Anda di halaman 1dari 16

PENATALAKSANAAN ELECTRICAL STIMULATION

DAN SHORT WAVE DIATHERMY PADA BELL’S PALSY

Oleh:

WINDU AIRLANGGA EKACARAKA

151710283006

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2020
Definisi Kasus

Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis

dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012). Bell’s palsy adalah

kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah

wajah (de Almeida et al., 2014).

Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron (LMN) unilateral

idiopatik (Ginsberg, 2008). Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah

bangun pagi mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti

kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam

atau kurang (Dewanto, dkk, 2009).

Etiologi

Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik dan penyebab proses

inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy,

antara lain:

A. Teori Ischemia Vaskuler

Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah ke saraf

fasialis. Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas

angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut

menyempit atau vasospasme. Penyempitan itu mengakibatkan iskemia atau

berkurangnya suplai oksigen, sehingga terjadi kelumpuhan (Sutis, 2010).

B. Teori Infeksi Virus

Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit. ini. Burgess et al

mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum

seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s

Palsy.
C. Teori Herediter

Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan,

dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim

D. Teori Imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap

infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

Patofisiologi

Saraf fasialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki meatus

akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang

untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan

bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin

merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis. Foramen meatal pada segmen

ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm (Lowis & Gaharu, 2012).

Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di meatus

akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis

fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan menyebabkan

distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang

terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN)

akan menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian

ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral (Snell, 2012).

Murakami, dkk menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk

mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan

endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam

telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus
tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya

temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran

patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular

saraf (Lowis & Gaharu, 2012).

Gambaran Klinis

Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya

mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf

fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya

pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar

lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga dan pengecapan pada dua pertiga lidah

melalui korda timpani (Finsterer, 2008).

Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi

secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut,

tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's

phenomen), sudut nasolabial tidak tampak dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala

lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis dan berkurangnya sensasi pengecapan

pada dua pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012).

Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang

sering dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir

50% pasien Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa

hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis (Garg dkk,2012). Jika ditinjau dari

letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut muncul. Terdapat lima letak lesi yang

dapat memberikan petunjuk munculnya gejala dan tanda Bell’s palsy.


1. Lesi setinggi meatus akustikus internus

Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan

gangguan keseimbangan

2. Lesi setinggi ganglion genikulatum

Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral serta gangguan pengecapan, lakrimasi

dan salivasi

3. Lesi setinggi nervus stapedius

Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta

hiperakusis

4. Lesi setinggi kanalis fasialis

Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi

5. Lesi setinggi foramen stylomastoid

Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral

Komplikasi

Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain:

A. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)

Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena

konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh,

sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya (Sidharta, 2008).

B. Kontraktur otot wajah

Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih

jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat (Lumbantobing, 2012).

C. Synkenesis (associated movement)

Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau

tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan


mata, maka otot obicularis orispun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat.

Bila disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat (Lumbantobing,

2012).

D. Spasme spontan

Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal

ini disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic fasialis merupakan

gejala sisa dari bell’s palsy (Lumbantobing, 2012).

Prognosis

Pasien biasannya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa

kelainan. Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh

dan 60% mengalami sekuele. Bell’s palsy dapat rekuren pada 10-15% pasien. Hampir 30%

pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada N.VII atau kelenjar

parotis (Dewanto, dkk, 2009).

Pemeriksaan Fisioterapi

1. Amnamnesis

a. Anamnesis Umum

b. Anamnesis Khusus:

 Keluhan utama

 Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat penyakit sekarang

 Riwayat penyakit penyerta

 Riwayat pribadi

 Riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan Objektif

a. Vital Sign
b. Inspeksi:

 Statis: area wajah lesi tidak nampak kerutan pada dahi, alis nampak lebih

rendah, celah mata lebih lebar, bentuk cuping hidung asimetris, mulut

nampak tertarik pada sisi sehat, mata pasien nampak merah dan berair.

 Dinamis: gerakan otot wajah : pasien tidak dapat mengangkat alis,

mengerutkan dahi, menutup mata, meringis, dan bersiul. Saat mecucu terjadi

deviasi ke wajah sisi sehat.

c. Palpasi:

 Kesan kontur otot pada wajah sisi lesi menurun

 Didapatkan hasil wajah sisi lesi terasa lebih kaku atau keras dibandingkan

sisi wajah sehat

 Disertai nyeri tekan atau tidak

3. Pemeriksaan Gerak Dasar

Pemeriksaan gerak aktif dasar dengan cara menginstruksikan pasien untuk

mengangkat alis, mengerutkan dahi, menutup mata, meringis, mengerucutkn bibir,

menggembungkan pipi. Gerak aktif, pasien tidak mampu/ tidak maksimal dalam

melakukan gerakan gerakan tersebut.

4. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal

Pemeriksaan tersebut untuk memperoleh keterangan ada atau tidak adanya

gangguan orientasi, memori ataupun atensi pada pasien tersebut.

5. Pemeriksaan Spesifik

a. Manual muscle testing (MMT) otot - otot wajah

Otot-Otot Fungsi Skor


M. Frontalis Mengerutkan dahi dan mengangkat kedua alis
M. Corugator Supercili Menggerakkan kedua alis mata ke medial, sehingga
terbentuk kerutan vertikal diantara kedua alis
M. Procerus Mengangkat tepi lateral cuping hidung, sehingga
terbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung
M. Orbicularis Oculi Menutup mata
M. Nasalis Mengembang kempiskan cuping hidung
M. Depresor anguli oris Menarik ujung mulut ke bawah
M. Zygomaticus Major Tersenyum
M. Zygomaticus Minor Tersenyum
M. Orbicularis Oris Gerakan bersiul atau mencucur
M. Bucinator Merapatkan bibir dengan pipi dikempiskan, misalnya
mengunyah.
M. Mentalis Menarik ke atas ujung dagu
M. Risorius Menarik sudut bibir ke lateral dan membentuk lesung
pipi

b. Ugo fisch scale

Posisi/gerakan yang Nilai Presentase (%) Skor


dilakukan
Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total

Penilaian presentasi:

a. 0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter

b. 30% : simetris, jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat keasimetris komplit

daripada ke simetris normal

c. 70% : simetris, cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal

d. 100% : simetris, normal/komplit


Electrical Stimulation (ES)

a. Pengertian

Elctrical Stimulation (ES) adalah modalitas yang membantu menghasilkan

kontraksi otot dengan stimulasi yang menggunakan listrik. Pada kasus ini, ES yang

biasa digunakan adalah arus tipe faradik. Jenis arus tersebut memiliki pulse duration

0,1-1 ms pada frekuensi sebesar 30 sampai 100Hz.

b. Metode Aplikasi ES

Pada kondisi Bell’s Palsy teknik aplikasi ES yang sesuai adalah dengan

menggunakan metode individual. Metodi ini merupalan suatu stimulasi elektrik yang

ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point. Motor

point adalah titik peka rangsang yang terletak di superfisial kulit. Tujuan dari

penggunaan metode ini adalah untuk mendidik fungsi otot secara individual baik yang

letaknya superfisial maupun deep. Untuk kasus Bell’s palsy, diberikan stimulasi

elektris dengan teknik unipolar. Teknik ini hampir selalu menggunakan arus

interrupted dan direct current (DC). Terdapat dua jenis elektrode yaitu active

electrode dan disperse electrode. Active electrode diaplikasikan pada motor point dan

merupakan kutub negatif ketika menggunakan jenis arus DC. Sedang dispersive

electrode, menggunakan elektroda yang lebih besar dari active electrode, biasanya

berbentuk kotak dan merupakan kutub positif. Saat proses terapi, aliran arus

sebaiknya pada intensitas minimm (yoleransi pasien) dan menghasilkan kontraksi otot

yang sesuai.

c. Efek Terapeutic

 Fasilitasi kontraksi otot

 Mendidik kembali kerja otot

 Melatih otot-otot yang paralysis


 Penguatan dan hipertrofi otot-otot

 Memperbaiki cairan darah dan lymfe

 Mencegah dan melepaskan perlengketan jaringan

d. Kontraindikasi

Terapi ES tidak diberikan pada pasien dengan demand inhibited cardiac

pacemakers, stimulasi secara langsung pada implan logam yang superfisial,

pendarahan aktif di area yang akan diterapi, keganasan di area yang akan di terapi. (D

Kathy, 2015)

e. Pelaksanaan

Terapi ES pada kasus Bell’s palsy dapat diberikan langsung pada titik motor

point otot-otot wajah, seperti pada m. Frontalis, m. Corrugator supercilli, m.

Orbicularis oculli, m. Nasalis, m zigomaticum, dan m. Orbicularis oris. Waktu terapi

15 menit, pulse duration 0,1-1 ms pada frekuensi sebesar 30-100Hz dengan frekuensi

kontraksi sebanyak 20 kali dan menggunakan arus faradik. Dalam pelaksanaan, ketika

terapis akan mengganti titik motor poin yang dituju, arus intensitas harus direndahkan

atau pada posisi nol. Saat elektroda sudah diletakkan pada motor poin yang dituju,

intensitas dinaikkan secara perlahan-lahan sampai terjaidnya kontraksi. (D Kathy,

2015)

Terapi ES dapat memberikan efek fisiologis terhadap sensoris, yaitu rasa

tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal. Sedangkan efek terhadap motoris adalah

terjadinya kontraksi tetanik. Merangsang saraf motorik harus dengan intensitas yang

cukup untuk menghindari kelelahan otot. (D Kathy, 2015)


Short Wave Diathermy (SWD)

a. Pengertian

Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi

yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh.

Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal.

Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas Short Wave

Diathermy dan Micro Wave Diathermy.

Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi

elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications

Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave

diathermy, yaitu:

1. Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

2. Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter.

3. Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter.

Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah

frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

Short Wave Diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus

yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.

1. Continous Short Wave Diathermy (CSWD)

Pada penerapan Continous SWD, energi thermal dominan terjadi dalam

jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-

beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan

jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis,

jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit,

sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian Continous SWD maka
sebenarnya sudah terjadi “overthermal” pada jaringan otot dibawahnya karena

jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian

menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi batas tertentu

maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (2003) ukuran subyektif

sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.

Menurut Hollander JS (2009) bahwa para peneliti menyatakan pemberian

Continous SWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian

besar penelitian melarang pemberian Continous SWD pada arthritis. Hal ini

disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam “Hyaluronik” yang suhu

optimalnya adalah 36,7˚, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan

penambahan suhu 1˚ saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya

menjadi 37,4˚, sementara pada suhu 37˚ saja akan mengaktifkan cairan/enzym

hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita

ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami

regenerasi/reparasi.

Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga

menghasilkan efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses

metabolisme.

2. Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)

Sekitar tahun 2000, mulai digalakkan penelitian baru terhadap Pulsed

SWD sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut

dilakukan penerapan Pulsed SWD pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan

susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian bentuk tersebut

juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan

bahwa Pulsed SWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik,


sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya

minimal). Pada Pulsed SWD, mempunyai energi/power output yang maksimum

sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata adalah jauh

lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung pada pemilihan frekuensi

pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal dengan

peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat cocok

untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas

merupakan kontraindikasi.

Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan

pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi

tersebut dapat diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor

maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang

dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 – 200 Hz),

sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power (watt).

Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus

dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang

dipilih maka semakin rendah mean power-nya. Dengan demikian, penerapan

Pulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi

(power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan

sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.

a. Efek Fisiologis

1. Perubahan panas/temperatur

2. Jaringan ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen

kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks
jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat

sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan

peregangan.

3. Otot

Meningkatkan elastisitas jaringan otot, dan menurunkan tonus otot melalui

normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP.

4. Saraf

Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf, dan meningkatkan

konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).

b. Indikasi

Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-

kondisi subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti

sprain/strain, osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain).

c. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor

atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi

menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari

pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan

testis, kondisi menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal

merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan

dengan pulsasi yang rendah.

d. Pelaksanaan

Pada persiapan alat dan aplikasi alat, dipastikan asesmen pada pasien secara

menyeluruh terutama pada kontraindikasi, pastikan posisi pasien nyaman dan sopan,

periksa area yang akan diterapi( pastikan tidak ada ruam, infeksi, dan luka terbuka),
tempatkan elekroda pada area yang akan diterapi, hidupkan unit, atur waktu terapi,

atur mode (pulsed/continuous), atur intensitas, setelah itu tanyakan kepada pasien

apakah merasa hangat atau sudah terasa panas, setela terapi selesai jauhkan alat dari

pasien, periksa area yang diterapi.

Pada kasus bell’s palsy penggunaan SWD difokuskan untuk pada masa akut,

menggunakan elektrode induktif dengan waktu terapi 15 menit, menggunakan mode

pulsed, intensitas di sesuaikan dengan ambang rasa hangat pada pasien, elektrode di

pasang di daerah foramen stylomastoideus dengan peletakan handuk di area tersebut

sebagai pengaman.

Pemilihan elektrode induktif bertujuan untuk penetrasi yang lebih dalam yaitu

pada jaringan lunak seperti otot dan saraf, dengan mode pulsed memungkinkan pada

kondisi akut untuk meminimalkan efek thermal. Untuk intensitas disesuaikan dengan

ambang rasa hangat pasien bukan panas, karena pada otot tidak memilki

thermoreseptor sehingga apabila kulit merasa hangat, pada oot sudah terjadi

peningkatan suhu yang lebih daripada di kulit.

Edukasi

Pasien disarankan menghindari paparan udara langsung ke wajahnya, seperti: tidur

di lantai tanpa menggunakan alas dan bantal, menggunakan kipas angin yang secara langsung

dihadapkan di muka. Pasien juga disarankan melindungi matanya dari terpaan debu dan angin

secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi. Pasien dianjurkan untuk menutup wajah

saat mengendarai sepeda motor. Pasien juga dianjurkan untuk melatih gerakan-gerakan di

depan kaca, seperti: mengangkat alis dan mengerutkan dahi ke atas, menutup mata,

tersenyum, bersiul, menutup mulut dengan rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan

memperlihatkan gigi-gigi, mengembang kempiskan cuping hidung, mengucapkan kata-kata

vokal a-i-u-e-o dengan dosis minimal 4 x sehari selama 5-10 menit.


Daftar Pustaka

Abidin Zainal, Kuswardani, Dicky Haryanto.2017. Pengaruh Infra Red, Massage Dan Mirror
Exercise Pada Bell's Palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi (Jfr) Vol. 1( 2) 18-25

Adam, Olivia Mahardani.2019. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(1) :
137-149

Alakram, P., Puckree, T. Effects of Electrical Stimulation on House-Backman Scores in early


Bell’s Palsy. 2005

Attaufiq MH. Waspada Bell’s Palsy. Jakarta: Kaskus Publisher, 2011

Prof. Dr. Sidharta Priguna and Prof. Dr. Mardjono Mahar. Neurologika Klinis Dasar, Jakarta.
Bian Rakyat

Marotta, Nicola, Andrea Demeco, Maria Teresa Inzitari, Maria Giovanna Caruso,Antonio
Ammendolia.2020. Neuromuscular Electrical Stimulation And Shortwave
Diathermy In Unrecovered Bell Palsy A Randomized Controlled Study. Medicine
2020;99:8 (E19152).

Sidharta P, 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai