Anda di halaman 1dari 30

CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219104/Mei 2020


** Pembimbing dr. Samsirun Halim, Sp.PD, KIC-FINASIM

REAKSI ANAFILAKTIK

Fazilla Maulidia

Pembimbing: dr. Samsirun Halim, Sp.PD, KIC-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

REAKSI ANAFILAKTIK

Oleh:

Fazilla Maulidia

G1A219104

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, Mei 2020

Pembimbing

dr. Samsirun Halim, Sp.PD, KIC-FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
referat kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam yang berjudul “REAKSI
ANAFILAKTIK”. Dalam menyelesaikan referat ini, penulis banyak memperoleh bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Samsirun
Halim, Sp.PD, KIC-FINASIM sebagai dokter pembimbing.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
referat ini.

Jambi, Mei 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................2

2.1 Definisi …………………………………………………………………………….……2


2.2 Epidemiologi……………………………………………………………………….…....3
2.3 Etiologi …………………………………………………………………………….…4
2.4 Faktor Risiko………………………………………………………………………....6
2.5 Patofisiologi …………………………………………………………………………….7
2.6 Gejala Klinis…………………………………………………………………….………10
2.7 Diagnosa………………………………………………………………………….…….12
2.8 Klasifikasi ……………………………………………………………………………….13
2.9 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………………………….14
2.10 Diagnosis Banding…………………………………………………………………...15
2.11 Tatalaksana ………………………………………………………………………….16
2.12 Pencegahan ………………………………………………………………………….21
2.13 Prognosis …………………………………………………………………………….22

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Anaphylaxis berasa dari bahasa Yunani yang berarti Ana adalah jauh dan phylaxis
adalah perlidungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis berarti meghilangkan perlindungan.
Definisi dari anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem
organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastrointestinal yang merupakan reaksi
imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitasi.1

Tahun 2641 SM Raja Menes , seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama
setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena yang sama,
mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi
ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut
aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian
terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang
merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat beryjung pada syok anafilaktik.2

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe 1 pada manusia dan mamalia pada umumnya yang berpotensial fatal dan
menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediator-mediator
inflamasi dari sel mast dan basofil. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid.
Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi
tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.3

Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira 1500-2000


kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul yakni sekitar 0,2% dari populasi
setiap tahunnya. Prevalensi kunjungan ke bagian kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000
penduduk sampai 5 per 10.000 penduduk.

Neuget et al memperkirakan bahwa 1-5% dari populasi Amerika Serikat berada dalam
risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi anafilaktoid. Lebih lanjut, mereka
memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk
penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan serangga.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).2
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut, berat, dan
menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen
spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan Basofil akan
mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam
organ.4
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi anafilaktoid) yang
secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi
antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi disebabkan oleh zat yang
bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepaskan mediator.4
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.2
Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik
sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus non
alergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis
merupakan reaksi sistemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya serentak
atau hampir serentak.6
Terdapat 3 pola dari gejala anafilaksis berdasarkan penyakitnya yaitu: unifasik,
bifasik dan protraksi.7,8
a. Anafilaksis unifasik
Anafilaksis tipe ini merupakan tipe terbanyak, terdapat sekitar 70-90% dari semua
kasus anafilaksis, puncaknya terjadi pada 30-60 menit setelah terpapar antigen dan

2
membaik secara spontan satu jam setelahnya tanpa gejala ulangan dengan atau
tanpa terapi.
b. Anafilaksis bifasik
Anafilaksis bifasik didefinisikan oleh gejala ulangan beberapa jam setelah resolusi
dari paparan awal tanpa paparan ulang setelahnya. Anafilaksis tipe ini dilaporkan
terjadi < 1 hingga 23% reaksi dengan baru-baru ini dilaporkan bahwa 3% kejadian
pada dewasa dan 15% kejadian pada anak-anak yang mengalami anafilaksis
bifasik. Terapi awal dengan epinefrin mungkin dapat menguntungkan dalam
mencegah reaksi bifasik; peran glukokortikoid dalam mencegah tipe ini masih
belum jelas.
c. Anafilaksis protraksi
Angka insidensi anafilaksis tipe protraksi ini tidak diketahui secara pasti. Reaksi
anafilaksis jenis ini berlangsung selama beberapa jam, hari dan bahkan beberapa
minggu tanpa perbaikan yang komplit.

2.2 Epidemiologi

Insidensi pasien anafilaksis di unit gawat darurat diperkirakan 1 hingga 4 per 1000
pasien (0,1%- 0,4%), hanya 1 hingga 3 yang mengetahui pencetus reaksi anafilaktik.
Makanan adalah pencetus paling utama, dilanjutkan dengan sengatan dan obat-obatan.
Makanan misalnya kacang, ikan, susu, telur, dan makanan laut adalah produk makanan
yang menimbulkan reaksi fatal.
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar
reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalensi 1.5%, Gejala yang timbul
sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%)
yang bermanifestasi klinis berat.4
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ, namun
manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan kemerahan muncul
pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada gejala yang lebih berat,
gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala kardiovaskular lebih sedikit
terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik anak misalnya pusing, hipotensi,
hingga sinkop.5

2.3 Etiologi

3
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE ataupun melalui
non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari anafilaksis, terdapat beberapa
pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara
yang panas, air yang dingin, dan beberapa kejadian tidak diketahui penyebabnya.12

Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada orang
dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapat menjadi pemicu, namun
beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga obat seperti pelemas otot,
antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi penyebab tersering dari anafilaksis.13

Beberapa alergen pada kasus anafilaksis.13,14

Sengatan hewan Tawon, lebah


Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang
almond, kacang brazil, hazel
Makanan Susu sapi, telur,ikan, lobster, kepiting, udang,
cumi-cumi, buncis krustasea, pisang, siput,
daging ayam, daging kalkun, daging babi
Antibiotik Penisilin, cephalosporin, amphotericin,
ciproflixacin, vancomycin
Obat anastesi Suxamethonium, atracurium, obat-obatan
induksi
Obat lainnya NSAID, ACEI, gelatin, protamin, vitamin K,
etoposide, acetazolamide, pethidine, anestesi
lokal, diamorphine, streptokinase
Kontras Iodinated, technetium, fluorescein
Lainnya Latex, cat rambut, hydatid

Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah
sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu
timbulnya reaksi ini pada kelompok usia petengahan dan dewasa tua. Sebagian pemicu
spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara dan beberapa
negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab
tersering. Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering.
Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, antijamur adalah penyebab paling sering reaksi
anafilaksis di dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agn kemoterapi, seperti
carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infiximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi

4
ini adalah radiokontras media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal rube, cuff
tensimeter, kateter, toeniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host,
dosis, kecepatan, cara dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana
paparan oral lebih jarang menimbulkan reaksi.

Pada anak dan remaja penyebab anafilaksis tersering adalah makanan dan pada orang
dewasa lebih sering dikarenakan obat-obatan. Pencetus anafilaksis dapat di bagi beberapa
kelompok:15
1. Melalui mekanisme igE
a. Makanan : kacang-kacangan, udang, ikan, susu, telur, dll
b. Obat-obatan : antibiotik golongan beta lactam, Non steroid anti inflamasi drug
(NSAID), ciprofloxasin, golongan ACE inhibitor, gelatin, dll.
c. Sengatan serangga : tawon, lebah, semut
d. Alergen ditempat kerja : latex, toluene diisosianat, dll
e. Radio kontras media
f. Cairan seminal

2. Tidak melalui mekanisme igE


a. Radio kontras media
b. NSAID
c. Dextran
d. Agen biologi : antibody monoclonal
3. Non imunologi (langsung mengaktifkan sel mast)
a. Faktor fisik : cuaca (panas, dingin, exercise)
b. Etanol
c. Obat-obatan : opioid
4. Idiopatik

5
2.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah: 9

● Sifat alergen
● Asma

Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%kematian karena
anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma

● Jalur pemberian obat

Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih


sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat,
meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelah
menelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua,
semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.Hal ini
berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgEspesifik seiring
waktu.

● Riwayat atopi

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki
riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor
risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi
olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan

6
reaksiterhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin
dan gigitan serangga.

● Kesinambungan paparan alergen.

Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah


makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi seperti
carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody monoclonal, selain
itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.

2.5 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi
anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai
contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin
yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil.

7
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.

Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.

Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.10

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena


maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
8
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.10

3 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:11


1. Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan 6 mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat
pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil
2. Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang disebut
dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah dianggap sebagai mediator
utama syok anafilaksis. Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan
pengikatan histamine pada reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan
pruritus, rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2
reseptor berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan hipotensi. Ikatan

9
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membrane sel yang
akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. PGD2
menyebabkan bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada organorgan
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi, mucus dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa
faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.

2.6 Gejala Klinis


Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencangkup beberapa organ, dimana gejala-gejala
dapat dilihat pada tabel dibawah. Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan
pada tanda klinis dan gejala yang timbul dimana kriteria Sampson yang telah dipublikasi
dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tanda dan gejala dari anafilaksis17

Kulit Urtikaria, angioedema, eritema, pruritus


Saluran nafas bagian atas Kongesti, suara serak, bersin, batuk,
orofaringeal atau laringeal edema
Saluran nafas bagian bawah Spasme bronkus, mengi, dada terasa terikat
Kardiovaskuler Hipotensi, pusing, sinkop, takikardia
Gastrointestinal Mual, muntah, nyeri perut, diare
Neurologi Kepala terasa ringan, pusing, bingung
Oral Gatal, gatal atau bengkak pada bibir, lidah,
atau palatum
Lainnya Ansietas

Manifesitasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah

10
terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar
alergen ; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.17

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat
ringan, sedang dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembekakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama pemajanan. Derajat sedang dapat mencangkup semua gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah
kemerahanm hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat
kearah bronkospasme, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia,
keram pada abdimen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.17

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ targen, antara lain kardiobaskuler, respirsi, gastrointestinal, kulit, mata,
susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing dan sistem yang lain. Keluhan yang sering
dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit,
panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.16

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada
rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang
menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa
hangat atau dingin, lembab/basah dan diaphoresis.16

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidel.
Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada
anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospasme atau edema mukosa.16

11
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi
hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),
kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oliguria atau anuria) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. 16,17

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,


peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.16,17

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi


trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.16,17

2.7 Diagnosa

Pada pasien dengan reaksi anafilaktik biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.17

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa
jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, uvula, dan salah
satu dari resoiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan drah atau gejala yang berikatan dengan
disfungsi organ sasarn (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).17

Kriteria kedua , dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh

12
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).17

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik) . pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.17

2.8 Klasifikasi

Terdapat klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitivitas/anafilaksis oleh Brown (2004)


yaitu:

1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angiodema/edema periorbita.
2. Sedang ( melibatkan sistem respirasi, kardiovaskular, gastrointestinal) seperti: sesak
nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak anak di
tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, suok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2 ≤
90 %), hipotensi (sbp < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontenensia.

Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas akut, sedangkan
untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.

Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan
dari gejala klinis.

13
2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan uuntuk memperkuat dugaan adanya reaksi


alergi, bukan untuk mendapatkan diagnosis. 18

Jumlah leukosit

Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila diserta dengan infeksi. Eosinofilia sering
dijumpai tetapi tidak spesifik.

Serum IgE total

Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien

IgE spesifik

Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in
vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test)atau ELISA (Enzim Linked
Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.

Serum tryptase

Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis yang
baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease yang
berasal dari sel mast.

14
Tes kulit

Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien yang
secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit
dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test,friction test, tes tempel (patch test),
intradermal test. Tes tusuk dilakukan denganmeneteskan alergen dan kontrol pada tempat
yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak
yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika
dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan
yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.6

Tes provokasi

Tes Provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada pasien
sehingga timbul gejala.18

2.10 Diagnosis banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaksis. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memeiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi
seluruh sistem organ pada tubu h manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator
dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afnitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi
anafilaksis dan syok anafilaksis adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, carsinoid syndrome, chinese restaurant syndrome, asma
bronkiale, dan rhinitis alergika.2,3

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkerinngat. Tapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi
masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktif. Sementara infark
miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada dengan atau tanpa penjalaran. Gejala
tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran nafas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada. 2,3

15
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran nafas. Sedangkan pada reaksi
anafilaksis ditemui obstruksi saluran nafas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal nafas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 2,3

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak nafas seperti asma. Chinase restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan sepeti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1 gr. Bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan
darah, kecepatan denyut nadi, dan pernafasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang
diberi makanan tanpa MSG. 2,3

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak nafas, batuk nerdahak, dan suara
nafas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas
fisik dan makanan dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkangejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang timbul, mata
berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin. 2,3

2.11 Tatalaksana

The World Organization Guideline for Reassessment and Management of Anaphylaxis


menekankan pentingnya penanganan oleh spesialis alergi dalam tatalaksana anafilaksis yang
diperkirakan dapat terjadi berulang (idiopatik) sehingga dapat diberikan program jangka
panjang demi mencegah terjadinya serangan di masa datang.15
Pada kejadian anafilaksis akut tatalaksana ditujukan untuk mengatasi keadaan gawat
darurat (mengancam jiwa) yang terjadi akibat lepasnya mediator dari sel mast atau basofil
dalam reaksi anafilaksis.15

Tatalaksana awal yang harus dilakukan adalah: 15

1. Memutus hubungan dengan alergen pencetus melalu penghentian paparan alergen


(stop obat, makanan, dll).
2. Posisi Trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan
kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut

16
meningkat. Pada pasien hamil, posisi berbaring miring ke kiri dengan kemiringan 15o
(mencegah caval kompresi).
3. Berikan oksigen yang adekuat. Pemberian oksigen 3 – 5 liter/menit harus dilakukan,
pada keadaan yang amat ekstrim.
4. Trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
5. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna
dapat mengisi volume intravaskular secepatnya. Jika cairan tersebut tidak tersedia,
Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian
cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
6. Pemberian adrenalin (bila tidak terjadi keraguan diagnosis)
7. Aminofilin dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. Sebanyak 250 mg aminofilin diberikan perlahan-
lahan selama 10 menit intravena. Selanjutnya dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui
drip infus bila dianggap perlu.
8. Pemberian antihistamin, kortikosteroid dan terapi lainnya sesuai klinis yang ada.
9. Resusitasi kardio pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest)
maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan
falsafah ABC dan seterusnya.

1. Epinefrin (Adrenalin)

Epinefrin merupakan drugs of choice pada penanganan anafilaksis, dipakai dalam


konsentrasi 1:1000. Dosis dewasa adalah 0,3 – 0,5 ml/kali pemberian, diberikan IM pada otot
vastus lateralis (lateral thigh). Dapat dilakukan pemberian ulang dengan interval 5 – 10
menit. Dosis anak > 12 tahun yaitu 0,5 ml/kali pemberian dan 0,3 ml/kali pemberian bila
anak terlihat kecil.

Apabila dengan pemberian ulang adrenalin tidak berhasil, dapat juga dilakukan
pemberian adrenalin per infus. Cara pemberian ini hanya dilakukan oleh seorang spesialis
atau yang sudah terlatih. Dosis yang diberikan adalah 1 – 10 µg/menit dalam infuse pump
atau mikro drip (1ml = 60 tetes). Larutkan 1 ml adrenalin/epinefrin (1:1000) / 1mg
adrenalin/ml, di dalam 250 ml NaCl 0,9% atau D5W, dan konsentrasi saat ini menjadi
1:250.000 atau 4µg/ml. Bila kita mulai dengan 1µg/menit, maka tetesan yang diberikan
adalah 15 tetes/menit. Lakukan titrasi (naik dan turunkan dosis) sampai target tensi tercapai

17
atau tanda toksik adrenalin timbul. Diberikan segera setelah anafilaksis diperkirakan terjadi
(suspected). Pemberian subkutan sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat
tidak terjadi. Lanjutkan dengan resusitasi AIRWAY, BREATHING, CIRCULATION (ABC).15

Airway

- Lihat apakah ada obstruksi jalan napas ditandai dengan adanya sianosis sentral,
mengi, suara napas menghilang (bila terjadi obstruksi total). Sebagian kasus biasanya
akibat tonus faringeal yang turun atau lidah menutupi tenggorokan yang diakibatkan
oleh kesadaran menurun akibat turunnya tekanan darah. Tindakan yang biasa
dilakukan adalah melakukan maneuver membuka jalan napas dengan melakukan
suction dan pemasangan oropharyngeal atau nasopharyngeal airway.
- Anafilaksis juga menyebabkan terjadinya odema saluran napas (edema faringeal atau
laring) dan apabila hal ini terjadi dapat dilakukan intubasi (early tracheal intubation).
- Oksigen, diberikan dengan aliran yang tinggi (sesuai keadaan), biasanya 10 L/menit
atau lebih. Dilakukan pemantauan dengan pulse oximeter, dengan target Sat O 2 94% -
98%.6

Breathing

- Pada anafilaksis sering terjadi bronkospasme akut, ditandai terjadinya mengi, sesak,
untuk mengatasinya lakukan pemberian beta 2 agonis inhalasi, dan bila perlu dapat
diberikan injeksi beta 2 agonis.
- Apabila terdapat peningkatan frekuensi napas atau adanya sianosis sentral, pemakaian
otot bantu pernapasan maka dapat dilakukan pemberian oksigen dengan cara sama
seperti diatas.6

Circulation

- Pada keadaan anafilaksis dapat terjadi hypovolemia yang dapat mengakibatkan


terjadinya syok. Terjadinya hypovolemia diakibatkan adanya vasodilatasi dan
bocornya cairan dari kapiler darah. Pemberian resusitasi cairan kristaloid maupun
koloid akan memperbaiki gangguan tersebut. Biasanya dipakai cairan kristaloid
maupun koloid akan memperbaiki gangguan tersebut. Biasanya dipakai cairan
kristaloid NaCl 0,9% dengan dosis 250-500 ml dalam 5 – 10 menit. Pemberian cairan

18
yang cukup banyak dan cepat harus hati-hati pada pasien yang mempunyai riwayat
gagal jantung.6

2. Vasopressor

Digunakan pada keadaan resusitasi cairan dan pemberian adrenalin tidak menunjukkan
perbaikan. Diberikan dopamine 2 - 20µg/kgBB/menit. Dilakukan titrasi sampai sistolik lebih
dari 90 mmHg.15

3. Antagonis H1 dan H2

Antagonis H1/antihistamin, difenhidramin, dapat diberikan secara IM atau IV pelan


(diencerkan) dengan dosis 25 – 50 mg, dan dilakukan sekali pemberian. Setelah pemberian
awal melalui injeksi dilanjutkan dengan pemberian oral antihistamin seperti hidroksizine,
cetirizine, loratadine, dll. Antagonis H2, seperti cimetidine, ranitidine dapat diberikan
bersama antagonis H1. Antagonis H2 tidak pernah diberikan sendiri pada penatalaksanaan
anafilaksis. Dosis yang diberikan: ranitidine 1 mg/kgBB secara IV perlahan/diencerkan
dengan cairan infus.15

4. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid dalam penanganan anafilaksis akut cukup bermanfaat. Secara


teori, pemberian kortikosteroid dapat mencegah terjadinya anafilaksis susulan (biphasic
response). Preparat kortikosteroid yang diberikan: metilprednisolon 1 – 2 mg/kgBB/hari,
diberikan IV. Hidrokortison 200 mg, diberikan IM atau IV pelan.15

5. Glukagon

Diberikan pada pasien yang menggunakan beta blocker lama. Dosis 1 mg sampai 5 mg
IV, dapat diulang kemudian, dan apabila target kenaikan tekanan darah belum tercapai dapat
diberikan perinfus 5 – 15 µg/menit.15

6. Atropine

Atropine diberikan apabila terjadi bradikardi. Dosis 0,3 – 0,5 mg IV, dapat diulang tiap
10 menit dan maksimum dosis 2 mg.15

Sistem pernapasan
1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis
adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau spasme bronkus. Pada

19
kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut.
Tetapi pada edema larings kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan
intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering
menambah beratnya obstruksi.
2. Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat
dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid denganjarum
besar. Kemudian pasien segera dirujukke rumah sakit. 2. Pemberian oksigen 4-6 Umenit
sangatpenting baikpada gangguan pernapasan maupun kardiovaskular.
3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti pada
gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau
agonis beta-2lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui
nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5%o
atau NaCl 0,9o/o dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.6

Sistem kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan
bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membufuhkan cairan
intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9o/o) atat koloid (plasma,
dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalambentuk
cairankristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang
merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul dijaringan splangnikus, tetapi
juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemaniauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP ini selain
untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan,juga
dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan
sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat
untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan caramelarutkan 1
ml epineprin 1 : 1000 dalam 250 ml dektrosa (konsentrasi4mglml) diberikan dengan

20
infus 1 - 4 mglmenit atau 15 - 60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila
diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg /ml.6

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan
dosis 10 ml epinefrin 1 : 10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endohakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1 : 10.000). Tindakan di atas kemudian diikuti
pemapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat.

Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
1. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta
blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk
karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidakterhambat. Dalam keadaan demikian
inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan manfaat di samping
pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara intravena.
2. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH, dengan AH, bekerja secara sinergistik
terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan IV. Untuk AH, seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin ( 1 50 mg) harus
diencerkandengan20 mlNaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin.
3. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas
maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi
anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anaf,rlaksis yang berat
dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednison tetapi lebih
disukai memberikan intravena dengan dosis 5 mgikgBB hidrokortison atau ekuivalennya.
Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam.

2.12 Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam pelaksanaan anafilaktif terutama


yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risio anafilaksis. Individu

21
yang mempunyai riwayat penyakit asama dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banayk obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya
syok anafilaksis.19

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes skin
negatif pada umumnya penerita dapat mentolerasi pemberian obat-obatan tersebut, tetapi
tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes
kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit
postitif.19

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obatan
yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang sering
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat
yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat
penawar untuk mengantisipasi reaksi anafilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi
kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka
panjang.19

2.13 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipr alergen, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam dan basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti beta blocker dan ACE inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
aderenalin.

22
ALUR BAGAN TATALAKSANA SYOK ANAFILAKTIK

23
BAB III

KESIMPULAN

Reaksi anafilaksis adalah suatu respon hipersensitivitas yang diperantarai oleh


Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe 1) yang ditandai dengan curahjantung dan tekanan
arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai
angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan
reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisaatau racun serangga. Faktor yang
diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya anafilaksis yaitu sifat alergen, jalur pemebrian
obat, riwayat atopi, dan keseimbangan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam
reaksi hipersensitivitas tipe 1, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada
vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisk dan penunjang yang baik akan membantu seorang
dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok harus cepat dan
tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis;baringkan penderita
dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi
jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obatan yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi
keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting
dalam penatalaksanaan syok anafilaksis terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai kaidah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Avaible at:


http://mediastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html. Accesed on
May 26, 2020.
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008:
Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Avaible at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accesed on May 26, 2020.
4. Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar Alergi
Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
5. Cheng, A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children: Pediatric
Child Health. Vancouver. 2011; Jan 16(1): 35-40.
6. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi N. Renjatan Anafilaktik. Dalam:
BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing. 2009:
4131-6
7. Jessica C., Abdul G. Anaphylaxis. Anaesthesia and Intensive Care Medicine
2016;18:16-21.
8. LoVerde D, Iwala OI, Eginli A, Krishnaswamy G. Contemporary reviews in critical
care medicine. CHEST. 2017.

9. Soenarjo, Jatmiko Dwi H. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi, Semarang. 2010
10. Price Sylvia, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Edisi 6. EGC, Jakarta,
2006

11. Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of Emergency
Physicians; 2000.30. 242 – 246
12. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi N. Kegawatan Medik di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Renjatan Anafilaktik. BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
2009. Hal.193-5
13. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic Reaction-
Guidelines forHealthcare Providers. Journal of Resuscitation.2008; 77: hal 157-69
14. Rengganis I., Yinikastuti E. Alregi Imunologi: Alergi Makanan. Buku Ajar Penyakit
Dalam edisi V. 2009. Hal.265-7

25
15. Teguh H. Anafilaksis. Dalam: Setyohadi B., Arsana P.M., Suryanto A., Soeroto A.Y.,
Abdullah M. Kegawatdaruratan penyakit dalam (EIMED) PAPDI. Buku II. Interna
Publishing. Jakarta. 2016; 397-404.
16. Ewan. PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergic; 1998. BMJ. Vol 316.hal 1442-1445
17. Sampson HA, et al. clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospital, Western Australia;2006.
18. Hariyanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi V.
Jakarta:Interna Publishing:2009; 367.
19. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management. 2006.
Avaible at : https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-diagnosis-
and-management. Acceded on 26 May, 2020.

26

Anda mungkin juga menyukai