PENDAHULUAN
L-1 : LLA dengan sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen,
nukleolus umumnya tidak tampak, dan sitoplasma sempit. Menyumbang 84%
kasus dari LLA
L-2 : LLA dengan sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, inti
ireguler, kromatin bergumpal/lebih kasar, sitoplasma yang banyak dengan satu
atau lebih nukleolus. Menyumbang 15% kasus dari LLA
L-3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sel limfoblas besar, homogen
dengan kromatin berbercak dengan sitoplasma yang basofilik dengan banyak
vakuola. Menyumbang 1% kasus dari LLA
Laboratorium
Leukostasis (jumlah WBC lebih dari 100 × 10⁹ sel/L) jarang terjadi pada
pasien dengan leukemia limfoblastik akut; saat ditemukan, itu
mengindikasikan keadaan darurat medis dan membutuhkan perawatan segera 1
Aspirasi Sumsum Tulang
- Pada analisis, ditemukannya 20% atau lebih limfoblas pada sumsum tulang
dapat menegakkan diagnosis LLA.
3.1.8. Tatalaksana
Gambar 1. Alur Penggunaan Protokol LLA Indonesia-2013.
Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika
Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3, beri
transfuse komponen trombosit. Dianjurkan untuk memeriksa immature platelet
fraction (IPF). Bila ada trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan
mutlak diberi transfusi konsentrat trombosit. Jika trombositopenia
berkepanjangan, dapat diberikan transfusi trombosit bersamaan tindakan
intratekal (IT), atau segera setelah selesai melakukan IT.
Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang
disebabkan karena faktor koagulasi, yang dibuktikan dengan pemanjangan dari
jalur intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis
Pengendalian infeksi
o Wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien.
o Periksa rutin dan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi, hindari
terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok gigi terlalu
keras.
o Tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat
azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat
sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal
3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan,
pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
o Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke
dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi
pada saat sakit dan tiap 6 bulan.
o Konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi
o Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg
selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5
mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
o Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan
20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu
merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari
jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi.
Pemberian Sitostatika
1. Fase Induksi
Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari Prednisone
(PRED), Vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan
Methotrexate (MTX) intratekal.
Prednisone (PRED) :
Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus diwaspadai
terjadinya risiko rebound cell (hematogones).
Gambar 1. Terapi Sitostatika Fase Induksi Risiko Biasa
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan
MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai negatif
3x berturut-turut.
RISIKO TINGGI
Fase Induksi
Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 1, 14, 21, 28, 35 pada RB
(dalam 10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 pada
RT (dalam 10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR) intravena :
Umur Dosis
< 1 tahun 6 mg/kali
1 tahun 8 mg/kali
2 tahun 10 mg/kali
≥ 3 tahun 12 mg/kali
2. Fase Konsolidasi
Fase Konsolidasi
RISIKO TINGGI
Fase Konsolidasi
Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)dengan
leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.
HD-MTX :
Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
o Lekosit ≥ 2000/mm3
o Trombosit ≥ 75000/ mm3
o Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
o Peningkatan kimia enzim hati (SGPT tidak lebih dari 10 kali dari batas atas
nilai normal).
o Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
o Tidak ada infeksi, diare, mucositis
o Tidak ada gangguan kencing
Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
Saat pemberian HD-MTX
o Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2
/24 jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine < 8.
o Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama
24 jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-
MTX, diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam. Tanda-tanda
toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas
pada liver (>5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian 20
tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada
saat pemberian HD-MTX.
o Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti
gagal liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX
dan semuanya ditunda.
o Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID),
dan penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15
mg/m2 iv pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
o Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal
dapat ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam
hari saat perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah
makan malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama
pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal :
Cyclophosphamide :
Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna
3. Fase Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.
Prednison (PRED) :
Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam
10 ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
Selesai intensifikasi, konsul neurologi.
MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan
konsolidasi).
4. Fase Rumatan (Pemeliharaan/Perawatan)
Fase rumatan dimulai pada minggu ke-13 dan berakhir pada minggu ke-110
pada RB, sementara pada RT dimulai minggu ke-18 dan berakhir pada minggu ke-
118. Pemberian dosis yang tepat pada fase rumatan merupakan hal yang penting
untuk mendapatkan outcome yang baik dan bergantung pada kondisi sensitifitas anak
terhadap kemoterapi.
Persyaratan untuk mengawali fase rumatan, yaitu :
6 MP dan MTX :
Catatan Penting : - Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat . - Pada
pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat berkaitan
dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping
cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi. 24 - Pada leukopenia persisten , yang
tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan
dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada
peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6 MP dan MTX.
Indikasi untuk adjusting dosis dan menurunkan dosis 6MP dan MTX :
- Lekopenia pada pasien tanpa cotrimoksazol. •Pada hitung lekosit 1000-
2000/mm3 :dberikan setengah dosis. •Nilai hitung lekosit < 1000/mm3hentikan
sitostatika sampai jumlah lekosit ≥2000/mm3 - Lekopenia pada pasien dengan
cotrimoksazol. •Lekosit< 2000/mm3 , pemberian cotrimoksazol dihentikan sementara
itu sitostatika dapat diteruskan jika kondisi anak stabil. •Setelah 1 minggu jika tidak
ada perubahan, 6-MP dan MTX dapat diberikan dengan dosis separuh. •Jika tidak ada
perubahan setelah pemberian sitostatika maka sitostatika dihentikan dan atau lakukan
aspirasi sumsum tulang untuk melihat kemungkinan terjadinya relaps. - Jika nilai
lekosit sudah > 2000/mm3 , 6-MP dan MTX dimulai dengan dosis normal dan 2
minggu kemudian dibericotrimoksazol. Ketika nilai lekosit dibawah
1000/mm3cotrimoksazol dan sitostatika harus dihentikan sampai nilai lekosit kembali
≥ 2000/mm3 . - Pada infeksi berat atau kecurigaan infeksi berat maka pengobatan
fase rumatan untuk sementara dihentikan. - Gangguan fungsi liver 25 •Gangguan
fungsi hati ini sering terjadi selama masa pengobatan. Sepanjangnilai bilirubin
normal, peningkatan nilai SGOT dan SGPT tidak merubah terapi. •Bila terjadi
gangguan fungsi hati disertai demam, hepatomegali, kadar bilirubin ≥ 2.0 mg/dl,
merupakan indikasipenghentian sitostatika dan dilakukan pemeriksaan untuk mencari
penyebab infeksi . •Pada kasus asimptomatik dengan bilirubin 1.3-2.0 mg/dl dan
SGPT 80-150 IU/L dan kondisi klinis baik, maka kemoterapi dapat dilanjutkan tanpa
perhatian khusus. •Apabila tetap ada gangguan fungsi atau kambuh berulang dalam
kurun waktu 6 bulan ( berarti sitostatika dihentikan beberapa kali) ,lakukan tes
diagnostikpatologi hati. Indikasi meningkatkan dosis 6-MP dan MTX - Jika jumlah
hitung lekosit ≥4000.mm3 , pastikan pasien betul-betul meminum obatnya.Bila
terjadi ketidakpatuhan, maka dosis ke 2 obat tersebut dapat dinaikkan hingga 20%
untuk 6 minggu kedepan.
Pungsi lumbal dan obat intratekal - Selama tahun pertama pengobatan rumatan ,
MTX intratekal (triple drug MTX/Deksametason/Ara-C) dimasukkan selang 8
minggu.MTX yang dimasukkan harus tanpa pengawet (MTX-SP) (without
preservative).Jika tidak ada liquor yang keluar saat pungsi lumbal, maka obat
intratekal jangan diberikan. - Berhati-hatilah dengan pemberian MTX-SP karena
tanpa pengawet, bakteri dapat tumbuh, sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk
keesokan harinya.Setelah pemberian intratekal, pasien berbaring datar, dengan kepala
sedikit lebih rendah, agar obat terdistribusikan ke seluruh ruang meningeal.Ini untuk
memastikan bahwa efeknya sebagai anti leukemik dan juga mencegah efek tingginya
konsentrasi MTX di area conus dari mielum. Catatan : 26 Perubahan obat harus
dihindari, misal jika vincristine diberikan secara intratekal, pasien akan menderita
atau meninggal karena mielopati dan deserebrasi. Vincristine jangan pernah ada di
ruang lumbal pungsi
3.1.9. Komplikasi (Elsevier)