Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PSIKIATRI

GANGGUAN PANIK

Disusun oleh :

TIASARAH ARETHA SITEPU

140100059

Pembimbing :

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT JIWA PROF. M. ILDREM MEDAN
2018
MAKALAH PSIKIATRI

GANGGUAN PANIK

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk kelulusan Kepaniteraan Klinik


Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Disusun oleh :

TIASARAH ARETHA SITEPU

140100059

Pembimbing :
dr. M. Surya Husada, M.Ked.K.J., Sp.K.J

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT JIWA PROF. M. ILDREM MEDAN
2018
i

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Tiasarah Aretha Sitepu


NIM : 140100059
Judul : Gangguan Panik

Pembimbing Koordinator P3D


Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

(dr. M. Surya Husada, M.Ked.K.J., Sp.K.J.) (dr. Vita Camellia, M.Ked(KJ), Sp.KJ)
NIP. 198002032008011011 NIP.19780404 2005
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Gangguan
Panik”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut
membantu dengan memberikan dukungan ide. Biarlah Tuhan Yang Maha Esa yang
membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah penyuluhan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 25 November 2018


Penulis

Tiasarah Aretha Sitepu


iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1


1.2 Tujuan Pembuatan Makalah ...........................................................................2
1.3 Manfaat Pembuatan Makalah .........................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Definisi ...........................................................................................................3


2.2 Epidemiologi ................................................................................................. 3
2.3 Etiologi dan Patofisiologi ...............................................................................3
2.4 Gambaran Klinis .............................................................................................5
2.5 Kriteria Diagnostik .........................................................................................6
2.6 Diagnosis Banding..........................................................................................6
2.7 Penatalaksanaan ..............................................................................................9
2.8 Prognosis ........................................................................................................9

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan panik
tak terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik
(ansietas), rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh
kecemasan akan kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing,
vertigo, kemerahan atau pucat, dan berkeringat.2
Gangguan panik adalah salah satu gangguan jiwa yang paling sering
ditemukan pada populasi umum. Lebih dari 30 juta orang di Amerika Serikat
menderita kondisi ini. Data epidemiologi menunjukkan prevalensinya pada wanita
lebih besar dua sampai tiga kali daripada pria. Gangguan cemas panik diawali
serangan panik yang terjadi beberapa kali dalam satu hari. Kondisi lebih lanjut
gangguan ini dapat mengarah ke agorafobia, suatu kondisi kecemasan berada di
tempat terbuka karena ketakutan akan ditinggalkan, tidak berdaya atau merasa
tidak ada yang menolong bila serangan panik datang.4
Kondisi gangguan cemas panik sering disalahartikan sebagai suatu kondisi
sakit fisik karena gejala-gejalanya adalah gejala fisik terutama yang melibatkan
sistem saraf autonom, baik simpatis dan parasimpatis. Tidak heran biasanya
pasien dengan gangguan ini akan terlebih dahulu datang ke dokter non-spesialis
psikiatri. Pada makalah ini, akan dibahas secara menyeluruh mengenai gangguan
panik.

1.2.Tujuan Pembuatan Makalah


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi, etiologi, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding,
terapi dan prognosis gangguan panik.
2. Sebagai tugas makalah yang diberikan selama menjalankan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Psikiatri.

1
1.3.Manfaat Pembuatan Makalah
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah menambah wawasan tentang
gangguan panik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan
panik tak terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik
(ansietas), rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh
kecemasan akan kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing,
vertigo, kemerahan atau pucat, dan berkeringat.2 Gangguan panik disebut juga
anxietas paroksismal episodik.3 Gangguan panik dapat muncul sendiri atau terkait
dengan agoraphobia (rasa takut saat berada di ruang terbuka, berada di luar rumah
sendirian, atau berada di keramaian).4

2.2 Epidemiologi
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, prevalensi
kejadian gangguan panik dalam jangka waktu 12-bulan di populasi usia 15 sampai
54 tahun di Amerika Serikat adalah sebesar 2,7%.5 Sebuah penelitian sistematis di
yang dilakukan terhadap 13 penelitian di Eropa menunjukkan prevalensi gangguan
panik dalam rentang waktu 12 bulan adalah sebesar 1,8%. 6
Serangan panik (yang dapat terjadi pada gangguan selain gangguan
panik) jauh lebih umum daripada gangguan panik, terjadi pada hingga sepertiga
individu pada suatu titik dalam masa hidup mereka. Serangan ini memiliki median
usia onset 24 tahun dan kira-kira dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan
pria, dengan prevalensi 5 persen seumur hidup di antara wanita dibandingkan 2
persen di antara pria. Prevalensi kejadian serangan panik menurun secara
signifikan setelah usia 60 tahun.7

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab pasti dari gangguan panik masih tidak jelas, namun ada beberapa
faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya gangguan panik, antara lain:
1. Faktor Biologik: pada beberapa penelitian mengenai gangguan panik
ditemukan adanya peningkatan aktifitas saraf simpatis. Penelitian

3
neuroendokrin menunjukkan adanya abnormalitas hormone, terutama
kortisol. Neurotransmitter yang berpengaruh pada Gangguan Panik adalah
Epinefrin, Serotonin, dan Gama Amino Butyric Acid (GABA).
2. Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasiien Gangguan Panik 4 – 8
kali lebih berisiko untuk menderita gangguan ini. Risiko pada kembar
monozigot lebih besar daripada kembar dizigot.
3. Faktor Psikososial :
 Teori Kognitif Perilaku: kecemasan bisa sebagai satu respon yang
dipelajari dari perilaku orangtua atau melalui proses pengondisian klasik
yang terjadi sesudah adanya stimulus luar yang menyebabkan individu
menghindari stimulus tersebut.
 Teori Psikososial: serangan panik muncul karena gagalnya pertahanan
mental menghadapi impuls / dorongan yang menyebabkan anxietas. Pasien
dengan riwayat pelecehan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak juga
beresiko lebih tinggi untuk menderita Ganggaun Panik.8
Dalam sebuah model psikologis, gangguan dan serangan panik
dinyatakan sebagai “ketakutan akan rasa takut”. Gambar 1 menunjukkan
sensasi fisik yang terkait dengan kecemasan, yaitu pusing atau pingsan, atau
jantung berdebar, sesak nafas, atau nyeri dada diinterpretasikan penderita
sebagai keadaan yang mengindikasikan penderita akan pingsan, mengalami
gangguan jantung atau tidak dapat bernafas. Hal ini menyebabkan
hipervigilansi dari sensasi tubuh, meningkatnya rangsangan system saraf
simpatis, meningkat atau bertambahnya sensasi fisik, dan meningkatnya
ansietas, yang secara spiral menjadi serangan panik. 9

4
Gambar 1

2.4 Gejala Klinis


Serangan panik yang berulang dan tidak terduga (rasa takut fokal yang
berlangsung selama beberapa menit), dan selama serangan ada empat (atau lebih)
dari gejala seperti:

1. Palpitasi atau takikardi.


2. Diaforesis.
3. Gemetar.
4. Sensasi sesak napas.
5. Merasa tercekik.
6. Nyeri dada.
7. Mual dan rasa tidak nyaman di perut.
8. Merasa pusing atau vertigo.
9. Sensasi kepanasan atau kedinginan.
10. Rasa kebas atau kesemutan.
11. Derealisasi (perasaan tidak nyata) atau depersonalisasi (terlepas dari diri
sendiri).

5
12. Takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”/
13. Takut akan mati.
Serangan-serangan ini harus menyebabkan kekhawatiran yang terus-
menerus tentang serangan di masa depan atau perubahan perilaku
maladaptif untuk menghindari serangan di masa depan. Serangan panik
dapat terjadi pada anxietas dan gangguan lainnya. Pada gangguan panik,
serangan muncul tanpa adanya provokasi.4

2.5 Kriteria Diagnosis


Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi ke III (PPDGJ-III):
Pedoman Diagnostik
 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan
adanya gangguan anxietas fobik (F40.-)
 Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas
berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan:

(a) pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada


bahaya;
(b) tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations);
(c) dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umumnya
dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang terjadi
setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi).3

2.6 Diagnosis Banding


1. Gangguan Medis
Gangguan panik, dengan atau tanpa agoraphobia, harus dibedakan dari
sejumlah kondisi medis yang menghasilkan gejala serupa. Serangan panik sering
dikaitkan dengan berbagai gangguan endokrin, termasuk keadaan hipo dan
hipertiroid, hiperparatiroid, dan feokromositoma. Hipoglikemia episodic yang

6
terkait dengan insulinoma juga dapat menghasilkan keadaan panik, begitu pula
proses neopatologis primer seperti gangguan kejang, disfungsi vestibular,
neoplasma, atau efek dari penggunaan obat-obatan terhadap system saraf pusat.
Gangguan pada jantung dan paru, termasuk aritmia, penyakit paru-paru obstruktif
kronik, dan asma, dapat menghasilkan gejala-gejala otonom dan disertai kecemasan
crescendo yang sulit dibedakan dari gangguan panik. Petunjuk dari etiologi medis
yang mendasari gejala panik antara lain adanya fitur atipikal selama serangan panik,
seperti ataksia, perubahan kesadaran, atau diskontrol kandung kemih; timbulnya
gangguan panik denagan onset yang relatif lambat; dan tanda atau gejala fisik yang
menunjukkan adanya gangguan medis.
2. Gangguan Mental
Gangguan panik juga harus dibedakan dari sejumlah gangguan psikiatri,
terutama gangguan kecemasan lainnya. Serangan panik terjadi di banyak gangguan
kecemasan, termasuk fobia sosial dan spesifik, PTSD, dan bahkan OCD. Kunci
untuk mendiagnosis gangguan panik dengan benar dan untuk membedakan kondisi
dari gangguan kecemasan lainnya melibatkan dokumentasi serangan panik spontan
berulang pada beberapa titik di penyakitnya. Membedakan gangguan panik dari
gangguan kecemasan umum juga bisa menjadi sulit. Secara klasik, serangan panik
dicirikan oleh onset yang cepat (dalam beberapa menit) dan durasi pendek
(biasanya kurang dari 10 hingga 15 menit), berbeda dengan kecemasan yang terkait
dengan gangguan kecemasan umum yang muncul dan menghilang dengan
perlahan. Anxietas juga sering merupakan gejala dari banyak gangguan psikiatri,
termasuk psikosis dan gangguan afektif, sehingga untuk membedakan gangguan
panik dengan gangguan lainnya dapat menjadi sulit.
 Fobia Spesifik dan Fobia Sosial
Beberapa pasien yang mengalami serangan panik tunggal dalam kondisi
tertentu (misalnya, saat berada di dalam lift) dapat terus menghindar dari kondisi
tersebut, terlepas dari apakah mereka pernah mengalami serangan panik lainnya.
Pasien-pasien ini juga memenuhi kriteria diagnostik untuk fobia spesifik.
Dalam contoh lain, seseorang yang mengalami satu atau lebih serangan panik
mungkin kemudian takut untuk berbicara di depan umum. Meski secara klinis

7
gambarannya hampir identik dengan gambaran klinis dalam fobia sosial, diagnosis
fobia sosial dapat disingkirkan karena penghindaran dari situasi publik didasarkan
pada rasa takut memiliki serangan panik, bukan karena takut berbicara di depan
umum.4

2.7 Penatalaksanaan
Penggolongan obat anti-panik:
a. Obat anti-panik trisiklik, misalnya imipramine, clomipramine
b. Obat anti-panik benzodiazepine, misalnya alprazolam
c. Obat anti-panik RIMA (Reversible Inhibitors of Monoamine Oxydase-A),
misalnya moclobemide.
d. Obat anti-panik SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), misalnya
sertraline, fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine, citalopram.
Mekanisme kerja obat anti-panik adalah menghambat “reuptake” serotonin
pada celah sinaptik antar neuron, sehingga pada awalnya terjadi peningkatan
serotonin dan sensitivitas reseptor (timbul gejala efek samping anxietas, agitasi,
insomnia), sekitar 2 sampai 4 minggu, kemudian seiring dengan peningkatan
serotonin terjadi penurunan sensitivitas reseptor (down regulation). Penurunan
sensitivitas reseptor tersebut berkaitan dengan penurunan serangan panik
(adrenergic overactivity) dan juga gejala depresi yang menyertai akan berkurang
pula, Penurunan hipersensitivitas melalui dua fase tersebut disebut juga “efek
bifasik”.
Efek samping obat anti-panik golongan trisiklik dapat berupa:
 Efek anti-histaminergik (sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, dll)
 Efek anti-kolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardia, dll)
 Efek anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi ortostatik)
 Efek neurotoksis (tremor halus, kejang, agitasi, insomnia).

8
Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis
dinaikkan dalam beberapa minggu untuk meminimalkan efek samping dan
meccegah terjadinya toleransi obat. Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan.
Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya selama 6 bulan
sampai 12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi
penderita sudah memungkinkan (bebas gejala dalam kurun waktu tertentu). 10
Psikoterapi untuk gangguan panik adalah terapi perilaku dan kognitif (CBT).
Terapi kognitif bertujuan juga untuk membangun kembali (restructuring) kognisi
yang baru. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi gejala panik
yang timbul dan perasaan serta pikiran yang salah berhubungan dengan gejala
tersebut serta edukasi tentang gangguan panik itu sendiri. Biasanya pasien
gangguan panik selalu mengidentikkan sensasi tubuh yang ringan sebagai awal
gangguan paniknya; menyebabkan pasien mengalami cemas antisipasi. Edukasi
bahwa serangan panik dibatasi waktu dan tidak mengancam jiwa juga sangat
dibutuhkan.11

2.8 Prognosis
Gangguan panik secara umum bersifat kronis. Penelitian jangka panjang
terhadap pasien dengan gangguan panik sulit untuk diinterpretasikan karena tidak
dilakukan kontrol terhadap efek dari terapi. Namun demikian, sekitar 30 sampai
40 persen pasien mengalami bebas gejala; sekitar 50 persen mengalami gejala
yang ringan dan tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan; dan
sekitar 10 sampai 20 persen terus memiliki gejala yang signifikan. Pasien dengan
fungsi premorbid yang baik dan memiliki gejala dengan durasi yang singkat
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik.4

9
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan panik tak
terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik (ansietas),
rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh kecemasan akan
kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing, vertigo,
kemerahan atau pucat, dan berkeringat. Gangguan panik disebabkan beberapa
faktor seperti faktor biologis, faktor genetic dan faktor psikososial. Tatalaksana
dapat berupa obat anti-panik, misalnya obat anti-panik golongan trisiklik dan
benzodiazepine, maupun tatalaksana nonfarmakologi berupa psikoterapi.
Berdarkan penelitian tindak lanjut jangka panjang, sekitar 30 sampai 40 persen
pasien mengalami bebas gejala; sekitar 50 persen mengalami gejala yang ringan
dan tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan; dan sekitar 10
sampai 20 persen terus memiliki gejala yang signifikan.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washington DC: American
Psychiatric Publishing. Washinton DC.; p. 246-247.
2. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 338
3. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa;Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta. 2003; p. 74
4. Sadock, B.J., Sadock, V. A. 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. Ed. 10. Lippincott
Williams & Wilkins.; p.
5. Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., Merikangas, K. R., & Walters, E.
E. (2005). Prevalence, severity, and comorbidity of 12-month DSM-IV
disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Archives of
general psychiatry, 62(6), 617-27.
6. Goodwin RD, Faravelli C, Rosi S, Cosci F, Truglia E, de Graaf R, Wittchen
HU. The epidemiology of panic disorder and agoraphobia in Europe.
European Neuropsychopharmacology. 2005 Aug 1;15(4):435-43.
7. Roy-Byrne PP, Craske MG, Stein MB. Panic disorder in adults:
Epidemiology, pathogenesis, clinical manifestations, course, assessment,
and diagnosis. The Lancet. 2018 Jan 25;368(9540):p. 1023-32.
8. McCarron RM, Xiong GL, Bourgeois JA. Lippincott's primary care
psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins; 2012 Mar 28.; p. 61-79.
9. Taylor, C. Barr. Panic disorder. BMJ (Clinical research ed.), 332(7547),
2006.; p. 951-5.
10. Maslim, R., 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik,
Edisi 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.; p.
52-56.

11
11. Ham P, Waters DB, Oliver N. Treatment of Panic Disorder. J. Am. Fam.
Physician. 2005; p. 71-74

12

Anda mungkin juga menyukai