KELAS KEPERAWATAN
JIWA II-C
Disusun oleh:
Amiroh Fauziah A.G.A 1706038765
Asyifa 1706977941
Diah Safitri 1706038834
Melati Nabila Johan 1706978130
Santi Patmawati 1706978345
Siti Khotimah 1706038853
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................
........ ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................
.......iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang......................................................................................
.....1
1.2 Rumusan
Masalah......................................................................................1
1.2
Tujuan……………...........................................................................
.........1
BAB 2 PEMBAHASAN
2.4 Terapi
Modalitas….................................................................................
32
iii
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan..................................................................................
...........60
3.2
Saran……………............................................................................
.......60
DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................
.61
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keperawatan pada Klien dari Kelompok Rentan (ABK, KDRT,
Narapidana, Pengguna NAPZA)
2.1.1 Definisi Kelompok Rentan (Autistik, hiperaktif, KDRT,
Narapidana dan Pennguna Napza)
Kelompok rentan yang menjadi perhatian keperawatan adalah mengenai
anak berkebutuhan khusus yang meliputi autistik dan hiperaktif, Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), narapidana, dan pengguna narkoba. Gangguan autistik,
yang paling dikenal dari gangguan perkembangan pervasif, lebih banyak terjadi
pada anak laki-laki daripada perempuan, dan biasanya diidentifikasi pada usia 18
bulan dan tidak lebih dari 3 tahun. Anak-anak dengan autisme menunjukkan
sedikit kontak mata dengan dan membuat sedikit ekspresi wajah terhadap orang
lain. Mereka menggunakan gerakan terbatas untuk berkomunikasi. Mereka
memiliki kapasitas terbatas untuk berhubungan dengan teman sebaya atau orang
tua. Mereka kurang menikmati kesenangan spontan, tidak mengekspresikan
suasana hati atau pengaruh emosional, dan tidak bisa bermain-main atau
mempercayai mainan.
2
stres psikososial di rumah, pengasuhan yang tidak memadai, atau kejiwaan
lainnya.
3
gangguan interaksi sosial. Gangguan neurologis merupakan kelainan
perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah anak lahir dan
menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini
diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik. Faktor lainnya
ada faktor psikologis. Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang
mengasuh anak mereka yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin
(kurang hangat) dapat menyebabkan seorang anak yang memiliki kelainan
autisme cendrung menarik diri dari lingkungannya dan memiliki stimulasi sensori
yang sangart kurang dari aank anak lainnya. Faktor lainnya juga ada kurangnya
stimulus sensori yang menyebabkan seorang anak yang mengalami autisme
cendrung berisiko mengalami gangguan identitas diri.
Selain itu faktor yang dapat menyebabkan seorang anak yang memiliki
gangguan ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) berisiko mengalami
gangguan psikososial. Pertama, umpan balik yang negatif dari keluarga. Umpan
balik yang negatif dari orang tua sang anak dapat menyebabkan anak tersebut
berisiko mengalami harga diri rendah dan risiko ansietas
Peran perawat juga sangat dibutuhkan pada korban kekerasan pada rumah
tangga. Korban KDRT, biasanya mengalami gangguan psikososial akibat dari
perlakukan yang tidak sepantasnya. Faktor penyebab gangguan psikososial pada
korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah kekerasan fisik pada
korban. Kekerasan fisik dapat menyebabkan aseorang korban KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga) mengalami trauma mendalam sehingga menyebabkan
gangguan seperti ketidakberdayaan, keputusasaan, ketakutan,
ansietas, gangguan konsep diri rsiko isolasi sosial.
Perawat jiwa juga berperan membantu seseorang pengguna NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Narkotik adalah obat-obatan yang
bekerja pada susunan saraf pusat dan digunakan sebagai analgesik (pengurang
rasa sakit) pada bidang kedokteran. Psikotropika adalah obat-obatan yang efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan. Bahan adiktif adalah bahan yang apabila
digunakan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan. Pemakai dapat
merasa tenang, merasa segar, bersemangat, menimbulkan efek halusinasi, dan
4
memengaruhi suasana perasaan pemakai. Faktor yang dapat menyebabkan
gangguan psikososial pada pengguna NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif) antara lain, sindrom putus zat alkohol yang dapat menyebabkan beberapa
gangguan psikososial seperti halusinasi dan waham. Overdosis merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan gangguan psikososial pada pengguna NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Gangguan psikososial yang muncul
yaitu ansietas, potensi melukai diri, potensi bunuh diri.
Perawat jiwa juga berperan membantu seseorang narapidana. Mungkin hal
ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya, karena saya baru mngetahu bahwa
seorang perawat juga bisa bekerta di LAPAS (Lembaga Permasyarakatan).
Seorang narapidana sangat berisiko untuk mengalami suatu gangguan psikososial.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan psikososial pada
narapidana. Salah satuynya yaitu koping yang kurang efektif yang dapat
menyebabkan seorang narapidana mengalami risiko untuk bunuh diri, ansietas.
Faktor selanjutnya yaitu adanya omongan omongan orang yang merendahkan
seorang narapidana, sehingga narapidana tersebut mengalami harga diri rendah.
2.1.3 Masalah Psikosoial yang Dapat Dialami pada Kelompok ABK
(Autism dan Hiperaktif), KDRT, Narapidana, Napza
Ada dua tipe perilaku autisme, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan)
dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Perilaku eksesif adalah hiperaktif dan
tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul,
mendorong, dan terkadang anak menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku
defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit
sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat,
misalnya tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun (Yusuf
et.al, 2015). Masalah psikososial yang dapat dialami pada penderita autisme
adalah (1) Risiko mutilasi diri sendiri (2) Kerusakan interaksi sosial. (3)
Kerusakan komunikasi verbal . (4) Gangguan identitas diri. (Yusuf et.al, 2014)
dan (NANDA,2018).
Anak dengan tipe hiperaktif biasanya memiliki masalah dalam
memperhatikan instruksi, menyelesaikan tugas, berinteraksi dengan anak lain,
atau duduk tenang, dan kurang berhasil dalam tugas-tugas pekerjaan sekolah.
5
Mereka seringkali membuat masalah di rumah, dijuluki sebagai anak nakal di
sekolah, dan diganggu oleh teman-temannya. Keadaan ini membuat anak berpikir
bahwa dia tidak baik, dan membentuk konsep diri dan kepercayaan diri yang
rendah. (Betshaw & Perret, 1986 dalam Delphie, 2006). Masalah psikososial yang
dapat dialami pada penderita hiperaktif adalah (1) Kerusakan interaksi sosial. (2)
Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang disfungsi/umpan
balik negatif. (Yusuf et.al, 2014) dan (NANDA,2018).
Tindakan kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang
tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun
pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga. Masalah
psikososial yang dapat dialami penderita kekerasan dalam rumah tangga adalah
(1) Sindroma trauma perkosaan. (2) Ketidakberdayaan. (3) Keputusasaan. (4)
Ketakutan. (5) Ansietas. (6) Gangguan konsep diri yaitu harga diri rendah. (7)
Risiko isolasi sosial. (8) Risiko bunuh diri. (Yusuf et.al, 2014) dan
(NANDA,2018).
Kriminalitas merupakan masalah kompleks yang belum terpecahkah
sampai saat ini. Kriminalitas yang berulang terjadi karena susahnya mendapatkan
akses pekerjaan serta tidak adanya dukungan moral masyarakat. Profesi
keperawatan khususnya keperawatan jiwa sebagai pelayan kesehatan
berkewajiban membantu orang yang mempunyai permasalahan psikososial
termasuk narapidana dan mantan narapidana. Masalah psikososial yang dapat
dialami narapidana atau mantan narapidana berdasarkan penelitian Wiseno et.al,
2017 adalah (1) Isolasi sosial. (2) Risiko bunuh diri. (3) Harga diri rendah. (4)
Keputusasaan. (5) Ansietas. (6) Koping tidak efektif. (7) Ketidakberdayaan
(umumnya pada wanita) (8) Ketakutan (umumnya pada wanita). (NANDA,2018).
Zat adiktif atau paling dikenal kalangan masyarakat luas dengan istilah
narkoba adalah berasal dari kata narkotik dan bahan adiktif. Istilah tersebut
kemudian berkembang menjadi napza. Penggunaan heroin secara terus-menerus
mendorong terjadinya toleransi dan ketergantungan. Dosis yang terus meningkat
membuat penggunanya masuk dalam overdosis dan dapat memicu dorongan dari
keinginan bunuh diri (Kemenkes, 2010). Masalah psikososial yang dapat dialami
oleh pengguna NAPZA adalah (1) Ketidakberdayaan. (2) Ansietas. (3) Risiko
6
bunuh diri. (4) Halusinasi. (5) Resiko perilaku kekerasan. (6) Koping tidak efektif
(Purwati, 2013) (7) Harga diri rendah, ketika mereka menjalani hukuman masalah
psikologis tersebut dapat memburuk termasuk harga diri rendah (NANDA,2018)
dan (Maryatun, Yani, & Mustikasari, 2014).
7
Orang-orang awam berpikir bahwa narapidana tidak mempunyai masalah
kejiwaan atau bahkan beberapa dari mereka berpikiran bahwa seorang narapidana
tidak memerlukan terapi kejiwaan. Padahal seorang narapidana sangat
membutuhkan hal tersebut. Berdasarkan kasus, sebanyak 41,67% narapidana
mengalami kekerasan fisik dan sebanyak 36,11 % narapidana mengalami
kekerasan psikologis (Sukihananto, 2017). Hal tersebut membuktikan bahwa
seorang narapidana membutuhkan peran perawat dalam mengatasi masalah
psikologisnya. Ada lima peran seorang perawat yang menangani klien narapidana
(ANA, 2013). Peran yang pertama yaitu primary care (perawatan utama), peran
ini berupa pengecekan awal saat narapidana mengeluh merasakan sakit pada
tubuhnya. Peran yang kedua yaitu emergency care (perawatan darurat), apabila
terjadi luka secara tiba-tiba maka perawat akan merawat luka tersebut dan
menjamin transportasi darurat ke ruang gawat darurat apabila luka tidak dapat
diobati dengan first aid. Peran yang ketiga yaitu sebagai health promotion
(promosi kesehatan). Biasanya para narapidana tidak diperbolehkan untuk
berkomunikasi oleh sembarang orang, sehingga klien akan kurang informasi
mengenai kesehatan. Oleh sebab itu perawat memiliki peran besar dalam
mempromsikan gaya hidup yang sehat sambil mendidik klien. Peran keempat
yaitu, patient advocacy (advokasi pasien) perawat berupaya untuk melakukan
pembelaan terhadap kesehatan klien, karena pada dasarnya narapidana adalah
seorang manusia juga. Peran kelima yaitu, care coordination (perawatan
koordinasi), didalam LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) gerak gerik sangat
dibatasi oleh petugas setempat. Seorang perawat harus kreatif dalam
berkoordinasi perawatan yang sesuai untuk klien.
Namun tidak hanya pada klien narapidana, peran perawat sangat
dibutuhkan dalam menangani klien pengguna NAPZA. Biasanya pengguna
NAPZA akan terus menerus menggunakan NAPZA, apabila tidak terpenuhi maka
pengguna akan merasa stress dan cenderung ingin bunuh diri. Peran perawat
dibutuhkan pada klien pengguna NAPZA. Peran yang utama yaitu, meningkatkan
keterampilan koping, perawat perlu mengalihkan perhatian klien kepada hal-hal
yang positif seperti melakukan teknik relaksasi, olahraga, mendengarkan music
atau melakukan aktivitas sosial. Peran lainnya yaitu sebagai edukator, perawat
8
harus mempunyai kemampuan proses belajar mengajar yang baik dan tentunya
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai NAPZA. Peran lainnnya yaitu
sebagai advokat, peran ini dilaksanakan dengan upaya untuk melindungi klien,
membantu dan mendukung klien dalam membuat keputusan (Videbeck, 2011)
9
adalah Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakcukupan
stimuli (Herdman & Kamitsuru, 2018). Langkah ketiga, membuat perencanaan
dengan membuat tujuan dan hasil yang diharapkan. Tujuan dan hasil yang
diharapkan dari asuhan keperawatan ini adalah klien mampu berkomunikasi
verbal, mampu berkomunikasi menggunakan tulisan, mampu menginterpretasikan
pesan yang diterima, mampu saling bertukar pesan dengan orang lain, dan mampu
menginterpretasikan bahasa lisan (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2016).
Langkah kempat, perawat melakukan intervensi yang akan diberikan kepada anak
autism. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2013) beberapa
intervensi yang dapat dilakukan, di antaranya:
10
sering berlari mengelilingi rumah dengan tujuan yang tidak jelas. Kaji peran dan
hubungan yang dimiliki anak, biasanya anak tidak berhasil di sekolah, baik secara
akademis maupun social. Terakhir, melakukan pemeriksaan fisik. Hasil dari
pemeriksaan fisik pada anak ADHD, yaitu rambut yang halus, lipatan-lipatan
epikantus, kerutan tunggal di telapak tangan, dan terdapat gangguan di dalam
koordinasi motorik halus.
11
Proses keperawatan pada kelompok KDRT dimulai dengan
melakukan pengkajian. Pengkajian yang dilakukan, antara lain
mengkaji data-data psikososial yang terdiri dari data subjektif
dan data objektif. Data subjektif seperti klien merasa takut dan cemas
hingga panik, sedangkan data objektif seperti klien menunjukkan respons
terkejut berlebihan dan pola tidur tidak teratur. Kaji
juga mengenai pola aktivitas sehari-hari dan melakukan pemeriksaan fisik,
biasanya klien dengan KDRT memiliki hematoma pada beberapa bagian tubuh
akibat kekerasan yang diterima. Langkah kedua, menetapkan diagnosis.
Salah satu diagnosis yang dapat ditetapkan berdasarkan data-
data dari tahap pengkajian terhadap kelompok KDRT, yaitu risiko
sindrom pascatrauma berhubungan dengan pengalaman kejadian traumatik
(Herdman & Kamitsuru, 2018). Langkah ketiga, membuat perencanaan dengan
membuat tujuan dan hasil yang diharapkan. Tujuan dan hasil yang diharapkan dari
asuhan keperawatan ini adalah klien mampu mengenali hubungan yang bersifat
kekerasan, mampu sembuh dari trauma psikologis dan fisik, serta mampu
memiliki hubungan yang positif (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2016).
Langkah kempat, perawat melakukan intervensi yang akan diberikan kepada anak
ADHD. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2013) beberapa
intervensi yang dapat dilakukan, antara lain: Menjadi pendengar yang aktif,
mengurangi kecemasan klien, melakukan konseling, memberikan dukungan
spiritual klien, meningkatkan harga diri klien, dan mengajarkan terapi relaksasi.
Langkah kelima, yaitu evaluasi. Evaluasi akan sangat bergantung
pada intervensi yang dilakukan. Evaluasi bukanlah akhir dari
proses keperawatan, melainkan mekanisme berkelanjutan yang
memastikan kualitas intervensi.
12
diterima kembali dalam masyarakat agar kepercayaan diri seorang narapidana
dapat kembali (Pratama, 2016). Contoh kasus pada narapidana yang mengalami
gangguan jiwa adalah risiko bunuh diri. Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping mal adaptif (Ah. Yusuf, Firyasari, & Nihayati, 2014). Asuhan keperawatan
pada risiko bunuh diri dapat diawali dengan pengkajian. Pada proses pengkajian
perawat harus mengkaji tingkat risiko bunuh diri, faktor predisposisis, presipitasi,
mekanisme koping, dan sumber koping pasien. Proses keperawatan selanjutnya
yaitu diagnosis, berdasarkan dari data yang telah dikaji dapat menetapkan
diagnosisi keperawatan misalnya Risiko Bunuh Diri Berhubungan dengan Harga
Diri Rendah. Proses keperawatan selanjutnya adalah perencanaan atau tindakan
keperawatan, strategi pelaksanaan pada pasien tujuannya agar pasien tetap aman
dan selamat. Tindakan yang dilakukan perawat adalah menemani pasien terus
menerus sampai dapat dipindahkan ke tempat yang aman, menjauhkan semua
benda yang berbahaya dan memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum
obatnya. Tindakan strategi pelaksanaan keluarga tujuannya agar keluarga
bereperan serta melindungi anggota keluarga yg mengancam atau mencoba bunuh
diri. Tindakan perawat yang harus dilakukan adalah menganjurkan keluarga untuk
ikut mengawasi pasien serta jangan pernah meninggalkan pasien sendirian dan
mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak melamun sendiri.
Proses selanjutnya adalah evaluasi, evaluasi pada kasus risiko bunuh diri
adalah untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap
aamn dan selamat dan untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau
melakukan percobaan bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai
dengan kemampuan keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga
yang mengancam atau mencoba bunuh diri (Ah. Yusuf et al., 2014)
13
Peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien penyalahgunaan
dan ketergantungan napza sangat diperlukan. Prinsip tindakan keperawatan pada
pasien tersebut disesuaikan dnegan masalah keperawatan yang timbul. Misalnya,
pada kondisi overdosis maka usahakan pasien tidak mengalami ancaman
kehidupan yang dapat menimbulkan kematian (Fitryasari & Nihayati, 2015).
14
meningkatkan motivasi pasien untuk berhenti, keluarga dapat mengenal masalah
ketidakmampuan anggota keluarganya berhenti menggunakan napza, dan keluarga
dapat menjelaskan cara merawat pasien napza. Tindakan yang dilakukan perawat
pada Strategi Pelaksanaan 1 keluarga pasien tersebut yaitu pertama
mendiskusikan, diantaranya masalah yang dialami keluarga, tanda, gejala,
penyebab, dan akibat penggunaan napza, tahapan penyembuhan, kondisi yang
perlu dirujuk, dan cara merawat. Kedua adalah melatih cara merawat pasien.
Tindakan Strategi Pelaksanaan 2 keluarga pasien tersebut yaitu mengevaluasi cara
merawat pasien, mendiskusikan cara memotivasi pasien, dan menjelaskan
pentingnya pengawasan minum obat (Keliat et al, 2006)
15
kebenarannya (KBBI, 2016). Hal inilah yang banyak mempengaruhi
pemikiran seseorang untuk bertindak mengikuti tren dan isu apakah yang
sedang terjadi di sekitarnya, yang padahal keberadaan isu yang diperolehnya
belum tentu benar.
16
gangguan perilaku dan emosi (tunalaras) yang dimana gangguan perilaku dan
emosi ini memiliki taraf, mulai dari taraf ringan hingga berat. Kategori
terakhir yaitu anak dengan gangguan belajar spesifik, yang terdiri atas anak
lamban belajar (slow learner), anak autis, dan anak ADHD atau biasa disebut
dengan anak hiperaktif.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang
melekat pada semua individu sejak lahir dan secara kodrat sudah diberikan
langsung uleh Tuhan Yang Maha Esa yang keberadaannya tidak dapat dicabut,
dan dirampas, serta wajib dihormati, dan dilindungi oleh negara. Oleh
karenanya pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, dan menjamin hak setiap warga negaranya tanpa diskriminasi.
Tidakan diskriminasi dapat terjadi apabila ada pembatasan, pengucilan,
pelecehan yang bersifat langsung maupun tak langsung membedakan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kelompok dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya (Hidayat, n.d).
Hak asasi ini juga berlaku pada anak berkebutuhan khusus, dimana telah di
sebutkan pada Undang Undang No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
atau disabilitas fisik pasal 5 yang menjelaskan bahwa “ setiap penyandang
cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan ” dan di dalam Undang – Undang No.23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak pasal 51 menjelaskan bahwa “ Anak yang
menyandang cacat fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan
aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa “ (Aini, 2011).
17
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama – sama dengan peserta didik pada umumnya. Pada
pasal 2 disebutkan bahwa tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk
memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan fisik emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhannya, dan mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keberagaman, dan tidak diskriminatif bagi
semua peserta didik.
Menurut Taylor (dalam Ratna, 2013) sebagai seorang perawat, yang dapat
dilakukan ketika berhadapan dengan seorang anak berkebutuhan khusus ialah
memberikan dukungan sosial berupa perhatian secara emosi, bantuan
instrumental, pemberian informasi, dan dukungan penilaian. Perhatian secara
emosi dapat diekspresikan dengan kasih sayang, cinta atau empati yang
bersifat memberikan dukungan. Lalu dalam hal bantuan instrumental melalui
barang-barang atau jasa yang dibutuhkan ketika sedang mengalami masa-masa
stres.
18
2.2.2 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Korban KDRT
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai trend dan isu. Trend dan isu sangat
erat kaitannya dengan hukum dan HAM, terutama trend dan isu mengenai
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika dilihat dari sisi perawat psikiatri,
konteks hukum dan etika penting untuk semua perawat psikiatris karena
fokusnya adalah perhatian pada hak pasien dan kualitas perawatan yang
mereka terima (Stuart, 2013). Hak pasien yang disebutkan oleh Stuart
19
termasuk dalam hak-hak asasi manusia (HAM). Menurut Stuart (2013) setiap
negara memiliki hukum yang berbeda, sehingga perawat psikiatri harus
mengetahui dan memahami hukum yang ada di negara tempat ia tinggal
termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum dimana semua
pennduduk di dalamnya terikat oleh peraturan dan hukum yang berlaku. Di
Indonesia sendiri, hukum mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
di atur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 mengenai penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT).
Perempuan atau istri dalam suatu keluarga merupakan korban yang paling
banyak ditemukan dalam KDRT yang terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga
yang biasa terjadi kepada istri sudah melanggar hak asasi dari istri tersbut.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 mengenai
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) Bab II Pasal 3
disebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas: penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan
gender, nondiskriminas, dan perlindungan korban. Adapun HAM yang
dilanggar oleh pelaku kekerasan dalam rumah tangga diantaranya:
20
dapat terlihat kekerasan dalam rumah tangga juga menyebabkan dampak
buruk bagi psikologis korban diantaranya adalah tekanan mental,
menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak
berdaya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, keinginan
untuk bunuh diri (Baquandi dkk, 2009).
21
Narapidana juga menjadi salah satu kelompok khusus yang kesehatan
jiwanya perlu diperhatikan oleh perawat. Melihat hal ini, narapidana
digolongkan menjadi kelas-kelas tertentu sesuai dengan usia terpidana, jenis
kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan yang dilakukan, dan
kriteria lain yang sesuai kebutuhan atau perkembangan pembinaan, hal ini
diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Handoko,
2017). Penggolongan yang ada ini dapat menjadi bahan pembelajaran perawat
sebelum turun tangan kepada klien narapidana untuk mengenali klien terlebih
dahulu.
Tren terhadap narapidana yang sedang dibicarakan oleh kalangan
masyarakat ialah terkait stress yang dialami narapidana saat di sedang di lapas.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada seorang warga binaan
pria bernama S, 35 tahun di Lembaga PemasyarakatanKlas IA Semarang
mengungkapkan bahwa para warga binaan memiliki tekanan stres yang cukup
tinggi. S mengungkapkan bahwa didalam LP tersebut antar warga binaan
sering terjadi pertengkaran yang diakibatkan kesalahpahaman atau merasa
tersindir atas ucapan dari warga binaan lain dan perilaku tidak wajar yang
dilakukan didalam blok dimana masih banyak warga binaan lain didalam blok
tersebut. Para narapidana bahkan ada yang samapi bunuh diri. Berdasarkan
data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM
tahun 2006, angka bunuh diri di Lapas dan Rutan cukup tinggi, yaitu sejumlah
8 orang narapidana dan 11 orang tahanan.
Selain itu, tren yang sedang terjadi yaitu kasus pelanggaran HAM terhadap
narapidana. Kasus pelanggaran HAM terhadap narapidana menunjukkan
bahwa lemahnya kebijakan operasional dalam perlindungan HAM terhadap
narapidana. Kasus yang terjadi terhadap narapidana terjadi di Lembaga
Permasyarakatan Cebongan Sleman DIY, yang dikemukakan oleh Siti Noor
Laila dari Komnas HAM kepada Rakyat Merdeka bahwa “ada indikasi
pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan ataas empat tahanan penghuni
Sub Anggrek 5 di Cebongan yang dilakukan sebelas anggota Kopassus.
Indikasi pelangaran HAM tersebut adalah pelanggaran atas hak hiudp
seseorang, hak atas rasa aman, hak perlindungan harta kekayaan, harta benda,
22
nyawanya , serta hak dari penganiayanaan” (Prabowo, 2016). Terkait masalah
HAM di Indonesia khususnya di bidang hukum terutama mengenai
perlindungan HAM di bidang penegakan hukum masih bersifat diskriminatif.
Terkait dengan perlindungan HAM terhadap narapidana di lembaga
permasyarakatan, sudah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan bahwa narapidana berhak
melakukan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan
rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengjaran, nendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, dan
hak lainnnya (Hartini., 2015).
Sementara itu, isu yang sedang dibicarakan oleh masyarakat terkait stigma
masyrakat terhadap seorang narapidana yang dianggap sebagai orang
persakitan oleh sebagian orang, maka seolah-olah seorang narapidana tidak
mempunyai hak apapun. Menurut Wing & Kevin (2013) sikap masyarakat
yang cenderung menjauhi mantan narapidana merupakan hambatan untuk
mereka kembali ke lingkungan sosial. Menurut Utari, Fitria & Rafiyah (2012)
dalam penelitiannya menuliskan bahwa mantan narapidana saat ini masih
dipandang negatif oleh masyarakat. Pandangan negatif masyarakat terhadap
mantan narapidana memberikan dampak masalah psikososial yang
memerlukan bantuan dari petugas yang berkompeten dalam mengatasi
masalahnya (Brunto & Hopkins, 2014).
Peran perawat dalam menghadapi tren dan isu pada narapidana adalah
dengan mempertimbangkan faktor kepribadian terhadap pembentukan konsep
diri narapidana. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif dapat diintegrasikan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Kemudian seorang perawat juga
dapat memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri pada narapidana yang perilakunya menyimpang sehingga perawat
memiliki kompetensi psikologi yang dapat digunakan untuk memberikan
layanan kesehatan yang sesuai kebutuhan (Manik, 2008).
23
2.2.4 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Pengguna NAPZA
Tren yang terjadi pada klien pengguna NAPZA yaitu peningkatan jumlah
Individu yang menyalahgunakan NAPZA. Diperkirakan didunia saat ini ada
450 juta orang mengalami gangguan mental. WHO memperkirakan 121 juta
orang kini menderita depresi, 1,7% penduduk dunia mengalami depresi karena
penyalahgunaan NAPZA. Angka kejadian depresi akibat penyalahgunaan
NAPZA pada setiap negara bervariasi dari 0,4% - 4% (Wirawan, 2007).
Yang menjadi isu klien pengguna NAPZA yaitu hak rehabilitasi dan
dekriminalisasi pengguna NAPZA pada saat ini masih menjadi tanda tanya.
24
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54
menyatakan, pengguna narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Namun, para pengguna NAPZA masih dikriminalisasi atau
diperlakukan sama seperti pelaku tindak kriminal dan banyak yang dihukum
masuk penjara. Menurut Hawari (2004), orang yang menyalahgunakan
NAPZA, seringkali disebabkan karena yang bersangkutan mengalami
kecemasan dan atau depresi. Untuk mengatasi kecemasan dan atau depresinya
itu ia menggunakan NAPZA. Oleh karena itu, orang dengan keadaan seperti
itulah yang seharusnya perlu ditolong dan diobati.
25
tersebut dapat digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat (Supriyatna,
2014).
Proses terapi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ada dua,
yaitu terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis. Terapi farmakologis
dengan penggunaan obat-obatan, sedangkan terapi non-farmakologis dapat
berupa psikoedukasi, Cogntive Behavior Therapy (CBT), Social Skill Training
(SST), family therapy dan Assertive Community Traetment (ACT). Terapi
psikososial atau non-farmakologis mempunyai beberapa manfaat karena dapat
meningkatkan interaksi sosial di masyarakat. Kedua bentuk terapi yang
dijabarkan tersebut ditujukan untuk membantu proses pemulihan (recovery)
bagi para penderita gangguan mental (Sarjana dkk, 2015).
26
pekerjaan (Cavelty dkk, 2012;Roe dkk, 2011;Silverstain&Bellack, 2008 dalam
Surjana dkk, 2015).
Dalam proses recovery, klien diarahkan secara mandiri, hal ini dilakukan
karena setiap individu mempunyai rancangan unik untuk mencapai tujuan
kehidupan masing-masing (Stuart, 2013). Komponen yang kedua yaitu
27
berfokus pada individu maksudnya adalah individu memiliki keunikan masing-
masing dalam pertahanan diri, kebutuhan, preferensi, pengalaman masa lalu,
dan latar belakang budaya yang akan mempengaruhi proses recovery (Stuart,
2013). Komponen yang ketiga yaitu pemberdayaan. Klien memiliki wewenang
untuk memilih dari berbagai pilihan dan ikut berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat yang akan memengaruhi kehidupan klien (Stuart, 2013).
Komponen yang keempat yaitu holistik.
Komponen dari proses recovery yang keenam yaitu strengts based seperti
kemampuan koping dan nilai individu yang melekat perlu dibangun secara
kuat sebagai pertahanan klien dalam berhubungan di lingkungan masyarakat.
Proses recovery akan berjalan lebih cepat jika klien berinteraksi dengan orang
lain dalam hubungan suportif dan berbasis kepercayaan (Stuart, 2013).
Komponen yang ketujuh adalah peer support, klien didorong dan ikut terlibat
dalam suatu kelompok bersama klien lain dengan aktivitas berbagi tentang
pengetahuan dan keterampilan khusus serta pembelajaran sosial (Stuart, 2013).
Komponen yang kedelapan adalah respect atau penghargaan. Penghargaan
yang diberikan oleh masyarakat kepada klien sangat penting dilakukan dalam
hal seperti melindungi hak-hak klien dan menghilangkan diskriminasi serta
28
stigma (Stuart, 2013). Komponen yang kesembilan adalah tanggung jawab
dimana klien memiliki tanggung jawab pribadi untuk perawatan diri serta
proses recovery seperti dalam hal strategi koping untuk meningkatkan
kesehatan pribadi. Komponen yang terakhir yaitu harapan.
1. Kesehatan
Maksudnya kesehatan dijadikan untuk mengatasi atau mengelola penyakit
atau gejala seseorang dan membuat pilihan yang sehat dan informasi yang
mendukung kesejahteraan fisik dan emosional.
2. Rumah / Tempat Tinggal
Tempat tinggal yang stabil dan aman menjadi salah satu recovery support.
Di dalam rumah (tempat tinggal) klien dibimbing untuk dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
3. Tujuan (Purpose)
Maksudnya adalah dalam melakukan recovery support memiliki tujuan
supaya klien memiliki kemandirian, pendapatan, dan sumber daya untuk
berpartisipasi dalam masyarakat.
4. Komunitas
Komunitas termasuk ke dalam recovery support karena didalam komunitas
disitu akan terjaling hubungan dan jejaring sosial yang menyediakan
dukungan, persahabatan, cinta, dan harapan.
29
Proses recovery didukung melalui hubungan dan jejaring sosial. Ini sering
melibatkan anggota keluarga yang menjadi tempat pertama dalam pemulihan
orang yang mereka cintai. Konsep ketahanan dalam recovery juga penting bagi
anggota keluarga yang membutuhkan akses ke dukungan yang disengaja yang
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Dukungan dari teman
sebaya dan teman juga sangat penting dalam melibatkan dan mendukung
individu dalam recovery (SAMHA, 2019).
2.3.5. Tahapan dalam Recovery
30
asa dan kesepian. Pada fase ini, orang telah mencapai titik di mana mereka
menerima bahwa apa yang terjadi pada mereka membutuhkan bantuan orang
lain. Pada fase living with, seseorang akan berdamai dengan ketidakmampuan
mereka dan merasa yakin untuk mengelolanya. Pada fase terakhir, seseorang
merasa terhubung dengan baik dengan diri mereka sendiri; untuk yang
lainnya; untuk berbagai kehidupan, pembelajaran, dan lingkungan kerja, dan
rasa makna dan tujuan dalam hidup. Secara umum, kehidupan mereka tampak
seimbang dan stabil (Spaniol, Wewiorski, Dunn & Chamberlin, 2011).
31
menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Recovery merupakan proses dimana seseorang mampu untuk hidup,
bekerja, belajar, dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya.
Recovery berimplikasi terhadap penurunan atau pengurangan gejala secara
keseluruhan (Ware et al, 2008 dalam Stuart 2013). Aspek terpenting
terpenting dari recovery didefinisikan oleh setiap individu dengan pertolongan
dari pemberi layanan kesehatan jiwa dan orang-orang yang sangat penting
dalam kehidupanya. Individu menerima dukungan pemulihan melalui aktivitas
yang didefinisikan sebagai rehabilitadi yang merupakan proses menolong
seseorang kembali kepada level fungsi tertinggi yang dapat dicapai. Recovery
kesehatan jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi,
perilaku dan kognitif yang bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan
memaksimalkan kecukupakan diri (Stuart, 2013).
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas.
Komitmen ini sesuai dengan hasil Konfrensi Nasional I Keperawatan Jiwa
pada bulan Oktober 2004, bahwa pelayanan keperawatan diarahkan pada
tindakan prefentif dan promotif. Hal ini sejalan dengan paradigma sehat yang
digariskan WHO dan dijalankan Departemen Kesehatan RI, bahwa upaya
proaktif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya
proaktif ini melibatkan banyak profesi termasik psikiater dan perawat.
Penanganan kesehatan jiwa bergeser pada upaya kuratif perawatan Rumah
Sakit menjadi perawatankesehatan jiwa masyarakat. Pusat kesehatan jiwa
masyarakat akan memberikan pelayanan di Rumah berdasarkan wilayah
kerjanya, diharapkan pasien dekat dengan keluarganya sebagai sistem
pendukung yang dapat membantu pasien mandiri dan boleh berfungsi sebagai
individu yang berguna.
32
pengelolaan atau manajemen keperawatan. Dalam hubungan perawat dengan
pasien, ada beberapa peran perawat dalam keperawatan kesehatan jiwa,
meliputi kompetensi klinik, advokasi pasien dan keluarga, tanggung jawab
keuangan, kerjasama antar disiplin ilmu di bidang keperawatan, tanggung
gugat sosial, dan parameter etik legal.
33
3. Meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya hubungan antara reaksi
emosional diri sendiri dengan perilaku defensif atau bertahan terhadap
stress dan adaptasi.
4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
kognitif dan afektif (Nurhalimah, 2016).
2.4.3. Model Terapi Aktivitas Kelompok
1. Model fokal konflik,
Pimpinankelompok perlu memfasilitasi dan memberikan kesempatan pada
anggota untuk mengekspresikan perasaan dan penyelesaian masalah.
2. Model komunikasi,
Menggunakan prinsip komunikasi dan komunikasi terapeutik.
3. Model interpersonal,
Menurut Sullivan semua tingkah laku digambarkan melalui hubungan
interpersonal. Pada teori tersebut terapis bekerja dengan individu dan
kelompok dan anggota kelompok belajar dari interaksi antar anggota dan
terapis.
4. Model psikodrama.
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berperan sesuai dengan
peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang lalu. Model ini dilakukan
secara spontan serta memberi kesempatan pada anggota untuk berperan di
luar situasi spesifik yang pernah terjadi (Yusuf et al, 2015).
2.4.4. Tahapan atau Fase Terapi Aktivitas Kelompok
1. Fase Pra Kelompok
Fase pertama mulai terbentuknya kelompok baru. hal yang perlu dilakukan
yaitu menentukan siapa ketua dan anggota dalam kelompok tersebut (Yusuf et
al, 2015). kelompok juga menentukan dimana dan kapan kegiatan dilakukan
serta sumber apa yang dibutuhkan dan proses evaluasi yang akan dilakukan
(Stuart, 2013).
2. Fase Awal Kelompok
Tahapan fase awal yaitu orientasi, konflik, dan kohesif (Yalom (2005)
dalam Stuart, 2013). Tahap orientasi pemimpin kelompok melakukan kontrak
dengan para anggota kelompok serta mengarahkan perencanaan dan tujuan
34
yang akan dilakukan kelompok. Pada tahap konflik, terjadi beberapa konflik
pada anggota dan perasaan juga untuk bermusuhan. Pada fase tersebut,
pemimpin perlu memfasilitasi para anggota kelompok untuk mengekspresikan
perasaannya dan membantu kelompok mengenal penyebab konflik serta
mencegah perilaku yang tidak produktif (Stuart, 2013). Kemudian, pada tahap
kohesif para anggota sudah berpikir bahwa perbedaan bukan sesuatu yang
perlu dikhawatirkan dan pemimpin harus senantiasa mengayomi para anggota
yang ada di dalam kelompok.
3. Fase Kerja Kelompok
Produktivitas setiap anggota bertambah karena pada tahap ini setiap
anggota saling membantu anggota lainnya untuk mencapai tujuan dan
mencegah hal yang dapat menurunkan produktivitas kelompok. Pada fase
terminasi yaitu fase perpisahan baik sementara maupun benar-benar berakhir.
Fase terminasi evaluasi dilakukan untuk berfokus pada pencapaian yang
terjadi. Terminasi yang sukses ditandai dengan kepuasan dari kelompok yang
bersangkutan serta pengalaman yang di dapat, apabila fase terminasi terjadi
ketika kelompok sudah berpisah dan tujuan mereka belum terselesaikan maka
fase tersebut dinamakan fase premature termination.
4. Fase Terminasi
2.4.5. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Jenis terapi aktivitas kelompok (TAK) menurut Nurhalimah (2016) :
1. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Terapi yang menggunakan akivitas sebagai stimulus yang terkait dengan
pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Fokus
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang
mengalami kemunduran orientasi seperti gangguan persepsi; halusinasi,
menarik diri , kurang inisiatif atau ide.
2. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Mempunyai tujuan meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien
dengan isolasi sosial seperti kemampuan komunikasi verbal pasien, berlatih
mematuhi peraturan, berinteraksi, berpartisipasi dengan klien lain
(Nurhalimah, 2016).
35
Jenis terapi aktivitas kelompok (TAK) menurut Yusuf, Fitryasari, dan
Nihayati (2015) :
1. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensori pasien
melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, dan ucapan. Aktivitas tersebut berupa
TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar music, TAK stimulasi
sensori menggambar. dan TAK stimulasi sensori menonton TV/video.
2. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas
Pasien dihadapkan pada kenyataan yang ada di sekitar pasien. Aktivitas
dapat berupa 3 sesi yaitu, sesi I pengenalan orang, sesi II pengenalan
tempat, dan sesi III pengenalan waktu.
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi
Dengan membantu pasien untuk melakukan sosialisasi dengan individu
yang ada di sekitar pasien. Terdapat 7 Aktivitas yang dilakukan yaitu, sesi I
menyebutkan jati diri, sesi II mengenali jati diri anggota kelompok, sesi III
bercakap-cakap dengan anggota kelompok. sesi IV menyampaikan dan
membicarakan topik percakapan, sesi V menyampaikan dan membicarakan
masalah pribadi dengan orang lain, sesi VI bekerja sama dalam permainan
sosialisasi kelompok, dan terakhir sesi VII menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAK sosialisasi yang telah dilakukan.
4. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang pernah dialami.
Terdapat 4 Aktivitas yang diberikan yaitu, sesi I menonton TV, sesi II
membaca majalah/koran/artikel, sesi III gambar, sesi IV Mengenal perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan.
5. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan
Harga Diri
dengan melatih pasien untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri
sehingga mampu menghargai diri sendiri. Terdapat 4 sesi aktivitas yang
diberikan sesi I identifikasi hal positif diri, sesi II menghargai hal positif
36
orang lain, sesi III enetapkan tujuan hidup yang realistis.
37
mengatakan bahwa terapi lingkungan atau milieu therapy merujuk pada terapi
sosiolingkungan dimana sikap dan tindakan staf dalam pemberian layanan
perawatan pada pasien ditentukan berdasar kebutuhan emosional dan
interpersonal klien.
2.2 Tujuan
Tujuan terapi lingkungan sendiri yaitu membantu efektivitas
pemberian asuhan kepeqrawatan jiwa terutama agar klien mempu
mengidentifikasi alternative dan solusi masalah. Di samping itu, menurut
Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E, (2015) terapi lingkungan
mempunyai tujuan mengembangkan keterampilan emosional dan sosial yang
akan menguntungkan kehidupan setiap hari, dengan cara memanipulasi
lingkungan atau suasana lingkungan sebagai tempat pasien untuk
mendapatkan perawatan seperti di rumah sakit bagi pasien yang tidak rawat
inap.
2.3 Karakteristik Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan ini mempunyai karakteristik umum berdasarkan
Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E, (2015), beberapa karakteristik
tersebut yaitu :
1. Komunikasi yang Terbuka
Komunikasi terbuka yang dimaksud adalah komunikasi dua arah dimana
kedua belah pihak saling mengerti pesan yang dimaksud tanpa adanya hal
yang disembunyikan.
2. Distribusi Kekuatan/Otonomi
Pasien diberi kebebasan untuk memilih, mengungkapkan perasan dan
menjadi dirinya sendiri agar pasien merasa bahwa dia juga mempunyai
otonomi sendiri
3. Struktur Interaksinya,
Sedangkan struktur interaksi yang dibangun yaitu interaksi terapeutik
dimana perawat menjadi ujung tombak utama yang berhadapan langsung
dengan pasien selama 24 jam. Interaksi perawat-pasien selalu dimulai dari
tahapan-tahapan awal pengkajian sampai dengan evaluasi.
4. Aktivitas Kerja,
38
Fokus dengan kegiatan yang ingin dilakukan oleh pasien, seperti
menyalurkan hobi
39
keluarga pasien. Untuk dapat membangun interaksi yang positif tersebut
perawat harus menguasai kemampuan.
4 . Aspek Emosional
Sikap dasar yang hendaknya dibangun yakni memperlihatkan sikap
yang tulus, jujur atau dapat dipercaya, hangat, tidak defensif, empati,
peka terhadap perasaa dan kebutuhan pasien, serta bersikap spontan dalam
memenuhi kebutuhan pasien (Stuart, 2013).
5. Aspek Spiritual
Memaksimalkan manfaat dari pengalaman, pengobatan, dan perasaan
damai bagi pasien.pemberian penguatan terhadap perilaku positif yang
telah dilakukan pasien dalam hal spiritual alan memotivasi pasien
melakukannya lebih baik sebagai dampak dari peningkatan harga diri
pasien (Yusuf et al., 2015).
2.5. Peran Perawat dalam Pemberian Terapi Lingkungan
1. Pengasuh (Mothering Care)
Peran seorang perawat dalam mothering care yakni perawat juga harus
mampu membantu pasien mengenal batasan-batasan dan menerima risiko
akibat perilakunya (Yusuf et al., 2015).
2. Manajer
Peran perawat sebagai manajer yakni perawat harus memperhatikan
tingkat perkembangan pasien. Sebagai perencana, perawat melakukan
pengkajian untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi dan
kebutuhan pasien sebelum melakukan asuhan keperawatan. Sebagai manajer,
perawat harus dapat mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan untuk
pasien dari pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi
(Yusuf et al., 2015).
2.6. Terapi Psikofarmaka
Beberapa penyakit mental dianggap sebagai gangguan fisik yang
merupakan hasil dari malfungsi dan/ malformasi otak (Halter, 2014). Hal ini
memicu penggunaan psikofarmakologi sebagai terapi dan tentunya menjadi
tantangan tersendiri dengan psikodinamik gangguan jiwa. Bermula, pada abad
20 yang hanya terdapat terapi somatik dalam psikiatri, yaitu pasien dirawat
40
dengan terapi syok insulin, wet sheet packs, mandi es, terapi
electroconvulsive, dan psikosurgeri (Townsend, 2014). Setelah penelitian
lebih lanjut, baru ditemukan psikotropika untuk gangguan jiwa sebelum 1950,
yaitu obat penenang dan amfetamin, hanya terapi psikofarmaka yang
sederhana.
Gangguan jiwa sebagian besar disebabkan oleh ketidakseimbangan proses
penghantaran rangsang pada otak. Disregulasi terjadi dalam proses otak yang
kompleks, yaitu struktur komunikasi melalui transmisi neurotransmiter
(Stuart, 2013). Maka, fungsi utama psikofarmaka adalah sebagai penyeimbang
disregulasi yang terjadi khususnya pada sistem neurotransmiter. Terapi ini
terdiri dari berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat, efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku dan biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015). Dapat
disimpulkan, terapi ini berfokus pada pemulihan kinerja saraf dan kontrol diri
pasien dengan gangguan jiwa yang dapat mempengaruhi perilaku pemakai
apabila digunakan diluar ambang batas. Dalam pemakaiannya psikofarmaka
mempunyai beberapa jenis, yaitu antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan
antimanik.
2.6.1 Psikofarmaka antipsikotik
Antipsikotik merupakan jenis psikofarmaka yang berperan sebagai
blocker neurotransmiter dopamine. Antipsikotik disebut “khas” atau
“konvensional” digunakan untuk mengobati psikosis (Stuart, 2013).
Klasifikasi antipsikotik diantaranya, yaitu derivate fenotiazin dan benzamide
(Yusuf et al., 2015). Selain itu, digunakan untuk pengobatan skzofrenia dan
gangguan psikotik lainnya setelah adanya revolusi pengobatan. Dari tahun
1990, terjadi peningkatan spektrum antipsikotik menjadi lebih luas lagi
dengan efektivitas terapi yang tinggi dan efek samping berbeda dari
sebelumnya. Antipsikotik ini disebut dengan “atipikal” atau “novel”. Kedua
jenis antipsikotik ini memiliki efektivitas yang sama dan fungsi utamanya
untuk pengobatan skizofrenia, gangguan schizoaafektif, organik sindrom otak
dengan psikosis (halusinasi & delusi), gangguan delusi, dan gangguan bipolar
41
(Stuart, 2013). Hal ini menjadikan antipsikotik sebagai pilihan pertama untuk
perawatan psikotik dan gangguan bipolar.
Pengobatan ini termasuk ke dalam semua tingkat keparahan, yaitu akut
dan pemeliharaan. Dalam Stuart (2013) antipsikotik juga dapat mengobati
agresivitas dan masalah perilaku yang terlihat pada pasien dengan pervasive
developmental disorders dan demensia & delirium dengan agitasi dan psikosis
pada lansia. Penggunaan jangka pendek dapat diindikasikan pada depresi berat
dan dapat mengurangi nada vokal. Secara keseluruhan efek samping terapi ini
berkisar dari masalah tolerabilitas yang relatif kecil (seperti mulut kering),
sangat tidak menyenangkan (seperti konstipasi, akatisia (kegelisahan motorik),
disfungsi seksual), nyeri (seperti dystonia akut), kecacatan fisik (berat badan
naik dan tardive dyskinesia), dan sampai mengancam jiwa (miokarditis dan
agranulositosis) (Gray & Stroup, 2018). Selain itu, efek utama lainnya seperti
gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), dan juga
memiliki efek sedative serta efek ekstrapiramidal (Yusuf et al., 2015).
2.6.2 Psikofarmaka Antidepresan
Antidepresan menghambat pengambilan norepinefrin dan/ serotonin dan
mengatur area otak yang memproduki zat tersebut. Serotonin, norepinefrin,
dan neurokimia lainnya adalah disregulasi gangguan mood (Stuart, 2013).
Antidepresan merupakan golongan obat-obatan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif (Yusuf et al., 2015). Klasifikasi antidepresan
diantaranya, yaitu golongan trisiklik, tetrasiklik, monoaminoksidase inhibitor
(MAOI), dan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) (Yusuf et al.,
2015).
Antidepresan bertanggung jawab dalam meningkatkan suasana hati dan
emosi serta menangani gangguan kecemasan (Stuart, 2013). Maka, pasien
dengan riwayat percobaan bunuh diri, cacat berat ketika depresi, depresi berat
berulang, gangguan kecemasan, atau depresi tingkat pertama dapat dilakukan
perawatan jangka panjang menggunakan antidepresan. Antidepresan memiliki
kefektifan kerja dalam mengobati depresi, uniknya penghentian terapi ini
tinggi dilakukan. Hal ini dikarenakan efek jangka pendek yang dirasakan oleh
para pengguna yang cukup mengganggu aktivitas. Jenis obat yang paling
42
sering dihentikan penggunaannya adalah dari golongan SSRI yang mana jenis
ini juga yang umum diresepkan psikiater. Penggunaan yang sering oleh
psikiater karena SSRI hanya memiliki efek pendek tetapi tidak memiliki efek
Panjang. SSRI sering menyebabkan efek samping gastrointestinal, insomnia,
sakit kepala, kecemasan, dan disfungsi seksual (Goldstein & Goodnick, dalam
Crawford et al, 2014).
Efek samping persisten, yaitu gangguan sistem kardiovaskular, seperti
hipotensi, hipertensi dan perubahan EKG. Serta gangguan sistem otonom
akibat efek antikolinergik, seperti obstipasi, mulut dan tenggorokan kering,
mual, sakit kepala (Yusuf et al., 2015). Sehingga, antidepresan tidak
menyebabkan kecanduan fisik, ketergantungan psikologis, atau euphoria, dan
tidak ada potensi penyalahgunaan (Stuart, 2013). Pasien dengan depresi berat
dan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan menggunakan ECT
sebagai pendamping antidepresan (Yusuf et al., 2015). Dalam Baghai &
Moller (2008), bahwa indikasi penggunaan ECT ini pasien dengan depresi
melankolik (seperti gangguan mood), katatonik (gangguan seumur hidup dan
kemungkinan kambuh setelah diagnosis, seperti skizofrenia dan gangguan
mood), dan psikotik. Sedangkan, kontraindikasinya pda pasien yang
mengalami masalah sistem saraf pusat, masalah kehamilan, dan dalam kondisi
lemah.
2.6.3 Antiansietas
Antiansietas bekerja sebagai agonis reseptor yang kuat dari penghambat
neurotransmitter GABA (Stuart, 2013). Obat ini dapat diklasifikasikan
menjad:
1) Derivate benzodiazepine, terdiri dari klordiazopoksid (librium), diazepam
(valium), bromazepam (lexotan), dll
2) Derivat gliserol, contohnya adalah jenis meprobamat (deparon)
3) Derivate barbitrat, contohnya adalah fenobarbital (luminal)
Obat anti ansietas seperti diazepam (valium) dapat diberikan pada pasien yang
mengalami gangguan kepribadian paranoid (Ripli, 2015). Obat ini berguna
untuk mengurangi ansietas tanpa mempengaruhi fungsi kognitif pada pasien
namun obat ini berefek sedatif dan berpotensi menyebabkan ketergantungan
43
khususnya obat pada golongan benzodiazepin. Selain itu, obat ini juga
memiliki berbagai efek samping lainnya yaitu dapat menimbulkan sakit
kepala, rasa mengantuk yag berat, nafsu makan bertambah, disartria dan
gezala putus zat seperti gelisah, tremor, sampai kejang-kejang (Yusuf et al,
2015).
2.3.4 Anti Manik
Obat jenis ini dapat bermanfaat untuk kasus gangguan afektif bipolar
khususnya episodik mania. Seperti pada kasus pasien dengan skizoafektif,
obat anti manik sangat diperlukan untuk mengatasi keadaan manik, namun
untuk menekan kekambuhan sekecil apapun pada pasien, obat antimanik ini
harus diberikan dalam jangka waktu yang lama (Anggraeni & Miranda, 2016).
Obat ini bekerja pada gangguan bipolar disorder dengan cara meningkatkan
efek penghambat neurotransmitter GABA dan mengurangi pengaruh kindling
pada penyakit tersebut (Stuart, 2013). Jenis obat anti manik terdiri dari;
golongan garam lithium (teralith, priadel); karbamazepin (tegretol, temporal);
dan asam valproate. Dalam pemberian obat ini terdapat hal yang perlu
diperhatikan yaitu kadar atau dosisnya dalam plasma yaitu antara 0,8 – 1,2
meq/L. Apabila tidak sesuai dengan kadar tersebut dapat obat antimanik dapat
berbahaya khususnya pada ginjal. Selain itu, obat ini juga memiliki efek
samping, diantaranya adalah dapat menyebabkan diare dan muntah-muntah,
tremor, vertigo, rasa lelah, kesadaran menurun, oliguria dan anuria, edema,
konvulsi dan ataksia (Yusuf et al, 2015).
2.3.5 Peran Perawat dalam Pemberian Psikofarmaka
Menurut Stuart (2013), terdapat tujuh peran peran perawat dalam pemberian
psikofarmaka, diantaranya yaitu:
1) Penilaian pasien, perawat sebelum memberikan psikofarma, terlebih dahulu
melakukan penilaian pasien secara menyeluruh seperti riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, evaluasi psikiatri, penilaian
sosiokuktural dan riwayat pengobatan. Hal ini dilakukan agar asuhan
keperawatan yang diberikan bersifat tepat dan menyeluruh.
2) Koordinasi obat dengan terapi modalitas, perawat dalam membuat rencana
keperawatan perlu mengintegrasikan antara perawatan farmakologis dengan
44
nonfarmakologis dengan cara yang efektif, aman dan dapat diterima oleh
pasien. Hal ini dilakukan agar pengobatan pasien gangguan jiwa dapat
memberikan hasil yang terbaik.
3) Memantau efek samping obat, setelah pasien minum obat perawat
diharapkan mampu memantau efek sampig obat secara konsisten. Hal ini
dilakukan untuk mengukur standar efek obat pada gejala target awal,
mengevaluasi efek samping obat, mengobati apabila terdapat reaksi yang
merugikan pada pasien agar pemberian obat pada pasien dapat tercapai dengan
optimal.
4) Pendidikan mengenai pengobatan, salah satu tugas seorang perawat yaitu
mengedukasi pasien dan keluarga mengenai obat-obatan. Hal ini penting
dilakukan agar pasien dan keluarga memiliki informasi megenai obat mereka
seperti manfaat obat serta risiko potensial yang dapat terjadi dan juga agar
pasien patuh terhadap pengobatan yang diberikan.
5) Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi, dalam hal ini
perawat berperan untuk memaksimalkan efek terapeutik obat dan menimalkan
efek samping obat pada pasien (Yusuf et al, 2015).
6) Program pemeliharaan obat, dalam hal ini perawat dapat menjadi
seseorang yang sering dihubungi oleh pasien jika memiliki pertanyaan
berkelanjutan mengenai obat, efek obat pada kehidupan sehari-hari dan
penyakit.
7) Uji coba obat penelitian klinis, sebagai salah satu anggota interdisipliner
perawat dapat ikut serta dalam penelitian ilmiah. Perawat dapat memiliki
peran sebagai pengumpul data, asisten peneliti dan peniliti utama.
2.5. Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa
45
kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang
menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
secara terapeutik sebagai kiatnya (Stuart, 2013). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa manajemen pelayanan dalam keperawatan jiwa adalah proses
mengkoordinasikan sistem pelayanan pemenuhan kebutuhan manusia yang
memiliki gangguan kejiwaan oleh organisasi keperawatan jiwa secara
efisien, efektif, dan rasional.
2.5.2 Prinsip Community Mental Health Nursing (CMHN)
Keperawatan kesehatan jiwa komunitas atau Community Mental
Health Nursing (CMHN) adalah pelayanan keperawatan yang
komprehensif, holistik, dan paripurna yang berfokus pada masyarakat
yang sehat jiwa, rentan terhadap stress (risik gangguan jiwa) dan dalam
tahap pemulihan serta pencegahan kekambuan (gangguan jiwa) (Keliat,
2009).
1. Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif
- Pencegahan primer
Pelayanan yang bertujuan peningkatan kualitas kesehatan
jiwa dan mencegah gangguan jiwa. Program yang diberikan
seperti pemberian pendidikan, program dukungan sosial,
sosialisasi, dan pencegahan stigma. Jenjang pelayanan yang
sering melakukan adalah puskesmas.
- Pencegahan sekunder
Pelayanan sekunder bertujuan untuk deteksi dini dan
memberikan penanganan segera jika adanya tanda-tanda
gangguan jiwa. Program yang dilakukan seperti
menemukan dan melakukan penjaringan kasus,
memberikan pengobatan dan terapi modalitas, bekerja sama
dengan perawat komunitas, menangani kasus bunuh diri,
memfasilitasi self-help group, menyediakan hotline service,
dan melakukan tindak lanjut. Pelayanan ini biasanya
dilakukan di Rumah Sakit Umum (RSU).
- Pencegahan tersier
46
Pelayanan tersier bertujuan untuk rehabilitasi dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Pelayanan yang
diberikan seperti dukungan sosial dan program rehabilitasi.
Pelayanan ini biasanya dilakukan di Rumah Sakit Umum
(RSU) dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
2. Pelayanan keperawatan jiwa holistik
Pelayanan keperawatan holistik, yaitu pelayanan menyeluruh
pada semua aspek kehidupan manusia yaitu aspek bio-psiko-
sosio-kultural dan spiritual (Keliat, Akemat, Helena, &
Nurhaeni, 2011)
3. Pelayanan keperawatan jiwa paripurna
Pelayanan keperawatan paripurna, yaitu pelayanan pada semua
jenjang pelayanan yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa
spesialis, pelayanan kesehatan jiwa integratif dan pelayanan
kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat (Keliat,
Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2011).
Pelayanan yang komprehensif, holistik, dan paripurna tersebut
diwujudkan melalui pendekatan proses keperawatan:
1. Pengkajian
Perawat jiwa mengkaji respon pasien selama bercerita dan
temukan tanda-tandanya. Jika ditemukan tanda-tanda, langsung
mengisi form pengkajian. Format pengkajian meliputi: keluhan
utama, riwayat kesehatan jiwa, pengkajian psikososial, dan
pengkajians status mental.
2. Diagnosis
Diagnosis yang sering muncul pada anak-anak dan remaja
seperti depresi dan perilaku kekerasan. Pada dewasa sering
ditemukan harga diri rendah, isolasi sosial, halusinasi, waham,
perilaku kekerasan, risiko bunuh diri, dan defisit perawatan diri.
Pada lansia sering ditemukan demensia dan depresi.
3. Perencanaan
47
Perencanaan dibuatkan untuk individu, keluarga dan komunitas
pasien.
4. Tindakan
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan pasien
saat itu, jadi tidak semua rencana dapat dilakukan.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan melihat perkembangan pasien dan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan
sebuah masalah.
2.5.3 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas:
Pencatatan dan Pelaporan
Untuk memantau kegiatan keperawatan jiwa komunitas baik bagi
kepentingan pasien maupun tenaga keperawatan yang memberikan
pelayanan kesehatan jiwa baik kepada individu, keluarga maupun
komunitas (Keliat, 2011). Terdapat 3 mekanisme pencatatan dan
pelaporan:
1. Input
Mekanisme input dilakukan dengan mencari pasien melalui
pendeteksian dini. Kemudian, perawat akan membuat laporan dan
menentukan pasien yang perlu diberikan intervensi.
2. Proses
Pasien yang sudah ditentukan membutuhkan pelayanan keperawatan
jiwa akan dibuatkan pencatatan asuhan keperawatan. Pencatatan yang
dilakukan berupa asuhan keperawatan, format rujukan bagi pasien
yang membutuhkan penanganan lanjutan, dan perencanaan pulang
pasien.
3. Output
Mekanisme ini dilakukan untuk mengetahui indicator
pelayanan yang diberikan seperti jumlah kunjungan ke pasien
di masyarakat, jumlah kasus yang ditemukan, dan jumlah
asuhan keperawatan pada pasien dan keluarga serta jumlah
kasus yang dirujuk.
48
2.5.4 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas:
Pengorganisasian Masyarakat
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas dilakukan pada
sekelompok masyarakat, maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan
pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian masyarakat adalah
pengorganisasian masyarakat sebagai target pelayanan dan pengorganisasian
tenaga perawat untuk memberikan pelayanan. Dalam pengorganisasian
masyarakat kita juga harus memahami piramida pelayanan kesehatan jiwa
komunitas dan pengorganisasian sumber daya kesehatan [ CITATION Kel11 \l 1033 ].
49
c. Guru.
Tokoh- tokoh tersebut selain dapat menjadi target pelayanan
mereka dapat menjadi mitra tim kesehatan jiwa komunitas yang
berhubungan dengan perannya di lingkungan masyarakat. Contoh
penanganan pada tingkat ini yaitu terapi Ruqyah yang dilakukan oleh
tokoh agama muslim. Terapi ruqyah ini berdasarkan penelitian yang
sudah dilakukan dapat membantu menyembuh orang yang terkena
kesurupan. Dimana pada fakta kesehtan jiwa kesurupan adalah
merupakan salah satu gangguan jiwa dalam bentuk halusinasi
[ CITATION Ari11 \l 1033 ]. Tenaga kesehatan yang berperan adalah
perawatan kesehatan jiwa komunitas dan kader kesehatan jiwa.
3. Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar. Pada
tingkat ini yang berperan yaitu tenaga kesehatan yang telah dilatih
CMHN yang bekerja secara tim yang disebut tim kesehatan jiwa
puskesmas. Tenaga kesehatan yang berperan adalah perawat
kesehatan jiwa, dokter umum, dan kader kesehtan jiwa [ CITATION
Kel11 \l 1033 ].
4. Pelayanan kesehatan jiwa masyarakat kabupaten/kota. Pada tingkat
ini pelayanna dilakukan oleh tim kesehatan yang bertanggung jawan
di tingkat kabupaten/kota. Tim kesehatan jiwa kabupaten/kota terdiri
dari psikiater, psikolog klinik dan perawat jiwa ataupun dokter umum.
5. Piramida tingkat lima yaitu unit pelayanan kesehatan jiwa di Rumah
Sakit Umum. Rumah sakit umum daerah diharapkan sudah memiliki
pelayanan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien gangguan jiwa.
Tenaga kesehatan yang berperan adalah psikiater, psikolog klinis, dan
perawta kesehtan jiwa.
6. Piramida tingkat enam yaitu pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit
jiwa. Rumah sakit jiwa merupakan pusat pelayanan kesehatan jiwa
yang merupakan rujukan terakhir untuk tempat pemberi pelayanan
pada pasien dengan gangguan jiwa. Tenaga kesehatan yang berperan
psikiater, psikolog klinis, dokter umum dan perawat kesehatan jiwa
[ CITATION Kel11 \l 1033 ].
50
Penerapan pengorganisasian masyarakat dalam keperawatan kesehatan
jiwa komunitas, yaitu:
51
keperawatan pada pasien dan keluarga serta jumlah kasus yang
dirujuk.
52
Rencana harian karu: Asuhan keperawatan, supervise
katim dan perawat pelaksana, dan supervisi selain
perawat dan kerjasama dengan unit lain terkait.
Rencana harian katim: Penyelenggara asuhan
keperawatan, melakukan supervisi perawat pelaksana,
kolaborasi dengan dokter atau tenaga lain, dan lokasi
pasien sesuai perawat dinas.
Rencana harian perawat pelaksana: Tindakan
keperawatan sejumlah pasien sesuai shiftnya.
2. Rencana bulanan
Rencana bulanan karu: Membuat jadwal & memimpin
case conference serta pendidikan kesehatan keluarga,
membuat jadwal dinas dan memimpin rapat bulanan
perawat serta rapat tim kesehatan, membuat jadwal
supervisi & penilaian kinerja katim & perawat
pelaksana, dan embuat audit dokumentasi & laporan
bulanan.
Rencana bulanan katim: Mempresentasikan kasus
dalam case conference, memimpin Pendidikan
kesehatan kelompok keluarga, dan elakukan supervisi
perawat pelaksana.
3. Rencana tahunan
Rencana tahunan karu: Menyusun laporan tahunan yang
berisi MPKP baik proses kegiatan (4 pilar parktik yang
sudah dilakukan) maupun evaluasi mutu pelayanan,
melaksanakan rotasi tim untuk penyegaran anggota tim,
penyegaran terkait materi MPKP khusus kegiatan yang
memiliki pencapaian rendah, dan pengembangan SDM
dalam bentuk rekomendasi peningkatan jenjang karier
perawat
- Pengorganisasian
53
Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk
mencapai tujuan melalui penugasan suatu kelompok tenaga
keperawatan, menentukan cara pengoordinasian aktivitas
yang tepat, baik vertical maupun horizontal, yang
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi
(Keliat & Akemat, 2012)
1. Struktur organisasi MPKP merupakan pembagian kerja
dan bagaimana fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda
dilakukan.
2. Daftar dinas ruangan yang terdiri dari jadwal dinas,
perawat yang bertugas, dan penanggung jawab shift.
3. Daftar dinas pasien yang berisi nama pasien, nama
dokter, nama perawat ketua tim, nama perawat
pelaksana yang bertanggung jawab pasien, dan alokasi
perawat saat menjalankan dinas di setiap shift.
- Pengarahan
54
memberikan reward. Membudayakan dalam
tim untuk membudayakan pemberian pujian
yang tulus antar karyawan.
Melakukan doa bersama sebelum memulai
kegiatan yang dilakukan setiap pergantian
dinas.
Membantu mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah setiap personil.
Melakukan pengembangan jenjang karier dan
kompetensi para staff.
Melakukan sistem reward yang adil sesuai
dengan kinerja yang telah dilakukan staf.
- Pengendalian
• Compensatory Reward
• Proffesional Relationship
• Care Delivery
Pendekatan penyelesaian masalah pasien yang sistematis
dalam pemberian asuhan keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan fase pengumpulan data subjektif
dan objektif secara sistematis untuk dapat menentukan
tindakan keperawatan individu, kelompok, keluarga
maupun komunitas (Keliat, 2012).
2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan jiwa yang dapat muncul berupa:
a. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
b. Isolasi social
c. Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
d. Perubahan proses piker: Waham
e. Risiko perilaku kekerasan
f. Risiko bunuh diri
55
g. Defisit perawatan diri
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Tindakan diberikan kepada pasien, keluarga, dan
komunitas berdasarkan rencana yang sudah dibuat. Di
ruang MPKP, pasien diklasifikasikan berdasarkan
tingkat kebutuhannya menurut tindakan keperawatan.
Menurut Gillies (1995) dalam Keliat (2012), rata-rata
pasien membutuhkan perawatan sehari selama empat
jam, antara lain:
a. self care: kurang dari 2 jam,
b. minimal care: 2 jam,
c. moderate care: 3,5 jam,
d. extensive care: 5-6 jam,
e. intensive care: 7 jam.
6. Evaluasi
Tindakan yang telah diberikan kepada pasien
didokumentasikan dengan menggunakan pendekatan
SOAP (subjektif, objektif, analisis, perencanaan).
Penugasan ini dimasukkan ke dalam jadwal aktivitas
pasien dan diklasifikasikan seperti:
a. Apakah tugas tersebut dilakukan secara mandiri (M)
b. Bantuan sebagian (B)
c. Bantuan total (T)
56
2.5.9. Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa: Kompensasi dan
penghargaan
Dalam MPKP Terdapat 5 pilar utama yaitu pendekatan
manajemen, penghargaan dan kompensasi, hubungan professional, nilai
professional dan sistem pemberian perawatan pasien. Pada ruang MPKP
dalam manajemen sumber daya manusia berfokus kepada perekrutan,
seleksi, kontrak kerja, orientasi, penilaian kinerja dan pengembangan staf
perawat. Proses perekrutan tenaga perawat di kategorikan menjadi
(Keliat&Akemat, 2009):
1. MPKP Profesional I, diharapkan berpendidi Ners, sarjana
keperawatan dengan minimal jenjang karier Perawat Klinik
3 (PK3) dan untuk perawat pelaksana minimal
berpendidikan D3 dengan jenjang karier PK 2
2. MPKP Profesional II, perawat pada tingkat ini adalah Ners,
bahkan terdapat juga gelar spesialis jiwa
3. MPKP Profesional III, semua anggota nya berlatar
belakang pendidikan Ners, spesialis keperawatan jiwa,
bahkan ada gelar Doktor.
4. MPKP Pemula, memiliki latar belakang pendidikan D3 dan
PK 1 (sudah lulus orientasi) dan untuk perawat pelaksana
dapat SPK dengan jenjang karier minimal PK1.
57
karu dan katim (Keliat&Akemat,2009). Masa orientasi atau pelatihan
merupakan suatu pelatihan mengenai informasi mengenai MPKP dan
informasi umum tentang RS. Pelatihan yang dilaksanakan menggunakan
metode klasikal selama 3 hari, praktik lapangan selama 3 hari, dan praktik
kerja selama 6 bulan dengan di damping oleh Kepala Bidang Keperawatan
dan konsultan pembimbing.
58
Pada umumnya dalam hubungan profesional dapat terjadi komunikasi,
sistem pendokumentasian, operan tugas jaga, konferensi awal dan akhir,
kerjasama secara tim dan kemampuan dalam memimpin. Pada ruang MPKP
hubungan yang terjadi yakni secara internal yaitu komunikasi horizontal
yang terjadi antar katim, antar perawat pelaksana, sedangkan komunikasi
vertical yaitu karu dan katim serta perawat pelaksana dan antar katim dan
perawat pelaksana. Selain itu komunikasi diagonal dilakukan oleh perawat
dengan tenaga kesehatan lainnya.
59
dalam pemberian pelayanan, dan kesinambungan pemberian
pelayanan.
2.5.11 Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa:
Monitoring
Monitoring merupakan teknik pemantauan terhadap aktivitas
organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian,
diagnosis,monitoring atau pemantauan yang efektif itu merupakan
suatu pusat peran perawat yang bergantung pada teori dan pemahaman
makna dari suatu penyakit. Pemantauan sendiri terdapat pada beberapa
proses yaitu pada saat penilaian performa dan diagnosis, pada saat
melakukan administer dan melakukan intervensi, serta yang terakhir
memonitor dan memastikan bahwa kualitas asuhan keperawatan yang
diberikan sudah sesuai (Videbeck,2011).
60
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Pelayanan kesehatan keperawatan jiwa di Indonesia masih dinilai kurang baik.
Belum meratanya fasilitas rumah sakit jiwa disetiap daerah. Dalam
pelaksanaannya pelayanan keperawatan jiwa, memberikan terapi berupa
61
farmakologi dan nonfarmakologi, sebagai upaya meningkatkan kesehatan jiwa
dan menurunkan risiko gangguan kejiwaan. Dalam memberikan pelayanan
kesehatan, perawat tidak dapat bekerja sendiri melainkan membutuhkan
kolaborasi. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga ilmu manajemen untuk
mengatur pembagian tugas dalam sebuah tim. Pelayanan kesehatan keperawatan
jiwa di Indonesia masih dinilai kurang baik. Belum meratanya fasilitas rumah
sakit jiwa disetiap daerah. Dalam pelaksanaannya pelayanan keperawatan jiwa
memberikan terapi berupa farmakologi dan nonfarmakologi, sebagai upaya
meningkatkan kesehtan jiwa dan menurunkan risiko gangguan kejiwaan.
3.2. Saran
Pelayanan kesehatan dan pengobatan untuk pasien dengan gangguan jiwa
perlu terus ditingkatkan. Baik dari fasilitas kesehatan maupun dari kompetensi
petugas kesehatan terkait. Sebagai perawat yang dianggap sebagai tenaga
kesehtan yang paling dekat dengan pasien, sudah seharusnya kita dapat
memberikan pelayanan terbaik pada pasien. Perawat harus mampu memberikan
konsep diri yang positif agar pasien dengan gangguan jiwa mampu menerima
perilaku baik dan menerapkannya pada dirinya sendiri. Perawat juga diharapkan
mampu melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan, edukator dan
koordinator dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
62
Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Retrieved from
https://kbbi.web.id/ diakses pada 11 Februari 2019
Arifin, Zinul dan Zulkhair. ( 2011). Gangguan Kesurupan Dan Terapi Ruqyah:
Penelitian Multi Kasus Di Pengobatan Alternatif Terapi Ruqyah Al-
Munawwaroh Dan Terapi Ruqyah Darul Mu’allijin Di Kota Malang,
Vol. 13,Iss.2.Diakses
melaluihttps://remotelib.ui.ac.id:2155/docview/2030968774?pq-
origsite=summon. Pada 9 Februari 2019.
63
k / p u b l i c a t i o n s /researchand-analysis/moj 11
Februari 2019.
Cahya, L. S. (2013). Adakah ABK di kelasku, bagaimana guru
mengenali ABK di sekolah. Yogyakarta: Familia.
64
Hidayat, E. ( n.d ). Perlindungan hak asasi Manusia dalam Negara
Hukum Indonesia. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/56534-ID-
none.pdf
Keliat, B., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2011). Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
65
Maryatun S, Yani A, & Mustikasari, (2014). Logoterapi meningkatkan harga diri
narapidana perempuan pengguna narkotika. Depok: Universitas
Indonesia.
Marquis, B.L dan Huston, C.J. (2009). Leadership Roles and management
functions in nursing: Theory and application. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
outcomes classification (NOC). (5th ed). Philadelphia: Elsevier.
Nova, renny., Hamid, Achir Yani S., dan Daulima, Novy H C. ( 2019). Family's
experience in caring for clients with suicidal risk in Indonesia.
455-463. Enfermería Global; Murcia. Diakses melalui
https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/2167224002?pq-
origsite=summon, pada 9 Februari 2019.
66
Paramarta, Y.A. (2015). Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan
HAM. Jurnal Hak Asasi Manusia Volume 6. Retrivied from
www.balitbangham.go.id
Potter , P.A., & Perry, A.G., (2005). Fundamental of nursing : Concepts, process
& practice, 4nd ed., Vol. 1. St. Louis: Mosby.
67
RS PGI Cikini Jakarta. Retrieved from: http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20300546-T30437%20-%20Hubungan%20penerapan.pdf
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed). St.
Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
68
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
69
Wing, HC., & Kevin, KC.(2013). The Mark of an Ex-Prisoner:
Pceived Discrimination and Self-Stigma of Young Men after
Prison in HongKong. University of Hong Kong, Hong Kong
SAR, China. Deviant Behavior.
Wirawan S, Sarlito. 2007. Psikologi Remaja. Ed Revisi 11. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
70