Oleh:
151710283006
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
Definisi Kasus
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis
dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012). Bell’s palsy adalah
kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah
Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron (LMN) unilateral
idiopatik (Ginsberg, 2008). Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah
bangun pagi mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti
kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam
Etiologi
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik dan penyebab proses
inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy,
antara lain:
Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah ke saraf
fasialis. Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas
angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut
Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit. ini. Burgess et al
seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s
Palsy.
C. Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan,
dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim
D. Teori Imunologi
Patofisiologi
akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang
bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin
merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis. Foramen meatal pada segmen
ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm (Lowis & Gaharu, 2012).
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di meatus
akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis
fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan menyebabkan
distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang
terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN)
akan menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian
ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral (Snell, 2012).
mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan
endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan
dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam
telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus
tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran
patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular
Gambaran Klinis
Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya
mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf
fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya
pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar
lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga dan pengecapan pada dua pertiga lidah
Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi
secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut,
tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's
phenomen), sudut nasolabial tidak tampak dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala
lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis dan berkurangnya sensasi pengecapan
Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang
sering dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir
50% pasien Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa
hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis (Garg dkk,2012). Jika ditinjau dari
letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut muncul. Terdapat lima letak lesi yang
Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan
gangguan keseimbangan
dan salivasi
Kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta
hiperakusis
Komplikasi
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena
konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh,
sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya (Sidharta, 2008).
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau
2012).
D. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal
ini disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic fasialis merupakan
Prognosis
Pasien biasannya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa
kelainan. Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh
dan 60% mengalami sekuele. Bell’s palsy dapat rekuren pada 10-15% pasien. Hampir 30%
pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada N.VII atau kelenjar
Pemeriksaan Fisioterapi
1. Amnamnesis
a. Anamnesis Umum
b. Anamnesis Khusus:
Keluhan utama
Riwayat pribadi
Riwayat keluarga.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Vital Sign
b. Inspeksi:
Statis: area wajah lesi tidak nampak kerutan pada dahi, alis nampak lebih
rendah, celah mata lebih lebar, bentuk cuping hidung asimetris, mulut
nampak tertarik pada sisi sehat, mata pasien nampak merah dan berair.
mengerutkan dahi, menutup mata, meringis, dan bersiul. Saat mecucu terjadi
c. Palpasi:
Didapatkan hasil wajah sisi lesi terasa lebih kaku atau keras dibandingkan
menggembungkan pipi. Gerak aktif, pasien tidak mampu/ tidak maksimal dalam
5. Pemeriksaan Spesifik
Penilaian presentasi:
b. 30% : simetris, jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat keasimetris komplit
a. Pengertian
kontraksi otot dengan stimulasi yang menggunakan listrik. Pada kasus ini, ES yang
biasa digunakan adalah arus tipe faradik. Jenis arus tersebut memiliki pulse duration
b. Metode Aplikasi ES
Pada kondisi Bell’s Palsy teknik aplikasi ES yang sesuai adalah dengan
menggunakan metode individual. Metodi ini merupalan suatu stimulasi elektrik yang
ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point. Motor
point adalah titik peka rangsang yang terletak di superfisial kulit. Tujuan dari
penggunaan metode ini adalah untuk mendidik fungsi otot secara individual baik yang
letaknya superfisial maupun deep. Untuk kasus Bell’s palsy, diberikan stimulasi
elektris dengan teknik unipolar. Teknik ini hampir selalu menggunakan arus
interrupted dan direct current (DC). Terdapat dua jenis elektrode yaitu active
electrode dan disperse electrode. Active electrode diaplikasikan pada motor point dan
merupakan kutub negatif ketika menggunakan jenis arus DC. Sedang dispersive
electrode, menggunakan elektroda yang lebih besar dari active electrode, biasanya
berbentuk kotak dan merupakan kutub positif. Saat proses terapi, aliran arus
sebaiknya pada intensitas minimm (yoleransi pasien) dan menghasilkan kontraksi otot
yang sesuai.
c. Efek Terapeutic
d. Kontraindikasi
pendarahan aktif di area yang akan diterapi, keganasan di area yang akan di terapi. (D
Kathy, 2015)
e. Pelaksanaan
Terapi ES pada kasus Bell’s palsy dapat diberikan langsung pada titik motor
15 menit, pulse duration 0,1-1 ms pada frekuensi sebesar 30-100Hz dengan frekuensi
kontraksi sebanyak 20 kali dan menggunakan arus faradik. Dalam pelaksanaan, ketika
terapis akan mengganti titik motor poin yang dituju, arus intensitas harus direndahkan
atau pada posisi nol. Saat elektroda sudah diletakkan pada motor poin yang dituju,
2015)
tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal. Sedangkan efek terhadap motoris adalah
terjadinya kontraksi tetanik. Merangsang saraf motorik harus dengan intensitas yang
a. Pengertian
Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas Short Wave
Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave
diathermy, yaitu:
3. Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter.
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah
jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-
beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan
jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis,
jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit,
sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian Continous SWD maka
sebenarnya sudah terjadi “overthermal” pada jaringan otot dibawahnya karena
jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi batas tertentu
maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (2003) ukuran subyektif
Continous SWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian
besar penelitian melarang pemberian Continous SWD pada arthritis. Hal ini
disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam “Hyaluronik” yang suhu
optimalnya adalah 36,7˚, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan
menjadi 37,4˚, sementara pada suhu 37˚ saja akan mengaktifkan cairan/enzym
hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita
ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami
regenerasi/reparasi.
metabolisme.
SWD sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut
dilakukan penerapan Pulsed SWD pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan
susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian bentuk tersebut
juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan
lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung pada pemilihan frekuensi
peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat cocok
merupakan kontraindikasi.
pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi
maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang
dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 – 200 Hz),
sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power (watt).
Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus
dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang
Pulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi
(power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan
a. Efek Fisiologis
1. Perubahan panas/temperatur
2. Jaringan ikat
kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks
jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat
sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan
peregangan.
3. Otot
4. Saraf
b. Indikasi
Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-
c. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor
atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi
menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari
pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan
merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan
d. Pelaksanaan
Pada persiapan alat dan aplikasi alat, dipastikan asesmen pada pasien secara
menyeluruh terutama pada kontraindikasi, pastikan posisi pasien nyaman dan sopan,
periksa area yang akan diterapi( pastikan tidak ada ruam, infeksi, dan luka terbuka),
tempatkan elekroda pada area yang akan diterapi, hidupkan unit, atur waktu terapi,
atur mode (pulsed/continuous), atur intensitas, setelah itu tanyakan kepada pasien
apakah merasa hangat atau sudah terasa panas, setela terapi selesai jauhkan alat dari
Pada kasus bell’s palsy penggunaan SWD difokuskan untuk pada masa akut,
pulsed, intensitas di sesuaikan dengan ambang rasa hangat pada pasien, elektrode di
sebagai pengaman.
Pemilihan elektrode induktif bertujuan untuk penetrasi yang lebih dalam yaitu
pada jaringan lunak seperti otot dan saraf, dengan mode pulsed memungkinkan pada
kondisi akut untuk meminimalkan efek thermal. Untuk intensitas disesuaikan dengan
ambang rasa hangat pasien bukan panas, karena pada otot tidak memilki
thermoreseptor sehingga apabila kulit merasa hangat, pada oot sudah terjadi
Edukasi
di lantai tanpa menggunakan alas dan bantal, menggunakan kipas angin yang secara langsung
dihadapkan di muka. Pasien juga disarankan melindungi matanya dari terpaan debu dan angin
secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi. Pasien dianjurkan untuk menutup wajah
saat mengendarai sepeda motor. Pasien juga dianjurkan untuk melatih gerakan-gerakan di
depan kaca, seperti: mengangkat alis dan mengerutkan dahi ke atas, menutup mata,
tersenyum, bersiul, menutup mulut dengan rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan
Abidin Zainal, Kuswardani, Dicky Haryanto.2017. Pengaruh Infra Red, Massage Dan Mirror
Exercise Pada Bell's Palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi (Jfr) Vol. 1( 2) 18-25
Adam, Olivia Mahardani.2019. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(1) :
137-149
Prof. Dr. Sidharta Priguna and Prof. Dr. Mardjono Mahar. Neurologika Klinis Dasar, Jakarta.
Bian Rakyat
Marotta, Nicola, Andrea Demeco, Maria Teresa Inzitari, Maria Giovanna Caruso,Antonio
Ammendolia.2020. Neuromuscular Electrical Stimulation And Shortwave
Diathermy In Unrecovered Bell Palsy A Randomized Controlled Study. Medicine
2020;99:8 (E19152).