive
4 Sumber social
5 Motivasi
6 Kesehatan dan energy
7 Kepercayaan
8 Kemampuan memecahkan masalah

31
9 Kemampuan social
10 Sumber sosial dan material
11 Pengetahuan
12 Stabilitas budaya

H. Penatalaksanaan umum
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis
efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka
dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti
cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam
terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan
seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting
setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi
tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ni
merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu

32
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal
masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang
sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah perilaku
maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif
(pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan
keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi
adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
Tindakan keperawatan untuk pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
b. Pasien dapat mengidentifikasikan tanda – tanda perilaku kekerasan.
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.

33
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
I. Pengkajian perilaku kekerasan di UPIP
Di UPIP pasien perilaku kekerasan yang biasanya datang dalam kondisi yang
sangat agitatif sehingga fokus penanganan adalah melindungi pasien, orang lain,
dan lingkungan dari kemungkinan cedera atau kerusakan yang diakibatkan
perilaku pasien yang tidak terkontrol.
Pengkajian pada pasien perilaku kekerasan di ruang UPIP
menggunakan rentang skore 1 – 30 skala Respon Umum Fungsi Adaptaf ( RUFA
) dimana pengkajian tersebut terbagi dalam 3 kelompok berdasarkan skala RUFA
yaitu :

Skala RUFA Perilaku Kekerasan

Domain Rufa 1-10 Rufa 11-20 Rufa 21-30


Pikiran Orang lain jahat, Orang lain jahat, Orang lain jahat,
mengancam, mengancam, mengancam,
melecehkan melecehkan melecehkan
Perasaan Labil, mudah Labil, mudah Labil, mudah
tersinggung, eksp tersinggung, ekspressi tersinggung,
ressi tegang, tegang,dendam merasa ekspressi tegang,
marah- marah, tidak aman merasa tidak aman
dendam, merasa
tidak aman.
Melukai diri Menentang, menganca Menentang Intonasi
sendiri, orang m, mata melotot sedang, menghina
lain,merusak orang
Bicara kasar, Intonasi
lingkungan, meng lain, berdebat
sedang, menghina
amuk, menentang, Pandangan tajam,

34
mengancam, mata orang lain, menuntut, tekanan darah
meloto berdebat menurun

Bicara kasar, Pandangan tajam,


intonasi tinggi, tekanan darah
menghina orang meningkat
lain, menuntut,
berdebat

Muka merah,
Pandangan tajam,
napas
pendek, keringat
(+), tekanan darah
meningkat

Hasil dari pengkajian akan menentukan tindakan keperawatan yang akan


diberikan terhadap klien. Tindakan keperawatan dibagi dalam 3 kategori yaitu :

RUFA 01 – 10 masuk dalam tindakan intensif 1


RUFA 11 – 20 masuk dalam tindakan intensif 2
RUFA 21 – 30 masuk dalam tindakan intensif 3

2.2.2 Konsep Dasar Bunuh Diri


A. Pengertian
Dalam Encyclopedia Britannica, bunuh diri didefinisikan sebagai usaha
seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suka rela atau sengaja. Kata
Suicide berasal dari kata latin Sui yang berarti diri (self), dan kata Caedere yang
berarti membunuh (to kill). (Husain, 2005:6) Sedangkan menurut aliran human

35
behavior, bunuh diri ialah bentuk pelarian parah dari dunia nyata, atau lari dari
situasi yang tidak bisa ditolerir, atau merupakan bentuk regresi ingin kembali
pada keadaan nikmat, nyaman dan tentram. (Kartono, 2000:143)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Berikut merupakan beberapa definisi mengenai bunuh diri yang diambil
dari beberapa kamus dan ensiklopedi : (Dalam Kartono, 2000:144)
1. Bunuh diri adalah pembunuhan secara simbolis, karena ada peristiwa
identifikasi dengan seseorang yang dibenci, dengan membunuh diri
sendiri orang yang bersangkutan secara simbolis membunuh orang yang
dibencinya.
2. Bunuh diri adalah satu jalan untuk mengatasi macam-macam kesulitan
pribadi, misalnya berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan fisik,
dosa dan lain-lain.
3. Bunuh diri adalah prakasa/intisari perbuatan yang mengarah pada
kematian pemrakarsa.

4. Bunuh diri adalah keinginan yang mendorong suatu perbuatan untuk


melakukan destruksi/pengrusakan diri sendiri.
5. Bunuh diri adalah inisiasi perbuatan yang mengarah pada motivasi
kematian, membunuh, dan dibunuh.
6. Bunuh diri merupakan keadaan hilangnya kemauan untuk hidup.
7. Bunuh diri ialah suatu derajat sentral dari keputusan pelaku yang
memutuskan untuk memprakarsai satu perbuatan mengarah pada
kematian sendiri.

36
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya bunuh
diri adalah usaha seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri dengan tujuan
untuk meniadakan atau menghilangkan nyawanya sendiri, hal ini biasanya
dilakukan atas dasar motivasi-motivasi tertentu seperti menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
B. Macam-macam
Macam-macam Bunuh Diri
Sosiolog Emile Durkheim (1897, 1951) membedakan bunuh diri menjadi empat
jenis yaitu : (Upe, 2010:99)
1) Bunuh diri egoistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang
merasa kepentingan individu lebih tinggi dari pada kepentingan kesatuan
sosialnya,
2) Bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan integrasi
antar sesama individu yang satu dengan yang lainnya sehingga
menciptakan masyarakat yang memiliki integritas yang kuat, misalnya
bunuh diri harakiri di Jepang,
3) Bunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang lebih terfokus pada keadaan
moral dimana individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan
norma dalam hidupnya,
4) Bunuh diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas
oleh Durkheim. pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, sebaliknya bunuh
diri fatalistik terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat
meningkat dan terasa berlebihan.
Menurut Kartono (2000:145) bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe

C. Rentang Respon
Perilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian. Perilaku desttruktif diri langsung mencakup aktivitas bunuh

37
diri. Niatnya adalah kematian, dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang
diinginkan. Perilaku destruktif diri tak langsung termasuk tiap aktivitas
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian. Orang
tersebut tidak menyadari tentang potensial terjadi pada kematian akibat
perilakunya dan biasanya menyangkal apabila dikonfrontasi (Stuart & Sundeen,
2006). Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif-maladaptif.

Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma


sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif
merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon
maladaptif antara lain :

1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.


Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping
yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan
bunuh diri.
3. Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke
luar dari keadaan depresi berat.
4. Bunuh diri

38
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).

D. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005), faktor predisposisi bunuh diri antara lain
:
1) Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
a) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
b) Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan
faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
c) Riwayat keluarga
d) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan
prilaku destrukif diri.

E. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:

39
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
F. Manifestasi Klinis
Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut
tidak membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan
rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri,
perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan gelisah,
insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik
diri dari lingkungan sosial. Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya
bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme dan penyalahgunaan obat,
kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja, dimensia dini/ status
kekacauan mental pada lansia. Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru
berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak bekerja, perubahan/
kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif,
rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri
rendah, batasan/ gangguan kepribadian antisosial.

G. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression, dan magical thinking.Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.Ancaman
bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan

40
pertolongan agar dapat mengatasi masalah.Bunuh diri yang terjadi merupakan
kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.

H. Sumber koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih
untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan
banyak faktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan
bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku
bunuh diri. Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam
kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang
melakukan tindakan bunuh diri

I. Penatalaksanaan umum
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar
pertolongan darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah.
Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan, kesadaran
penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis. Penentuan
perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan
kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan
keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi
psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnyagangguan badaniah dengan
gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani
juga gangguan mentalnya.

2.2.3 Konsep Dasar Waham


A. Pengertian

41
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita
normal. (Stuart dan Sunden, 1998).Waham adalah keyakinan klien yang tidak
sesuai dengan kenyataan tetapi dipertahankan dan tidak dapat beruah secara lgis
oleh orang lain keyakinan ini berasa dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/
terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. (Keliat, 2011 : hal. 165).
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta
dan keyakinan tersebut mungkin aneh (misal mata saya adalah komputer yang
dapat mengontrol dunia) atau bisa pula tidak aneh hanya sangat tidak mungkin
( misal FBI mengikuti saya) dan tetap dipertahankan bukti-bukti yang jelas
untuk mengoreksinya .Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada
skizophrenia.Semakin akut psikosis semakin sering ditemui waham
disorganisasi dan waham tidak sistematis .
Waham (dellusi) adalah keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi
atau dibuktikan dengan realitas. Haber (1982) keyakinan individu tersebut tidak
sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya. Rawlin
(1993) dan tidak dapat digoyahkan atau diubah dengan alasan yang
logis (Cook and Fontain 1987)serta keyakinan tersebut diucapkan berulang -
ulang.
Jadi berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham adalah
keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang tetap dipertahankan
dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Pemikiran ini berasal dari
pemikiran klien yang tidak terkontrol.

B. Jenis-Jenis Waham
Jenis-jenis waham dapat dibagi sebagai berikut ini :

42
1. Waham Kebesaran
Yaitu Penderita merasa dirinya orang besar, berpangkat tinggi, orang yang
pandai sekali, orang kaya.menyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus, diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contohnya “Saya ini adalah salah satu keturunan dari ratu Elizabeth di
Inggris lho. “ atau.”saya pernah menjabat sebagai presiden Amerika Serikat
sebelum Barak Obama”
2. Waham curiga
Yaitu Individu merasa selalu disindir oleh orang-orang sekitarnya.
Individu curiga terhadap sekitarnya. Biasanya individu yang mempunyai
waham ini mencari-cari hubungan antara dirinya dengan orang lain di
sekitarnya, yang bermaksud menyindirnya atau menuduh hal-hal yang tidak
senonoh terhadap dirinya. Dalam bentuk yang lebih ringan, kita kenal “Ideas
of reference” yaitu ide atau perasaan bahwa peristiwa tertentu dan perbuatan-
perbuatan tertentu dari orang lain (senyuman, gerak-gerik tangan, nyanyian
dan sebagainya) mempunyai hubungan dengan dirinya.
Klien meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contohnya “Saya tau anda ingin membunuh saya karena iri
dengan keberhasilan saya.”
3. Waham agama
Yaitu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contohnya “ Kalau
saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian serba putih setiap
hari.”
4. Waham somatik atau Hipokondria
Yaitu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang
penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contohnya
“ Saya terkena penyakit Kanker.” Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata

43
tidak ditemukan tanda-tanda kanker namun pasien tetap mengatakan ia
terserang kanker.
5. Waham nihilistik
Yaitu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal,
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh “ Ini kan alam
kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”
6. Waham Berdosa
Yaitu Timbul perasaan bersalah yang luar biasa dan merasakan suatu dosa
yang besar. Penderita percaya sudah selayaknya ia di hukum berat.
7. Waham dikejar
Yaitu Individu merasa dirinya senantiasa di kejar-kejar oleh orang lain atau
kelompok orang yang bermaksud berbuat jahat padanya.
8. Waham Cemburu
Yaitu klien selalu erasa cemburu terhadap orang lain
9. Waham Pengaruh
Yaitu pikiran, emosi dan perbuatannya diawasi atau dipengaruhi oleh orang
lain atau kekuatan.
10. Waham Sisip pikir
yaitu klien yakin bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan./dimasukan
kedalam pikiranya.
11. Waham Siar pikir
yaitu klien yakin bahwa orang lain megetahui isi pikiranya, padahal dia tidak
pernah menyatakan pikiranya kepada orang tersebut.
12. Waham Kontrol pikir
yaitu klien yakin bahwa pikiranya dikontrol oleh kekuatan dari luar.

44
C. RentangRespon

D. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkemabangan - Pikiran logis - Persepsi akurat - Emosi konsisten
dng pengalaman - Perilaku sesuai - Hubungan social harmonis - Kadang
proses piker terganggu - Ilusi - Emosi berlebih - Berperilaku yg tidak biasa
- Menarik diri - Gg. Isi piker halusinasi - Perubahan proses emosi - Perilaku
tidak terorganisasi - Isolasi sosial Hambatan perkembangan akan
mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat menigkatkan
stress dan ansiets yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan
perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi yang tidak
efektif.
b. Faktor sosial budaya Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian
dapat menyebabkan timbulnya waham.
c. Faktor psikologis Hubungan yang tidak harmonis, peran
ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.

45
e. Genetis Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif. f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
f. Neurotransmitter Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
g. Virus paparan virus influensa pada trimester III

E. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan
dengan orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya
diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya
kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan. E. Macam –
macam Waham 1. Waham agama : keyakinan seseorang bahwa ia dipilih
oleh Yang Maha Kuasa atau

F. Manifestasi Klinis
1. Kognitif
a) Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b) Individu sangat percaya pada keyakinannya
c) Sulit berfikir realita
d) Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a) Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b) Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a) Hipersensitif
b) Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal

46
c) Depresi
d) Ragu-ragu
e) Mengancam secara verbal
f) Aktifitas tidak tepat
g) Streotif
h) Impulsive
i) Curiga
4. Fisik
a) Higiene kurang
b) Muka pucat
c) Sering menguap
d) BB menurun
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
1. Hal tersebut diungkapkan secara berulang-ulang.
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain.
3. Takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan/realitas.
4. Ekspresi wajah tegang.
5. Mudah tersinggung.
6. Marah tanpa sebab.
7. Bermusuhan dan curiga.
8. Komunikasi kacau.

G. Proses Terjadinya Waham


1. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan – kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada
orang –orang dengan status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya

47
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga
klien yang secara social dan ekonomi tetapi kesenjangan antara reality
dengan self ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi
menginginkan dipandang sebagai seorang yang dianggap sangat cerdas,
sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham
terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini.
Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang
(life span history).
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang
kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan
tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self
ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat
jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support
system semuanya sangat rendah
3. Fase control internal – eksternal
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa – apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu
yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk
dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dinyatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan,

48
lingkungan hanya menjadi pendengar fasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang – ulang. Dari siniah mulai terjadilah kerusakan control diri dan tidak
berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan memercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindari interaksi social (isolasi social).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya – upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatic masa lalu atau kebutuhan –
kebuthan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap
dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan
orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara
konfrontatif serta memperkaya keyakinan religiusnya bahwa apa-apa yang
dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi social.
Proses terjadinya waham menurut Ns. Ali Mustofa dijelaskan dalam
pohon masalah sebagai berikut :

49
Kerusakan komunikasi verbal risiko tinggi mencederai

diri sendiri, orang lan, lingkungan

GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

H. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
meliputi :
1 Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2 Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3 Menarik diri
4 Pada keluarga ; mengingkari

I. Sumber koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang dapat
berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan dalam sumber
koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi atau kreativitas yang tinggi.
Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda tentang
keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dan
pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit,
finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk
memberikan dukungan secara berkesinambungan.

50
J. Penatalaksanaan umum
1. Psikofarmakologi
2. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
3. penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatonik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif

2.2.4 Konsep Dasar halusinasi


A. Pengertian
Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa
ada input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow
(2007), mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-
kejadian yang tidak mendasar pada kejadian eksternal (Pieter, Herri Zan,
Bethsaida Janiwarti dan Marti Saragih, 2011).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal dan rangsangan eksternal. Klien memberi 5 pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati, 2010).

B. Jenis halusinasi
Jenis halusinasi menurut Cancro dan Lehman dalam Videbeck (2008) yaitu
halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, taktil, kinestetik
atau gerakan. Stuart (2007) mengatakan bahwa halusinasi dapat terjadi pada
salah satu dari 5 modalitas sensosi utama penglihatan, pendengaran, bau, rasa,
danperabaan persepsi terhadap stimulus eksternal dimana stimulus tersebut

51
sebenarnya tidak ada. Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang
paling sering terjadi.
Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi,
pertama, halusinasi pendengaran, dimana orang mendengar suara-suara, musik
dan lain-lain yang sebenrnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering
muncul dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Halusinasi kedua yang sering muncul adalah halusinasi penglihatan, seringkali
berbarengan dengan halusinasi pendengaran. Selanjutnya halusinasi perabaan,
melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi diluar tubuh seseorang.
Selanjutnya halusinasi somatis, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang
terjadi didalam diri seseorang, halusinasi ini seringkali sangat hebat dan
menakutkan (Wiramihardja, 2007).

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
>Pikiran logis >Distorsi pikiran >Gangguan pikir
>Persepsi akurat >Ilusi Halusinasi
>Emosi konsisten dgn pengalaman >Reaksi emosi >> atau < >Sulit
berespon emosi
>Prilaku sesuai >Prilaku aneh/tidak biasa >Prilaku
disorganisasi
>Berhubungan sosial >Menarik diri >Isolasi sosial

D. Faktor Predisposisi
Menurut yosep (2009) faktor predisposisi penyebab halusinasi adalah :
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

52
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.

E. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007) yang dikutip oleh Jallo (2008), faktor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan

53
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

F. Manifestasi Klinis
1) Bicara, senyum dan tertawa sendiri
2) Menarik diri dan menghindar dari orang lain
3) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata
4) Tidak dapat memusatkan perhatian
5) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan),
takut.
6) Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
7) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
8) Tidak ada kontak mata/ sering menunduk

G. Psikodinamika
Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis (2004), halusinasi dapat
didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang sebetulnya tidak ada,
pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, bisa juga berupa
suara-suarabising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata- kata yang
tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien,
sehingga klien menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa
berasal dari dalamdiri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat
memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri,
klien merasa yakin bahwa suara itu dari Tuhan, sahabat dan musuh (Rahmawati,
2014)

54
H. Mekanisme Koping
1. Konstruktif
2. Destruktif
 Regresi
 Proyeksi
 Denial
 Withdrawal

I. Sumber koping
1. Personal ability : Ketidakmampuan memecahkan masalah, ada gangguan
dari kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,
pengetahuan tentang penyakit dan intelegensi yang rendah, identitas ego
yang tidak adekuat.
2. Social support : Hubungan antara individu, keluarga, kelompok, masyarakat
tidak adekuat, komitmen dengan jaringan sosial tidak adekuat
3. Material asset : Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misalnya boros atau
santa pelit, tidak mempunyai uang untuk berobat, tidak ada tabungan, tidak
memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak ada pelayanan kesehatan
dekat tempat tinggal
4. Positif belief : Distress spiritual, tidak memiliki motivasi, penilaian negatif
terhadap pelayanan kesehatan, tidak menganggap itu suatu gangguan

J. Penatalaksanaan umum
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien
akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara
individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh

55
atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional.
Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, berbicara dengan
pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di
beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter.
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan
betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien.
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat
membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan
dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih
kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan.
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,
misalnya dari percakapan dengan pasien diketahui bila sedang sendirian ia
sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di

56
dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar
pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau
aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga
pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran
yang di berikan tidak bertentangan

2.2.5 Konsep Dasar Harga Diri Rendah


A. Pengertian
1. Konsep Diri
a) Pengertian
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian
yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain, termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai
yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Bech, William dan Rawlin lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah
cara individu memandang dirinya secara utuh, fisik, emosional, intelektul,
sosial dan spiritual.
Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman pribadi
individu berhubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan dunia luar
dirinya, konsep diri berkembang terus mulai dari bayi hingga lanjut usia.
Konsep diri belum ada saat bayi dilahirkan, tetapi mulai berkembang secara
beertahap saat bayi mulai mampu mengenal dan membedakan dirinya
dengan orang lain dan mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan
orang lain. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan bicara
individu, pengalaman dalam keluarga merupakan dasar pembentukan
konsep diri karena keluarga dapat memberikan perasaan mampu dan tidak
mampu. Perasaan diterima atau ditolak dan dalam keluarga individu

57
mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi perilaku orang lain. Dan
mempunyai penghargaan yang pantas tentng tujuan, perilaku dan nilai.
Memahami konsep diri sangat penting bagi perawat karena asuhan
keperawatan diberikan secara utuh bukan hanya penyakit saja tetapi juga
menghadapi individu yang mempunyai pandangan, nilai dan pendapat
tertentu tentang dirinya.
b) Komponen Konsep Diri
1) Citra Tubuh (Body Image)
Adalah sikap, persepsi, keyakinan dan pengetahuan individu
secara sadara atau tidak sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran,
bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang kontak
secara terus menerus baik masa lalu maupun sekarang.
2) Ideal Diri
Adalah persepsi individu tentang bagaimanadia harus
berperilaku berdasarkan standar, tujuan, keinginan atau nilai pribadi
tertentu. Sering disebut bahwa ideal diri sama dengan cita-cita,
keinginan, hrapan tentang diri sendiri.
3) Harga Diri
Adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Pencapaian ideal diri atau cita-cita/ harapan langsung menghasilkan
perasaan berharga.
4) Identitas Diri
Identitas adalah kesadaran akan keunikan diri sendiri yang
bersumber dari penilaian dan observasi diri sendiri. Identitas ditandai
dengan kemampuan memandang diri sendiri beda dengan orang lain,
mempunyai percaya diri, dapat mengontrol diri, mempunyai persepsi
tentang peran serta citra diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu

58
mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu menguasai
diri, mengatur diri dan menerima diri.
5) Peran
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial
yang berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok
sosial, tiap individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi
dalam pola fungsi individu.
2. Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan semua pemikiran, penilaian, keyakinan
dan kepercayaan individu terhadap dirinya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain. Harga diri tidak terbentuk waktu lahir,
tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya
sendiri dengan orang terdekat dan realitas dunia. (Stuart, 2006).
Harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri
termasuk hilangnya kepercayaan diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat
terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (kritik diri yang berlangsung
lama) dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung. (Stuart
dan Sudden, 2006).
Harga diri rendah menurut Keliat (2006) digambarkan sebagai perasaan
yang negatif terhadap diri sendiri dan harga diri merasa gagal mencapai
keinginan. Selain itu juga Harga diri rendah adalah evaluasi dari atau
kemampuan diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lam
(Nanda 2005 dalam Direja, 2011).
Menurut Keliat (2010), Harga diri rendah adalah kondisi seseorang yang
menilai keberadaan dirinya lebih rendah dibandingkan orang lain yang
berpikir adalah hal negatif diri sendiri sebagai individu yang gagal, tidak
mampu, dan tidak berprestasi. Harga diri rendah adalah perasaan seseorang
bahwa dirinya tidak diterima dilingkungan dan gambaran-gambaran negatif
tentang dirinya (Barry, dalam Fitria 2009).

59
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan
harga diri rendah adalah gangguan konsep diri dimana harga diri merasa
gagal mencapai keinginan, perasaan tentang diri yang negatif dan merasa
dirinya lebih rendah dibandingan orang lain.

B. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga Kekacauan depersonali


diri diri diri identitas sasi
positif rendah

Keterangan:

1. Respon adaptif adalah respon yang dihadapi klien bila menghadapi suatu
masalah dapat menyelesaikan secara baik antara lain:
a) Aktualisasi diri
Kesadaran akan diri berdasarkan konservasi mandiri termasuk persepsi
masa lalu akan diri dan perasaannya.
b) Konsep diri positif
Menunjukkan individu akan sukses dalam menghadapi masalah.
2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menghadapi masalah
dimana individu tidak mampu memecahkan masalah tersebut. Respon mal-
adaptif gangguan konsep diri adalah:
a) Gangguan harga diri
Transisi antara respon konsep diri dan maladaptif
b) Kekacauan identitas

60
Indentitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak memberikan
kehidupan dalam mencapai tujuan
c) Depersonalisasi ( tidak mengenal diri)
Tidak mengenal diri yaitu mempunyai kepribadian yang kurang sehat,
tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada
rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan orang
lain.

C. Jenis Harga Diri Rendah

Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan
ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,
kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seseorang yang penting dan
berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya
disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri
sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara:
1. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan,dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada
pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena prifasi yang
kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan
alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang
tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak
menghargai.
2. Kronik

61
Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit
dan dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan
pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa.

D. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan harga diri rendah yaitu:
1. Perkembangan individu yang meliputi:
a) Adanya penolakan dari orang tua, sehingga anak merasa tidak
dicintai kemudian dampaknya anak gagal mencintai dirinya dan akan
gagal mencintai orang lain.
b) Kurangnya pujian dan kurangnya pengakuan dari orangtuanya/ orang
yang dekat dengan individu yang bersangkutan
c) Sikap orang tua yang overprotecting, anak merasa tidak berguna,
orang tua atau orang terdekat sering mengkritik serta merevidasikan
individu.
d) Anak menjadi frustasi, putus asa merasa tidak berguna dan merasa
rendah diri.
2. Ideal diri:
a) Individu selalu dituntut untuk berhasil.
b) Tidak mempunyai hak untuk gagal dan berbuat salah.
c) Anak dapat menghakimi dirinya sendiri dan hilang rasa percaya diri.

E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi atau stresor pencetus dari munculnya harga diri rendah
mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti:
1. Gangguan fisik dan mental salah satu anggota keluarga sehingga keluarga
merasa malu dan rendah diri.

62
2. Pengalaman traumatik berulang seperti penganiayaan seksual dan
psikologi atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan , aniaya
fisik, kecelakaan, bencana alam dan perampokan. Respon terhadap trauma
pada umumnya akan mengubah arti trauma tersebut dan kopingnya adalah
represi dan denial.
Perilaku
Dalam melakukan pengkajian, peawat dapat memulai dengan
mengobservasi penampilan klien, misalnya kebersihan, dandanan, pakaian.
Kemudian perawat mendiskusikannya dengan klien untuk mendapatkan
pandangan klien tentang gambaran dirinya. Perilaku berhubungan dengan
harga diri rendah. Harga diri yang rendah merupakan masalah bagi banyak
orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.
Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan
menolak diri sendiri.

F. Manifestasi Klinis
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak
setelah mendapat terapi sinar pada kanker
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
Misalnya : ini tidak akan terjadi jika saya segera ke rumah sakit,
menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri sendiri.
3. Merendahkan martabat.
Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya orang bodoh dan tidak
tahu apa-apa
4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu
dengan orang lain, lebih suka sendiri.
5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang
memilih alternatif tindakan.

63
6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri hidupnya.

Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang berhubungan dengan


harga diri rendah antara lain :

1. Menarik diri dari hubungan sosial

2. Mengkritik diri sendiri

3. Pandangan hidup yang pesimis

4. Perasaan lemah dan takut

5. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri

6. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri

7. Hidup yang berpolarisasi

8. Ketidakmampuan menentukan tujuan

9. Merasionalisasi penolakan

10. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah

11. Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)

Sedangkan menurut Stuart (2006) tanda- tanda klien dengan harga diri rendah
yaitu :

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit

2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri

3. Merendahkan martabat

4. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri

64
5. Percaya diri kurang

6. Menciderai diri

G. Psikodinamika

RISIKO PERILAKU
KEKERASAN

Risiko HALUSINASI
Risiko DEFISIT
WAHAM PERAWATAN DIRI
Risiko ISOLASI SOSIAL
(kurang
(menarik diri- 2 tahun di memperhatikan
kamar) perawatan diri – 3 hari
tidak mandi, kulit
kusam, rambut acak-
HARGA DIRI RENDAH
acakan, badan bau)
(mengkritik diri sendiri- merasa
bodoh, penurunan produktifitas- DEFISIT
pendiam, berhenti bekerja, tidak PERAWATAN DIRI
bernah membantu pekerjaan
(kurang
rumah, tidak berani menatap
memperhatikan
lawan bicara-tidak aad kontak
perawatan diri – 3
amata, bicara lambat - suara pelan
hari tidak mandi,
KOPING MASALAH INDIVIDU kulit kusam, rambut
TIDAK EFEKTIF acak-acakan, badan
bau)
(Intrejection, projection - berhenti
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga
bekerja, merasa bodoh. Represi –
diri rendah situasional yangdiritidak
berdiam diselesaikan.
di dalam kamar 2 Atau dapat juga terjadi karena
tahun)
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien
sebelumnya bahkan mungkin kecendrungan lingkungan yang selalu memberi
respon negatif untuk mendorong individu menjadi harga diri rendah.

65
Harga diri rendah kronis disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah
kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan
positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis.

H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahan koping jangka pendek atau jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan (Stuart & Gail,
2007).
1. Pertahanan jangka pendek mencakup berikut ini :
a) Aktifitas yang memberikan pelarian sementara dari krisis
indentitas diri (misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton
televisi secara obsesif).
b) Aktifitas yang memberikan identitas pengganti sementara
(misalnya, ikut serta dalam klub sosial, agama, politik,
kelompok, gerakan atau genk).
c) Aktifitas sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri
yang tidak menentu (misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi
akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas).
d) Aktifitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk membuat
identitas diluar dari hidup yang tidak bermakna saat ini
(misalnya, penyalahgunaan obat).
2. Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini :
a) Penutupan identitas-adopsi identitas prematur yang diinginkan

66
oleh orang terdekat tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi,
atau potensi diri individu.
b) Identitas negatif, asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai
dan harapan yang diterima masyarakat.

1. Sumber koping
Semua orang tanpa memperhatikan gangguan prilakunya, mempunyai
beberapa bidang kelebihan personal yang meliputi : Aktifitas olah raga dan
aktifitas diluar rumah, hobi dan kerajinan tangan, seni yang ekspresif, kesehatan
dan perwatan diri, pendidikan atau pelatihan, pekerjaan, vokasi atau posisi,
bakat tertentu, kecerdasan, imajinasi dan kreatifitas, hubungan interpersonal.
(Stuart & Gail, 2007).

J. Penatalaksanaan
Menurut Riyadi, & Purwanto, (2009) Terapi somatik adalah terapi yang
diberikan kepada klien dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif
menjadi perilaku yang adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk
perlakuan fisik. Terapi somatik telah banyak dilakukan pada klien dengan
gangguan jiwa seperti terapi somatik restrain, seklusi, elekrokonvulsi, dan foto
terapi.
1. ECT (Electro Convulsif Therapie)
Suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan
kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Indikasi ECT yaitu :
a) Klien depresi pada psikosa manik depresi, klien skizofrenia
stupor kotatonik dan gaduh gelisah katatonik.
b) Klien dengan penyakit depresi mayor yang tidak berespon
terhadap antidependen atau yang tidak dapat minum obat.
c) Klien dengan gangguan bipolar yang tidak berespon terhadap
obat.

67
d) Klien bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik.
Sedangkan kontra indikasi ECT yaitu :
a) Peningkatan tekanan intra cranial (karena tumor otak, infeksi
SPP).
b) Keguguran pada kehamilan gangguan sistem muskuloskeletal,
osteoartritis berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandma.
c) Gangguan kardiovaskuler, infrak miokardium, anggia,
hipertensi, aritmia, dan aneurisma.
d) Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial.
e) Keadaan lemah.
2. Foto Terapi atau Sinar
Terapi somatik pilihan. Terapi ini diberiakan dengan memaparkan
klien pada sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar ruangan). Klien
disuruh duduk dengan mata terbuka 1,5 meter, didepan klien diletakan
lampu flouresen spectrum luas setinggi mata. Waktu dan dosis terapi ini
bervariasi pada tiap individu. Beberapa klien berespons jika terapi
diberikan pagi hari, sementara klien ini lebih bereaksi kalau dilakukan
terapi pada waktu sore hari. Semakin sinar terang, semakin efektif terapi
perunit waktu.
Terapi sinar berlangsung dalam waktu yang tidak lama namun
cepat menimbulkan efek terapi. Kebanyakan klien merasa sembuh 3-5
hari tetapi klien dapat kembali kambuh jika terapi dihentikan. Terapi ini
dapat menurunkan 75% gejala depresi yang dialami klien depresi minum
dingin atau gangguan afektif musiman. Efek samping yang terjadi setelah
dilakukan terapi dapat berupa nyeri kepala, insomnia, kelelahan, mual,
mata kering, keluar sekresi dari hidung dan rasa lelah pada mata.
Penatalaksanan Medis

68
Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri
rendah kronis adalah :
1. System Limbic yaitu pusat emosi, dilihat dari emosi pada klien
dengan harga diri rendah yang kadang berubah seperti sedih, dan
terus merasa tidak berguna atau gagal terus menerus.

a) Hipothalmus yang juga mengatur mood dan motivasi, karena


melihat kondisi klien dengan harga diri rendah yang
membutuhkan lebih banyak motivasi dan dukungan dari
perawat dalam melaksanakan tindakan yang sudah dijadwalkan
bersama-sama dengan perawat padahal klien mengatakan
bahwa membutuhkan latihan yang telah dijadwalkan tersebut.

b) Thalamus, sistem pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk


mengatur arus informasi sensori yang berhubungan dengan
perasaan untuk mencegah berlebihan di korteks. Kemungkinan
pada klien dengan harga diri rendah apabila ada kerusakan
pada thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk
tidak dapat dicegah atau dipilih sehingga menjadi berlebihan
yang mengakibatkan perasaan negatif yang ada selalu
mendominasi pikiran dari klien.

c) Amigdala yang berfungsi untuk emosi.

Adapun jenis alat untuk mengetahui gangguan struktur otak yang


dapat digunakan adalah:
a) Electroencephalogram (EEG), suatu pemeriksaan yang
bertujuan memberikan informasi penting tentang kerja dan
fungsi otak.
b) CT Scan, untk mendapatkan gambaran otak tiga dimensi.
c) Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT),
melihat wilayah otak dan tanda-tanda abnormalitas pada otak

69
dan menggambarkan perubahan-perubahan aliran darah yang
terjadi.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), suatu tehnik radiologi dengan
menggunakan magnet, gelombang radio dan komputer untuk
mendapatkan gambaran struktur tubuh atau otak dan dapat mendeteksi
perubahan yang kecil sekalipun dalam struktur tubuh atau otak.
Beberapa prosedur menggunakan kontras gadolinium untuk
meningkatkan akurasi gambar. Selain gangguan pada struktur otak,
apabila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan alat-alat tertentu
kemungkinan akan ditemukan ketidakseimbangan neurotransmitter
diotak seperti:
a) Acetylcholine (ACh), untuk pengaturan atensi dan mood,
mengalami penurunan.
b) Norepinephrine, mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan
orientasi; mengatur fight-flight dan proses pembelajaran dan
memori, mengalami penurunan yang mengakibatkan kelemahan
dan depresi.
c) Serotonin, mengatur status mood, mengalami penurunan yang
mengakibatkan klien lebih dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif
dan tidak berdaya.
d) Glutamat, mengalami penurunan, terlihat dari kondisi klien yang
kurang energi, selalu terlihat mengantu. Selain itu berdasarkan
diagnosa medis klien yaitu skizofrenia yang sering
mengindikasikan adanya penurunan glutamat.
Adapun jenis alat untuk pengukuran neurotransmitter yang dapat
digunakan:
a) Positron Emission Tomography (PET), mengukur emisi atau
pancaran dari bahan kimia radioaktif yang diberi label dan
telah disuntik kedalam aliran darah untuk menghasilkan

70
gambaran dua atau tiga dimensi melalui distribusi dari bahan
kimia tersebut didalam tubuh dan otak. PET dapat
memperlihatkan gambaran aliran darah, oksigen,
metabolisme glukosa dan konsentrasi obat dalam jaringan
otak. Yang merefleksikan aktivitas otak sehingga dapat
dipelajari lebih lanjut tentang fisiologi dan neuro-kimiawi
otak.
b) Transcranial Magnetic Stimulations (TMS), dikombinasikan
dengan MRI, para ahli dapat melihat dan mengetahui fungsi
spesifik dari otak. TMS dapat menggambarkan proses
motorik dan visual dan dapat menghubungkan antara kimiawi
dan struktur otak dengan perilaku manusia dan hubungannya
dengan gangguan jiwa.

2.2.6 Konsep Dasar Defisit Perawatan Diri


A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien dinyatakan
terganggu perawatan dirinya ika tidak dapat melakukan perawatan dirinya
(Mukhripah & Iskandar, 2012:147).
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan
tidak rapi. Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan
dir, makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil
sendiri (toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).

71
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015:154).

B. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan


diri seimbang diri tidak seimbang perawatan diri

Gambar . Rentang Respon Defisit Perawatan Diri


Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor
kadang kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.Tidak
melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.

C. Faktor Predisposisi

Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :

72
1. Faktor presdiposisi
a) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiw dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri. (Mukhripah & Iskandar, 2012:147 - 148).

D. Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah


kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri (Mukhripah & Iskandar, 2012: 148).
Menurut Depkes (2000) didalam buku (Mukhripah & Iskandar, 2012:148)
faktor – faktor yang mempengaruhi personl higiene sebagai berikut:

1. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.

73
2. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi peruabahan personal hygiene.
3. Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting akrena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misanya, pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6. Kebiasaan orang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain – lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/ sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.

E. Jenis defisit Perawatan Diri


Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri: Mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri: Berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berias untuk diri sendiri.

74
3. Defisit perawatan diri: Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri.
4. Defisit perawatan diri: Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri (Nurjannah, 2004:79).

F. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut:
1. Mandi/hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,


memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
2. berhias

75
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, meggunakan alat
tambahan, mengguakan kancig tarik, melepaskan pakaian, menggunakan
kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskkan,
mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
3. Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,


mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
meggunakan alat tambahan, mendapat makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah
lalu memasukannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan
menurut cara diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta
mencerna cukup makanan dengan aman.

76
4. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil
(Mukhripah & Iskandar, 2012:149-150).
Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah :
1. Fisik
a Badan bau, pakaian kotor
b Rambut dan kulit kotor
c Kuku panjang dan kotor
d Gigi kotor disertai mulut bau
e Penampilan tidak rapi
2. Psikologis
a Malas, tidak ada inisiatif
b Manarik diri, isolasi diri
c Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a Interaksi kurang
b Kegiatan kurang Tidak mampu berperilaku sesuai norma
Cara makan tidak teratur BAK dan BAB disembarangan tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri (Mukhripah & Iskandar, 2012:150).

G. Mekanisme Koping

1. Regresi
2. Penyangkalan
3. Isolasi sosial, menarik diri

77
4. Intelektualisasi (Mukhripah & Iskandar, 2012:153).
Sedangkan menurut (Stuart & Sundeen, 2000) didalam didalam
(Herdman Ade, 2011:153-154) mekanisme koping menurut
penggolongannya dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukund fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatn diri secara mandiri.
2. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.

2.2.7 Konsep Dasar Isolasi Sosial


A. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
di sekitarnya (Damaiyanti, 2008). Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang
dialami oleh individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain
dan sebagai pernyataan negatif atau mengancam (Nanda-1, 2012).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana individu mengalami penurunan
kemampuan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Isolasi sosial adalah usaha klien untuk menghindari interaksi
dengan orang lain disekitarnya maupun komunikasi dengan orang lain (keliat
B.A, dkk, 2011).
Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan Hartono Y
(2010) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan seseorang karena orang
lain menyatakan negatif dan mengancam. Sedangkan Menarik diri adalah usaha
menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa kehilangan hubungan

78
akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi perasaan, pikiran,
prestasi atau kegagalanya (Depkes, 2006 dalam Dermawan D dan Rusdi, 2013).
Jadi isolasi sosial Menarik diri adalah suatu keadaan kesepian yang dialami
seseorang karena merasa ditolak, tidak diterima, dan bahkan pasien tidak
mampu berinteraksi untuk membina hubungan yang berarti dengan orang lain
disekitarnya.

B. Rentang Respon

Menurut Stuart (2007). Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada


masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan
tersebut merupakan pola respon maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang
cukup berat menyababkan disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
Respon Adaftif Respon Maladaftif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik Diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narsisisme
Saling Ketergantungan
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto
T. (2013) respon ini meliputi:
1. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang
telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam
menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi

79
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu mamapu menetapkan
untuk interdependen dan pengaturan diri.
3. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling member,
dan menerima dalam hubungan interpersonal.
4. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan
cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat.
Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon maladaptive tersebut adalah:
1. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain
sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan
individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol
digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat
menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain.
2. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang
tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan tidak
mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.
3. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku ogosentris,harga
diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah
marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.
4. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien

80
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain.

C. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian
dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa
tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
a) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara
ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang
mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa
ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada
masa berikutnya.
b) Masa Kanak-Kanak

81
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri,
mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina
hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah
lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak
frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh
menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat
memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari
dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena
pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara
berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan
teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu
untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan
berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti
daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut,
yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung
pada remaja.
d) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan
pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap
kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan
baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik

82
hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality).
e) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-
anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan
individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap
mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan
anak.
f) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan
atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada
orang lainakan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki
harus dapat dipertahankan.

2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga


Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a) Sikap bermusuhan/hostilitas
b) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan
masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e) Ekspresi emosi yang tinggi

83
f) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi
kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan
struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

D. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:

1. Stresor Sosial Budaya


Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat
menimbulkan isolasi sosial.
2. Stresor Biokimia

84
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan
tingkah laku psikotik.
d) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.
3. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
4. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik. Menurut teori psikoanalisa; perilaku
skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang
berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien
psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini
berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha

85
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang
mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-
masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi,
represi dan regrasi.

E. Manifestasi Klinis
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara, adalah:

1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain


2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial: menarik diri
menurut Dermawan D dan Rusdi (2013) adalah sebagai berikut:
1. Gejala Subjektif
a) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c) Respon verbal kurang atau singkat
d) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain

86
e) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
f) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
g) Klien merasa tidak berguna
h) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
i) Klien merasa ditolak
2. Gejala Objektif
a) Klien banyak diam dan tidak mau bicara
b) Tidak mengikuti kegiatan
c) Banyak berdiam diri di kamar
d) Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
e) Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
f) Kontak mata kurang
g) Kurang spontan
h) Apatis (acuh terhadap lingkungan)
i) Ekpresi wajah kurang berseri
j) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
k) Mengisolasi diri
l) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
m) Memasukan makanan dan minuman terganggu
n) Retensi urine dan feses
o) Aktifitas menurun
p) Kurang energi (tenaga)
q) Rendah diri
r) Postur tubuh berubah,misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada posisi
tidur).
F. Mekanisme Koping

87
Mekanisme koping merupakan upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart,2006).

G. Sumber koping
Sumber Koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping pada strategi
seseorang. Strategi koping yang digunakan misalnya keterlibatan dalam
hubungan yang lebih luas seperti dalam keluarga dan teman, hubungan dengan
hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress
interpersonal seperti kesenian, music, atau tulisan (Stuart,2006)

H. Penatalaksanaan Umum
1. Terapi Psikofarmaka
a) Clorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri
terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi.
Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya
berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja,
berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek
samping gangguan otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra
pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis.
Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap
penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b) Haloperidol (HLP)

88
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental
serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti
gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur
,tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi
terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung
(Andrey, 2010).
c) Trihexyphenidil ( THP )
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik,
sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine.
Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur,
pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi,
ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive
Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat
psikoneurosis (Andrey, 2010).

2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat
mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai
keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan
orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan
berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP
dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi
kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang,
dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat

89
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk
berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien
memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart
& Laraia, 2001 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi kelompok adalah terapi
psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi
pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008 dikutip dari Keliat,
2005).
Terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang ditujukan kepada kelompok
klien dalam melakukan kegiatan untuk menyelesaikan masalah dan mengubah
perilaku maladaptif/destruktif menjadi adaptif/ konstruksi (Keliat, 2005).
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil
menurut Stuart & Laraia adalah 7-10 orang, menurut Lancester adalah 10-12
orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan menurut Beck adalah 5-10
orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota
mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi
yang terjadi (Keliat, 2005).
Menurut Stuart & Laraia waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40
menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi
kelompok yang tinggi. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi,
kemudian tahap kerja dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu, atau
dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Keliat, 2005).
4. Penatalaksanaan Medis (Dalami, et.all, 2009 : hal.120)

90
Isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit skizofrenia tak tergolongkan
maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan adalah :
a) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana
arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang
ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus
tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik
dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
Indikasi :
- Depresi mayor
Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak ada
perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan berat badan
yang berlebihan dan adanya ide bunuh diri yang menetap.
Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau memberikan
respon membaik pada ECT.
Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan
antidepresan atau klien tidak dapat menerima antidepresan.
b) Maniak
Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang lain atau
terapi lain berbahaya bagi klien.
c) Skizofrenia
Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi
bermanfaat pada skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh.

5. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan

91
rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat
empati, menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur
kepada klien.
6. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipSSilih dengan maksud
untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang.

92
ASUHAN KEEPARAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI HALUSINASI

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Gangguan sensori Pasien mampu: Setelah….,pertemuan pasien dapat menyebutkan: SP.1 (Tgl… ............................. )
persepsi: Halusinasi  Mengenali yang  Isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus,  Bantu pasien mengenal halusinasi:
dialaminya perasaan - Isi
 Mengontrol  Mampu memperagakan cara dalam - Waktu terjadinya
halusinasinya mengontrol halusinasi. - Frekuensi
 Mengikuti program - Situasi pencetus
pengobatan secara - Perasaan saat terjadi halusinasi
optimal  Latih mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik
Tahapan tindakannya meliputi:
- Jelaskan cara menghardik halusinasi
- Peragakan cara menghardik
- Minta pasien memperagakan ulang
- Pantau penerapan cara ini, beri
penguatan perilaku pasien
- Masukan dalam jadwal kegiatan
pasien.

93
Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.2 (Tgl… ................................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)
 Memperagakan cara bercakap-cakap dengan  Latih berbicara/bercakap dengan orang lain
orang lain saat halusinansi muncul
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.3 (Tgl… .................................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan 2)
dan  Latih kegiatan agar halusinasi tidak muncul
 Membuat jadwal kegiatan sehari-hari dan Tahapannya:
mampu memperagakannya - Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur
untuk mengatasi halusinasi
- Diskusikan aktivitas yang biasa dilakukan
oleh pasien
- Latih pasien melakukan aktivitas
- Susun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai
dengan aktivitas yang telah dilatih.
- Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan,
berikan penguatan terhadap perilaku
pasien yang positif.
Setelah…..pertemuan pasien mampu: SP.4 (Tgl… .................................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1, 2 dan 3)
 Tanyakan program pengobatan

94
 Menyebutkan manfaat dari program  Jelaskan pentingnya pentingnya penggunaan
pengobatan obat pada gangguan jiwa
 Jelaskan akibat bila tidak digunakan sesuai
program
 Jelaskan akibat bila putus obat
 Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
 Jelaskan pengobatan (5B)
 Latih pasien minum obat
 Masukan dalam jadwal harian pasien
Keluarga mampu: Setelah…..pertemuan, keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ..................................... )
Merawat pasien di rumah Menjelaskan tentang halusinasi  Identifikasi masalah keluarga dalam
dan menjadi sistem merawat pasien
pendukung yang efektif  Jelaskan tentang halusinasi :
untuk pasien - Pengertian halusinasi
- Jenis halusinasi yang dialami pasien
- Tanda dan gejala halusinasi
- Cara merawat pasien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat &
pemberian aktivitas kepada pasien)
- Sumber-sumber pelayanan kesehatan
yang bisa dijangkau
- Bermain peran cara merawat

95
- Rencana tindak lanjut keluarga, jadwal
keluarga untuk merawat pasien
Setelah……pertemuan keluarga mampu: SP.2 (Tgl… ........................................... )
 Menyelesaikan kegiatan yang sudah  Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1)
dilakukan  Latih keluarga merawat pasien
 Memperagakan cara merawat pasien  RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
merawat pasien
Setelah…..pertemuan keluarga mampu: SP.3 (Tgl… ........................................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1 dan 2)
 Memperagakan cara merawat pasien serta  Latih keluarga merawat pasien
mampu membuat RTL  RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien
Setelah……pertemuan keluarga mampu: SP.4 (Tgl… ......................................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kemampuan keluarga
 Melaksanakan Follow Up rujukan  Evaluasi kemampuan pasien
 RTL Keluarga :
- Follow Up
- Rujukan

96
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR WAHAM

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Gangguan proses Pasien mampu: Setelah……..pertemuan pasien dapat memenuhi SP.1 (Tgl… .................................... )
pikir: waham  Berorientasi kepada kebutuhannya  Identifikasi kebutuhan pasien
realitas secara  Bicara konteks realita (tidak mendukung
bertahap atau membantah waham pasien)
 Mampu berinteraksi  Latih pasien untuk memenuhi
dengan orang lain dan kebutuhannya)
lingkungan  Masukan dalam jadwal harian pasien
 Menggunakan obat
dengan prinsip 6 benar
Setelah…..pertemuan pasien mampu: SP.2 (Tgl… ............................................ )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1)
 Mampu menyebutkan serta memilih  Identifikasi potensi/kemampuan yang
kemampuan yang dimiliki dimiliki
 Pilih dan latih potensi/kemampuan yang
dimiliki
 Masukan dalam jadwalkegiatan pasien.

97
Setelah…..pertemuan pasien dapat menyebutkan SP.3 (Tgl… ............................ )
kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan 2)
memilih kemampuan lain yang dimiliki.  Pilih kemampuan yang dapat dilakukan
 Pilih dan latih potensi kemampuan lain yang
dimiliki
 Masukan dalam jadwal pasien
Keluarga mampu: Setelah….pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ............................ )
 Mengidentifikasi Mengidentifikasi masalah, menjelaskan cara  Identifikasi masalah keluarga dalam merawat
waham pasien merawat pasien pasien
 Memfasilitasi pasien  Jelaskan proses terjadinya waham
untuk memenuhi  Jelaskan tentang cara merawat pasien waham
kebutuhannya  Latih (simulasi) cara merawat
 Mempertahankan  RTL keluarga/jadwal merawat pasien
program pengobatan
pasien secara optimal
SP.2(Tgl… ........................... )
 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1)
 Latih keluarga cara merawat (langsung ke
pasien)
 RTL keluarga

98
Setelah…..pertemuan keluarga mampu: SP.3 (Tgl… ........................... )
Mengidentifikasi masalah dan mampu  Evaluasi kemampuan keluarga
menjelaskan cara merawat pasien  Evaluasi kemampuan pasien
 RTL keluarga
 Follow up
 Rujukan

99
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Perilaku kekerasan Pasien mampu: Setelah… .....pertemuan pasien mampu: SP.1 (Tgl… .................................... )
 Mengidentifikasi  Menyebutkan penyebab, tanda, gejala dan  Identifikasi penyebab, tanda dan gejala
peyebab dan tanda akibat perilaku kekerasan serta akibat perilaku kekerasan
perilaku kekerasan  Memperagakan cara fisik 1 untuk  Latih cara fisik 1:
 Menyebukan jenis mengontrol perilaku kekerasan - Tarik napas dalam
perilaku kekerasan - Masukan dalam jadwal harian pasien
yang pernah dilakukan
 Menyebutkan akibat
dari perilaku
kekerasan yang
dilakukan
 Menyebutkan cara
mengontrol perilaku
kekerasan
 Mengontrol perilaku
kekerasan secara:
- Fisik

100
- Social/verbal
- Spiritual
- Terapi
psikofakmaka
Setelah……pertemuan psien mampu: SP.2 (Tgl… ................................. )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu SP.1
 Memperagakan cara fisik untuk mengontrol  Latih cara fisik 2:
perilaku kekerasan - Pukul kasur/bantal
- Masukan dalam jadwal harian pasien
Setelah…..pertemuan pasien mampu: SP.3 (Tgl… ................................ )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan 2)
 Memperagakan cara sosial/verbal untuk  Latih secara sosial/verbal
mengontrol perilaku kekerasan  Menolak dengan baik
 Meminta dengan baik
 Mengungkapkan dengan baik
 Masukan dalam jadwal harian pasien
Setelah…..pertemuan pasien mampu: SP.4 (Tgl… ............................... )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1, 2 dan 3)
 Memperagakan cara spiritual  Latih secara spiritual:
- Berdoa
- Shalat
 Masukan dalam jadwal harian pasien

101
Setelah……pertemuan pasien mampu: SP.5 (Tgl… ................................ )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1, 2 ,3 dan
 Memperagakan cara patuh obat 4)
 Latih patuh obat:
- Minum obat secara teratur dengan prinsip
5B
- Susun jadwal minum obat secara teratur
- Masukan dalam jadwal harian pasien
Keluarga mampu: Setelah….pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ................................. )
merawat pasien dirumah menjelaskan penyebab, tanda/gejala, akibat serta  Identifikasi masalah yang dirasakan
mampu memperagakan cara merawat keluarga dalam merawat pasien
 Jelaskan tentang P-K dari:
- Penyebab
- Akibat
- Cara merawat
 Latih 2 cara merawat
 RTL keluarga/jadwal untuk merawat pasien
Setelah….pertemuan keluarga mampu: SP.2 (Tgl… ................................. )
 Menyelesaikan kegiatan yang sudah  Evaluasi kemampuan keluarga (SP.1)
dilakukan  Latih keluarga merawat pasien
 Memperagakan cara merawat pasien serta  RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat
mampu membuat RTL pasien

102
 Setelah…….pertemuan keluarga mampu: SP.3 (Tgl… ................................ )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kemampuan keluarga (SP.2)
 Memperagakan cara merawat pasien serta  Latih keluarga merawat pasien
mampu membuat RTL  RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat
pasien
Setelah….pertemuan keluarga mampu: SP.4 (Tgl… .............................. )
 Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan  Evaluasi kemampuan keluarga
 Melaksanakan Follow up rujukan  Evaluasi kemampuan pasien
 RTL keluarga
 Follow Up
 Rujukan

103
ASUHAN PADA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Gangguan konsep diri: Pasien mampu: Setelah…..pertemuan klien mampu: SP.1 (Tgl… ............................ )
harga diri rendah  Mengidentifikasi  Mengidentifikasi kemampuan aspek positif  Identifikasi kemampuan positif yang dimiliki
kemampuan dan aspek yang dimiliki - Diskusikan bahwa pasien masih memiliki
posiif yang dimiliki  Memiliki kemampuan yang dapat digunakan. sejumlah kemampuan dari aspek positif
 Menilai kemampuan Memilih kegiatan sesuai kemampuan seperti kegiatan pasien di rumah adanya
yang dapat digunakan  Melakukan kegiatan yang sudah dipilih. keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
 Menetapkan/memilih Merencanakan kegiatan yang sudah dilatih. - Beri pujian yang realistis dan hindarkan
kegiatan yang sesuai setiap kali bertemu dengan pasien
dengan kemampuan penilaian yang negative.
 Melatih kegiatan yang  Nilai kemampuan yang dapat dilakukan saat
sudah dipilih, sesuai ini
kemampuan - Diskusikan dengan pasien kemampuan
 Merencanakan yang masih digunakan saat ini
kegiatan yang sudah - Bantu pasien menyebutkannya dan
dilatihnya memberi penguatan terhadap kemampuan
diri yang diungkapkan pasien
- Perlihatkan respon yang kondusif dan
menjadi pendengar yang aktif
104
 Pilih kemampuan yang akan dilatih
- Diskusikan dengan pasien beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan dan dipilih
sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari
- Bantu pasien menetapkan aktivitas mana
yang dapat pasien lakukan secara mandiri
 Aktivitas yang memerlukan bantuan
minimal dari keluarga
 Aktivitas apa saja yang perlu bantuan
penuh dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien
 Beri contoh pelaksanaan aktivitas yang
dapat dilakukan pasien
 Susun bersama pasien aktivitas atau
kegiatan sehari-hari pasien
 Nilai kemampuan pertama yang telah dipilih
- Diskusikan dengan pasien untuk
menetapkan urutan kegiatan (yang sudah
dipilih pasien)yang akan dilatihkan

105
- Bersama pasien dan keluarga
memeperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien
- Berikan dukungan dan pujian yang nyata
sesuai kemajuan yang diperlihatkan
pasien.
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
- Beri kesempatan pada pasien untuk
mencoba kegiatan
- Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang
dapat dilakukan pasien setiap hari
- Tingkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi dan setiap perubahan
- Susun daftar aktivitas yang sudah
dilatihkan bersama pasien dan keluarga
- Berikan kesempatan mengungkapkan
perasaannya setelah pelaksanaan
kegiatan. Yakinkan bahwa keluarga
mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan pasien
SP.2 (Tgl… ....................................... )
 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)

106
 Pilih kemampuan kedua yang dapat
dilakukan
 Latih kemampuan yang dipilih
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
SP.3 (Tgl… .................................... )
 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1 dan 2)
 Memilih kemampuan ketiga yang dapat
dilakukan
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
Keluarga mampu: Setelah……pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ............................ )
Merawat pasien dengan  Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki  Identifikasi masalah yang dirasakan dalam
harga diri rendah di pasien merawat pasien
rumah dan menjadi  Menyediakan fasilitas untuk pasien  Jelaskan proses terjadinya HDR
system pendukung yang melakukan kegiatan  Jelaskan tentang cara merawat pasien
efektif bagi pasien  Mendorong pasien melakukan kegiatan  Main peran dalam merawat pasien HDR
 Memuji pasien saat pasien dapat melakukan  Susun RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
kegiatan merawat pasien
 Membantu melatih pasien
 Membantu menyusun jadwal kegiatan pasien
 Membantu perkembangan pasien
SP.2 (Tgl… ............................ )
 Evaluasi kemampuan SP.1

107
 Latih keluarga langsung ke pasien
 Menyusun RTL keluarga/jadwal keluarga
untuk merawat pasien
SP.3 (Tgl… ................................. )
 Evaluasi kemampuan keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 RTL keluarga:
- Follow up
- Rujukan

108
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Isolasi sosial Pasien mampu: Setelah…..pertemuan pasien mampu: SP.1 (Tgl… ............................ )
 Menyadari penyebab  Membina hubungan saling percaya  Identifikasi penyebab
isolasi sosial  Menyadari penyebab isolasi sosial, - Siapa yang satu rumah dengan pasien?
 Berinteraksi dengan keuntungan, dan kerugian berinteraksi dengan - Siapa yang dekat dengan pasien? Apa
orang lain orang lain sebabnya?
 Melakukan interaksi dengan orang lain secara - Siapa yang tidak dekat dengan pasien, apa
bertahap. sebabnya?
 Tanyakan keuntungan berinteraksi dan
kerugian berinteraksi dengan orang lain
- Tanyakan pendapat pasien tentang
kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
- Tanyakan apa yang menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi dengan orang lain
- Diskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul akrab
dengan mereka

109
- Diskusikan kerugian bila pasien hanya
mengurung diri dan tidak bergaul dengan
orang lain
- Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap
kesehatan fisik pasien
 Latih berkenalan
- Jelaskan kepada klien cara berinteraksi
dengan orang lain
- Berikan contoh cara berinteraksi dengan
orang lain
- Beri kesempatan pasien mempraktekan
cara breinteraksi dengan orang lain yang
dilakukan di hadapan perawat
- Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan
satu orang teman/anggota keluarga
- Bila pasien sudah menunjukan kemajuan
tingkatkan jumlah interaksi dengan 2,3,4
orang dan seterusnya
- Beri pujian untuk setiap kemajuan
interaksi yang telah dilakukan oleh pasien
- Siap mendengarkan ekspresi perasaan
pasien setelah berinteraksi dengan orang

110
lain. Mungkin pasien akan
mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya, beri dorongan terus
menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.
 Masukan jadwal kegiatan pasien
SP.2 (Tgl… ............................... )
 Evaluasi SP.1
 Latih berhubungan sosial secara bertahap
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
SP.3 (Tgl… ............................... )
 Evaluasi SP.1 dan 2
 Latih cara berkenalan dengan 2 orang atau
lebih
 Masukan jadwal kegiatan pasien
Keluaga mampu: Setelah……pertemuan keluarga mampu SP.1 (Tgl… ................................... )
merawat pasien isolasi menjelaskan tentang:  Identifikasi masalah yang dihadapi keluarga
sosial di rumah  Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada dalam merawat pasien
pasien  Penjelasan isolasi sosial
 Penyebab isolasi sosial  Cara merawat pasien isolasi sosial
 Sikap keluarga untuk membantu pasien  Latih (simulasi)
mengatasi isolasi sosialnya

111
 Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah  RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
putus obat merawat pasien
 Tempat rujukan dan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi pasien
SP.2 (Tgl… .................................... )
 Evaluasi SP.1
 Latih (langsung ke pasien)
 RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien
SP.3 (Tgl… .................................... )
 Evaluasi SP.1 dan 2
 Latih (langsung ke pasien)
 RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien
SP.4 (Tgl… .................................... )
 Evaluasi kemampuan keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 Rencana tindak lanjut keluarga:
- Follow up
- Rujukan

112
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KURANG PERAWATAN DIRI

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Kurang perawatan diri Pasien mampu: Setelah…..pertemuan pasien dapat menjelaskan SP.1 (Tgl… ................................... )
 Melakukan pentingnya:  Identifikasi
kebersihan diri secara  Kebersihan diri - Kebersihan diri
mandiri  Berdandan/berhias - Berdandan
 Melakukan  Makan - Makan
berhias/berdandan  BAB/BAK - BAB/BAK
secara baik  Dan mampu melakukan cara merawat diri  Jelaskan pentingnya kebersihan diri
 Melakukan makan  Jelaskan alat dan cara kebersihan diri
dengan baik  Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
 Melakukan
BAB/BAK secara
mandiri
SP.2 (Tgl… ........................................ )
 Evaluasi SP.1
 Jelaskan pentingnya berdandan
 Latih cara berdandan
a. Untuk pasien laki-laki
- Berpakaian
113
- Menyisir rambut
- Bercukur
b. Untuk pasien perempuan
- Berpakaian
- Menyisir rambut
- berhias
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
SP.3 (Tgl… ................................... )
 Evaluasi kegiatan SP.1 dan 2
 Jelaskan cara dan alat makan yang benar
- Jelaskan cara mempersiapkan makan
- Jelaskan cara merapihkan peralatan
makan setelah makan
- Praktek makan sesuai dengan tahapan
makan yang baik
 Latih kegiatan makan
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
SP.4 (Tgl… ..................................... )
 Evaluasi kemampuan pasien yang lalu
(SP.1, 2 dan 3)
 Latih cara BAB, BAK yang baik

114
- Menjelaskan tempat BAB/BAK yang
sesuai
- Menjelaskan cara membersihkan diri
setelah BAB/BAK
Keluarga mampu: Setelah……pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ........................................ )
Merawat anggota Meneruskan melatih pasien dan mendukung agar  Identifikasi maslah dalam merawat pasien
keluarga yang mengalami kemampuan pasien dalam perawatan dirinya dengan masalah:
masalah kurang meningkat - Kebersihan diri
perawatan diri - Berdandan
- Makan
- BAB/BAK
 Jelaskan defisit perawatan diri
 Jelaskan cara merawat
- Kebersihan diri
- Berdandan
- Makan
- BAB/BAK
 Bermain peran cara merawat
 RTL keluarga/jadwal untuk merawat
SP.2 (Tgl… ........................................ )
 Evaluasi SP.1

115
 Latih keluarga merawat langsung ke pasien
kebersihan diri dan berdandan
 RTL keluarga/jadwal untuk merawat
SP.3 (Tgl… ............................................ )
 Evaluasi kemampuan SP.2
 Latih keluarga merawat langsung ke pasien
cara makan
 RTL keluarga/jadwal untuk merawat
SP.4 (Tgl… ............................................. )
 Evaluasi kemampuan keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 RTL keluarga:
- Follow up
- Rujukan

116
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Risiko Bunuh Diri Pasien tetap aman dan Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.1 (Tgl… ....................................... )
selamat Mengidentifikasi benda-benda yang dapat  Identifikasi benda-benda yang dapat
mampu mengendalikan dorongan bunuh diri membahayakan pasien
 Amankan benda-benda yang dapat
membahayakan pasien
 Lakukan kontrak treatment
 Ajarkan cara mengendalikan dorongan
bunuh diri
 Latih cara mengendalikan dorongan bunuh
diri
Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.2 (Tgl… ........................................ )
Mengidentifikasi aspek positif dan mampu  Identifikasi aspek positif pasien
menghargai diri sebagai individu yang berharga  Dorong pasien untuk berpikir positif
terhadap diri
 Dorong pasien untuk menghargai diri
sebagai individu yang berharga
Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.3 (Tgl… ........................................ )

117
Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif  Identifikasi pola koping yang biasa
dan mampu menerapkannya diterapkan pasien
 Nilai pola koping yang biasa dilakukan
 Identifikasi pola koping yang konstruktif
 Dorong pasien memilih pola koping yang
konstruktif
 Anjurkan pasien menerapkan pola koping
yang konstruktif dalam kegiatan harian
Setelah….pertemuan pasien mampu: SP.4 (Tgl… ..................................... )
Membuar rencana masa depan yang realistis dan  Buat rencana masa depan yang realistis
mampu melakukan kegiatan bersama pasien
 Identifikasi cara mencapai rencana masa
depan yang realistis
 Beri dorongan pasien melakukan kegiatan
dalam rangka meraih masa depan yang
realistis
Keluarga mampu: Setelah…..pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl… ........................................ )
Merawat pasien dengan Merawat pasien dan mampu menjelaskan  Diskusikan masalah yang dirasakan
risiko bunuh diri pengertian, tanda dan gejala serta jenis perilaku keluarga dalam merawat pasien
bunuh diri  Jelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko
bunuh diri dan jenis perilaku bunuh diri yang
dialami pasien beserta proses terjadinya

118
 Jelaskan cara-cara merawat pasien resiko
bunuh diri
SP.2 (Tgl… .................................... )
 Latih keluarga mempraktikan cara merawat
pasien dengan risiko bunuh diri
 Latih keluarga melakukan cara merawat
langsung kepada pasien risiko bunuh diri
SP.3 (Tgl… ........................................ )
 Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di
rumah termasuk minum obat
 Jelaskan follow up pasien setelah pulang

119
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.

Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan


Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan


Jiwa (Terjemahan). Jakarta:EGC

Keliat,Budi A. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.

Purwaningsih, Wahyu. Karlina, Ina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta:


Nuha Medika Press.

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosa.
Jakarta : Salemba Medika

Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Marlindawani, Jeney, 2002, Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah


Psikososial dengan gangguan jiwa

Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto Stuart, GW. 2002. Buku Saku
Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta: EGC.

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1
Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.

Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Jenny., dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

120
Sujono & Teguh. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta: Graha Ilmu.

Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003

Santoso, Budi. 2005 – 2006. Panduan Diagnosa Nanda. Jakarta : Prima Medika.

Stuart, G.W. dan Sundden, S.J. ( 2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta :
EGC

Keliat Budi A. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC. 2006

Yosep Iyus, 2009, Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama

121
122

Anda mungkin juga menyukai