Anda di halaman 1dari 62

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT LAPORAN KASUS

DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MANAJEMEN DEMAM THYPOID SECARA HOLISTIK,


KOMPREHENSIF DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN
KEDOKTERAN KELUARGA DI PUSKESMAS MINASA UPA
MAKASSAR

DISUSUN OLEH
Andi Cakra Irwansyah
110 209 0048

PEMBIMBING
dr. Yusriani Mangarengi M.kes

DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU


KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN
KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut :

Nama : Andi Cakra Irwansyah


Stambuk : 110 209 0048

Telah menyelesaikan studi kasus yang berjudul “Manajemen Demam


Thypoid Secara Holistik, Komprehensif Dengan Menggunakan
Pendekatan Kedokteran Keluarga Di Puskesmas minasa upa
Makassar” telah diperiksa dan disetujui di hadapan Tim Laporan Studi
Kasus.

Makassar April 2017


Mengetahui,

PKM Minasa upa Makassar Pembimbing

dr. Hj. Ratih Deviyanti dr. Yusriani Mangarengi M.kes

2
HALAMAN PERSETUJUAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut :

Nama : Andi Cakra Irwansyah


Stambuk : 110 209 0048

Adalah benar telah menyelesaikan studi kasus dengan judul


“Manajemen Demam Thypoid Secara Holistik, Komprehensif Dengan
Menggunakan Pendekatan Kedokteran Keluarga Di Puskesmas minasa
upa Makassar” pada bagian IKM-IKK Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia dan telah mendiskusikannya dengan pembimbing.

Makassar, April 2017


Mengetahui,
Pembimbing Penguji

dr. Yusriani Mangarengi M.kes dr. Hj. Hermiaty Nasruddin, M.kes

3
ABSTRAK
Andi Cakra, Manajemen demam thypoid Secara Holistik Komprehensif
dengan Menggunakan Pendekatan Kedokteran Keluarga Di Puskesmas
minasa upaMakassar, dibimbing oleh dr. Yusriani Mangarengi M.kes
Latar belakang : Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh
Samonella typhi atau Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang
muncul pada penderita berupa demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi.
Demam tifoid yang tidak segera ditangani akan memberat dan
mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian
dalam jangka waktu 1 bulan.

Tujuan Penelitian : Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini


adalah menatalaksana masalah kesehatan dengan memandang pasien
sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan
prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan
pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine)

Metode Penelitian : Metode yang digunakan dalam kegiatan ini yaitu


dengan melakukan anamnesis dan observasi langsung terhadap penderita
demam thypoid

Hasil Penelitian : An.NK umur 7 tahun dibawa oleh orang tuanya ke


puskesmas dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk puskesmas.
Demam hilang timbul di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh
nyeri kepala kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun,
BAK lancar, BAB belum 3 hari terakhir

Kesimpulan : Diagnosa klinis pada pasien ini adalah demam


thypoid. Diagnosa psikososial yaitu kekhawatiran keluarga terhadap
penyakit anaknya yang tidak kunjung sembuh dan kebiasaan pasien yang
sering bermain tanah serta hygiene pribadi dan lingkungan kurang. Keluarga
kurang menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat.

Kata Kunci : demam thypoid Pendekatan Kedokteran Keluarga,


Holistik dan Komprehensif.

4
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala


rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi kasus ini
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.

Dalam studi kasus ini kami melakukan pembahasan mengenai Manajemen


demam thypoid Secara Holistik Komprehensif dengan menggunakan Pendekatan
Kedokteran Keluarga di Puskesmas Minasa Upa Makassar. Di dalamnya
dilakukan analisis masalah kesehatan secara individu dan secara menyeluruh serta
melakukan analisis pada tingkat lingkungan keluarga dan sekitar.

Kami sangat menyadari bahwa penulisan studi kasus ini belum mencapai
sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa saran
dan kritik saudara saudari yang dapat memperbaiki penulisan studi kasus-studi
kasus selanjutnya. Baik yang kami tulis sendiri atau orang lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi


keilmuan baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Makassar, April 2017

Penulis

5
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... 1


Halaman Pengesahan............................................................................................. 2
Halaman Persetujuan............................................................................................. 3
Abstrak ................................................................................................................. 4
Kata Pengantar ...................................................................................................... 5
Daftar Isi ............................................................................................................... 6
Daftar Tabel .......................................................................................................... xii
Daftar Gambar ...................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 12
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 12
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 13
1.3. Aspek Disiplin Ilmu Yang Terkait Dengan Pendekatan
Diagnostik Holistik Penderita demam thypoid ........................ 13
1.4. Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus ............................................ 14
1.4.1. Tujuan Umum .......................................................... 15
1.4.2. Tujuan Khusus ......................................................... 15
1.4.3. Manfaat Studi Kasus ................................................ 16
1.5. Indikator Keberhasilan Tindakan ............................................. 16
BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS ................ 17
2.1. Kerangka Teori ......................................................................... 17
2.1.1 Konsep mandala ....................................................................... 18
2.2. Pendekatan holistic demam thypoid ......................................... 18
2.3. Demam thypoid………………………………………………. 22
2.3.1. definisi .............................................................. 22
2.3.2. etiologi…………... .......................................... 22
2.3.3. Epidemologi…………….................................. 23
2.3.3.1. Trias epidemologi ................................... 24
2.3.3.2. Variabel epidemologi.............................. 25
2.3.4. Patogenesis ............................................................. 26

6
2.3.5. Gejala-gejala…......................................................... 28
2.3.6. Diagnosis………. .................................................... 29
2.3.7. Pemeriksaan Penunjang ........................................... 30
2.3.8. Penatalaksanaan… ................................................... 34
2.3.9. Komplikasi…... ....................................................... 38
2.3.10. Prognosis... .............................................................. 38
BAB III METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS ............................... 39
3.1. Metodologi Studi Kasus ........................................................... 39
3.2. Waktu Dan Lokasi Melakukan Studi Kasus ............................ 39
3.2.1 Waktu Studi Kasus.................................................. 39
3.2.2 Lokasi Studi Kasus.................................................. 39
3.2.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................ 39
3.2.3.1 Letak Geografis........................................ 39
3.2.3.2 Keadaan Demografi................................. 39
3.2.3.3 Sarana Kesehatan..................................... 40
3.2.3.4 Tenaga Kesehatan dan Struktur
Organisasi................................................ 40
3.2.3.5 Visi dan Misi Puskesmas
Tamangapa............................................... 41
3.2.3.6 Upaya Kesehatan...................................... 42
3.2.3.7 Alur Pelayanan......................................... 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 42
4.1. Hasil Studi kasus………........................................................... 45
4.1.1 Penegakan diagnosis…………………………………………. 45
Identitas Pasien ....................................... 45
Anamnesis................................................ 45
Riwayat Penyakit Dahulu......................... 45
Riwayat Penyakit Keluarga...................... 45
Riwayat Sosial Ekonomi.......................... 45
Riwayat Kebiasaan................................... 45
Riwayat Pengobatan................................. 45

7
Riwayat kebiasaan.................................... 45
Pemeriksaan Fisik .................................... 46
Keadaan Umum......................................... 46
Vital Sign................................................. 46
Status Generalis....................................... 46
Informasi hasil pemeriksaan tambahan...................... 47
Keluarga .................................................................... 47
Profil Keluarga.......................................... 47
Karakteristik Demografi Keluarga............ 47
Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan
Hidup...................................................... 48
Penilaian Perilaku Kesehatan
Keluarga................................................... 49
Pola konsumsi keluarga………………… 49
Fungsi fisiologis…………………............ 49
Fungsi patologis………............................ 51
Genogram………...................................... 51
Bentuk keluarga…………………..…….. 51
Tahapan siklus keluarga............................ 51
Family Map……...................................... 52
4.1.2 Penyebab demam tifoid........................................... 52
4.1.3 faktor resiko demam tifoid........................................ 53
Aspek Personal…..................................... 53
Aspek Klinik…......................................... 53
Aspek Faktor Risiko Internal.................... 53
Aspek Faktor Risiko Eksternal................. 54
Aspek Psikososial Keluarga..................... 54
Aspek Fungsional..................................... 54
Derajat Fungsional.................................... 54
Rencana Pelaksanaan (Plan Of Action)... 54

8
Pemeriksaan Fisik..................................................... 58
Pemeriksaan Penunjang............................................ 58
Diagnosis Holistik.................................................... 58
4.1.4 Penatalaksanaan dan pencegahan
Pencegahan Primer................................................... 58
Pencegahan Sekunder.............................................. 59
Terapi Untuk Keluarga............................................ 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 60
5.1 KESIMPULAN.......................................................................... 60
5.2 SARAN....................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62
LAMPIRAN.......................................................................................................... 63

9
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Interpretasi hasil uji tubex........................ ........................................ 32


Tabel 2. Farmakoterapi demam tifoid................................... .......................... 36
Tabel 3. Anggota keluarga tinggal serumah............................. ....................... 48
Tabel 4. Lingkungan tempat tinggal ................................................................ 23
Tabel 10 Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR}.............................................. 45

10
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori .............................................................................. 17


Gambar 2. Konsep mandala............................................................................... 18
Gambar 3. Salmonella typhi.............................................................................. 23
Gambar 4. Bagan Alur Pelayanan Puskesmas Minasa upa............................... 44
Gambar 5. Family map...................................................................................... 52

11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman S. typhi dari tinja dan urine penderita atau carrier. Di beberapa negara
pencemaran terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan dan sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan
mikrorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif.1
Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia. Insidensi penyakit Tifoid
menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah kematian sebanyak
600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua Asia.(3) Angka
kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 – 20 %, sebelum ditemukan
antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang tepat angka
kematian berkurang sampai 1 %. Pada penderita Demam Tifoid yang berat, S.
typhi menyerang usus, yang selanjutnya juga akan menyerang organ lain yang
menyebabkan adanya komplikasi pada organ lain seperti hati, limpa atau kantung
empedu.2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan laboratorium. Adapun metoda pemeriksaan yang dilakukan antara
lain pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.

Penanganan yang tepat dan komprehensif akan dapat memberikan


kesembuhan terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun
perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang

12
tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien dengan Demam
Tifoid.2

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka masalah yang


dapat dirumuskan adalah :

1. Apa yang penyebab demam tifoid?


2. Apa yang dapat meningkatkan faktor resiko yang ditemukan pada pasien?
3. Bagaimana cara penegakan diagnose klinis dan diagnose psikososial
demam tifoid?
4. Bagaimana penatalaksanaan dan upaya pengendalian demam tifoid?

1.3. Aspek dari disiplin ilmu yang terkait dengan judul pendekatan
kedokteran keluarga pada penderita Demam Tifoid

Untuk pengendalian permasalahan demam tifoid pada tingkat individu dan


masyarakat secara komprehensif dan holistik dengan pendekatan kedokteran
keluarga yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI),
maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia
melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk
meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur,
mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu
kompetensi mempunyai landasan berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah
ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian demam tifoid secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik
moral dan peraturan perundangan.
1.3.2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis , sosial dan
budaya sendiri dalam penangan demam tifoid, melakukan rujukan bagi

13
kasus demam tifoid, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia
yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.3.3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian demam tifoid.
1.3.4. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu
memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan
dalam praktik kedokteran.
1.3.5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian demam tifoid secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimum.
1.3.6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah demam tifoid dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.3.7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelolah masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat
secara komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan
berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer.

1.4. Tujuan dan manfaat studi kasus

Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana


masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri
dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih
berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence
based medicine).

14
1.4.1. Tujuan umum

Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan pendekatan diagnose holistik kasus demam tifoid di Puskesmas
minasa upa tahun 2017.

1.4.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui cara penegakan diagnose klinis dan psikososial demam tifoid
di puskesmas Minasa upa tahun 2017
2. Mengetahui penyebab demam tifoid di puskesmas Minasa upa tahun 2017
3. Mengidentifikasi faktor resiko yang berhubungan dengan demam tifoid di
puskesmas Minasa upa tahun 2017
4. Mengetahui upaya penatalaksanaan dan pencegahan demam tifoid di
puskesmas Minasa upa tahun 2017

1.4.3. Manfaat studi kasus

1.4.3.1. Manfaat untuk institusi pendidikan

Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.

1.4.3.2. Manfaat untuk pasien (penderita)

Menambah wawasan tentang demam tifoid yang meliputi proses penyakit


dan penanganan menyeluruh demam tifoid sehingga dapat meyakinkan penderita
untuk melakukan pencegahan.

1.4.3.3. Manfaat untuk tenaga kesehatan

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah


daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita demam tifoid.

15
1.4.3.4.Manfaat untuk pembelajar studi kasus (mahasiswa)

Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka


memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidence based dan pendekatan
diagnosis holistik demam tifoid serta dalam hal penulisan studi kasus.

1.5. Indikator keberhasilan tindakan

Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan


penderita demam tifoid dengan pendekatan kedokteran keluarga, berbasis
diagnosa holistikadalah:
1.5.1. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah istirahat dan pengobatan
- Demam turun
- Lidah sudah tidak kotor
- Sakit perut berkurang
- Buang air besar lancar
- Pemeriksaan penunjanng
- Tes widal
o S. Typhy O : 1/160 (menetap selama 4-6 bulan kemudian normal
kembali)
o S. Typhy H : 1/160 (menetap selama 9-12 bulan kemudian
normal kembali)
1.5.2. Pasien mampu mengubah pola hidup untuk mencegah demam tifoid
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan apabila tanda atau gejala demam tifoid tidak
ada lagi dan tidak ada komplikasi serta kepatuhan pasien dalam mengubah pola
hidup untuk mencegah demam tifoid.

16
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN DAN BERDASARKAN KASUS

2.1. Kerangka teoritis

Hygiene/ sanitasi
lingkungan Pemaparan bakteri invasi jaringan

PEJAMU INFEKSI DEMAM


PEKA TIFOID

Malnutrisi Makanan /
minuman

Faktor resiko demam Tifoid Mekanisme demam tifoid

Gambar 1. Kerangka teori

17
2.1.1. Konsep Mandala

Gaya hidup
- Suka jajan di luar
- Sering begadang

Perilaku kesehatan Psiko-Sosio-Ekonomi


-Tidak mencuci tangan sebelum - Kecemasan orang tua pasien
makan tehadap penyakit anaknya
Perilaku
-Tidak teratur kesehatan
minum obat - Kondisi ekonomi tergolong
- jarang -berolahraga
Tidak
rendah
mencuci
- berobat hanya jika ada - kurangnya pengetahuan psien
keluhan tangan
dan orang tua tentang demam
sebelum makan
tifoid

Lingkungan sekolah
Lingkungan
- Kantin sekolah kurang
Pelayanan
Pelayanan Keluarga sekolah
bersih
kesehatan
kesehatan - Kantin sekolah
- Tempat cuci piring di
- Jarak
- Jarak rumahrumah kurang bersih
dengan puskemas kantin yang tidak
dengan puskemas Pasien bersih
dekat
dekat Demam 7 hari, demam
- menggunakan
- menggunakan menigkat sore hari hingga
BPJS mandiri malam
BPJS mandiri
Mual muntah
Sulit BAB 3 hari
Lidah kotor
Widal : S.Typhi O : 1/60
S.Typhi H : 1/60

Faktor biologi
Faktor biologi Lingkungan
Lingkungan fisik
fisik
-pasien memilikimemiliki
-pasien riwayat - Sumber air minum yang
penyakit yang
riwayat penyakit sama
yang kurang
tidak steril
memennuhi syarat
sebelumnya
sama sebelumnya - kesehatan
Kebersihan dapur
- - faktor imunitas yang
faktor imunitas yang kurang bersih
- Kebersihan dapur kurang
rendah bersih

Komunitas
Kebersihan lingkungan di sekitar
rumah baik

Gambar 2. Konsep mandala

18
2.2. Pendekatan diagnose holistik untuk mengetahui penyebab demam tifoid
pada pelayanan kedokteran keluarga di layanan primer

Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai mahluk


biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis manusia
adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan menentukan
dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta kegawatan yang
diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat penyakit pasien,
pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian risiko
internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta keluarganya.
Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan
yang berorientasi komunitas dengan titik kepada keluarga, tidak hanya
memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit
keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif, tetapi bila perlu aktif mengunjungi
penderita atau keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem
Kesehatan Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan
sebagai pelaku pelayanan pertama (layanan primer).
Tujuan Diagnostik Holistik :
1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
7. Terproteksi dari resiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan terapi,
tujuannya yakni
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit

19
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
5. Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011).
Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :
1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
3. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
4. Melakukan anamnesis
5. Melakukan pemeriksaan fisik
6. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
7. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
8. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga di
layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu

20
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus
demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:

21
I. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis: Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan
diagnosis kerja dan diagnosis banding.
III. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.
IV. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja, tergantung
pada keluarga.
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

2.3. Demam tifoid


2.3.1. Pengertian
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1

2.3.2. Etiologi

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 – 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C
dengan pH antara 6 – 8.1

22
Gambar 3. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 2)

2.3.3. Epidemologi

Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di


pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia.
Insidensi penyakit Tifoid menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah
kematian sebanyak 600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua
Asia. Angka kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 – 20 %,
sebelum ditemukan antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang
tepat angka kematian berkurang sampai 1 %. Di Indonesia bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar
di Indonesia, tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka
kematian antara 0.6–5%.Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-
laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 –
80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-
25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Dari laporan World
Health Organization (WHO) terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di
dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality
Rate (CFR = 3,5 %). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis

23
berkisar antara 45/100.000 penduduk/tahun sampai 1.000/100.000
penduduk/tahun. Di Asia 274/100.000 penduduk/tahun.
Pada tahun 2005 jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116
kasus (3,15%) dan menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2008
menunjukkan prevalensi tifoid di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 1,6 persen
atau sekitar 600.000 sampai 1,5 juta kasus setiap tahunnya dan menempati urutan
15 dari penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia.

2.3.3.1. Trias epidemologi


Epidemiologi penyakit demam tifoid juga dapat digambarkan menurut Trias
Epidemiologi dengan melihat faktor host, agent dan environment sebagai berikut :
A. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya
keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental
dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian
yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control ,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak
jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
B. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman
yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid.

24
C. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang
mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan
penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan
yang masih rendah.

2.3.3.2. Variabel epidemiologi


Epidemiologi penyakit demam tifoid dapat digambarkan menurut Variabel
epidemiologi yaitu distribusi menurutorang (person) dimana dapat dilihat menurut
umur, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan. Distribusi menurut tempat (place), dan
distribusi menurut waktu (time) sebagai berikut :
A. Orang (person)
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam
tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia >
40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh,
Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan
tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000
penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

B. Tempat dan Waktu (place and time)


Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara
110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan
sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680
per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000
penduduk.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang

25
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.

2.3.4. Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam


tubuh manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana
tangan yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan kumanSalmonella typhi
langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari
kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi ke
sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang
kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian kuman dimusnakan dalam
lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toracicus kuman
yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah sehingga
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar keseluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1

26
Gambar 4 : Patomekanisme demam tifoid (dikutip dari kepustakaan 3)
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella
terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.3
Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah

27
sekitar plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.4
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan dan gangguan organ lainnya.3

2.3.5. Gejala-gejala

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa


diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi.
Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu
mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.5
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.5
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan
suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan
terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor
ditengah, tepid an ujung merah serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola
jarang ditemukan pada orang Indonesia.5.6

28
2.3.6. Diagnose
Untuk mendiagnosa suatu demam tifoid, kita perlu melakukan anamnesis
secara sistematis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis :
Pasien datang ke dokter karena demam. Demam turun naik terutama sore
dan malam hari (demam intermiten). Keluhan disertai dengan sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia dan mual muntah. Selain itu, keluhan dapat pula disertai
gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri
abdomen dan BAB berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang demam.
Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu
kedua.
Faktor Risiko :
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
Pemeriksaan Fisik
a. Suhu tinggi.
b. Bau mulut karena demam lama.
c. Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
d. Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang ditemukan
pada anak.
e. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
f. Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
g. Hepatosplenomegali.
h. Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi).
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
a. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan
koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
b. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

29
2.3.7. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri.
Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.7
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah dilaboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada
tubuh kuman, Aglutinin H pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai
kuman.8
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang
digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin
besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini.Pembentukan agglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin
H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

30
bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.9
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,
waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi,
reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik
pemeriksaan antar laboratorium.9
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang
bermakna diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda
diberbagai laboratorium setempat.9
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella
typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9
yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida
Salmonella typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin
tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroupD walau tidak
secara spesifik menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella
paratyphi akan memberikan hasil negatif.9
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk
infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM
dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai
modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.9
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen
meliputi : tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A

31
yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen
B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan
antibodi monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur
pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 µL) dicampurkan kedalam tabung dengan
satu tetes (25 µL) reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 µL) ditambahkan
kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-
tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet
dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan
berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga
kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 1. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum
tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A.
ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak),
komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak,
dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan
gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap
O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak
tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.10
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan

32
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM
dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam
strip nitroselulosa.10
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan
efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan
dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini
hampir sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.10
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara
berlebihan sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
mengaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji
typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada
pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun
1997 terhadap uji typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif
(sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan
dengan kultur.10
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan
strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan
antigen IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM
yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil
disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan

33
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.
Garis kontrol harus terwarna dengan baik.10
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.
Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1
minggu setelah timbulnya gejala.10
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
oleh beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik,
volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah
minggu pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.10

2.3.8. Penatalaksanaan/pengobatan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai
berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal,
pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.1,3

34
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan
semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran
yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3
Pemberian Antimikroba.

35
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam
tifoid adalah sebagai berikut:

Tabel 2 : farmakoterapi demam tifoid


Demam tifoid bisa dilakukan perawatan di rumah atau rawat jalan dengan
indikasi sebagai berikut:
a. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi
serta tidak ada komorbid yang membahayakan.
b. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.
c. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat
serta cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.

36
d. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan sistem
pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang mememenuhi syarat
kesehatan.
e. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan
pasien.
f. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-bahaya
yang serius.
g. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus
diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid.
h. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar dengan keluarga
pasien.
Konseling dan Edukasi
Dalam penatalaksanaan demam tifoid, kita perlu melakukan konseling dan
edukasi kepada pasien tentang tata cara:
a. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus
diketahui pasien dan keluarganya.
b. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan
atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami
serta mampu melaksanakan.
c. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga
supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan
Pendekatan Community Oriented
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek
pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Peningkatan higiene makanan dan minuman
c. Peningkatan higiene perorangan
d. Pencegahan dengan imunisasi
Kriteria Rujukan
Pasien demam tifoid bisa mendapat perawatan di rumah namun pada
beberapa kondisi, pasien dengan demam tifoid perlu dirujuk dengan kriteria:

37
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak mencukupi.

2.3.9. Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
a. Komplikasi intestinal yaitu perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
b. Komplikasi ekstraintestinal
 Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia
 Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
 Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
 Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis
 Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis
2.3.10. Prognosis
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat,
pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis
buruk.6

38
BAB III

METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS

3.1. Metodologi

Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari


hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian
mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah
kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter layanan primer secara
paripurna dan holistik terutama tentang penatalaksanaan penderita demam tifoid
dengan pendekatan kedokteran keluarga di Puskesmas Minasa upa tahun 2017.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan observasi dengan pasien dimana wawancara merupakan suatu
cara mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
seorang informan atau autoritas atau seorang ahli yang berwenang dalam suatu
masalah. Sedangkan observasi adalah pengamatan dan juga pencatatan sistematik
atas unsur-unsur yang muncul dalam suatu gejala atau gejala-gejala yang muncul
dalam suatu objek penelitian. Hasil dari observasi tersebut akan dilaporkan dalam
suatu laporan yang tersusun secara sistematis mengikuti aturan yang berlaku.

3.2. Lokasi dan waktu melakukan studi kasus


3.2.1. Waktu studi kasus
Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di
puskesmas Minasa upa tanggal 09 Januari 2017.
3.2.2. Lokasi studi kasus
Studi kasus bertempat di Puskesmas Minasa upa Kota Makassar.
3.2.3.Gambaran umum lokasi studi kasus
3.2.3.1. Letak geografis
Studi kasus bertempat di Puskesmas Minasa upa Kota Makassar.
Puskesmas minasa upa terletak di jalam minasa upa raya No.18, Tamarunang,
Merupakan salah satu Puskesmas yang ada dipuskesmas yang ada di Kecamatan

39
Makassar Kota Makassar. Wilayah kerja puskesmas minasa upa terdiri dari
kelurahan gunung sari dengan 18 RW dan karunrung dengan 1 RW dengan
batasan sebgai berikut:
Wilayah kerja karunrung sebagian besar wilayah kerja puskesmas minasa
upa berada dalam wilayah kelurahan gunung sari dengan luas 166.372 km2 dan
kelurahan karunrung 10 km2. Serta total jumlah penduduk dan wilayah kerja
adalah 37.835 jiwa. Oleh karena berada didepan jalan poros maka puskesmas
minasa upa terjangkau oleh kendaraan umum

1.2.3.2. Keadaan Demografis


Di wilayah kerja Puskesmas Minasa upa memiliki masalah
demografi yang cukup bervariasi. Masalah kependudukan bukan saja
masalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi, arus urbanisasi, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah
masalah angka kelahiran dan kematian yang cukup tinggi.
1. Kepadatan Penduduk
Di wilayah kerja kerja puskesmas Minasa upa memiliki kepadatan
penduduk yang cukup tinggi. Kepadatan penduduk sangat berpengaruh
terhadap munculnya masalah kesehatan sehingga wajar banyak
bermunculan masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Minasa upa .

Laju Pertumbuhan Penduduk

Laju pertumbuhan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Minasa upa


cukup atinggi yaitu sebesar 0,05 % per tahun.
2. Kondisi Ekonomi Penduduk

Status ekonomi penduduk sangat sangat berpengaruh terhadap munculnya


masalah kesehatan terkait dengan jumlah intake makanan bergizi pada
masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap kesehatan tubuh manusia, khususnya
keluarga miskin.

40
3.2.3.3. Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Minasa upa tahun
2016 sebanyak 23 orang dengan berbagai spesifikasi, yang terdiri dari :
 Dokter Umum : 2 orang
 Dokter Gigi : 2 orang
 Perawat : 6 orang
 Bidan : 3 orang
 Sanitarian : 1 orang
 Nutrisionis : 1 orang
 Pranata Laboratorium : 1 orang
 Asisten Apoteker : 1 orang
 Perawat Gigi : 2 orang
 Rekam Medik : 1 orang
 Sarjana Kesehatan Masyarakat :
- Epidemiologi : 1 orang
- Promkes : 1 orang
- AKK : 1 orang
3.2.3.3. Struktur organisasi
Struktur Organisasi Puskesmas Minasa upa berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Nomor :800/1682/SK/IV/2010 Tanggal
21 April 2010 terdiri atas :
 Kepala Puskesmas
 Kepala Subag Tata Usaha
 Unit Pelayanan Teknis Fungsional Puskesmas
- Unit Kesehatan Masyarakat
- Unit Kesehatan Perorangan
 Unit Jaringan Pelayanan Puskesmas
- Unit Puskesmas Pembantu ( Pustu )
- Unit Puskesmas Keliling ( Puskel )
- Unit Bidan Komunitas

41
3.2.3.5. Visi dan misi puskesmas

1. Visi Puskesmas Minasa upa


Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan di wilayah kerja

Puskesmas Minasa upa.

2. Misi Puskesmas Minasa upa


A. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui masyarakat,

termasuk swasta dan masyarakat madani.

B. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya

upaya kesehatan paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan.

C. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.

3.2.3.6. Upaya kesehatan

Puskesmas Minasa upa sebagai unit teknis Dinas Kesehatan Kota Makassar
yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.
Puskesmas Minasa upa berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Dengan fungsi tersebut maka Upaya Kesehatan di Puskesmas Minasa upa
terbagi atas 2 ( dua ) Upaya Kesehatan Yaitu :

1. Upaya Kesehatan Wajib, meliputi :


a. Upaya Promosi Kesehatan ( Promkes )
b. Upaya Kesehatan Lingkungan ( Kesling )
c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA ) dan Keluarga Berencana (KB)
d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat.
e. Upaya Pencegahan Penyakit Menular ( P2M )
f. Upaya Pengobatan

42
2. Upaya Kesehatan Pengembangan, meliputi :
a. Upaya Kesehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Olahraga
c. Upaya Kesehatan kerja
d. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
e. Upaya Kesehatan Jiwa
f. Upaya Kesehatan Mata
g. Upaya Kesehatan Usia lanjut
h. Pembinaan Pengobatan Tradisional
i. Perawatan Kesehatan Masyarakat

Puskesmas Minasa upa memiliki beberapa ruangan yang terdiri dari :


1. Ruangan pengambilan kartu/loket
2. Ruang pemeriksaan dokter/kamar periksa
3. Ruang pemeriksaan gigi dan mulut
4. Ruang KIA dan KB
5. Ruangan suntik/UGD
6. Ruang P2M dan laboratorium
7. Ruang imunisasi dan PKL
8. Ruang pengambilan obat/apotek
9. Ruang tata usaha
10. Ruang administrasi/ruang rapat
11. Ruang kepala puskesmas

43
3.2.3.7. Alur Pelayanan

Pasien

Loket

Kamar Periksa Rujuk Pasien


- Poli
umum
- Poli gigi Laboratorium

Ruang
Tindakan

Apotik
mkk
Pasie

Gambar 5. Alur pelayanan puskesmas Maccini Sawah Makassar

44
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil studi kasus

4.1.1 Penegakan diagnosis

Nama : An. NK

Umur : 5 Tahun

Alamat : Jl. Minasa upa 15/2 belakang sekolah

Pekerjaan :-

Anamneses (holistik)

Keluhan utama
Demam
Riwayat penyakit sekarang
Demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam hilang
timbul di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala kadang-
kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB belum
3 hari terakhir.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah datang ke puskesmas dengan keluhan yang sama 5 bulan
yang lalu.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seoarang anak dari Tn. R dan Ny. H dengan pekerjaan
bapak sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta dan ibu adalah seorang
ibu rumah tangga dengan rata-rata pendapatan Rp 1.500.000,00. Sosial ekonomi
keluarga ini termasuk keluarga dengan sosial ekonomi rendah.

45
Riwayat kebiasaan
Diakui oleh pasien bahwa ia memiliki pola makan yang teratur. Namun,
sering mengonsumsi makanan di kantin sekolah. Pada saat makan di sekolah
pasien jarang mencuci tangan dengan sabun karena ketidaktersediaan wastafel.

Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum
Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
- Vital sign
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Tek. Darah : 120/70 mmHg
Frek. Nadi : 88 x/menit
Frek Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 38,0 C
- Status generalis
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
pupil bulat, isokor
- THT : Dalam Batas Normal
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-), trakea berada di
tengah
- Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-)
wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra

46
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
batas jantung kiri ICS V linea midklavikula
sinistra
batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-)
- Abdomen
Inspeksi : simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran vena
(-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-), hepatomegali(-)
spleenomegali (-)
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketuk (-)

Ekstremitas : akral hangat, edema    


 
  

Informasi hasil pemeriksaan tambahan

 Trombosit 156.000
 Widal : S.Typhi O : 1/320
S. Typhi H : 1/160
S. Typhi AH : 1/40
S. Typhi BH : 1/40
Keluarga

Profil keluarga

Pasien B merupakan anak ke dua dari pasangan Tn. R dan Ny. H. Ayah
pasien berumur 45 tahun sebagai karyawan swasta dan ibu pasien berumur 39
tahun sebagai ibu rumah tangga.

Karakteristik demografi keluarga

- Identitas kepala keluarga : Tn. R

- Identitas Pasangan : Ny. H

47
- Alamat : Jl. Minasa upa 15/2 belakang sekolah

- Bentuk Keluarga : Nuclear family

Status Jenis
No Nama Usia Pendidikan Pekerjaan
Keluarga kelamin
1 Tn. S Kepala Laki-laki 45 S1 Karyawan
Keluarga Tahun Swasta
2 Ny. H Istri Perempuan 39 SMA IRT
Tahun
3 An. SR Anak Laki-laki 24
Mahasiswa Mahasiswa
pertama Tahun
4 An. NA Anak Perempuan 22
Mahasiswa Mahasiswa
kedua Tahun
5 An. NK Anak Perempuan 5 tahun
- -
Ketiga
Tabel 8. Anggota keluraga yang Tinggal Serumah

Penilaian status sosial dan kesejahteraan keluarga

Status kepemilikan rumah : milik sendiri


Daerah perumahan : padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Luas rumah : 9 x 6 m2 Ny. H tinggal di rumah
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 5 orang milik sendiri dengan
Luas halaman rumah : - lingkungan padat penduduk
Tidak bertingkat dengan ventilasi yang tidak
Lantai rumah dari : keramik memadai. Ada listrik dan
Dinding rumah dari : tembok menggunakan air PAM
Jamban keluarga : ada sebagai sumber air untuk

Tempat bermain : tidak ada mandi, sedangkan air minum

Penerangan listrik : ada menggunaka air galon yang

Ketersediaan air bersih : ada ada di dispenser.

Tempat pembuangan sampah : ada


Tabel 9. Lingkungan Tempat Tinggal

48
Penilaian perilaku kesehatan

- Jenis tempat berobat : Puskesmas

- Asuransi/Jaminan Kesehatan : BPJS mandiri

Pola konsumsi keluarga

Kebiasaan makan keluarga pasien antara 2-3 kali sehari. Namun, pasien
lebih senang mengonsumsi makanan cepat saji di kantin sekolah.

Fungsi fisiologis (skor APGAR)


Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman, dan Leyton, dengan menilai 5 fungsi pokok
keluarga, antara lain :
1. Adaptasi : Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima
bantuan yang dibutuhkan
2. Partnership : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi
dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
3. Growth : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan
yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan
semua anggota keluarga
4. Affection : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang
serta interaksi emosional yang berlangsung
5. Resolve : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan dan ruang atas keluarga.
Penilaian :
- Hampir Selalu = skor 2
- Kadang-kadang = skor 1
- Hampir tidak pernah =0
Total Skor :
8-10 = Fungsi keluarga sehat
4-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = Fungsi keluarga sehat

49
Penilaian
Hampir
No. Pertanyaan Hampir Kadang-
Tidak
Selalu (2) kadang (1)
Pernah (0)
1 Adaptasi 
Saya puas dengan
keluarga saya karena
masing-masing anggota
sudah menjalankan
kewajiban sesuai dengan
seharusnya
2 Partnership 
(Kemitraan)
Saya puas dengan
keluarga saya karena
dapat membantu
memberikan solusi
terhadap permasalahan
yang saya hadapi
3 Growth 
(Pertumbuhan)
Saya puas dengan
kebebasan yang
diberikan keluarga saya
untuk mengembangkan
kemampuan yang saya
miliki
4 Affection (Kasih 
Sayang)
Saya puas dengan
kehangatan/kasih sayang

50
yang diberikan keluarga
saya
5 Resolve 
(Kebersamaan)
Saya puas dengan waktu
yang disediakan
keluarga untuk menjalin
kebersamaan
Total Skor 9
Tabel 10. Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita demam tifoid
Dari Tabel APGAR diatas total Skor adalah 9 ini menunjukkan Fungsi
Keluarga Sehat
Fungsi patologis (skor SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
1. Sosial : Pasien dapat hidup bermasyarakat dengan baik
2. Cultural : Keluarga pasien percaya akan adanya hal-hal gaib
3. Religious : Keluarga pasien rajin melakukan sholat 5 waktu, juga sering ikut
kegiatan pengajian dan tausiah
4. Ekonomi : Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi tidak tercukupi
5. Edukasi : Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu S1
6. Medikasi : Pasien dan keluarga menggunakan sarana pelayanan kesehatan
dari Puskesmas dan memiliki jaminan kesehatan

Genogram

Bentuk keluarga

Bentuk keluarga ini adalah keluarga inti yang terdiri dari Tn. R sebagai
kepala keluarga dan Ny. H sebagai seorang istri dan ibu dari anaknya. Dari hasil
pernikahan Tn. R dan Ny. H mereka dikarunai dengan dengan tiga orang anak
yakni An. A (24 tahun), An. B (22 tahun), dan An. NK (5 tahun)

51
Tahapan siklus keluarga

Pasien C terlahir dari pasangan Tn. B dan Ny. H. Pasien B adalah anak
kedua. Diakui oleh ibunya bahwa penyakit yang diderita B tidak pernah dialami
oleh anggota keluarga yang lain.

Family map

Gambar 6. Family map

Keterangan :

: Kepala keluarga (Ayah Pasien)

: Isteri (Ibu Pasien)

: Anak ke-3 (Penderita Tifoid)

4.1.2 PENYEBAB DEMAM TIFOID

Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis secara holistik


yaitu, aspek personal, aspek resiko internal, dan aspek resiko eksternal serta
pemeriksaan penunjang dengan melakukan pendekatan menyeluruh dan
pendektan diagnosis holistk.

52
Analisis kasus

Pasien perempuan 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam


sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak terus menerus di rasakan
terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala kadang-kadang, mual dan
muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB belum 3 hari terakhir.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah yaitu pemeriksaan trombosit
dan widal tes. Hasil dari pemeriksaan didapatkan trombosit 156.000 dan widal tes
S.typhi O : 1/320, S.typhi H : 1/160 sehingga dokter mendiagnosis demam tifoid.
Pasien pun dianjurkan istirahat dan mendapat pengobatan selama 5 hari kemudian
kembali kontrol setelah pengobatan 5 hari.

4.1.3 Faktor resiko demam tifoid

Aspek Personal

Pasien datang ke Puskesmas Minasa upa diantar oleh orang tua pasien
dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu. Harapan pasien saetelah berobat ke
Puskesmas adalah agar pasien dapat sembuh. Pasien khawatir jika demamnya
tidak kunjung sembuh serta khawatir penyakitnya akan kambuh kembali yang
menyebabkan pasien menjadi lemas dan berat badan akan menurun.

Aspek Klinik

Demam dialami sejak 7 hari yang lalu demam dirasakan tidak terus
menerus dan meningkat pada sore dan malam hari.
- Pasien mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah serta nafsu makan menurun
- Lidah kotor
- BAB belum 3 hari terakhir.
- Widal : S.Typhi O : 1/320 dan S.Typhi H : 1/60

Aspek Faktor Resiko Internal


- suka jajan makanan di luar rumah tanpa memperhatikan kebersihan tempat
makan

53
- kurang istirahat dan suka begadang
- tidak mencuci tangan sebelum dan setelah makan
- jarang berolah raga
- tidak teratur minum obat
- orang tua dan pasien kurang memperhatikan kebersihan dapur, air minum dan
makanan di rumah.
Aspek Faktor Resiko Eksternal
- kurangnya pengetahuan pasien dan orang tua tentang penyebab penyakit demam
tifoid

Aspek Psikososial Keluarga


Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Diantara faktor-faktor yang dapat menghambat
kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang
diderita pasien. Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien
yaitu adanya dukungan dan motivasi dari anggota keluarga baik secara moral dan
materi.

Aspek Fungsional

Sebelumnya pasien masih dapat menjalankan aktivitas biasa seperti


kesekolah dan bermain bersama teman sebayanya, akan tetapi dari hari ke hari
aktifitas fisik yang dilakukan pasien B semakin berkurang dikarenakan sakit yang
dideritanya. Bahkan sejak pasien B demam, dia sama sekali tidak diizinkan
bermain diluar rumah dan hanya istirahat di rumah saja.

Derajat fungsional

Derajat 3, ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan,


hanya dapat melakukan kerja ringan.
Rencana Pelaksanaan (Plan of Action)
- Pertemuan ke-1 : Puskesmas Minasa upa, 11 april 2017 pukul 10.00 WITA
- Pertemuan ke-2 : Rumah Pasien Jl. Minasa upa 15/2 belakang sekolah

54
Hasil
Sasara Yang Biay
Aspek Kegiatan Waktu Ket.
n Diharapka a
n
Aspek Menginformasik Pasien Saat Pasien Tida Tidak
personal an kepada pasien dapat k ada menola
pasien untuk ke sembuh k
tidak suka jajan PKM dengan
di luar dan dan sempurna
istirahat yang saat dan dapat
cukup,tidak home melakukan
sering begadang visit ke aktifitas
lagi dan rumah sehari-hari
mencuci tangan pasien dengan
dengan sabun baik
sebelum dan
setelah makan.
Aspek Menganjurkan Pasien Saat Keluhan Tida Tidak
Klinis agar orang tua pasien demam k ada menola
pasien ke pasien k
memperhatikan PKM dapat
secara khusus dan membaik
keadaan pasien, saat
karena demam home
tifoid dapat visit
kambuh jika keruma
daya tahan h
tubuh menurun, pasien
meminumkan
obat secara

55
teratur dan
kontrol kembali
ke PKM jika
keluhan belum
membaik
Aspek - Memberi Pasien Saat Untuk Tida Tidak
Risiko informasi kepada pasien menjaga k ada menola
Internal pasien agar ke agar k
pasien selalu PKM penyakit
istirahat yang dan yag
cukup di rumah, saat diderita
tidak sering home pasien
begadang lagi, visit tidak
minu obat yang keruma kambuh
teratur, h lagi dan
memperhatikan pasien menjaga
kebiasaan anak higienitas
untuk pasien.
mengurangi
makan diluar dan
mencuci tangan
sebelum makan
Aspek Memberi Orang Saat Untuk Tida Tidak
Risiko informasi tua pasien menjaga k ada menola
Eksternal kepada orang ke agar k
tua dan pasien PKM penyakit
tentang dan yag
penyebab tifoid saat diderita
dan cara home pasien
penularan serta visit tidak
pencegahanya keruma kambuh

56
h lagi dan
pasien menjaga
higienitas
pasien.
Aspsek Meberi Seluru Saat Mengurang Tida Tidak
psikososi informasi h pasien i faktor- k ada menola
al kepada orang keluarg ke faktor yang k
keluarga tua tentang a PKM dapat
bahaya penyakut dan memperber
tifoid serta saat at keadaan
memperhatikan home klinis
kebersihan visit pasien.
makanan, dan keruma Menjaga
membuatkan h keluarga
makanan yang pasien tetap sehat
disukai anaknya
sehingga
anaknya tidak
suka jajan di
luar lagi.
Aspek Menganjurkan Pasien Saat Agar Tida Tidak
Fungsion agar setelah pasien kondisi k ada menola
al sembuh pasien ke tubuh anak k
dapat melakukan PKM tetap sehat
aktifitas namun dan dan
pasien harus saat membuat
tetap menjaga home anak lebih
daya tahan visit aktif
tubuhnya keruma
dengan h
berolahraga dan pasien

57
menjaga
kebersihan
lingkungan
sekitar dan
higienitas

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik. Tanda Vital :Tekanan Darah: 120/70 mmHg, Nadi :
88 x/menit, Pernapasan : 20 x/menit, Suhu : 37,80C.
Pemeriksaan Penunjang
Trombosit 156.000
Widal : S.Typhi O : 1/320
S. Typhi H : 1/160
S. Typhi AH : 1/40
S. Typhi BH : 1/40
Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
Diagnose Klinis : Demam Typhoid
Diagnose Psikososial : Orang tua pasien khawatir terhadap penyakit
anaknya, kebiasaan pasien sering jajan makanan di luar rumah.

4.1.4 Penatalaksanaan dan pencegahan


Penatalakasanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder.

Pencegahan Primer
Pencegahan primer diperlukan agar orang sehat tidak terinfeksi Demam
Thyphoid antara lain :
- Menghindari faktor risiko demam typhoid
- Menghindari jajan makanan luar rumah yang tidak terjamin
kebersihannya
- Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah makan

58
- Istirahat yang cukup dan tidak suka begadang
- Memasak makanan dan minuman sebelum dikonsumsi oleh keluarga
- Memperhatikan kebersihan dapur

Pencegahan Sekunder
1. Pengobatan farmakologi berupa :
- GG 3 x 1/2
- paracetamol 500 mg 3x1/2
- cholaramphenicole syr 3 x 2 sdt
2. Pengobatan non farmakologis
- Istirahat total selama minimal 5 hari
- Mengindari konsumsi makanan yang tidak terjaga kebersihannya
- Konsumsi makanan yang lunak selama masa istirahat

Terapi untuk keluarga


Terapi untuk keluarga berupa terapi non farmakologis terutama yang
berkaitan dengan emosi, psikis, dan proses pengobatan pasien. Dimana anggota
keluarga diberikan pemahaman agar bisa memberikan dukungan dan motivasi
kepada pasien untuk berobat secara teratur dan membantu memantau terapi pasien
serta pentingnya menjaga hygiene baik dari orang tua, saudara maupun pasien.

59
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus Demam typhoid pada anak yang dilakukan di
layanan primer Puskesmas minasa upa Kota Makassar tahun 2017 mengenai
Pendekatan Diagnostik Holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosa menderita Demam Typhoid.
Diagnosis Holistik (multiaksial)
a. Aspek personal : kekhawatiran pasien akan penyakitnya dan harapan
pasien setelah berobat ke puskesmas adalah agar pasien dapat sembuh.
b. Aspek klinik : Demam Typhoid
c. Aspek resiko internal : aspek risiko internal yang didapatkan pada pasien
yaitu faktor kebiasaan mengonsumsi dan jajan makanan yang tidak
terjamin kebersihannya, kebiasaan jarang mencuci tangan sebelum
makan, kurang memperhatikan kebersihan kantin sekolah dan rumah,
kurang istirahat dan suka begadang, tidak teratur minum obat dan
berobat hanya jika ada keluhan.
d. Aspek risiko eksternal : kurangnya pengetahuan orang tua tentang
penyakit demam tifoid
e. Aspek Psikososial keluarga : Kurangnya pengetahuan keluarga tentang
penyakit yang diderita pasien dan adanya dukungan dan motivasi dari
anggota keluarga baik secara moral dan materi
f. Aspek fungsional : Semenjak sakit, pasien membatasi aktivitas diluar
rumah, dan hanya melakukan kegiatan fisik ringan dirumah dan istirahat
yang cukup.
Diagnose Klinis : Demam Typhoid
Diagnose Psikososial : Orang tua pasien khawatir terhadap penyakit
anaknya, serta kebiasaan pasien sering jajan makanan di luar rumah dan
sering begadang.

60
5.2. Saran
Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada An. NK, berupa :
penyakit demam tifoid dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang tidak
terjamin kebersihannya, maka disarankan :
a. Tidak jajan sembarangan di luar rumah dan memeperhatikan kebersihan
tempat makan
b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
c. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjaga kebersihan makanan,
minuman dan kebersihan dapur.

61
#DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, R.H.H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM. Jakarta.

3. Nia, A.S., Junaidi, A.R., Maria, U. 2012. Karakteristik Tersangka Demam


Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Periode Tahun 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.

4. WHO (World Health Organization). Background Doc: The Diagnosis,


Treatment and Prevention of Typhoid Fever 2003. Geneva, Swizerland.

5. Widodo, D. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

6. Prasetyo, R. and V. Ismoedijanto, Metode Diagnostik Demam Tipoid Pada


Anak. 2009. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi. 2009, Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR.

5. Fatmawati, Arkhaesi, and hardian, Uji diagnostik tes Serologi Widal


dibandingkan dengan Kultur darah sebagai baku emas untuk diagnostic
demam tifoid pada anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang. 2011, Kedokteran
Undip: Semarang.

6. Sjahruachman, A. Pengembangan Teknik Deteksi IgM-anti Flagel


Salmonella secara Imunoasay untuk Diagnosis Cepat Demam Enterik. 2009
[cited 2010 06 oktober]; Available from: http://www.digilib.ui.ac.id.
handojo and e. al, Comparison Of The Diagnostic Value Of Local Widal
Slide

7. Hosaglu, S., Bosnak, V., Akalin, S., Geyik, M.F., Ayaz, C. Evaluation of
false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases.
Jinfect Developing Countries 2008; 2(6): 475-8

8. Handojo, et al., Comparison Of The Diagnostic Value Of Local Widal Slide


Test WIith Imported Widal Slide Test, Department of Clinical Medical
Faculty, Airlangga University, 2004. 35.

9. Rampengan. Demam tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed 2.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2005. 2008: 46-62.

62

Anda mungkin juga menyukai