Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

Leukemia adalah kanker dari sel-sel pembentuk darah; sebagian besar


merupakan kanker dari leukosit, tetapi dapat juga dapat berawal dari sel darah
jenis lain. Leukemia dimulai di sumsum tulang yang merupakan tempat
pembentukan sel-sel darah. Salah satu jenis leukemia yang sering terjadi pada
anak-anak dan remaja yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA).1
Insiden LLA adalah 9-10 kasus per 100.000 populasi. LLA merupakan

kanker paling umum yang terjadi pada anak-anak. Tetapi LLA dapat berefek pada

semua umur. Insidennya paling sering usia 2-10 tahun. Insiden tertinggi umur 3-5

tahun. Lebih sering mengenai laki – laki daripada perempuan.2

Meskipun LLA sering dihubungkan dengan sindroma gangguan genetik,

namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui. Faktor

lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap

radiasi ion dan elektromagnetik. Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan

dengan insiden LLA, terutama infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal

seperti virus influenza dan varicella.3

Manifestasi klinis LLA adalah adanya bukti anemia, pendarahan dan


infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan pendarahan, nyeri sendi dan tulang,
nyeri abdomen yang tidak jelas, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem
retikuloendotieal hati limfa dan limfonodus. Kemudian adanya peningkatan
tekanan intrakranial karena infiltrasi meningens, seperti sakit kepala, muntah
bahkan penurunan kesadaran. Pemeriksaan awal yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap. Biasanya akan ditemukan leukositosis
(leukosit>10.000/uL), neutropenia, anemia dan trombositopenia. Pemeriksaan
penunjang umumnya berupa apusan darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum
tulang.4

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit keganasan hematologi
yang disebabkan oleh proliferasi prekursor sel limfoid yang menyebabkan
akumulasi sel blas di darah tepi dan sumsum tulang. LLA dapat terjadi pada anak-
anak maupun dewasa. Leukemia limfoblastik akut (LLA) menjadi jenis penyakit
leukemia yang paling banyak terjadi pada anak.5
Pada tahun 2016 di Amerika diperkirakan muncul 60.140 kasus baru
leukemia dan sekitar 75% nya adalah kasus leukemia limfoblastik akut. Indonesia
memiliki sekitar 11.000 kasus kanker anak setiap tahunnya dan sepertiga dari
kanker anak adalah leukemia dengan jenis terbanyak adalah LLA.6
Berbagai kemajuan dalam terapi, seperti targeted therapy, telah berhasil
menurunkan angka kematian pasien dengan LLA.6 Leukemia limfoblastik akut
(LLA) adalah transformasi ganas dan proliferasi sel progenitor limfoid berupa sel
T atau sel B di sumsum tulang, darah, dan extramedullary sites yang paling
banyak ditemukan pada anak.7

2.2 Prevalensi
LLA merupakan keganasan yang tersering ditemukan pada usia < 15 tahun
dan sekitar 25-30% dari seluruh penyakit keganasan pada anak. Anak laki-laki
mempunyai risiko leukemia yang lebih tinggi dari pada anak perempuan, tetapi
diagnosis leukemia pada tahun pertama kehidupan lebih sering pada anak
perempuan dibandingkan anak laki-laki.1
Hal ini bisa diakibatkan oleh perbedaan faktor lingkungan, genetik, dan
akurasi diagnostik. Insidensi leukemia di Indonesia, 2,5–4,0 per 100.000 anak
dengan estimasi 2.000– 3.200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya. Leukemia
limfoblastik akut (LLA) menempati peringkat paling atas diantara penyakit
kanker anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
dengan jumlah pasien baru 60-70 pasien per tahunnya. Berdasar atas Buletin Data
dan Jendela Informasi Kesehatan pada tahun 2015 didapatkan peningkatan jumlah
kasus baru penderita leukemia dari tahun 2010–2013. Pada 2010 didapatkan
jumlah kasus baru sebanyak 31 dengan jumlah kematian 19 orang, sedangkan
pada 2013 kasus baru sebanyak 55 dan kematian 30 orang.7
3

2.3 Etiologi
Etiologi spesifik LLA belum diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan
proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi, lingkungan,
bahan toksik, dan paparan virus. Faktor lingkungan meliputi antara lain paparan
ionizing radiation, bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida. Pemakaian obat-
obatan seperti kontrasepsi, diethylstilbestrol, dan amfetamin, rokok, konsumsi
alkohol, kontaminasi zat kimia sebelum atau selama kehamilan mempunyai
hubungan tidak konsisten dengan LLA. Ionizing radiation dan paparan benzene
merupakan faktor risiko yang berhubungan erat baik dengan LLA maupun
leukemia mieloid akut. Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan
hubungan antara medan elektromagnetik dari daya voltase tinggi dan
perkembangan leukemia, tetapi penelitian yang lebih besar tidak mengonfirmasi
hubungan tersebut. Sampai saat ini, penyebab leukemia umumnya tidak dapat
diidentifikasi.1

2.4 Patogenesis
Translokasi gen MLL pada kromosom pita 11q23 yang muncul pada masa
in utero adalah inti patogenesis LLA pada anak di bawah usia 1 tahun dan hal ini
terdapat pada lebih dari 80% kasus. Gen MLL pada kromosom pita 11q23 adalah
gen yang berperan penting pada perkembangan dan defrensiasi sel hematopoetik.
Rearrangements gen MLL menyebabkan terjadinya inhibisi apoptosis dan
leukemogenesis.8
Translokasi pada gen MLL disebut juga leukemogenik dan melibatkan
beberapa pasangan gen yang berbeda yang mengkode produksi protein dari
beberapa tipe yang berbeda. Gen AF-4 pada kromosom pita 4q21 adalah pasangan
gen MLL yang pada umumnya juga terdapat pada bayi dengan LLA. Gen ENL
pada kromosom pita 19p13 adalah pasangan gen lainnya yang terdapat pada LLA.
Keduanya mengkode faktor-faktor transkripsi. Translokasi gen MLL dipercaya
menyebabkan leukemia dengan mekanisme fusi gen.4 Sel leukemia dengan 11q23
yang abnormal yang melibatkan rearrangement gen MLL bukan hiperdiploid,
mempunyai pre-B sel imunofenotiping, dan mengekspresikan antigen mieloid
tetapi bukan CD10. Insiden 11q23 yang abnormal pada bayi sekitar 60%- 80%
pada seluruh LLA. Bayi dengan MLL/11q23 leukemia rearrangement memiliki
EFS untuk 3 tahun sampai 6 tahun sebesar 5% sampai 28%, sedangkan untuk bayi
tanpa MLL/11q23 leukemia rearrangement memiliki EFS yang lebih baik untuk 3
tahun sampai 6 tahun yaitu 46% sampai 91%. MLL/11q23 rearrangement
merupakan faktor prognosis yang buruk.9
4

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi leukemia yang masih dipakai secara luas hingga saat ini
adalah berdasarkan kriteria morfologik dan sitokimia yang dikemukakan pertama
kali oleh kelompok studi leukemia di Perancis, Amerika dan Inggris pada tahun
1976 yang kemudian dikenal sebagai kriteria FAB. Kriteria dalam klasifikasi LLA
berdasarkan klasifikasi French American British (FAB) berdasarkan bentuk,
ukuran inti dan sitoplasma dari sel limfoblast dibagi menjadi LLA tipe L1, tipe
L2, dan tipe L3. 10

Tabe; 2.1 Klasifikasi LLA berdasarkan hapusan aspirasi sumsum tulang

Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut denan Penambahan
Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia Protocol Acute Lymphobastic Leukemia
(ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR. Soetomo Surabaya.

2.6 Diagnosis
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaaan penunjang meliputi pemeriksaaan darah tepi, analisis
aspirasi sumsum tulang (morfologi sel), imunofenotiping, sitokimia, dan
sitogenetik.

2.6.1 Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain
(Allo anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Manifestasi klinis LLA pada anak sangat bervariasi dan muncul dalam waktu
5

yang bervariasi juga. Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala
anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering
demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi. Selain itu jangan lupa untuk
menanyakan riwayat penyakit dahulu, keluarga, lingkungan sosial, serta riwayat
pemakaian obat tertentu. Ada beberapa poin penting yang perlu ditanyakan pada
saat anamnesis, antara lain:11
 Keluhan tersering

Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik dinilai
pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan konjungtiva.
Demam

 Keluhan penyerta:
Biasanya anak lemas, adanya tanda perdarahan, nyeri tulang,
pembesaran perut akibat pembesaran hati dan limpa, muntah, kulit
yang tampak kuning pucat.

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang


Hitung darah lengkap dan apus darah tepi.
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat
diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien
ALL dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya pada penderita ALL akan
terjadi anemia dan trombositopenia. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung
trombosit kurang dari 25.000/mm3. Limfositosis yang kadang-kadang
menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapat sel blast (menunjukkan
gejala patogonomik untuk leukemia).12
6

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis dan Laboratoris dari LLA Anak

Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut
denan Penambahan Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia
Protocol Acute Lymphobastic Leukemia (ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR.
Soetomo Surabaya. http://repository.unair.ac.id/55599/19/PPDS_IKA_12-16_Lar_p-
min.pdf
Morfologi Sel : Aspirasi dan biopsi sumsum tulang.
Pemeriksaan analisis aspirasi sumsum tulang merupakan standar baku
dalam menegakkan diagnosis LLA. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk
analisis histologi, sitogenik, dan immunophenotyping. Pewarnaan dari hasil
aspirasi sumsum tulang akan menunjukkan morfologi dari bentuk sel dan
persentase dari sel limfosit muda, sedikitnya ditemukan 25% limfoblast. 13
Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang
sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat
tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsy penting untuk evaluasi
gambaran sitologi. 13

 Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum tulang)


 Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum Tulang)
Pemeriksaan biopsi limfa memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan
sel yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak seperti: limfosit normal, RES,
7

granulosit, pulp cell.13

Sitokimia.
Pewarnaan sitokimia merupakan pewarnaan sel atau jaringan secara
kimiawi untuk mengidentifikasi substansi di dalam sel dan membantu penegakkan
diagnosis leukemia. Beberapa pewarnaan sitokimia yang digunakan adalah
mieloperoksidase (MPO), Sudan Black B (SBB), esterase, dan Periodic Acid
Schiff (PAS).13
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang
kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut
(LMA). Pewarnaan SBB dan MPO dapat menegakkan diagnosis LMA bila
didapatkan blast ≥ 3%. Tetapi LMA tipe M0 dan M7 hanya menunjukkan blast. 13
Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula
primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA.
Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel
B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic aci Schiff (PAS).
TdT (terminal deoxynucleotidyl transferase) yang diekspresikan oleh limfoblas
dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.13

Imunofenotiping (dengan flow sytometry).


Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan kalsifikasi LLA. Reagen yang
dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtype imunologi adalah antibodi
terhadap:2
 Untuk sel precursor B  CD10 (common ALL antigen), CD19,
CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.
 Untuk sel T  CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8, dan
TdT.
 Untuk sel B  kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid.
Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. mEkspresi
yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia
bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.18
Sitogenetik. Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa
kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtype LLA tertentu, dan dapat
memberikan informasi prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t(8;22) hanya
ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi
8

dan ekspresi berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan
sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom
Philadelphia, t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat
juga ditemukan <5% LMA dewasa dan 20-30% LLA dewasa.

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:21
a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 6%. Pada trombositopenia yang
berat dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila
terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah
dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya
dihentikan.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih
paten seperti obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan
ini sering terdapat akibat samping berupa alopsia (botak), stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kadidiasis. Bila jumlah leukosit kurang
dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat).
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai
remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (mengani cara pengobatan yang terbaru masih dalam
perkembangan).

Cara pengobatan berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman,


tetapi prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar:21
a. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat
tersebut sampai sel blas dalam sumsum kurang dari 5%. Dimulai 4-6
minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi
dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan
di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.
9

b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri
lagi. Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk
mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang
beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika
terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara
atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya
dengan memberikan sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan
setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama
10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX
secara intratekal dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik. Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia
yang ada di dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan
seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.

 Induksi
Sistemik :
a) VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b) ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3
kali dimulai pada hari ketiga pengobatan
c) Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu
kemudian tapering off selama 1 minggu.

SSP: Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal,


diberikan 5 kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial: dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi
terakhir (siklofosfamid)

 Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu
minggu setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu
kedua dari konsolidasi
 Rumat
10

Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan:


a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis (misalnya
Senin dan Kamis)
 Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat-obat
rumat dihentikan.

Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu
penuh dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kaliSSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis,
diberikan 2 kali
 Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama.
Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2
ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama
pengobatan ini, obat – obat rumat diteruskan.
 Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.

Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan


(setelah 6 minggu).

2.8.2 Non-medikamentosa
Edukasi bagi keluarga bahwa penyakit keganasan merupakan
multifactorial dan terapi serta respons terapi yang diberikan bagi tiap individu
berbeda-beda.

2.9 Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis
sel leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat
mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar.
Terlepasnya komponen intraselular dapat menyebabkan hiperurisemia,
hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa
pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang sekali
timbul urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia.
11

Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium hidroksida, serta penggunaan


alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau memperbaiki komplikasi ini.
Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan kegagalan
ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid dapat mengakibatkan peningkatan
hormon antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu yang mengandung
natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat mengakibatkan hipokalemia.
Hiperglikemia dapat terjadi pada 10% pasien setelah pengobatan dengan
prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka pendek.14
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi,
anak yang menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini
bervariasi dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah
bakteri, yang dimanifestasikan oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis media.
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella
pneumonia, Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis, dan Haemophilus
influenza adalah organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap pasien
yang mengalami febris dengan granulositopeniayang berat harus dianggap septik
dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan
untuk pasien dengan granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram
negatif yang berespon buruk terhadap pengobatan.14
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan
antibiotika atau hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh
Candida atau Aspergillus lebih sering terjadi, meskipun organisme itu sulit
dibiakkan dari bahan darah. CT scan bermanfaatuntuk mengetahui keterlibatan
organ viscera. Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus, atau kulit memberi kesan
infeksi jamur. Amfositerin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-fluorositosin
dan rifamisin kadang kala ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut.14
Pneumonia Pneumocytis carinii yang timbul selama remisi merupakan
komplikasi yang sering dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang
karena kemoprofilaksis rutin dengan trimetropim-sulfametoksazol. Karena
penderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi, vaksin yang mengandung virus
hidup ( polio, mumps, campak, rubella ) tidak boleh diberikan.14
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau
pengobatannya, manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas
pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat,
paru, atau saluran cerna jarang terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien.
Transfusi dengan komponen trommbosit diberikan untuk episode perdarahan.
Koagulopati akibat koagulasi intravaskuler diseminata, gangguan fungsi hati, atau
12

kemoterapi pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena perifer atau
serebral, atau keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi
pengobatan dengan prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari
komplikasi ini belum diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi
akibat obat. Biasanya, obat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit,
seperti salisilat, harus dihindaripada penderita leukemia.14
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang
lebih banyak ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf
pusat dan pengobatan sistemikyang diintensifkan telah mengakibatkan
leukoensefalopati, mineralisasi mikroangiopati, kejang, dan gangguan intelektual
pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki resiko tinggi untuk menderita
keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah gangguan pertumbuhan dan
disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama terjadi
secara tersembunyi,karena gangguan fungsional tidak terlihat sampai beberapa
tahun kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan mengenai arteri koroner serta
insufiensi miokard dini. Sedikit informasi yang didapat tentang efek teratogenik
dan muagenik pada terapi antileukemik; meskipun demikian, tidak ada bukti
meningkatnya cacat lahir di antara anak yang dilahirkan oleh orang tua yang
penah mendapat pengobatan leukemia.14

2.10 Prognosis
Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi
kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam
mengarahkan terapi ke arah risiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat
regimen terapi kontemporer. Karena itu, terapi merupakan faktor prognostic
tunggal yang paling penting.14
Hitung leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik dengan
kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan peranan yang
dapat dipercaya. Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12
bulan yang mempunyai penyusunan kembali kromosom yang menyangkut region
11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur pertengahan.
Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi. Hiperploidi lebih dari
50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respons terhadap
terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom
Philadelphia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa penelitian
menganjurkan CST selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi
tersebut. LLA progenitor sel-B dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik
13

dibanding kasus lain dengan imunofenotip ini; hanya 60% dari penderita akan
remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif.15
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi
dalam kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena
dapat hidup lebih dari 10 tahun tanpa pengobatan. Biasanya bila serangan pertama
dapat diatasi dengan pengobatan induksi, penderita akan berada dalam keadaan
remisi ini secara klinis penderita tidak sakit, sama seperti anak biasa. Tetapi
selanjutnya dapat timbul serangan yang kedua (kambuh), yang disusul lagi oleh
masa remisi yang biasanya lebih pendek dari masa remisi pertama. Demikian
seterusnya masa remisi akan lebih pendek lagi sampai akhirnya penyakit ini
resistensi terhadap pengobatan dan penderita akan meninggal. Kematian biasanya
disebabkan perdarahan akibat trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi
(sepsis, infeksi jamur).15
Sebelum ada prednisone, penderita leukemia hanya dapat hidup beberapa
minggu sampai 2 bulan. Dengan pengbatan prednisone jangka waktu hidup
penderita diperpanjang sampai beberapa bulan. Dengan ditambahkannya obat
sitostatika (MTX, 6-MP) hidup penderita dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi dan
dengan digunakannya sitostatika yang lebih poten lagi disertai cara pengobatan
yang mutakhir, usia penderita dapat diperpanjang 3-4 tahun lagi, bahkan ada yang
lebih dari 10 tahun. 15

Tabel 2.3 Kriteri Faktor Prognosis yang digunakan pada LLA Anak

Shanty, Maria. C., 2016. Perbandingan Strafikasi Risiko Leukemia Limfoblastik Akut
denan Penambahan Pemeriksaan Imunofenotiping pada Luaran Kemoterapi Indonesia
Protocol Acute Lymphobastic Leukemia (ALL) 2013 Fase Induksi di RSUD. DR.
Soetomo Surabaya. http://repository.unair.ac.id/55599/19/PPDS_IKA_12-16_Lar_p-
min.pdf
14

BAB III

PENUTUP

Leukemia yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja yaitu leukemia

limfoblastik akut dengan insiden LLA adalah 9-10 kasus per 100.000 populasi.

Insiden tertinggi umur 3-5 tahun, lebih sering mengenai laki – laki daripada

perempuan. Penyebab utama LLA sampai saat ini masih belum diketahui.

Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian leukemia adalah faktor

endogen : genetik, usia, jenis kelamin, dan faktor eksogen (lingkungan). Faktor

lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap

radiasi ion, paparan benzene atau bahan toksik kimia, herbisida dan pestisida,

pemakaian obat-obatan, infeksi kronis, rokok, konsumsi alkohol, kontaminasi zat

kimia sebelum atau selama kehamilan, serta medan elektromagnetik.

Manifestasi klinis LLA adalah adanya bukti anemia, pendarahan dan


infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan pendarahan, nyeri sendi dan tulang,
nyeri abdomen yang tidak jelas, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem
retikuloendotieal hati limfa dan limfonudus. Pemeriksaan awal yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Biasanya akan ditemukan
leukositosis (leukosit>10.000/uL), neutropenia, anemia dan
trombositopenia.Pemeriksaan penunjang umumnya berupa apusan darah tepi dan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang.
Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British (FAB)
berdasarkan atas morfologi antara lain L1, L2, dan L3. Stratifikasi Risiko
Leukemia Limfoblastik Akut terdiri dari risiko tinggi (High Risk) dan risiko biasa
(Standard Risk).

Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaaan penunjang meliputi pemeriksaaan darah
tepi, analisis aspirasi sumsum tulang (morfologi sel), imunofenotiping, sitokimia,
dan sitogenetik.
Penatalaksanaan pada pasien ALL antara lain tatalaksana medikamntosa dan
non-medikamentosa. Tatalaksana edikamentosa meliputi transfusi darah, jika
kadar Hb kurang dari 6%, Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan
sebagainya), Sitostatika (6-merkaptispurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX),
15

menghindari terjadinya Infeksi sekunder, serta imunoterapi. Tatalaksana non-


medikamentosa antara lain edukasi bagi keluarga terkait penyakit keganasan,
terapi serta respons terapi yang diberikan bagi tiap individu berbeda-beda.
Komplikasi pada LLA antara lain lisis sel leukemik, nefropati asam urat
atau nefrokalsinosis, urolitiasis, gagalan ginjal, lebih rentan terhadap infeksi,
perdarahan biasanya terbatas pada kulit dan membran mukosa atau perdarahan
pada sistem saraf pusat, paru, atau saluran cerna jarang terjadi, tetapi dapat
mengancam jiwa pasien, koagulopati, gangguan fungsi hati. Pasien ALL juga
memiliki resiko tinggi untuk menderita keganasan sekunder. Efek lambat lainnya
adalah gangguan pertumbuhan dan disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung.
Kerusakan jantung terutama terjadi secara tersembunyi,karena gangguan
fungsional tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian.
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi
dalam kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena
dapat hidup lebih dari 10 tahun tanpa pengobatan. Biasanya bila serangan pertama
dapat diatasi dengan pengobatan induksi, penderita akan berada dalam keadaan
remisi ini secara klinis penderita tidak sakit, sama seperti anak biasa. Tetapi
selanjutnya dapat timbul serangan yang kedua (kambuh), yang disusul lagi oleh
masa remisi yang biasanya lebih pendek dari masa remisi pertama. Demikian
seterusnya masa remisi akan lebih pendek lagi sampai akhirnya penyakit ini
resistensi terhadap pengobatan dan penderita akan meninggal. Kematian biasanya
disebabkan perdarahan akibat trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi
(sepsis, infeksi jamur).
16

Anda mungkin juga menyukai