Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan fisiologi paru


Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-
gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung – gelebung alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan
inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.
Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan
kanan).1
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga
dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada
mediastinum depan terletak jantung.1

Gambar 1. Anatomi paru.1


Paru-paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni
Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru)
a. Lobus superior pulmo dekstra
b. Lobus medial pulmo dekstra
c. Lobus inferior pulmo dekstra
Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus
a. Lobus superior pulmo sinister

1
b. Lobus inferior pulmo sinister
Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu:
a. 5 buah segment pada lobus superior
b. 5 buah segment pada inferior
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmet yakni :
a. 5 buah segment pada lobus inferior
b. 2 buah segment pada lobus mediali
c. 3 buah segment pada lobus inferior
Tiap-tiap segment ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh-pembuluh darah geteh bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang=cabang banyak
sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.2
Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernafasan
melalui paru-paru atau pernapasan Externa, oksigen diambil melalui hidung dan mulut, pada
waktu pernafasan, oksigen masuk melalui trakea dan bronchial ke alveoli, dan dapat erat
hubungan dengan darah di dalam kapiler pulmonaris.2
Hanya satu lapis membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan oksigen dari
darah. Oksigen menembus membrane ini dan di ambil oleh hemoglobin sel darah merah dan
di bawa ke jantung. Dari sini dipompa di dalam arteri kesemua bagian tubuh. Darah
meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini
hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen
Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau pernapasan
externa :
1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan
udara luar.
2. Arus darah melalui paru-paru
3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat dari setiapnya
dapat mencapai semua bgian tubuh
4. Difusi gas yang menembusi membrane pemisah alveoli dan kapiler.CO2 lebih mudah
berdifusi dari pada oksigen.

2
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru
menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak darah datang di
paru-paru membawa terlalu bayak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak dapat
dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat
pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan.
Penambahan ventilasi yang dengan demikian terjadi mengeluarkan CO2 dan memungut lebih
banyak O2.1

Pernapasan Jaringan atau Pernapasan Interna


Darah yang telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oxihemoglobin),
mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mncapai kapiler , dimana darah bergerak sangat
lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen
berlangsung, dan darah menerima, sebagai gantinya, hasil buangan oksigenasi, yaitu
karbondioksida. Perubahan-perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam alveoli,
yang disebabkan pernapasan externa dan pernapasan interna atau pernapasan jaringan. Udara
yang di hembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhu yang sama dengan badan (20
persen panas badan hilang untuk pemanasan udara yang dikeluarkan).1
Daya Muat Udara oleh Paru-paru.
Besar daya muat udara oleh paru-paru ialah 4.500 ml sampai 5.000 ml atau 4½
sampai 5 liter udara. Hanya sebagian kecil dari udara ini, kira-kira 1/10nya atau 500 ml
adalah udara pasang surut (tidal air). Yaitu yang dihirup masuk dan dihembuskan ke luar
pada pernapasan biasa dengan tenang. Kapasitas vital. volume udara yang dapat dicapai
masuk dan keluar paru-paru pada penarikan napas dan pengeluaran napas paling kuat ,
disebut kapasitas vital paru-paru. Diukurnya dengan alat spirometer. Pada seorang laki-laki,

3
normal 4-5 liter dan seorang perempuan, 3-4 liter. Kapasitas itu berkurang pada penyakit
paru-paru, pada peyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan kelemahan otot
pernapasan.2
PLEURA
Paru-paru dibungkus oeh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi
dua :
1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru-paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang
kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki
permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu
bernafas bergerak. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, hal ini
untuk mencegah kolap paru-paru.

ASMA EKSASERBASI
DEFINISI
Asma eksaserbasi adalah eksaserbasi asma episodik yang terjadi oleh peningkatan
progresif dengan gejala nafas semakin pendek, batuk wheezing atau sensasi dada seperti
diikat (chest tightness) dan penurunan faal paru yang semakin progresif, biasanya ditandai
dengan perubahan kondisi pasien biasa yang membutuhkan perubahan dalam pengobatan.3

Istilah eksaserbasi umumnya digunakan dalam literature klinik dan ilmu kedokteran,
walaupun dalam istilah rumah sakit lebih sering disebut dengan “Asma berat akut”.
Eksaserbasi bisa terjadi pada pasien dengan diagnosis asma sebelumnya yang sudah ada atau
kadang asma yang pertama kali.

ETIOLOGI
Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon akibat paparan agen eksternal (cth
infeksi virus traktus respiratorius atas, serbuk sari atau polusi udara) dan/atau kepatuhan
kontrol obat yang buruk. Namun, sebagian pasien muncul lebih akut dan tanpa paparan faktor

4
resiko yang diketahui.6 Eksaserbasi yang berat dapat terjadi pada pasien dengan asma yang
terkontrol baik atau ringan.4, 5
Pasien dengan eksaserbasi berat dapat memiliki resiko tinggi mengancam nyawa,
yaitu
- Terdapat riwayat asma yang hampir fatal hingga membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik.7
- Riwayat rawat inap atau datang ke IGD karena asma sebelumnya.7
- Pasien yang sedang menggunakan atau baru saja berhenti memakai kortikosteroid oral.7
-
Pasien yang tidak sedang menggunakan kortikosteroid inhalasi.7
- Pasien yang ketergantungan dalam menggunakan agonis B2 agonis cepat, terutama yang
menggunkan lebih dari 1 canister salbutamol (lainnya) setiap bulan.7
- Riwayat gangguan psikiatri atau psikososial, penggunaan sedatif. 8
- Riwayat tidak komplians terhadap rencana terapi asma 8
- Alergi makanan pada pasien asma.7

DIAGNOSIS
Eksaserbasi menampilkan perubahan gejala dan faal paru dari status normal pasien.3
Penurunan aliran udara ekspirasi bisa diukur dengan pengukuran faal paru seperti arus
puncak ekspirasi (Peak Expiratory Flow/PEF) atau volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(Force Expiratory Volume/FEV1),9 Hasil pengukuran dibandingkan dengan fungsi paru-paru
pasien sebelumnya atau dengan nilai yang diprediksi. Pada kondisi akut, pengukuran ini
merupakan indikator yang reliabel untuk menghitung beratnya eksaserbasi dibandingkan
hanya melihat gejala. Frekuensi gejala mungkin saja, namun, pengukuran akan lebih sensitif
terhadap onset eksaserbasi dibandingkan PEF.10
Pada sebagian kecil pasien mungkin merasakan keluhan buruk yang ditandai
penurunan faal paru tanpa perubahan gejala yang dialami.9 Kondisi ini biasanya mengenai
pasien dengan riwayat near-fatal asthma dan juga terjadi umumnya pada laki-laki.
Eksaserbasi yang berat dapat mengancam nyawa dan pengobatannya membutuhkan
tatalaksana yang hati-hati dan monitoring ketat. Pasien dengan eksaserbasi yang berat bisa
diedukasi untuk control kepada pemberi layanan kesehatan atau tergantung dari organisasi
pelayanan kesehatan terdekat, untuk diproses ke fasilitas terdekat yang menyediakan fasilitas
emergensi pada pasien dengan asma akut.

5
PENGELOLAAN MANDIRI ASMA EKSASERBASI

Semua pasien dengan asma harus diberi edukasi manajemen mandiri yang dipandu
termasuk pemantauan gejala dan atau faal paru, rencana tindakan asma tertulis dan tinjauan
rutin oleh seorang dengan profesi kesehatan.11
Tindakan asma yang tertulis dapat menolong pasien untuk mengenali dan merespon
secara cepat terhadap perburukan asma. Rencana harus mencakup instruksi khusus untuk
pasien tentang perubahan obat pereda dan obat kontrol, bagaimana menggunakan
kortikosteroid oral (OCS) jika diperlukan dan kapan serta bagaimana cara mengakses
perawatan medis.
Kriteria untuk memulai peningkatan pengobatan kontrol akan bervariasi dari satu
pasien ke pasien lainnya. Bagi pasien yang menggunakan perawatan kovensional dengan
pengobatan inhalasi kortikosteroid (ICS) harus ditingkatkan bila ada perubahan penting
secara klinis dari tingkat kontrol asma pasien yang biasa, misalnya, jika gejala asma
mengganggu aktivitas normal, atau APE telah menurun > 20 % selama lebih dari 2 hari.11

TERAPI MEDIKAMENTOSA
1. Agonis beta2 shortacting inhalasi
Dosis berulang dengan bronkodilator beta 2- agonist inhalasi short-acting (SABA)
memberikan bantuan sementara sampai penyebab perburukan gejala menghilang.
Kebutuhan dosis berulang selama lebih dari 1-2 hari memberikan sinyal untuk meninjau
ulang, dan mungkin membutuhkan peningkatkan perngobatan kontrol jika hal ini belum
dilakukan. Ini umumnya penting jika ada kurangnya respon untuk meningkatkan
penggunaan terapi beta2- agonis. Meskipun kerja cepat long-acting beta2- agonis
formeterol telah dilaporkan dapat digunakan dalam tatalaksana asma akut dalam kasus
gawat darurat.12 Penggunaan dalam bentuk inhalasi yang terpisah tidak direkomendasikan
dalam jangka panjang pada asma, untuk menghindari kemungkinanan digunakan tanpa
seiring dengan kortikosteroid inhalasi (ICS).

2. Kortikosteroid Inhalasi
Dalama studi penelitian terhadap pengelolaan mandiri secara sistemik, rencana tindakan
menaikkan dosis ICS setidaknya dua kali akan terjadi peningkatan asma dan
memeperburuk kesehatan pasien dan tentunya tidak efektif dilakukan.11 Pada percobaan
dengan plasebo terkontrol, menaikkan dosis dua kali lipat secara berkala tidak efektif
(bukti A).9 Bagaimanapun keterlambatan sebelum menaikkan dosis ICS rata-rata 5-7

6
hari,9 mungkin bisa jadi penyebab perburukan asma. Pasien yang sudah menaikkan dosis
ICS menjadi empat kali lipat (rata-rata 2000 mcg/hari) setelah arus puncak ekspirasinya
(APE) baik secara signifikan tidak perlu kortikosteroid oral (OCS).382 Pada pasien
dewasa dengan penurunan akut, ICS dosis tinggi selama 7-14 hari (500-1600 mcg Setara
BDP-HFA) memiliki efek setara dengan terapi singkat OCS (Bukti A).
3. Kombinasi ICS dosis rendah (budesonide atau beclometasone) dengan cepat-onset
LABA (formoterol)
Kombinasi antara LABA cepat (formoterol) dan ICS dosis rendah (budesonide atau
beclometasone) dalam satu inhaler karena pengontrol dan pengobatan pereda efektif
dalam memperbaiki kontrol asma, mengurangi eksaserbasi yang memerlukan OCS , dan
rawat inap (Bukti A).11 Kombinasi inhaler ICS / formoterol dapat diberikan hingga dosis
formoterol maksimum 72 mcg dalam sehari (Bukti A).
4. Kombinasi lainnya pengendali ICS / LABA
Untuk orang dewasa yang menggunakan kombinasi ICS / LABA sebagai obat pengontrol
perawatan dosis tetap, dosis ICS dapat ditingkatkan dengan menambahkan inhaler ICS
yang terpisah (Bukti D).13 Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membakukan strategi
ini.
5. Antagonis reseptor leukotrien
Bagi pasien yang menggunakan antagonis reseptor leukotrien (LTRA) sebagai
pengontrolnya, tidak ada penelitian spesifik tentang bagaimana mengelola asma yang
memburuk. Penilaian klinisi harus digunakan (Bukti D).
6. Kortikosteroid oral
Sebagian besar pasien, rencana tindakan asma tertulis harus mencakup instruksi kapan
dan bagaimana memulai kortikosteroid oral, khususnya terapi singkat OCS digunakan
(misalnya 40-50 mg /hari biasanya 5-7 hari, Bukti B) 13 untuk pasien yang;
1. Gagal merespon peningkatan obat pereda dan pengontrol selama 2-3 hari
2. Memburuk dengan cepat atau memiliki nilai PEF atau FEV1 < 60 % dari nilai terbaik
atau prediksi
3. Punya sejarah eksaserbasi parah yang tiba-tiba.
Untuk anak-anak 6-11 tahun, dosis kortikosteroid oral yang dianjurkan adalah 1-2
mg/kg/hari sampai maksimum 40 mg/hari (Bukti B), biasanya selama 3-5 hari. Pasien
harus diberi tahu tentang efek samping yang umum, termasuk gangguan tidur,

7
peningkatan nafsu makan, refluks, dan perubahan mood. Pasien harus menghubungi
dokter mereka jika mereka mulai memakai kortikosteroid oral.

Gambar 3. Manajemen pengelolaan mandiri asma eksaserbasi (GINA 2018 updates)

8
Pasien sebaiknya kontrol kepada dokter segera atau unit pelayanan akut yang tersedia
jika asma berlanjut makin buruk meskipun telah dilakukan rencana tindakan asma tertulis.

FOLLOW UP
Setelah tatalaksana eksaserbasi mandiri, pasien sebaiknya menemui pemberi
pelayanan kesehatan primer (kira-kira 1-2 minggu) untuk memantau gejala dan
mengidentifikasi faktor resiko penyebab eksaserbasi. Rencana tindakan asma tertulis
sebaiknya dikaji-ulang untuk meilhat apakah sesuai tindakan dengan kebutuhan pasien.
Kontrol pemeliharaan bisa dilanjutkan 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali jika
anamnesis mengarah terjadinya eksaserbasi asma. Pada kondisi ini, inhaler tersedia dan
kepatuhan obat harus diperhatikan, langkah demi langkah tatalaksana sangat dibutuhkan.

MANAJEMEN EKSASERBASI ASMA DI LAYANAN PRIMER

Anamnesis terfokus yang singkat dan pemeriksaan fisik yang relevan harus
dilakukan bersamaan dengan terapi awal yang cepat dan temuan di catatan pemeriksa. Jika
pasien menunjukkan tanda-tanda eksaserbasi asma berat dan mengancam nyawa tatalaksan
dengan SABA (Short Acting Beta Agonist), Oksigen terkontrol dan Kortikosteroid sistemik
harus dimulai ketika menyusun pemindahan pasien ke fasilitas akut dimana monitoring dan
tatalaksana lebih lanjut dapat dilakukan. Eksaserbasi ringan biasanya bisa ditangani dengan
perawatan primer tergantung sumber daya dan kebutuhan.
1. Anamnesis
Anamnesis yang ditanyakan
- Waktu onset dan penyebab timbulnya eksaserbasi
- Derajat gejala Asma, termasuk aktivitas yang terbatas atau menganggu tidur
- Ada gejala anafilaksis
- Ada faktor resiko terjadinya kematian terkait asma
- Semua pereda saat ini dan obat-obatan pengontrol, termasuk dosis dan alat yang
ditentukan, kepatuhan obat, adanya perubahan dosis baru-baru ini, dan respon
terhadap terapi saat ini
2. Pemeriksaan Fisik
- Tanda beratnya eksaserbasi dan tanda vital
- Faktor penyebab komplikasi (Anafilaksis, Pneumonia, dan pneumothorax)

9
- Beberapa kondisi yang dapat menjelaskan terjadinya sesak nafas akut (spt cardiac
failure, disfungsi jalan nafas atas, terhirup benda asing atau embolisme pulmonal)
3. Penghitungan Objektif
- Pulse Oximetry. Level saturasi < 90% pada anak-anak atau dewasa menandakan
butuhnya terapi yang agresif
- PEF pada pasien > 5 tahun
Diagnosa asma ditegakkan dengan gejala yang khas pada asma. Untuk
memperkuat diagnosa asma perlu dilakukan pemeriksaan tes fungsi paru yang
disebut dengan spirometri untuk menilai beratnya sumbatan jalan nafas dan menilai
respon dari pengobatan.

TATALAKSANA EKSASERBASI DI LAYANAN PRIMER


Terapi awal utama yaitu pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat, dimulai
dengan pemberian kortikosteroid sistemik dan dikontrol dengan pemberian suplementasi
oksigen.9 Tujuannya adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara, hipoksemia,
menemukan patofisiologi inflamasi pernafasan yang mendasari dan mencegah kekambuhan.
1. Inhalasi short-acting beta2 agonists (SABA)
Untuk eksaserbasi yang ringan sampai sedang, diberikan SABA berulang-ulang (4-10
tablet setiap 20 menit dalam 1 jam pertama) biasanya cara paling efektif dan efisien
untuk mencapai pembalikan cepat hambatan aliran udara.14 Setelah 1 jam pertama, dosis
SABA divariasikan dari 4-10 isap setiap 3-4 jam sampai 6-10 isap setiap 1-2 jam
maksimal atau lebih. Tidak ada tambahan SABA yag dibutuhkan jika respon baik
terhadap tatalaksana awal (PEF > 60-80% selama 3-4 jam). Penggunaan SABA dengan
MDI dan spacer atau DPI mengarahkan pada peningkatan faal paru seperti dengan
nebulizer14 (bukti A),
2. Terapi oksigen terkontrol (jika ada)
Terapi oksigen sebaiknya dititrasikan bersamaan dengan oksimeter nadi agar saturasi
oksigen tetap 93-95% (94-98% pada anak usia 6-11 tahun). Terapi oksigen yang
terkontrol dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan terapi oksigen
arus tinggi 100%.14 (bukti B)
3. Korikosteroid sistemik
Kortikosteroid oral harus diberikan cepat, apalagi jika kondisi pasien makin
memburuk atau naikkan dosis obat pereda/reliever dan kontrol obat. Dosis yang

10
dianjurkan bagi dewasa adalah 1 mg prednisolone/kg/hari maksimum 50/mg/hari, dan
pada anak usia 6-11 tahun, 1-2 mg/kg/hari maksimum 40 mg/hari. Kortikosteroid oral
15
harus lanjut diberikan selama 5-7 hari (bukti A). pasien harus diedukasi tentang efek
samping yang akan terjadi seperti gangguan tidur, peningkatan nafsu makan, refluks
lambung dan perubahan mood.14

Gambar 4. Algoritma manajemen eksaserbasi asma di layanan primer (GINA 2018 updates)

11
4. Kontrol medis
Pasien sebaiknya kontrol medis dan diedukasi menaikkan dosis setelah 2-4
minggu jika eksaserbasi asma masih dialami pasien untuk mencegah resiko eksaserbasi
berikutnya.
5. Antibiotik
Antibiotik tidak dianjurkan digunakan kecuali jika ada infeksi pada paru seperti
demam dan sputum yang purulen atau pneumonia.
Pantau respon terapi
Selama perawatan, pasien harus terus dipantau, dan terapi dititrasi sesuai dengan
responnya. Pasien yang memunculkan tanda-tanda eksaserbasi berat atau mengancam jiwa,
yang gagal respon terapi, atau lanjut menjadi perburukan harus segera dirujuk ke fasilitas
layanan akut yang lebih baik. Pasien dengan respon sedikit atau lambat terhadap SABA harus
dipantau secara intensif. Pada banyak pasien, fungsi paru bisa dipantau setelah terapi SABA
diinisiasi. Terapi tambahan harus dilanjutkan sampai PEF atau FEV1 mencapai plato atau
(idealnya) kembali ke kondisi terbaik pasien sebelumnya. Keputusan yang didapat adalah
apakah pasien perlu dipulangkan atau dirujuk ke fasilitas tingkat lanjutan
Follow Up
Pengobatan saat dipulangkan terdiri dari obat pereda, OCS, dan pada banyak pasien,
terapi pengontrol reguler. Teknik inhalasi dan kepatuhan minum obat harus diperhatikan
sebelum dipulangkan. Follow up harus dijadwalkan kira-kira 2-7 hari kemudian, tergantung
kondisi klinis dan sosial. Pada kunjungan follow up, penyedia layanan kesehatan menilai
tingkat gejala kontrol pasien dan faktor risiko; telusuri penyebab eksaserbasi yang mungkin;
dan tinjau rencana tindakan asma yang tertulis (atau menyediakan satu jika pasien tidak
punya). Terapi pengontol rumatan bisa secara umum dilanjutkan pada tingkatan sebelumnya
2-3 minggu setelah eksaserbasi, kecuali eksaserbasi yang didahului gejala-gejala sugestif
asma kronik yang buruk. Pada kondisi ini, teknik inhalasi, dan kepatuhan obat harus diawasi,
meningkatkan terapi diindikasikan.

MANAJEMEN EKSASERBASI ASMA DI IGD


Eksaserbasi yang berat dapat mengancam nyawa dan merupakan kasus gawat
darurat. Untuk itu perlu manajemen yang intensif di ICU untuk mengkaji kondisi pasien
secara intensif.

12
Anamnesis
- Waktu onset dan penyebab (jika diketahui) eksaserbasi
- Keparahan gejala asma, termasuk keterbatasan aktivitas atau gangguan tidur
- Adanya gejala anafilaksis
- Faktor risiko asma terkait kematian
- Semua obat pereda dan pengontrol terbaru, termasuk dosis dan alat yang diresepkan,
kepatuhan, adanya perubahan dosis, dan respon terhadap terapi terbaru.
Pemeriksaan Fisik
- Tanda-tanda keparahan eksaserbasi, meliputi tanda-tanda vital (tingkat kesadaran, suhu,
napas, nadi, tekanan darah, kemampuan merangkai kalimat, penggunaan otot tambahan).
- Faktor komplikasi (anafilaksis, pneumonia, atelektasis, pneumothoraks, atau
pneumomediastinum).
- Tanda-tanda kondisi alternatif yang menjelaskan sesak napas akut (gagal jantung,
disfungsi saluran napas atas, benda asing, atau embolisme pulmoner).
Penilaian Objektif
1. Pengukuran fungsi paru, ini sangat direkomendasikan. Jika memungkinkan, dan tanpa
terapi yang terlalu terlambat, PEF atau FEV1 harus direkam sebelum terapi diinisiasi,
walaupun spirometri tidak mungkin dilakukan pada anak-anak dengan asma akut. Fungsi
paru harus dipantau tiap satu jam hingga respon baik terhadap terapi tercapai.
2. Saturasi oksigen, ini harus dipantau terus, dianjurkan dengan pulse oximetry. Hal ini
berguna terutama pada anak-anak jika mereka tidak mampu menunjukkan PEF. Pada
anak-anak, saturasi oksigen normalnya > 95% dan saturasi < 92% sebagai prediktor
bahwa pasien perlu dirawat. Tingkat saturasi < 90% pada anak-anak atau orang dewasa
menandakan butuh terapi aggresif. Subjek urgensi klinis, saturasi harus dinilai sebelum
oksigen dimulai, dan 5 menit setelah oksigen dipindahkan atau ketika saturasi stabil.
3. Analisa gas darah arteri tidak rutin dibutuhkan. Hal ini disarankan pada pasien dengan
perkiraan PEF atau FEV1 45 mmHg, 6kPa) mengindikasikan gagal napas. Kelelahan dan
somnolen menandakan bahwa pCO2 dapat meningkat dan intervensi saluran napas
dibutuhkan.
4. X-ray Toraks Dianjurkan Tidak Rutin. Pada dewasa rontgen harus dilakukan jika
suspek komplikasi kardiopulmoner (terutama pada pasien lebih tua), atau untuk pasien
yang tidak merespon terapi dimana pneumothoraks sulit didiagnosis.15 Begitu juga pada
anak anak, rontgen rutin tidak direkomendasikan kecuali ada tanda fisik sugestif

13
pneumothoraks, penyakit parenkim atau terhirup benda asing. Tampilan yang muncul
pada anak anak yang postif dirontgen adalah demam, tidak ada riwayat asma pada
keluarga, dan temuan pemeriksaan paru terlokalisir.15

Gambar 5. Algoritma manajemen pengelolaan asma eksaserbasi di IGD (GINA 2018 updates)

14
TATALAKSANA DI IGD

1. Oksigen untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93- 95% (94-98% pada anak 6-11 tahun),
oksigen harus diberikan melalui nasal kanul atau masker. Pada eksaserbasi berat, terapi
oksigen slow flow terkontrol dengan pulse oximetry untuk perbaikan saturasi pada 93-
95% terkait dengan hasil fisiologis yang lebih baik daripada oksigen high flow 100%.14
2. Inhalasi SABA harus diberikan kepada pasien dengan asma akut. Pemakaian alat yang
paling hemat biaya dan efisien adalah pMDI dengan spacer.14 Tidak ada bukti yang
mendukung penggunaan SABA intravena rutin pada pasien dengan eksaserbasi asma
berat.
3. Epinefrin (untuk anafilaksis)
Epinefrin intramuskular (adrenaline) diindikasikan sebagai tambahan pada terapi standar
untuk asma akut terkait anafilaksis dan angioedema. Tidak direkomendasikan untuk rutin
dikerjakan pada pasien eksaserbasi asma lainnya.
4. Kortikosteroid Sistemik Oral mempercepat meredakan eksaserbasi dan mencegah relaps,
dan harus digunakan pada semua asma kecuali eksaserbasi yang sangat ringan pada
dewasa, dewasa muda, dan anak-anak usia 6-11 tahun.16 Saat memungkinkan,
kortikosteroid harus diberikan kepada pasien dalam 1 jam sejak munculnya gejala. 16
Penggunaan kortikosteroid sistemik secara khusus penting di IGD jika;
- SABA inisial gagal mencapai perbaikan gejala
- Eksaserbasi muncul ketika pasien menggunakan oral kortikosteroid
- Pasien mempunyai riwayat eksaserbasi sebelumnya karena OCS.
Jalur pemberian : pemberian dengan oral sama efektifnya dengan pemberian lewat
intravena.410, 411 Pemberian oral disarankan karena lebih cepat, kurang invasif, dan lebih
murah. Pada anak, formulasi cairan lebih disarankan dari pada tablet.
Dosis : dosis harian kortikosteroid oral setara dengan dosis tunggal pagi prednisolon 50
mg, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terpisah, sama adekuatnya di banyak pasien.
Pada anak, kortikosteroid oral dosis 1-2 mg/kgBB hingga maksimal 40 mg/hari sudah
adekuat.16
Durasi : 5-7 hari pada dewasa. 3-5 hari pada anak
5. Kortikosteroid inhalasi
Saat di igd: ICS dosis tinggi diberikan dalam 1 jam pertama setelah onset mengurangi
kebutuhan rawatan pada pasien yang tidak menerima kortikosteroid sistemik.16 Ketika

15
diberikan sebagai tambahan pada kortikosteroid sistemik, buktinya bertentangan.16 Secara
keseluruhan, ICS cukup ditoleransi. Namun, biaya adalah faktor yang signifikan, dan
agen, dosis, serta durasi pengobatan dengan ICS pada manajemen asma di IGD masih
belum jelas.
Ketika dipulangkan: mayoritas pasien harus diresepkan obat ICS yang biasa dipakai sejak
kemunculan eksaserbasi berat adalah faktor risiko eksaserbasi berikutnya, dan obat yang
mengandung ICS secara signifikan mengurangi risiko asma terkait kematian atau
rawatan.15 Hasil dalam waktu singkat seperti relaps, gejala, dan kualitas hidup, tinjauan
sistemik menemukan tidak ada perbedaan signifikan ketika ICS telah ditambahkan ke
kortikosteeroid sistemik setelah dipulangkan.16 Ada beberapa bukti, namun, ICS setelah
dipulangkan sama efektif dengan kortikosteroid sistemik untuk eksaserbasi yang lebih
ringan, tetapi batas amannya luar. Biaya telah menjadi faktor signifikan pada pasien
dalam penggunaan ICS dosis tinggi, dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
menegakkan peran mereka.16
6. Obat-obatan lain
1. Ipratroprium Bromida
Pada dewasa dan anak dengan eksaserbasi sedang-berat, pengobatan di igd
dengan SABA dan ipratropium, antikolinergik kerja singkat, telah dihubungkan
dengan rawatan yang lebih sebentar dan perbaikan PEF dan FEV yang lebih baik,
dibandingkan hanya SABA.16 Pada anak yang dirawat karena asma akut, tidak
ada manfaat yang terlihat dari menambahkan ipratropium ke SABA, termasuk
tidak ada pengurangan waktu inap.16
2. Aminofilin dan teofilin
Aminofilin dan teofilin intravena tidak harus diberikan pada manajemen
eksaserbasi asma, dilihat dari profil keamanan dan efikasi rendah, dan
keefektifan yang lebih besar serta keamanan relatif SABA. Penggunaan
aminofilin intravena dihubungkan dengan efek smaping yang berat dan
berpotensi fatal, khususnya pasien yang telah dirawat dengan teofilin yang
berkelanjutan. Pada dewasa dengan eksaserbasi asma berat, penambahan terapi
dengan aminofilin tidak memperbaiki keluaran dibanding SABA itu sendiri.425
3. Magnesium
Magnesium sulfat intravena tidak dianjurkan rutin digunakan pada asma
eksaserbasi. Diberikan jika pasien baik anak ataupun dewasa tidak respon

16
terhadap terapi inisial dan mengalami hipoksemia persisten dan pada anak FEV 1
gagal mencapai 60 % angka prediksi setelah dirawat lebih 1 jam.426-428 Diberikan
dosis tunggal 2 g infus selama lebih 20 menit.
4. Leukotrin reseptor antagonis (LTRAs)
LTRAs dapat meningkatkan faal paru pada pasien asma akut.14
5. Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Tidak ada bukti yang mendukung peran antibiotik pada eksaserbasi asma kecuali
ada abukti kuat infeksi paru (seperti demam, dahak purulen, atau bukti radiografi
pneumonia). Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus diberikan sebelum
antibiotik dipertimbangkan.
Pemantauan Respon
Status klinis dan saturasi oksigen harus dinilai kembali, dengan titrasi pengobatan
yang lebih jauh berdasarkan respon pasien. Fungsi paru harus diukur setelah satu jam, di
antaranya setelah tiga pengobatan bronkodilator pertama, dan pasien yang mengalami
perburukan walaupun pengobatan bronkodilator intensif atau kortikosteroid harus
direevaluasi untuk dirujuk ke ICU.
Kriteria Rawatan dan Pemulangan
Menurut analisis retrospektif, status klinis (termasuk kemampuan berbaring) dan
fungsi paru satu jam setelah pengobatan dimulai adalah prediktor yang baik untuk
mengetahui kebutuhan rawat inap dari pada status pasien saat kedatangan.
Rekomendasi konsensus pada penelitian lain, di antaranya: 16
- Jika setelah pengobatan FEV1, atau PEF < 25% target atau yang paling baik, atau FEV1
setelah pengobatan, atau PEF < 40 % target atau yang paling baik, rawat inap dibutuhkan
- Jika setelah pengobatan paru 40-60% ditargetkan, dipulangkan menjadi memungkinkan
setelah dipertimbangkan faktor rsiko pasien dan kemampuan rawat jalan (follow up)
- Jika setelah pengobatan 60% taget atau yang paling baik, dipulangkan menjadi
direkomendasikan setelah dipertimbangkan faktor risiko dan kemampuan follow up.
Faktor risiko lain terkait kebutuhan rawatan:17
- Perempuan, usia lebih tua, dan ras bukan kulit putih,
- Penggunaan lebih dari 8 semprotan beta2 agonis dalam 24 jam terakhir.
- Keparahan eksaserbasi (seperti kebutuhan akan resusitasi atau intervensi medis cepat saat
diperjalanan, laju napas < 22 napas per mernit, saturasi oksigen < 95%, PEF akhir < 50 %
target)

17
- Riwayat eksaserbasi buruk (intubasi, telah dikenal asma)
- Kunjungan yang tidak dijawalkan ke klinik atau igd
Secara keseluruhan, semua faktor risiko harus dipertimbangkan oleh klinis ketika
membuat keputusan dirawat atau dipulangkan pada pasien dengan pengelolaan asma di igd.
Rencana pulang
Sebelum dipulangkan dari IGD atau rumah sakit, susun jadwal follow up dalam satu
minggu, dan rencana perbaikan asma termasuk pengobatan, kemampuan menggunakan
inhalan, dan kemampuan menulis asma, harus dinilai.
Follow up
Setelah dipulangkan, pasien harus dinilai oleh penyedia layanan kesehatan secara
berkala selama beberapa minggu hingga kontrol gejala perbaikan tercapai dan fungsi paru
terbaik telah dicapai.18
Penyedia layanan kesehatan harus mengambil kesempatan untuk menilai:
- Pemahaman pasien tentang penyebab eksaserbasi asma
- Faktor risiko yang dapat diubah pada eksaserbasi (termasuk, merokok)
- Pemahaman pasien tentang tujuan dan penggunaan tepat obat, pasien butuh untuk
merespon terhadap gejala perburukan.
Setelah tampilan gawat darurat, program intervensi komprehensif yang meliputi
manajemen pengendalian optimal, teknik inhalasi, dan elemen edukasi manajemen diri
(monitor diri, rencana aksi tertulis, dan tinjauan berkala) hemat biaya dan telah menunjukkan
perbaikan signifikan pada keluaran asma.18
Rujukan kepada spesialis harus dipertimbangkan untuk pasien yang telah dirawat
untuk asma, atau orang yang berulang kali kambuh walau pun telah memilih penyedia
layanan kesehatannya sendiri. Tidak ada penelitian terbaru yang memadai, tetapi penelitian
menunjukkan bahwa follow up dengan spesialis berhubungan dengan lebih rendahnya
kunjungan ke IGD atau rawat inap dan pengendalian asma yang lebih baik.18

18
BAB III
KESIMPULAN

Asma Eksaserbasi adalah episode yang ditandai oleh peningkatan progresif gejala
sesak napas, batuk, mengi, atau sesak dada dan penurunan fungsi paru secara progresif
Semua pasien asma harus diberi pendidikan manajemen mandiri yang dipandu seperti
pemantauan gejala dan / atau fungsi paru-paru, rencana tindakan asma tertulis, dan tinjauan
rutin oleh seorang profesional kesehatan.
Manajemen eksaserbasi asma dapat dilakukan di layanan primer maupun di layanan
kesehatan tingkat lanjutan. Asma eksaserbasi ringan dan sedang dapat di atasi di layanan
primer, namun asma eksaserbasi berat maupun mengancam jiwa segera dirujuk ke layanan
kesehatan tingkat lanjutan Manajemen asma eksaserbasi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pengukuran objektif, tatalaksana awal, penilaian dan pemantauan respon pasien,
penentuan pasien dirawat atau dipulangkan, serta pemantauan kondisi pasien pada tahap
follow up.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua puluh
Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. p. 141-142.
2. Guyton, A.C. Ventilasi Paru-paru. In: Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC, 1983 .p. 1-13.
3. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, Boulet LP, Boushey HA, Busse WW, Casale
TB, et al. An official American Thoracic Society/European Respiratory Society
statement: asthma control an exacerbations: standardizing endpoints for clinical
asthma trials and clinical practice. Am J Respir Crit care Med 2009; 180:59-99
4. Reddel H, Ware S, Marks G, Salome C, Jenkins C, Wooclock A. Differences
between asthma exacerbations anda poor asthma control [erratum in lancet
1999;353:758]. Lancet 1999;353:364-9
5. Pauwels RA, Pedersen S, Busse WW, Tan WC, Chen YZ, Ohlsson SV, Ullman A, et
al. Early intervention with budesonide in mild persistent asthma: a randomized,
double-blind trial. Lancet 2003;361:1071-6
6. Vincent SD, Toelle BG, Aroni RA, Jenkins CR, Reddel HK.”Exasperations” of
asthma. A qualitive study of patient language about worsening asthma. Med J Aust
2006; 184:451-4
7. Alvarez CG, Schulzer M, Jung D, Fitzgerald JM. A Systemic review of risk factors
associated with near-fatal asthma. Eur Respir J 1994;7:1602-9
8. Sturdy PM, Victor CR, Anderson HR, Bland JM, Butland BK, Harrison BD, Peckitt
C, et al. Psychological, social and health behavior risk factors for deaths certified as
asthma: a national case-control study. Thorax 2002;57:1034-9
9. Fitzgerald JM, Grunfeld A. Status Asthmaticus. In: Lichtenstein LM, Fauzi AS, eds.
Current therapy in allergy, immunology, and rheumatology, 5th edition. St Louis,
MO: Mosby; 1996:p. 63-7
10. Chan-Yeung M, Chang JH, Manfreda J, Ferguson A, Becker A. Changes in peak
flow, symptom score, and the use of medications during acute exacerbations of
asthma. Am J Respir Crit care Med 1996; 154:889-93
11. Pinnock H, Parke HL, Panagioti M, Daines L, Pearce G, Epiphaniou E, Bower P, et
al. Systematic meta-review of supported self management for asthma: a healthcare
perspective. BMC Med 2017;15:64

20
12. Rodrigo GJ, Neffen H, Colodenco FD, Castro-Rodriguez JA. Formeterol for acute
asthma in the emergency department: asystematic review with meta-analysis. Ann
Allergy Asthma Immunol 2010;104:247-52
13. Reddel HK, Barnes DJ. Pharmacological strategies for self-management of asthma
exacerbations. Eur Respir J 2006;28:182-99.
14. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH, Holding chambers (spacers) versus nebulisers for
beta-agonist treatment of acute asthma. Cochrane Database Syst Rev 2013.
15. White CS, Cole RP, Lubetsky HW, Austin JH, Acute asthma. Admission chest
radiography in hospitalized adult patients. Chest 1991;100:14-6
16. Edmonds ML, Milan SJ, Camargo CA, Jr., Pollack CV, Rowe BH, Early use of
inhaled corticosteroids in the emergency department treatment of acute asthma.
Cochrane database Syst Rev 2012.
17. Weber EJ, Silverman RA, Callaham ML, Pollack CV, Woodruff PG, Clark S,
Camargo CA, Jr. A Prospective multicenter study of factors associated with hospital
admission among adults with acute asthma. Am J Med 2002;113:371-8
18. Schatz M, Rachelefsky G, Krishnan JA. Follow-up after acute asthma episodes: what
improves future outcomes? Proc Am Thorac Soc 2009;6:386-93

21

Anda mungkin juga menyukai