SINDROMA DISPEPSIA
Oleh:
Frissia Dwi Agseptya 1840312307
Wira Genalhen 1840312433
Preseptor:
dr. Dinda Aprilia, Sp.PD
1
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Dispepsia merupakan salah satu dari berbagai keluhan umum yang dapat
ditemui di berbagai bidang, yang tidak hanya terbatas pada ahli saluran cerna, di
praktek klinis sehari-hari. Dispepsia merupakan suatu kondisi kompleks dengan
mekanisme patofisiologi multipel yang mencakup adanya gangguan motilitas
usus, hipersensitivitas viseral, genetik, infeksi/ post infeksi, dan faktor
psikososial. Dari data pustaka Negara barat didapatkan angka prevalensi berkisar
7% - 41%, tetapi hanya 10%-20% yang akan mencari pertolongan medis.
Insidensi dispepsia diperkirakan sebesar 10%, dengan kasus baru yang datang ke
layanan primer sebesar 5-7%.1
Hasil penelitian dari suatu studi di negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Sngapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
menunjukkan bahwa 43 sampai dengan 79,5% dengan dispepsia mengalami
dispepsia fungsional.3 Di Indonesia, belum ada data epidemiologi pasti tentang
sindroma dispepsia.1
Secara garis besar, penyebab sindroma dispepsia dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok penyakit organik(seperti tukak peptik, gastritis, batu
kandung empedu dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang
konvensional dan baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologik struktural atau biokimia, atau dengan
kata lain disebut kelompok gangguan fungsional.1
2
1.3 Tujuan Penulisan
Clinical Science Session ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis sindroma dispepsia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani dimana “dys” berarti buruk dan
“pepsia” berarti pencernaan. Istilah dispepsia mulai banyak dikemukakan sejak
akhir tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang
terdiri atas nyeri atau rasa tidak nyaman di regio epigastri, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa. Keluhan dispepsia
merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek klinis sehari-hari.1
Dispepsia merupakan suatu kondisi kompleks dengan mekanisme
patofisiologi multipel yang mencakup adanya gangguan motilitas usus,
hipersensitivitas viseral, genetik, infeksi/ post infeksi, dan faktor psikososial. 4
Dalam konsensus Rome II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia
adalah sebagai berikut, dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the
upper abdomen. Konsensus Rome III tahun 2006 yang khusus membicarakan
entang gastrointestinal fungsinal, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
berikut:2
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab
keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu 6 bulan terkahir
sebelum diagnosis ditegakkan.
2.2 Klasifikasi
4
rasa penuh, cepat kenyang; 3). Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang
dominan.
Menurut konsensus Rome III tahun 2006, dispepsia fungsional dibagi atas:
1). Post – prandial distress syndrome dimana pasien merasa penuh setelah makan
dalam porsi yang biasa atau rasa cepat kenyang sehingga tidak dapat
menghabiskan porsi makanan regular; 2). Epigastric pain syndrome dimana
pasien mnegeluh nyeri dan rasa terbakar, hilang timbul, berpusat di epigastrium.
Semua keluhan di atas tidak ditemukan pada bagian perut lainnya atau di daerah
dada.1
2.3 Epidemiologi
Dispepsia mengenai kurang lebih 25% sampai 40% populasi selama masa
hidupnya dan 3% - 5% diantaranya pasien datang ke layanan primer, dengan
perkiraan sebanyak 4 juta kunjungan ke layanan primer per tahunnya di Amerika
Serikat.4 Salah satu studi menyatakan bahwa 50% penduduk Eropa dan Amerika
Utara mendapatkan pengobatan untuk dispepsia, 12,4% pasien dengan dispepsia
sering izin bekerja dikarenakan oleh gejala yang dikeluhkannya. Studi lain pada
orang dengan dispepsia, didapati lebih dari 32% diantaranya sering absen kerja
dengan alasan gejala yang dikeluhkannya, sementara 78% diantaranya
melaporkan bahwa dengan adanya keluhan ini menyebabkan penurunan
produktivitas kerja (presenteisme). Studi ini tidak menemukan adanya perbedaan
dalam hal gangguan terhadap produktivitas antara pasien dengan dispepsia
organik maupun fungsional (FD).4
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa sebanyak
15% - 30% orang dewasa mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data
pustaka Negara barat didapatkan angka prevalensi berkisar 7% - 41%, tetapi
hanya 10%-20% yang akan mencari pertolongan medis. Insidensi dispepsia
diperkirakan sebesar 10%, dengan kasus baru yang datang ke layanan primer
sebesar 5-7%.1
Hasil penelitian dari suatu sudi di negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Sngapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
5
menunjukkan bahwa 43 sampai dengan 79,5% dengan dispepsia mengalami
dispepsia fungsional.3
6
Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola keluhan dan
akan mempengaruhi pola pikir pengobatan yang akan diambil oleh klinisi. Pada
23% kasus ditemukan terdapat perlambatan pengosongan lambung yang
berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.
Sementara 35% kasus terdapat hipersentivitas terhadap distensi lambung dengan
manifestasi berupa keluhan nyeri, sendawa, dan adanya penurunan berat badan.
Pada 40% kasus dispepsia fungsional, gangguan akomodasi lambung
berhubungan dengan keluhan rasa cepat kenyang dan penurunan berat badan.
Oleh karena itu, atas dasar ini lah dispepsia fungsional dibagi menjadi tipe
dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.
Faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan
tingkat keparahan dispepsia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan
ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.2 Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
7
stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi
otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak ditemukan adanya
personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan pada studi terbatas
adanya kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang
tidak bahagia, adnaya riwayat kekerasan seksual, atau adanya gangguan psikiatrik.
2.6 Diagnosis
Dalam penegakkan diganosis dispesia kita harus mengingat bahwa
dispesia dibagi kedalam dua kelompok yaitu dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik merupakan dispesia yang disebabkan oleh adanya
permasalahan organik antara lain berupa ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
8
erosi, duodenitis, dan proses keganasan. Sementara dispesia fungsional mengacu
pada kriteria Rome III yaitu adalah suatu penyakit dengan satu atau gejala yang
berhubungan dengan gangguan gastroduodenal berikut:2
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di epigastrium
Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
Rasa cepat kenyang
Gejala di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Rome III membagi dispesia fungsional menjadi dua sub kelompok
yaitu epigastric pain sydrome dan postprandial distress syndrome.
Evaluasi tanda bahaya perlu dilakukan pada pasien dengan dispepsia.
Pasien dengan keluhan dispepsia disertai tanda bahaya merupakan indikasi atas
pemeriksaan endoskopi terlebih dahulu. Tanda bahaya pada dispepsia antara lain:2
Penurunan berat badan (unintended)
Disfagia progresif
Muntah rekuren atau persisten
Perdarahan slauran cerna
Anemia
Demam
Massa daerah abdomen bagian atas
Riwayat keluarga kanker lambung
Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang adalah untuk mengeksklusikan
gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi
tiroid, pankreas, dll.), radiologi (barium meal, USG, endoskopi ultrasonografi),
dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab
organik ataupun biokimiawi.1
9
2.7 Tatalaksana
10
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan
GERD sebagai kelainannya.
Dispepsi Organik
Kelainan yang dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster / ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misalnya rabeprazole 2x20 mg atau
lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
Dispepsia Fungsional1,2
Apabila setelah investigasi tidak ditemukan adanya keruskan mukosa
terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Pilihan
pertama pada pasien dengan keluhan dispepsia adalah dengan modifikasi pola
hidup dan diet. Sejauh ini memang belum ada penelitian yang secara resmi dan
bermakna untuk menilai efektifitas dietik dan modifikasi pola hidup pada kasus
dispepsia fungsional. Tidak ada dietik baku yang menghasilkan kesembuhan pada
pasien dengan keluhan dispepsia secara bermakna. Prinsip dasar menghindari
makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih bermanfaat.
Makanan yang merangsang seperti, makanan pedas, asam, atau tinggi lemak.
Sementara dari segi farmakologi, penggunaan prokinetik seperti
metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional.
Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional. 1,2
Dalam sebuah penelitian di Jepang, pasien dengan sindroma dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 (sumatriptan dan buspiron)
menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan dengan plasebo. Obat ini bekerja
dengan memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki keluhan setelah
makan.2
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas respetor serotonin
sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi
11
antidepresan pada pasien dispepsia fungsional. Pemberian antidepresan golongan
trisiklik dosis rendah (seperti amitriptilin) pada kasus dispepsia fungsional
dilaporkan dapat menurunkan keluhan dispepsia, terutama nyeri perut.1,2
Koppa-opiod agonis (fedotoksin) dapat menurunkan hipersensitivitas
lambung dalam studi pada volunteer serta pada beberapa studi dikatakan dapat
menurunkan kleuhan pada kasus dispepsia fungsional, meskipun manfaat klinik
maish dipertanyakan. Penggunaan obat lain, antagonis reseptor 5-HT3 alodetron
dilaporkan dapat menurunkan ras amual post prandial. Sementara ondansentron
juga pernah diteliti pada studi terbatas dan didapatkan adanya keunggulan sedikit
di atas plasebo.1
12
Tanda Bahaya (alarm sign):
penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif, muntah rekuren/persisten.
Perdarahan salurna cerna, anmeia, demam, massa daerah abdomen bagian
atas, riwayat keluarga dengan kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien
>45 tahun.
13
Ganbar 2.2 Algortima Tatalaksana Dispepsia Fungsional
14
Gambar 2.3 Algoritme Tatalaksana Eradikasi Infeksi Hp
2.8 Komplikasi
2.9 Prognosis
15
non ulkus. Dispepsia fungsional memiliki prognosis yang baik setelah
pemeriksaan klinis dan penunjang akurat.1
16
BAB 3
KESIMPULAN
1. Kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri atau rasa tidak nyaman di regio
epigastri, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa
2. Dispepsia dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu; 1). Dispepsia tipe ulkus
(ulcer like), dengan keluhan utama adalah nyeri epigastrik; 2). Dispepsia
tipe menyerupai dismotilitas (dismotility like), dengan keluhan lebih
dominan berupa kembunh, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang; 3).
Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang dominan.
3. Proses patofisiologik sindrom dispepsia dapat berupa hipotesis asam
lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis
hipersensitifitas viseral, serta hipotesis adanya gangguan psikologik atau
psikiatrik. Selain itu peranan helicobacter pylori dan riwayat konsumsi
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
4. Berdasarkan kriteria Rome III adanya atau gejala yang berhubungan
dengan dipspepsia adalah nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium,
rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan, rasa cepat kenyang. Gejala
tersebut harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan
awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
5. Kriteria Rome III membagi dispesia fungsional menjadi dua sub kelompok
yaitu epigastric pain sydrome dan postprandial distress syndrome.
6. Dispespsia yang belum diinvesitagi, terapi yang dapat diberikan adalah
terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Helicobacter pylori. Obat yang dapat diberikan antara
lain antasida, antisekresi asam lambung (PPI mislanya omeprazole,
rabeprazole, dna lansoprazole dan/atau H-1 receptor antagonist),
prokinetik, dan sitoprotektor.
7. Jika respon terhadapa pengobatan empirik, maka terapi dilanjutkan.
Namun apabila terdapat tanda-tanda bahaya (Alarm Sign), endoskopi
saluran cerna bagian atas perlu dilakukan untuk invesitgasi selanjutnya.
17
8. Dispepsia dapat memicu komplikasi seperti; ulkus peptikum, perforasi
lambung, anemia, dan kanker esofagus.
18
DAFTAR PUSTAKA
19