BAB I
PENDAHULUAN
kanker paling umum yang terjadi pada anak-anak. Tetapi LLA dapat berefek pada
semua umur. Insidennya paling sering usia 2-10 tahun. Insiden tertinggi umur 3-5
namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui. Faktor
radiasi ion dan elektromagnetik. Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan
dengan insiden LLA, terutama infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit keganasan hematologi
yang disebabkan oleh proliferasi prekursor sel limfoid yang menyebabkan
akumulasi sel blas di darah tepi dan sumsum tulang. LLA dapat terjadi pada anak-
anak maupun dewasa. Leukemia limfoblastik akut (LLA) menjadi jenis penyakit
leukemia yang paling banyak terjadi pada anak.5
Pada tahun 2016 di Amerika diperkirakan muncul 60.140 kasus baru
leukemia dan sekitar 75% nya adalah kasus leukemia limfoblastik akut. Indonesia
memiliki sekitar 11.000 kasus kanker anak setiap tahunnya dan sepertiga dari
kanker anak adalah leukemia dengan jenis terbanyak adalah LLA.6
Berbagai kemajuan dalam terapi, seperti targeted therapy, telah berhasil
menurunkan angka kematian pasien dengan LLA.6 Leukemia limfoblastik akut
(LLA) adalah transformasi ganas dan proliferasi sel progenitor limfoid berupa sel
T atau sel B di sumsum tulang, darah, dan extramedullary sites yang paling
banyak ditemukan pada anak.7
2.2 Prevalensi
LLA merupakan keganasan yang tersering ditemukan pada usia < 15 tahun
dan sekitar 25-30% dari seluruh penyakit keganasan pada anak. Anak laki-laki
mempunyai risiko leukemia yang lebih tinggi dari pada anak perempuan, tetapi
diagnosis leukemia pada tahun pertama kehidupan lebih sering pada anak
perempuan dibandingkan anak laki-laki.1
Hal ini bisa diakibatkan oleh perbedaan faktor lingkungan, genetik, dan
akurasi diagnostik. Insidensi leukemia di Indonesia, 2,5–4,0 per 100.000 anak
dengan estimasi 2.000– 3.200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya. Leukemia
limfoblastik akut (LLA) menempati peringkat paling atas diantara penyakit
kanker anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
dengan jumlah pasien baru 60-70 pasien per tahunnya. Berdasar atas Buletin Data
dan Jendela Informasi Kesehatan pada tahun 2015 didapatkan peningkatan jumlah
kasus baru penderita leukemia dari tahun 2010–2013. Pada 2010 didapatkan
jumlah kasus baru sebanyak 31 dengan jumlah kematian 19 orang, sedangkan
pada 2013 kasus baru sebanyak 55 dan kematian 30 orang.7
3
2.3 Etiologi
Etiologi spesifik LLA belum diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan
proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi, lingkungan,
bahan toksik, dan paparan virus. Faktor lingkungan meliputi antara lain paparan
ionizing radiation, bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida. Pemakaian obat-
obatan seperti kontrasepsi, diethylstilbestrol, dan amfetamin, rokok, konsumsi
alkohol, kontaminasi zat kimia sebelum atau selama kehamilan mempunyai
hubungan tidak konsisten dengan LLA. Ionizing radiation dan paparan benzene
merupakan faktor risiko yang berhubungan erat baik dengan LLA maupun
leukemia mieloid akut. Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan
hubungan antara medan elektromagnetik dari daya voltase tinggi dan
perkembangan leukemia, tetapi penelitian yang lebih besar tidak mengonfirmasi
hubungan tersebut. Sampai saat ini, penyebab leukemia umumnya tidak dapat
diidentifikasi.1
2.4 Patogenesis
Translokasi gen MLL pada kromosom pita 11q23 yang muncul pada masa
in utero adalah inti patogenesis LLA pada anak di bawah usia 1 tahun dan hal ini
terdapat pada lebih dari 80% kasus. Gen MLL pada kromosom pita 11q23 adalah
gen yang berperan penting pada perkembangan dan defrensiasi sel hematopoetik.
Rearrangements gen MLL menyebabkan terjadinya inhibisi apoptosis dan
leukemogenesis.8
Translokasi pada gen MLL disebut juga leukemogenik dan melibatkan
beberapa pasangan gen yang berbeda yang mengkode produksi protein dari
beberapa tipe yang berbeda. Gen AF-4 pada kromosom pita 4q21 adalah pasangan
gen MLL yang pada umumnya juga terdapat pada bayi dengan LLA. Gen ENL
pada kromosom pita 19p13 adalah pasangan gen lainnya yang terdapat pada LLA.
Keduanya mengkode faktor-faktor transkripsi. Translokasi gen MLL dipercaya
menyebabkan leukemia dengan mekanisme fusi gen.4 Sel leukemia dengan 11q23
yang abnormal yang melibatkan rearrangement gen MLL bukan hiperdiploid,
mempunyai pre-B sel imunofenotiping, dan mengekspresikan antigen mieloid
tetapi bukan CD10. Insiden 11q23 yang abnormal pada bayi sekitar 60%- 80%
pada seluruh LLA. Bayi dengan MLL/11q23 leukemia rearrangement memiliki
EFS untuk 3 tahun sampai 6 tahun sebesar 5% sampai 28%, sedangkan untuk bayi
tanpa MLL/11q23 leukemia rearrangement memiliki EFS yang lebih baik untuk 3
tahun sampai 6 tahun yaitu 46% sampai 91%. MLL/11q23 rearrangement
merupakan faktor prognosis yang buruk.9
4
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi leukemia yang masih dipakai secara luas hingga saat ini
adalah berdasarkan kriteria morfologik dan sitokimia yang dikemukakan pertama
kali oleh kelompok studi leukemia di Perancis, Amerika dan Inggris pada tahun
1976 yang kemudian dikenal sebagai kriteria FAB. Kriteria dalam klasifikasi LLA
berdasarkan klasifikasi French American British (FAB) berdasarkan bentuk,
ukuran inti dan sitoplasma dari sel limfoblast dibagi menjadi LLA tipe L1, tipe
L2, dan tipe L3. 10
Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut denan Penambahan
Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia Protocol Acute Lymphobastic Leukemia
(ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR. Soetomo Surabaya.
2.6 Diagnosis
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaaan penunjang meliputi pemeriksaaan darah tepi, analisis
aspirasi sumsum tulang (morfologi sel), imunofenotiping, sitokimia, dan
sitogenetik.
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain
(Allo anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Manifestasi klinis LLA pada anak sangat bervariasi dan muncul dalam waktu
5
yang bervariasi juga. Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala
anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering
demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi. Selain itu jangan lupa untuk
menanyakan riwayat penyakit dahulu, keluarga, lingkungan sosial, serta riwayat
pemakaian obat tertentu. Ada beberapa poin penting yang perlu ditanyakan pada
saat anamnesis, antara lain:11
Keluhan tersering
Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik dinilai
pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan konjungtiva.
Demam
Keluhan penyerta:
Biasanya anak lemas, adanya tanda perdarahan, nyeri tulang,
pembesaran perut akibat pembesaran hati dan limpa, muntah, kulit
yang tampak kuning pucat.
Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut
denan Penambahan Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia
Protocol Acute Lymphobastic Leukemia (ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR.
Soetomo Surabaya. http://repository.unair.ac.id/55599/19/PPDS_IKA_12-16_Lar_p-
min.pdf
Morfologi Sel : Aspirasi dan biopsi sumsum tulang.
Pemeriksaan analisis aspirasi sumsum tulang merupakan standar baku
dalam menegakkan diagnosis LLA. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk
analisis histologi, sitogenik, dan immunophenotyping. Pewarnaan dari hasil
aspirasi sumsum tulang akan menunjukkan morfologi dari bentuk sel dan
persentase dari sel limfosit muda, sedikitnya ditemukan 25% limfoblast. 13
Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang
sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat
tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsy penting untuk evaluasi
gambaran sitologi. 13
Sitokimia.
Pewarnaan sitokimia merupakan pewarnaan sel atau jaringan secara
kimiawi untuk mengidentifikasi substansi di dalam sel dan membantu penegakkan
diagnosis leukemia. Beberapa pewarnaan sitokimia yang digunakan adalah
mieloperoksidase (MPO), Sudan Black B (SBB), esterase, dan Periodic Acid
Schiff (PAS).13
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang
kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut
(LMA). Pewarnaan SBB dan MPO dapat menegakkan diagnosis LMA bila
didapatkan blast ≥ 3%. Tetapi LMA tipe M0 dan M7 hanya menunjukkan blast. 13
Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula
primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA.
Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel
B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic aci Schiff (PAS).
TdT (terminal deoxynucleotidyl transferase) yang diekspresikan oleh limfoblas
dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.13
dan ekspresi berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan
sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom
Philadelphia, t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat
juga ditemukan <5% LMA dewasa dan 20-30% LLA dewasa.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:21
a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 6%. Pada trombositopenia yang
berat dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila
terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah
dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya
dihentikan.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih
paten seperti obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan
ini sering terdapat akibat samping berupa alopsia (botak), stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kadidiasis. Bila jumlah leukosit kurang
dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat).
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai
remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (mengani cara pengobatan yang terbaru masih dalam
perkembangan).
b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri
lagi. Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk
mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang
beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika
terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara
atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya
dengan memberikan sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan
setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama
10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX
secara intratekal dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik. Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia
yang ada di dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan
seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Induksi
Sistemik :
a) VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b) ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3
kali dimulai pada hari ketiga pengobatan
c) Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu
kemudian tapering off selama 1 minggu.
Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu
minggu setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu
kedua dari konsolidasi
Rumat
10
Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu
penuh dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kaliSSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis,
diberikan 2 kali
Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama.
Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2
ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama
pengobatan ini, obat – obat rumat diteruskan.
Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
2.8.2 Non-medikamentosa
Edukasi bagi keluarga bahwa penyakit keganasan merupakan
multifactorial dan terapi serta respons terapi yang diberikan bagi tiap individu
berbeda-beda.
2.9 Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis
sel leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat
mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar.
Terlepasnya komponen intraselular dapat menyebabkan hiperurisemia,
hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa
pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang sekali
timbul urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia.
11
kemoterapi pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena perifer atau
serebral, atau keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi
pengobatan dengan prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari
komplikasi ini belum diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi
akibat obat. Biasanya, obat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit,
seperti salisilat, harus dihindaripada penderita leukemia.14
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang
lebih banyak ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf
pusat dan pengobatan sistemikyang diintensifkan telah mengakibatkan
leukoensefalopati, mineralisasi mikroangiopati, kejang, dan gangguan intelektual
pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki resiko tinggi untuk menderita
keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah gangguan pertumbuhan dan
disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama terjadi
secara tersembunyi,karena gangguan fungsional tidak terlihat sampai beberapa
tahun kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan mengenai arteri koroner serta
insufiensi miokard dini. Sedikit informasi yang didapat tentang efek teratogenik
dan muagenik pada terapi antileukemik; meskipun demikian, tidak ada bukti
meningkatnya cacat lahir di antara anak yang dilahirkan oleh orang tua yang
penah mendapat pengobatan leukemia.14
2.10 Prognosis
Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi
kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam
mengarahkan terapi ke arah risiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat
regimen terapi kontemporer. Karena itu, terapi merupakan faktor prognostic
tunggal yang paling penting.14
Hitung leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik dengan
kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan peranan yang
dapat dipercaya. Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12
bulan yang mempunyai penyusunan kembali kromosom yang menyangkut region
11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur pertengahan.
Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi. Hiperploidi lebih dari
50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respons terhadap
terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom
Philadelphia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa penelitian
menganjurkan CST selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi
tersebut. LLA progenitor sel-B dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik
13
dibanding kasus lain dengan imunofenotip ini; hanya 60% dari penderita akan
remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif.15
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi
dalam kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena
dapat hidup lebih dari 10 tahun tanpa pengobatan. Biasanya bila serangan pertama
dapat diatasi dengan pengobatan induksi, penderita akan berada dalam keadaan
remisi ini secara klinis penderita tidak sakit, sama seperti anak biasa. Tetapi
selanjutnya dapat timbul serangan yang kedua (kambuh), yang disusul lagi oleh
masa remisi yang biasanya lebih pendek dari masa remisi pertama. Demikian
seterusnya masa remisi akan lebih pendek lagi sampai akhirnya penyakit ini
resistensi terhadap pengobatan dan penderita akan meninggal. Kematian biasanya
disebabkan perdarahan akibat trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi
(sepsis, infeksi jamur).15
Sebelum ada prednisone, penderita leukemia hanya dapat hidup beberapa
minggu sampai 2 bulan. Dengan pengbatan prednisone jangka waktu hidup
penderita diperpanjang sampai beberapa bulan. Dengan ditambahkannya obat
sitostatika (MTX, 6-MP) hidup penderita dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi dan
dengan digunakannya sitostatika yang lebih poten lagi disertai cara pengobatan
yang mutakhir, usia penderita dapat diperpanjang 3-4 tahun lagi, bahkan ada yang
lebih dari 10 tahun. 15
Tabel 2.3 Kriteri Faktor Prognosis yang digunakan pada LLA Anak
Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut
denan Penambahan Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia
Protocol Acute Lymphobastic Leukemia (ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR.
Soetomo Surabaya. http://repository.unair.ac.id/55599/19/PPDS_IKA_12-16_Lar_p-
min.pdf
14
BAB III
PENUTUP
Leukemia yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja yaitu leukemia
limfoblastik akut dengan insiden LLA adalah 9-10 kasus per 100.000 populasi.
Insiden tertinggi umur 3-5 tahun, lebih sering mengenai laki – laki daripada
perempuan. Penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui.
endogen : genetik, usia, jenis kelamin, dan faktor eksogen (lingkungan). Faktor
radiasi ion, paparan benzene atau bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida,