Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL), Sindrom Down dan


Hipotiroid Kongenital

Oleh :

Rikardi Santosa

1740312237

Preseptor :

Dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leukemia merupakan keganasan sel darah dari sumsum tulang berupa

proliferasi berlebihan dari sel darah putih disertai dengan sel-sel abnormal di

darah tepi. Proliferasi leukosit berlebihan ini bersifat tidak terkendali, tidak teratur

dengan fungsi tidak normal. Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah jenis

keganasan yang paling banyak dijumpai pada anak (82%).1 Berdasarkan data

International Agency for Research on Cancer WHO pada tahun 2008, insiden

leukemia di seluruh dunia adalah 5 per 100.000 dengan angka kematian 3,6 per

100.000 penduduk.2 Prevalensi tertinggi terjadinya ALL di Inggris yakni pada

anak usia 0-4 tahun, dengan rate incidence pada anak laki-laki 6,4, sedangkan

anak perempuan 6,0 per 100.000 populasi.3

Menurut American Society of Cancer tahun 2015, anak dengan sindrom

Down memiliki risiko untuk terjadinya acute lymphoblastic leukemia (ALL) or

acute myeloblastic leukemia (AML), yaitu sekitar 2-3%. 4 Angka kejadian

Sindrom Down (Trisomi 21) adalah 1 dari 700 kelahiran hidup. Angka kejadian

meningkat sesuai dengan peningkatan usia ibu. Penampilan klinis sindrom Down

sering terlihat seperti fisura palpebra miring ke atas (upslanting palpebral fissure),

hidung pesek, hipotonia, oksiput datar, mulut terbuka dengan protruding tongue

dan lain-lain.5

Hipotiroid Kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi mental

yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.6 Angka

kejadian HK secara global berdasarkan hasil skrining neonatal adalah 1:2000


sampai 1:3000, sedangkan pada era pra-skrining angka kejadiannya adalah 1:6700

kelahiran hidup. Skrining HK neonatal di Indonesia belum terlaksana secara

nasional baru sporadis di beberapa daerah di rumah sakit tertentu. Program

pendahuluan skrining HK neonatal di 14 provinsi di Indonesia memberikan

insiden sementara 1:2513.7

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai

leukemia limfoblastik akut, sindrom down dan hipotiroid kongenital.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan case report ini adalah untuk menambah pengetahuan

mengenai leukemia limfoblastik akut, sindrom down dan hipotiroid kongenital.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah Case Report Session ini adalah leukemia limfoblastik akut,

sindrom down dan hipotiroid kongenital.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan Case Report Session ini adalah tinjauan teori dari

berbagai kepustakaan, laporan kasus dari pasien, serta pembahasan antara teori

yang ada dengan kasus yang didapatkan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

2.1.1 Definisi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah dari sumsum tulang,

ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan bermanifestasi

sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia terdapat gangguan pada

pengaturan leukosit sehingga leukosit berproliferasi secara tidak terautr dan tidak

terkendali disertai fungsinya yang abnormal. Leukemia akut dibagi atas Leukemia

limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (MLA).1

LLA merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak

usia 2-5 tahun dan akan terus meningkat seiring berkembangnya usia. Pada kasus

LLA anak, tingkat kesembuhan dengan pengobatan kemoterapi sangat besar

hampir mencapai 80% sedangkan pada orang dewasa lebih rendah tingkat

kesembuhannya karena banyaknya pengobatan yang mengalami multi-drug

resistance (MDR).1

2.1.2 Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.

Insidens rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawa 15 tahun. Di negara

berkembang 83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak kulit putih

dibandingkan kulit hitam. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan diperkirakan

tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994

insidennya mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996
didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr.Sardjito

Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr.Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70

kasus leukemia baru.2

Laeukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,

dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia

mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh

leukemia pada anak. Di RSU Dr.Sardjito LLA 79%, LMA 9% dan sisannya

leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr.Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%,

LMA 8% dan 4% leukemia kronik.2

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mandekati 1

untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih

dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia

ini, Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut

merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industry yang belum

diketahui.2

2.1.3 Etiologi LLA

Penyebab dari terjadinya LLA masih belum diketahui, namun ada

penelitian terbaru yang menyatakan bahwa adanya peranan infeksi virus dan atau

bakteri.1 Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka

kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor genetik (Tabel 1), dan faktor

paparan terhadap radiasi pada saat sedang dalam kandungan maupun pada saat

kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr serta sel limfosit B juga

berperan terhadap kejadian LLA pada negara berkembang. LLA sering ditemukan

pada anak dengan cacat genetik ataupun anak dengan kembar monozigot.1
Tabel 2.1 Faktor predisposisi dari Leukemia Limfoblastik Akut1

Faktor Genetika Faktor Lingkungan


Sindrom Down Radiasi
Sindrom Fanconi Obat-obat
Sindrom Bloom Alkylating agents
Diamond-Blackfan anemia Nitrosourea
Sindrom Schwachman Epipodophyllotoxin
Sindrom Klinefelter Benzene exposure
Sindrom Turner Advanced maternal age
Neurofibromatosis tipe 1
Ataxia-telangiectasia
Severe combined immune deficiency
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Sindrom Li-Fraumeni

2.1.4 Klasifikasi LLA

Klasifikasi dari LLA terbagi atas beberapa jenis, yaitu klasifikasi

berdasarkan morfologik, berdasarkan genetika, dan immunofenotip:8

1. Klasifikasi French-American-British (FAB)

Klasifikasi dari LLA yang digunakan oleh dunia adalah klasifikasi

morfologik menurut FAB (French-American-British) yang berdasarkan atas

karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio sitoplasma-inti, ukuran dari inti sel,

dan warna sel).

• LLA-L1

Pada tipe ini, sel blas berukuran kecil dengan sitoplasma yang sempit,

nukleolus tidak jelas terlihat, dan kromatin homogen. L1 merupakan jenis

leukemia limfoblastik akut yang sering terjadi pada anak-anak, sekitar 70% kasus

dengan 74% nya terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun.

• LLA-L2

L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran nukleolus
yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar 27% kasus LLA,

didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada pasien usia di atas 15

tahun.

• LLA-L3

L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti

bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan,

sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini, terjadi

mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas dari makrofag.

2. Klasifikasi World Health Organization (WHO)

Kelainan klon kromosom sekarang juga dapat diidentifikasi pada sebagian

kasus dengan menghitung jumlah kromosom per sel leukemia dan hasil

perhitungannya dapat digunakan sebagai penentu baik buruknya prognosis

penyakit leukemia. Selain itu juga dilihat translokasi dari genetika sel itu sendiri.

Pembagian dari klasifikasi berdasarkan genetika yang dipakai adalah yang

diluncurkan oleh WHO.


Tabel 2.2 Klasifikasi LLA berdasarkan WHO7

Klasifikasi WHO
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, tidak spesifik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan kelainan genetik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(9;22)(q34; q11.2); BCR-ABL1
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(v;
11q23); MLL rearranged
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(12;21)(p13; q22); TEL-AML1 (ETV6-RUNX1)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hiperdiploid
(>50 kromosom/sel)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hipodiploid (<45
kromosom/sel)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel T
3. Klasifikasi Imunofenotip

Klasifikasi berdasarkan imunofenotip dapat mengklasifikasikan leukemia

sesuai dengan tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Klasifikasi ini membagi

LLA ke dalam prekursor sel-B atau sel-T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD

22, CD 34, dan CD 79. Sedangkan prekursor sel T membawa imunofenotip CD 2,

CD 3, CD 4, CD 5, CD 7, atau CD 8.8

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Leukemia akut terjadi penekanan sumsum tulang yang berat, sedangkan

leukemia kronik terjadi perjalanan penyakit yang lambat dan gejala yang

ringan/indolent. Kelainan yang menjadi ciri khas dari leukemia adalah kelainan

pada gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi,

kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel

normal.1
Sel limfoid berasal dari stem sel hematopoetik pluripoten di sumsum tulang,

meskipun maturasinya terjadi secara bertahap. Dalam perkembangan sel B, terdiri

dari perkembangan yang diinisiasi pada tingkat progenitor multipoten primer dari

sel limfoid, progenitor limfoid, pro-B cells, pre-B cells, dan sel B matur. Proses

maturasi ini dikontrol oleh aktivasi dari faktor transkripsi dan transduksi sinyal

fungsional yang selektif.9


ALL menunjukkan keganasan sel limfoid dari grup prekursor B atau T yang

menghambat diferensiasi dari limfoid dan mengontrol proliferasi abnormal dari

sel.5 Hal ini disebabkan oleh ekspresi abnormal dari gen yang sering terjadi akibat

translokasi kromosom. Sel limfoblas sebagai sel prekursor limfoid akan

menggantikan elemen sumsum tulang normal yang mengakibatkan penurunan

produksi sel darah normal. Hal ini akan menimbulkan trombositopenia, anemia,
dan neutropenia. Limfoblas ini juga akan berkembang di organ selain sumsum

tulang, terutama di hati dan limpa.10


Perbedaan mendasar LMA dengan LLA adalah pada LMA terjadi

transformasi diberbagai jalur perkembangan sel induk, sehingga pada AML

ditemukan berbagai jenis sel leukemia. Sedangkan ada LLA terjadi homogenitas

fenotip permukaan sel blast sehingga populasi sel leukemia semakin banyak. Sel-

sel leukemia ini akan menginfiltrasi organ tubuh sehingga mengganggu produksi

sel normal. Akibatnya adalah terjadinya kegagalan hematopoiesis normal.1

2.1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi awal dari ALL ini biasanya tidak spesifik. Gejala yang dapat

muncul antara lain anoreksia, fatigue, malaise, iritabilitas, dan demam yang tidak

tinggi. Dapat ditemukan adanya nyeri pada tulang dan sendi, terutama di

ekstremitas bawah. Pasien umumnya memiliki riwayat adanya gejala infeksi

saluran nafas atas dalam 1-2 bulan.1


Seiring perjalanan penyakit, tanda dan gejala kegagalan dari sumsum

tulang muncul lebih jelas dimana ditandai dengan adanya pucat, fatigue,

intoleransi latihan, memar, epistaksis, serta demam yang mungkin disebabkan

oleh adanya infeksi atau penyakit. Infiltrasi ke organ dapat menimbulkan

limfadenopati, hepatosplenomegali, pembesaran testis, dan keterlibatan dari

sistem saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat ditemukan distres nafas.1
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pucat, lesu, lesi pteki dan purpura

di kulit atau perdarahan membran mukosa. Proliferasi dari sel ganas dapat

menimbulkan manifestasi limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali.

Apabila pasien menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial, hal ini

mengindikasikan adanya keterlibatan sistem saraf pusat. Kondisi ini ditandai

dengan papiledema, perdarahan retina, dan kelumpuhan saraf kranial.1


2.1.7 Diagnosis

Pasien dengan leukemia limfoblastik akut (ALL) menunjukkan gejala

yang berhubungan dengan infiltrasi langsung sumsum tulang atau organ lain oleh

sel leukemia, atau gejala yang berkaitan dengan penurunan produksi elemen

sumsum normal. Dalam menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis, gejala

klinis dan pemeriksaan darah lengkap.1

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah

hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Gejala utama dari anemia adalah

kelelahan dan pucat, pasien akan merasakan kurang energi. Gejala lain dari

anemia termasuk dispneu saat beraktifitas. Pasien juga cenderung mengalami

demam yang muncul dengan atau tanpa fokus infeksi yang jelas. baik demam

dengan suhu rendah atau maupun tinggi, meskipun terjadi neutropenia, sepsis

jarang terjadi. Pada pemeriksaan darah bisa terdapat eosinifilia reaktif. Pada

pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Gejala perdarahan

dapat muncul pada trombositopenia.1

Untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pemeriksaan aspirasi

sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan

serebrospinal, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis

sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut,

antara lain sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler. Leukemia

dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau

disfungsi organ yang terjadi sebagai akibat leukostasis.2


Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta)

pasien LLA dimasukkan dalam kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit

>50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukimia susunan saraf pusat (SSP)

serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih

dari 1000/mm3. Massa mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk

menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal

(pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.1

2.1.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding leukemia pada anak antara lain anemia aplastik,

gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit reumatologi atau

penyakit kolagen vaskular, sindrom hemofagosit familial atau induksi virus,

infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononukleosis, reaksi leukemoid, dan sepsis.1

2.1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan leukemia terbagi atas kuratif dan suportif.

Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang menyertai

leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian antibiotik, obat

anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek psikososial.2

Penatalaksaan kuratif seperti kemoterapi bertujuan untuk menyembuhkan

leukemia. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang juga

memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang terdiagnosis

leukemia sel-T.1

Tahapan Kemoterapi
Pengobatan LLA yang lazim dilakukan adalah kemoterapi. Kemoterapi

bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses pengobatannya terdiri dari

beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi-remisi, intensifikasi awal,

konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf pusat, intensifikasi akhir (terbagi atas

fase re-induksi dan re-konsolidasi), dan maintenance/rumatan.1

Terapi induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk mencapai

remisi komplit dan menggembalikan fungsi hematopoesis yang normal.

Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi parsial, atau

gagal.2 Terapi induksi meningkatkan angka remisi hingga mencapai 98%. Terapi

ini berlangsung sekitar 3-6 minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu

glukokortikoid (prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau

antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani terapi induksi

mengalami kegagalan.9

Intensifikasi awal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah

remisi komplit dan untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. 2 Target

pengobatan adalah anak-anak yang sudah mencapai remisi dan fungsi

hematopoesisnya kembali normal. Tujuan dari tahapan intensifikasi adalah untuk

eradikasi sel leukemia yang tersisa dan meningkatkan angka kesembuhan. 9 Pada

pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas

remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini.2

Konsolidasi/terapi profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk

melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan sebagai profilaksis

susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan mengacu pada fakta bahwa SSP

merupakan pusat dari sel leukemia dan dilindungi oleh sawar darah otak sehingga
obat tidak bisa menembusnya.9 Terapi SSP secara langsung diberikan melalui

injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infuse

berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 gr/m2). Di

beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan

memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) di samping pemakaian kemoterapi

sistemik dosis tinggi.

Intensifikasi akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi

induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien anak dengan

LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap induksi dan intensifikasi

awal untuk menghindari terjadinya resistensi obat maka dilakukan pergantian

obat.13

Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan selama 6

sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk mencegah

terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengurangi sel

leukemia sisa yang tidak terdeteksi.13 Terapi rumatan menggunakan obat

merkaptopurin tiap hari dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan

sitostatika lain selama perawatan tahun pertama. Terapi rumatan dilaksanakan

selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah tercapainya kondisi remisi

morfologik. Keberhasilan ini dipantau dengan melihat hitung leukosit (2.000-

3.000/mm3).13

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas

gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah

sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dL tanpa transfusi, jumlah

leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >
2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal

normal.2

Status nutrisi pada pasien LLA merupakan salah satu hal penting yang

harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi prognosis dan harapan hidup dari

pasien tersebut. Malnutrisi lebih sering ditemukan pada saat anak menjalani

tahapan kemoterapi terutama tahapan induksi. Faktor-faktor seperti obat(steroid),

makanan, dan aktifitas fisik mempengaruhi status nutrisi dan dimanifestasikan

sebagai gangguan pertumbuhan, berat badan bertambah ataupun berat badan

menurun.14

Penurunan berat badan yang berlebihan pada pasien LLA merupakan efek

samping dari terapi kanker. Anoreksia, muntah, ataupun malabsorpsi akan

mengurangi absorpsi dari nutrien yang dikonsumsi. Sedangkan pada pasien yang

mengalami peningkatan berat badan dan obesitas, dikaitkan dengan penggunaan

steroid yang berkepanjangan pada saat terapi sehingga selera makan pasien akan

meningkat dan asupan energi meningkat.14

2.1.10 Faktor prognostik LLA

Respon pasien terhadap pengobatan berbeda-beda. Ada yang tingkat

kesembuhannya lebih tinggi, sedangkan ada yang tingkat kesembuhannya lebih

rendah sehingga pengobatan yang dijalani lebih lama. Perbedaan yang

mempengaruhi respon terhadap pengobatan disebut sebagai faktor prognostik.

Berdasarkan faktor prognostik, pasien dapat digolongkan ke kelompok resiko

biasa dan resiko tinggi.

Faktor prognostik LLA menurut Bambang Permono dan IDG Ugrasena

dalam IDAI 2010, yaitu:1


1. Usia

Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien anak yang berusia

diantara itu. Pasien bayi yang berusia di bawah 6 bulan pada saat ditegakkan

diagnosis, mempunyai prognosis paling buruk.

2. Jumlah leukosit

Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis LLA sangat

bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan adanya hubungan

antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien LLA pada anak, yaitu pada

pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan mempunyai prognosis yang

buruk.

3. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan cenderung

mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini

dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk terjadi relaps testis,

insidensi leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis, dan organomegali serta

massa pada mediastinum.

4. Imunofenotipe

Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor prognostik pasien

LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa” dan “lambda” pada

permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk tetapi dengan pengobatan

yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis

yang buruk dan digolongkan sebagai kelompok resiko tinggi.

5. Respon terhadap terapi


Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari jumlah sel blas yang

ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu setelah dimulai terapi

prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7 atau 14

masih ditemukan adanya sel blas pada sumsum tulang.

6. Kelainan jumlah kromosom

LLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang baik,

sedangkan LLA hipodiploid (< 45 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang

buruk. Adanya translokasi t(9;22) atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan

prognosis buruk.

2.2 Sindrom Down

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi Sindrom Down

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom trisomi 21. Angka

kejadian trisomi 21 adalah 1 dari 700 kelahiran hidup. Angka kejadian pada saat

konsepsi lebih besar, tetapi lebih dari 60% mengalami abortus spontan dan

setidaknya 20% lahir mati. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya usia

ibu.5

Penampilan klinik biasanya sudah mengarah pada diagnosis. Fisura

palpera miring keatas (upslanting palpebral fissure), hidung pesek, hipotonia,

kulit leher longgar, oksiput datar (brakisefal), garis Simian, kelingking bengkok

(klinodaktili) serta jarak yang lebar antara jari kaki ke 1 dan 2. Retardasi mental

merupakan komplikasi yang serius, IQ biasanya kurang dari 50. Penyakit jantung

bawaan terdapat pada 40% penderita. Komplikasi lain termasuk katarak (2%),

epilepsi (10%), hipotiroid (3%), leukemia akut (1%).5


2.2.2 Patofisiologi Sindrom Down

Sebagian besar kasus (95%) adalah trisomi 21, biasanya timbul akibat

non-disjunction, yaitu penyimpangan pada proses meiosis. Kontribusi ibu

terhadap timbulnya ekstra kromosom adalah 85% dan ayah 15%. Penyandang

sindrom Down jarang yang mempunyai keturunan.5

2.2.3 Manifestasi Klinis Sindrom Down12

1. Congenital Cardiac Defects (CHD)

Defek kardiak kongenital merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada pasien dengan Sindrom Down terutama dalam 2 tahun pertama

kehidupan. Insidens CHD pada sindrom Down hampir 50%. Gangguan utama

CHD tersering adalah atrioventricular septal defect (AVSD).12

2. Abnormalitas traktus gastrointestinal

Beberapa contoh gejala traktus gastrointestinal pada sindrom Down seperti

atresia atau stenosis duodenal, annular pancreas, anus imperforata, hirschprung

disease.12

3. Gangguan Hematologi

HANDS (Hematological Abnormalities in Newborn with Down Syndrome)

berupa neutrophilia (80%), trombositopenia (66%), dan polisitemia (34%).

Kelainan lain yang juga sering muncul adalah kelainan mieloproliferatif transien

dimana ditemukan sel blast terutama pada anak kecil dari 3 bulan. Selain itu

pasien dengan sindrom Down memiliki 10 kali risiko berkembangnya leukemia,

2% menjadi Leukemia Limfoblastik akut dan 10% menjadi Leukemia

Mieloblastik akut.12

4. Gangguan Endokrinologis
Gangguan endokrinologis tersering pada sindrom Down adalah disfungsi

kelenjar tiroid. Hipotiroid bisa kongenital ataupun didapat. Pada anak ditemukan

peningkatan kadar TSH dan nilai tiroksin yang normal. Kondisi hipertiroid jarang

muncul. Selain itu abnormalitas perkembangan seks juga sering terjadi pada anak

sehingga menyebabkan pubertas yang lambat pada semua gender.12

Pada wanita, hipogonadisme primer bermanifestasi pada keterlambatan

menarche atau telarche, sedangkan pada laki-laki sering bermanifetasi

kriptorkidismus, ambigus genitalia, mikropenis, testis kecil, jumlah sperma

sedikit, kekurangan pertumbuhan rambut aksila dan pubis.12

5. Gangguan muskuloskeletal

Anak dengan Sindrom Down memiliki risiko yang tinggi terhadap

penurunan massa otot karena hipotonus yang berhubungan dengan peningkatan

kelemahan ligamen sehingga terjadinya retardasi kemampuan motorik kasar dan

bisa menyebabkan dislokasi sendi dan postural instability.12

6. Gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorok

Masalah utama yang sering muncul adalah kelainan struktur anatomi

telinga yang mengakibatkan defisit pendengaran. Hearing loss biasanya bersifat

tuli konduktif disebabkan oleh impaksi serumen dan kelainan patologis telinga

tengah, seperti OME karena tuba eustachius yang kecil, OMA, dan perforasi

membran timpani.. Selain itu bisa juga terjadi tuli sensorineural dikarenakan

abnormalitas struktur dari telinga dalam seperti penyempitan kanal auditori

interna.12

7. Gangguan Neurologis
Sindrom Down berhubungan dengan penurunan volume otak terutama

pada hipokampus dan serebelum. Pada anak juga bisa terjadi kejang, penyakit

alzheimer onset dini, dan lain-lain.12

2.2.4 Tatalaksana Sindrom Down

Tatalaksana yang dapat diberikan pada penderita sindrom Down hanya

berupa terapi suportif seperti speech therapy, physical therapy, dan work-related

therapy. Anak juga perlu perhatian dan bimbingan khusus dalam sekolah.11
2.3 Hipotiroid Kongenital

Hipotiroid kongenital (HK) adalah salah satu penyebab retardasi mental

pada anak yang dapat dicegah jika diketahui dan diterapi sejak dini. Hormon tiroid

berperan dalam perkembangan susunan saraf pusat (antara lain migrasi dan

mielinisasi). Diketahui bahwa 95% HK tidak memperlihatkan tanda dan gejala

klinis yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi

mental singkat. Oleh karenanya, sebagian besar negara maju telah melakukan

program skrining neonatal untuk deteksi dini HK.7

Gambar 1. Alur Diagnostik Hipotiroid Kongenital7

Hipotiroid kongenital dapat bersifat transien atau permanen dan di

klasifikasikan sesuai letak gangguannya: primer (di kelenjar tiroid) atau

sekunder/sentral (di hipofisis dan/atau hipotalamus); berat ringannya hipotiroid:


(kadar serum TSH > 100 mIU/L dianggap berat; dan usia awitan hipotiroid

(intrauterin lebih berat)). Bentuk yang paling sering ditemukan adalah HK primer

permanen (kadar serum TSH tinggi) akibat disgenesis tiroid. Pada HK permanen

pengobatan harus dilakukan seumur hidup sedangkan untuk yang transien tidak

perlu.7

Gejala klinis pada bayi baru lahir belum spesifik sampai usia 8 minggu.
Beberapa manifestasi klinis dari hipotiroid kongenital seperti : retardasi
perkembangan, gagal tumbuh, letargi, kurang aktif, pucat, ubun-ubun besar lebar
atau terlambat menutup, dull face, lidah besar, kulit kering, hernia umbilikalis,
hipotonia, dan lain-lain.6

Tata laksana
Rekomendasi
1. Jenis obat
- L-T4 (levotiroksin) merupakan satu-satunya obat untuk HK.
- Levotiroksin diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
- Terapi terbaik dimulai sebelum bayi berusia 2 minggu.
2. Dosis
- Dosis awal levotiroksin adalah 10-15μg/kgBB/hari
- Dosis selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan TSH dan FT4
berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur.
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. ORR
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Umur : 4 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama ayah / ibu : Tn. A / Ny. RK
Alamat : Solok
Tanggal ke RS : 20 Januari 2019

1.1. Anamnesis
1.1.1. Keluhan Utama

Pucat yang tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.

1.1.2. Riwayat Penyakit Sekarang

 Pucat yang tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pucat terlihat di wajah, bibir, telapak tangan dan telapak kaki.
 Anak tampak mudah lelah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
 Demam yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun, tidak tinggi, tidak berkeringat, tidak menggigil.
Demam tidak disertai dengan kejang. Saat ini anak tidak demam.
 BAB cair sejak 6 hari yang lalu post kemoterapi terakhir, frekuensi 5
kali/hari, konsistensi encer, banyaknya kurang lebih 3-5 sendok makan
setiap BAB, tidak ada darah, tidak berlendir. Saat ini BAB cair, frekuensi
1-2 kali/hari, banyaknya 2-3 sendok makan setiap BAB.
 Sesak napas ada sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak
menciut, tidak dipengaruhi oleh makanan, cuaca ataupun aktivitas.
 Perut tampak membuncit yang semakin meningkat sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit.
 Nafsu makan menurun semenjak sakit.
 Tidak ada tanda-tanda perdarahan pada gusi, mulut, hidung, kulit, dan
saluran cerna.
 Anak belum bisa berbicara hingga sekarang. Anak hanya bisa
mengeluarkan satu atau dua buah kata.
 Mulut selalu terbuka dan lidah terjulur sejak lahir. Jika anak diajak
berbicara, anak menatap lawan bicara.
 Mual dan muntah tidak ada, mata cekung tidak ada.
 Batuk dan pilek tidak ada.
 Sembab tidak ada.
 Kuning tidak ada.
 BAK warna dan frekuensi biasa.
 Riwayat ibu menggunakan obat-obatan saat kehamilan tidak ada.
 Riwayat ibu terpapar radiasi selama hamil tidak ada.
 Riwayat ibu merokok dan mengonsumsi alkohol selama hamil tidak ada
 Pasien merupakan rujukan dari RSUD Solok. Anak dijadwalkan untuk
kemoterapi fase induksi minggu ke-3 pada 17 Januari 2019, namun karena
kondisi anak memburuk, anak dirawat di RSUD Solok sejak 16 Januari
2019 dan telah mendapatkan transfusi TC 6 unit, PRC 60cc, 80cc, 100cc,
100cc.
1.1.3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Anak telah dikenal menderita ALL L2 High Risk sejak Desember 2018 dan
mendapatkan kemoterapi fase induksi minggu ke-2 (10 Januari 2019).
 Anak juga telah dikenal menderita Hipotiroid Kongenital Subklinis dan
Sindrom Down.
 Riwayat asma dan alergi tidak ada.
1.1.4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga menderita kelainan darah, keganasan
ataupun genetik.
 Riwayat asma dan alergi dalam keluarga tidak ada

1.1.5. Riwayat Persalinan


 Lama hamil : 37 minggu
 Cara lahir : Spontan
 Indikasi :-
 Ditolong oleh : Dokter
 Berat lahir : 3.900 gram
 Panjang lahir : tidak ingat
 Saat lahir : tidak langsung menangis, anak tampak membiru

Kesan : Riwayat asfiksia saat lahir

3.2.6 Riwayat Makanan dan Minuman


 Bayi
o ASI : tidak ada
o Susu formula : dari lahir
o Buah biskuit : 5 bulan
o Bubur susu : 6 bulan
o Nasi tim : 1 tahun
 Anak
o Makan utama : 2-3x/hari, menghabiskan ½-1 porsi
o Daging : 1 x/minggu
o Ikan : 2-3 x/minggu
o Telur : 3-4 x/minggu
o Sayur : 1 x/minggu
o Buah : 0 x/minggu
 Kesan: Kuantitas makanan kurang, kualitas makanan kurang.
3.2.7 Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)


BCG 1 bulan -
DPT 1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Polio 1 1 bulan 4 bulan
2 2 bulan -
3 3 bulan -
Hepatitis B 1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak 9 bulan -
Kesan: Imunisasi dasar lengkap

3.2.8 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur


Tertawa lupa
Miring 3 bulan
Tengkurap 6 bulan
Duduk 8 bulan
Merangkak lupa
Berdiri 1 th 6 bln
Lari 1 th 9 bln
Gigi pertama 8 bulan
Bicara Belum bisa
Membaca Belum bisa
Prestasi di sekolah -
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan kurang normal, tidak sesuai usia.

3.2.9 Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. RK
Umur 51 tahun 44 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Wiraswasta IRT
Penghasilan Rp3.000.000,- -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita - -

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 LK 24 Tahun Sehat
2 PR 22 Tahun Sehat
3 PR 18 Tahun Sehat

3.2.10 Riwayat Perumahan dan Lingkungan


 Rumah tempat tinggal : Rumah pribadi
 Sumber air minum : Air galon
 Buang air besar : Jamban dalam rumah
 Pekarangan : Luas
 Sampah : Dibuang ke pekarangan
 Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Umum
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : composmentis
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Frekuensi nadi : 118 x/menit
 Frekuensi napas : 39 x/menit
 Suhu : 36,6°C
 Edema : tidak ada
 Ikterus : tidak ada
 Anemia : ada
 Sianosis : tidak ada
 Lingkar kepala : 46 cm
 Berat badan : 12 kg
 Tinggi badan : 92 cm
 BB/U : 70,5% (berat badan kurang)
 TB/U : 88% (tinggi badan kurang)
 BB/TB : 85,7%
 Status Gizi : Gizi kurang
3.3.2 Khusus
 Kulit : Warna sawo matang, tidak terdapat lesi dan
kelainan lainnya, teraba hangat
 Kelenjar getah bening : Tidak terlihat dan tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening
 Kepala : Bulat, simetris, wajah dismorfik
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra(-/-), pupil isokor 3 mm/3 mm,
refleks cahaya (+/+), epicanthal fold (+)
 Telinga : sekret tidak ada, low set ear tidak ada
 Hidung : hidung pesek, Napas cuping hidung tidak ada
 Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis
 Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, mulut terbuka
dengan lidah menjulur, lidah besar
 Leher : Tidak ada kelainan, KGB tidak membesar
 Toraks
o Paru
 Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
 Palpasi : Fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor kann = kiri
 Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di LMCS RIC V
 Perkusi : Batas jantung kanan: LSD;
Batas atas: RIC II;
Batas kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
 Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
 Abdomen
o Inspeksi : Tampak distensi, umbilikus menonjol
o Palpasi : Supel, hepar teraba ½ - ½ tepi tajam,permukan
datar dan lien teraba S4
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Punggung : Tidak terdapat kelainan
 Genitalia : Testis turun
 Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

3.3.3 Pemeriksaan Laboratorium



Hb : 7,8 gr/dl

Leukosit : 12.339 /mm3

Eritrosit : 2,82 juta

Trombosit : 15.000/mm3

Hematokrit : 24%

Retikulosit : 0,5%

MCV : 86 fl (80-94)

MCH : 28 pg (23-31)

MCHC : 32% (32-36)

Hitung Jenis Leukosit : 1/0/1/1/68/1

Neutrofil Count : 246 (N: 2500-7500)

Blast : 28%

Gambaran darah tepi : anisositosis normokrom, eritrosit berinti 56/100

GDR : 84 mg/dl

Ureum/Kreatinin : 25/0,4 mg/dl

Na/K/Cl/Ca : 135/3,3/105/9,0 mmol/L

Total Protein/Alb/Glb : 5,6/2,9/2,7 gr/dl

Bil.Tot/Bil-I/Bil-II : 1,5/1,0/0,5 mg/dl

SGOT/SGPT : 13/17 u/l

3.3.4 Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Bone Marrow Puncture (BMP)
 Ditemukan pecahan partikel, selularitas : hperseluler
 Aktivitas eritropoietik : tertekan
 Aktivitas granulopoietik : tertekan
 Aktivitas trombopoietik : megakariosit tidak ditemukan
 Ditemukan peningkatan sel-sel seri limfopoietik (sel dengan ukuran
heterogen, mempunyai anak inti, sitoplasma tipis, limfoblast 53%,
prolimofosit 14%)
 SBB : negatif

 Kesimpulan : Gambaran sumsum tulang sesuai dengan ALL L2

3.3.5 Daftar Masalah


 Pucat
 Demam
 Diare
 Sesak napas
 Perut membuncit
 Nafsu makan menurun
 Gizi kurang

3.3.6 Diagnosis Kerja


 Acute Lymphoblastic Leukemia
 Diare akut tanpa dehidrasi
 Demam neutropenia ec. Susp keganasan
 Sindrom Down
 Suspek Hipotiroid Kongenital
 Gizi Kurang
 Anemia normositik normokrom ec. Susp keganasan
 Trombositopenia ec. Susp keganasan
 Hipoalbuminemia ec. Susp low intake nutrition
 Pertumbuhan kurang baik
 Imunisasi lengkap

Diagnosis Banding :
 Acute Mieloblastic Leukemia
 Thalasemia
 autoimmune anemia hemolitic (AIHA)

3.3.7 Penatalaksanaan
 Kegawatdaruratan :-
 Nutrisi :
o Diet ML 1200 kalori TKTP
o Ekstra Ikan Gabus
 Medikamentosa :
o IVFD/Kaen 1B : 4tpm makro
o Zinc 1 x 20 mg p.o
o Oralit 100 cc setiap BAB encer
o Dexametason 2-3-3 tab p.o
o Euthyrox (Levothyroxine sodium) 1 x 25 mg tab p.o
o Paracetamol 3 x 1 cth p.o jika suhu lebih sama dari 38,50 C
o Ceftazidine 3 x 500 m i.v
o Gentamisin 1 x 60 mg i.v
o Flukonazol 1 x 75 mg i.v
o Rencana transfusi PRC 1 x 125 cc
o Rencana transfusi TC 4 unit
 Non Medikamentosa :
o Tingkatkan intake nutrisi

Follow Up
Selasa, 22 Januari 2019
S/ Pucat (+)
Mudah lelah (+)
Demam (-)
Mual muntah (-)
Kejang (-)
BAB encer (+) warna kuning, BAK normal

O/ Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran :Compos Mentis
Tekanan darah : 90/50 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit
Frekuensi napas : 24 x/menit
Suhu : 37,2°C

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik


Mulut : Sianosis (-), mulut terbuka lidah menjulur
Cor : Irama regular, bising tidak ada, gallop tidak ada
Pulmo : Retraksi tidak ada, Bronkovesikuler Rh-/-, Wh -/-
Abdomen : Distensi (+), BU (+) normal, Lien S4
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

A/ Acute Lymphoblastic Leukemia L2 High Risk


Diare akut tanpa dehidrasi
Sindrom Down
Suspek Hipotiroid Kongenital
Gizi Kurang

P/ Pantau vital sign


Awasi tanda perdarahan dan dehidrasi
Tatalaksana lanjut

Rabu, 23 Januari 2019


S/ Pucat (+)
Mudah lelah (+)
Demam (-)
Mual muntah (-)
Kejang (-)
BAB lunak biasa, BAK normal

O/ Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran :Compos Mentis
Frekuensi nadi : 970 x/menit
Frekuensi napas : 30 x/menit
Suhu : 37°C

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik


Mulut : Sianosis (-), mulut terbuka lidah menjulur
Cor : Irama regular, bising tidak ada, gallop tidak ada
Pulmo : Retraksi tidak ada, Bronkovesikuler Rh-/-, Wh -/-
Abdomen : Distensi (+), BU (+) normal, Lien S4
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

A/ Acute Lymphoblastic Leukemia L2 High Risk


Sindrom Down
Suspek Hipotiroid Kongenital
Gizi Kurang

P/ Pantau vital sign


Awasi tanda perdarahan dan dehidrasi
Tatalaksana lanjut
BAB IV
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 4 tahun 3 bulan di Bagian akut
Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan utama pucat yang
tidak menghilang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pucat terlihat di wajah,
bibir, telapak tangan dan telapak kaki. Selain itu anak juga tampak mudah lelah.
Pucat disebabkan oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah sehingga perfusi
oksigen ke jaringan menurun. Beberapa diagnosis banding pucat seperti
perdarahan, anemia defisiensi besi, autoimmune anemia hemolitic (AIHA),
anemia aplastik, leukemia akut, hemofilia, thalasemia, penyakit kronik,
keganasan, dan lain-lain.
Pada pasien ini didapatkan splenomegali S4 dengan BAK warna biasa.
Selain itu pada pmeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,8 gr/dl, MCV : 86 fl (80-
94), MCH : 28 pg (23-31), MCHC : 32% (32-36) dengan gambaran darah tepi
eritrosit anisositosis normokrom. Manifestasi perdarahan seperti dari hidung, gusi
dan saluran cerna tidak ada. Gejala klinis ikterik juga tidak ada. Oleh karena itu,
diagnosis penyebab pucat karena anemia defisiensi besi, perdarahan, hemofilia,
thalasemia dan AIHA dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan keluhan pucat pasien mengarah ke leukemia akut. Pada gambaran
darah tepi ditemukan adanya sel blast, yaitu sel-sel darah yang immature sebanyak
28%. Hasil lab juga menunjukkan adanya trombositopenia (15.000/mm 3),
neutropenia (Neutrofil Count: 246 (N: 2500-7500)), kelainan nilai hitung jenis
leukosit berupa: persentase neutrofil batang dan segmen dibawah nilai standar,
serta persentase nilai limfosit tinggi (Limfosit 68% (N;20-40%)). Selain itu hasil
Bone Marrow Puncture (BMP) didapatkan peningkatan sel-sel seri limfopoietik
(sel dengan ukuran heterogen, mempunyai anak inti, sitoplasma tipis, limfoblast
53%, prolimofosit 14%) dengan kesan gambaran sumsum tulang sesuai dengan
ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) L2. Jenis L2 berarti sel limfoblas lebih
besar dengan ukuran bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak
inti.
Pada pemeriksaan lab BMP tanggal 20 Desember 2018 didapatkan nilai
leukosit 111.310/mm3. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional
(protokol Jakarta) pasien ALL dimasukkan dalam kategori HR (High Risk) bila
jumlah leukosit >50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukimia susunan
saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan
deksametason lebih dari 1000/mm3.
Demam yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun, tidak tinggi, tidak berkeringat, tidak menggigil. Demam tidak
disertai dengan kejang. Pada pasien ini dikategorikan demam neutropenia ec. Susp
keganasan (ALL). Demam neutropenia merupakan demam dengan suhu >380C
selama >1 jam pada pasien keganasan (kemoterapi dan/atau radioterapi) dengan
neutropenia. Pasien neutropenia biasanya terinfeksi bakteri flora endogen yang
berasal dari mulut, orofaring, saluran cerna dan kulit.
BAB cair sejak 6 hari yang lalu post kemoterapi terakhir, frekuensi 5
kali/hari, konsistensi encer, banyaknya kurang lebih 3-5 sendok makan setiap
BAB, tidak ada darah, tidak berlendir. Ini dikategorikan kedalam diare akut (BAB
lebih dari 3 kali dalam 24 jam berlangsung kurang dari 1 minggu). Tidak
ditemukan adanya tanda-tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan perut distensi. Hal ini
disebabkan oleh adanya splenomegali serta hipoalbuminemia ec. susp low intake
nutrition sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik plasma dan menyebabkan
ektravasasi cairan dari pembuluh darah ke rongga peritoneum. Akibat dari distensi
abdomen adalah penekanan diafragma ke arah superior tubuh sehingga
mengganggu komplians (volume) paru yang bermanifestasi pada takipneu.
Mulut anak selalu terbuka dan lidah terjulur (protruding tongue) sejak
lahir. Anak terlihat seperti dull face (wajah bodoh) atau wajah dismorfik. Selain
itu terlihat adanya lipatan epikantus pada mata, hidung pesek (low nasal bridge),
dan hipotonus. Ini merupakan penampilan klinis yang khas pada Sindrom Down.
Sindrom Down adalah kumpulan gejala akibat kelainan kromosom trisomi 21
yang terjadi karena non-disjunction (penyimpangan pada proses meiosis).
Pada pasien ini anak didiagnosis dengan susp. Hipotiroid kongenital.
Hormon tiroid berperan dalam perkembangan susunan saraf pusat (antara lain
migrasi dan mielinisasi). Dari hasil pemeriksaan didapatkan anak belum bisa
berbicara hingga sekarang. Anak hanya bisa mengeluarkan satu atau dua buah
kata. Pada anak ini terjadi retardasi perkembangan. Selain itu anak juga tampak
letargi, kurang aktif, hipotoni pertumbuhan kurang, dull face, lidah besar, dan
umbilikal menonjol. Rekomendasi pemeriksaan penunjang anjuran untuk
menegakkan diagnosis hipotiroid kongenital seperti pemeriksaan darah (T4
rendah, TSH tinggi, TBG/thyroid binding globulin), pemeriksaan radiologis (bone
age,USG tiroid, skintigrafi tiroid), dan lain-lain.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah IVFD/Kaen 1B : 4tpm
makro, Zinc 1 x 20 mg p.o, Oralit 100 cc setiap BAB encer. Dexametason 2-3-3
tab p.o, Euthyrox (Levothyroxine sodium) 1 x 25 mg tab p.o untuk mengatasi
hipotiroid pasien. Paracetamol 3 x 1 cth p.o jika suhu lebih sama dari 38,5 0 C.
Ceftazidine 3 x 500 m i.v, Gentamisin 1 x 60 mg i.v, Flukonazol 1 x 75 mg i.v
diberikan sebagai antibakteri dan antijamur untuk mencegah komplikasi
leukositosis akibat leukemia, seperti infeksi, perdarahan, atau disfungsi organ.
Pada pasien direncanakan transfusi PRC 1 x 125 cc dan transfusi TC 4 unit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, dan Abdulsalam M.
Dalam:.Permono B, , Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak,. Edisi Ketiga.
Jakarta: IDAI; 2010.h.236-247.
2. Simanjorang C, Kodim N, Tehuteru E. Perbedaan Kesintasan 5 Tahun
Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Mieloblastik Akut
pada Anak di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, 1997-
2008.Indonesian Journal of Cancer.2012;7: 15-21.
3. Cancer Research UK, 2015. Acute lymphoblastic leukaemia (ALL)
incidence statistics : by age. Citation from :
https://www.cancerresearchuk.org/health-professional/cancer-
statistics/statistics-by-cancer-type/leukaemia-all/incidence#heading-
One. Diakses pada 22 Januari 2019.
4. American Cancer Society. 2015. What are the risk factors for childhood
leukemia? Citation from : https://www.cancer.org/cancer/leukemia-in-
children/causes-risks-prevention/risk-factors.html. Diakses pada 23
Januari 2019.
5. Kosim S, et al. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. Pp: 60.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2010. Pedoman Pelayanan Medis
Jilid 1. Jakarta. Pp: 125.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2017. Panduan Praktik Klinis:
Diagnosis dan tatalaksana hipotiroid kongenital. Jakarta: Unit Kerja
Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pp: 1.
8. Kliegman, Robert M, Behrman, Richard E, Jenson, Hal B, and Stanton,
Bonita F. Dalam: Kliegman, Robert M, Behrman, Richard E, Jenson,
Hal B, Stanton, Bonita F, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi XVIII. USA: Saunders Elsevier; 2007.
9. Antica, Prof. Mariastefania . Dalam: Antica, Prof. Mariastefania,
penyunting. Acute Leukemia - The Scientist's Perspective and
Challenge. Rijeka: InTech; 2011.
10. Zuckerman T, Rowe JM. Pathogenesis & prognostication in Acute
Lymphoblastic Leukemia. F100 prome report 2014;59:1-5.
11. Kazemi M, Salehi M, Kheirollahi M. 2016. Down Syndrome: Current
status, challenges and future perspectives. Intl J Mol Cell Med, 5(3):
125-133.
12. Akhtar F, Bokhari SRA. Down Syndrome (Trisomy 21) [direvisi pada
27 Oktober 2018]. In; StatPearls [Internet]. Treasure Island (L):
StatPearls Publishing; Januari 2018. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526016/.
13. Margarita G, Balatzenko G, penyunting. Leukemia. Rijeka: InTech;
2013.
14. Tan SY, Poh BK, Nadrah MH, Jannah NA, Rahman J, Ismail N.
Nutritional status and dietary intake of children with acute leukaemia
during induction or consolidation chemotherapy. J Hum Nutr Diet 2013;
26: 23-3.

Anda mungkin juga menyukai