Oleh :
Rikardi Santosa
1740312237
Preseptor :
2019
BAB I
PENDAHULUAN
proliferasi berlebihan dari sel darah putih disertai dengan sel-sel abnormal di
darah tepi. Proliferasi leukosit berlebihan ini bersifat tidak terkendali, tidak teratur
dengan fungsi tidak normal. Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah jenis
keganasan yang paling banyak dijumpai pada anak (82%).1 Berdasarkan data
International Agency for Research on Cancer WHO pada tahun 2008, insiden
leukemia di seluruh dunia adalah 5 per 100.000 dengan angka kematian 3,6 per
anak usia 0-4 tahun, dengan rate incidence pada anak laki-laki 6,4, sedangkan
Sindrom Down (Trisomi 21) adalah 1 dari 700 kelahiran hidup. Angka kejadian
meningkat sesuai dengan peningkatan usia ibu. Penampilan klinis sindrom Down
sering terlihat seperti fisura palpebra miring ke atas (upslanting palpebral fissure),
hidung pesek, hipotonia, oksiput datar, mulut terbuka dengan protruding tongue
dan lain-lain.5
yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.6 Angka
Batasan masalah Case Report Session ini adalah leukemia limfoblastik akut,
Metode penulisan Case Report Session ini adalah tinjauan teori dari
berbagai kepustakaan, laporan kasus dari pasien, serta pembahasan antara teori
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan bermanifestasi
sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia terdapat gangguan pada
pengaturan leukosit sehingga leukosit berproliferasi secara tidak terautr dan tidak
terkendali disertai fungsinya yang abnormal. Leukemia akut dibagi atas Leukemia
LLA merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak
usia 2-5 tahun dan akan terus meningkat seiring berkembangnya usia. Pada kasus
hampir mencapai 80% sedangkan pada orang dewasa lebih rendah tingkat
resistance (MDR).1
2.1.2 Epidemiologi
berkembang 83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih
tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994
insidennya mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996
didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr.Sardjito
Laeukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia
leukemia pada anak. Di RSU Dr.Sardjito LLA 79%, LMA 9% dan sisannya
leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr.Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%,
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mandekati 1
untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih
dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia
ini, Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut
diketahui.2
penelitian terbaru yang menyatakan bahwa adanya peranan infeksi virus dan atau
kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik (Tabel 1), dan faktor
paparan terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat
kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr serta sel limfosit B juga
berperan terhadap kejadian LLA pada negara berkembang. LLA sering ditemukan
pada anak dengan cacat genetik ataupun anak dengan kembar monozigot.1
Tabel 2.1 Faktor predisposisi dari Leukemia Limfoblastik Akut1
karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio sitoplasma-inti, ukuran dari inti sel,
• LLA-L1
Pada tipe ini, sel blas berukuran kecil dengan sitoplasma yang sempit,
leukemia limfoblastik akut yang sering terjadi pada anak-anak, sekitar 70% kasus
• LLA-L2
L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran nukleolus
yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar 27% kasus LLA,
didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada pasien usia di atas 15
tahun.
• LLA-L3
L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti
bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan,
sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini, terjadi
mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas dari makrofag.
kasus dengan menghitung jumlah kromosom per sel leukemia dan hasil
penyakit leukemia. Selain itu juga dilihat translokasi dari genetika sel itu sendiri.
Klasifikasi WHO
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, tidak spesifik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan kelainan genetik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(9;22)(q34; q11.2); BCR-ABL1
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(v;
11q23); MLL rearranged
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(12;21)(p13; q22); TEL-AML1 (ETV6-RUNX1)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hiperdiploid
(>50 kromosom/sel)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hipodiploid (<45
kromosom/sel)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel T
3. Klasifikasi Imunofenotip
sesuai dengan tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Klasifikasi ini membagi
LLA ke dalam prekursor sel-B atau sel-T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD
CD 3, CD 4, CD 5, CD 7, atau CD 8.8
leukemia kronik terjadi perjalanan penyakit yang lambat dan gejala yang
ringan/indolent. Kelainan yang menjadi ciri khas dari leukemia adalah kelainan
pada gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi,
normal.1
Sel limfoid berasal dari stem sel hematopoetik pluripoten di sumsum tulang,
dari perkembangan yang diinisiasi pada tingkat progenitor multipoten primer dari
sel limfoid, progenitor limfoid, pro-B cells, pre-B cells, dan sel B matur. Proses
maturasi ini dikontrol oleh aktivasi dari faktor transkripsi dan transduksi sinyal
sel.5 Hal ini disebabkan oleh ekspresi abnormal dari gen yang sering terjadi akibat
produksi sel darah normal. Hal ini akan menimbulkan trombositopenia, anemia,
dan neutropenia. Limfoblas ini juga akan berkembang di organ selain sumsum
ditemukan berbagai jenis sel leukemia. Sedangkan ada LLA terjadi homogenitas
fenotip permukaan sel blast sehingga populasi sel leukemia semakin banyak. Sel-
sel leukemia ini akan menginfiltrasi organ tubuh sehingga mengganggu produksi
Manifestasi awal dari ALL ini biasanya tidak spesifik. Gejala yang dapat
muncul antara lain anoreksia, fatigue, malaise, iritabilitas, dan demam yang tidak
tinggi. Dapat ditemukan adanya nyeri pada tulang dan sendi, terutama di
tulang muncul lebih jelas dimana ditandai dengan adanya pucat, fatigue,
sistem saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat ditemukan distres nafas.1
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pucat, lesu, lesi pteki dan purpura
di kulit atau perdarahan membran mukosa. Proliferasi dari sel ganas dapat
yang berhubungan dengan infiltrasi langsung sumsum tulang atau organ lain oleh
sel leukemia, atau gejala yang berkaitan dengan penurunan produksi elemen
hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Gejala utama dari anemia adalah
kelelahan dan pucat, pasien akan merasakan kurang energi. Gejala lain dari
demam yang muncul dengan atau tanpa fokus infeksi yang jelas. baik demam
dengan suhu rendah atau maupun tinggi, meskipun terjadi neutropenia, sepsis
jarang terjadi. Pada pemeriksaan darah bisa terdapat eosinifilia reaktif. Pada
pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Gejala perdarahan
dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau
pasien LLA dimasukkan dalam kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit
>50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukimia susunan saraf pusat (SSP)
serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih
2.1.9 Penatalaksanaan
leukemia sel-T.1
Tahapan Kemoterapi
Pengobatan LLA yang lazim dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi
Terapi induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk mencapai
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi parsial, atau
gagal.2 Terapi induksi meningkatkan angka remisi hingga mencapai 98%. Terapi
ini berlangsung sekitar 3-6 minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu
antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani terapi induksi
mengalami kegagalan.9
remisi komplit dan untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. 2 Target
eradikasi sel leukemia yang tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan. 9 Pada
pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas
remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini.2
susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan mengacu pada fakta bahwa SSP
merupakan pusat dari sel leukemia dan dilindungi oleh sawar darah otak sehingga
obat tidak bisa menembusnya.9 Terapi SSP secara langsung diberikan melalui
berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 gr/m2). Di
beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan
Intensifikasi akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi
LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi
obat.13
terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengurangi sel
merkaptopurin tiap hari dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan
selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah tercapainya kondisi remisi
3.000/mm3).13
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas
gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah
sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dL tanpa transfusi, jumlah
leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >
2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal
normal.2
Status nutrisi pada pasien LLA merupakan salah satu hal penting yang
harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi prognosis dan harapan hidup dari
pasien tersebut. Malnutrisi lebih sering ditemukan pada saat anak menjalani
menurun.14
Penurunan berat badan yang berlebihan pada pasien LLA merupakan efek
mengurangi absorpsi dari nutrien yang dikonsumsi. Sedangkan pada pasien yang
steroid yang berkepanjangan pada saat terapi sehingga selera makan pasien akan
diantara itu. Pasien bayi yang berusia di bawah 6 bulan pada saat ditegakkan
2. Jumlah leukosit
antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien LLA pada anak, yaitu pada
pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan mempunyai prognosis yang
buruk.
3. Jenis kelamin
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini
4. Imunofenotipe
LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa” dan “lambda” pada
prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7 atau 14
buruk. Adanya translokasi t(9;22) atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan
prognosis buruk.
kejadian trisomi 21 adalah 1 dari 700 kelahiran hidup. Angka kejadian pada saat
konsepsi lebih besar, tetapi lebih dari 60% mengalami abortus spontan dan
setidaknya 20% lahir mati. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya usia
ibu.5
kulit leher longgar, oksiput datar (brakisefal), garis Simian, kelingking bengkok
(klinodaktili) serta jarak yang lebar antara jari kaki ke 1 dan 2. Retardasi mental
merupakan komplikasi yang serius, IQ biasanya kurang dari 50. Penyakit jantung
bawaan terdapat pada 40% penderita. Komplikasi lain termasuk katarak (2%),
Sebagian besar kasus (95%) adalah trisomi 21, biasanya timbul akibat
terhadap timbulnya ekstra kromosom adalah 85% dan ayah 15%. Penyandang
mortalitas pada pasien dengan Sindrom Down terutama dalam 2 tahun pertama
kehidupan. Insidens CHD pada sindrom Down hampir 50%. Gangguan utama
disease.12
3. Gangguan Hematologi
Kelainan lain yang juga sering muncul adalah kelainan mieloproliferatif transien
dimana ditemukan sel blast terutama pada anak kecil dari 3 bulan. Selain itu
Mieloblastik akut.12
4. Gangguan Endokrinologis
Gangguan endokrinologis tersering pada sindrom Down adalah disfungsi
kelenjar tiroid. Hipotiroid bisa kongenital ataupun didapat. Pada anak ditemukan
peningkatan kadar TSH dan nilai tiroksin yang normal. Kondisi hipertiroid jarang
muncul. Selain itu abnormalitas perkembangan seks juga sering terjadi pada anak
5. Gangguan muskuloskeletal
tuli konduktif disebabkan oleh impaksi serumen dan kelainan patologis telinga
tengah, seperti OME karena tuba eustachius yang kecil, OMA, dan perforasi
membran timpani.. Selain itu bisa juga terjadi tuli sensorineural dikarenakan
interna.12
7. Gangguan Neurologis
Sindrom Down berhubungan dengan penurunan volume otak terutama
pada hipokampus dan serebelum. Pada anak juga bisa terjadi kejang, penyakit
berupa terapi suportif seperti speech therapy, physical therapy, dan work-related
therapy. Anak juga perlu perhatian dan bimbingan khusus dalam sekolah.11
2.3 Hipotiroid Kongenital
pada anak yang dapat dicegah jika diketahui dan diterapi sejak dini. Hormon tiroid
berperan dalam perkembangan susunan saraf pusat (antara lain migrasi dan
klinis yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi
mental singkat. Oleh karenanya, sebagian besar negara maju telah melakukan
(intrauterin lebih berat)). Bentuk yang paling sering ditemukan adalah HK primer
permanen (kadar serum TSH tinggi) akibat disgenesis tiroid. Pada HK permanen
pengobatan harus dilakukan seumur hidup sedangkan untuk yang transien tidak
perlu.7
Gejala klinis pada bayi baru lahir belum spesifik sampai usia 8 minggu.
Beberapa manifestasi klinis dari hipotiroid kongenital seperti : retardasi
perkembangan, gagal tumbuh, letargi, kurang aktif, pucat, ubun-ubun besar lebar
atau terlambat menutup, dull face, lidah besar, kulit kering, hernia umbilikalis,
hipotonia, dan lain-lain.6
Tata laksana
Rekomendasi
1. Jenis obat
- L-T4 (levotiroksin) merupakan satu-satunya obat untuk HK.
- Levotiroksin diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
- Terapi terbaik dimulai sebelum bayi berusia 2 minggu.
2. Dosis
- Dosis awal levotiroksin adalah 10-15μg/kgBB/hari
- Dosis selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan TSH dan FT4
berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur.
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : An. ORR
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Umur : 4 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama ayah / ibu : Tn. A / Ny. RK
Alamat : Solok
Tanggal ke RS : 20 Januari 2019
1.1. Anamnesis
1.1.1. Keluhan Utama
Pucat yang tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pucat yang tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pucat terlihat di wajah, bibir, telapak tangan dan telapak kaki.
Anak tampak mudah lelah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun, tidak tinggi, tidak berkeringat, tidak menggigil.
Demam tidak disertai dengan kejang. Saat ini anak tidak demam.
BAB cair sejak 6 hari yang lalu post kemoterapi terakhir, frekuensi 5
kali/hari, konsistensi encer, banyaknya kurang lebih 3-5 sendok makan
setiap BAB, tidak ada darah, tidak berlendir. Saat ini BAB cair, frekuensi
1-2 kali/hari, banyaknya 2-3 sendok makan setiap BAB.
Sesak napas ada sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak
menciut, tidak dipengaruhi oleh makanan, cuaca ataupun aktivitas.
Perut tampak membuncit yang semakin meningkat sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit.
Nafsu makan menurun semenjak sakit.
Tidak ada tanda-tanda perdarahan pada gusi, mulut, hidung, kulit, dan
saluran cerna.
Anak belum bisa berbicara hingga sekarang. Anak hanya bisa
mengeluarkan satu atau dua buah kata.
Mulut selalu terbuka dan lidah terjulur sejak lahir. Jika anak diajak
berbicara, anak menatap lawan bicara.
Mual dan muntah tidak ada, mata cekung tidak ada.
Batuk dan pilek tidak ada.
Sembab tidak ada.
Kuning tidak ada.
BAK warna dan frekuensi biasa.
Riwayat ibu menggunakan obat-obatan saat kehamilan tidak ada.
Riwayat ibu terpapar radiasi selama hamil tidak ada.
Riwayat ibu merokok dan mengonsumsi alkohol selama hamil tidak ada
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Solok. Anak dijadwalkan untuk
kemoterapi fase induksi minggu ke-3 pada 17 Januari 2019, namun karena
kondisi anak memburuk, anak dirawat di RSUD Solok sejak 16 Januari
2019 dan telah mendapatkan transfusi TC 6 unit, PRC 60cc, 80cc, 100cc,
100cc.
1.1.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Anak telah dikenal menderita ALL L2 High Risk sejak Desember 2018 dan
mendapatkan kemoterapi fase induksi minggu ke-2 (10 Januari 2019).
Anak juga telah dikenal menderita Hipotiroid Kongenital Subklinis dan
Sindrom Down.
Riwayat asma dan alergi tidak ada.
1.1.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga menderita kelainan darah, keganasan
ataupun genetik.
Riwayat asma dan alergi dalam keluarga tidak ada
Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. RK
Umur 51 tahun 44 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Wiraswasta IRT
Penghasilan Rp3.000.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita - -
Diagnosis Banding :
Acute Mieloblastic Leukemia
Thalasemia
autoimmune anemia hemolitic (AIHA)
3.3.7 Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan :-
Nutrisi :
o Diet ML 1200 kalori TKTP
o Ekstra Ikan Gabus
Medikamentosa :
o IVFD/Kaen 1B : 4tpm makro
o Zinc 1 x 20 mg p.o
o Oralit 100 cc setiap BAB encer
o Dexametason 2-3-3 tab p.o
o Euthyrox (Levothyroxine sodium) 1 x 25 mg tab p.o
o Paracetamol 3 x 1 cth p.o jika suhu lebih sama dari 38,50 C
o Ceftazidine 3 x 500 m i.v
o Gentamisin 1 x 60 mg i.v
o Flukonazol 1 x 75 mg i.v
o Rencana transfusi PRC 1 x 125 cc
o Rencana transfusi TC 4 unit
Non Medikamentosa :
o Tingkatkan intake nutrisi
Follow Up
Selasa, 22 Januari 2019
S/ Pucat (+)
Mudah lelah (+)
Demam (-)
Mual muntah (-)
Kejang (-)
BAB encer (+) warna kuning, BAK normal
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 4 tahun 3 bulan di Bagian akut
Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan utama pucat yang
tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pucat terlihat di wajah,
bibir, telapak tangan dan telapak kaki. Selain itu anak juga tampak mudah lelah.
Pucat disebabkan oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah sehingga perfusi
oksigen ke jaringan menurun. Beberapa diagnosis banding pucat seperti
perdarahan, anemia defisiensi besi, autoimmune anemia hemolitic (AIHA),
anemia aplastik, leukemia akut, hemofilia, thalasemia, penyakit kronik,
keganasan, dan lain-lain.
Pada pasien ini didapatkan splenomegali S4 dengan BAK warna biasa.
Selain itu pada pmeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,8 gr/dl, MCV : 86 fl (80-
94), MCH : 28 pg (23-31), MCHC : 32% (32-36) dengan gambaran darah tepi
eritrosit anisositosis normokrom. Manifestasi perdarahan seperti dari hidung, gusi
dan saluran cerna tidak ada. Gejala klinis ikterik juga tidak ada. Oleh karena itu,
diagnosis penyebab pucat karena anemia defisiensi besi, perdarahan, hemofilia,
thalasemia dan AIHA dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan keluhan pucat pasien mengarah ke leukemia akut. Pada gambaran
darah tepi ditemukan adanya sel blast, yaitu sel-sel darah yang immature sebanyak
28%. Hasil lab juga menunjukkan adanya trombositopenia (15.000/mm 3),
neutropenia (Neutrofil Count: 246 (N: 2500-7500)), kelainan nilai hitung jenis
leukosit berupa: persentase neutrofil batang dan segmen dibawah nilai standar,
serta persentase nilai limfosit tinggi (Limfosit 68% (N;20-40%)). Selain itu hasil
Bone Marrow Puncture (BMP) didapatkan peningkatan sel-sel seri limfopoietik
(sel dengan ukuran heterogen, mempunyai anak inti, sitoplasma tipis, limfoblast
53%, prolimofosit 14%) dengan kesan gambaran sumsum tulang sesuai dengan
ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) L2. Jenis L2 berarti sel limfoblas lebih
besar dengan ukuran bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak
inti.
Pada pemeriksaan lab BMP tanggal 20 Desember 2018 didapatkan nilai
leukosit 111.310/mm3. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional
(protokol Jakarta) pasien ALL dimasukkan dalam kategori HR (High Risk) bila
jumlah leukosit >50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukimia susunan
saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan
deksametason lebih dari 1000/mm3.
Demam yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun, tidak tinggi, tidak berkeringat, tidak menggigil. Demam tidak
disertai dengan kejang. Pada pasien ini dikategorikan demam neutropenia ec. Susp
keganasan (ALL). Demam neutropenia merupakan demam dengan suhu >380C
selama >1 jam pada pasien keganasan (kemoterapi dan/atau radioterapi) dengan
neutropenia. Pasien neutropenia biasanya terinfeksi bakteri flora endogen yang
berasal dari mulut, orofaring, saluran cerna dan kulit.
BAB cair sejak 6 hari yang lalu post kemoterapi terakhir, frekuensi 5
kali/hari, konsistensi encer, banyaknya kurang lebih 3-5 sendok makan setiap
BAB, tidak ada darah, tidak berlendir. Ini dikategorikan kedalam diare akut (BAB
lebih dari 3 kali dalam 24 jam berlangsung kurang dari 1 minggu). Tidak
ditemukan adanya tanda-tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan perut distensi. Hal ini
disebabkan oleh adanya splenomegali serta hipoalbuminemia ec. susp low intake
nutrition sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik plasma dan menyebabkan
ektravasasi cairan dari pembuluh darah ke rongga peritoneum. Akibat dari distensi
abdomen adalah penekanan diafragma ke arah superior tubuh sehingga
mengganggu komplians (volume) paru yang bermanifestasi pada takipneu.
Mulut anak selalu terbuka dan lidah terjulur (protruding tongue) sejak
lahir. Anak terlihat seperti dull face (wajah bodoh) atau wajah dismorfik. Selain
itu terlihat adanya lipatan epikantus pada mata, hidung pesek (low nasal bridge),
dan hipotonus. Ini merupakan penampilan klinis yang khas pada Sindrom Down.
Sindrom Down adalah kumpulan gejala akibat kelainan kromosom trisomi 21
yang terjadi karena non-disjunction (penyimpangan pada proses meiosis).
Pada pasien ini anak didiagnosis dengan susp. Hipotiroid kongenital.
Hormon tiroid berperan dalam perkembangan susunan saraf pusat (antara lain
migrasi dan mielinisasi). Dari hasil pemeriksaan didapatkan anak belum bisa
berbicara hingga sekarang. Anak hanya bisa mengeluarkan satu atau dua buah
kata. Pada anak ini terjadi retardasi perkembangan. Selain itu anak juga tampak
letargi, kurang aktif, hipotoni pertumbuhan kurang, dull face, lidah besar, dan
umbilikal menonjol. Rekomendasi pemeriksaan penunjang anjuran untuk
menegakkan diagnosis hipotiroid kongenital seperti pemeriksaan darah (T4
rendah, TSH tinggi, TBG/thyroid binding globulin), pemeriksaan radiologis (bone
age,USG tiroid, skintigrafi tiroid), dan lain-lain.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah IVFD/Kaen 1B : 4tpm
makro, Zinc 1 x 20 mg p.o, Oralit 100 cc setiap BAB encer. Dexametason 2-3-3
tab p.o, Euthyrox (Levothyroxine sodium) 1 x 25 mg tab p.o untuk mengatasi
hipotiroid pasien. Paracetamol 3 x 1 cth p.o jika suhu lebih sama dari 38,5 0 C.
Ceftazidine 3 x 500 m i.v, Gentamisin 1 x 60 mg i.v, Flukonazol 1 x 75 mg i.v
diberikan sebagai antibakteri dan antijamur untuk mencegah komplikasi
leukositosis akibat leukemia, seperti infeksi, perdarahan, atau disfungsi organ.
Pada pasien direncanakan transfusi PRC 1 x 125 cc dan transfusi TC 4 unit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, dan Abdulsalam M.
Dalam:.Permono B, , Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak,. Edisi Ketiga.
Jakarta: IDAI; 2010.h.236-247.
2. Simanjorang C, Kodim N, Tehuteru E. Perbedaan Kesintasan 5 Tahun
Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Mieloblastik Akut
pada Anak di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, 1997-
2008.Indonesian Journal of Cancer.2012;7: 15-21.
3. Cancer Research UK, 2015. Acute lymphoblastic leukaemia (ALL)
incidence statistics : by age. Citation from :
https://www.cancerresearchuk.org/health-professional/cancer-
statistics/statistics-by-cancer-type/leukaemia-all/incidence#heading-
One. Diakses pada 22 Januari 2019.
4. American Cancer Society. 2015. What are the risk factors for childhood
leukemia? Citation from : https://www.cancer.org/cancer/leukemia-in-
children/causes-risks-prevention/risk-factors.html. Diakses pada 23
Januari 2019.
5. Kosim S, et al. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. Pp: 60.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2010. Pedoman Pelayanan Medis
Jilid 1. Jakarta. Pp: 125.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2017. Panduan Praktik Klinis:
Diagnosis dan tatalaksana hipotiroid kongenital. Jakarta: Unit Kerja
Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pp: 1.
8. Kliegman, Robert M, Behrman, Richard E, Jenson, Hal B, and Stanton,
Bonita F. Dalam: Kliegman, Robert M, Behrman, Richard E, Jenson,
Hal B, Stanton, Bonita F, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi XVIII. USA: Saunders Elsevier; 2007.
9. Antica, Prof. Mariastefania . Dalam: Antica, Prof. Mariastefania,
penyunting. Acute Leukemia - The Scientist's Perspective and
Challenge. Rijeka: InTech; 2011.
10. Zuckerman T, Rowe JM. Pathogenesis & prognostication in Acute
Lymphoblastic Leukemia. F100 prome report 2014;59:1-5.
11. Kazemi M, Salehi M, Kheirollahi M. 2016. Down Syndrome: Current
status, challenges and future perspectives. Intl J Mol Cell Med, 5(3):
125-133.
12. Akhtar F, Bokhari SRA. Down Syndrome (Trisomy 21) [direvisi pada
27 Oktober 2018]. In; StatPearls [Internet]. Treasure Island (L):
StatPearls Publishing; Januari 2018. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526016/.
13. Margarita G, Balatzenko G, penyunting. Leukemia. Rijeka: InTech;
2013.
14. Tan SY, Poh BK, Nadrah MH, Jannah NA, Rahman J, Ismail N.
Nutritional status and dietary intake of children with acute leukaemia
during induction or consolidation chemotherapy. J Hum Nutr Diet 2013;
26: 23-3.