Anda di halaman 1dari 74

MAKALAH KONSEP KEPERAWATAN PADA

KLIEN DARI KELOMPOK RENTAN, KONSEP


RECOVERY DALAM KESEHATAN JIWA, TERAPI
MODALITAS, DAN MANAJEMEN PELAYANAN
KEPERAWATAN JIWA
KEPERAWATAN JIWA II

KELAS KEPERAWATAN
JIWA II-C

Disusun oleh:
Amiroh Fauziah A.G.A 1706038765
Asyifa 1706977941
Diah Safitri 1706038834
Melati Nabila Johan 1706978130
Santi Patmawati 1706978345
Siti Khotimah 1706038853

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa karena dengan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Konsep Keperawatan pada Klien dari
Kelompok Rentan, Konsep Recovery dalam Kesehatan Jiwa, Terapi
Modalitas, dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa” dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai hasil studi pustaka serta diskusi home group 5
untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa II.
Terima kasih kepada Ibu Ria Utami Panjaitan, SKp, M.Kep selaku
fasilitator untuk mata ajar Keperawatan Jiwa II, orangtua yang selalu
memberikan dukungan material maupun moral, juga kepada teman-teman
di kelas Keperawatan Jiwa II-C yang telah membantu proses pengumpulan
materi, serta semua pihak yang membantu dan mendukung hingga dapat
terselesaikannya makalah ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca agar lebih memahami “Konsep Keperawatan pada Klien dari
Kelompok Rentan, Konsep Recovery dalam Kesehatan Jiwa, Terapi
Modalitas, dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa”. Dengan begitu,
makalah ini turut andil dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini jauh kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang
membangun dari pembaca demi perbaikan makalah selanjutnya.

Depok, 21 Februari 2019

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR....................................................................................
........ ii

DAFTAR
ISI....................................................................................................
.......iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar
Belakang......................................................................................
.....1

1.2 Rumusan
Masalah......................................................................................1

1.2

Tujuan……………...........................................................................
.........1

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Konsep Keperawatan dari Klien Kelompok


Rentan.................................2

2.2 Tren dan Isue Keperawatan


Jiwa………….............................................15

2.3 Konsep Recovery dalam Kesehatan


Jiwa…............................................25

2.4 Terapi
Modalitas….................................................................................
32

2.5 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa……………..........................44

iii
BAB 3 PENUTUP

3.1

Kesimpulan..................................................................................
...........60

3.2

Saran……………............................................................................
.......60

DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................
.61

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat Indonesia yang sehat jiwa masih menjadi sebuah angan-angan
negara Indonesia untuk ke depannya. Hal tersebut dikarenakan jumlah
kasus gangguan jiwa semakin bertambah dan berdampak pada
penambahan beban negara serta turunnya produktivitas manusia untuk
jangka panjang. Data pravalensi dari Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, sebanyak 400.000 orang atau 1,7 per 1.000 penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat. Permasalahan kesehatan jiwa tersebut
diupayakan untuk diperbaiki dari akar-akar permasalahannya. Akar
masalah dari terjadinya gangguan jiwa adalah masalah kehidupan yang
dihadapi tanpa adanya mekanisme koping yang efektif. Hal tersebut
menyebabkan kelompok rentan gangguan jiwa akan menyebar hampir
menyeluruh di seluruh bagian wilayah Indonesia. Oleh karena itu, seluruh
masyarakat di Indonesia sudah seharusnya dikenalkan mengenai
pelayanan-pelayanan kesehatan jiwa yang dapat diakses di jenjang
manapun.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep keperawatan pada klien dari kelompok rentan?
2. Bagaimana tren dan isu keperawatan jiwa pada kelompok rentan?
3. Bagaimana konsep recovery dalam kesehatan jiwa?
4. Bagaimana terapi modalitas dan terapi psikofarmaka?
5. Bagaimana manajemen pelayanan dalam keperawatan jiwa?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui konsep keperawatan pada klien dari kelompok rentan
2. Mengetahui trend an isu keperawatan jiwa pada kelompok rentan
3. Mengetahui konsep recovery dalam kesehatan jiwa
4. Mengetahui terapi modalitas dan terapi psikofarmaka
5. Mengetahui manajemen pelayanan dalam keperawatan jiwa

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keperawatan pada Klien dari Kelompok Rentan (ABK, KDRT,
Narapidana, Pengguna NAPZA)
2.1.1 Definisi Kelompok Rentan (Autistik, hiperaktif, KDRT,
Narapidana dan Pennguna Napza)
Kelompok rentan yang menjadi perhatian keperawatan adalah mengenai
anak berkebutuhan khusus yang meliputi autistik dan hiperaktif, Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), narapidana, dan pengguna narkoba. Gangguan autistik,
yang paling dikenal dari gangguan perkembangan pervasif, lebih banyak terjadi
pada anak laki-laki daripada perempuan, dan biasanya diidentifikasi pada usia 18
bulan dan tidak lebih dari 3 tahun. Anak-anak dengan autisme menunjukkan
sedikit kontak mata dengan dan membuat sedikit ekspresi wajah terhadap orang
lain. Mereka menggunakan gerakan terbatas untuk berkomunikasi. Mereka
memiliki kapasitas terbatas untuk berhubungan dengan teman sebaya atau orang
tua. Mereka kurang menikmati kesenangan spontan, tidak mengekspresikan
suasana hati atau pengaruh emosional, dan tidak bisa bermain-main atau
mempercayai mainan.

Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) ditandai dengan


kurangnya perhatian, aktivitas yang berlebihan, dan impulsif. ADHD adalah
gangguan umum, terutama pada anak laki-laki, dan mungkin menyumbang lebih
banyak rujukan kesehatan mental anak daripada gangguan tunggal lainnya (Stuart,
2013). Rasio anak laki-laki dan perempuan berkisar dari 3: 1 di pengaturan
nonclinical ke 9: 1 di pengaturan klinis. Untuk menghindari diagnosis ADHD
yang berlebihan, spesialis yang memenuhi syarat seperti ahli saraf pediatrik atau
psikiater anak harus melakukan evaluasi untuk ADHD. Anak-anak yang sangat
aktif atau sulit ditangani di kelas dapat didiagnosis dan diperlakukan secara keliru
untuk ADHD. Beberapa dari anak-anak yang terlalu aktif ini mungkin menderita

2
stres psikososial di rumah, pengasuhan yang tidak memadai, atau kejiwaan
lainnya.

Kekerasan adalah respons emosional yang kuat, tidak nyaman, terhadap


provokasi yang nyata atau yang dirasakan. Kemarahan timbul ketika seseorang
frustrasi, terluka, atau takut. Kemarahan memberi energi pada tubuh secara fisik
untuk pertahanan diri, bila diperlukan, dengan mengaktifkan mekanisme respons
"lawan atau lari" dari sistem saraf simpatik. Ketika diekspresikan secara tidak
tepat atau ditekan, kemarahan dapat menyebabkan masalah fisik atau emosional
atau mengganggu hubungan (Videbeck, 2011).

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan


di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan dari pemasyarakatan adalah menekan pada
pembinaan dan pendidikan dengan berusaha untuk mengembalikan kehidupan
warga binaan pemasyarakatan, agar dapat kembali ketengah-tengah kehidupan
masyarakat seutuhnya. Terhadap keberhasilan pembinaan tersebut, maka unsur
yang sangat berperan adalah petugas pada Lembaga Pemasyarakatan, masyarakat
dan tentunya dari warga binaan pemasyarakatan itu sendiri.

Narapidana juga dapat menyalahgunakan bahan kimia, selain itu juga


dapat menghasilkan peningkatan kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga, pembunuhan, dan pelecehan dan penelantaran anak. Anak-anak pecandu
alkohol memiliki kemungkinan empat kali lebih tinggi daripada populasi umum
untuk mengembangkan masalah dengan alkohol (National Institute on Alcohol
Abuse and Alcoholism, 2007).

2.1.2 Fator Penyebab Terjadinya Masalah Psikosoial pada Kelompok


ABK (Autism Dan Hiperaktif), KDRT, Narapidana, dan Napza

Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal


meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan
trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan
kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan aluminium (Handojo,
2008). Beberapa faktor yang menyebabkan gangguan psikososial pada autisme
adalah gangguan neurologis. Gangguan neurologis dapat menyebabkan seorang
yang menderita autisme memiliki risiko untuk memutilasi dirinya sendiri,

3
gangguan interaksi sosial. Gangguan neurologis merupakan kelainan
perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah anak lahir dan
menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini
diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik. Faktor lainnya
ada faktor psikologis. Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang
mengasuh anak mereka yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin
(kurang hangat) dapat menyebabkan seorang anak yang memiliki kelainan
autisme cendrung menarik diri dari lingkungannya dan memiliki stimulasi sensori
yang sangart kurang dari aank anak lainnya. Faktor lainnya juga ada kurangnya
stimulus sensori yang menyebabkan seorang anak yang mengalami autisme
cendrung berisiko mengalami gangguan identitas diri.
Selain itu faktor yang dapat menyebabkan seorang anak yang memiliki
gangguan ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) berisiko mengalami
gangguan psikososial. Pertama, umpan balik yang negatif dari keluarga. Umpan
balik yang negatif dari orang tua sang anak dapat menyebabkan anak tersebut
berisiko mengalami harga diri rendah dan risiko ansietas
Peran perawat juga sangat dibutuhkan pada korban kekerasan pada rumah
tangga. Korban KDRT, biasanya mengalami gangguan psikososial akibat dari
perlakukan yang tidak sepantasnya. Faktor penyebab gangguan psikososial pada
korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah kekerasan fisik pada
korban. Kekerasan fisik dapat menyebabkan aseorang korban KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga) mengalami trauma mendalam sehingga menyebabkan
gangguan seperti ketidakberdayaan, keputusasaan, ketakutan,
ansietas, gangguan konsep diri rsiko isolasi sosial.
Perawat jiwa juga berperan membantu seseorang pengguna NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Narkotik adalah obat-obatan yang
bekerja pada susunan saraf pusat dan digunakan sebagai analgesik (pengurang
rasa sakit) pada bidang kedokteran. Psikotropika adalah obat-obatan yang efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan. Bahan adiktif adalah bahan yang apabila
digunakan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan. Pemakai dapat
merasa tenang, merasa segar, bersemangat, menimbulkan efek halusinasi, dan

4
memengaruhi suasana perasaan pemakai. Faktor yang dapat menyebabkan
gangguan psikososial pada pengguna NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif) antara lain, sindrom putus zat alkohol yang dapat menyebabkan beberapa
gangguan psikososial seperti halusinasi dan waham. Overdosis merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan gangguan psikososial pada pengguna NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Gangguan psikososial yang muncul
yaitu ansietas, potensi melukai diri, potensi bunuh diri.
Perawat jiwa juga berperan membantu seseorang narapidana. Mungkin hal
ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya, karena saya baru mngetahu bahwa
seorang perawat juga bisa bekerta di LAPAS (Lembaga Permasyarakatan).
Seorang narapidana sangat berisiko untuk mengalami suatu gangguan psikososial.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan psikososial pada
narapidana. Salah satuynya yaitu koping yang kurang efektif yang dapat
menyebabkan seorang narapidana mengalami risiko untuk bunuh diri, ansietas.
Faktor selanjutnya yaitu adanya omongan omongan orang yang merendahkan
seorang narapidana, sehingga narapidana tersebut mengalami harga diri rendah.
2.1.3 Masalah Psikosoial yang Dapat Dialami pada Kelompok ABK
(Autism dan Hiperaktif), KDRT, Narapidana, Napza

Ada dua tipe perilaku autisme, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan)
dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Perilaku eksesif adalah hiperaktif dan
tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul,
mendorong, dan terkadang anak menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku
defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit
sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat,
misalnya tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun (Yusuf
et.al, 2015). Masalah psikososial yang dapat dialami pada penderita autisme
adalah (1) Risiko mutilasi diri sendiri (2) Kerusakan interaksi sosial. (3)
Kerusakan komunikasi verbal . (4) Gangguan identitas diri. (Yusuf et.al, 2014)
dan (NANDA,2018).
Anak dengan tipe hiperaktif biasanya memiliki masalah dalam
memperhatikan instruksi, menyelesaikan tugas, berinteraksi dengan anak lain,
atau duduk tenang, dan kurang berhasil dalam tugas-tugas pekerjaan sekolah.

5
Mereka seringkali membuat masalah di rumah, dijuluki sebagai anak nakal di
sekolah, dan diganggu oleh teman-temannya. Keadaan ini membuat anak berpikir
bahwa dia tidak baik, dan membentuk konsep diri dan kepercayaan diri yang
rendah. (Betshaw & Perret, 1986 dalam Delphie, 2006). Masalah psikososial yang
dapat dialami pada penderita hiperaktif adalah (1) Kerusakan interaksi sosial. (2)
Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang disfungsi/umpan
balik negatif. (Yusuf et.al, 2014) dan (NANDA,2018).
Tindakan kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang
tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun
pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga. Masalah
psikososial yang dapat dialami penderita kekerasan dalam rumah tangga adalah
(1) Sindroma trauma perkosaan. (2) Ketidakberdayaan. (3) Keputusasaan. (4)
Ketakutan. (5) Ansietas. (6) Gangguan konsep diri yaitu harga diri rendah. (7)
Risiko isolasi sosial. (8) Risiko bunuh diri. (Yusuf et.al, 2014) dan
(NANDA,2018).
Kriminalitas merupakan masalah kompleks yang belum terpecahkah
sampai saat ini. Kriminalitas yang berulang terjadi karena susahnya mendapatkan
akses pekerjaan serta tidak adanya dukungan moral masyarakat. Profesi
keperawatan khususnya keperawatan jiwa sebagai pelayan kesehatan
berkewajiban membantu orang yang mempunyai permasalahan psikososial
termasuk narapidana dan mantan narapidana. Masalah psikososial yang dapat
dialami narapidana atau mantan narapidana berdasarkan penelitian Wiseno et.al,
2017 adalah (1) Isolasi sosial. (2) Risiko bunuh diri. (3) Harga diri rendah. (4)
Keputusasaan. (5) Ansietas. (6) Koping tidak efektif. (7) Ketidakberdayaan
(umumnya pada wanita) (8) Ketakutan (umumnya pada wanita). (NANDA,2018).
Zat adiktif atau paling dikenal kalangan masyarakat luas dengan istilah
narkoba adalah berasal dari kata narkotik dan bahan adiktif. Istilah tersebut
kemudian berkembang menjadi napza. Penggunaan heroin secara terus-menerus
mendorong terjadinya toleransi dan ketergantungan. Dosis yang terus meningkat
membuat penggunanya masuk dalam overdosis dan dapat memicu dorongan dari
keinginan bunuh diri (Kemenkes, 2010). Masalah psikososial yang dapat dialami
oleh pengguna NAPZA adalah (1) Ketidakberdayaan. (2) Ansietas. (3) Risiko

6
bunuh diri. (4) Halusinasi. (5) Resiko perilaku kekerasan. (6) Koping tidak efektif
(Purwati, 2013) (7) Harga diri rendah, ketika mereka menjalani hukuman masalah
psikologis tersebut dapat memburuk termasuk harga diri rendah (NANDA,2018)
dan (Maryatun, Yani, & Mustikasari, 2014).

2.1.4 Peran Perawat Terhadap Kelompok ABK (Autism Dan Hiperaktif),


KDRT, Narapidana, Napza
Anak yang memiliki gangguan autism dan hiperaktif sudah pasti akan
melakukan terapi. Peran perawat dapat membantu dalam hal jadwal-jadwal terapi
yang akan dilakukan oleh anak tersebut. Anak yang memiliki gangguan tersebut
cenderung akan menyendiri dari lingkungan sosial. Peran perawat dalam
mengatasi masalah ini adalah meningkatkan keterampilan koping dan harga diri.
Perawat harus menunjukkan kepada klien bahwa ia diterima sebagai individu
yang berguna meskipun perilakunya tidak diterima. Peran lainnya yaitu
meningkatkan interaksi sosial klien. Perawat dapat memberi model peran tentang
keterampilan dalam mempraktikkan interaksi sosial yang tepat. (Videbeck, 2011)

Klien yang mengalami kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),


mereka akan cenderung menyendiri dan malu untuk bercerita. Perawat berperan
dalam membantu klien dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Seorang perawat harus ahli dalam mengambil kepercayaan klien, karena klien
pada kasus tersebut akan tidak mudah untuk percaya dan menceritakan kejadian
yang dialaminya oleh siapapun. Apabila klien telah percaya dan menceritakan
masalah yang dialaminya, maka peran perawat adalah meningkatkan keamanan
klien. Perawat harus mengkaji secara berkesinambungan potensi klien untuk
membahayakan diri sendiri. Selain itu, membantu klien melakukan koping
terhadap stress dan emosi merupakan hal yang sangat penting. Contohnya apabila
klien merasa stress, maka gunakan teknik distraksi, seperti latihan fisik,
mendengarkan music, berbicara dengan orang lain atau melakukan hobi atau
aktivitas lain yang menyenangkan. Peran lainnya yaitu, bantu meningkatkan harga
diri klien. Hal tersebut juga merupakan peran penting dalam membantu klien
dengan kasus KDRT (Videbeck, 2011).

7
Orang-orang awam berpikir bahwa narapidana tidak mempunyai masalah
kejiwaan atau bahkan beberapa dari mereka berpikiran bahwa seorang narapidana
tidak memerlukan terapi kejiwaan. Padahal seorang narapidana sangat
membutuhkan hal tersebut. Berdasarkan kasus, sebanyak 41,67% narapidana
mengalami kekerasan fisik dan sebanyak 36,11 % narapidana mengalami
kekerasan psikologis (Sukihananto, 2017). Hal tersebut membuktikan bahwa
seorang narapidana membutuhkan peran perawat dalam mengatasi masalah
psikologisnya. Ada lima peran seorang perawat yang menangani klien narapidana
(ANA, 2013). Peran yang pertama yaitu primary care (perawatan utama), peran
ini berupa pengecekan awal saat narapidana mengeluh merasakan sakit pada
tubuhnya. Peran yang kedua yaitu emergency care (perawatan darurat), apabila
terjadi luka secara tiba-tiba maka perawat akan merawat luka tersebut dan
menjamin transportasi darurat ke ruang gawat darurat apabila luka tidak dapat
diobati dengan first aid. Peran yang ketiga yaitu sebagai health promotion
(promosi kesehatan). Biasanya para narapidana tidak diperbolehkan untuk
berkomunikasi oleh sembarang orang, sehingga klien akan kurang informasi
mengenai kesehatan. Oleh sebab itu perawat memiliki peran besar dalam
mempromsikan gaya hidup yang sehat sambil mendidik klien. Peran keempat
yaitu, patient advocacy (advokasi pasien) perawat berupaya untuk melakukan
pembelaan terhadap kesehatan klien, karena pada dasarnya narapidana adalah
seorang manusia juga. Peran kelima yaitu, care coordination (perawatan
koordinasi), didalam LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) gerak gerik sangat
dibatasi oleh petugas setempat. Seorang perawat harus kreatif dalam
berkoordinasi perawatan yang sesuai untuk klien.
Namun tidak hanya pada klien narapidana, peran perawat sangat
dibutuhkan dalam menangani klien pengguna NAPZA. Biasanya pengguna
NAPZA akan terus menerus menggunakan NAPZA, apabila tidak terpenuhi maka
pengguna akan merasa stress dan cenderung ingin bunuh diri. Peran perawat
dibutuhkan pada klien pengguna NAPZA. Peran yang utama yaitu, meningkatkan
keterampilan koping, perawat perlu mengalihkan perhatian klien kepada hal-hal
yang positif seperti melakukan teknik relaksasi, olahraga, mendengarkan music
atau melakukan aktivitas sosial. Peran lainnya yaitu sebagai edukator, perawat

8
harus mempunyai kemampuan proses belajar mengajar yang baik dan tentunya
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai NAPZA. Peran lainnnya yaitu
sebagai advokat, peran ini dilaksanakan dengan upaya untuk melindungi klien,
membantu dan mendukung klien dalam membuat keputusan (Videbeck, 2011)

2.1.5 Proses Keperawatan Pada Kelompok ABK (Autism dan Hiperaktif)


dan KDRT
Proses keperawatan pada kelompok anak berkebutuhan
khusus (Autism) dimulai dengan melakukan pengkajian.
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data secara
sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan
dan fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta
untuk menentukan pola respons klien saat ini dan waktu
sebelumnya (Carpenito-Moyet, 2005). Pengkajian yang dapat
dilakukan, seperti mengkaji riwayat anak ketika masih di dalam
kandungan, apakah anak saat dalam kandunga sering terpapar zat toksik
dari makanan yang dikonsumsi ibunya dan adanya cedera otak. Selanjutnya, kaji
status perkembangan anak, biasanya anak autism kurang merespon
orang lain, sulit konsestrasi, dan sulit mengenali bagian tubuh dan mengalami
kesulitan dalam belajar, sulit menggunakan ekspresi non-verbal, dan keterbatasan
kognitif. Kaji pola aktivitas sehari-hari, biasanya anak sering
menyendiri, asyik dengan pikirannya, dan sering marah tanpa alasan dan
dengan melakukan pemeriksaan fisik, biasanya hasil dari
pemeriksaan fisik, di antaranya tidak ada kontak mata pada anak, tertarik
pada sentuhan, terdapat ekolalia, tidak ada ekspresi non-verbal, sulit fokus pada
objek semula bila anak berpaling ke objek lain.

Langkah kedua, yaitu menetapkan diagnosis. Dengan data-


data yang sudah didapatkan dari pengkajian, maka salah satu
diagnosis yang dapat ditetapkan pada kelompok anak autism

9
adalah Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakcukupan
stimuli (Herdman & Kamitsuru, 2018). Langkah ketiga, membuat perencanaan
dengan membuat tujuan dan hasil yang diharapkan. Tujuan dan hasil yang
diharapkan dari asuhan keperawatan ini adalah klien mampu berkomunikasi
verbal, mampu berkomunikasi menggunakan tulisan, mampu menginterpretasikan
pesan yang diterima, mampu saling bertukar pesan dengan orang lain, dan mampu
menginterpretasikan bahasa lisan (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2016).
Langkah kempat, perawat melakukan intervensi yang akan diberikan kepada anak
autism. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2013) beberapa
intervensi yang dapat dilakukan, di antaranya:

 Memantau kecepatan bicara, tekanan, kecepatan, kuantitas,


volume, dan diksi.
 Memantau proses kognitif, anatomi, dan fisiologis yang terkait
dengan kemampuan bicara.
 Memodifikasi lingkungan untuk meminimalkan kebisingan yang
berlebihan dan mengurangi tekanan emosional.
 Instruksikan pasien untuk berbicara perlahan.
 Ulangi apa yang dikatakan pasien untuk memastikan keakuratan.
 Berkolaborasi dengan ahli patologi atau terapis keluarga dan bicara
untuk mengembangkan rencana komunikasi yang efektif.

Langkah kelima, yaitu evaluasi. Evaluasi akan sangat bergantung


pada intervensi yang dilakukan. Evaluasi bukanlah akhir dari
proses keperawatan, melainkan mekanisme berkelanjutan yang
memastikan kualitas intervensi.

Proses keperawatan pada kelompok anak berkebutuhan khusus


Attention Deficyt Hiperactivity Disorder (ADHD), yaitu dengan melakukan
pengkajian terlebih dahulu. Hal yang perlu dikaji, di antaranya riwayat penyakit
yang anak miliki, seperti anak mengalami kesulitan di sekolah dan bermain serta
menunjukkan perilaku overaktif bahkan sampai berperilaku membahayakan di
rumah. Kaji penampilan umum dan perilaku motorik anak, anak biasanya
memiliki gangguan dalam berkomunikasi, tidak dapat duduk dengan tenang, dan

10
sering berlari mengelilingi rumah dengan tujuan yang tidak jelas. Kaji peran dan
hubungan yang dimiliki anak, biasanya anak tidak berhasil di sekolah, baik secara
akademis maupun social. Terakhir, melakukan pemeriksaan fisik. Hasil dari
pemeriksaan fisik pada anak ADHD, yaitu rambut yang halus, lipatan-lipatan
epikantus, kerutan tunggal di telapak tangan, dan terdapat gangguan di dalam
koordinasi motorik halus.

Langkah kedua, menetapkan diagnosis. Salah satu


diagnosis yang dapat ditetapkan berdasarkan data-data dari
tahap pengkajian terhadap kelompok anak ADHD, yaitu Hambatan
interaksi sosial berhubungan dengan kurangnya keterampilan untuk meningkatkan
mutualitas (Herdman & Kamitsuru, 2018). Langkah ketiga, membuat
perencanaan dengan membuat tujuan dan hasil yang diharapkan. Tujuan dan hasil
yang diharapkan dari asuhan keperawatan ini adalah klien mampu bekerja sama
dengan orang lain, mampu menunjukkan kepekaan terhadap orang lain, mampu
menunjukkan sikap tenang, hangat, dan percaya terhadap orang lain, dan mampu
menggunakan sikap asertif yang sesuai (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson,
2016). Langkah kempat, perawat melakukan intervensi yang akan diberikan
kepada anak ADHD. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2013)
beberapa intervensi yang dapat dilakukan, di antaranya:

 Meningkatkan sosialisasi klien.


 Membantu memanajemen perilaku klien.
 Membantu klien melakukan koping yang efektif.
 Membantu meningkatkan stimulasi kognitif klien.
 Membantu membangun hubungan yang kompleks.
 Kolaborasi dengan keluarga untuk mendukung klien.

Langkah kelima, yaitu evaluasi. Evaluasi akan sangat bergantung


pada intervensi yang dilakukan. Evaluasi bukanlah akhir dari
proses keperawatan, melainkan mekanisme berkelanjutan yang
memastikan kualitas intervensi. Pada tahap evaluasi perawat
menentukan apakah klien telah terpenuhi atau belum tujuannya
(DeLaune & Ladner, 2011).

11
Proses keperawatan pada kelompok KDRT dimulai dengan
melakukan pengkajian. Pengkajian yang dilakukan, antara lain
mengkaji data-data psikososial yang terdiri dari data subjektif
dan data objektif. Data subjektif seperti klien merasa takut dan cemas
hingga panik, sedangkan data objektif seperti klien menunjukkan respons
terkejut berlebihan dan pola tidur tidak teratur. Kaji
juga mengenai pola aktivitas sehari-hari dan melakukan pemeriksaan fisik,
biasanya klien dengan KDRT memiliki hematoma pada beberapa bagian tubuh
akibat kekerasan yang diterima. Langkah kedua, menetapkan diagnosis.
Salah satu diagnosis yang dapat ditetapkan berdasarkan data-
data dari tahap pengkajian terhadap kelompok KDRT, yaitu risiko
sindrom pascatrauma berhubungan dengan pengalaman kejadian traumatik
(Herdman & Kamitsuru, 2018). Langkah ketiga, membuat perencanaan dengan
membuat tujuan dan hasil yang diharapkan. Tujuan dan hasil yang diharapkan dari
asuhan keperawatan ini adalah klien mampu mengenali hubungan yang bersifat
kekerasan, mampu sembuh dari trauma psikologis dan fisik, serta mampu
memiliki hubungan yang positif (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2016).
Langkah kempat, perawat melakukan intervensi yang akan diberikan kepada anak
ADHD. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2013) beberapa
intervensi yang dapat dilakukan, antara lain: Menjadi pendengar yang aktif,
mengurangi kecemasan klien, melakukan konseling, memberikan dukungan
spiritual klien, meningkatkan harga diri klien, dan mengajarkan terapi relaksasi.
Langkah kelima, yaitu evaluasi. Evaluasi akan sangat bergantung
pada intervensi yang dilakukan. Evaluasi bukanlah akhir dari
proses keperawatan, melainkan mekanisme berkelanjutan yang
memastikan kualitas intervensi.

2.1.6 Proses Keperawatan Pada Kelompok Narapidana dan Napza

Permasalahan yang dialami narapidana dalam menjalani kehidupan di


Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) diantaranya adalah perubahan hidup,
hilangnya kebebasan dan hak-hak yang semakin terbatas. Peran perawat sangat
diperlukan agar klien narapidana dapat memiliki harapan hidup kembali dan dapat

12
diterima kembali dalam masyarakat agar kepercayaan diri seorang narapidana
dapat kembali (Pratama, 2016). Contoh kasus pada narapidana yang mengalami
gangguan jiwa adalah risiko bunuh diri. Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping mal adaptif (Ah. Yusuf, Firyasari, & Nihayati, 2014). Asuhan keperawatan
pada risiko bunuh diri dapat diawali dengan pengkajian. Pada proses pengkajian
perawat harus mengkaji tingkat risiko bunuh diri, faktor predisposisis, presipitasi,
mekanisme koping, dan sumber koping pasien. Proses keperawatan selanjutnya
yaitu diagnosis, berdasarkan dari data yang telah dikaji dapat menetapkan
diagnosisi keperawatan misalnya Risiko Bunuh Diri Berhubungan dengan Harga
Diri Rendah. Proses keperawatan selanjutnya adalah perencanaan atau tindakan
keperawatan, strategi pelaksanaan pada pasien tujuannya agar pasien tetap aman
dan selamat. Tindakan yang dilakukan perawat adalah menemani pasien terus
menerus sampai dapat dipindahkan ke tempat yang aman, menjauhkan semua
benda yang berbahaya dan memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum
obatnya. Tindakan strategi pelaksanaan keluarga tujuannya agar keluarga
bereperan serta melindungi anggota keluarga yg mengancam atau mencoba bunuh
diri. Tindakan perawat yang harus dilakukan adalah menganjurkan keluarga untuk
ikut mengawasi pasien serta jangan pernah meninggalkan pasien sendirian dan
mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak melamun sendiri.

Proses selanjutnya adalah evaluasi, evaluasi pada kasus risiko bunuh diri
adalah untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap
aamn dan selamat dan untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau
melakukan percobaan bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai
dengan kemampuan keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga
yang mengancam atau mencoba bunuh diri (Ah. Yusuf et al., 2014)

Kelompok rentan selain narapidana, ada kelompok rentan penyalahgunaan


dan ketergantungan napza. Napza berupa zat yang bila masuk ke dalam tubuh
akan mempengaruhi tubuh, terutama pada susunan saraf pusat yang dapat
menyebabkan gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial ( Keliat et al, 2006).

13
Peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien penyalahgunaan
dan ketergantungan napza sangat diperlukan. Prinsip tindakan keperawatan pada
pasien tersebut disesuaikan dnegan masalah keperawatan yang timbul. Misalnya,
pada kondisi overdosis maka usahakan pasien tidak mengalami ancaman
kehidupan yang dapat menimbulkan kematian (Fitryasari & Nihayati, 2015).

Proses keperawatan pada pasien penyalahgunaan dan ketergantungan


napza dapat diawali dengan pengkajian. Data yang perlu dikaji pada kasus
tersebut diantaranya adalah pasien menggunakan napza, jenis napza yang
digunakan satu atau lebih, gejala intoksikasi atau putus zat, penyebab
menggunakan napza, motivasi berhenti, usaha berhenti berulang kali, waktu
paling lama tidak menggunakan napza, dan pasien mengatakan tidak mampu
mengatasi ketergantungannya. Proses keperawatan selanjutnya yaitu menetapkan
diagnosis keperawatan berdasarkan data yang telah dikaji sebelumnya. Diagnosis
keperawatan yang dipakai misalnya koping individu tidak efektif: belum mampu
mengatasi keinginan menggunakan zat.

Proses keperawatan selanjutnya yaitu perencanaan atau intervensi yaitu


tindakan apa yang harus dilakukan perawat kepada pasien maupun keluarga.
Tindakan keperawatan kepada pasien bertujuan agar pasien dapat mengatasi tanda
dan gejala intoksikasi atau putus zat, pasien dapat mengenali penggunakaan zat,
dan pasien dapat meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan
zat.Tindakan yang harus dilakukan Strategi Pelaksanaan 1 pada pasien tersebut
yaitu pertama mendiskusikan, diantaranya dampak penggunaan napza bagi
kesehatan, cara meningkatkan motivasi berhenti, dan cara mengontrol keinginan.
Kedua adalah melatih diantaranya, cara meningkatkan motivasi dan cara
mengontrol keinginan. Ketiga adalah membuat jadwal latihan. Tindakan Strategi
Pelaksanaan 2 pada pasien tersebut yaitu pertama mengevaluasi cara menontrol
keinginan (menghindar). Kedua adalah mendiskusikan diantaranya, cara
menyelesaikan masalah jika dituduh pakai lagi, dan cara hidup sehat. Ketiga
adalah melatih diantaranya, melatih cara menyelesaikan masalah dan cara hidup
sehat. Keempat adalah memasukan ke dalam jadwal latihan, dan kelima adalah
menjelaskan minum obat. Tindakan keperawatan untuk keluarga pasien dengan
penyalahgunaan dan ketergantungan napza bertujuan agar keluarga dapat

14
meningkatkan motivasi pasien untuk berhenti, keluarga dapat mengenal masalah
ketidakmampuan anggota keluarganya berhenti menggunakan napza, dan keluarga
dapat menjelaskan cara merawat pasien napza. Tindakan yang dilakukan perawat
pada Strategi Pelaksanaan 1 keluarga pasien tersebut yaitu pertama
mendiskusikan, diantaranya masalah yang dialami keluarga, tanda, gejala,
penyebab, dan akibat penggunaan napza, tahapan penyembuhan, kondisi yang
perlu dirujuk, dan cara merawat. Kedua adalah melatih cara merawat pasien.
Tindakan Strategi Pelaksanaan 2 keluarga pasien tersebut yaitu mengevaluasi cara
merawat pasien, mendiskusikan cara memotivasi pasien, dan menjelaskan
pentingnya pengawasan minum obat (Keliat et al, 2006)

Proses keperawatan selanjutnya adalah Evaluasi, pada tahap ini perawat


mengevaluasi dari Strategi Pelaksanaan 1 dan 2 kepada pasien serta Strategi
Pelaksanaan 1 dan 2 pada keluarga dan melihat hasilnya dengan metode SOAP
(Subjektif, Objektif, Assesment, dan Plan). Misalnya evaluasi pada pasien
penyalhagunaan dan ketergantungan napza adalah sebagai berikut S: Pasien
mengatakan akan menghindari teman-temannya, O: Pasien tidak kumpul-kumpul
lagi dengan teman-temannya, A: Paisen kadang-kadang masih ingin
menggunakannya lagi, P: menganjurkan pasien menambah kegiatan yang posistif
dan melanjutkan membuat jadwal kegiatan pasien (Keliat et al, 2006).

2.2 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Kelompok Rentan


Tren itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan pergerakan
(Syamsir, 2008) ataupun sebuah informasi yang biasanya sedang populer dan
dibicarakan serta ditiru banyak orang berdasarkan kejadian fakta. Menurut
KBBI (2016) tren diartikan sebagai sebuah kata benda yang memiliki makna
gaya mutakhir. Fakta dari suatu kejadian yang populer in dapat menjadi bahan
perkembangan pemikiran dan kejiwaan seseorang dalam bertindak. Satrianto
(2017) menyebutkan bahwa isu memiliki arti yang masih tabu keberadaannya
serta perlu diperbincangkan secara serius untuk diperkirakan terjadi atau
tidaknya suatu kejadian di masa mendatang. Keadaan isu yang masih tabu ini
dikatakan tidak memiliki asal usul yang tidak jelas dan belum terjamin

15
kebenarannya (KBBI, 2016). Hal inilah yang banyak mempengaruhi
pemikiran seseorang untuk bertindak mengikuti tren dan isu apakah yang
sedang terjadi di sekitarnya, yang padahal keberadaan isu yang diperolehnya
belum tentu benar.

2.2.1 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Anak


Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dalam pendidikan dan


kesehariannya memerlukan pelayaan spesifik, berbeda dengan anak pada
umumnya, karena anak-anak ini mengalami hambatan dalam belajar dan
perkembangannya (Cahya, 2013). Cahya (2013) menyebutkan bahwa anak
berkebutuhan khusus digolongkan menjadi 2 bagian besar, yaitu anak
berkebutuhan khusus temporer (sementara waktu) dan anak berkebutuhan
khusus permanen. Anak berkebutuhan khusus permanen dikategorikan lagi
menjadi enam kategori. Kategori pertama adalah anak dengan gangguan
penglihatan (tunanetra) yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu anak kurang
awas (low vision) dan anak tunanetra total (totally blind). Kategori kedua yaitu
anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu) yang terdiri atas
anak kurang dengar (hard of hearing) dan anak tuli (deaf). Kategori
selanjutnya adalah anak dengan kelainan kecerdasan yang terbagi menjadi dua
jenis yaitu anak dengan gangguan kecerdasan di bawah rata-rata dan anak
dengan kemampuan inteligensi di atas rata-rata. Anak dengan gangguan
kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita) terbagi menjadi anak
tunagrahita ringan (IQ 50-70), anak tunagrahita sedang (IQ 25-49), dan anak
tunagrahita berat (IQ <25). Jenis kedua yaitu anak dengan kemampuan
inteligensi di atas rata-rata terdiri atas Giffted dan genius serta talented.
Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata,
sedangkan talented merupakan anak yang memiliki keberbakatan khusus.
Kategori yang keempat menurut Cahya (2013) adalah anak dengan gangguan
anggota gerak (tunadaksa), yang terbagi lagi menjadi anak layuh anggota
gerak tubuh (polio) dan anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebal
parcy). Kategori kelima dari anak berkebutuhan khusus yaitu anak dengan

16
gangguan perilaku dan emosi (tunalaras) yang dimana gangguan perilaku dan
emosi ini memiliki taraf, mulai dari taraf ringan hingga berat. Kategori
terakhir yaitu anak dengan gangguan belajar spesifik, yang terdiri atas anak
lamban belajar (slow learner), anak autis, dan anak ADHD atau biasa disebut
dengan anak hiperaktif.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang
melekat pada semua individu sejak lahir dan secara kodrat sudah diberikan
langsung uleh Tuhan Yang Maha Esa yang keberadaannya tidak dapat dicabut,
dan dirampas, serta wajib dihormati, dan dilindungi oleh negara. Oleh
karenanya pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, dan menjamin hak setiap warga negaranya tanpa diskriminasi.
Tidakan diskriminasi dapat terjadi apabila ada pembatasan, pengucilan,
pelecehan yang bersifat langsung maupun tak langsung membedakan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kelompok dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya (Hidayat, n.d).

Hak asasi ini juga berlaku pada anak berkebutuhan khusus, dimana telah di
sebutkan pada Undang Undang No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
atau disabilitas fisik pasal 5 yang menjelaskan bahwa “ setiap penyandang
cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan ” dan di dalam Undang – Undang No.23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak pasal 51 menjelaskan bahwa “ Anak yang
menyandang cacat fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan
aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa “ (Aini, 2011).

Maka dari itu pemerintah di Indonesia menerapkan pendidikan inklusif


bagi anak - anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif sudah diatur
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Pasar 1 Nomor 70 Tahun
2009 yang berbunyi bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

17
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama – sama dengan peserta didik pada umumnya. Pada
pasal 2 disebutkan bahwa tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk
memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan fisik emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhannya, dan mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keberagaman, dan tidak diskriminatif bagi
semua peserta didik.

Pelaksanaan pembelajaran inklusif ini lebih mengutamakan metode


pembelajaran kooperatif dan partisipatif, memberikan kesempatan yang sama
dengan siswa lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara
kolaborasi antara guru khusus dan guru kelas, mengunakan media yang
memadai, dan sumber daya dan lingkungan yang disesuaikan dengan berbagai
kebutuhan anak berkebutuhan khusus (Sunardi & Sunaryo , 2011).

Pada penerapan pendidikan inklusif ini, resiko terjadinya gangguan


psikososial pada anak berkebutuhan khusus ini bisa saja terjadi. Pasti terdapat
perbedaan perlakuan yang diterima, yang pasti akan menyebabkan anak
berkebutuhan khusus ini merasa berbeda dnegan orang lain. Tidak bisa
disangkal juga bahwa persepsi sosial yang menjauhkan mereka dengan orang
yang normal, hal ini disebabkan oleh sikap belah kasihan yang ditimbulkan
oleh orang lain terhadapnya, yang pada akhirnya akan berdampak negatif bagi
perkembangannya “ (Aini, 2011).

Menurut Taylor (dalam Ratna, 2013) sebagai seorang perawat, yang dapat
dilakukan ketika berhadapan dengan seorang anak berkebutuhan khusus ialah
memberikan dukungan sosial berupa perhatian secara emosi, bantuan
instrumental, pemberian informasi, dan dukungan penilaian. Perhatian secara
emosi dapat diekspresikan dengan kasih sayang, cinta atau empati yang
bersifat memberikan dukungan. Lalu dalam hal bantuan instrumental melalui
barang-barang atau jasa yang dibutuhkan ketika sedang mengalami masa-masa
stres.

18
2.2.2 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Korban KDRT

Pasal 1 butir 1 UU No. 23 Tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam


rumah tangga sebagai setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan, kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (Limbat, 2014). KDRT ini diklasifikasikan
menjadi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan
penelantaran rumah tangga atau kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik biasanya
merupakan tindakan seseorang yang menimbulkan rasa sakit pada anggota
tubuh keluarga yang menjadi korban, terdapat luka dan dapat menimbulkan
kecacatan hingga kematian. Kekerasan seksual menurut Pasal 8 UU No.23
Tahun 2004 meliputi, (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b)
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan psikis atau psikologis menurut Pasal 7 UU No.23 Tahun 2004
adalah perbuatan yang menimbulkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri
serta kemampuan bertindak, merasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang. Kekerasan ekonomi atau penelantaran rumah tangga
adalah keadaan dimana seseorang tidak memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga lain dengan membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai trend dan isu. Trend dan isu sangat
erat kaitannya dengan hukum dan HAM, terutama trend dan isu mengenai
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika dilihat dari sisi perawat psikiatri,
konteks hukum dan etika penting untuk semua perawat psikiatris karena
fokusnya adalah perhatian pada hak pasien dan kualitas perawatan yang
mereka terima (Stuart, 2013). Hak pasien yang disebutkan oleh Stuart

19
termasuk dalam hak-hak asasi manusia (HAM). Menurut Stuart (2013) setiap
negara memiliki hukum yang berbeda, sehingga perawat psikiatri harus
mengetahui dan memahami hukum yang ada di negara tempat ia tinggal
termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum dimana semua
pennduduk di dalamnya terikat oleh peraturan dan hukum yang berlaku. Di
Indonesia sendiri, hukum mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
di atur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 mengenai penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT).

Perempuan atau istri dalam suatu keluarga merupakan korban yang paling
banyak ditemukan dalam KDRT yang terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga
yang biasa terjadi kepada istri sudah melanggar hak asasi dari istri tersbut.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 mengenai
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) Bab II Pasal 3
disebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas: penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan
gender, nondiskriminas, dan perlindungan korban. Adapun HAM yang
dilanggar oleh pelaku kekerasan dalam rumah tangga diantaranya:

1. Pasal 28G UUD 1945


(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

2. Pasal 28J UUD 1945


(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 juga disebutkan secara


lengkap mengenai hak-hak dan perlindungan korban, serta sanksi bagi
pelaku kekerasannya. Ini berarti orang tidak bisa seenaknya berbuat
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa hal ini
sangat diperhatikan oleh pemerintah, karena selain dampak fisik yang

20
dapat terlihat kekerasan dalam rumah tangga juga menyebabkan dampak
buruk bagi psikologis korban diantaranya adalah tekanan mental,
menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak
berdaya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, keinginan
untuk bunuh diri (Baquandi dkk, 2009).

Menurut Bobak (dalam Octavia, 2008) peran perawat pada kelompok


rentan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat
berperan sebagai edukator, konselor, pemberi layanan, peneliti, dan advokat.
Peran perawat sebagai edukator dengan meningkatkan pengetahuan dan
meningkatkan kemampuan serta kepercayaan diri bahwa siapapun berhak
dihargai dan perlu meminta pertolongan untuk keluar dari permasalahan.
Kemudian peran perawat sebagai konselor dengan mengidentifikasi kekerasan
dalam rumah tangga serta mencari alternatif penyelesaian masalah. Lalu
ketika perawat menjalani peran sebagai pemberi layanan dengan melakukan
pengkajian dan pendekatan kepada korban KDRT sehingga korban mau
menceritakan masalahnya dan mengungkapkan perasaannya

2.2.3 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Narapidana

21
Narapidana juga menjadi salah satu kelompok khusus yang kesehatan
jiwanya perlu diperhatikan oleh perawat. Melihat hal ini, narapidana
digolongkan menjadi kelas-kelas tertentu sesuai dengan usia terpidana, jenis
kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan yang dilakukan, dan
kriteria lain yang sesuai kebutuhan atau perkembangan pembinaan, hal ini
diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Handoko,
2017). Penggolongan yang ada ini dapat menjadi bahan pembelajaran perawat
sebelum turun tangan kepada klien narapidana untuk mengenali klien terlebih
dahulu.
Tren terhadap narapidana yang sedang dibicarakan oleh kalangan
masyarakat ialah terkait stress yang dialami narapidana saat di sedang di lapas.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada seorang warga binaan
pria bernama S, 35 tahun di Lembaga PemasyarakatanKlas IA Semarang
mengungkapkan bahwa para warga binaan memiliki tekanan stres yang cukup
tinggi. S mengungkapkan bahwa didalam LP tersebut antar warga binaan
sering terjadi pertengkaran yang diakibatkan kesalahpahaman atau merasa
tersindir atas ucapan dari warga binaan lain dan perilaku tidak wajar yang
dilakukan didalam blok dimana masih banyak warga binaan lain didalam blok
tersebut. Para narapidana bahkan ada yang samapi bunuh diri. Berdasarkan
data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM
tahun 2006, angka bunuh diri di Lapas dan Rutan cukup tinggi, yaitu sejumlah
8 orang narapidana dan 11 orang tahanan.
Selain itu, tren yang sedang terjadi yaitu kasus pelanggaran HAM terhadap
narapidana. Kasus pelanggaran HAM terhadap narapidana menunjukkan
bahwa lemahnya kebijakan operasional dalam perlindungan HAM terhadap
narapidana. Kasus yang terjadi terhadap narapidana terjadi di Lembaga
Permasyarakatan Cebongan Sleman DIY, yang dikemukakan oleh Siti Noor
Laila dari Komnas HAM kepada Rakyat Merdeka bahwa “ada indikasi
pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan ataas empat tahanan penghuni
Sub Anggrek 5 di Cebongan yang dilakukan sebelas anggota Kopassus.
Indikasi pelangaran HAM tersebut adalah pelanggaran atas hak hiudp
seseorang, hak atas rasa aman, hak perlindungan harta kekayaan, harta benda,

22
nyawanya , serta hak dari penganiayanaan” (Prabowo, 2016). Terkait masalah
HAM di Indonesia khususnya di bidang hukum terutama mengenai
perlindungan HAM di bidang penegakan hukum masih bersifat diskriminatif.
Terkait dengan perlindungan HAM terhadap narapidana di lembaga
permasyarakatan, sudah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan bahwa narapidana berhak
melakukan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan
rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengjaran, nendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, dan
hak lainnnya (Hartini., 2015).
Sementara itu, isu yang sedang dibicarakan oleh masyarakat terkait stigma
masyrakat terhadap seorang narapidana yang dianggap sebagai orang
persakitan oleh sebagian orang, maka seolah-olah seorang narapidana tidak
mempunyai hak apapun. Menurut Wing & Kevin (2013) sikap masyarakat
yang cenderung menjauhi mantan narapidana merupakan hambatan untuk
mereka kembali ke lingkungan sosial. Menurut Utari, Fitria & Rafiyah (2012)
dalam penelitiannya menuliskan bahwa mantan narapidana saat ini masih
dipandang negatif oleh masyarakat. Pandangan negatif masyarakat terhadap
mantan narapidana memberikan dampak masalah psikososial yang
memerlukan bantuan dari petugas yang berkompeten dalam mengatasi
masalahnya (Brunto & Hopkins, 2014).

Peran perawat dalam menghadapi tren dan isu pada narapidana adalah
dengan mempertimbangkan faktor kepribadian terhadap pembentukan konsep
diri narapidana. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif dapat diintegrasikan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Kemudian seorang perawat juga
dapat memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri pada narapidana yang perilakunya menyimpang sehingga perawat
memiliki kompetensi psikologi yang dapat digunakan untuk memberikan
layanan kesehatan yang sesuai kebutuhan (Manik, 2008).

23
2.2.4 Tren dan Isu Kesehatan Jiwa pada Pengguna NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA atau narkoba diklasifikasikan menjadi lima


bagian menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011), yaitu (1) Experiment
user, dimana umumnya narkoba digunakan sesekali karena perasaan ingin
tahu pemakai serta belum ada ketergantungan; (2) Rekreational user, dimana
pengguna narkoba ini sudah lebih sering menggunakannya namun masih
terbatas dan hanya pada waktu tertentu seperti pada pesta atau rekreasi; (3)
Situational user, dimana pengguna narkoba ini mengkonsumsi narkoba ketika
ia mengalami masalah yang ia anggap tidak sanggup diatasi tanpa bantuan
narkoba, kecenderungan ini membawa pengguna semakin sering
menggunakannya; (4) Intensifed user, dimana pengguna narkoba mulai secara
kronis mengkonsumsinya, paling tidak sehari sekali, mereka merasa narkoba
sudah menjadi kebutuhannya dan pelarian diri dari tekanan psikologis; dan (5)
Compulsive dependence user, dimana narkoba dikonsumsi secara berlebihan,
rutin, dan dengan dosis yang tinggi.

Tren yang terjadi pada klien pengguna NAPZA yaitu peningkatan jumlah
Individu yang menyalahgunakan NAPZA. Diperkirakan didunia saat ini ada
450 juta orang mengalami gangguan mental. WHO memperkirakan 121 juta
orang kini menderita depresi, 1,7% penduduk dunia mengalami depresi karena
penyalahgunaan NAPZA. Angka kejadian depresi akibat penyalahgunaan
NAPZA pada setiap negara bervariasi dari 0,4% - 4% (Wirawan, 2007).

Kasus penyalahgunaan NAPZA di Indonesia merupakan kasus yang


relative muda, karena baru diketahui data resmi (baik Polri maupun Depkes
RI) pada tahun 1969, namun perkembangannya sangat cepat. Hal ini dapat
dilihat dari data depkes RI pada dekade 70-an (antara tahun 1970 sampai
1979) dan dekade 80-an (antara 1980 sampai 1989) menunjukkan peningkatan
kasus penyalahgunaan dan ketergantungan yang cukup tinggi, yaitu dari 7000
orang yang menyalahgunakan NAPZA dan ketergantungan zat meningkat
menjadi 85000 orang atau meningkat 12x selama kurun waktu 20 tahun.

Yang menjadi isu klien pengguna NAPZA yaitu hak rehabilitasi dan
dekriminalisasi pengguna NAPZA pada saat ini masih menjadi tanda tanya.

24
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54
menyatakan, pengguna narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Namun, para pengguna NAPZA masih dikriminalisasi atau
diperlakukan sama seperti pelaku tindak kriminal dan banyak yang dihukum
masuk penjara. Menurut Hawari (2004), orang yang menyalahgunakan
NAPZA, seringkali disebabkan karena yang bersangkutan mengalami
kecemasan dan atau depresi. Untuk mengatasi kecemasan dan atau depresinya
itu ia menggunakan NAPZA. Oleh karena itu, orang dengan keadaan seperti
itulah yang seharusnya perlu ditolong dan diobati.

Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa pengguna narkoba adalah


penjahat, sehingga mereka dikucilkan dikeluarga, disekolah dan lain-lain.
Secara sepintas pecandu sering kali meresahkan masyarakat akibat
perilakunya, seperti mencuri, merampas, berbohong dan tindak kriminal.
Namun, hal ini sebenarnya disebabkan karena kebutuhan akan NAPZA yang
tidak dapat ditanggulangi yang menyebabkan mereka melakukan hal
demikian. Meskipun perilakunya banyak meresahkan seperti yang disebutkan,
sesungguhnya mereka sangat membutuhkan pertolongan untuk mengatasi
masalah penyalahgunaan zat.

Peran perawat pada kelompok rentan pengguna NAPZA yaitu dengan


sebagai advokat, manajer kasus, edukator, konselor, kolaborator, dan peneliti.
Hal yang harus dilakukan perawat sebagai advokat adalah dengan menjadi
pembela bagi klien maupun anggota keluarga agar klien mendapatkan
perlakuan maupun hak yang sama dengan orang lain. Perawat berperan
sebagai manajer kasus bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan, menyelesaikan masalah, meningkatkan derajat hidup klien, dan
meminimalkan biaya pengobatan. Lalu peran perawat sebagai edukator dan
konselor penting untuk memberikan informasi pada pasien agar dapat mencari
dan mengakses sumber daya yang ada di sekolah maupun di masyarakat.
Kemudian perawat dapat berkolaborasi dengan penyedia layanan kesehatan
dari lembaga berbasis masyarakat dan kelompok masyarakat untuk mengatasi
masalah populasi rentan dan berisiko agar menciptakan sebuah kontinuitas
perawatan. Lalu peran perawat sebagai peneliti adalah agar hasil penelitiannya

25
tersebut dapat digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat (Supriyatna,
2014).

2.3. Konsep Recovery dalam Kesehatan Jiwa


2.3.1. Konsep Recovery (Pemulihan) Dalam Kesehatan Jiwa

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dapat dikenali dengan beberapa


tanda dan gejala, diantaranya : adanya gangguan psikologis seperti halusinasi
dan delusi, gangguan berbicara, kehilangan motivasi serta gangguan kognitif
lainnya. Masyarakat Indonesia pada umumnya memanggil mereka dengan
sebutan “orang gila”, paham yang salah dari sebagian besar masyarakat
tersebutlah yang memunculkan berbagai macam stigma dan anggapan yang
salah, sehingga banyak dari penderita gangguan mental dikucilkan dan
diasingkan dari masyarakat.

Proses terapi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ada dua,
yaitu terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis. Terapi farmakologis
dengan penggunaan obat-obatan, sedangkan terapi non-farmakologis dapat
berupa psikoedukasi, Cogntive Behavior Therapy (CBT), Social Skill Training
(SST), family therapy dan Assertive Community Traetment (ACT). Terapi
psikososial atau non-farmakologis mempunyai beberapa manfaat karena dapat
meningkatkan interaksi sosial di masyarakat. Kedua bentuk terapi yang
dijabarkan tersebut ditujukan untuk membantu proses pemulihan (recovery)
bagi para penderita gangguan mental (Sarjana dkk, 2015).

Recovery (pemulihan) merupakan aspek penting agar suksesnya proses


penyembuhan bagi para penderita gangguan mental. Recovery merupakan
suatu proses yang unik bagi tiap-tiap individu. Definisi recovery terbagi atas
clinical recovery dan personal recovery. Clinical recovery dilakukan dengan
menurunkan gejala gangguan mental dan tidak adanya rawat inap (Bobes dkk,
2009). Sedangkan personal recovery lebih kepada pemulihan sosial dengan
menghadirkan harapan, kehidupan yang bermakna (Hoper, 2007; Lysaker,
2010 dalam Surjana dkk, 2015), kebahagiaan (Buckland dkk, 2013 dalam
Surjana dkk, 2015), adanya sosialisasi, terlibat dalam masyararakat dan

26
pekerjaan (Cavelty dkk, 2012;Roe dkk, 2011;Silverstain&Bellack, 2008 dalam
Surjana dkk, 2015).

2.3.2. Model Recovery Kesehatan jiwa dan Model Recovery dalam


Keperawatan jiwa

Teori peplau menjelaskan bahwa suatu hubungan interpersonal sangatlah


penting. Model recovery berubah dari hubungan perawat dengan pasien
menjadi perawat dengan partner. Seorang perawat jiwa harus dapat
mengajarkan mengenai konsep recovery, menyarankan cara memberdayakan
pasien, serta memajukan proses recovery[ CITATION Var13 \l 1057 ].

Pada model recovery dalam keperawatan jiwa terdapat beberapa model,


teori dan terapi yang digunakan pada praktik saat ini[ CITATION Afr18 \l 1057 ].
Pertama adalah teori Dorothy Johnson mengenai behavioral system, yaitu
perawat membantu klien yang mengalami stress kembali pada keadaan
seimbang dengan cara mengurangi atau menghilangkan sumber stress. Kedua
adalah teori Imogene King mengenai goal attainment, yaitu membangun suatu
hubungan interpersonal serta membantu klien mencapai tujuannya[ CITATION
Afr18 \l 1057 ]. Ketiga adalah teori Betty Neuman mengenai system model,
yaitu perawat membangun hubungan perawat dengan pasien untuk membantu
menghadapi respon stress. Keempat adalah Dorothea E Orem mengenai self-
care defisit, yaitu mendorong pasien aktif dalam perawatan diri sendiri.
Kelima adalah Hildegard Peplau mengenai interpersonal relations, yaitu
perawat menggunakan hubungan interpersonal sebagai suatu alat terapeutik
untuk mengurangi kecemasan. Keenam adalah Jean Watson mengenai
transpersonal caring, yaitu perawat memberikan caring untuk membangun
hubungan perawat dengan pasien sehingga menghasilkan therappeutic
outcome[ CITATION Mar13 \l 1057 ].

2.3.3. Komponen dari Recovery

Dalam proses recovery, klien diarahkan secara mandiri, hal ini dilakukan
karena setiap individu mempunyai rancangan unik untuk mencapai tujuan
kehidupan masing-masing (Stuart, 2013). Komponen yang kedua yaitu

27
berfokus pada individu maksudnya adalah individu memiliki keunikan masing-
masing dalam pertahanan diri, kebutuhan, preferensi, pengalaman masa lalu,
dan latar belakang budaya yang akan mempengaruhi proses recovery (Stuart,
2013). Komponen yang ketiga yaitu pemberdayaan. Klien memiliki wewenang
untuk memilih dari berbagai pilihan dan ikut berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat yang akan memengaruhi kehidupan klien (Stuart, 2013).
Komponen yang keempat yaitu holistik.

Dalam proses recovery komponen holistic melibatkan seluruh kehidupan


klien serta lingkungan klien seperti keluarga, masyarakat, dan layanan
perawatan kesehatan jiwa (Stuart, 2013). Layanan perawatan kesehatan jiwa
harus membentuk lingkungan yang dapat mempercepat proses recovery klien
seperti membentuk karakter tenaga kesehatan yang berperan sebagai
partnership in care (Suryani, 2014). Dengan keterlibatan tenaga kesehatan
dapat memberikan dukungan kepada klien serta membantu mencari solusi
permasalahan yang mereka alami (Muhlisin & Pratiwi, 2015). Komponen yang
kelima yaitu non linier. Dalam mengikuti proses recovery, klien harus memiliki
komitmen karena waktu recovery tidak singkat dan kemunduran penyembuhan
bisa terjadi sesekali dan klien harus belajar dari pengalaman tersebut. Dengan
klien mengakui adanya perubahan dalam dirinya ke arah yang lebih postif
dapat mempermudah proses recovery (Stuart, 2013).

Komponen dari proses recovery yang keenam yaitu strengts based seperti
kemampuan koping dan nilai individu yang melekat perlu dibangun secara
kuat sebagai pertahanan klien dalam berhubungan di lingkungan masyarakat.
Proses recovery akan berjalan lebih cepat jika klien berinteraksi dengan orang
lain dalam hubungan suportif dan berbasis kepercayaan (Stuart, 2013).
Komponen yang ketujuh adalah peer support, klien didorong dan ikut terlibat
dalam suatu kelompok bersama klien lain dengan aktivitas berbagi tentang
pengetahuan dan keterampilan khusus serta pembelajaran sosial (Stuart, 2013).
Komponen yang kedelapan adalah respect atau penghargaan. Penghargaan
yang diberikan oleh masyarakat kepada klien sangat penting dilakukan dalam
hal seperti melindungi hak-hak klien dan menghilangkan diskriminasi serta

28
stigma (Stuart, 2013). Komponen yang kesembilan adalah tanggung jawab
dimana klien memiliki tanggung jawab pribadi untuk perawatan diri serta
proses recovery seperti dalam hal strategi koping untuk meningkatkan
kesehatan pribadi. Komponen yang terakhir yaitu harapan.

2.3.4. Recovery Support

Recovery support dalam perawatan psikiatrik melibatkan kerjasama


dengan tim keperawatan multidisplin yang bisa termasuk psikiater, psikolog,
pekerja sosial, konselor, terapis okupasi, klien dan keluarga. Ini mengharuskan
perawat untuk fokus pada tiga elemen yaitu individu, keluarga, dan komunitas
(Stuart, 2013). Ketiga elemen tersebut berperan penting dalam recovery
support. Dalam melakukan recovery support haruslah menggunakan asuhan
keperawatan yang dimulai dari pengkajian, perencanaan, implementasi, dan
yang terakhir evaluasi.

Terdapat empat dimensi utama yang mendukung proses pemulihan


(recovery support) (SAMHA, 2019) :

1. Kesehatan
Maksudnya kesehatan dijadikan untuk mengatasi atau mengelola penyakit
atau gejala seseorang dan membuat pilihan yang sehat dan informasi yang
mendukung kesejahteraan fisik dan emosional.
2. Rumah / Tempat Tinggal
Tempat tinggal yang stabil dan aman menjadi salah satu recovery support.
Di dalam rumah (tempat tinggal) klien dibimbing untuk dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
3. Tujuan (Purpose)
Maksudnya adalah dalam melakukan recovery support memiliki tujuan
supaya klien memiliki kemandirian, pendapatan, dan sumber daya untuk
berpartisipasi dalam masyarakat.
4. Komunitas
Komunitas termasuk ke dalam recovery support karena didalam komunitas
disitu akan terjaling hubungan dan jejaring sosial yang menyediakan
dukungan, persahabatan, cinta, dan harapan.

29
Proses recovery didukung melalui hubungan dan jejaring sosial. Ini sering
melibatkan anggota keluarga yang menjadi tempat pertama dalam pemulihan
orang yang mereka cintai. Konsep ketahanan dalam recovery juga penting bagi
anggota keluarga yang membutuhkan akses ke dukungan yang disengaja yang
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Dukungan dari teman
sebaya dan teman juga sangat penting dalam melibatkan dan mendukung
individu dalam recovery (SAMHA, 2019).
2.3.5. Tahapan dalam Recovery

Andresen (2011) merumuskan lima tahapan dalam recovery yaitu


moratorium, awarnesss, preparation, rebuilding, dan growth. Tahap
moratorium ditandai dengan perasaan seseorang dalam menyangkal situasinya
sebagai orang dengan gangguan jiwa [CITATION Mik17 \l 14345 ]. Ketika
memasuki tahapan yang kedua yaitu awareness, seseorang akan menyadari
bahwa terdapat sebuah harapan untuk miliki kehidupan yang lebih baik
melalui proses pemulihan. Setelah menyadari akan hal tersebut, seseorang
akan memasuki tahap ketiga yaitu preparation. Pada tahap ini, seseorang
memulai bekerja untuk pulih dengan melibatkan diri secara utuh pada nilai,
kekuatan dan keterbatasan. Selanjutnya seseorang akan memasuki tahap
rebuilding. Pada tahap ini seseorang akan berusaha keras untuk membentuk
pribadi yang positif. Mereka menilai kembali tujuan hidup dan nilai yang telah
dimiliki.Pada tahapan yang terakhir yaitu growth, seseorang akan mengetahui
cara mengelola penyakinya dan tetap sehat.

Tahapan recovery menurut Spaniol (2011) terbagi menjadi empat tahap


yaitu overwhelmed, struggling, living with dan living beyond .Pada tahap yang
pertama seseorang sering mengalami pergulatan mental dan fisik ketika
mencoba memahami dan mengelola apa yang terjadi, namun merasa bingung,
terputus dari diri mereka sendiri dan orang lain, di luar kendali, dan tidak
berdaya atas hidup mereka (Slade,2009; Spaniol & Wewiorski, 2012).
Selanjutnya pada tahap kedua yaitu struggling, ditandai dengan perjuangan
terus-menerus dengan kecacatan, prasangka, diskriminasi, dan perasaan putus

30
asa dan kesepian. Pada fase ini, orang telah mencapai titik di mana mereka
menerima bahwa apa yang terjadi pada mereka membutuhkan bantuan orang
lain. Pada fase living with, seseorang akan berdamai dengan ketidakmampuan
mereka dan merasa yakin untuk mengelolanya. Pada fase terakhir, seseorang
merasa terhubung dengan baik dengan diri mereka sendiri; untuk yang
lainnya; untuk berbagai kehidupan, pembelajaran, dan lingkungan kerja, dan
rasa makna dan tujuan dalam hidup. Secara umum, kehidupan mereka tampak
seimbang dan stabil (Spaniol, Wewiorski, Dunn & Chamberlin, 2011).

Tirtojiwo (2012) merumuskan lima tahapan dalam recovery yaitu perasaan


terjebak (stuck), bersedia menerima bantuan, percaya, belajar dan mandiri.
Tahap pertama adalah keadaan dimana penderita merasa dirinya terjebak,
yaitu kondisi dimana penderita tidak merasa mampu menghadapi masalah atau
tidak mau atau mampu menerima bantuan [ CITATION Tir12 \l 14345 ].
Selanjutnya memasuki tahap yang kedua, seseorang bisa menerima bantuan.
Pada tahap ini penderita ingin menjauh atau menghindar dari masalah dan
mereka berharaporang lain akan bisa mengatasi masalah yang dia hadapi
untuk mereka. Pada tahap ketiga, penderita mulai percaya bahwa mereka
dapat membuat perubahan atau perbaikan dalam hidupnya. Pada tahap
selanjutnya seseorang akan belajar bagaimana membuat pemulihan diri
mereka bisa menjadi suatu kenyataan. Ini adalah proses coba coba (trial and
error). Beberapa hal yang mereka lakukan bisa berjalan, namun beberapa hal
lain tidak bisa jalan atau gagal. Tahap terakhir yaitu mereka secara bertahap
menjadi lebih mandiri sampai mereka mencapai ke suatu titik dimana mereka
mengelola sesuatu tanpa bantuan dari orang lain.

2.3.6. Peran Perawat dalam Proses Recovery

Orang mendefinisikan pemulihan dari gangguan jiwa dengan cara mereka


sendiri. Beberapa orang menganggapnya sebagai suatu proses, sementara yang
lain menganggapnya sebagai suatu tujuan atau hasil akhir. Lingkungan
tersebut selain menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor yang
dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang tingkat tertentu dapat

31
menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Recovery merupakan proses dimana seseorang mampu untuk hidup,
bekerja, belajar, dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya.
Recovery berimplikasi terhadap penurunan atau pengurangan gejala secara
keseluruhan (Ware et al, 2008 dalam Stuart 2013). Aspek terpenting
terpenting dari recovery didefinisikan oleh setiap individu dengan pertolongan
dari pemberi layanan kesehatan jiwa dan orang-orang yang sangat penting
dalam kehidupanya. Individu menerima dukungan pemulihan melalui aktivitas
yang didefinisikan sebagai rehabilitadi yang merupakan proses menolong
seseorang kembali kepada level fungsi tertinggi yang dapat dicapai. Recovery
kesehatan jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi,
perilaku dan kognitif yang bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan
memaksimalkan kecukupakan diri (Stuart, 2013).

Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas.
Komitmen ini sesuai dengan hasil Konfrensi Nasional I Keperawatan Jiwa
pada bulan Oktober 2004, bahwa pelayanan keperawatan diarahkan pada
tindakan prefentif dan promotif. Hal ini sejalan dengan paradigma sehat yang
digariskan WHO dan dijalankan Departemen Kesehatan RI, bahwa upaya
proaktif perlu dilakukan  untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya
proaktif ini melibatkan banyak profesi termasik psikiater dan perawat.
Penanganan kesehatan jiwa bergeser pada upaya  kuratif perawatan Rumah
Sakit menjadi perawatankesehatan jiwa masyarakat. Pusat kesehatan jiwa
masyarakat akan memberikan pelayanan di Rumah berdasarkan wilayah
kerjanya, diharapkan pasien dekat dengan keluarganya sebagai sistem
pendukung yang dapat membantu pasien mandiri dan boleh berfungsi sebagai
individu yang berguna.

Menurut Stuart dan Sundan (1995) dalam Prabowo (2017) dalam


memberikan asuhan dan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa perawat dapat
melakukan aktivitas pada tiga area utama, meliputi memberikan asuhan
keperawatan secara langsung, aktivitas komunikasi, dan aktivitas dalam

32
pengelolaan atau manajemen keperawatan. Dalam hubungan perawat dengan
pasien, ada beberapa peran perawat dalam keperawatan kesehatan jiwa,
meliputi kompetensi klinik, advokasi pasien dan keluarga, tanggung jawab
keuangan, kerjasama antar disiplin ilmu di bidang keperawatan, tanggung
gugat sosial, dan parameter etik legal.

2.4. Terapi Modalitas


Terapi modalitas adalah berbagai alternative terapi yang dapat diberikan
pada pasien gangguan jiwa (Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E,
2015). Terapi modalitas merupakan terapi utama dalam keperawatan jiwa.
Dalam terapi modalitas, terdapat beberapa jenis terapi yaitu terapi individu,
terapi keluarga, terapi bermain, terapi lingkungan, dan terapi aktifitas
kelompok (Nurhalimah, 2016).
2.4.1. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang dimana
terapi aktivitas kelompok merupakan terapi yang bertujuan mengubah perilaku
pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok (Yusuf et al, 2015). Terapi
aktivitas kelompok diberikan kepada sekelompok pasien yang dilakukan
dengan cara berdiskusi antar sesama pasien dan dipimpin oleh seoran ahli
terapi atau petugas kesehatan jiwa (Nurhalimah, 2016). Dengan begitu, terapi
aktivitas kelompok berarti terapi yang digunakan untuk mengubah perilaku
pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok yang dapat dilakukan
dengan cara berdiskusi antar sesama pasien dan seorang ahli terapi atau tenaga
kesehatan keperawatan jiwa. Sifat dari terapi aktivitas kelompok yaitu
rehabilitatif yang bertujuan untuk meningkatkan ekspresi diri, keterampilan
sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, serta meningkatkan kemampuan
tentang masalah-masalah kehidupan dan bagaimana penyelesaiannya
(Nurhalimah, 2016).
2.4.2. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok
1. Meningkatkan kemampuan menilai dan menguji kenyataan melalui
komunikasi serta umpan balik dari orang lain.
2. Meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien.

33
3. Meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya hubungan antara reaksi
emosional diri sendiri dengan perilaku defensif atau bertahan terhadap
stress dan adaptasi.
4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
kognitif dan afektif (Nurhalimah, 2016).
2.4.3. Model Terapi Aktivitas Kelompok
1. Model fokal konflik,
Pimpinankelompok perlu memfasilitasi dan memberikan kesempatan pada
anggota untuk mengekspresikan perasaan dan penyelesaian masalah.
2. Model komunikasi,
Menggunakan prinsip komunikasi dan komunikasi terapeutik.
3. Model interpersonal,
Menurut Sullivan semua tingkah laku digambarkan melalui hubungan
interpersonal. Pada teori tersebut terapis bekerja dengan individu dan
kelompok dan anggota kelompok belajar dari interaksi antar anggota dan
terapis.
4. Model psikodrama.
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berperan sesuai dengan
peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang lalu. Model ini dilakukan
secara spontan serta memberi kesempatan pada anggota untuk berperan di
luar situasi spesifik yang pernah terjadi (Yusuf et al, 2015).
2.4.4. Tahapan atau Fase Terapi Aktivitas Kelompok
1. Fase Pra Kelompok
Fase pertama mulai terbentuknya kelompok baru. hal yang perlu dilakukan
yaitu menentukan siapa ketua dan anggota dalam kelompok tersebut (Yusuf et
al, 2015). kelompok juga menentukan dimana dan kapan kegiatan dilakukan
serta sumber apa yang dibutuhkan dan proses evaluasi yang akan dilakukan
(Stuart, 2013).
2. Fase Awal Kelompok
Tahapan fase awal yaitu orientasi, konflik, dan kohesif (Yalom (2005)
dalam Stuart, 2013). Tahap orientasi pemimpin kelompok melakukan kontrak
dengan para anggota kelompok serta mengarahkan perencanaan dan tujuan

34
yang akan dilakukan kelompok. Pada tahap konflik, terjadi beberapa konflik
pada anggota dan perasaan juga untuk bermusuhan. Pada fase tersebut,
pemimpin perlu memfasilitasi para anggota kelompok untuk mengekspresikan
perasaannya dan membantu kelompok mengenal penyebab konflik serta
mencegah perilaku yang tidak produktif (Stuart, 2013). Kemudian, pada tahap
kohesif para anggota sudah berpikir bahwa perbedaan bukan sesuatu yang
perlu dikhawatirkan dan pemimpin harus senantiasa mengayomi para anggota
yang ada di dalam kelompok.
3. Fase Kerja Kelompok
Produktivitas setiap anggota bertambah karena pada tahap ini setiap
anggota saling membantu anggota lainnya untuk mencapai tujuan dan
mencegah hal yang dapat menurunkan produktivitas kelompok. Pada fase
terminasi yaitu fase perpisahan baik sementara maupun benar-benar berakhir.
Fase terminasi evaluasi dilakukan untuk berfokus pada pencapaian yang
terjadi. Terminasi yang sukses ditandai dengan kepuasan dari kelompok yang
bersangkutan serta pengalaman yang di dapat, apabila fase terminasi terjadi
ketika kelompok sudah berpisah dan tujuan mereka belum terselesaikan maka
fase tersebut dinamakan fase premature termination.
4. Fase Terminasi
2.4.5. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Jenis terapi aktivitas kelompok (TAK) menurut Nurhalimah (2016) :
1. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Terapi yang menggunakan akivitas sebagai stimulus yang terkait dengan
pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Fokus
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang
mengalami kemunduran orientasi seperti gangguan persepsi; halusinasi,
menarik diri , kurang inisiatif atau ide.
2. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Mempunyai tujuan meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien
dengan isolasi sosial seperti kemampuan komunikasi verbal pasien, berlatih
mematuhi peraturan, berinteraksi, berpartisipasi dengan klien lain
(Nurhalimah, 2016).

35
Jenis terapi aktivitas kelompok (TAK) menurut Yusuf, Fitryasari, dan
Nihayati (2015) :
1. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensori pasien
melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, dan ucapan. Aktivitas tersebut berupa
TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar music, TAK stimulasi
sensori menggambar. dan TAK stimulasi sensori menonton TV/video.
2. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas
Pasien dihadapkan pada kenyataan yang ada di sekitar pasien. Aktivitas
dapat berupa 3 sesi yaitu, sesi I pengenalan orang, sesi II pengenalan
tempat, dan sesi III pengenalan waktu.
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi
Dengan membantu pasien untuk melakukan sosialisasi dengan individu
yang ada di sekitar pasien. Terdapat 7 Aktivitas yang dilakukan yaitu, sesi I
menyebutkan jati diri, sesi II mengenali jati diri anggota kelompok, sesi III
bercakap-cakap dengan anggota kelompok. sesi IV menyampaikan dan
membicarakan topik percakapan, sesi V menyampaikan dan membicarakan
masalah pribadi dengan orang lain, sesi VI bekerja sama dalam permainan
sosialisasi kelompok, dan terakhir sesi VII menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAK sosialisasi yang telah dilakukan.
4. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang pernah dialami.
Terdapat 4 Aktivitas yang diberikan yaitu, sesi I menonton TV, sesi II
membaca majalah/koran/artikel, sesi III gambar, sesi IV Mengenal perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan.
5. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan
Harga Diri
dengan melatih pasien untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri
sehingga mampu menghargai diri sendiri. Terdapat 4 sesi aktivitas yang
diberikan sesi I identifikasi hal positif diri, sesi II menghargai hal positif

36
orang lain, sesi III enetapkan tujuan hidup yang realistis.

6. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol


Halusinasi
Melatih pasien untuk dapat mengenal halusinasi yang dialaminya dan
dilatih cara mengontrol halusinasi. Terdapat 6 sesi aktivitas yang diberikan.
Sesi I mengenal halusinasi, sesi II mengontrol halusinasi dengan
menghardik, sesi III mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal
kegiatan, sesi IV mengontrol halusinasi dengan minum obat yang benar,
sesi V mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap. (Yusuf, Fitryasari,
Nihayati, 2015)
7. Peran Perawat dalam Pemberian TAK
Peran perawat dalam pemberian terapi aktivitas kelompok adalah
dengan mengumpulkan data pasien, mengkoodinasikan jenis terapi aktivitas
apa yang dapat diberikan, memberikan edukasi kepada klien mengenai terapi
yang akan dilakukan dan tujuan dari dilakukannya terapi, memonitor efek
dari terapi aktivitas kelompok yang diberikan. (Yusuf, Fitryasari, Nihayati,
2015). Menurut Suzzana, Mustikasari, dan Wardani Ice (2016) hal yang
dapat dilakukan perawat adalah dengan memberikan edukasi dengan
menjelaskan tujuan dan manfaat, lalu melakukan terapi aktivitas
kelompok kepada klien, lalu diadakan pre-test dan post-test untuk
mengetahui hasil dari dilakukannya terapi aktivitas kelompok (Suzzana,
Mustikasari, Wardani Ice, 2016)
2. Terapi Lingkungan
2.1 Definisi
Terapi lingkungan menurut Nurhalimah, (2016) yaitu proses terapi
yang dilakukan dengan mengubah seluruh lingkungan menjadi lingkungan
yang terapeutik bagi klien sehingga klien dapat belajar dan mengubah perilaku
dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.
Menurut Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E, (2015), terapi
lingkungan adalah lingkungan fisik dan sosial yang ditata agar dapat
membantu penyembuhan dan atau pemulihan pasien. Shives, (2008) juga

37
mengatakan bahwa terapi lingkungan atau milieu therapy merujuk pada terapi
sosiolingkungan dimana sikap dan tindakan staf dalam pemberian layanan
perawatan pada pasien ditentukan berdasar kebutuhan emosional dan
interpersonal klien.
2.2 Tujuan
Tujuan terapi lingkungan sendiri yaitu membantu efektivitas
pemberian asuhan kepeqrawatan jiwa terutama agar klien mempu
mengidentifikasi alternative dan solusi masalah. Di samping itu, menurut
Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E, (2015) terapi lingkungan
mempunyai tujuan mengembangkan keterampilan emosional dan sosial yang
akan menguntungkan kehidupan setiap hari, dengan cara memanipulasi
lingkungan atau suasana lingkungan sebagai tempat pasien untuk
mendapatkan perawatan seperti di rumah sakit bagi pasien yang tidak rawat
inap.
2.3 Karakteristik Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan ini mempunyai karakteristik umum berdasarkan
Yusuf, A., Fitryasari, R, PK., & Nihayati, H, E, (2015), beberapa karakteristik
tersebut yaitu :
1. Komunikasi yang Terbuka
Komunikasi terbuka yang dimaksud adalah komunikasi dua arah dimana
kedua belah pihak saling mengerti pesan yang dimaksud tanpa adanya hal
yang disembunyikan.
2. Distribusi Kekuatan/Otonomi
Pasien diberi kebebasan untuk memilih, mengungkapkan perasan dan
menjadi dirinya sendiri agar pasien merasa bahwa dia juga mempunyai
otonomi sendiri
3. Struktur Interaksinya,
Sedangkan struktur interaksi yang dibangun yaitu interaksi terapeutik
dimana perawat menjadi ujung tombak utama yang berhadapan langsung
dengan pasien selama 24 jam. Interaksi perawat-pasien selalu dimulai dari
tahapan-tahapan awal pengkajian sampai dengan evaluasi.
4. Aktivitas Kerja,

38
Fokus dengan kegiatan yang ingin dilakukan oleh pasien, seperti
menyalurkan hobi

5. Adanya Peran Serta Keluarga dan Masyarakat dalam Proses Terapi


Melibatkan keluarga dan masyarakat juga sangat penting dalam terapi
lingkungan karena keluarga dan masyarakat merupakan orang terdekat
pasien yang sangat mempengaruhi kehidupan pasien.
6. Lingkungan Fisik Maupun Non Fisik yang Mendukung
Lingkungan yang diatur sedemikian jika klien harus dirawat di rumah sakit
maka diharapkan lingkungan tempat mereka dirawat sama dengan
lingkungan mereka sehari-hari
7. Komunikasi Saling Percaya dan Kejujuran
Selain itu, terapi lingkungan harus didukung dengan lingkungan yang
diatur sedemikian rupa seperti ruang anak-anak terdapat mainan yang
sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangannya, ruang remaja
banyak alat informasi, majalah, buku, dan sebagainya.
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Terapi Lingkungan
Menurut Yusuf, et al (2015), adapun faktor yang mempengaruhi terapi
lingkungan yakni
1 . Aspek Fisik
Menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman seperti gedung
yang permanen, mudah dijangkau atau diakses.
2 . Aspek Intelektual
Perawat harus bisa memberikan stimulus eksternal yang positif dalam
arti perawat harus berkemampuan merangsang daya pikir pasien sehingga
pasien dapat memperluas kesadaran dirinya hingga pasien dapat
menerima keadaan dan peran sakitnya (Yusuf et al., 2015).
3 . Aspek Sosial
perawat harus mampu mengembangkan pola interaksi yang positif, baik
perawat dengan perawat, perawat dengan pasien, maupun perawat dengan

39
keluarga pasien. Untuk dapat membangun interaksi yang positif tersebut
perawat harus menguasai kemampuan.
4 . Aspek Emosional
Sikap dasar yang hendaknya dibangun yakni memperlihatkan sikap
yang tulus, jujur atau dapat dipercaya, hangat, tidak defensif, empati,
peka terhadap perasaa dan kebutuhan pasien, serta bersikap spontan dalam
memenuhi kebutuhan pasien (Stuart, 2013).
5. Aspek Spiritual
Memaksimalkan manfaat dari pengalaman, pengobatan, dan perasaan
damai bagi pasien.pemberian penguatan terhadap perilaku positif yang
telah dilakukan pasien dalam hal spiritual alan memotivasi pasien
melakukannya lebih baik sebagai dampak dari peningkatan harga diri
pasien (Yusuf et al., 2015).
2.5. Peran Perawat dalam Pemberian Terapi Lingkungan
1. Pengasuh (Mothering Care)
Peran seorang perawat dalam mothering care yakni perawat juga harus
mampu membantu pasien mengenal batasan-batasan dan menerima risiko
akibat perilakunya (Yusuf et al., 2015).
2. Manajer
Peran perawat sebagai manajer yakni perawat harus memperhatikan
tingkat perkembangan pasien. Sebagai perencana, perawat melakukan
pengkajian untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi dan
kebutuhan pasien sebelum melakukan asuhan keperawatan. Sebagai manajer,
perawat harus dapat mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan untuk
pasien dari pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi
(Yusuf et al., 2015).
2.6. Terapi Psikofarmaka
Beberapa penyakit mental dianggap sebagai gangguan fisik yang
merupakan hasil dari malfungsi dan/ malformasi otak (Halter, 2014). Hal ini
memicu penggunaan psikofarmakologi sebagai terapi dan tentunya menjadi
tantangan tersendiri dengan psikodinamik gangguan jiwa. Bermula, pada abad
20 yang hanya terdapat terapi somatik dalam psikiatri, yaitu pasien dirawat

40
dengan terapi syok insulin, wet sheet packs, mandi es, terapi
electroconvulsive, dan psikosurgeri (Townsend, 2014). Setelah penelitian
lebih lanjut, baru ditemukan psikotropika untuk gangguan jiwa sebelum 1950,
yaitu obat penenang dan amfetamin, hanya terapi psikofarmaka yang
sederhana.
Gangguan jiwa sebagian besar disebabkan oleh ketidakseimbangan proses
penghantaran rangsang pada otak. Disregulasi terjadi dalam proses otak yang
kompleks, yaitu struktur komunikasi melalui transmisi neurotransmiter
(Stuart, 2013). Maka, fungsi utama psikofarmaka adalah sebagai penyeimbang
disregulasi yang terjadi khususnya pada sistem neurotransmiter. Terapi ini
terdiri dari berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat, efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku dan biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015). Dapat
disimpulkan, terapi ini berfokus pada pemulihan kinerja saraf dan kontrol diri
pasien dengan gangguan jiwa yang dapat mempengaruhi perilaku pemakai
apabila digunakan diluar ambang batas. Dalam pemakaiannya psikofarmaka
mempunyai beberapa jenis, yaitu antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan
antimanik.
2.6.1 Psikofarmaka antipsikotik
Antipsikotik merupakan jenis psikofarmaka yang berperan sebagai
blocker neurotransmiter dopamine. Antipsikotik disebut “khas” atau
“konvensional” digunakan untuk mengobati psikosis (Stuart, 2013).
Klasifikasi antipsikotik diantaranya, yaitu derivate fenotiazin dan benzamide
(Yusuf et al., 2015). Selain itu, digunakan untuk pengobatan skzofrenia dan
gangguan psikotik lainnya setelah adanya revolusi pengobatan. Dari tahun
1990, terjadi peningkatan spektrum antipsikotik menjadi lebih luas lagi
dengan efektivitas terapi yang tinggi dan efek samping berbeda dari
sebelumnya. Antipsikotik ini disebut dengan “atipikal” atau “novel”. Kedua
jenis antipsikotik ini memiliki efektivitas yang sama dan fungsi utamanya
untuk pengobatan skizofrenia, gangguan schizoaafektif, organik sindrom otak
dengan psikosis (halusinasi & delusi), gangguan delusi, dan gangguan bipolar

41
(Stuart, 2013). Hal ini menjadikan antipsikotik sebagai pilihan pertama untuk
perawatan psikotik dan gangguan bipolar.
Pengobatan ini termasuk ke dalam semua tingkat keparahan, yaitu akut
dan pemeliharaan. Dalam Stuart (2013) antipsikotik juga dapat mengobati
agresivitas dan masalah perilaku yang terlihat pada pasien dengan pervasive
developmental disorders dan demensia & delirium dengan agitasi dan psikosis
pada lansia. Penggunaan jangka pendek dapat diindikasikan pada depresi berat
dan dapat mengurangi nada vokal. Secara keseluruhan efek samping terapi ini
berkisar dari masalah tolerabilitas yang relatif kecil (seperti mulut kering),
sangat tidak menyenangkan (seperti konstipasi, akatisia (kegelisahan motorik),
disfungsi seksual), nyeri (seperti dystonia akut), kecacatan fisik (berat badan
naik dan tardive dyskinesia), dan sampai mengancam jiwa (miokarditis dan
agranulositosis) (Gray & Stroup, 2018). Selain itu, efek utama lainnya seperti
gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), dan juga
memiliki efek sedative serta efek ekstrapiramidal (Yusuf et al., 2015).
2.6.2 Psikofarmaka Antidepresan
Antidepresan menghambat pengambilan norepinefrin dan/ serotonin dan
mengatur area otak yang memproduki zat tersebut. Serotonin, norepinefrin,
dan neurokimia lainnya adalah disregulasi gangguan mood (Stuart, 2013).
Antidepresan merupakan golongan obat-obatan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif (Yusuf et al., 2015). Klasifikasi antidepresan
diantaranya, yaitu golongan trisiklik, tetrasiklik, monoaminoksidase inhibitor
(MAOI), dan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) (Yusuf et al.,
2015).
Antidepresan bertanggung jawab dalam meningkatkan suasana hati dan
emosi serta menangani gangguan kecemasan (Stuart, 2013). Maka, pasien
dengan riwayat percobaan bunuh diri, cacat berat ketika depresi, depresi berat
berulang, gangguan kecemasan, atau depresi tingkat pertama dapat dilakukan
perawatan jangka panjang menggunakan antidepresan. Antidepresan memiliki
kefektifan kerja dalam mengobati depresi, uniknya penghentian terapi ini
tinggi dilakukan. Hal ini dikarenakan efek jangka pendek yang dirasakan oleh
para pengguna yang cukup mengganggu aktivitas. Jenis obat yang paling

42
sering dihentikan penggunaannya adalah dari golongan SSRI yang mana jenis
ini juga yang umum diresepkan psikiater. Penggunaan yang sering oleh
psikiater karena SSRI hanya memiliki efek pendek tetapi tidak memiliki efek
Panjang. SSRI sering menyebabkan efek samping gastrointestinal, insomnia,
sakit kepala, kecemasan, dan disfungsi seksual (Goldstein & Goodnick, dalam
Crawford et al, 2014).
Efek samping persisten, yaitu gangguan sistem kardiovaskular, seperti
hipotensi, hipertensi dan perubahan EKG. Serta gangguan sistem otonom
akibat efek antikolinergik, seperti obstipasi, mulut dan tenggorokan kering,
mual, sakit kepala (Yusuf et al., 2015). Sehingga, antidepresan tidak
menyebabkan kecanduan fisik, ketergantungan psikologis, atau euphoria, dan
tidak ada potensi penyalahgunaan (Stuart, 2013). Pasien dengan depresi berat
dan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan menggunakan ECT
sebagai pendamping antidepresan (Yusuf et al., 2015). Dalam Baghai &
Moller (2008), bahwa indikasi penggunaan ECT ini pasien dengan depresi
melankolik (seperti gangguan mood), katatonik (gangguan seumur hidup dan
kemungkinan kambuh setelah diagnosis, seperti skizofrenia dan gangguan
mood), dan psikotik. Sedangkan, kontraindikasinya pda pasien yang
mengalami masalah sistem saraf pusat, masalah kehamilan, dan dalam kondisi
lemah.
2.6.3 Antiansietas
Antiansietas bekerja sebagai agonis reseptor yang kuat dari penghambat
neurotransmitter GABA (Stuart, 2013). Obat ini dapat diklasifikasikan
menjad:
1) Derivate benzodiazepine, terdiri dari klordiazopoksid (librium), diazepam
(valium), bromazepam (lexotan), dll
2) Derivat gliserol, contohnya adalah jenis meprobamat (deparon)
3) Derivate barbitrat, contohnya adalah fenobarbital (luminal)
Obat anti ansietas seperti diazepam (valium) dapat diberikan pada pasien yang
mengalami gangguan kepribadian paranoid (Ripli, 2015). Obat ini berguna
untuk mengurangi ansietas tanpa mempengaruhi fungsi kognitif pada pasien
namun obat ini berefek sedatif dan berpotensi menyebabkan ketergantungan

43
khususnya obat pada golongan benzodiazepin. Selain itu, obat ini juga
memiliki berbagai efek samping lainnya yaitu dapat menimbulkan sakit
kepala, rasa mengantuk yag berat, nafsu makan bertambah, disartria dan
gezala putus zat seperti gelisah, tremor, sampai kejang-kejang (Yusuf et al,
2015).
2.3.4 Anti Manik
Obat jenis ini dapat bermanfaat untuk kasus gangguan afektif bipolar
khususnya episodik mania. Seperti pada kasus pasien dengan skizoafektif,
obat anti manik sangat diperlukan untuk mengatasi keadaan manik, namun
untuk menekan kekambuhan sekecil apapun pada pasien, obat antimanik ini
harus diberikan dalam jangka waktu yang lama (Anggraeni & Miranda, 2016).
Obat ini bekerja pada gangguan bipolar disorder dengan cara meningkatkan
efek penghambat neurotransmitter GABA dan mengurangi pengaruh kindling
pada penyakit tersebut (Stuart, 2013). Jenis obat anti manik terdiri dari;
golongan garam lithium (teralith, priadel); karbamazepin (tegretol, temporal);
dan asam valproate. Dalam pemberian obat ini terdapat hal yang perlu
diperhatikan yaitu kadar atau dosisnya dalam plasma yaitu antara 0,8 – 1,2
meq/L. Apabila tidak sesuai dengan kadar tersebut dapat obat antimanik dapat
berbahaya khususnya pada ginjal. Selain itu, obat ini juga memiliki efek
samping, diantaranya adalah dapat menyebabkan diare dan muntah-muntah,
tremor, vertigo, rasa lelah, kesadaran menurun, oliguria dan anuria, edema,
konvulsi dan ataksia (Yusuf et al, 2015).
2.3.5 Peran Perawat dalam Pemberian Psikofarmaka
Menurut Stuart (2013), terdapat tujuh peran peran perawat dalam pemberian
psikofarmaka, diantaranya yaitu:
1) Penilaian pasien, perawat sebelum memberikan psikofarma, terlebih dahulu
melakukan penilaian pasien secara menyeluruh seperti riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, evaluasi psikiatri, penilaian
sosiokuktural dan riwayat pengobatan. Hal ini dilakukan agar asuhan
keperawatan yang diberikan bersifat tepat dan menyeluruh.
2) Koordinasi obat dengan terapi modalitas, perawat dalam membuat rencana
keperawatan perlu mengintegrasikan antara perawatan farmakologis dengan

44
nonfarmakologis dengan cara yang efektif, aman dan dapat diterima oleh
pasien. Hal ini dilakukan agar pengobatan pasien gangguan jiwa dapat
memberikan hasil yang terbaik.
3) Memantau efek samping obat, setelah pasien minum obat perawat
diharapkan mampu memantau efek sampig obat secara konsisten. Hal ini
dilakukan untuk mengukur standar efek obat pada gejala target awal,
mengevaluasi efek samping obat, mengobati apabila terdapat reaksi yang
merugikan pada pasien agar pemberian obat pada pasien dapat tercapai dengan
optimal.
4) Pendidikan mengenai pengobatan, salah satu tugas seorang perawat yaitu
mengedukasi pasien dan keluarga mengenai obat-obatan. Hal ini penting
dilakukan agar pasien dan keluarga memiliki informasi megenai obat mereka
seperti manfaat obat serta risiko potensial yang dapat terjadi dan juga agar
pasien patuh terhadap pengobatan yang diberikan.
5) Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi, dalam hal ini
perawat berperan untuk memaksimalkan efek terapeutik obat dan menimalkan
efek samping obat pada pasien (Yusuf et al, 2015).
6) Program pemeliharaan obat, dalam hal ini perawat dapat menjadi
seseorang yang sering dihubungi oleh pasien jika memiliki pertanyaan
berkelanjutan mengenai obat, efek obat pada kehidupan sehari-hari dan
penyakit.
7) Uji coba obat penelitian klinis, sebagai salah satu anggota interdisipliner
perawat dapat ikut serta dalam penelitian ilmiah. Perawat dapat memiliki
peran sebagai pengumpul data, asisten peneliti dan peniliti utama.
2.5. Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa

2.5.1. Pengertian Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa


Manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana
menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Swanburg,
2000 dalam (Keliat, 2011)). Pelayanan adalah proses pemenuhan
kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung (Tangkilisan,
2005). ANA (American Nurses Association) mendefinisikan keperawatan

45
kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang
menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
secara terapeutik sebagai kiatnya (Stuart, 2013). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa manajemen pelayanan dalam keperawatan jiwa adalah proses
mengkoordinasikan sistem pelayanan pemenuhan kebutuhan manusia yang
memiliki gangguan kejiwaan oleh organisasi keperawatan jiwa secara
efisien, efektif, dan rasional.
2.5.2 Prinsip Community Mental Health Nursing (CMHN)
Keperawatan kesehatan jiwa komunitas atau Community Mental
Health Nursing (CMHN) adalah pelayanan keperawatan yang
komprehensif, holistik, dan paripurna yang berfokus pada masyarakat
yang sehat jiwa, rentan terhadap stress (risik gangguan jiwa) dan dalam
tahap pemulihan serta pencegahan kekambuan (gangguan jiwa) (Keliat,
2009).
1. Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif
- Pencegahan primer
Pelayanan yang bertujuan peningkatan kualitas kesehatan
jiwa dan mencegah gangguan jiwa. Program yang diberikan
seperti pemberian pendidikan, program dukungan sosial,
sosialisasi, dan pencegahan stigma. Jenjang pelayanan yang
sering melakukan adalah puskesmas.
- Pencegahan sekunder
Pelayanan sekunder bertujuan untuk deteksi dini dan
memberikan penanganan segera jika adanya tanda-tanda
gangguan jiwa. Program yang dilakukan seperti
menemukan dan melakukan penjaringan kasus,
memberikan pengobatan dan terapi modalitas, bekerja sama
dengan perawat komunitas, menangani kasus bunuh diri,
memfasilitasi self-help group, menyediakan hotline service,
dan melakukan tindak lanjut. Pelayanan ini biasanya
dilakukan di Rumah Sakit Umum (RSU).
- Pencegahan tersier

46
Pelayanan tersier bertujuan untuk rehabilitasi dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Pelayanan yang
diberikan seperti dukungan sosial dan program rehabilitasi.
Pelayanan ini biasanya dilakukan di Rumah Sakit Umum
(RSU) dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
2. Pelayanan keperawatan jiwa holistik
Pelayanan keperawatan holistik, yaitu pelayanan menyeluruh
pada semua aspek kehidupan manusia yaitu aspek bio-psiko-
sosio-kultural dan spiritual (Keliat, Akemat, Helena, &
Nurhaeni, 2011)
3. Pelayanan keperawatan jiwa paripurna
Pelayanan keperawatan paripurna, yaitu pelayanan pada semua
jenjang pelayanan yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa
spesialis, pelayanan kesehatan jiwa integratif dan pelayanan
kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat (Keliat,
Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2011).
Pelayanan yang komprehensif, holistik, dan paripurna tersebut
diwujudkan melalui pendekatan proses keperawatan:
1. Pengkajian
Perawat jiwa mengkaji respon pasien selama bercerita dan
temukan tanda-tandanya. Jika ditemukan tanda-tanda, langsung
mengisi form pengkajian. Format pengkajian meliputi: keluhan
utama, riwayat kesehatan jiwa, pengkajian psikososial, dan
pengkajians status mental.
2. Diagnosis
Diagnosis yang sering muncul pada anak-anak dan remaja
seperti depresi dan perilaku kekerasan. Pada dewasa sering
ditemukan harga diri rendah, isolasi sosial, halusinasi, waham,
perilaku kekerasan, risiko bunuh diri, dan defisit perawatan diri.
Pada lansia sering ditemukan demensia dan depresi.
3. Perencanaan

47
Perencanaan dibuatkan untuk individu, keluarga dan komunitas
pasien.
4. Tindakan
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan pasien
saat itu, jadi tidak semua rencana dapat dilakukan.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan melihat perkembangan pasien dan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan
sebuah masalah.
2.5.3 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas:
Pencatatan dan Pelaporan
Untuk memantau kegiatan keperawatan jiwa komunitas baik bagi
kepentingan pasien maupun tenaga keperawatan yang memberikan
pelayanan kesehatan jiwa baik kepada individu, keluarga maupun
komunitas (Keliat, 2011). Terdapat 3 mekanisme pencatatan dan
pelaporan:
1. Input
Mekanisme input dilakukan dengan mencari pasien melalui
pendeteksian dini. Kemudian, perawat akan membuat laporan dan
menentukan pasien yang perlu diberikan intervensi.
2. Proses
Pasien yang sudah ditentukan membutuhkan pelayanan keperawatan
jiwa akan dibuatkan pencatatan asuhan keperawatan. Pencatatan yang
dilakukan berupa asuhan keperawatan, format rujukan bagi pasien
yang membutuhkan penanganan lanjutan, dan perencanaan pulang
pasien.
3. Output
Mekanisme ini dilakukan untuk mengetahui indicator
pelayanan yang diberikan seperti jumlah kunjungan ke pasien
di masyarakat, jumlah kasus yang ditemukan, dan jumlah
asuhan keperawatan pada pasien dan keluarga serta jumlah
kasus yang dirujuk.

48
2.5.4 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas:
Pengorganisasian Masyarakat
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas dilakukan pada
sekelompok masyarakat, maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan
pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian masyarakat adalah
pengorganisasian masyarakat sebagai target pelayanan dan pengorganisasian
tenaga perawat untuk memberikan pelayanan. Dalam pengorganisasian
masyarakat kita juga harus memahami piramida pelayanan kesehatan jiwa
komunitas dan pengorganisasian sumber daya kesehatan [ CITATION Kel11 \l 1033 ].

Pengorganisasian masyarakat dibutuhkan untuk keadilan palayanan


kesehatan, karena masyarakat terdiri dari sekelompok orang dengan karakteristik
yang berbeda-beda. Dengan karakteristik yang berbeda pastilah setiap orang
memiliki kebutuhan yang berbeda. Berdasarkan kuantitas pelayanan yang
dibutuhkan, frekuensi kebutuhan dan besar kecilnya biaya yang diperlukan,
pelayanan kesehatan jiwa dapat digambarkan sebagai piramida. Piramida
pelayanan kesehatan jiwa komunitas terdiri dari 6 tingkat, yaitu:

1. Perawatan mandiri individu dan keluarga. Pada tahap ini, masyarakat


baik individu ataupun keluarga memang diharapkan dapat secara
mandiri memelihara kesehatan jiwanya dan kesehatan jiwa anggota
keluarganya. Peran keluarga dalam pencegahan gangguan jiwa sangat
sensitif dan berdampak [CITATION Nov91 \p 2019 \y \l 1033 ]. Maka
dari itu kita sebagai individu ataupun sebagai anggota keluarga, harus
memiliki pengetahuan tentang ciri-ciri dan cara penanganan seseorang
dengan gangguan jiwa.
2. Dukungan masyarakat formal dan informal diluar sektor kesehatan.
Tingkat dua ini adalah upaya yang dapat dilakukan ketika upaya
tingkat satu tidak dapat dilakukan. Target pelayanan pada tingkat ini
yaitu:
a. Tokoh masyarakat baik tokoh agama, kepala desa, ataupun tokoh
wanita;
b. Pemberi pengobatan tradisional;

49
c. Guru.
Tokoh- tokoh tersebut selain dapat menjadi target pelayanan
mereka dapat menjadi mitra tim kesehatan jiwa komunitas yang
berhubungan dengan perannya di lingkungan masyarakat. Contoh
penanganan pada tingkat ini yaitu terapi Ruqyah yang dilakukan oleh
tokoh agama muslim. Terapi ruqyah ini berdasarkan penelitian yang
sudah dilakukan dapat membantu menyembuh orang yang terkena
kesurupan. Dimana pada fakta kesehtan jiwa kesurupan adalah
merupakan salah satu gangguan jiwa dalam bentuk halusinasi
[ CITATION Ari11 \l 1033 ]. Tenaga kesehatan yang berperan adalah
perawatan kesehatan jiwa komunitas dan kader kesehatan jiwa.
3. Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar. Pada
tingkat ini yang berperan yaitu tenaga kesehatan yang telah dilatih
CMHN yang bekerja secara tim yang disebut tim kesehatan jiwa
puskesmas. Tenaga kesehatan yang berperan adalah perawat
kesehatan jiwa, dokter umum, dan kader kesehtan jiwa [ CITATION
Kel11 \l 1033 ].
4. Pelayanan kesehatan jiwa masyarakat kabupaten/kota. Pada tingkat
ini pelayanna dilakukan oleh tim kesehatan yang bertanggung jawan
di tingkat kabupaten/kota. Tim kesehatan jiwa kabupaten/kota terdiri
dari psikiater, psikolog klinik dan perawat jiwa ataupun dokter umum.
5. Piramida tingkat lima yaitu unit pelayanan kesehatan jiwa di Rumah
Sakit Umum. Rumah sakit umum daerah diharapkan sudah memiliki
pelayanan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien gangguan jiwa.
Tenaga kesehatan yang berperan adalah psikiater, psikolog klinis, dan
perawta kesehtan jiwa.
6. Piramida tingkat enam yaitu pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit
jiwa. Rumah sakit jiwa merupakan pusat pelayanan kesehatan jiwa
yang merupakan rujukan terakhir untuk tempat pemberi pelayanan
pada pasien dengan gangguan jiwa. Tenaga kesehatan yang berperan
psikiater, psikolog klinis, dokter umum dan perawat kesehatan jiwa
[ CITATION Kel11 \l 1033 ].

50
Penerapan pengorganisasian masyarakat dalam keperawatan kesehatan
jiwa komunitas, yaitu:

a. Mengidentifikasi kebutuhan dan sumberdaya yang ada di


masyarakat, hal tersebut dapat dilakukan dengan mencari informasi
dari masyarakat, dari perawat komunitas, menemukan sendiri dan
melalui pertemuan;
b. Pengelompokan data yang telah didapat menjadi 3 kelompok yaitu
kelompk sehat, kelopok resiko dan kelompok gangguan;
c. Merencanakan dan melaksankan asuhan keperawatan terhadap kasus;
d. Melakukan evaluasi dan melakukan tindak lanjut [ CITATION Kel11 \l
1033 ].
2.5.5 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas:
Pencatatan dan Peaporan
Untuk memantau kegiatan keperawatan jiwa komunitas baik bagi
kepentingan pasien maupun tenaga keperawatan yang memberikan
pelayanan kesehatan jiwa baik kepada individu, keluarga maupun
komunitas (Keliat, 2011). Terdapat 3 mekanisme pencatatan dan
pelaporan:

1. Input, Mekanisme input dilakukan dengan mencari pasien melalui


pendeteksian dini. Kemudian, perawat akan membuat laporan dan
menentukan pasien yang perlu diberikan intervensi.
2. Proses, Pasien yang sudah ditentukan membutuhkan pelayanan
keperawatan jiwa akan dibuatkan pencatatan asuhan keperawatan.
Pencatatan yang dilakukan berupa asuhan keperawatan, format
rujukan bagi pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan, dan
perencanaan pulang pasien.
3. Output, Mekanisme ini dilakukan untuk mengetahui indicator
pelayanan yang diberikan seperti jumlah kunjungan ke pasien di
masyarakat, jumlah kasus yang ditemukan, dan jumlah asuhan

51
keperawatan pada pasien dan keluarga serta jumlah kasus yang
dirujuk.

2.5.6 Manajemen Pelayanan di Ruang MPKP Jiwa


MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional) sebagai suatu
sistem yang terdiri dari struktur, proses, dan nilai profesional yang
memfasilitasi perawat profesional untuk mengatur pemberian asuhan
keperawatan termasuk lingkungan asuhan tersebut diberikan (Sitorus,
2014 dalam (Asriani, 2016)). MPKP terbagi menjadi 3 jenis:
1. MPKP Transisi: terdapat tenaga perawat yang berjenjang SPK dan
D3 keperawatan sebagai karu dan katim.
2. MPKP Pemula: semua tenanga keperawatan minimal D3
Keperawatan
3. MPKP Profesional
- MPKP 1 (Basic): Perawat pelaksana minimal D3, karu dan
katim minimal S1
- MPKP 2 (Intermediet): Minimal D3 Keperawatan,
mayoritas Ners Sarjana Keperawatan dan sudah memiliki
spesialis keperawatan
- MPKP 3 (Advance)  Minimal Ners sarjana keperawatan
dan dilengkapi dengan spesialis dan doctor keperawatan.
Terdapat 4 Pilar MPKP:
• Manajemen Approach
- Perencanaan
Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan
penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di
masa mendatang dalam rangka pencapaian tujuan yang
akan ditetapkan (Siagian, 1990 dalam (Keliat & Akemat,
2012)). Perencanaan MPKP terbagi menjadi rencana jangka
pendek (harian, bulanan, dan tahunan), jangka menengah
(1-5 tahun), dan jangka panjang (5-10 tahun).
1. Rencana harian

52
Rencana harian karu: Asuhan keperawatan, supervise
katim dan perawat pelaksana, dan supervisi selain
perawat dan kerjasama dengan unit lain terkait.
Rencana harian katim: Penyelenggara asuhan
keperawatan, melakukan supervisi perawat pelaksana,
kolaborasi dengan dokter atau tenaga lain, dan lokasi
pasien sesuai perawat dinas.
Rencana harian perawat pelaksana: Tindakan
keperawatan sejumlah pasien sesuai shiftnya.
2. Rencana bulanan
Rencana bulanan karu: Membuat jadwal & memimpin
case conference serta pendidikan kesehatan keluarga,
membuat jadwal dinas dan memimpin rapat bulanan
perawat serta rapat tim kesehatan, membuat jadwal
supervisi & penilaian kinerja katim & perawat
pelaksana, dan embuat audit dokumentasi & laporan
bulanan.
Rencana bulanan katim: Mempresentasikan kasus
dalam case conference, memimpin Pendidikan
kesehatan kelompok keluarga, dan elakukan supervisi
perawat pelaksana.
3. Rencana tahunan
Rencana tahunan karu: Menyusun laporan tahunan yang
berisi MPKP baik proses kegiatan (4 pilar parktik yang
sudah dilakukan) maupun evaluasi mutu pelayanan,
melaksanakan rotasi tim untuk penyegaran anggota tim,
penyegaran terkait materi MPKP khusus kegiatan yang
memiliki pencapaian rendah, dan pengembangan SDM
dalam bentuk rekomendasi peningkatan jenjang karier
perawat
- Pengorganisasian

53
Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk
mencapai tujuan melalui penugasan suatu kelompok tenaga
keperawatan, menentukan cara pengoordinasian aktivitas
yang tepat, baik vertical maupun horizontal, yang
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi
(Keliat & Akemat, 2012)
1. Struktur organisasi MPKP merupakan pembagian kerja
dan bagaimana fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda
dilakukan.
2. Daftar dinas ruangan yang terdiri dari jadwal dinas,
perawat yang bertugas, dan penanggung jawab shift.
3. Daftar dinas pasien yang berisi nama pasien, nama
dokter, nama perawat ketua tim, nama perawat
pelaksana yang bertanggung jawab pasien, dan alokasi
perawat saat menjalankan dinas di setiap shift.
- Pengarahan

Pengarahan atau directing adalah usaha penerapan


perencanaan berbentuk tindakan untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Istilah lain
yang digunakan sebagai padanan pengarahan adalah
pengkoordinasian, pengaktifan. Apapun istilah yang
digunakan pada akhirnya yang bermuara pada
”melaksanakan” kegiatan yang telah direncanakan
sebelumnya (Marquis & Houston, 1998).
Dalam pengarahan ruang MPKP Ada beberapa hal
yang perlu dilakukan yaitu menciptakan budaya motivasi,
melakukan komunikasi efektif pada operan antar jadwal
dinas, preconference dan postconference, manajemen
konflik, supervisi serta pendelegasian. Iklim motivasi
diterapkan dengan beberapa cara, diantaranya adalah :
 Pemberian reinforcement positif yaitu
menguatkan perilaku positif dengan

54
memberikan reward. Membudayakan dalam
tim untuk membudayakan pemberian pujian
yang tulus antar karyawan.
 Melakukan doa bersama sebelum memulai
kegiatan yang dilakukan setiap pergantian
dinas.
 Membantu mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah setiap personil.
 Melakukan pengembangan jenjang karier dan
kompetensi para staff.
 Melakukan sistem reward yang adil sesuai
dengan kinerja yang telah dilakukan staf.

- Pengendalian
• Compensatory Reward
• Proffesional Relationship
• Care Delivery
Pendekatan penyelesaian masalah pasien yang sistematis
dalam pemberian asuhan keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan fase pengumpulan data subjektif
dan objektif secara sistematis untuk dapat menentukan
tindakan keperawatan individu, kelompok, keluarga
maupun komunitas (Keliat, 2012).
2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan jiwa yang dapat muncul berupa:
a. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
b. Isolasi social
c. Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
d. Perubahan proses piker: Waham
e. Risiko perilaku kekerasan
f. Risiko bunuh diri

55
g. Defisit perawatan diri
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Tindakan diberikan kepada pasien, keluarga, dan
komunitas berdasarkan rencana yang sudah dibuat. Di
ruang MPKP, pasien diklasifikasikan berdasarkan
tingkat kebutuhannya menurut tindakan keperawatan.
Menurut Gillies (1995) dalam Keliat (2012), rata-rata
pasien membutuhkan perawatan sehari selama empat
jam, antara lain:
a. self care: kurang dari 2 jam,
b. minimal care: 2 jam,
c. moderate care: 3,5 jam,
d. extensive care: 5-6 jam,
e. intensive care: 7 jam.

Rata-rata tindakan keperawatan untuk pasien di ruangan


MPKP dibagi menjadi tiga, diantaranya:

a. keperawatan total: 6 jam

b. keperawatan parsial: 4 jam

c. keperawatan mandiri: 2 jam.

6. Evaluasi
Tindakan yang telah diberikan kepada pasien
didokumentasikan dengan menggunakan pendekatan
SOAP (subjektif, objektif, analisis, perencanaan).
Penugasan ini dimasukkan ke dalam jadwal aktivitas
pasien dan diklasifikasikan seperti:
a. Apakah tugas tersebut dilakukan secara mandiri (M)
b. Bantuan sebagian (B)
c. Bantuan total (T)

56
2.5.9. Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa: Kompensasi dan
penghargaan
Dalam MPKP Terdapat 5 pilar utama yaitu pendekatan
manajemen, penghargaan dan kompensasi, hubungan professional, nilai
professional dan sistem pemberian perawatan pasien. Pada ruang MPKP
dalam manajemen sumber daya manusia berfokus kepada perekrutan,
seleksi, kontrak kerja, orientasi, penilaian kinerja dan pengembangan staf
perawat. Proses perekrutan tenaga perawat di kategorikan menjadi
(Keliat&Akemat, 2009):
1. MPKP Profesional I, diharapkan berpendidi Ners, sarjana
keperawatan dengan minimal jenjang karier Perawat Klinik
3 (PK3) dan untuk perawat pelaksana minimal
berpendidikan D3 dengan jenjang karier PK 2
2. MPKP Profesional II, perawat pada tingkat ini adalah Ners,
bahkan terdapat juga gelar spesialis jiwa
3. MPKP Profesional III, semua anggota nya berlatar
belakang pendidikan Ners, spesialis keperawatan jiwa,
bahkan ada gelar Doktor.
4. MPKP Pemula, memiliki latar belakang pendidikan D3 dan
PK 1 (sudah lulus orientasi) dan untuk perawat pelaksana
dapat SPK dengan jenjang karier minimal PK1.

Proses perekrutan perawat yaitu perawat harus menyepakati tingkat


MPKP yang akan dipilin dan nanti nya akan disesuaikan dengan SDM
yang ada di RS dan diharapkan untuk tidak memilih tingkat pemula.
Kemudian setelah tingkat MPKP di sepakati maka Kepala Bidang
Keperawatan akan mensosialisasikan pembentukan ruang MPKP kepada
pimpinan dan pejabat yang ada di RS.

Proses seleksi perawat dimulai dengan peninjauan dokumen untuk


menetapkan perawat mana yang sudah memenuhi syarat. Setelah itu
perawat yang memenuhi kriteria akan dipanggil untuk menjalankan tes
tertulis, selanjutnya perawat yang lulus tes tertulis diharapkan mengikuti
wawancara dan yang terakhir yaitu melakukan presentasi untuk memilih

57
karu dan katim (Keliat&Akemat,2009). Masa orientasi atau pelatihan
merupakan suatu pelatihan mengenai informasi mengenai MPKP dan
informasi umum tentang RS. Pelatihan yang dilaksanakan menggunakan
metode klasikal selama 3 hari, praktik lapangan selama 3 hari, dan praktik
kerja selama 6 bulan dengan di damping oleh Kepala Bidang Keperawatan
dan konsultan pembimbing.

penilaian kinerja adalah evaluasi mengenai kemampuan perawat


baik secara observasi dan dokumentasi, untuk kinerja yang dilakukan oleh
kepala ruangan akan dievaluasi oleh kepala bidang keperawatan
,konsultan, dan kepala ruangan dan untuk kinerja yang dilakukan oleh
perawat pelaksana akan dievaluasi oleh karu dan katim.

Pengembangan merupakan suatu proses yang dibutuh kan untuk


memaksimalkan jenjang karier dari masing – masing perawat, bentuk
pengembangan yang dilaksanakan di MPKP yaitu pendidikan
keperawatan berkelanjutan dan program pengembangan. Jenjang karier
yang telah dikembangkan oleh PPNI dan Direktorat Keperawatan
Departemen Kesehatan RI yaitu (Keliat&Akemat,2009):

1. Perawat lulusan D3, hanya bisa mencapai jenjang PK2 dan


perawat manajer 1
2. Perawat lulusan Ners S1 hanya bisa berkembang sampai
PK3, PMM2 dan perawat pendidik 1
3. Perawat lulusan S2/Spesialis dapat berkembang sampai
PK5,PM5,PP4 dan perawat riset 3
4. Perawat lulusan S3 dapat berkemabng sampai PK5, PM
5,PP5,PR5 dengan syarat yaitu pendidikan yang dijalani
sebelumnya adalah bidang keperawatan.

2.5.10 Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa: Hubungan


Professional

Hubungan professional yang terjadi antara perawat dengan tenaga


kesehatan lainnya merupakan suatu hubungan yang disebut kolaborasi.

58
Pada umumnya dalam hubungan profesional dapat terjadi komunikasi,
sistem pendokumentasian, operan tugas jaga, konferensi awal dan akhir,
kerjasama secara tim dan kemampuan dalam memimpin. Pada ruang MPKP
hubungan yang terjadi yakni secara internal yaitu komunikasi horizontal
yang terjadi antar katim, antar perawat pelaksana, sedangkan komunikasi
vertical yaitu karu dan katim serta perawat pelaksana dan antar katim dan
perawat pelaksana. Selain itu komunikasi diagonal dilakukan oleh perawat
dengan tenaga kesehatan lainnya.

Hubungan professional yang dapat terjadi dalam MPKP yaitu


(Keliat&Akemat,2009) :

1. Rapat Perawat Ruangan, komunikasi yang dilaksanakan berfungsi


untuk menyampaikan informasi mengenai permasalahan pasien,
dimana fokus pembicaraannya yaitu membahas hail kerja perawat
selama sebulan tentang keseluruhan aktivitas di ruang MPKP.
Tujuan nya yaitu mengidentifikasi keberhasilan, hambatan,
penyelesaian masalah, menyusun POA bulan berikutnya, dan
meningkatkan hubungan antar perawat.
2. Case conference keperawatan, diskusi yang dilakukan oleh
kelompok mengenai suhan keperawatan pasien/ keluarga. Dimana
diskusi ini dilaksanakan 2 kali per bulan dan kasus nya akan
bergantian antar tim. Tujuannya yaitu mengenal kasus dan masalah,
diskusi untuk menyelesaikan masalah,meningkatkan koordinasi,
meningkatkan pengetahuan
3. Rapat Tim Kesehatan, komunikasi antar tim kesehatan untuk
membahas mengenai manajerial ruang MPKP fokus pembicaraanya
yaitu terkait hal manajerial. Tujuan nya yaitu menyamakan persepsi,
meningkatkan kesinambungan pelayanan, mengurangi kesalahan
informasi, meningkatkan koordinasi.
4. Visit dokter, melakukan kunjungan dokter ke ruangan untuk
melakukan pemeriksaan pada pasien, di damping oleh katim.
Tujuannya yaitu meningkatkan pemberian pelayanan, koordinasi

59
dalam pemberian pelayanan, dan kesinambungan pemberian
pelayanan.
2.5.11 Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa:
Monitoring
Monitoring merupakan teknik pemantauan terhadap aktivitas
organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian,
diagnosis,monitoring atau pemantauan yang efektif itu merupakan
suatu pusat peran perawat yang bergantung pada teori dan pemahaman
makna dari suatu penyakit. Pemantauan sendiri terdapat pada beberapa
proses yaitu pada saat penilaian performa dan diagnosis, pada saat
melakukan administer dan melakukan intervensi, serta yang terakhir
memonitor dan memastikan bahwa kualitas asuhan keperawatan yang
diberikan sudah sesuai (Videbeck,2011).

2.5.12 Manajemen Pelayanan diruang MPKP Jiwa:Evaluasi

Evaluasi sangat dibutuhkan mengenai pengetahuan dan


pemahaman perawat tentang MPKP itu sendiri. Waktu pelaksanaan
evaluasi yaitu sebelum pelatihan, sesudah pelatihan, setelah 6 bulan
implementasi MPKP, dan setelah 1 tahun implementasi MPKP. Pada tahap
evaluasi ini, biasa nya menggunakan kuesioner. Untuk mengetahui
pengetahuan dan pemahaman tentang MPKP maka dilakukanlah evaluasi
awal dan evaluasi akhir. Biasanya evaluasi awal dilakukan pada kondisi
pengkajian mengenai MPKP dan orientasi sebelum program MPKP
dilakukan. Evaluasi proses dan akhir yang dilaksanakan baik itu pada
proses implementasi MPKP (tes formatif), evaluasi akhir yaitu
mengevaluasi pencapaian setelah dilaksanakannya implementasi (tes
sumatif). Adapun evaluasi yang terakhir yaittu evaluasi kinerja perawat
yaitu mengevaluasi semua kegiatan MPKP, yaitu kemampuan kabid, karu,
katim, dan perawat pelaksana sehubungan dengan pilar MPKP (Keliat,
Budi A dan Akemat,2009).

60
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Pelayanan kesehatan keperawatan jiwa di Indonesia masih dinilai kurang baik.
Belum meratanya fasilitas rumah sakit jiwa disetiap daerah. Dalam
pelaksanaannya pelayanan keperawatan jiwa, memberikan terapi berupa

61
farmakologi dan nonfarmakologi, sebagai upaya meningkatkan kesehatan jiwa
dan menurunkan risiko gangguan kejiwaan. Dalam memberikan pelayanan
kesehatan, perawat tidak dapat bekerja sendiri melainkan membutuhkan
kolaborasi. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga ilmu manajemen untuk
mengatur pembagian tugas dalam sebuah tim. Pelayanan kesehatan keperawatan
jiwa di Indonesia masih dinilai kurang baik. Belum meratanya fasilitas rumah
sakit jiwa disetiap daerah. Dalam pelaksanaannya pelayanan keperawatan jiwa
memberikan terapi berupa farmakologi dan nonfarmakologi, sebagai upaya
meningkatkan kesehtan jiwa dan menurunkan risiko gangguan kejiwaan.

3.2. Saran
Pelayanan kesehatan dan pengobatan untuk pasien dengan gangguan jiwa
perlu terus ditingkatkan. Baik dari fasilitas kesehatan maupun dari kompetensi
petugas kesehatan terkait. Sebagai perawat yang dianggap sebagai tenaga
kesehtan yang paling dekat dengan pasien, sudah seharusnya kita dapat
memberikan pelayanan terbaik pada pasien. Perawat harus mampu memberikan
konsep diri yang positif agar pasien dengan gangguan jiwa mampu menerima
perilaku baik dan menerapkannya pada dirinya sendiri. Perawat juga diharapkan
mampu melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan, edukator dan
koordinator dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, W. (2011). Aspek psikososial remaja dengan disabilitas fisik


motorik tubuh. Diambil dari http://repository.uin-
suska.ac.id/1167/1/2011_201111.pdf

American Nurses Association. (2013). Correctional nursing scope and standards


of practice. Silver Spring, MD: American Nurses Association.

62
Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Retrieved from
https://kbbi.web.id/ diakses pada 11 Februari 2019

Arifin, Zinul dan Zulkhair. ( 2011). Gangguan Kesurupan Dan Terapi Ruqyah:
Penelitian Multi Kasus Di Pengobatan Alternatif Terapi Ruqyah Al-
Munawwaroh Dan Terapi Ruqyah Darul Mu’allijin Di Kota Malang,
Vol. 13,Iss.2.Diakses
melaluihttps://remotelib.ui.ac.id:2155/docview/2030968774?pq-
origsite=summon. Pada 9 Februari 2019.

Asriani. (2016). Pengaruh Penerapan Model Praktik Keperawatan Profesional


(MPKP) terhadap Standar Asuhan Keperawatan dan Kepuasan Kerja
Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.
Mirai Management, 1(2), 1-13.

Atmaja, K dan Kamil,H. (nd). Penerapan Model Praktek Keperawatan


Profesional di Rumah Sakit Cut Nyak Dhien. Retrieved from:
www.jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/download/4310/3019

Baquandi., Wisnu, K., Khusnah, A., Ismiani, D. Tri., Hidayah, F.,


marita, Y. Sevien., Kunto. (2009). Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT). Retrievedfrom:
psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf.
(diakses pada 16 Februari 2019, pukul 21.24 WIB)

Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Fundamentals of nursing:


Concepts, process, and practice (10th ed). Hoboken: Pearson.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. (2013).


Nursing interventions classification (NIC) (6th ed.). Philadelphia: Elsevier.

Brunto & Hopkins.(2014). The impact of experience in prison on


the employment status of longersentenced prisoners after
releaser. Retrieved from http:// w w w. j u s t i c e . go v. u

63
k / p u b l i c a t i o n s /researchand-analysis/moj 11
Februari 2019.
Cahya, L. S. (2013). Adakah ABK di kelasku, bagaimana guru
mengenali ABK di sekolah. Yogyakarta: Familia.

Carpenito-Moyet, L.J. (2005). Nursing diagnostic: Application to clinical


practice ed. 11. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins.

Dani Prabowo. (2016). “Komnas HAM: Ada indikasi Pelanggaran


HAM dalam Kasus Cebongan”. Retrieved from
http://rmol.co/read/2013/04/16/106576/Siti-Noor-Laila:-Ada-
Pelanggaran-HAM-Dalam-Kasus-Cebongan-, diakses 10
Februari 2019
Depkes RI. Petunjuk Teknis Terapi Kelompok Pasien Mental di RS
Jiwa. Direktorat Kesehatan Jiwa, Jakarta.

DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2011). Fundamentals of nursing : Standards


and practice (4th e.d.). USA : Delmar, Cengage Learning.

Delphie, Bandi. (2006). Jurnal Pembelajaran anak berkebutuhan khusus (dalam


setting pendidikan inklusi). Bandung: PT Refika Aditama.
Handoko, D. (2017). Asas-asas hukum pidana dan hukum
penitensier di Indonesia. Pekanbaru: Hawa dan Ahwa.

Harnilawati. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga.


Takalar: Penerbit Pustaka As Salam.

Hartini, Priyanto, dan Nurhayati. (2015). Kebijakan


Perlindungan Hak Asasi Warga Narapidana pada
Lembaga Permasyarakatan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Journal of Universitas Negeri Yogyakarta. Page
287. Retrieved from (Accessed 10 Februari 2019 19:11)
Hawari, D. 1990. Pendekatan Psikiatri Klinis pada
Penyalahgunaan Zat. Tesis. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana
UI.

64
Hidayat, E. ( n.d ). Perlindungan hak asasi Manusia dalam Negara
Hukum Indonesia. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/56534-ID-
none.pdf

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Nursing diagnoses definitions and


classification. (S. Hodgson, Ed.) (11th ed.). Canada: Thieme.

Idaiani, S., & Riyaldi, E. I. (2018). Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia:


Tantangan untuk Memenuhi Kebutuhan. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 71- 74.

Keliat, Budi A. dan Akemat. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional.


Jakarta: EGC

Keliat, B., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2011). Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.

Kemenkes. (2015). Rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2015-2019.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
KBBI Daring. (2016). Isu. Reterieved
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/isu on February 11,
2019.

KBBI Daring. (2016). Tren. Reterieved from


https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tren on February 11,
2019.

Limbat, T. (2014). Perlindungan anak terhadap kekerasan


menurut undang-undang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Retrieved from
https://www.neliti.com/id/publications/3188/perlindungan-
anak-terhadap-kekerasan-menurut-undang-undang-
penghapusan-kekerasan on February 11, 2019.

65
Maryatun S, Yani A, & Mustikasari, (2014). Logoterapi meningkatkan harga diri
narapidana perempuan pengguna narkotika. Depok: Universitas
Indonesia.

Marquis, B.L dan Huston, C.J. (2009). Leadership Roles and management
functions in nursing: Theory and application. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Marquis, B.L dan Huston, C.J. (2010). Kepemimpinan dan manajemen


keperawatan : Teori dan aplikasi, edisi 4. Jakarta: EGC.

Manik, C. G. (2008). Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Konsep Diri pada Narapidana Remaja di Lembaga
Permasyarakatan Kelas IIA Anak Tanjung Gusta Medan.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
outcomes classification (NOC). (5th ed). Philadelphia: Elsevier.

Nanda. (2018). Diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi 2018-2020 Edisi 10


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism. (2007). Alcohol Alert.
Alcholos Damaging EffectsS On The Brain.

Nova, renny., Hamid, Achir Yani S., dan Daulima, Novy H C. ( 2019). Family's
experience in caring for clients with suicidal risk in Indonesia.
455-463. Enfermería Global; Murcia. Diakses melalui
https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/2167224002?pq-
origsite=summon, pada 9 Februari 2019.

Nursalam. (2014). manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik kperawatan


professional eds 4. Jakarta : Salemba Medika)

Octavia, L. (2008). Respon dan Koping Ibu Hamil yang


Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di
JABODETABEK. Depok: Universitas Indonesia.

66
Paramarta, Y.A. (2015). Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan
HAM. Jurnal Hak Asasi Manusia Volume 6. Retrivied from
www.balitbangham.go.id

Pieter, H. Z., Janiwarti, B., & Saragih, M. (2011). Pengantar


psikopatologi untuk keperawatan. Jakarta: Kencana.

Potter , P.A., & Perry, A.G., (2005). Fundamental of nursing : Concepts, process
& practice, 4nd ed., Vol. 1. St. Louis: Mosby.

Purwati S, (2013). Analisis praktik klinik asuhan keperawatan masalah kesehatan


masyarakat perkotaan: Ketidakberdayaan pada klien dengan gangguan
penggunaan opiat di RSKO Jakarta. Depok: Universitas Indonesia.
Ratna, W. (2013). Sosiologi dan Antropologi Kesehatan: dalam
Perspektif Ilmu Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Stuart, G W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric


Nursing, 10th edition. Missouri: Elsevier, Inc.

Sukihananto. (2017). Kekerasan fisik dan psikologis pada narapidana lansia di


lembaga pemasyarakatan jawa barat. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Dilihat dari:
https://www.researchgate.net/publication/325970993_KEKERASAN_FISIK
_DAN_PSIKOLOGIS_PADA_NARAPIDANA_LANSIA_DI_LEMBAGA
_PEMASYARAKATAN_JAWA_BARAT
Sulistyorini, A. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya Kecemasan Tahanan di Ruang Tahanan Polres
Kediri. Jurnal Psikiatri. Vol.1 No.1 Tahun 2016.
Sunardi & Sunaryo. (2011). Manajemen Pendidikan Inklusif;
Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya). Diambil dari
http://ejournal.upi.edu/index.php/jassi/article/view/3990/28
61 diakses pada tanggal 10 Februari 2019

Sirait, Y. (2012). Hubungan Penerapan MPKP Pemula Dengan Tingkat


Kepuasan Kerja Perawat dan Dokter Pada Ruang MPKP Pemula di

67
RS PGI Cikini Jakarta. Retrieved from: http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20300546-T30437%20-%20Hubungan%20penerapan.pdf

Sitorus, R. (2006) Model praktek keperawatan professional di Rumah Sakit:


Penataan struktur dan proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di
ruang rawat. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed). St.
Louis, Missouri: Elsevier Mosby.

Supriyatna, N. (2014). Drug Abuse Resistance Education (DARE)


sebagai Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas
Mencegah Penyalahgunaan Narkoba pada Remaja di SMK
“TB” Cimanggis, Depok. Depok: Universitas Indonesia.

Syamsir, H. (2008). Candlestick and Its Applications in Indonesian


Market Include Auto Pattern Identification and
Recomendation CD Software. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Tangkilisan, H. N. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Undang – Undang Dasar tahun 1945 UU No 23 Tahun 2004.


Retrieved from:
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_04.htm. (diakses pada
11 Februari 2019, pukul 14.00 WIB)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal


54.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia.

68
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahaun 1995


Tentang Pemasyarakatan. Retrieved from
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_95.htm on February
11, 2019.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999


Tentang Hak Asasi Manusia, hal. 21. Diakses pada 14
Februari 2019.

Videbeck,S. (2001). Psyhriatric-Mental Health Nursing (5th ed., Vol. 91)


Philadelphia: Lippincott Williams & Wolkins.

Videbeck, S. (2011). Psychiatric mental health nursing (5th ed). Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins
Volkmar FR, Lord,C, Klin, A, Schultz,R, Cook, EH (2007), Autism and the
pervasive developmental disorder. Lewis's child and adolescent
psychiatry.

Wiseno B, Winarni I, Fevriasanty I. F. (2017). Studi fenomenologi: Makna


pengalaman mantan narapidana pengguna narkotika kembali ke
masyarakat di kabupaten kediri. Malang: Universitas Brawijaya.

Wahab, R. (2006). Kekerasan dalam Rumah Tangga:


PerspektifPsikologis dan Edukatif. Retrieved from:
https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/view/5488/4869.
(diakses pada 11 Februari 2019, pukul 14.00 WIB)

Widyastuti, A. Reni. (2009). Peran Hukum dalam Memberikan


Perlindungan Terhadap Perempuan Dari Tindak Kekerasan
di Era Globalisasi. Retrieved from:
https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16264. (diakses
pada 10 Februari 2019, pukul 06.00 WIB)

69
Wing, HC., & Kevin, KC.(2013). The Mark of an Ex-Prisoner:
Pceived Discrimination and Self-Stigma of Young Men after
Prison in HongKong. University of Hong Kong, Hong Kong
SAR, China. Deviant Behavior.
Wirawan S, Sarlito. 2007. Psikologi Remaja. Ed Revisi 11. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

70

Anda mungkin juga menyukai