DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA).............................................................3
2.1.1. Definisi...................................................................................................3
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko......................................................................3
2.1.3. Patofisiologi............................................................................................4
2.1.4. Penegakkan Diagnosis............................................................................6
2.1.5. Tatalaksana.............................................................................................8
2.2. Komplikasi LLA pada Sistem Saraf Pusat....................................................9
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
i
BAB 1
PENDAHULUAN
Acute lymphoblastic leukemia adalah jenis kanker dan leukemia yang paling
umum pada anak di Amerika Serikat. Acute lymphoblastic leukemia menyumbang
74% dari kasus leukemia pada anak.1 Angka kejadian ALL di seluruh dunia
sekitar 876.000 orang pada 2015 dan mengakibatkan sekitar 111.000 kematian
yang Ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama yang berusia antara dua
dan lima tahun.2,3
Kelangsungan hidup anak-anak meningkat dari <10% pada 1960-an menjadi
90% pada 2015. Tingkat kelangsungan hidup tetap lebih rendah untuk bayi (50%)
dan orang dewasa (35%).4 Sebanyak 5.930 kasus ALL di Amerika Serikat akan
terjadi pada tahun 2019 yang mengakibatkan 1500 kematian. 5 Perkiraan
kelangsungan hidup 5 tahun adalah 68,6%.6 Angka kejadian ALL tertinggi adalah
di Italia, Amerika Serikat, Swiss, dan Kosta Rika. Prekursor sel B ALL telah
meningkat sekitar 1% setiap tahun di negara yang ada di Eropa.2,7
Kanker ini merupakan jenis dari kanker garis limfoid sel darah yang
ditandai dengan perkembangan sejumlah besar limfosit imatur.8 Gejala yang
biasanya muncul pada pasien ALL adalah cepat lelah, pucat, demam, mudah
berdarah atau memar, pembesaran kelenjar getah bening, atau nyeri tulang. Acute
lymphoblastic leukemia berkembang dengan cepat dan biasanya berakibat fatal
dalam beberapa minggu atau bulan jika tidak diobati.9
Penyebab ALL pada kebanyakan kasus tidak diketahui, tetapi faktor risiko
genetik termasuk sindrom Down, Li-Fraumeni, atau neurofibromatosis tipe 1
berperan dalam terjadinya ALL. Faktor lingkungan seperti paparan radiasi yang
signifikan atau kemoterapi sebelumnya. Bukti mengenai medan elektromagnetik
atau pestisida tidak jelas. Beberapa berhipotesis bahwa respons imun abnormal
terhadap infeksi umum mungkin menjadi pemicu terjadinya ALL.4
Mekanisme yang mendasarinya melibatkan banyak mutasi genetik yang
menghasilkan pembelahan sel yang cepat. Limfosit imatur yang berlebihan di
sumsum tulang mengganggu produksi sel darah merah, putih, dan trombosit baru.
1
Diagnosis biasanya didasarkan pada pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum
tulang. Tingkat kelangsungan hidup yang menguntungkan adalah karena tingkat
kesembuhan ALL yang tinggi pada anak. Prognosis menurun dengan
bertambahnya usia, dan usia rata-rata saat meninggal adalah 56 tahun.6,9
Tatalaksana ALL biasanya menggunakan inisial kemoterapi yang bertujuan
menghasilkan remisi kemudian diikuti oleh kemoterapi lebih lanjut yang biasanya
dilakukan selama beberapa tahun.10 Penatalaksanaan tambahan seperti kemoterapi
intratekal atau radiasi dilakukan jika penyebaran ke otak telah terjadi.
Transplantasi sel punca dapat digunakan jika penyakit muncul kembali setelah
pengobatan standar.4
Tingkat kelangsungan hidup jangka panjang pada anak LLA sudah
mencapai >85% karena perbaikan besar dalam pengobatan, tetapi 15-20% anak
masih mengalami kekambuhan. Relaps dapat terjadi di sumsum tulang atau di
lokasi ekstramedulla, seperti gonad atau sistem saraf pusat (SSP), yang
sebelumnya disebut sebagai ALL-blast sanctuaries.11
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat
keluarga, kelainan gen, dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi
Human T-cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu
saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir seperti berat lahir dan urutan lahir.
Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa anak-anak, pestisida,
fungisida serta sampo insektisida juga merupakan faktor risiko terjadinya LLA.15
Gangguan regulasi sitem imun sebagai respon dari infeksi saat beberapa
bulan pertama kehidupan juga dapat menginduksi terjadinya LLA pada masa
anak-anak. Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya leukemia
yaitu medan magnet, pemakaian marijuana, dan diet.15
2.1.3. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada leukemia berasal dari gugus sel (klonal),
kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan
diferensiasi. Sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip
permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel
leukemia itu berasal dari sel tunggal yang berproliferasi hingga mencapai jumlah
populasi sel yang dapat terdeteksi.8,15
Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui, namun pada penelitian
mengenai proses leukemiogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa
penyebabnya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA.
Kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi atau suatu kelainan genetik
tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler.9
Hal ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi
somatik yang mengakibatkan terbentuknya suatu klonal yang abnormal. Populasi
sel leukima yang semakin lama semakin banyak akan menyebabkan dampak
buruk bagi produksi sel normal dan mengganggu fungsi organ tubuh akibat
infiltasi sel leukemia.9
Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang sering terjadi pada
leukemia akut. Pansitopenia pada pasien leukemia terjadi akibat desakan populasi
sel leukemia.9 Sebagian kasus LLA juga dapat memiliki gambaran sumsum tulang
4
yang hiposeluler. Kematian pada leukemia akut umumnya terjadi akibat
penekanan sumsum tulang atau infiltasi sel leukemia ke organ tubuh pasien.16
5
Gambar 2. Perkembangan sel limfoid pada ALL berhenti di limfoblas (panah),
yang juga diproduksi berlebihan10
Langkah kedua dipicu oleh infeksi pada anak dengan respon imun yang
tidak normal karena mereka tidak terpapar infeksi pada beberapa minggu dan
bulan pertama kehidupan. Penurunan paparan infeksi awal ini dapat menjadi salah
satu hal yang menjelaskan kenapa ALL pada anak sering ditemukan di negara
maju. Sebagian besar leukemia yang terjadi setelah paparan radiasi adalah AML.15
2.1.4. Penegakkan Diagnosis
Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan
progresif seperti penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal
jantung akibat anemia. Pada LLA sering terjadi neutropenia yang menyebabkan
infeksi dan demam. Trombositopenia dapat menyebabkan perdarahan seperti
ptekie, ekimosis
atau manifestasi perdarahan lainnya.8
Keluhan pada sistem saraf pusat (SSP) ditimbulkan oleh infiltrasi sel
leukemia dengan gejala sakit kepala, kejang, mual dan muntah. Pemeriksaan fisis
dapat menunjukkan adanya limfadenopati, hepatomegali, dan atau splenomegali.
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:8,10
6
a. Pemeriksaan darah tepi.
1. Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi
normokromik normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi
leukemia yang lebih panjang, sedangkan kadar Hb yang tinggi
menunjukkan leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat.
2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat.
3. Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal.
4. Apusan darah tepi dapat menunjukkan adanya sel blas. Sel blas pada pasien
dengan leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak tampak.
Sel blas banyak ditemukan pada pasien dengan jumlah leukosit >10 x 10 3
/µL.
5. Pasien ALL sering mengalami penurunan jumlah neutrofil terlepas dari
apakah jumlah sel darah putih totalnya rendah, normal, atau meningkat
sehingga mereka mengalami peningkatan risiko infeksi.15 Prevalensi dan
keparahan infeksi berkorelasi terbalik dengan jumlah neutrofil absolut
yang didefinisikan sebagai jumlah neutrofil matang ditambah pita per
unit volume. Infeksi sering terjadi ketika jumlah neutrofil absolut
<500/μL dan sangat berat ketika <100/μL.17
b. Sumsum tulang
Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah <5%. Sediaan hapusan
sumsum tulang pada LLA menunjukkan peningkatan kepadatan sel dengan
trombopoesis, eritropoesis dan granulopoesis yang tertekan, disertai jumlah sel
blas >25%. Berdasarkan morfologi blas pada apusan sumsum tulang, French-
American British (FAB) membedakan LLA menjadi:
1. L1 : terdiri dari sel-sel limfoblast kecil serupa, dengan kromatin homogen,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
2. L2 : terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih besar tetapi ukurannya
bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
3. L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.
7
Sebanyak 90% kasus dapat didiagnosis dengan cara tersebut, namum
sebagian kasus memerlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu imunologi, sitokimia,
sitogenetika ataupun biologi molekuler. Pemeriksaan imunologi atau sering
disebut dengan imunophenotyping digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi
antigen seluler. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan sampel darah
perifer dan sumsum tulang untuk membedakan leukemia sel T atau sel B.
2.1.5. Tatalaksana
Pasien ALL harus menerima pengobatan suportif yang sesuai (transfusi
darah dan leukapheresis). Empat komponen pengobatan ALL adalah induksi,
konsolidasi, pemeliharaan, dan profilaksis sistem saraf pusat (SSP).16 Contoh
rejimen yang umum digunakan dalam pengobatan ALL meliputi: hyper-CVAD
(cyclophosphamide hyperfractionated, vincristine, doxorubicin Adriamycin, dan
deksametason), CALGB 8811, GRAALL-2005, Linker 4-drug, MRC
UKALLXII / ECOG2993, dan ALL-216. Pasien ALL memerlukan kemoterapi
induksi dan kontrol efek toksik dari kemoterapi. Intervensi bedah diperlukan
untuk penempatan kateter vena sentral, seperti triple lumen, Broviac, atau kateter
Hickman.18
Terapi induksi standar melibatkan rejimen empat obat vincristine,
prednisone, anthracycline, dan cyclophosphamide atau L-asparaginase atau
rejimen lima obat vincristine, prednisone, anthracycline, cyclophosphamide, dan
L -asparaginase yang diberikan selama 4-6 minggu.18
Remisi lengkap diperoleh pada 65-85% pasien yang menggunakan
pendekatan ini. Alternatifnya adalah rejimen hiper-CVAD yang didasarkan pada
keberhasilan yang dicapai dengan rejimen kemoterapi intensif jangka pendek pada
anak. Ini menggabungkan siklofosfamid hyperfractionated dan cytarabine (Ara-C)
dosis intensif serta methotrexate kombinasi dengan deksametason dan
vincristine.17
Terapi pemeliharaan terdiri dari prednison, vincristine, methotrexate, dan
mercaptopurine (Purinethol). Secara keseluruhan sebanyak 92% pasien
8
memperoleh resolusi lengkap. Kelangsungan hidup 5 tahun dan persentase
resolusi lengkap pada 5 tahun 38%.17
Pasien dengan Ph+ ALL memiliki tingkat resolusi lengkap 92% tetapi hanya
12% kelangsungan hidup 5 tahun. Pasien dengan sel T ALL memiliki tingkat
resolusi lengkap 75% dan kelangsungan hidup 5 tahun 48%. Pasien dengan
Burkitt ALL memiliki tingkat resolusi lengkap 93% dan kelangsungan hidup 5
tahun 67%.17
Modifikasi terbaru dari rejimen hiper-CVAD adalah penambahan inhibitor
tirosin kinase pada pasien leukemianya Ph +, dan rituximab pada pasien leukemia
positif CD20.10 Kedua pendekatan ini menghasilkan peningkatan kelangsungan
hidup bebas penyakit.17
Kecepatan penyakit pasien memasuki resolusi lengkap berkorelasi dengan
hasil pengobatan. Pasien yang mengalami resolusi lengkap dalam waktu 4 minggu
terapi memiliki kelangsungan hidup bebas penyakit dan secara keseluruhan lebih
lama dibandingkan remisi >4 minggu pengobatan.17
Pasien dengan terapi induksi hiper-CVAD biasanya menerima POMP
sebagai terapi pemeliharaan. Berbeda dengan pasien dengan AML dan ALL
sering mengalami leukemia meningeal pada saat kekambuhan. Sebagian kecil
pasien memiliki penyakit meningeal pada saat diagnosis awal sehingga profilaksis
SSP dengan kemoterapi intratekal sangat penting.17
9
Leukemia sering dikaitkan dengan leukositosis, trombositopenia, sepsis,
atau koagulopati. Stasis sejumlah besar sel dalam arteriol kecil menyebabkan
kerusakan vaskular dan perdarahan masif atau trombosis. Faktor ini dan agen
terapeutik tertentu seperti glukokortikoid dan L-asparginase yang digunakan
untuk tatalaksana tumor ini mempengaruhi kejadian serebrovaskular.20
10
Gambar 4. Anak laki-laki berusia 16 tahun mengalami perubahan sensoris yang
diikuti oleh hilangnya kesadaran. CT scan polos (A) menunjukkan lesi hyperdense
(panah) di daerah frontoparietal kanan, dengan edema substansia alba di
sekitarnya dan efek massa. Axial plain T1W MRI (B) pada level yang sesuai
menunjukkan hyperintense (panah) di pinggirannya karena adanya
methemoglobin intraseluler dan hipointensitas sentral (panah) karena
deoksihemoglobin.20
11
jumlah sinar X yang berbeda secara bermakna dari jaringan lunak di sekitarnya
sehingga struktur yang diamati dapat terlihat pada pemeriksaan radiografi.22
12
pada pembobotan T2 dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti cairan
cerebrospinal) akan tampak terang (hiperintens) dan jaringan dengan waktu
relaksasi T2 pendek (seperti lemak) akan tampak lebih gelap (hipointens). Selain
T1 dan T2, pembobotan lainnya adalah pembobotan PD, dimana pembobotan ini
merupakan gabungan antara pembobotan T1 dan T2.22
Leukemia SSP lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan leukemia akut
hiperleukosit, LLA dan M5 sering terjadi setelah remisi sempurna. Selama dua
dekade terakhir, uji klinis telah secara signifikan meningkatkan tingkat respons
pada pasien dengan leukemia. Orang dewasa dengan LLA memiliki peluang 60-
90% untuk mencapai remisi lengkap pertama setelah kombinasi kemoterapi.23
13
Gambar 7. Wanita 10 tahun tidak menjalani terapi ketika dia mengalami gaze
palsy dan kekakuan leher. Gambar dengan berat difusi serial ini menggambarkan
evolusi sebuah infark. Gambar MRI eADC (A) dan ADC (B) menunjukkan area
difusi terbatas (panah) di daerah parieto-oksipital kanan yang menunjukkan infark
akut. Gambar eADC (C) dan ADC (D) menunjukkan bukti atrofi parenkim, ruang
subarachnoid prominen, dan difusi di substansia alba (panah) yang menunjukkan
gliosis di wilayah yang sama.20
14
Gambar 8. Kejadian iskemik vaskular pada pasien LLA berusia 20 tahun
15
Gambar 10. MRI menunjukkan penebalan dan peningkatan intensitas sinyal difus
dengan peningkatan perineural dari saraf opic kiri dan infiltrasi lemak intrakonal24
Penebalan dan peningkatan saraf optik pada pasien dengan leukemia yang
dicurigai sebagai infiltrasi leukemia dan harus dibedakan dari neuritis optik.
Infiltrasi leukaemik pada saraf optik lebih sering terjadi pada anak-anak. Obat-
obat kemoterapi tidak dapat menembus sawar darah-otak dan invasi sel-sel
leukemia di kanal optik kecil dapat mengganggu aliran CSS.24
16
Gambar 12. Infiltrasi leukemik leptomeningeal pada ALL. Defek struktur
leptomeningeal di fossa posterior (panah); dilatasi cauda temporal25
17
Gambar 13. Pemeriksaan CT Scan sumsum tulang memiliki sinyal yang sangat
rendah (bandingkan tubuh vertebral -kotak kuning- dengan otot -kotak merah-)
dan terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang ditandai dengan (*). Spinal
cord, terutama di daerah serviks (panah hijau) tetapi juga di dua pertiga atas
daerah toraks (panah oranye) yang diperbesar, dengan peningkatan sinyal T224
18
Gambar 14. MRI, lokasi biopsi dan patologi wanita berusia 23 tahun dengan LLA.
(A) Lesi substansia alba lobus frontal kanan menjadi sasaran biopsi stereotactic.
(B) Hiperplasia sel glial; sejumlah besar sel foam dan inflamasi menginfiltrasi ke
daerah perivaskular. (C) Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan demielinisasi,
fraktur akson, dan degenerasi. Sel positif untuk protein asam glial fibrillary. (D)
T2-weighted MRI menunjukkan lesi sinyal T2 yang panjang pada lobus frontal
lateral paracele kanan dengan batas dan edema yang tidak jelas.23
19
Temuan MRI pada pasien dengan gangguan neurodegeneratif menunjukkan
proliferasi sel glial di sekitar lesi dan lesi white matter yang terlihat pada sinyal
T1 dan T2 yang panjang, sementara edema tidak tampak.23
Gambar 15. MRI dan biopsi seorang pria berusia 20 tahun dengan ALL. (A)
Biopsi stereotaktik mengambil 'cairan kistik merah kuning' dari lesi lobus frontal
kanan dengan jaringan yang rusak dan nekrotik muncul sebagai 'broken cotton'
yang gelap. (B) T1-weighted MRI dengan asam gadopentetik menunjukkan
beberapa lesi kecil pada korteks belahan otak bilateral dan subkortikal. (C) T1-
weighted MRI dengan asam gadopentetik menunjukkan beberapa lesi kecil di
belahan otak kanan. (D) MRI T2-weighted menunjukkan lesi sinyal T2 yang
panjang pada hemisfer serebri bilateral dengan batas yang tidak jelas dan edema
perilesional yang jelas.23
20
Penyakit dan terapi bersama dapat menyebabkan neutropenia dan
imunosupresi seperti status gizi buruk, lama tinggal di RS, kateter di dalam tubuh,
mucositis, dan lain sebagainya. Hal ini membuat anak rentan terhadap infeksi dari
berbagai organisme, terutama nonpogenik seperti jamur, mikobakteria, virues,
atau parasit. Jamur yang paling sering ditemui adalah Aspergillus dan Candida,
sedangkan virus herpes simplex (HSV1 atau 2) adalah virus yang paling umum.20
Gambar 16. MRI pada pasien berusia 3 tahun dengan kejang dan keluhan visual.
Gambar aksial T2W (A) menunjukkan dua lesi seperti SOL di lobus oksipital
bilateral, dengan intensitas sinyal heterogen (panah) karena pembengkakan gyral
dan edema materi putih. Gambar T1W koronal postcontrast (B) menunjukkan
peningkatan perifer serta peningkatan gyral pada lesi ini; fokus lain juga dicatat di
lobus oksipital kanan (panah). Gambar eADC yang sesuai (C) menunjukkan
bahwa lesi memiliki area difusi yang terbatas dan difasilitasi. Pasien ini menjalani
operasi dekompresi karena dia tidak menanggapi manajemen medis. Spesimen
bedah menunjukkan adanya hifa jamur.20
Organisme sering mencapai SSP dari tempat infeksi lain melalui penyebaran
hematogen. Patogen dapat mempengaruhi parenkim otak (fokus atau difus),
lapisan meningeal, atau ruang ekstra-aksial. Tanda dan gejala infeksi SSP
cenderung tidak ditemukan pada host imunokompromi karena berkurangnya
respons inflamasi, tetapi penyakit ini cenderung lebih menyebar dan sulit
disembuhkan dengan pengobatan serta perlu ditangani secara agresif. Pasien dapat
datang dengan sakit kepala, kejang, sensorium yang berubah, defisit neurologis
fokal, dan lain-lain.20
Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES) merupakan
komplikasi yang semakin dikenal dari banyak perawatan banyak kanker anak,
21
yang paling umum adalah leukemia. Persarafan simpatis yang buruk dari sirkulasi
posterior menyebabkan hilangnya autoregulasi otak. PRES paling sering ditandai
dengan hipertensi.20
Steroid yang diberikan selama terapi induksi leukemia sering menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Obat-obatan lain yang digunakan dalam pengobatan
leukemia (L-asparginase, cytarabine) dan imunosupresan (cyclosporine dan
tacrolimus) juga dikaitkan dengan PRES. Kebocoran pada lapisan endotel
menyebabkan edema vasogenik. Gambaran khas yang muncul adalah sakit kepala,
gejala visual, kejang, perubahan sensorium, dan/atau neurodeficit bersama dengan
peningkatan tekanan darah.20
22
BAB 3
PENUTUP
23
DAFTAR PUSTAKA
24
12. Alanazi A; Essa M. Pediatric Hematology and Oncology. Saudi Board
Pediatric Hematology and Oncology; 2017.
13. Kliegman R. M; et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia:
Elsevier Saunder; 2016.
14. Andreu PV; Roberts KG; Xu H; et al. A genome-wide association study of
susceptibility to acute lymphoblastic leukemia in adolescents and young
adults. Blood. 2015;125(4):680–6.
15. Greaves M. A causal mechanism for childhood acute lymphoblastic
leukaemia. Nat Rev Cancer. 2018;18(8):471–84.
16. Vora A. Childhood acute lymphoblastic leukemia. Cham: Springer
International Publishing; 2017.
17. National Comprehensive Cancer Network. Guideline NCCN Clinical
Practice Guidelines in Oncology: Acute Lymphoblastic Leukemia. NNCN.
2019;
18. Kantarjian H; Thomas D; O’Brien S; et al. Long-term follow-up results of
hyperfractionated cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, and
dexamethasone (Hyper-CVAD), a dose-intensive regimen, in adult acute
lymphocytic leukemia. Cancer. 2004;101(12):2788–801.
19. Kesler SR; Ogg R; Reddick WE; et al. Brain Network Connectivity and
Executive Function in Long-Term Survivors of Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia. Brain Connect. 2018;8(6):333–42.
20. Kembhavi SA; Somvashi S; Banavali S; et al. Pictorial essay: Acute
neurological complications in children with acute lymphoblastic leukemia.
Indian J Radiol Imaging. 2012;22(2):98–105.
21. Payne JH; Vora AJ. Thrombosis & acute lymphoblastic leukaemia. Br J
Haematol. 2007;138(4):430–5.
22. Rasad S. Radiologi Diagnostik. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.
23. Liu J; Wang Y; Sun X; et al. Lesions of the central nervous system in
leukemia: Pathological and magnetic resonance imaging features at
presentation in 14 patients. Oncol Lett. 2017;14(6):8162–70.
25
24. Frank Gaillard. Leukaemic infiltration of the spinal cord [Internet].
Radiopedia. Available from: https://radiopaedia.org/cases/leukemic-
infiltration-of-the-spinal-cord
25. Lupescu IG. Cranio-cerebral abnormalities in acute leukemia: current and
particular CT and MRI aspects. ECR. 2012;
26. Vázquez E; Lucaya J; Castellote A; et-al. Neuroimaging in pediatric
leukemia and lymphoma: differential diagnosis. Radiographics.
2011;22(6):1411–28.
26