Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah berasal dari sumsum tulang
yang ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi sel abnormal
dalam darah tepi. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya hemostasis tubuh
sehingga terjadi gangguan pada berbagai sistem organ.1 Leukemia merupakan kanker
dengan insiden paling tinggi pada anak.2 Leukemia akut adalah keganasan primer di
sumsum tulang, pada anak merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen
merupakan Leukemia Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik
akut (LMA).(Protokol, 2013) Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit
keganasan hematologi yang bersifat heterogen dan berciri khas infiltrasi progresif
dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai
limfoblas. (Protokol, 2013)
Berdasarkan data epidemiologi WHO didapatkan insiden leukemia akut di
dunia terjadi sekitar 2,4 kasus pada setiap 100.000 populasi per tahun. Sementara di
Indonesia, insiden leukemia akut diprediksi sekitar 3,4 kasus setiap 100.000 populasi
per tahun. Leukemia menyebabkan kematian pada anak-anak.3 Di seluruh dunia,
insidensi LLA tertinggi yaitu di Italia, Amerika Serikat, Swiss, dan Kosta Rika.
Insidensi kejadian LLA di Amerika Serikat pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 1,57
per 100.000 penduduk, dengan sekitar 5960 kasus baru terdiagnosis pada tahun 2021
dengan 1580 kematian (Medscape, How, Sie). Di Indonesia diperkirakan terdapat
3000 kasus LLA baru pada anak setiap tahunnya. (Protokol 2013).
Leukemia limfoblastik akut dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk
morfologi dan subtipenya menjadi LLA L-1, L-2, dan L-3 dan Sel-B leukemia
limfoblastik akut dan Sel-T leukemia limfobalastik akut. Kerentanan genetik dan
faktor lingkungan diketahui memiliki peran dalam terjadinya LLA. Diagnosis LLA
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa
karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang, jika
mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping. *Tatalaksana yang diberikan
umumnya yaitu dengan pengobatan kemoterapi dan transplantasi sumsum tulang pada
sebagian kasus yang terindikasi.5 Pengobatan kemoterapi terdiri dari obat sitostatika
dan terdiri dari beberapa tahap yaitu fase induksi, konsolidasi, intensifikasi, dan
rumatan (pemeliharaan/perawatan) (protocol). Prognosis LLA secara keseluruhan
tingkat kelangsungan hidupnya yaitu sekitar 80-98% di subset tertentu dari pasien.
Prognosis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, ras etnis, subtipe
penyakit, respon terhadap terapi induksi, dll.
SKDI leukemia akut adalah 2, artinya lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan. Oleh karena itu, penulis menulis laporan kasus ini
dengan tujuan untuk memberikan wawasan tentang leukemia limfoblastik akut pada
tenaga kesehatan agar leukemia akut dapat dikenali dengan baik dan dapat dirujuk
dan ditatalaksana dengan tepat dan cepat.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Leukemia Limfoblastik Akut


3.1.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan hematologi yang bersifat
heterogen dan ditandai dengan proliferasi dari sel limfoid imatur dalam darah tepi,
sumsum tulang, dan organ lain.(nccn, malard). Mayoritas LLA terjadi pada individu
yang sehat dengan faktor predisposisi, seperti kerentanan genetik herediter atau
paparan lingkungan. Hal ini ditandai dengan kelainan kromosom dan perubahan
genetik yang terlibat dalam diferensiasi limfoid dan sel-sel prekursor proliferasi
(mallard, thiago).
3.1.2. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut berkembang pada anak-anak maupun dewasa,
dengan insidensi tertinggi pada usia 1-4 tahun, kemudian menurun tajam pada usia 5-
14 tahun, remaja, dan dewasa muda usia 15-39 tahun, dan mencapai titik terendah
pada usia 25-45 tahun (howlader, mallard). LLA merupakan tipe leukemia akut yang
paling umum terjadi pada anak yang menyumbang 75-80% kasus leukemia akut
(nccn). Sekitar 60% kasus LLA terdiagnosis dibawah usia 20 tahun. LLA lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 1,2:1 (siegel).
Di seluruh dunia, insidensi LLA tertinggi yaitu di Italia, Amerika Serikat, Swiss,
dan Kosta Rika, di Eropa prekursor sel B LLA telah meningkat sekitar 1% setiap
tahun. Insidensi kejadian LLA di Amerika Serikat pada tahun 2014 diperkirakan
sekitar 1,57 per 100.000 penduduk, dengan sekitar 5960 kasus baru terdiagnosis pada
tahun 2021 dengan 1580 kematian (Medscape, How, Sie). Di Indonesia diperkirakan
terdapat 3000 kasus LLA baru pada anak setiap tahunnya. (Protokol 2013).
3.1.3. Faktor Predisposisi (Elsevier)
Meskipun sebagian besar leukemia limfoblastik akut muncul pada individu
yang sehat, kerentanan genetik yang diturunkan dan faktor risiko lingkungan telah
diidentifikasi pada beberapa pasien.
Kerentanan genetik
• Sindrom kongenital: sindrom Down, anemia Fanconi, telangiectasia ataksia,
sindrom Bloom, sindrom kerusakan Nijmegen
• Varian gen yang diwariskan: ARID5B , IKZF1 , CEBPE , CDKN2A atau
CDKN2B , PIP4K2A , ETV6
• Translokasi Robertsonian konstitusional antara kromosom 15 dan 21, rob(15;21)
(q10;q10)
• Polimorfisme nukleotida tunggal: rs12402181 di miR-3117 dan rs62571442 di
miR-3689d2
Faktor lingkungan
• Paparan pestisida
• Radiasi pengion
• Infeksi lanjut masa kecil; Kinlen LJ (1995) Epidemiological
• Higienis dan sanitasi; Greaves M (2006) Infection

3.1.4. Klasifikasi (hematologi rinkas prof imade bakta + undip)


Menurut FAB (Frech, British, and America) Leukemia limfoblastik akut
dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk morfologinya menjadi tiga, yaitu :

 L-1 : LLA dengan sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen,
nukleolus umumnya tidak tampak, dan sitoplasma sempit. Menyumbang 84%
kasus dari LLA
 L-2 : LLA dengan sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, inti
ireguler, kromatin bergumpal/lebih kasar, sitoplasma yang banyak dengan satu
atau lebih nukleolus. Menyumbang 15% kasus dari LLA
 L-3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sel limfoblas besar, homogen
dengan kromatin berbercak dengan sitoplasma yang basofilik dengan banyak
vakuola. Menyumbang 1% kasus dari LLA

Menurut WHO 2016, LLA dapat diklasifikasikan berdasarkan subtipenya


(sitogenetik dan imunofenotipik) menjadi 2, yaitu :
 Sel-B leukemia limfoblastik akut (88% kasus LLA pada anak)
o Sel-B leukemia limfoblastik akut dengan abnormalitas genetik berulang
 Leukemia limfoblastik sel B dengan t(9;22)(q34.1;q11.2); Fusi BCR-ABL1
(Kromosom Philadelphia; 2-4% dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan t(v;11q23.3); KMT2A yang disusun
kembali (8% dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan t(12;21)(p13.2;q22.1); Fusi ETV6-
RUNX1 (22% dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan hiperdiploid (> 50 kromosom; 25%
dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan hypodiploid (< 44 kromosom; 1% dari
anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan t(5;14)(q31.1;q32.3); Fusi IL3-IGH (<
1% dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan t(1;19)(q23;p13.3); Fusi TCF3-PBX1
(6% dari anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan translokasi yang melibatkan tirosin
kinase atau reseptor sitokin, BCR-ABL1-like (Entitas Sementara) (15% daru
anak dengan LLA)
 Leukemia limfoblastik sel-B dengan iAMP21 (amplifikasi
intrachromosomal dari kromosom 21) (entitas sementara) (2% dari anak
dengan LLA)
o Sel-B leukemia limfoblastik akut tidak spesifik lain
 Defek genetik IKZF1 (IKAROS) (15 -20% dari anak dengan LLA sel-B)
 Sel-T leukemia limfoblastik akut
o Leukemia limfoblastik prekursor sel-T awal (Entitas Sementara) (2% kasus
LLA dan 12% dari semua kasus LLA sel-T pada anak)
o Leukemia limfoblastik sel pembunuh alami (Natural Killer) (Entitas
Sementara)
o
3.1.5. Patofisiologi (fujita,2021)
Leukemia dan kanker lainnya memiliki karakteristik biologis yang sama yaitu
klonalitas. Perubahan molekuler diperlukan untuk perkembangan kanker dan mereka
dapat mengubah komponen dari jalur pensinyalan, yang mengarah pada emisi sinyal
proliferasi, bahkan ketika tidak ada lagi sel yang dibutuhkan, yang mengaktifkan
pertumbuhan sel, replikasi DNA, dan pembelahan sel secara tidak tepat [11].
Perkembangan penyakit keganasan hematologi mungkin melibatkan mutasi
pada gen penting dari proliferasi sel, diferensiasi dan/atau kelangsungan hidup dalam
progenitor hematopoietik [24]. Sebagian besar mutasi leukemia didapatkan dan
terjadi pada progenitor sel limfoid; gen yang bermutasi lebih jarang diwariskan (1-5%
leukemia) dan ini melibatkan kelainan kromosom numerik, seperti trisomi 21 [25].
Ketika onkogen diaktifkan oleh mutasi, protein yang dikodekan dimodifikasi
secara struktural dan umumnya menunjukkan peningkatan aktivitas transformatif,
tetap dalam keadaan aktifnya, terus menerus mentransmisikan sinyalnya melalui
interaksi tirosin dan/atau treonin kinase. Sinyal-sinyal ini menginduksi proliferasi sel
yang terus berlanjut [11].
Ada mutasi yang menekan fungsi gen dan terjadi pada gen supresor tumor,
seperti TP53. Namun, kurang dari 3% pasien anak-anak dan rata-rata 8% pasien ALL
dewasa memiliki mutasi pada TP53 [26].
Kelainan kromosom numerik serta penataan ulang struktural (translokasi)
sering terjadi pada ALL. Abnormalitas sitogenetik yang signifikan pada prekursor sel
B berhubungan dengan prognosis ALL yang buruk, termasuk kromosom t (9; 22)
atau Philadelphia, dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan usia [27]; t (4; 11),
terkait dengan gen leukemia garis keturunan campuran (MLL), umum pada masa
kanak-kanak dan juga terkait dengan leukemia myeloid [28, 29]; hipodiploidi [30];
dan trisomi kromosom 8 pada orang dewasa yang didiagnosis dengan ALL [31].
Selain itu, perubahan genetik yang terkait dengan ALL terutama terlokalisasi
di lokasi di mana onkogen ada, misalnya: onkogen MLL MLL terkait dengan ALL
pada anak-anak [32]; t (8; 14) translokasi terkait dengan disregulasi gen dari onkogen
C-MYC [33]; Mutasi gen penekan tumor TP53 [34]; dan penghapusan dan inversi,
seperti penghapusan faktor transkripsi PAX5, hadir di setidaknya 30% dari sel B
prekursor ALL [35].
Metilasi yang menyimpang dari pulau CpG di daerah promotor gen telah
diidentifikasi di semua garis sel dan dianggap penting karena metilasi dinukleotida
CpG di dekat situs inisiasi transkripsi dapat membungkam ekspresi gen [36]. Dengan
demikian, hipermetilasi gen supresor tumor dan hipometilasi onkogen dapat memicu
leukemia.
Mekanisme penting lainnya dari perkembangan ALL adalah modifikasi
angiogenesis [37], transduksi sinyal dalam interaksi dengan reseptor tirosin kinase
dan molekul pengatur apoptosis [38], seperti halnya gen BCL2, yang mengkode
protein sitoplasma yang terletak di mitokondria dan meningkatkan kelangsungan
hidup sel dengan menghambat apoptosis.
Ada kasus komplikasi dari pengobatan jangka panjang yang diamati pada
pasien kanker, yang merupakan peningkatan risiko mengembangkan keganasan
hematologis [39]. Mereka biasanya bermanifestasi sebagai leukemia akut atau
sindrom myelodysplastic dan sering tinggi, mungkin karena peningkatan penggunaan
agen genotoksik dalam terapi antitumor dan peningkatan kelangsungan hidup pada
kanker lain [40].
Semakin banyak bukti mendukung proses multi-langkah dalam
leukemogenesis, dengan langkah-langkah berurutan dan serangkaian perubahan
onkogen, gen supresor tumor dan gen microRNA dalam sel tumor [24, 41]. Tidak
seperti gen yang terlibat dalam perkembangan kanker, gen untuk microRNA tidak
mengkodekan protein; produk mereka adalah molekul RNA kecil (untai tunggal 21-
23 nukleotida) yang mengenali dan mengikat urutan nukleotida messenger RNA
(mRNA), menghalangi terjemahan protein dan dengan demikian mengatur ekspresi
gen [41, 42].
Beberapa microRNAs telah terlibat dalam SEMUA patogenesis [43 45].
Dalam konteks ini, Li, Li [46] mengidentifikasi peningkatan ekspresi microRNA
miR-708, miR-210 dan miR-181b dalam sel ALL prekursor B-line (ALL umum).
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa ekspresi miR-708 terkait dengan kelompok
ALL berisiko tinggi, jika dibandingkan dengan kelompok berisiko rendah, dengan
mengatur ekspresi reseptor faktor neurotropik silia (CNFTR), neuronatin (NNAT)
dan pengikatan nukleotida guanin. gen protein subunit gamma (GNG12).
Perubahan molekuler yang diperlukan untuk perkembangan leukemia adalah
fenomena langka ketika mempertimbangkan sejumlah besar sel target yang rentan
terhadap modifikasi genetik [24]. Penting untuk disebutkan bahwa ketika mengacu
pada asal kanker, dalam kasus ALL, dua istilah harus dirujuk: sel asal dan sel induk
leukemia.
3.1.6. Diagnosis

Diagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium


berupa pemeriksaan darah tepi, karakteristik morfologi, dan pemeriksaan sitokimia
dari aspirasi sumsum tulang. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan
immunophenotyping.
Manifestasi Klinis
Manifestasi biasanya tidak spesifik, diantaranya yaitu : (Elsevier, rubnits,
nccn)

 Nyeri tulang atau sendi seringkali merupakan satu-satunya gejala yang


muncul pada anak-anak
 Gejala konstitusional (misalnya, demam, keringat malam, penurunan berat
badan)
 Kelelahan atau kelesuan
 Dispnea
 Pusing
 Mudah memar atau berdarah (misalnya gusi berdarah, epistaksis)
 Limfadenopati
 Distensi atau ketidaknyamanan perut
 Ruam kulit
 Parestesia (misalnya, dagu mati rasa) dengan keterlibatan sistem saraf pusat
 Pembengkakan testis
 Infeksi berulang

Pemeriksaan fisik (Inaba 9)


Temuan fisik mungkin termasuk:
Muka pucat
Ekimosis atau petechiae
Ruam kulit
Limfadenopati
Splenomegali
Hepatomegali
Massa perut (terkait dengan keterlibatan gastrointestinal)
Massa testis
Pemeriksaan testis direkomendasikan untuk semua pasien pria; keterlibatan testis
paling umum dalam bentuk penyakit sel T

Laboratorium

CBC dengan diferensial 1

 Leukopenia, anemia, dan / atau trombositopenia mungkin ada 16

 Leukostasis (jumlah WBC lebih dari 100 × 10⁹ sel/L) jarang terjadi pada
pasien dengan leukemia limfoblastik akut; saat ditemukan, itu
mengindikasikan keadaan darurat medis dan membutuhkan perawatan segera 1
Aspirasi Sumsum Tulang
- Pada analisis, ditemukannya 20% atau lebih limfoblas pada sumsum tulang
dapat menegakkan diagnosis LLA.

 Diagnosis akut leukemia limfoblastik bergantung pada evaluasi


hematopathologic, immunophenotyping komprehensif, dan penilaian
sitogenetik atau molekul kelainan 1

 Pewarnaan Wright-Giemsa dari apusan aspirasi dan pewarnaan hematoxylin-


eosin dari biopsi inti dan bagian bekuan menentukan persentase limfoblas di
antara sel-sel berinti di sumsum tulang
o Diagnosis akut leukemia limfoblastik dibuat jika 20% atau lebih dari
limfoblas sumsum tulang yang hadir dalam sampel 1
 Imunofenotip sitometrik aliran komprehensif menentukan keberadaan antigen
permukaan sel pada limfosit
o Memungkinkan klasifikasi menjadi 3 kelompok besar berdasarkan
imunofenotipe: prekursor leukemia limfoblastik akut sel B, leukemia
limfoblastik akut sel B matang, dan leukemia limfoblastik akut sel T
 Sitogenetika konvensional (yaitu, kariotipe), pengujian hibridisasi in situ
fluoresensi interfase, dan tes reaksi berantai transkripsi balik mengidentifikasi
kelainan genetik
o Menentukan subtipe leukemia limfoblastik akut untuk stratifikasi
risiko dan perencanaan perawatan
3.1.7. Diagnosis Banding (Elsevier)
Leukemia Mielogen Akut (Terkait: Leukemia Mielogen Akut )
Keganasan ditandai dengan kelebihan produksi sel-sel prekursor myeloid awal
(yaitu, myeloblasts, monoblasts, megakarioblas), sering dengan
mengesampingkan garis sel lain, mengakibatkan anemia, trombositopenia, dan
neutropenia
Bentuk leukemia kedua yang paling umum di masa kanak-kanak
Tanda dan gejala klinis tidak dapat dibedakan dari leukemia limfoblastik akut
Namun, infiltrasi kulit dan hipertrofi gusi mungkin lebih sering terjadi pada
leukemia myelogenous akut
Dibedakan terutama berdasarkan hasil morfologis, imunohistokimia, dan
imunofenotipik dari biopsi aspirasi sumsum tulang
Anemia aplastik (Terkait: Anemia Aplastik ) 20
Sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia
Anemia aplastik dapat mendahului leukemia limfoblastik akut pada anak-anak
Tanda dan gejala klinis tidak dapat dibedakan dari leukemia limfoblastik akut
Dibedakan atas dasar CBC dengan diferensial dan analisis limfosit dan aspirasi
sumsum tulang dan temuan biopsi 21
Ditandai dengan anemia normokromik normositik (konsentrasi hemoglobin sel
darah rata-rata normal dan volume sel darah rata-rata) atau anemia makrositik
(peningkatan volume sel darah rata-rata) bersama dengan neutropenia,
trombositopenia, dan retikulositopenia
Sumsum tulang pengurangan menunjukkan biopsi cellularity hematopoietik
kurang dari 30%, dengan sel-sel lemak menggantikan sel-sel hematopoietik 21
Reaksi leukemia (limfositosis reaktif)
Leukositosis ditandai yang mungkin terjadi sebagai respons terhadap infeksi
(misalnya, mononukleosis, pertusis, infeksi sitomegalovirus)
Seperti leukemia limfoblastik akut, dapat muncul dengan gejala konstitusional
nonspesifik dan limfositosis
Tidak seperti leukemia limfoblastik akut, mungkin memiliki gejala dan tanda
tambahan yang menunjukkan infeksi yang mendasari dan hasil serologi virus
atau kultur nasofaring yang positif.
Dibedakan berdasarkan CBC dengan analisis diferensial dan limfosit dan temuan
biopsi aspirasi sumsum tulang
Pada infeksi virus, limfositosis disebabkan oleh kelebihan proliferasi limfosit
dewasa, sedangkan leukemia limfoblastik akut ditandai dengan peningkatan
jumlah limfosit imatur (blas).
Biopsi sumsum tulang menunjukkan hematopoiesis normal

3.1.8. Tatalaksana
Gambar 1. Alur Penggunaan Protokol LLA Indonesia-2013.
Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika

 Awal terdiagnosis, hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2


ml/kg/jam. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan, bila perlu beri
furosemide

 Transfusi dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl


selama pelaksanaan kemoterapi. Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika
adalah > 8 g/dl.Namun setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi
komponen sel darah merah diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl
(oksigenasi jaringan dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 – 12 g/dl )

 Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3, beri
transfuse komponen trombosit. Dianjurkan untuk memeriksa immature platelet
fraction (IPF). Bila ada trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan
mutlak diberi transfusi konsentrat trombosit. Jika trombositopenia
berkepanjangan, dapat diberikan transfusi trombosit bersamaan tindakan
intratekal (IT), atau segera setelah selesai melakukan IT.
 Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang
disebabkan karena faktor koagulasi, yang dibuktikan dengan pemanjangan dari
jalur intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis

 Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai


kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan,
jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube).

 Pengendalian infeksi
o Wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien.
o Periksa rutin dan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi, hindari
terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok gigi terlalu
keras.
o Tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat
azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat
sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal
3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan,
pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
o Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke
dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi
pada saat sakit dan tiap 6 bulan.
o Konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi
o Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg
selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5
mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
o Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan
20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu
merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari
jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi.

 Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan, setelah


induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid.
o Pemeriksaan status nutrisi termasuk :
- Anamneses riwayat tumbuh kembang
- Antropometri
o Berat badan dan tinggi badan diukur dengan menggunakan WHO growth
chart.

 Pemeriksaan laboratorium : evaluasi hitung jenis Na, K Ca, P, ureum, kreatinin,


albumin, SGOT, SGPT. bilirubin direk, bilirubin total, asam urat, pH urin

Pemberian Sitostatika

1. Fase Induksi
Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari Prednisone
(PRED), Vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan
Methotrexate (MTX) intratekal.
Prednisone (PRED) :

 Digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT)


 Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m 2 per oral dibagi dalam 3
dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m 2 selama 5 minggu.
Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis
sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42/minggu ke-6.
 Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap.

Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus diwaspadai
terjadinya risiko rebound cell (hematogones).
Gambar 1. Terapi Sitostatika Fase Induksi Risiko Biasa
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan
MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai negatif
3x berturut-turut.
RISIKO TINGGI
Fase Induksi

Gambar 2. Terapi Sitostatika Fase Induksi Risiko Tinggi


Vinskristin (VCR) :

 Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 1, 14, 21, 28, 35 pada RB
(dalam 10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
 Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 pada
RT (dalam 10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR) intravena :

 Pada RB diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28 dengan dosis


30 mg/m2.
 Pada RT diberikan dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28, 35,
dan ke 42(DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip IV
dalam 1 jam). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan
Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.
L-Asparaginase (L-Asp) (Jenis L-Asp E. coli) :
 Pada RB dan RT diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga akhir minggu
ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT
 Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian
dalam 2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT
 Dosis 7.500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya
meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.
 Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau
IM dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp
diaspirasi dalam syringe, ditambahkan 0,5 – 1 ml lidocain dalam syringe yang
sama (tidak dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan IM pelahan-
lahan.
 Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20.000 IU/m2/dosis atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis.
 Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase
reinduksi.
 Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi
trombosit terlebih dahulu.
 Penggunaan L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat,
pankreatitis atau hiperglikemia simtomatis.
 Jika sudah mencapai nilai normal, L-Asp bisa dilanjutkan Kembali dan dapat
diberikan setengah dosis.

Metotreksat (MTX) triple drug intratekal :

 Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28.


 Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan
3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Umur Dosis
< 1 tahun 6 mg/kali
1 tahun 8 mg/kali
2 tahun 10 mg/kali
≥ 3 tahun 12 mg/kali
2. Fase Konsolidasi

Fase Konsolidasi

RISIKO TINGGI
Fase Konsolidasi
Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)dengan
leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.
HD-MTX :

 Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
o Lekosit ≥ 2000/mm3
o Trombosit ≥ 75000/ mm3
o Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
o Peningkatan kimia enzim hati (SGPT tidak lebih dari 10 kali dari batas atas
nilai normal).
o Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
o Tidak ada infeksi, diare, mucositis
o Tidak ada gangguan kencing
 Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
 Saat pemberian HD-MTX
o Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2
/24 jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine < 8.
o Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama
24 jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-
MTX, diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam. Tanda-tanda
toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas
pada liver (>5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian 20
tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada
saat pemberian HD-MTX.
o Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti
gagal liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX
dan semuanya ditunda.
o Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID),
dan penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15
mg/m2 iv pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
o Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal
dapat ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam
hari saat perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah
makan malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama
pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal :

 Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28


 Dosis yang digunakan tergantung umur (Tabel 1) (dikeluarkan 3-5 ml liquor).
 Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Cyclophosphamide :

 Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna
3. Fase Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.
Prednison (PRED) :

 Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4


minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi
separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.
Vincristine :

 Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam
10 ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
 Selesai intensifikasi, konsul neurologi.

Daunorubicin (DNR) intravena :

 Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam


IV).
Citarabine :

 Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam


seminggu.
Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3
mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.
MTX IT :

 MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan
konsolidasi).
4. Fase Rumatan (Pemeliharaan/Perawatan)
Fase rumatan dimulai pada minggu ke-13 dan berakhir pada minggu ke-110
pada RB, sementara pada RT dimulai minggu ke-18 dan berakhir pada minggu ke-
118. Pemberian dosis yang tepat pada fase rumatan merupakan hal yang penting
untuk mendapatkan outcome yang baik dan bergantung pada kondisi sensitifitas anak
terhadap kemoterapi.
Persyaratan untuk mengawali fase rumatan, yaitu :

 Kondisi umum baik.


 Tidak ada infeksi.
 Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit
>50.000/mm3 tidak ada perdarahan.
 Fungsi hati dan ginjal baik.

6 MP dan MTX :

 Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal


yang dapat ditoleransi.
 Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan
dengan susu.
 Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.
 Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan
MTX ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia.
 Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir
pemberian 6-MP.
Deksametason :
 Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan
reaksi yang normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk
menurunkan ataupun menaikkan dosis

Catatan Penting : - Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat . - Pada
pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat berkaitan
dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping
cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi. 24 - Pada leukopenia persisten , yang
tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan
dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada
peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6 MP dan MTX.

Indikasi untuk adjusting dosis dan menurunkan dosis 6MP dan MTX :
- Lekopenia pada pasien tanpa cotrimoksazol. •Pada hitung lekosit 1000-
2000/mm3 :dberikan setengah dosis. •Nilai hitung lekosit < 1000/mm3hentikan
sitostatika sampai jumlah lekosit ≥2000/mm3 - Lekopenia pada pasien dengan
cotrimoksazol. •Lekosit< 2000/mm3 , pemberian cotrimoksazol dihentikan sementara
itu sitostatika dapat diteruskan jika kondisi anak stabil. •Setelah 1 minggu jika tidak
ada perubahan, 6-MP dan MTX dapat diberikan dengan dosis separuh. •Jika tidak ada
perubahan setelah pemberian sitostatika maka sitostatika dihentikan dan atau lakukan
aspirasi sumsum tulang untuk melihat kemungkinan terjadinya relaps. - Jika nilai
lekosit sudah > 2000/mm3 , 6-MP dan MTX dimulai dengan dosis normal dan 2
minggu kemudian dibericotrimoksazol. Ketika nilai lekosit dibawah
1000/mm3cotrimoksazol dan sitostatika harus dihentikan sampai nilai lekosit kembali
≥ 2000/mm3 . - Pada infeksi berat atau kecurigaan infeksi berat maka pengobatan
fase rumatan untuk sementara dihentikan. - Gangguan fungsi liver 25 •Gangguan
fungsi hati ini sering terjadi selama masa pengobatan. Sepanjangnilai bilirubin
normal, peningkatan nilai SGOT dan SGPT tidak merubah terapi. •Bila terjadi
gangguan fungsi hati disertai demam, hepatomegali, kadar bilirubin ≥ 2.0 mg/dl,
merupakan indikasipenghentian sitostatika dan dilakukan pemeriksaan untuk mencari
penyebab infeksi . •Pada kasus asimptomatik dengan bilirubin 1.3-2.0 mg/dl dan
SGPT 80-150 IU/L dan kondisi klinis baik, maka kemoterapi dapat dilanjutkan tanpa
perhatian khusus. •Apabila tetap ada gangguan fungsi atau kambuh berulang dalam
kurun waktu 6 bulan ( berarti sitostatika dihentikan beberapa kali) ,lakukan tes
diagnostikpatologi hati. Indikasi meningkatkan dosis 6-MP dan MTX - Jika jumlah
hitung lekosit ≥4000.mm3 , pastikan pasien betul-betul meminum obatnya.Bila
terjadi ketidakpatuhan, maka dosis ke 2 obat tersebut dapat dinaikkan hingga 20%
untuk 6 minggu kedepan.

Pungsi lumbal dan obat intratekal - Selama tahun pertama pengobatan rumatan ,
MTX intratekal (triple drug MTX/Deksametason/Ara-C) dimasukkan selang 8
minggu.MTX yang dimasukkan harus tanpa pengawet (MTX-SP) (without
preservative).Jika tidak ada liquor yang keluar saat pungsi lumbal, maka obat
intratekal jangan diberikan. - Berhati-hatilah dengan pemberian MTX-SP karena
tanpa pengawet, bakteri dapat tumbuh, sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk
keesokan harinya.Setelah pemberian intratekal, pasien berbaring datar, dengan kepala
sedikit lebih rendah, agar obat terdistribusikan ke seluruh ruang meningeal.Ini untuk
memastikan bahwa efeknya sebagai anti leukemik dan juga mencegah efek tingginya
konsentrasi MTX di area conus dari mielum. Catatan : 26 Perubahan obat harus
dihindari, misal jika vincristine diberikan secara intratekal, pasien akan menderita
atau meninggal karena mielopati dan deserebrasi. Vincristine jangan pernah ada di
ruang lumbal pungsi
3.1.9. Komplikasi (Elsevier)

 Keterlibatan sistem saraf pusat dapat menyebabkan meningitis, kloroma,


perdarahan intrakranial, dan sindrom hipotalamus
 Lesi massa mediastinum dapat menyebabkan efusi perikardial dan sindrom
vena cava superior
 Infeksi oportunistik dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit itu sendiri atau
pengobatan 30
 Lisis tumor sindrom dapat dipicu oleh kemoterapi 1
o Pasien dengan jumlah WBC yang tinggi sebelum terapi induksi
memiliki risiko lebih tinggi terkena sindrom lisis tumor
o Lisis sel darah putih masif menyebabkan hiperurisemia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia, dan hipokalsemia dengan konsekuensi gagal ginjal,
aritmia jantung, dan terkadang kematian.
o Menghasilkan neutropenia berkepanjangan (berlangsung hingga satu
bulan atau lebih), di mana pasien rentan terhadap infeksi yang
mengancam jiwa
 Toksisitas terkait obat 1 6
o Pengobatan asparaginase dapat menyebabkan hipersensitivitas,
pankreatitis, dan komplikasi tromboemboli
o Mercaptopurine dapat menyebabkan toksisitas hematologi yang parah
pada pasien dengan defisiensi S-methyltransferase yang diturunkan
(mutan homozigot) 31
o Antrasiklin dapat menyebabkan kardiotoksisitas
o Terapi kortikosteroid dikaitkan dengan berbagai efek samping,
termasuk diabetes, gangguan mood, dan osteonekrosis
o Terapi yang diarahkan pada sistem saraf pusat dikaitkan dengan
berbagai efek samping, termasuk:
 Kejang (efek samping akut yang paling umum)
 Sindrom mirip stroke (dapat disebabkan oleh metotreksat IV
intratekal dan dosis tinggi)
 Efek samping yang terlambat
 Gangguan neuroendokrin
 Leukoensefalopati
 Neoplasma sekunder
 Gangguan neurokognitif
 Komplikasi metabolik terkait pengobatan jangka panjang (misalnya,
kelebihan berat badan, obesitas, penyakit kardiovaskular) sering terjadi,
terutama pada pasien wanita dan pada pasien dengan peningkatan BMI saat
diagnosis 32

3.1.10. Prognosis (Elsevier)


Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah sekitar 80%; hingga
98% di subset tertentu dari pasien. 4 5 Prognosis LLA dipengaruhi oleh hal-hal
berikut :
o usia 4
 Anak-anak yang didiagnosis antara usia 1 dan 10 tahun
cenderung memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik
 Anak-anak di bawah 1 tahun dan anak-anak di atas 10 tahun
cenderung memiliki penyakit yang lebih agresif dan berisiko lebih tinggi
untuk gagal pengobatan
 Bayi di bawah 6 bulan memiliki tingkat kegagalan
pengobatan tertinggi dan tingkat morbiditas terkait pengobatan yang
tinggi
 Remaja memiliki tingkat kelangsungan hidup
keseluruhan yang lebih rendah, sebagian karena peningkatan insiden
kromosom Philadelphia dan imunofenotipe sel T.
o Hitungan WBC awal
 WBC count lebih besar dari 50.000 sel / uL di diagnosis
dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari kegagalan pengobatan 4
o Subtipe penyakit 4
 Leukemia limfoblastik akut sel-T secara historis dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk; namun, rejimen pengobatan yang
lebih agresif telah menyebabkan peningkatan tingkat kelangsungan hidup
yang mendekati leukemia limfoblastik akut sel B
 Leukemia limfoblastik akut T-prekursor awal masih dicatat
terkait dengan prognosis yang buruk, seperti juga jenis imunofenotipik
langka lainnya.
o Faktor sitogenetika 4
 Kariotipe hiperdiploid dikaitkan dengan prognosis yang baik
 Translokasi kromosom yang melibatkan t(12;21)(p13;q22)
yang menghasilkan gen fusi ETV6-RUNX1 dikaitkan dengan prognosis
yang baik
 Kariotipe hipodiploid dikaitkan dengan prognosis yang buruk
 Kehadiran kromosom Philadelphia (pada penyakit sel B)
dikaitkan dengan prognosis yang buruk
 Translokasi kromosom yang melibatkan penataan ulang gen
leukemia garis keturunan campuran pada pita 11q23 dan amplifikasi
intrachromosomal dari kromosom 21 dikaitkan dengan prognosis yang
buruk
o Penyakit extramedullary 1
 Keterlibatan sistem saraf pusat atau testis saat diagnosis
dikaitkan dengan risiko kegagalan pengobatan yang lebih tinggi
 Pembesaran limpa dan hati biasanya dikaitkan dengan jumlah
WBC yang tinggi, tetapi beberapa ahli memandang ini sebagai tanda
terpisah dari pandangan yang kurang menguntungkan.
o Respon terhadap terapi induksi 6
 Kegagalan untuk mencapai remisi lengkap dengan terapi
induksi menyiratkan prognosis yang sangat buruk (kelangsungan hidup
secara keseluruhan sekitar 33%) 4
 Adanya penyakit residual (pada penilaian penyakit residual
minimum induksi akhir) dikaitkan dengan risiko kekambuhan yang lebih
besar
o Ras/etnis
 Anak-anak Afrika-Amerika memiliki tingkat kesembuhan yang
lebih rendah daripada anak-anak dari ras lain; Perbedaan ini sebagian
disebabkan untuk menurunkan frekuensi fitur sitogenetik yang
menguntungkan pada populasi ini 4

Anda mungkin juga menyukai