Anda di halaman 1dari 23

MODUL 3

LEUKEMIA
SKENARIO 3 :
ANAK YANG MALANG
Seorang anak laki-laki usia 18 bulan dibawa orangtua ke IGD dengan keluhan pucat dan
mimisan, Riwayat kelahiran, anak lahir pada usia kehamilan 32 minggu secara sectio
caesarea, berat badan lahir 2200 gr dan panjang badan 44 cm, sesuai masa kehamilan.
Pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan berat badan saat ini 9 kg, Panjang badan 80 cm,
dengan laju pernafasan 62 x / menit dengan retraksi epigastrial. Suhu tubuh 35.6 °C, nadi
128 x/menit, lingkar kepala 46 cm, dan fontanella datar. Selain itu, pada wajah didapatkan
fasies mongoloid tersangka sindroma Down, abdomen distensi dan hernia scrotalis. Hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9.0 g/dL, Hematokrit 29 % Leukosit
138.6 ribu/uL.Trombosit 238 ribu/uL, Eritrosit 2.30 ribu/uL (4.30-6.30) RDW 22.8
%.Glukosa darah sewaktu 34 mg/dL dan CRP kuantitatif 0.4 mg/dL. Pada sediaan hapus
darah tepi didapatkan sel blas 69%, batang 1%, segmen 6%, limfosit 21%, monosit 3%, dan
eritrosit berinti 6/100 leukosit. Blas yang dijumpai berukuran sedang hingga besar,
kromatin halus, banyak di antaranya yang memiliki vakuola dalam sitoplasma.Sebagian
blas memiliki tonjolan sitoplasma (cytoplasmic blebs), Morfologi blas ini mengarah kepada
mieloblas, monoblas, dan megakarioblas.Bagaimana Anda menjelaskan kasus yang terjadi
pada anak tersebut?
 Terminology

1.fontanella :adalah bagian lunak di antara pelat tengkorak kepala pada bagian atas dan
belakang kepala bayi
2.red distribution width :adalah perhitungan untuk melihat variasi ukuran sel darah
merah
3.sel blas :adalah sel sel darah yang belum matang yang mengalami kerusakan
4.mieloblas: sel yang agak kecil dengan diameter antara 14 dan 18 cm
5.monoblas: adalah sel progenitor berkomitmen dan berdiferensiasi dari sel induk
myeloid dalam proses hematopoiesis menjadi monosit
6.megakariosit :adalah sel sum sum tulang berukuran besar yang terdiri atas jumlah
lobus yang saling berhubumgan
 Rumusan masalah &hipotesa

1.apakah terdapat hubungan usia dengan kasus anak laki pada scenario?
Jawab :terdapat hubungan usia,karna leukemia menyerang semua umur menurut jenis
kelamin laki laki lebih sering menderita leukemia
2.bagaimana hubungan keluhan pucatdan mimisan dengan riwayat kelahiran?
Jawab:kelainan genetik merupakan salah satu keadaan yang ditemukan pada
penyakit,pada beberapa orang DNA sel tubuh lebih rentan mengalami kelainan
sehingga menjadi kanker
3.apa penyebab anak tersebut mengeluh pucat dan mimisan?
Jawab:leukemia mempengaruhi produksi dan fungsi leukosit sehingga mengakibatkan
penumpukan dalam sumsum tulang dan mengurangi jumlah sel darah yang sehat.
4.bagaimana interpretasi pemeriksaan lab dan tanda tanda vital nya?
Jawab:hb 9,0gr/dl:anemia dengan kategori sedang
Hematocrit 29%: rendah
Leukosit :rendah
Trombosit :normal
Eritrosit: normal
5.bagaimana interpretasi pada hapus darah tepi nya?
6.mengapa morfologi blas ini mengarah kepada mieblas,monoblas dan megakarioblas?

7.apa dx,dd dan tatalaksana dan prognosis anak tersebut


Jawab:dx: leukemia akut
Tatalaksana :kemoterapi,tranfusi darah
Dd:limfositosis,limfadenopati,hepatosplenomegali,anemia anaplastic
Prognosis: nya buruk
8.apakah terdapat hubungan sindrom down dengan kondisi anakanak pada scenario?
Jawab:pada penderita sindrom down sering terjadi masalah pada hematologi nya
sehingga penderita sindrom down sering kali menderita leukemia

 Skema

 LO

1.leukimia akut
a.anak
b.dewasa
2.leukimia kronik
a.anak
b.dewasa

Leukimia

A. Definisi

Leukimia adalah kanker yang berasal dari sel-sel yang normalnya akan menjadi sel-sel
darah. Jenis kanker ini merupakan kanker pada sumsum dan darah, merupakan keganasan
hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation
arrest) pada berbagai tingkatan sel induk homopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif
dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Leukimia dapat berupa leuikimia
akut maupun kronik.Istilah akut dan kronik ini berkaitan dengan mucul dan proses
perkembangan dari penyakit ini.

- Leukimia Akut

Dalam kondisi normal, sumsum tulang mengandung sedikit sel darah putih imatur (sel
blast). Sel darah putih yang imatur ini akan berkembang menjadi sel darah putih matur,
sel darah merah,dan platelet, yang kemudian akan dilepaskan ke aliran darah. Sumsum
tulang orang yang mengalami leukimia akut akan memproduksi sel-sel blast dalam
jumlah yang sangat banyak (abnormal), disebut leukaemic blasts.

Sel-sel ini terakumulasi pada sumsum tulang dan mengganggu produksi dari sel-sel darah
normal. Tanpa sel darah merah yang cukup, sel darah putih yang normal dan platelet
seseorang akan menjadi lemas dan lebih mudah terkena infeksi, selain itu akan lebih
mudah terjadi perdarahan dan memar. Sel blast yang banyak tersebut juga keluar dari
sumsum tulang ke aliran darah sehingga terdeteksi pada tes darah sederhana. Terkadang
leukimia menyebar dari darah ke organ termasuk ke kelenjar limfe, hati, limpa, sistem
saraf pusat (otak, medula spinalis, cairan spinal), kulit dan testis. Karena cepatnya
penyakit ini terjadi dan perkembangannya, maka leukimia akut harus segera didiagnosis
dan ditangani, bila tidak tertangani maka akan berakibat fatal dalam beberapa bulan
(penderita meninggal dalam 2-4 bulan rata-rata). Namun dengan pengobatan yang baik
ternyata leukimia akut mengalami kesembuhan yang lebih banyak dibandingkan dengan
leukimia kronik.Leukimia akut dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu Acute
Lymphoid Leukaemia (ALL) dan Acute Myeloid Leukaemia (AML).

- Leukimia Kronik

Pada leukimia kronik, terdapat akumulasi sel darah putih yang lebih matur namun
abnormal. Leukimia jenis ini berkembang secara lebih lambat dibandingkan dengan yang
akut dan mungkin tidak memerlukan terapi jangka panjang setelah terdiagnosis. Leukimia
jenis ini ditandai dengan proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau
terjadi karena keganasan hematologi. Leukimia kronik dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu Chronic Lymphoid Leukaemia (CLL) dan Chronic Myeloid Leukaemia
(CML).

Secara singkat, leukimia dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut
maturitas sel maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukimia dibagi menjadi
akut dan kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian besar imatur (blast) maka leukimia
diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalh sel matur maka diklasifikasikan
sebagai leukimia kronik. Berdasarkan turunan sel, leukimia diklasifikasikan atas leukimia
mieoloid dan limfoid. Kelompok leukimia mieoloid meliputi granulositik, monositik,
megakriositik, dan eritrositik.

LO 1 LEUKIMIA AKUT
A. LEUKIMIA PADA ANAK
Leukemia Limfoblastik Akut

A. Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum
tulang yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak teratur dan
tidak terkendali dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi
(Permono dan Ugrasena, 2010). Leukimia limfoblastik akut merupakan leukemia
yang berasal dari sel induk limfoid dimana terjadi proliferasi monoklonal dan
ekspansi progresif dari progenitor limfosit B dan T yang imatur dalam sumsum
tulang dan beredar secara sistemik. Proliferasi dan akumulasi dari sel leukemia
menyebabkan penekanan dari hematopoesis normal
B. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada
anak yaitu 25-30% dari seluruh kanker pada anak dan merupakan 78% dari
seluruh leukemia pada anak. Insidens LLA semakin meningkat setiap tahun.
C. Etiologi
Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa
faktor risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa faktor risiko
tersebut antara lain faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi non-ion,
hidrokarbon, zat-zat kimia, alkohol, rokok maupun obat-obatan (Belson dkk.,
2007). Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat
keluarga, kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi
Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu
saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir
(Ross dkk., 1994). Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa
anak-anak, pestisida, fungisida serta sampo insektisida juga merupakan faktor
risiko terjadinya LLA (Menegaux dkk., 2006). Gangguan regulasi sitem imun
sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama kehidupan juga dapat
menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak (Roman dkk., 2007). Beberapa
faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan magnet,
pemakaian marijuana, dan diet (Belson dkk., 2007; Lanzcowsky, 2011).
D. Patofisiologi

Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi,
kelainan sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi. Sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap
pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel
tunggal yang berproliferasi hingga mencapai jumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui, namun pada
penelitian mengenai proses leukemiogenesis pada binatang percobaan ditemukan
bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus
DNA. Kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu kelainan
genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler. Hal
ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang
mengakibatkan terbentuknya suatu klonal yang abnormal (Permono dan Ugrasena,
2010; Lanzcowsky, 2011).
Populasi sel leukima yang semakin lama semakin banyak akan menyebabkan
dampak buruk bagi produksi sel normal dan mengganggu fungsi organ tubuh
akibat infiltasi sel leukemia. Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat
yang sering terjadi pada leukemia akut. Pansitopenia pada pasien leukemia terjadi
akibat desakan populasi sel leukemia. Pada sebagian kasus LLA juga dapat
ditemukan gambaran sumsum tulang yang hiposeluler. Kematian pada leukemia
akut umumnya terjadi akibat penekanan sumsum tulang atau akibat infiltasi sel
leukemia ke organ tubuh pasien (Permono dan Ugrasena, 2010; Lanzcowsky,
2011).
E. Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan progresif
seperti penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal jantung akibat
anemia. Pada LLA sering terjadi neutropenia yang menyebabkan infeksi dan
demam. Trombositopenia dapat menyebabkan perdarahan seperti ptekie, ekimosis
atau manifestasi perdarahan lainnya. Keluhan pada sistem saraf pusat (SSP)
ditimbulkan oleh infiltrasi sel leukemia dengan gejala sakit kepala, kejang, mual
dan muntah. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya limfadenopati,
hepatomegali, dan atau splenomegali (Gaynon, 2005; Lanzcowsky, 2011; Pui
dkk., 2012).
F. Diagnosis

Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan darah tepi.

1. Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi


normokromik normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi
leukemia yang lebih panjang, sedangkan kadar Hb yang tinggi
menunjukkan leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat (Permono dan
Ugrasena, 2010; Lanzkowsky, 2011).
2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat (Lanzkowsky, 2011).

3. Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal (Lanzkowsky,


2011).
4. Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada
pasien dengan leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak
tampak. Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit
lebih dari 10 x 103/µL (Permono dan Ugrasena, 2010; Lanzkowsky, 2011).
b. Sumsum tulang

Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah kurang dari 5%. Sediaan
hapusan sumsum tulang pada LLA menunjukkan peningkatan kepadatan sel
dengan trombopoesis, eritropoesis dan granulopoesis yang tertekan, disertai
jumlah sel blas >25% (Pui dkk., 2012; Vikramijit, 2014; Gupta dkk., 2015).
Berdasarkan morfologi blas pada hapusan sumsum tulang, French-American-
British (FAB) membedakan LLA menjadi (Permono dan Ugrasena, 2010;
Lanzcowsky, 2011):
1. L1 : terdiri dari sel-sel limfoblast kecil serupa, dengan kromatin homogen,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
2. L2 : terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih besar tetapi ukurannya
bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
3. L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.
Sebanyak 90% kasus dapat didiagnosis dengan cara tersebut, namum
sebagian kasus memerlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu imunologi, sitokimia,
sitogenetika ataupun biologi molekuler (Permono dan Ugrasena, 2010).
Pemeriksaan imunologi atau sering disebut dengan imunophenotyping digunakan
untuk identifikasi dan kuantifikasi antigen seluler. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menggunakan sampel darah perifer dan sumsum tulang untuk
membedakan leukemia sel T atau sel B (Rowan dkk., 1994; Lanzcowsky, 2011;
Gupta dkk., 2015).
G. Tata Laksana

Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Penanganan suportif


meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan komplikasi yang
menyertai leukemia seperti pemberian transfusi darah, pemberian antibiotik, obat
anti jamur, pendekatan nutrisi yang baik dan terapi psikososial. Terapi kuratif
bertujuan untuk membunuh sel-sel leukemia melalui kemoterapi dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat sitostatiska. Prinsip kerjanya adalah
melalui efek sitostatik obat kemoterapi dengan cara memengaruhi sintesis atau
fungsi DNA sel leukemia (Permono dan Ugrasena, 2010).
Berdasarkan risiko relapsnya pengobatan LLA dibagi menjadi 2 yaitu
pengobatan untuk risiko standar dan risiko tinggi. Pasien digolongkan kedalam
risiko standar apabila terdiagnosis saat berusia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit
<50 x 103/ L sedangkan digolongkan risiko tinggi apabila berusia >10 tahun,
jumlah leukosit >50 x 103/ L, terdapat massa di mediastinum, terdapat keterlibatan
SSP dan testis atau jumlah limfoblast absolut pada sirkulasi 1000/mm 3. Klasifikasi
risiko standar dan risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi yang
dipergunakan (Permono dan Ugrasena, 2010).

Protokol kemoterapi yang digunakan di Bagian Hemato-onkologi SMF Ilmu


Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar adalah protokol Indonesia 2006.
Protokol ini terdiri atas 2 macam yaitu protokol kemoterapi risiko standar dan
protokol kemoterapi risiko tinggi. Protokol kemoterapi risiko standar terdiri atas
fase induksi yang berlangsung selama 6 minggu dan fase konsolidasi yang
berlangsung selama 5 minggu, kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan.
Sedangkan protokol kemoterapi risiko tinggi terdiri dari fase induksi selama 6
minggu, fase konsolidasi selama 6 minggu dan fase reinduksi selama 4 minggu,
kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan. Pada protokol risiko tinggi, jenis obat
sitostatiska yang dipergunakan lebih banyak dengan fase kemoterapi lebih lama
(Permono dan Ugrasena, 2010).
Leukemia limfoblastik akut pada anak usia <1 tahun disebut dengan infant
leukemia yang memiliki karakteristik biologis limfoblas yang berbeda sehingga
memberikan respon pada protokol kemoterapi yang berbeda dibandingkan anak
dengan usia yang lebih tua. Leukemia dengan morfologi L3 digolongkan sebagai
Burkitt limfoma. Leukemia ini dapat menginfiltrasi sum-sum tulang dan memiliki
kecepatan proliferasi limfoblas yang tinggi sehingga memberikan respon pada
protokol kemoterapi yang berbeda.
B. PADA DEWASA

Acute Myeloid Leukaemia

A. Definisi AML

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloid Leukemia (AML) sering juga dikenal dengan
istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan
penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk
hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi
sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang
yang normal. Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah
putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini
tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML,
mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi
ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.

B. Epidemiologi

Kejadian AML berbeda dari satu Negara dengan Negara lainnya, hal ini berkaitan denga
ncara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok usia, tetapi
kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. Di AS, diperkirakan ada sekitar
19.950 kasus baru AML dan sekitar 10.430 kematian karena AML pada tahun 2016,
sebagian besar pada dewasa. Di Australia setiap tahunnya terdapat kurang lebih 3.200
orang dewasa dan 250 anak-anak yang didiagnosis dengan leukimia. Dari total tersebut
900 orang dewasa diantaranya dan 50 anak terdiagnosis dengan AML. Jumlah insiden
terjadinya AML meningkat terutama pada orang-orang yang berusia 60 tahun.

Data di Indonesia sangat terbatas, pernah dilaporkan insidens AML di Jogjakarta adalah 8
per satu juta populasi. Penyakit ini meningkat progresif sesuai usia, puncaknya pada usia
≥ 65 tahun. Usia rata-rata pasien saat didiagnosis AML sekitar 67 tahun. AML sedikit
lebih sering dijumpai pada pria.1AML yang lebih banyak terjadi pada orang dewasa.
Namun AML juga merupakan jenis leukimia yang sering ditemukan pada anak-anak.
Risiko terjadinya. AML meningkat 10 kali lipat dari usia 30-34 tahun sampai dengan usia
65-69 tahun. Pada otrang yang berusia leih dari 70 tahun insidennya jarang meningkat.

C. Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut hasil
penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya
penyakit leukemia.

a. Host
Umur, jenis kelamin, ras
 Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. LMA terdapat
pada umur 15-39 tahun. Insiden leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan
pada wanita. Tingkat insiden yang lebih tinggi terlihat di antara Kaukasia (kulit
putih) dibandingkan dengan kelompok kulit hitam.10 Leukemia menyumbang
sekitar 2% dari semua jenis kanker. Orang dewasa 10 kali kemungkinan terserang
leukemia daripada anak-anak.
Faktor Genetik
 Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan
leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan
kelainan congenital. Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia
meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara
kandung penderita naik 2-4 kali.

b. Agent
Virus
 Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya
leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah
ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis
khusus leukemia/limfoma sel T. Sinar Radioaktif
 Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia. Angka kejadian LMA jelas sekali meningkat setelah
sinar radioaktif digunakan. Zat Kimia
 Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon)
diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia.
Benzena telah lama dikenal sebagai karsinogen sifat karsinogeniknya
menyebabkan leukemia, benzena diketahui merupakan zat leukomogenik untuk
LMA. Paparan benzena kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang,
kerusakan kromosom dan leukemia.

Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk berkembangnya leukemia.
Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk menderita leukemia
terutama LMA.

c. Lingkungan (pekerjaan)
Banyak penelitian menyatakan adanya hubungan antara pajanan pekerjaan yaitu
petani dan peternak terhadap kejadian leukemia.

D. Patofisiologi
AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon
sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa
berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk
hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid
dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk
sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel eritrosit,
granulosit- monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi dapat
terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui
penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel
muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam
sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang
kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan
metabolisme sel dan fungsi organ.
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan
berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel
yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi
molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui 20
progeni sel. Defek kualitatif dan kuantitatif pada semua garis sel mieloid, yang
berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan sel normal.

Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan


menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker ini
kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya,
dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa
membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa
menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ
lainnya.

Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan


sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh
infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.
E. Diagnosis
- Gejala Klinis
Gejala pertama biasanya terjadi karena kegagalan bone marrow menghasilkan sel
darah yang normal dalam jumlah yang memadai dan atau akibat infiltrasi sel-sel
leukemik pada berbagai organ, Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari
jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Infeksi
sering terjadi, anemia dan trombositopenia sering berat. Durasi perjalanan
penyakit bervariasi. Beberapa pasien, khususnya anak-anak mengalami gejala
akut selama beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain mengalami durasi
penyakit yang lebih panjang hingga berbulan-bulan.Adapun gejala-gejala umum
yang dapat ditemukan pada pasien AML antara lain
a. Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata
mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Rata-rata
didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau
diagnosis AML dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga
beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia.
b. Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris
juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya
demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau
netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing,
mual dan tanda-tanda infeksi lain.
c. Perdarahan
Perdarahan berupa petechiae, purpura, lebam yang sering terjadi pada
ekstremitas bawah, dan penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah,
epitaksis, dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat
dengan beratnya trombositopenia.Pendarahan yang berat lebih jarang terjadi
kecuai dengan kelainan DIC.
d. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan
utama. Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia
akibat malaise atau kelemahan badan. e. Nyeri tulang Nyeri tulang dan sendi
didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri ini disebabkan oleh
infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang
mengakibatkan terjadi infark tulang. Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan
pada pemeriksaan fisik pasien AML

Tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML:

a. Kepucatan, takikardi, murmur


Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat
karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom
kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan
angina
b. Pembesaran organ-organ
Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa abnomen
atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita AML.
Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali
jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.
c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML. Kelainan kulit
yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan
general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel
leukemia.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Morfologi
Aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan rutin untuk
diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang
akurat, diperlukan setidaknya 500 sel Nucleated dari sumsum tulang dan 200
sel darah putih dari perifer. Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20%
diperlukan untuk diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21),
inv(16), atau t(16;16) yang didiagnosis terlepas dari persentase blast.
2. Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry,sering untuk menentukan tipe
sel leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang digunakan adalah
≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian besar penanda)
Tabel 2.1. 7,8 23
3. Sitogenetika
Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML dewasa.
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi.
4. Sitogenetika molekuler
Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridization) yang
juga merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal. Pemeriksaan ini
dapat mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom seperti
RUNX1-RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya
kromosom 5q dan 7q. 7,8
5. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan perluasan penyakit jika
diperkirakan telah menyebar ke organ lain.Contoh pemeriksaannya antara lain
X-ray dada, CT scan, MRI.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simtomatis, dan
kausatif. Tujuan dari terapi AML adalah untuk menghancurkan sel-sel leukimia
dan membirakan sumsum tulang untuk berfungsi secara normal lagi. Terapi
suportif
dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb
pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala
klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah
terapi kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam
tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi.
Terapi yang kini digunakan untuk pasien-pasien dengan AML adalah terapi
induksi, terapi konsolidasi dengan kemoterapi, dan transplantasi sel punca
hematopoietik. Karena penyakit ini berkembang dengan sangat cepat, maka
pasien yang sudah terdiagnosis harus segera diterapi. Terapi untuk AML dapat
dibagi menjadi 2 fase
:
1. Terapi Induksi
Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang didefinisikan
sebagai blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥ 100.000/μL. Terapi
induksi biasanya menggunakan kombinasi 2 jenis obat kemoterapi (cystosine
arabinoside atau cytarabine dan anthracycline antibiotic). Untuk pasien usia
18-60 tahun terapi yang diberikan adalah: Tiga hari anthracycline
(daunorubicin 60 mg/m2 , idarubicin 10-12 mg/ m2 , atau anthracenedione
mitoxantrone 10-12 mg/m2 ), dan 7 hari cytarabine (100-200 mg/ m2 infus
kontinu) atau dikenal dengan “3 + 7” merupakan standar terapi induksi.
Respons komplit tercapai pada 60-80% pasien dewasa yang lebih muda.
Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi yang diberikan serupa dengan pasien
yang lebih muda, terapi induksi terdiri dari 3 hari anthracycline (daunorubicin
45-60 mg/m2 atau alternatifnya dengan dosis ekuivalen) dan 7 hari cytarabine
100- 200 mg/m2 infus kontinu). Penurunan dosis dapat dipertimbangkan
secara individual. Pada pasien dengan status performa kurang dari 2 serta
tanpa komorbiditas, respons komplit tercapai pada sekitar 50% pasien.
Kedua jenis obat ini dimasukkan melalui CVC (Central venous catheter) atau
central line. Selama dilakukan terapi induksi, pasien juga diberikan
allopurinol. Allopurinol bukan obat kemoterapi. Obat ini diberikan untuk
membantu mencegah pembentukan kembali produk-produk sel leukimia yang
sudah hancur dan membantu ginjal untuk mengekskresikannya.
2. Terapi konsolidasi
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah kekambuhan
dan eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum tulang.Biasanya
untuk mencegah kekambuhan, digunakan regimen yang sama dan dosis
kemoterapi yang sama atau lebih tinggi seperti yang 27 digunakan pada terapi
induksi. Pada beberapa kasus dimana risiko kekambuhannya tinggi,
kemoterapi yang intensif perlu untuk dilakukan berbarengan dengan
transplantasi sel induk.
3. Tranplantasi sel induk
Untuk sebagian orang, dosis kemoterapi yang sangat tinggi atau radioterapi
dibutuhkan untuk menyembuhan dan efektif untuk menyembuhkan AML.
Efek sampingnya adalah kerusakan dari sumsum tulang dan sel induk darah
rusak dan perlu digantikan setelahnya. Pada kasus ini perlu dilakukan
transplantasi sumsum tulang dan sel induk darah perifer.

H. Prognosis
AML yang tidak diterapi bersifat fatal dengan median survival 11-20 minggu.
Saat ini penyakit ini sembuh (tidak terjadi kekambuhan dalam 5 tahun) pada 35-
40% pasien dewasa usia ≤ 60 tahun dan 5-15% pasien usia > 60 tahun.
LO 2 LEUKIMIA KRONIK

Leukimia Mielositik Kronik

A. Definisi
Leukemia mielositik kronik adalah penyakit mielopoliferatif dengan karakteristik adanya
peningkatan proliferasi sel induk hematopoietik mieloid pada berbagai stadium difensial.
B. Epidemiologi
Angka kejadian kasus Leukemia 20% terjadi pada usia dewasa. Selain itu, Leukemia
Mielositik Kronik merupakan kasus terbanyak ke 2 setelah Leukemia Limfositik Akut. Di
indonesia, Insidensi Leukemia sebanyak 1,5/100.000 penduduk/tahun. Lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan (2 : 1,2) dan umumnya terjadi pada usia 40-50
tahun.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
- Belum diketahui secara pasti
- Paparan radiasi
2. Faktor Risiko
- Usia lanjut lebih dari 50 tahun
- Paparan zat kimia tertentu (Benzene, Toluene, Xylen)
- Sindrom Down
- Radiasi Dosis Tinggi (tetapi jarang terjadi)
D. Pelarut Organik (Benzena/ C6H6)
Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan. (KEP–51/MEN/1999)

Benzene adalah salah satu zat kimia berbahaya yang terdapat pada lem sepatu. Berikut
ini NAB dari senyawa benzene.

Benzene (NIOSH)

Exposur NIOSH REL: Ca TWA 0.1 ppm ST 1 ppm


e Limits
OSHA PEL: TWA 1 ppm ST 5 ppm
Exposur Inhalation, Skin absorption, Ingestion, Skin or/and eye contact
e Routes

Target Organs Eyes, Skin, Resiratory system, Blood, Central, Nervous system,
Bone Marrow

Cancer Site Leukemia

Benzene yang terhirup atau masuk ke dalam tubuh secara terus menerus dan dalam
jumlah besar akan menyebabkan penghambatan maturitas sel darah dan terjadi translokasi
kromosom, yang dimana hal tersebut dapat membuat sel darah berubah menjadi sel kanker.
Menurut International Agent Research of Cancer (IARC) Benzena termasuk dalam
klasifikasi group 1 yang berarti bahwa benzena terbukti sebagai zat karsinogenik bagi
manusia. Sedangkan menurut ACGIH, benzena termasuk dalam klasifikasi A1 yang berarti
benzena sudah dikonfirmasi merupakan zat yang bersifat karsinogenik untuk manusia.

E. Patogenesis dan Patofisiologi


LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan
kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada lebih dari 90
% pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G
abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya
translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom
9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik,
eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel
limposit B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk
kebanyakan gambaran klinisnya.

Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q)
kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210,
yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin
kinase inilah yang menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya
LMK. Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang
memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2
kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan
pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor
abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK, khususnya fase
akselerasi dan blas.

F. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

1) Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan
sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan
darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit
meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat
seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.

2) Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi
yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).

Gejala fase akselerasi :

- Panas tanpa penyebab yang jelas.


- Spleenomegali progresif.
- Trombositosis.
- Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
- Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3) Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel
blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
sumsum tulang, dan pemeriksaan kromosom.
1. Pemeriksaan darah tepi Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis
(60%) dan kadang-kadang leukopenia (25%).48 Pada penderita LMA ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit.Pada penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari
50.000/mm3, 48 sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih dari
50.000/mm3.
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan keadaan
hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), terdapat
perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic
gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang.20 Pada penderita
LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari
total sel yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan
limfosit B.Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular
dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah
granulosit lebih dari 30.000/mm3.

3. Pemeriksaan kromosom
H. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Klinis
Penatalaksanaan klinis pada penyakit Leukemia Mielositik Kronik atau nama lainnya
Leukemia Granulositik Kronik terdiri dari 3 fase. Fase-fase tersebut yaitu fase kronis, fase
akselerasi, dan fase krisis blast. Obat-obatan yang digunakan terdiri dari hydroxyurea,
busulfan, imatinib mesylate, dan interferon alfa.

Hydroxyrea (Hydrea) merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada
LGK yang lebih efektif dibanding busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif
bertahan beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Dosis
30mg/kgBB/hari diberikan tunggal/dibagi 2-3dosis. Hentikan penggunaan bila leukosit
<8000/trombosit<100.000. Lakukan pemantauan hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan
fungsi hati selama pemakaian obat. Hydroxyrea ini tidak menyebabkan anemia aplastik dan
fibrosis paru seperti efek pada busulfan.

Busulfan (Myleran) merupakan golongan alkil yang sangat kuat. Obat ini tidak boleh
diberikan pada wanita hamil. Dosis 4-12mg/hari per oral. Hentikan jika leukosit antara
10.000-20.000/mm3 dan mulai kembali saat leukosit >50.000. Bila leukosit masih tetap
tinggi dapat disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.

Imatinib mesylate merupakan antibodi yang menghambat aktivitas tirosin kinase. Untuk
fase kronik dosis 400mg/hari, dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila setelah 3 bulan
pemberian tidak ada respon yang baik tetapi memburuk. Turunkan dosis jika terjadi
netropenia <500/mm3 atau trombositopenia <50.000/mm3 atau peningkatan SGOT, SGPT,
dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau krisis blas berikan langsung 800mg/hari. Tidak
boleh diberikan pada ibu hamil.

Interferon alfa diberikan dengan dosis 5juta IU/m2/hari, biasanya diberikan sesudah 12
bulan terapi. Penyuntikannya seminggu sekali secara subkutan. Sebelumnya diperlukan
premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome.
Selain obat obatan juga dapat diberikan terapi definitif seperti cangkok sumsum tulang.
Cangkok sumsum tulang ini dapat memperpanjang remisi hingga lebih dari 9 tahun. Indikasi
cangkok sumsum tulang yaitu usia tidak lebih dari 60 tahun, ada donor yang cocok, dan
termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan sokal.

LGK merupakan penyakit yang memiliki kompetensi 2, sehingga dokter umum harus
mampu menegakkan diagnosis klinik dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan selanjutnya dan juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2) Penalaksanaan Okupasi
Penatalaksanaan okupasi dibagi menjadi 3 yaitu secara teknis, administratif, dan medis.
Secara teknis berikan keadaan lingkungan yang baik seperti adanya ventilasi untuk sirkulasi
O2, mengganti lem yang berbahan karsinogenik (benzena) dengan bahan lain yang tidak
menyebabkan karsinogenik seperti toluena. Secara administratif pasien dapat diberikan
rekomendasi untuk pindah ke bagian yang tidak terpajan benzena atau bahan yang bersifat
karsinogenik. Secara medis berikan cuti sementara (Temporary Un Fit), lakukan
pemeriksaan berkala minimal 1 tahun sekali dan melalukan biomonitoring pada pegawai
yang terpajan benzena, sediakan dan buat aturan penggunaan APD secara wajib saat bekerja
untuk mengurangi pajanan, monitoring pegawai yang sudah terpapar benzena, edukasi rute
masuknya bahan kimia, dan ukur berapa kadar benzena di lingkungan kerja.

3) Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan di lingkungan kerja, yaitu:

- Melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja sebelum bekerja dan pemeriksaan berkala


sesuai hazard dan risiko yang diterima oleh pekerja.
- Memberikan health and safety induction pada seluruh pekerja.
- Edukasi mengenai kebersihan di tempat kerja.
Pajanaan benzena biasanya terjadi di lingkungan kerja sehingga pencegahan pajanan
benzenba dapat dilakukan dengan berbagai upaya antara lain dengan mengurangi atau
mengganti benzena dengan pelarut lainnya yang lebih aman. Mengurangi pajanan benzena
dengan menggunakan alat pelindung diri (APD). APD yang yang digunakan untuk pajanan
inhalasi benzena dengan konsentrasi kurang atau sama dengan 10 ppm, 50 ppm, dan 100
ppm tipe masker pelindung pernapasan yang digunakan berturut-turut adalah half mask
respirator with organic vapor cartridge, full faceplase with organic vapor cartridge, dan
full faceplase powered organic vapor carttridge. Selain masker, APD yang digunakan
adalah sarung tangan. Cara lain untuk meminimalisasi atau menghindari pajanan uap dari
benzena adalah meletakkan bahan tersebut pada ruangan yang memiliki ventilasi yang cukup
besar.

Pemeriksaan berkala pada pekerja yang berkontak langsung dengan benzena dalam waktu
yang lama adalah dilakukan pemeriksaan metabolit benzena dalam darah secara berkala.

I. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad malam

Quo ad Funtionam : dubia ad malam

Karena harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun

30% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun

Anda mungkin juga menyukai