Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

AUTISME

Disusun oleh:

Fidella Ayu Aldora, S.Ked 04084821820022


Jennifer Finnalia Husin, S.Ked 04084821820023

Pembimbing:

dr. Yenny Fitrizar

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

AUTISME

Oleh:

Fidella Ayu Aldora, S.Ked 04084821820022


Jennifer Finnalia Husin, S.Ked 04084821820023

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Departemen Rehabilitasi Medik RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 30 April - 5 Mei 2018.

Palembang, Mei 2018


Pembimbing

dr. Yenny Fitrizar

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“AUTISME” untuk memenuhi tugas laporan kasus sebagai bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik senior di Departemen Rehabilitasi
Medik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Yenny Fitrizar, selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, masukan,
kemudahan dan perbaikan sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari keterbatan kemampuan penulis, sehingga masih banyak
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi banyak manfaat
dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Mei 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... 2
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 3
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 6
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 6
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................. 8
2.1 Identifikasi Pasien ............................................................................. 8
2.2 Anamnesis ......................................................................................... 8
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 9
2.4 Pemeriksaan Lain dan Pemeriksaan Penunjang ................................ 15
2.5 Diagnosis Klinis ................................................................................ 16
2.6 Program Rehabilitasi Medik ............................................................. 16
2.7 Terapi Medikamentosa ..................................................................... 18
2.8 Prognosis ........................................................................................... 18
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 19
3.1 Definisi .............................................................................................. 19
3.2 Epidemiologi ..................................................................................... 19
3.3 Etiologi .............................................................................................. 20
3.4 Patogenesis ........................................................................................ 21
3.5 Klasifikasi ......................................................................................... 23
3.6 Gejala Klinis ..................................................................................... 24
3.7 Penegakan Diagnosis ........................................................................ 26
3.8 Diagnsosis Banding .......................................................................... 29
3.9 Penatalaksanaan ................................................................................ 31
3.10 Rehabilitasi Medik pada Autisme ..................................................... 32
3.11 Pencegahan ....................................................................................... 38
3.12 Komplikasi ........................................................................................ 38
3.13 Prognosis ........................................................................................... 38

4
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................. 40
DAFTAR PUSAKA ........................................................................................... 41

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang tua. Keberadaan
anak sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu serta disambut dengan penuh
bahagia. Semua orang tua mengharapkan memiliki anak yang sehat,
membanggakan dan sempurna. Akan tetapi, beberapa orang tua justru dikarunia
anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus, seperti autisme.
Autisme merupakan bagian dari Autism Spectrum Disorder (ASD), yaitu
gangguan perkembangan pada anak dan merupakan satu dari lima jenis gangguan
Pervasive Development Disorder (PDD). Anak dengan autisme umumnya
mengalami kesulitan berinteraksi sosial, masalah komunikasi verbal dan
nonverbal, disertai dengan pengulangan tingkah laku dan ketertarikan yang
dangkal dan obsesif. Kondisi ini umumnya dapat dideteksi pada anak dengan usia
kurang dari 3 tahun. Autisme dapat terjadi pada siapa saja dan tidak ada
perbedaan status sosioekonomi, pendidikan, golongan, etnik atau bangsa. Saat ini,
autisme menimbulkan keprihatinan yang mendalam terutama bagi penyandang
dan keluarga, khususnya orang tua. Keluarga yang memiliki anak dengan autisme
mengalami berbagai penyesuaian dalam kehidupannya, mulai dari tingginya biaya
yang dibutuhkan untuk perawatan dan tidak mudah mendapatkan tempat
pendidikan yang sesuai.
Setiap tahun diseluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Data
Centre of Disease Control (CDC) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi
autisme adalah 1 dari 68 anak, spesifiknya 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189
anak perempuan. Sampai saat ini, belum ada data statistik pasti mengenai jumlah
penyandang autisme di Indonesia. Namun dipastikan terjadi peningkatan jumlah
penyandang autisme, dilihat dari jumlah kunjungan di rumah sakit umum, rumah
sakit jiwa dan klinik tumbuh kembang anak yang cukup bermakna dari tahun ke
tahun.

6
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengenali, mendeteksi,
mengetahui dan mempelajari lebih dalam mengenai kasus autisme, sehingga
apabila dijumpai kasus autisme, dokter umum mampu menegakkan diagnosis
klinis agar dapat memberikan penatalaksanaan dan edukasi secara tepat. Anak
dengan autisme diharapkan dapat memperoleh dukungan dan hak untuk
mendapatkan penanganan khusus yang dibutuhkan dengan sebaik-baiknya,
sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidupnya dikemudian hari,
diterima masyarakat dan diapresiasi oleh lingkungannya.

7
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi Pasien


Nama : APC
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Jalan Radial
Status : Belum menikah
Kunjungan : 8 Mei 2018
No. RM : 1045276

2.2. Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien pada tanggal 8 Mei 2018 di Poli
Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, didukung
dengan catatan rekam medis.

Keluhan Utama
Pasien belum dapat berbicara dengan jelas pada usia saat ini (3 tahun).

Riwayat Perjalanan Penyakit


• Pasien belum dapat berbicara dengan jelas, keluhan ini dirasakan ibu
sejak ± 3 bulan yang lalu. Ibu pasien menyadari anaknya belum bisa
bicara seperti anak lain seusianya, hanya bisa bicara tanpa arti yang
dapat dimengerti (mengoceh). Pasien belum bisa menyebutkan “papa”
dan “mama” secara spesifik, ataupun kalimat. Pasien dipanggil tidak
menoleh dan diberi perintah tidak dilakukan. Apabila menginginkan
sesuatu pasien cenderung menarik tangan ibunya.

8
• Pasien sangat aktif, tidak dapat fokus pada satu hal, senang berlari dan
melompat tanpa tujuan, cenderung lebih suka main sendiri, dan susah
bila diajak bermain dengan orang lain.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ibu menyangkal pasien pernah menderita penyakit yang sampai
menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat trauma kepala, malaria, kejang demam ataupun epilepsi
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga, baik dari keluarga ayah maupun ibu pasien,
yang menderita keluhan serupa, mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan atau mengalami gangguan mental lainnya.

Riwayat Pekerjaan
Pasien belum bekerja.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Pasien berobat dengan
menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan Kelas III. Kesan: keadaan sosial
ekonomi cukup.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : baik
Kesadaran : E4V5M6 (GCS 15)
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit, reguler, isi, tegangan cukup
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,5°C

9
Berat badan : 15 kg
Tinggi badan : 95 cm
IMT : 16,2
Cara berjalan/gait : tidak ada kelainan
Bahasa/bicara
Komunikasi verbal : buruk
Komunikasi non verbal : buruk

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kulit : normal

Status psikis
Sikap : tidak kooperatif
Ekspresi wajah : baik
Orientasi : normal
Perhatian : buruk

Nervus kranialis I – XII : tidak dilakukan pemeriksaan

Kepala : bentuk normal, normocephali


Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), reflek cahaya langsung (+/+), pupil
isokor (3 mm/3 mm), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-),
darah (-/-), sekret (-/-), simetris
Telinga : deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor
(-), stomatitis (-), gusi berdarah (-)
Leher : simetris, JVP 5-2 cmH2O, tidak ada
pembesaran KGB, benjolan (-), kaku
kuduk (-)

10
Luas gerak sendi : dalam batas normal
Tes provokasi : tidak dilakukan

Thoraks
Pulmo
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, pelebaran sela
iga (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 84 x/menit, reguler, BJ I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Trunkus
Inspeksi : simetris, tidak ada deformitas
Palpasi : nyeri tekan (-), spasme otot (-)
Luas gerak sendi : dalam batas normal
Tes provokasi : tidak dilakukan

11
Ekstremitas superior
Inspeksi : deformitas (-), edema (-) tremor (-),
nodus herbenden (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)

Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Luas
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks fisiologis
Refleks tendon biseps Normal Normal
Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks patologis
Hoffman Tidak ada Tidak ada
Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Dextra Sinistra


Anatomical Normal Normal
Grips Normal Normal
Spread Normal Normal

12
Palmar abduct Normal Normal
Pinch Normal Normal
Lumbrical Normal Normal

Luas gerak sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Abduksi bahu 0-180 0-180 0-100 0-180
Adduksi bahu 180-0 180-0 180-0 180-0
Fleksi bahu 0-180 0-180 0-110 0-180
Ekstensi bahu 0-60 0-60 0-60 0-60
Endorotasi bahu f0 90-0 90-0 90-0 90-0
Eksorotasi bahu f0 0-90 0-90 0-90 0-90
Endorotasi bahu f90 90-0 90-0 90-0 90-0
Eksorotasi bahu f0 0-90 0-90 0-90 0-90
Fleksi siku 0-150 0-150 0-150 0-150
Ekstensi siku 150-0 150-0 150-0 150-0
Ekstensi pergelangan 0-70 0-70 0-70 0-70
tangan
Fleksi pergelangan 0-80 0-80 0-80 0-80
tangan
Supinasi 0-90 0-90 0-90 0-90
Pronasi 0-90 0-90 0-90 0-90

Tes provokasi
Tinel test : +/+
Phalen test : +/+

Ekstremitas inferior
Inspeksi : deformitas (-), edema (-) tremor (-),
nodus herbenden (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)

13
Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Luas
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks fisiologis
Refleks tendon patella Normal Normal
Refleks tendon achiles Normal Normal
Refleks patologis
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Dextra Sinistra


Anatomical Normal Normal
Grips Normal Normal
Spread Normal Normal
Palmar abduct Normal Normal
Pinch Normal Normal
Lumbrical Normal Normal

14
Luas gerak sendi Aktif Aktif Pasif Pasif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi paha 0-30 0-45 0-45 0-45
Ekstensi paha 0-30 0-30 0-30 0-30
Endorotasi paha 0-35 0-35 0-35 0-35
Adduksi paha 0-15 0-15 0-15 0-15
Abduksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45
Fleksi lutut 0-110 0-110 0-110 0-110
Ekstensi lutut 0-100 0-120 0-120 0-120
Dorsofleksi pergelangan 0-20 0-20 0-20 0-20
kaki
Plantar fleksi pergelangan 0-50 0-50 0-50 0-50
kaki
Inversi kaki 0-35 0-35 0-35 0-35
Eversi kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Tes provokasi sendi lutut Dextra Sinistra


Stress test tidak dilakukan tidak dilakukan
Drawer’s test tidak dilakukan tidak dilakukan
Tunel test tidak dilakukan tidak dilakukan
Homan test tidak dilakukan tidak dilakukan
Lain-lain tidak dilakukan tidak dilakukan

2.4. Pemeriksaan Lain dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan refleks primitif pada anak dengan gangguan SSP
Righting reaction : tidak dilakukan
Reaksi keseimbangan : tidak dilakukan
Pemeriksaan lainnya : tidak dilakukan

15
Bowel test/bladder test
Sensorik peri anal : tidak dilakukan
Motorik spinchter ani : tidak dilakukan
BCR : tidak dilakukan
Fungsi luhur
Afasia : tidak ada
Apraksia : tidak ada
Agrafia : belum dapat dinilai
Alexia : belum dapat dinilai

Pemeriksaan Penunjang
Radiologis : tidak dilakukan
Laboratorium : tidak dilakukan
Lain-lain CT Scan/MRI : tidak dilakukan

2.5. Diagnosis Klinis


Autisme

2.6. Program Rehabilitasi Medik


Fisioterapi
Terapi panas : tidak dilakukan
Terapi dingin : tidak dilakukan
Stimulasi listrik : tidak dilakukan
Terapi latihan : tidak dilakukan

Okupasi Terapi
ROM exercise : tidak ada
ADL exercise : dilakukan

Ortotik Prostetik
Ortotik : tidak ada

16
Prostetik : tidak ada
Alat bantu ambulansu : tidak ada

Terapi Wicara
Afasia : dilakukan
Disartria : tidak dilakukan
Disfagia : tidak dilakukan

Sosial Medik : memberikan support mental pada pasien


dan orang tua pasien untuk datang terapi
secara rutin dan memberikan terapi
kepada pasien

Edukasi :
Mengedukasi keluarga pasien saat dirumah untuk:
1. Mendampingi dan melatih anak melakukan gerakan okupasi seperti
memegang pensil, menulis, ataupun gerakan lain yang berguna untuk
perkembangan motorik anak,
2. Memberikan stimulus tertentu yang mendorong anak untuk berbicara,
seperti memaksa anak mengucapkan beberapa kata dan dilatih sampai
anak terbiasa dan bisa diajak berdialog atau berkomunikasi,
3. Mendampingi dan melatih anak untuk berkomunikasi dan mengenal
lingkungan sekitar, seperti tetangga, hewan ataupun anggota keluarga
lainnya,
4. Melatih kemandirian anak dengan melakukan metode reward and
punishment,
5. Membiasakan untuk melakukan social story atau bercerita kepada anak
mengenai apa saja sesuai dengan tahap perkembangannya.

17
2.7. Terapi Medikamentosa
Risperidon 0,1 mg + vitamin B kompleks ½ tab dalam sediaan pulveres 2
kali sehari

2.8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Istilah autisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari John Hopkins University yang menangani
sekelompok anak-anak yang mengalami kelainan sosial yang berat, hambatan
komunikasi dan masalah perilaku. Autisme berasal dari bahasa Yunani yang
secara harfiah berasal dari kata autos, yaitu diri dan isme, yaitu paham/aliran.
Secara etimologi, anak dengan autisme adalah anak yang memiliki gangguan
perkembangan dalam dunianya sendiri, mereka menghindari/tidak merespon
terhadap kontak sosial dan lebih senang menyendiri.
World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-
10) mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya
keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga
tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World Health Organozation, h.
253, 1992). Sementara, Ika Widyawati (2001) menjelaskan bahwa autisme
merupakan salah satu gangguan perkembangan pervasif/Pervasive Developmental
Disorder (PDD) atau disebut Autism Specrtum Disorder (ASD) yang ditandai
dengan adanya abnormalitas dan/atau hendaya perkembangan yang muncul
sebelum usia 3 tahun, dan mempunyai fungsi yang abnormal dalam 3 bidang,
yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas (restriktif) dan
berulang (repetitif).

3.2. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun
terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di dunia pada tahun
1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian yaitu
tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan,

19
pada tahun 2000 prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150
kelahiran dan tahun 2001 perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran.
Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap
autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya).
Sedangkan penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak
(Lubis, 2009).

3.3. Etiologi
Secara pasti penyebab autisme tidak diketahui, namun autisme dapat terjadi
dari kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor
lingkungan. Ada berbagai teori yang menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya autisme, yaitu:
1) Teori biologis
a) Faktor genetik
Keluarga yang terdapat anak autis memiliki resiko lebih tinggi
dibandingkan populasi keluarga normal. Abnormalitas genetik dapat
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel-sel saraf dan sel otak.
b) Prenatal, natal dan post natal
Pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi yang
terlambat, gangguan pernapasan dan anemia merupakan salah faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme. Kegagalan pertumbuhan
otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak
mencukupi karena nutrisi tidak dapat diserap oleh tubuh, hal ini dapat
terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak
terpenuhi karena faktor ekonomi.
c) Neuroanatomi
Gangguan/fungsi pada sel-sel otak selama dalam kandungan yang
mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi perdarahan atau
infeksi dapat memicu terjadinya autisme.
d) Struktur dan biokimiawi otak dan darah

20
Kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje mempunyai
kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya
kandungan dopamin atau upioid dalam darah.
2) Teori psikososial
Beberapa ahli (Kanner & Bruno Bettelhem) menyatakan autisme dianggap
sebagai akibat hubungan yang dingin/tidak akrab antara orang tua ibu dan
anak. Demikian juga orang yang mengasuh dengan emosional kaku, obsesif
tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi
autistik.
3) Faktor keracunan logam berat
Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang tinggal dekat tambang
batu bara, emas dsb. Keracunan logam berat pada makanan yang
dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam
berat yang tinggi.
Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autism
terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.
4) Faktor gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan
Menurut data yang ada 60% anak autistik mempunyai sistem pencernaan
kurang sempurna. Kemungkinan timbulnya autistik karena adanya
gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.
5) Autoimun tubuh
Auto imun pada anak dapat merugikan perkembangan tubuhnya sendiri
karena zat-zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri.
Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit.
Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh
sendiri yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh dan
menghancurkannya.

3.4. Patogenesis
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun
yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor

21
genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan
anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik)
kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua
kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 5-10% saja.
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi
meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antaragen
serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa
autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid
pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid
merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein makanan.
Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak perhatian. Pada
dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang defisien di dalam mukosa
usus, di darah-otak(blood-brain) atau oleh karena adanya kegagalan peptida usus
dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit
yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit.
Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena
suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah
menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini
tidak ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi
autisme atau tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan
tentang sebab utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa
abnormalitas jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab
dari abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap
perilaku.
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam
stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam
kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa
penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang
kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini
bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga
menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum. Dengan menggunakan

22
magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus
VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih kecil daripada orang
normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung
jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan
neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan
neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid
endogen danoksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya
hubungan antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut.
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita
autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan
serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa
abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan
hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik
terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di dalam badan yang
mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa
sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar betaendorphins ini.

3.5. Klasifikasi
Klasifikasi autisme dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan
kondisi.
1) Berdasarkan saat munculnya kelainan
a) Autisme infantile, digunakan untuk menyebut anak autis yang
kelainannya sudah tampak sejak lahir.
b) Autisme fiksasi, digunakan untuk menyebut anak autis yang pada waktu
lahir kondisinya normal, tanda-tanda autisnya muncul kemudian setelah
berumur dua atau tiga tahun.
2) Berdasarkan intelektual
a) Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ < 50),
prevalensi 60% dari anak autis.
b) Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70), prevalensi 20%
dari anak autis.

23
c) Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (IQ > 70),
prevalensi 20% dari anak autis.
3) Berdasarkan interaksi sosial
a) Kelompok yang menyendiri, dimana banyak terlihat pada anak yang
menarik diri, acuh tak acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial
serta menunjukkan perilaku dan perhatian yang tidak hangat.
b) Kelompok yang pasif, dimana anak masih dapat menerima pendekatan
sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan
dengan dirinya.
c) Kelompok yang aktif tapi aneh, dimana anak secara spontan akan
mendekati anak lain, namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya
sepihak.
4) Berdasarkan prediksi kemandirian
a) Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis).
b) Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan
walaupun problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis).
c) Prognosis baik, mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir
normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja
(1/10 dari penyandang autis).

3.6. Gejala Klinis


Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam
autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:
1) Interaksi sosial
a) Menyendiri (aloof), terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak acuh,
dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku
dan perhatian yang terbatas (tidak hangat).
b) Pasif, anak dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak
lain jika pola permaiannya disesuaikan dengan dirinya.
c) Aktif tapi aneh, anak secara spontan akan mendekati anak lain, namun
interaksi ini seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.

24
2) Komunikasi
a) Bergumam.
b) Sering mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata dan
kesukaran dalam mengggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan
benar.
c) Sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang
pernah mereka dengar sebelumnya tanpa bermaksud untuk
berkomunikasi.
d) Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik,
seperti "saya" menjadi "kamu" dan menyebut diri sendiri sebagai
"kamu".
e) Sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang potongan kata atau
lagu dari iklan tv dan mengucapkannya di muka orang lain dalam
suasana yang tidak sesuai.
f) Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti kiasan, seperti seorang
anak berkata "sembilan" setiap kali ia melihat kereta api.
g) Mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat
berbicara dengan baik, karena tidak tahu kapan giliran mereka berbicara,
memilih topik pembicaraan, atau melihat kepada lawan bicaranya.
h) Bicaranya monoton, kaku, dan menjemukan.
i) Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui
nada suara.
j) Tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan
keinginannya, tetapi dengan mengambil tangan orangtuanya untuk
mengambil obyek yang dimaksud.
k) Mengalami gangguan dalam komunikasi non-verbal, anak sering tidak
menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk
mengekspresikan perasaannya atau untuk meraba-rasakan perasaan
orang lain, misalnya menggelengkan kepala, melambaikan tangan,
mengangkat alis, dan sebagainya.
3) Perilaku dan pola bermain

25
a) Abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip, diulang-ulang dan tidak
kreatif.
b) Tidak menggunakan mainannya dengan sesuai.
c) Menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru.
d) Minatnya terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang.
e) Hiperaktif pada anak prasekolah atau sebaliknya hipoaktif.
f) Gangguan pemusatan perhatian, impulsifitas, koordinasi motorik
terganggu, kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
4) Kognitif
a) Hampir 75-80% anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat
rata-rata sedang.
b) Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental yang menunjukan
kemampuan luar biasa) adalah seorang penyandang autisme.

3.7. Penegakan Diagnosis


Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 4th Edition Text Revision (DSM IV-TR,
2004), kriteria diagnostic untuk gangguan autistik adalah sebagai berikut:
1) Jumlah dari enam (atau lebih) item dari poin (1), (2) dan (3) dengan
setidaknya dua dari poin (1), dan satu dari masing-masing poin (2) dan (3);
(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial yang dimanifestasikan
dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:
a) Gangguan beberapa perilaku nonverbal seperti tatapan langsung,
ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi
sosial.
b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang
tepat menurut tahap perkembangan.
c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti
kurangnya menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
d) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.

26
(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan dengan
setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
a) Kekurangan penuh dalam perkembangan bahasa (tidak disertai
dengan usaha untuk menggantinya melalui berbagai alternatif dari
komunikasi, seperti gestur dan mimik).
b) Kesulitan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain.
c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau
bahasa yang tidak bisa dimengerti orang lain.
d) Adanya gangguan kemampuan permainan berpura-pura yang
spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap
perkembangan.
(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk
tetap, ketertarikan dan aktivitas yang dimanifestasikan pada setidak-
tidaknya satu dari hal berikut:
a) Preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk
tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas nonfungsional atau ritual yang
spesifik.
c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau
mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari
seluruh tubuh).
d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.
2) Fungsi yang abnormal setidak-tidaknya dalam satu dari area berikut, dengan
permulaan terjadi pada usia tiga tahun, yaitu 1) interaksi sosial, 2) bahasa
yang digunakan dalam komunikasi sosial atau 3) permainan simbolik atau
imajinatif;
3) Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau
Childhood.
Sementara itu, berdasarkan pedoman diagnostikPPDGJ III, penegakan
diagnosis autisme infantil antara lain:

27
1) Biasanya tidak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi jika
dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun.
2) Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya. Ini berbentuk
tidak adanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio emosional yang
tampak bagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan/atau
kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial; buruk dalam
menggunakan isyarat social dan lemah dalam integrasi perilaku sosial,
emosional dan komunikatif; dan khususnya, kurangnya respon timbal balik
sosial emosional.
3) Adanya hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya
penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam
permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan kurangnya
interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam
bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam
proses pikir; kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan
nonverbal orang lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau
tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk
menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.
4) Juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas,
pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap
kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku
untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain.
Terutama sekali dalam masa kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap
benda yang tak lembut. Anak dapat memaksa suatu kegiatan rutin seperti
upacara dari kegiatan yang sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi
yang stereotipik dengan perhatian pada tanggal, rute atau jadwal; sering
terdapat stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus
terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat
penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari
lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam rumah).

28
5) Anak autisme sering menunjukkan beberapa masalah yang tak khas seperti
ketakutan/fobia, gangguan tidur dan makan, mengadat (temper tantrum) dan
agresivitas. Mencederai diri sendiri (seperti menggigit tangan) sering kali
terjadi, khususnya jika terkait dengan retardasi mental. Kebanyakan
individu dengan autis kurang dalam spontanitas, inisiatif dan kreativitas
dalam mengatur waktu luang dan mempunyai kesulitan dalam
melaksanakan konsep untuk menuliskan sesuatu dalam pekerjaan (meskipun
tugas mereka tetap dilaksanakan baik).
Selain itu, perlu dilakukan skrining untuk autisme pada anak. Beberapa
instrumen skrining yang sering digunakan antara lain:
1. CARS (Childhood Autism Rating Scale)
Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal 1970an. Terdapat 15 nilai
skala yang mengandung penilaian terhadap hubungan anak dengan orang,
penggunaan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, respon pendengaran dan
komunikasi verbal.
2. CHAT (Checklist for Autism in Toddlers)
Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk
digunakan pada anak usia 18 bulan. Terdapat kuosioner yang terbagi
menjadi 2 sesi, satu penilaian orang tua dan satu penilaian dokter yang
menangani.
3. ASQ (Autism Screening Questionnaire)
Terdapat 40 poin skala skrining yang digunakan untuk anak usia 4 tahun
ke atas, dengan tujuan mengevaluasi kemampuan berkomunikasi dan
fungsi sosialnya.

3.8. Diagnosis Banding


Autisme merupakan salah satu dari lima gangguan perkembangan pervasif.
Adapun jenis gangguan perkembangan pervasif tersebut antara lain:
1. Gangguan autistik
Penyandangnya memiliki masalah interaksi sosial, berkomunikasi, dan
permainan imaginasi pada anak di bawah usia tiga tahun.

29
2. Sindrom Asperger
Sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autisme namun masih memiliki
intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya terganggu
dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering disebut
sebagai high functioning autism.
Sindrom Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil. Onset usia
autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah
dibandingkan sindrom Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan
penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya
gangguan kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih
baik pada sindrom Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada
autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada
sindrom Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik
yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Sindrom Asperger
biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme
infantil, kecuali autisme infantil high functioning. Batas antara sindrom
Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa dan
gangguan belajar sangat kabur. Sindrom Asperger mempunyai verbal
intelligence yang normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal
intelligence yang kurang. Sindrom Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami
kesulitan berempati
3. Gangguan perkembangan menurun (Pervasive Developmental Disorder Not
Otherwise Specified/PDD NOS)
Gejala ini disebut juga non tipikal autisme. Penderita memiliki gejala-gejala
autisme, namun berbeda dengan jenis autisme lainnya. IQ penderita ini
rendah.
4. Sindrom Rett
Sindrom ini terjadi hanya pada anak perempuan. Mulanya anak tumbuh
normal. Pada usia satu hingga empat tahun, terjadi perubahan pola
komunikasi, dengan pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan

30
tangan. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi
perkembangan bahasa, interaksi social maupun motoriknya.
5. Gangguan disintegrasi anak
Pada gejala autisme ini, anak tumbuh normal hingga tahun kedua.
Selanjutnya anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan
komunikasi dan keterampilan sosialnya.

Tabel 1. Diagnosis Banding Autisme dengan Gangguan Perkembangan


Pervasif Lainnya

3.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin ilmu
yang terkait. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mendorong kemandirian anak.
Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu medikamentosa dan non
medikamentosa.
1. Medikamentosa
1) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, sebaiknya diberikan
dosis rendah antipsikotik/neuroleptik atau dengan agonis alfa-adrenergik
dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
2) Jika periaku repetitif menjadi target terapi, sebaiknya diberikan
neuroleptik dan SSRI untuk mengatasi perilaku stereotipik.

31
3) Jika inatensi menjadi target terapi, sebaiknya diberikan metilpenidat
untuk meningkatkan atensi dan mengurangi destruksibilitas.
4) Jika insomnia menjadi target terapi, sebaiknya diberikan dipenhidramin
dan neuroleptik.
2. Non medikamentosa
1) Terapi edukasi, yakni intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan
sosial dan keterampilan sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Metode
pengajaran yang digunakan misalnya TEACHC (Treatment and
Education of Autistic and related Communication Handicapped
Children).
2) Terapi perilaku, merupakan terapi yang sangat perlu dilakukan sesegera
dan seintensif mungkin. Metode yang banyak dipakai adalah ABA
(Applied Behavioural Analysis).
3) Terapi wicara, merupakan terapi yang perlu dilakukan karena anak
dengan autisme umumnya tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
4) Terapi okupasi, merupakan terapi yang bertujuan meningkatkan
kemampuan anak dengan autisme untuk dapat melakukan gerakan,
memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai
kebutuhannya.
5) Sensori integrasi, dimana diharapkan dengan pengorganisasian
informasi dari semua sensori yang ada, anak akan menghasilkan respon
bermakna terkait kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya.
6) Intervensi keluarga, yakni keluarga yang dapat berinteraksi satu sama
lain dan saling mendukung, dimana diharapkan anak mendapat
perlindungan, pengasuhan, pendidikan ataupun support penuh dari
keluarga, sehingga anak mampu berkembang optimal, sehingga anak
menjadi mandiri dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.

3.10. Rehabilitasi Medik pada Autisme


Tujuan umum penatalaksanaan individu dengan autisme adalah 1)
meningkatkan kemampuan bahasa dan interaksi sosial, 2) mengurangi masalah

32
perilaku, 3) memberi dukungan pada orang tua atau keluarganya dalam
penyesuaian dengan kondisi anak dan dalam mengupayakan edukasi anak, serta 4)
meningkatkan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari terutama
perawatan diri. Untuk itu, ada banyak pilihan terapi untuk anak dengan autisme,
bergantung pada kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Namun, terapi utama
bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi.
1. Terapi perilaku (ABA, LOVAAS, TEACHC, Son-rise)
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman- temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya,
Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan.
Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih
akan mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari
solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat
dan untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan
menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat.
Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh
(belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci
terapi perilaku adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat
dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi-terapi lainnya seperti
terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena tanpa kepatuhan ini, terapi
yang diikuti tidak akan pernah berhasil.
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral
Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of
California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi
bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama

33
sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai
tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk
berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau
tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-
C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti
dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya
perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis.
Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian
memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya
sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan
cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence/akibat
(konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman
dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan
hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten
pada usia dini.
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu,
tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti 1) berat
ringannya derajat autisme, 2) usia anak saat pertama kali ditangani/terapi,,
3) intensitas terapi, 4) metode terapi, 5) IQ anak, 6) kemampuan berbahasa
anak, 7) masalah perilaku, dan 8) peran serta orang tua dan lingkungan.
Metode lain dari terapi perilaku ini adalah terapi bermain Son-rise. Son-rise
adalah program terapi berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang
mengalami gangguan komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat
membantu meningkatkan kontak mata, menerima keberadaan orang lain.
Dan yang lebih penting, program ini, tidak memberikan punishment berupa
kekerasan kepada anak. Proses ini dilakukan dengan harapan, anak mereka
dapat berubah dan menjadi kondisi yang lebih baik. Metode ini tidak bisa
diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus, terutama kasus autis yang
masih berada pada tahap kurikulum awal.

34
Kemampuan perkembangan bermain, merupakan hal yang penting dalam
program ini, selain juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program
son-rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak
secara positif, dengan rasa cinta, akan membuat anak menjalin interaksi
dengan kita, dibandingan bila kita mengedepankan sikap marah dll.
Ide dasar teori ini adalah bahwa setiap anak termasuk autisme, lebih
menyukai suasana belajar yang menyenangkan.
Banyak orang tua berusaha menerima keberadaan anak mereka yang
terdiagnosa autis, son rise menekankan bahwa peran serta orang tua dapat
memberikan support yang positif bagi perkembangan/kemajuan anak
mereka.
Dengan program terapi yang lain seperti metode DIR/floortime, memiliki
kesamaaan dalam hal kebutuhan arti cinta dan penerimaan. Dengan asumsi
bahwa anak-anak autis, memiliki rasa dan mengerti tentang, keberadaan
kita, bahasa tubuh, dan bahasa verbal lainnya. Son-rise digunakan sesuai
dengan kondisi anaknya, anak diberi tujuan untuk mengikuti, (mengikuti
anak sesuai dengan tugas yang diberikan) sedangkan floor-time murni
bermain dengan tugas yang diberikan/bermain bebas saja.
TEACHC (Treatment and Education of Austistic and Related
Communication Handicapped Children and Adults). Kemampuan berbicara
dan sosial seseorang menentukan tingkat perkembangan sosialnya, atau
tingkat penguasaan kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan
tuntutan masyarakat serta menentukan kemandirian dan kesiapan anak
dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Kekuatan dasar ini sangat
menentukan kemampuan perilaku adaptif anak, yang dalam pengertian lebih
sempit diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan kebiasaan yang dapat
diterima secara sosial. Penekanan pada aspek sosial ini sangat penting
mengingat manusia, termasuk anak autis adalah makhluk sosial dan
mempunyai kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu
perlu dikembangkan kemampuan psikososialnya dengan menggunakan
metode ini.

35
2. Terapi wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena anak
autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara
lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam
bicara dan berbahasa.
Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autis yang
non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang
bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai
bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal
ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3. Terapi okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk
melatih motorik halus anak. Hampir semua anak autis mempunyai
keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku
dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar,
kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan
lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih
mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar. Contohnya Floortime.
4. Terapi fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya.
Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat.
Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi
sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan
memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi fisik yang dapat membantu
anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak.
5. Terapi bermain

36
Terapi bermain melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar
bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa
membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
Terapi bermain ini bertujuan selain untuk bersosialisasi juag bertujuan untuk
terapi perilaku, bermain sesuai aturan.
6. Terapi melalui makan (diet therapy)
Terapi ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi tingkat ganggguan
autisme.
7. Terapi integrasi sensoris
Terapi ini bertujuan untuk melatih kepekaan dan koodinasi daya indra anak
autis. Terapi integrasi auditori, untuk melatih kepekaan pendengaran supaya
lebih sempurna. Dapat menggunakan snozellen.
8. Terapi musik
Terapi ini bertujuan untuk melatih audiotori anak,menekan emosi,melatih
kontak mata dan konsentrasi.
9. Terapi anggota keluarga
Anggota keluarga diterapi untuk memberi perhatian yang penuh. Bisa
dengan menggunakan konseling kognitif perilaku (KKP).
10. Terapi sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam
bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan
pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan
main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan
memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman
sebaya dan mengajari cara-caranya.
11. Terapi perkembangan
RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi
perkembangan.

37
Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional
dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku
seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
12. Media visual
Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode
belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS
(Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa
juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. Contoh lain
menggunakan Computer picture.

3.11. Pencegahan
Pada autisme, etiologi dan faktor risiko masih belum jelas, sehingga
pencegahan mungkin tidak dapat dilakukan optimal seperti pada penyakit lainnya.
Dalam kondisi ini, upaya pencegahan berupa menghindari faktor-faktor risiko dari
beberapa teori etiologi autisme, seperti pencegahan oleh ibu sejak kehamilan,
selama persalinan, pasca persalinan, maupun pola asuh keluarga terhadap anak,
dengan harapan gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin parah.

3.12. Komplikasi
Secara umum, autisme tentunya akan menganggu kemampuan komunikasi
dan sosial anak. Autisme yang terlambat dideteksi dan tidak mendapat terapi
optimal akan memerlukan perawatan dan dukungan berkelanjutan dari orang
sekitarnya, sehingga anak menjadi tidak mandiri dan tentunya hal ini menganggu
kualitas hidup anak.

3.13. Prognosis
Intervensi dini yang tepat dan program pendidikan terspesialisasi serta
pelayananan pendukung mempengaruhi hasil penatalaksanaan autisme. Autisme
tidak fatal dan tidak mempengaruhi harapan hidup normal. Penyandang autisme

38
yang dideteksi dini serta mendapat terapi yang tepat dapat hidup mandiri,
bergantung pada jenis gangguan autistik yang diderita dan usia autisme terdeteksi
serta penatalaksanaan yang dilakukan.

39
BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan alloanamnesis diketahui bahwa APC, 3 tahun, laki-laki dibawa


ibunya dengan keluhan belum bisa berbicara dengan jelas, yang disadari ibu APC
sejak ± 3 bulan yang lalu. Ibu menyadari APC belum bisa bicara seperti anak lain
seusianya, hanya bisa bicara tanpa arti yang dapat dimengerti (mengoceh). APC
belum bisa menyebutkan “papa” dan “mama” secara spesifik, ataupun kalimat
lengkap lainnya. Apabila dipanggil, APC idak menoleh dan apabila diberi
perintah tidak dilakukan. Apabila menginginkan sesuatu, APC tidak memanggil
ibunya namun cenderung menarik tangan ibunya. Ibu APC mengeluhkan bahwa
APC sangat aktif, tidak dapat fokus pada satu hal, senang berlari dan melompat
tanpa tujuan, cenderung lebih suka main sendiri, dan susah bila diajak bermain
dengan orang lain. Pasien kemudian berobat ke Poliklinik Tumbuh Kembang
Anak RSMH dan didiagnosis sebagai GDD ec Autisme. Pasien lalu dikonsulkan
ke bagian Rehabilitasi Medik RSMH untuk dilakukan terapi wicara, sensori
integrasi, dan sosial kemandirian dan perilaku. Pasien sudah 6 kali melakukan
terapi okupasi (sensori integrasi, sosial kemandirian dan perilaku) dan terapi
wicara dan mengalami perbaikan pada beberapa aspek. Pasien apabila dipanggil
sudah mulai ada
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis autisme dapat
ditegakkan. Terapi medikamentosa yang diberikan untuk mengatasi perilaku
destruktif, repetitif dan inatensi dari APC adalah risperidon 0,1 mg dan vitamin B
kompleks ½ tab dalam sediaan pulveres yang diminum dua kali sehari. Pada
pasien dilakukan terapi okupasi satu kali seminggu dan terapi wicara satu kali
seminggu di bagian Rehabilitasi Medik RSMH Palembang. Keluarga pasien juga
diberikan motivasi untuk datang terapi secara rutin dan diedukasi untuk bisa
melakukan banyak interaksi dan komunikasi dengan pasien di rumah.

40
DAFTAR PUSTAKA

Autism and Pervasive Developmental Disorder. 2006. A publication of the


National Dissemination Center for Children with Disabilities. Available:
http://www.nichcy.org/pubs/factshe/fs1txt.htm.
Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders). 2006. National
Institute of Mental Health (NIMH). Available:
http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm.
Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P.
2001. Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108;
1155-61.
Finding Adds Another Piece to Autism Puzzle. 2006. MedlinePlus. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/FindingAddsAnotherPiecetoAutismPu
zzle.htm.
Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders.
Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.
Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.
Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf.
NINDS Autism Information Page. 2006. National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS). Available:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/autism/autism.htm#What_is.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dalam ”Konferensi Nasional Autisme-I” Jakarta.
2003.
Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.

41
Sadock, B.J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry.10th Edition. University School
of Medicine New York; Chapter 42.
Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan.
Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/.
YPAC. 2013. Penanganan dan Pendidikan Autis di YPAC. Diunduh di
http://ypacnasional.org/bukupenanganan-dan-pendidikanautis-di-ypac/.
Yuwono, Joko. 2012. Memahami Anak Autistik. Bandung: Alfabeta.

42

Anda mungkin juga menyukai