Anda di halaman 1dari 19

Clinical Science Session

SINDROMA DISPEPSIA

Oleh:
Frissia Dwi Agseptya 1840312307
Wira Genalhen 1840312433

Preseptor:
dr. Dinda Aprilia, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019

1
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan

Dispepsia merupakan salah satu dari berbagai keluhan umum yang dapat
ditemui di berbagai bidang, yang tidak hanya terbatas pada ahli saluran cerna, di
praktek klinis sehari-hari. Dispepsia merupakan suatu kondisi kompleks dengan
mekanisme patofisiologi multipel yang mencakup adanya gangguan motilitas
usus, hipersensitivitas viseral, genetik, infeksi/ post infeksi, dan faktor
psikososial. Dari data pustaka Negara barat didapatkan angka prevalensi berkisar
7% - 41%, tetapi hanya 10%-20% yang akan mencari pertolongan medis.
Insidensi dispepsia diperkirakan sebesar 10%, dengan kasus baru yang datang ke
layanan primer sebesar 5-7%.1
Hasil penelitian dari suatu studi di negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Sngapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
menunjukkan bahwa 43 sampai dengan 79,5% dengan dispepsia mengalami
dispepsia fungsional.3 Di Indonesia, belum ada data epidemiologi pasti tentang
sindroma dispepsia.1
Secara garis besar, penyebab sindroma dispepsia dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok penyakit organik(seperti tukak peptik, gastritis, batu
kandung empedu dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang
konvensional dan baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologik struktural atau biokimia, atau dengan
kata lain disebut kelompok gangguan fungsional.1

1.2 Batasan Masalah

Clinical science session (CSS) ini membahas definisi, etiologi,


patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis
sindroma dispepsia.

2
1.3 Tujuan Penulisan
Clinical Science Session ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis sindroma dispepsia.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Clinical Science Session ini menggunakan tinjauan kepustakaan


yang merujuk kepada berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani dimana “dys” berarti buruk dan
“pepsia” berarti pencernaan. Istilah dispepsia mulai banyak dikemukakan sejak
akhir tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang
terdiri atas nyeri atau rasa tidak nyaman di regio epigastri, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa. Keluhan dispepsia
merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek klinis sehari-hari.1
Dispepsia merupakan suatu kondisi kompleks dengan mekanisme
patofisiologi multipel yang mencakup adanya gangguan motilitas usus,
hipersensitivitas viseral, genetik, infeksi/ post infeksi, dan faktor psikososial. 4
Dalam konsensus Rome II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia
adalah sebagai berikut, dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the
upper abdomen. Konsensus Rome III tahun 2006 yang khusus membicarakan
entang gastrointestinal fungsinal, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
berikut:2
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab
keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu 6 bulan terkahir
sebelum diagnosis ditegakkan.

2.2 Klasifikasi

Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktek pengobatan, dispepsia dibagi


ke dalam tiga kelompok yaitu; 1). Dispepsia tipe ulkus (ulcer like), dengan
keluhan utama adalah nyeri epigastrik; 2). Dispepsia tipe menyerupai dismotilitas
(dismotility like), dengan keluhan lebih dominan berupa kembunh, mual, muntah,

4
rasa penuh, cepat kenyang; 3). Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang
dominan.
Menurut konsensus Rome III tahun 2006, dispepsia fungsional dibagi atas:
1). Post – prandial distress syndrome dimana pasien merasa penuh setelah makan
dalam porsi yang biasa atau rasa cepat kenyang sehingga tidak dapat
menghabiskan porsi makanan regular; 2). Epigastric pain syndrome dimana
pasien mnegeluh nyeri dan rasa terbakar, hilang timbul, berpusat di epigastrium.
Semua keluhan di atas tidak ditemukan pada bagian perut lainnya atau di daerah
dada.1

2.3 Epidemiologi

Dispepsia mengenai kurang lebih 25% sampai 40% populasi selama masa
hidupnya dan 3% - 5% diantaranya pasien datang ke layanan primer, dengan
perkiraan sebanyak 4 juta kunjungan ke layanan primer per tahunnya di Amerika
Serikat.4 Salah satu studi menyatakan bahwa 50% penduduk Eropa dan Amerika
Utara mendapatkan pengobatan untuk dispepsia, 12,4% pasien dengan dispepsia
sering izin bekerja dikarenakan oleh gejala yang dikeluhkannya. Studi lain pada
orang dengan dispepsia, didapati lebih dari 32% diantaranya sering absen kerja
dengan alasan gejala yang dikeluhkannya, sementara 78% diantaranya
melaporkan bahwa dengan adanya keluhan ini menyebabkan penurunan
produktivitas kerja (presenteisme). Studi ini tidak menemukan adanya perbedaan
dalam hal gangguan terhadap produktivitas antara pasien dengan dispepsia
organik maupun fungsional (FD).4
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa sebanyak
15% - 30% orang dewasa mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data
pustaka Negara barat didapatkan angka prevalensi berkisar 7% - 41%, tetapi
hanya 10%-20% yang akan mencari pertolongan medis. Insidensi dispepsia
diperkirakan sebesar 10%, dengan kasus baru yang datang ke layanan primer
sebesar 5-7%.1
Hasil penelitian dari suatu sudi di negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Sngapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)

5
menunjukkan bahwa 43 sampai dengan 79,5% dengan dispepsia mengalami
dispepsia fungsional.3

2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko yang mendukung sindrom dispepsia adalah:


 Pola makan yang tidak baik
 Infeksi bakteri atau parasit
 Penggunaan obat analgetik dan steroid
 Usia lanjut
 Alhkolisme
 Stress5

2.5 Etiologi dan patofisiologi

Beberapa hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan


patogenesis terjadinya dispepsia fungsional. Proses patofisiologik yang paling
banyak dibicarakan dan berhubungan dengan dispepsia fungsional antara lain:
hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis
hipersensitifitas viseral, serta hipotesis adanya gangguan psikologik atau
psikiatrik. Selain itu peranan helicobacter pylori dan riwayat konsumsi obat-
obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Faktor-faktor
lain yang ikut berperan dalam terjadinya dispepsia antara lain genetik, gaya hidup,
lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.1,2

Gangguan Motilitas Gastroduodenal2


Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri atas penurunan kapasitas
lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accomodation),
inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan
motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam
patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah
makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh.

6
Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola keluhan dan
akan mempengaruhi pola pikir pengobatan yang akan diambil oleh klinisi. Pada
23% kasus ditemukan terdapat perlambatan pengosongan lambung yang
berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.
Sementara 35% kasus terdapat hipersentivitas terhadap distensi lambung dengan
manifestasi berupa keluhan nyeri, sendawa, dan adanya penurunan berat badan.
Pada 40% kasus dispepsia fungsional, gangguan akomodasi lambung
berhubungan dengan keluhan rasa cepat kenyang dan penurunan berat badan.
Oleh karena itu, atas dasar ini lah dispepsia fungsional dibagi menjadi tipe
dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.

Peranan hipersensitivitas viseral


Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung
bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.
Mekanisme akan terjadinya hipersensitivitas ini masih belum dapat dipahami
sepenuhnya. Penelitian menggunakan balon intragastrik diperoleh bahwa pada
50% pasien dengan dispepsia fungsional telah merasakan nyeri atau tidak nyaman
di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan
dengan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada pasien populasi kontrol.1,2
Sebuah studi dengan menggunakan capsaicin menunjukkan adanya peningkatakan
sensitivitas terhadap stimulaso viseral pada pasien dengan FD. Beberapa
polimorfisme genetik diyakini berhubungan dengan hipersensitivitas viseral dan
gejala saluran cerna atas lainnya.4

Faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan
tingkat keparahan dispepsia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan
ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.2 Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus

7
stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi
otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak ditemukan adanya
personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan pada studi terbatas
adanya kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang
tidak bahagia, adnaya riwayat kekerasan seksual, atau adanya gangguan psikiatrik.

Peranan Asam Lambung


Asam lambung dapat berperan dalam munculnya keluhan dispepsia
fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari
beberapa penelitian pasien didspepsia fungsional. Data penelitian mengenai
sekresi asam lambung masih belum banyak, laporan di Asia masih kontroversial.2
Pada umumnya pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai tingkat sekresi
asam lambung yang normal. Peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbulkan rasa tidak enak diduga mendasari keluhan yang
dirasakan pasien.1

Peranan Infeksi Helicobacter pylori (Hp)


Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia fungsional ditemukan
bervairasi mulai dari 39% sampai dengan 87%. Dari berbagai laporan kekerapan
Hp tidak bermakna secara signifikan antara pasien dengan orang sehat. Hubungan
infeksi Hp dengan gangguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp
memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional.1,2
Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin, serta perubahan ekspresi
muscle-specific microRNA berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia
fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.2

2.6 Diagnosis
Dalam penegakkan diganosis dispesia kita harus mengingat bahwa
dispesia dibagi kedalam dua kelompok yaitu dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik merupakan dispesia yang disebabkan oleh adanya
permasalahan organik antara lain berupa ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis

8
erosi, duodenitis, dan proses keganasan. Sementara dispesia fungsional mengacu
pada kriteria Rome III yaitu adalah suatu penyakit dengan satu atau gejala yang
berhubungan dengan gangguan gastroduodenal berikut:2
 Nyeri epigastrium
 Rasa terbakar di epigastrium
 Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
 Rasa cepat kenyang
Gejala di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Rome III membagi dispesia fungsional menjadi dua sub kelompok
yaitu epigastric pain sydrome dan postprandial distress syndrome.
Evaluasi tanda bahaya perlu dilakukan pada pasien dengan dispepsia.
Pasien dengan keluhan dispepsia disertai tanda bahaya merupakan indikasi atas
pemeriksaan endoskopi terlebih dahulu. Tanda bahaya pada dispepsia antara lain:2
 Penurunan berat badan (unintended)
 Disfagia progresif
 Muntah rekuren atau persisten
 Perdarahan slauran cerna
 Anemia
 Demam
 Massa daerah abdomen bagian atas
 Riwayat keluarga kanker lambung
 Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang adalah untuk mengeksklusikan
gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi
tiroid, pankreas, dll.), radiologi (barium meal, USG, endoskopi ultrasonografi),
dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab
organik ataupun biokimiawi.1

9
2.7 Tatalaksana

Tatalaksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi


patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah
dapat dimulai berdasarkan dengan sindroma klinis yang dominan dan dilanjutkan
sesuai hasil investigasi.2

Dispepsia belum diinvestigasi


Strategi tatalaksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan
adanya Helicobacter pylori. Obat yang dapat diberikan antara lain antasida,
antisekresi asam lambung (PPI mislanya omeprazole, rabeprazole, dna
lansoprazole dan/atau H-1 receptor antagonist), prokinetik, dan sitoprotektor.
Tingginya prevalensi infeksi Hp menjadikan strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya. Adapaun
pasien yang boleh menjalaninya:
 Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap
perubahan gaya hidup, antasida, PPI tunggal selama 2-4 mingu dan tanpa
tanda bahaya.
 Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum
pernah diperiksa
 Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal
 Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12
Kontraindikasi test and treat antara lain:
 Penyakit reflaks gastroesofageal (GERD)
 Anak - anak dengan dispesia fungsional

Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahya tidak diberikan terapi
empirik, pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan terlebih dahulu dengan atau
tanpa pemeriksaan histopaotologi. Setelah dilakukan investigasi, maka tidak

10
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan
GERD sebagai kelainannya.

Dispepsi Organik
Kelainan yang dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster / ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misalnya rabeprazole 2x20 mg atau
lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

Dispepsia Fungsional1,2
Apabila setelah investigasi tidak ditemukan adanya keruskan mukosa
terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Pilihan
pertama pada pasien dengan keluhan dispepsia adalah dengan modifikasi pola
hidup dan diet. Sejauh ini memang belum ada penelitian yang secara resmi dan
bermakna untuk menilai efektifitas dietik dan modifikasi pola hidup pada kasus
dispepsia fungsional. Tidak ada dietik baku yang menghasilkan kesembuhan pada
pasien dengan keluhan dispepsia secara bermakna. Prinsip dasar menghindari
makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih bermanfaat.
Makanan yang merangsang seperti, makanan pedas, asam, atau tinggi lemak.
Sementara dari segi farmakologi, penggunaan prokinetik seperti
metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional.
Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional. 1,2
Dalam sebuah penelitian di Jepang, pasien dengan sindroma dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 (sumatriptan dan buspiron)
menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan dengan plasebo. Obat ini bekerja
dengan memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki keluhan setelah
makan.2
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas respetor serotonin
sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi

11
antidepresan pada pasien dispepsia fungsional. Pemberian antidepresan golongan
trisiklik dosis rendah (seperti amitriptilin) pada kasus dispepsia fungsional
dilaporkan dapat menurunkan keluhan dispepsia, terutama nyeri perut.1,2
Koppa-opiod agonis (fedotoksin) dapat menurunkan hipersensitivitas
lambung dalam studi pada volunteer serta pada beberapa studi dikatakan dapat
menurunkan kleuhan pada kasus dispepsia fungsional, meskipun manfaat klinik
maish dipertanyakan. Penggunaan obat lain, antagonis reseptor 5-HT3 alodetron
dilaporkan dapat menurunkan ras amual post prandial. Sementara ondansentron
juga pernah diteliti pada studi terbatas dan didapatkan adanya keunggulan sedikit
di atas plasebo.1

Dispepsia dengan infeksi Hp


Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala dispepsia. Dalam salah satu studi potong lintang pada 21 pasien di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapakan bahwa terapi eradikasi
memberikan perbiakan gejala pada mayoritas pasien dispepsia dengan pesentase
perbiakan gejela sebesar 76% dan 81% penemuan Hp negatif yang diperiksa
dengan UBT.

Tabel 1. Regimen terapi eradikasi Hp2

12
Tanda Bahaya (alarm sign):
penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif, muntah rekuren/persisten.
Perdarahan salurna cerna, anmeia, demam, massa daerah abdomen bagian
atas, riwayat keluarga dengan kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien
>45 tahun.

Gambar 2.1 Algoritme tatalaksana Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan


Kesehatan

13
Ganbar 2.2 Algortima Tatalaksana Dispepsia Fungsional

14
Gambar 2.3 Algoritme Tatalaksana Eradikasi Infeksi Hp

2.8 Komplikasi

Jika tidak ditangani segera, maka dispepsia dapat memicu beberapa


komplikasi seperti; ulkus peptikum, perforasi lambung, anemia, dan kanker
esofagus.

2.9 Prognosis

Berdasarkan beberapa penelitian, sebanyak 20% pasien dispepsia


mempunyai ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang
dari 1% pasien terkena kanker dan 5-40% dispepsia fungsional serta diyspepsia

15
non ulkus. Dispepsia fungsional memiliki prognosis yang baik setelah
pemeriksaan klinis dan penunjang akurat.1

16
BAB 3
KESIMPULAN
1. Kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri atau rasa tidak nyaman di regio
epigastri, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa
2. Dispepsia dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu; 1). Dispepsia tipe ulkus
(ulcer like), dengan keluhan utama adalah nyeri epigastrik; 2). Dispepsia
tipe menyerupai dismotilitas (dismotility like), dengan keluhan lebih
dominan berupa kembunh, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang; 3).
Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang dominan.
3. Proses patofisiologik sindrom dispepsia dapat berupa hipotesis asam
lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis
hipersensitifitas viseral, serta hipotesis adanya gangguan psikologik atau
psikiatrik. Selain itu peranan helicobacter pylori dan riwayat konsumsi
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
4. Berdasarkan kriteria Rome III adanya atau gejala yang berhubungan
dengan dipspepsia adalah nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium,
rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan, rasa cepat kenyang. Gejala
tersebut harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan
awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
5. Kriteria Rome III membagi dispesia fungsional menjadi dua sub kelompok
yaitu epigastric pain sydrome dan postprandial distress syndrome.
6. Dispespsia yang belum diinvesitagi, terapi yang dapat diberikan adalah
terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Helicobacter pylori. Obat yang dapat diberikan antara
lain antasida, antisekresi asam lambung (PPI mislanya omeprazole,
rabeprazole, dna lansoprazole dan/atau H-1 receptor antagonist),
prokinetik, dan sitoprotektor.
7. Jika respon terhadapa pengobatan empirik, maka terapi dilanjutkan.
Namun apabila terdapat tanda-tanda bahaya (Alarm Sign), endoskopi
saluran cerna bagian atas perlu dilakukan untuk invesitgasi selanjutnya.

17
8. Dispepsia dapat memicu komplikasi seperti; ulkus peptikum, perforasi
lambung, anemia, dan kanker esofagus.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid II. Edisi ke 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. p.
1805-1810.

2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) Kelompok Studi


Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI). Konsensus nasional
penatalaksanaan dispepsia dan infeksi helicobacter pylori. 2014. p.1-16

3. F Ari Syam, dkk. National Consensus on Management of Dyspepsia and


Helicobacter pylori Infection. Dyspepsia (jurnal). Acta Med Indones
Indones J Intern Med. 2017;49(2). p.279-287

4. Andre Yuriko, Machmud Rizanda, Arina Widya Murni. Hubungan pola


makan dengan kejadian depresi pada penderita dispepsia fungsional.
Jurnal kesehatan andalas. 2013;2(2).p.73-5

5. Ikatan dokter Indonesia(IDI). Panduan praktis klinis. Jakarta. 2014. p.98-


100

19

Anda mungkin juga menyukai