Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Nazli Mahdina Sari Nasution, M.Ked(KJ), Sp.KJ
Pembimbing:
dr. Nazli Mahdinasari Nasution, M.Ked(KJ), Sp.KJ
Disusun oleh:
Nama: Sherin Agustina Hasibuan
NIM: 150100160
dr. Nazli Mahdinasari Nasution Vita (dr. Vita Camellia, M.Ked(KJ), Sp.KJ)
Camellia, M.Ked(KJ), Sp.KJ NIP.197804042005012002
NIP.
i
KATA PENGANTAR
Ucapan puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Gangguan Ansietas Perpisahan”. Penulisan makalah ini merupakan salah
satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta
dampak positif.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
dalam penulisan makalah selanjutnya.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada tinjauan pustaka ini, di antaranya adalah:
1. Bagaimana gambaran klinis dari gangguan ansietas perpisahan?
2. Bagaimana kriteria diagnosis dari gangguan ansietas perpisahan?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan tingkah laku yang tepat?
1.3 Tujuan
Tujuan pustaka ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai gangguan
ansietas perpisahan mulai dari definisi, gambaran klinis, kriteria diagnosis, hingga
penatalaksanaan yang tepat untuk gangguan tersebut.
1.4 Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penjelasan serta
pemahaman dan wawasan bagi mahasiswa dan mahasiswi serta praktisi kedokteran
pada pelayanan kesehatan, dalam mengenali gangguan ansietas perpisahan serta
memberikan penanganan yang tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan ansietas perpisahan merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan
adanya rasa takut ataupun rasa cemas berkaitan dengan perpisahan terhadap
orangtua, pengasuh, ataupun tempat tinggal pada seseorang yang seharusnya telah
melewati tahap perkembangan tersebut.3 Ketakutan ataupun kecemasan yang
dihadapi dapat disertai dengan adanya kekhawatiran terhadap hal buruk yang
mungkin terjadi apabila terdapat perpisahan yang dapat menyebabkan stres
berlebihan maupun mimpi buruk.3
Ketakutan ataupun rasa cemas yang dialami, bersifat abnormal dibandingkan
dengan tahap perkembangannya. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
dan aktivitas sehari – hari.5
3
gangguan ansietas perpisahan. Adanya gangguan kecemasan pada orangtua juga
dikaitkan dengan adanya peningkatan risiko terjadiya gangguan ansietas
perpisahan. Pada anak – anak dengan orangtua yang memiliki gangguan
kecemasan, terdapat peningkatan risiko untuk terjadinya gangguan kecemasan pada
usia yang lebih muda.1
B. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian yang ada menunjukkan prevalensi gangguan ansietas
perpisahan yang sedikit lebih tinggi pada perempuan jika dibandingkan dengan laki
– laki. Hal ini dijumpai adanya tanpa adanya perbedaan gejala. Perbedaan pada jenis
kelamin belum dapat ditegakkan, walaupun persentasi penderita gangguan ansietas
perpisahan, lebih sering dijumpai pada wanita.1
C. Perangai
Deregulasi terhadap emosi, dianggap sebagai salah satu faktor utama dalam
gangguan kecemasan. Anak – anak dengan gangguan kecemasan lebih sering
menunjukkan respon emosi yang negatif. Anak – anak maupun remaja dengan
gangguan kecemasan dapat memiliki perangai yang berbeda.1
D. Ikatan Orangtua dan Anak
Tekanan pada orangtua, psikopatologi pada orangtua, dan juga fungsi keluarga,
memiliki peranan dalam terjadinya gangguan kecemasan pada anak. Gangguan
ansietas perpisahan merupakan bentuk utama gangguan kecemasan yang dikaitkan
dengan kecemasan perpisahan. Adanya sifat yang protektif, sifat yang terlalu
mengontrol, dan memberi kritikan yang berlebihan yang dapat membatasi
kemandirian pada anak dapat berkontribusi dalam terbentuknya gangguan cemas,
terutama pada anak – anak dengan watak ataupun perangai yang rentan.1
E. Perubahan Lingkungan
Gangguan kecemasan pada anak dapat dikaitkan dengan adanya paparan terhadap
peristiwa – peristiwa negatif. Gangguan ansietas perpisahan dapat ditimbulkan oleh
adanya perubahan dalam kehidupan seseorang. Gejala juga dapat muncul apabila
terdapat perubahan pada pengasuh, ataupun perubahan pada sikap atau perilaku
orangtua dalam hal rutinitas maupun disiplin.1
4
2.3 Epidemiologi
Gangguan kecemasan, merupakan gangguan psikiatri yang paling umum
ditemukan pada anak – anak, dengan prevalensi mencapai 6 hingga 18%.1 Pada
gangguan ansietas perpisahan, onset usia rata – ratanya adalah usia 7 tahun.
Prevalensi seumur hidup pada gangguan ansietas perpisahan anak – anak adalah
4.1% hingga 7% pada populasi secara umum dan prevalensi 12 bulan menunjukkan
1.9% pada orang dewasa.6
Pada suatu penelitian, dijumpai bahwa angka kejadian pada kondisi klinis
memiliki angka yang lebih tinggi, dimana 49% anak – anak dan 46% orang dewasa
yang mencari pertolongan psikiater, memenuhi kriteria untuk gangguan ansietas
perpisahan.6
Prevalensi pada gangguan ansietas perpisahan pada anak ditemukan lebih sering
pada perempuan dan dapat bervariasi berdasarkan rentang umurnya. Sementara
pada dewasa muda, gangguan ansietas memiliki prevalensi 1.1% pada usia 18 tahun
hingga 29 tahun.6
5
dalam keadaan sendirian ataupun tidur sendirian, mendapat mimpi buruk, adanya
keluhan somatik berkaitan dengan perpisahan.7
Diagnosis dapat ditegakkan untuk anak – anak dan dewasa muda apabila gejala
ditemukan selama 4 minggu atau lebih, sesuai dengan tahap perkembangannya.
Penderita harus mengalami disfungsi ataupun kesulitan dalam hidupnya, untuk
memenuhi kriteria diagnosis.
6
B. Ketakutan, kecemasan, ataupun penghindaran bersifat terus menerus selama 4
minggu pada anak – anak serta dewasa muda, dan umumnya 6 bulan atau lebih pada
orang dewasa.
C. Gangguan yang dialami menyebabkan adanya tekanan yang signifikan secara
klinis ataupun penurunan fungsi sosial, akademik, pekerjaan, dan fungsi lainnya.
D. Gangguan yang dialami tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lain,
seperti menolak untuk meninggalkan rumah karena adanya resistensi yang
berlebihan terhadap perubahan pada gangguan spektrum autisme, delusi ataupun
halusinasi berkaitan dengan perpisahan pada gangguan psikotik, menolak untuk
pergi ke luar tanpa teman yang dipercaya pada penderita agorafobia, kekhawatiran
bahwa sakit penyakit ataupun bahaya lain dapat menimpa orang – orang yang
disayangi pada gangguan ansietas menyeluruh, ataupun kekhawatiran untuk
mendapat penyakit pada gangguan ansietas penyakit.
Sementara, kriteria diagnosis dari gangguan ansietas perpisahan berdasarkan
PPDGJ III adalah sebagai berikut:8
A. Ciri diagnostik yang terpenting ialah ansietas yang berlebihan yamg terfokus dan
berkaitan dengan perpisahan dari tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak
(lazimnya orangtua ataupun kerabat akrab lainnya), yang bukan hanya bagian dari
ansietas umum berkenaan dengan aneka situasi.
1. tidak realistik, kekhawatiran yang mendalam kalau ada bencana, yang akan
menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran orang itu akan pergi dan tidak
kembali lagi.
2. tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa buruk, seperti
misalnya akan kesasar, diculik atau dimasukkan ke dalam rumah sakit, atau
terbunuh, yang akan memisahkannya dari tokok yang lekat dengan dirinya.
3. terus menerus enggan atau menolak untuk masuk sekolah, semata – mata karena
takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti kekhawatiran tentang
peristiwa di sekolah)
4. terus menerus enggan atau menolak tidur tanpa ditemani atau didampingi oleh
tokoh kesayangannya
7
5. terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan seorang diri, atau tanpa
ditemani orang yang akrab di rumah pada siang hari
6. berulang mimpi buruk tentang perpisahan
7. sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit kepala, muntah –
muntah dan sebagainya) pada peristiwa perpisahan dari tokoh yang akrab dengan
dirinya, seperti keluar rumah untuk pergi ke sekolah.
8. mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari ansietas, menangis,
mengadat, merana, apati, atau pengunduran sosial) pada saat sebelum, selama, atau
sehabis berlangsungnya perpisahan dengan tokoh yang akrab dengannya.
B. Diagnosis ini mensyaratkan tidak adanya gangguan umum pada perkembangan
fungsi kepribadian.
8
4. Gangguan perilaku
Menghindari sekolah merupakan salah satu gejala yang umum dijumpai pada
gangguan perilaku, umumnya penderita tidak kembali ke rumah untuk menghindari
kehadiran di sekolah.
5. Gangguan ansietas sosial
Menolak untuk pergi ke sekolah dapat merupakan gejala yang disebabkan oleh
gangguan ansietas sosial. Pada kasus – kasus ini, menghindari sekolah disebabkan
oleh rasa cemas terhadap penilaian yang negatif oleh orang lain dibandingkan
dengan rasa cemas dipisahkan dengan tokoh kesayangan.8
6. Gangguan stres paska trauma
Adanya rasa takut untuk berpisah dengan orang – orang yang disayangi merupakan
hal yang umum dijumpai setelah melewati kejadian yang bersifat traumatis,
terutama apabila terjadi perpisahan pada saat terjadi peristiwa traumatic. Pada
gangguan stres paska trauma, gejala utama adalah menghindari ingatan yang
berkaitan dengan kejadian traumatik, sementara pada gangguan ansietas perpisahan
menunjukkan kecemasan terhadap keadaan tokoh kesayangan dan perpisahan
dengan mereka.8
7. Hipokondriasis
Penderita dengan hipokondriasis memiliki kecemasan terhadap kemungkinan
terjadinya suatu penyakit, dan pokok utama dari kecemasannya adalah penyakit itu
sendiri, bukan kecemasan terhadap perpisahan dengan tokoh kesayangan.8
8. Keadaan berduka
Pada kondisi ini, hal utama yang ditemui adalah adanya keinginan dan kerinduan
yang besar dengan orang yang sudah meninggal, rasa kesedihan yang mendalam
dan perasaan emosional yang menyakitkan, sehingga pikiran dipenuhi oleh orang
yang sudah meninggal tersebut ataupun kejadian yang menyebabkannya.
Sementara fokus dari gangguan ansietas perpisahan adalah perpisahan dengan
tokoh kesayangan.8
9. Gangguan depresi dan gangguan bipolar
Pada gangguan ini, terdapat keengganan untuk meninggalkan rumah, namun inti
utamanya bukanlah kecemasan terhadap kejadian yang mungkin menimpa tokoh
9
kesayangan, tetapi kecilnya niat untuk berinteraksi dengan dunia luar. Namun, pada
gangguan ansietas perpisahan, dapat terjadi keadaan depresif apabila dipisahkan
atau akan dipisahkan dengan tokoh kesayangan.8
10. Oppositional Defiant Disorder
Pada anak – anak dan dewasa muda dengan gangguan ansietas perpisahan terdapat
kemungkinan untuk terjadi pemberontakan apabila dihadapkan dengan situasi
dipisahkan dengan tokoh kesayangan. Oppositional Defiant Disorder dapat
dipertimbangkan apabila terdapat tindakan pemberontakan terhadap kondisi di luar
dari perpisahan dengan tokoh kesayangan.8
11. Gangguan psikotik
Tidak seperti halusinasi pada gangguan psikotik, pengalaman persepsi yang dialami
pada gangguan ansietas perpisahan, umumnya adalah mispersepsi terhadap
stimulus eksternal yang nyata, dan hal ini umumnya terjadi pada saat – saat tertentu,
dan dapat menghilang setelah bertemu dengan tokoh kesayangan.8
12. Gangguan kepribadian
Pada gangguan kepribadian yang bergantung ditandai dengan adanya
kecenderungan seseorang untuk bergantung dengan orang lain, sementara
gangguan ansietas perpisahan meliputi keinginan untuk tetap dekat dan juga
keamanan dari tokoh kesayangan.8
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan gangguan ansietas perpisahan dapat dilakukan dengan intervensi
psikologis, perilaku, maupun farmakologi. Berbagai penelitian telah dilakukan
untuk menilai efikasi dari terapi – terapi tersebut. Saat ini, terapi yang menjadi
rekomendasi salah satunya adalah terapi perilaku kognitif serta penggunaan obat
golongan SSRI.4
Terapi perilaku kognitif, merupakan intervensi lini pertama terutama pada anak
– anak dengan gangguan ansietas perpisahan. Apabila dijumpai terapi kognitif
perilaku tidak memberikan perubahan, maka terapi kombinasi dapat
dipertimbangkan. Terapi pada anak – anak dengan umur di bawah 6 tahun dapat
menjadi kasus yang sulit karena keterbatasan penggunaan medikasi ataupun terapi
10
farmakologis, sehingga pada anak – anak di bawah 6 tahun, intervensi yang
dipergunakan adalah terapi kognitif perilaku.4
Terapi perilaku kognitif merupakan terapi psikososial dengan efikasi yang
tinggi untuk menangani gangguan kecemasan terutama pada anak – anak.
Umumnya terapi kognitif perilaku meliputi menyediakan edukasi tentang
kecemasan dan gejalanya, teknik relaksasi, restrukturisasi kognitif, pemaparan
bertahap terhadap stimulus yang ditakuti, dan konsolidasi metode – metode tersebut
untuk mecegah terjadinya pengulangan gejala.7
Pada terapi perilaku kognitif, awalnya penderita diminta untuk mengkaji ulang
hubungan antara pikiran, perasaan, dan sensasi fisiologis, serta perilaku. Pada kasus
anak – anak, diajarkan bahwa terkadang rasa cemas juga memiliki fungsi pada
beberapa keadaan tertentu. Mereka juga diminta untuk mencatat pikiran – pikiran
kecemasan, perasaan, dan perilaku untuk setiap sesi.7
Terapi farmakologis umumnya dipergunakan sebagai terapi lini kedua,
bersamaan dengan terapi kognitif perilaku dalam kombinasi. Obat golongan SSRI,
umumnya merupakan obat pilihan dalam penanganan gangguan ansietas sedang
hingga berat, apabila dijumpai terapi kognitif perilaku dijumpai tidak efektif. SSRI
bekerja melalui inhibisi dari pengambilan serotonin pada celah sinaps di sistem
saraf pusat yang berperan dalam meregulasi mood. Dengan meningkatnya kadar
serotonin di celah sinaps, terjadi penurunan gejala kecemasan.4
Meskipun memberikan keuntungan, terapi farmakologis tidak lepas dari risiko
– risiko, serta kemunculan efek samping dari pengobatan. Beberapa dari efek
samping yang dapat dijumpai pada penggunaan SSRI seperti, insomnia, rasa mual
dan muntah, berkurang ataupun bertambahnya selera makan, dan perasaan lelah.
Sehingga penting bagi pelayan kesehatan untuk memantau penggunaan SSRI
terutama pada satu hingga dua bulan pertama.4
Beberapa contoh dari obat – obatan golongan SSRI yang paling sering
digunakan adalah adalah fluoxetine, sertraline, dan paroxetine. SSRI dapat
mencapai efek maksimum dalah waktu empat hingga enam minggu konsumsi.
Penggunaan SSRI sebaiknya dilakukan pemantauan untuk menilai risiko untuk
kejadian bunuh diri, efek samping, dan juga keefektifan dari obat. SSRI sebaiknya
11
dilanjutkan hingga 6 bulan sejak kemunculan respon dari gejala yang dialami
penderita dan kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap.4
2.8 Prognosis
Prognosis dari gangguan ansietas perpisahan, dapat berbeda – beda bergantung
pada faktor – faktor yang mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut yaitu, usia
pada saat onset gejala, durasi dari gejala, dan apakah terdapat kemunculan
komorbid gangguan kecemasan dan gangguan depresif. Pada anak – anak dengan
kemampuan untuk tetap hadir di sekolah, kegiatan setelah sepulang sekolah, dan
memiliki hubungan sesame teman di sekolah, cenderung memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menolak untuk pergi ke sekolah dan
menarik diri dari berbagai aktivitas sosial.3
Berbagai penelitian menemukan bahwa terdapat tumpang tindih yang
signifikan, antara gangguan ansietas perpisahan dengan gangguan depresi. Pada
kasus – kasus yang dijumpai dengan beberapa komorbid, prognosisnya dijumpai
lebih buruk ataupun tidak pasti. Pada beberapa studi yang ada, menunjukkan bahwa
keluhan penolakan pergi ke sekolah dapat bertahan hingga masa pubertas dan
bertahan hingga bertahun – tahun.3
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14