Anda di halaman 1dari 52

Case Report Session

ULKUS KORNEA

Oleh

Anisa Aprilia Adha 1840312458


Khalisha Nadira Patria 1940312046
Putri Sabila Hidayat 1840312649

Preseptor
dr. Ardizal Rahman, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PADANG
2019

i
Case Report Session

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan Shalawat beserta salam untuk
Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah Case Report Session yang berjudul ―Ulkus Kornea‖. CRS
ini disusun sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ardizal Rahman, Sp.M (K) sebagai
preseptor yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yag telah
membantu dalam penulisan CRS ini.
Semoga makalah CRS ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
berkepentingan. Akhir kata, segala saran dan masukan akan penulis terima dengan
senang hati demi kesempurnaan Case Report Session ini.
Padang, Desember 2019

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


Case Report Session

Daftar Isi
Halaman

Sampul Depan
Sampul Dalam
Daftar Isi iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Tujuan Penelitian 3
1.3 Manfaat Penelitian 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea 4


2.2 Fisiologi Kornea 5
2.3 Definisi 6
2.4 Klasifikasi 6
2.5 Faktor Predisposisi 8
2.6 Etiologi 10
2.7 Patogenesis 14
2.8 Gejala Klinis 16
2.9 Diagnosis 22
2.10 Penatalaksanaan 25

BAB 3 LAPORAN KASUS 35

BAB 4 DISKUSI 43

Daftar Pustaka 47

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iii


Case Report Session

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ulkus kornea adalah defek pada kornea yang melibatkan stroma. Kondisi
ini merupakan kondisi darurat pada mata yang dapat mengancam penglihatan.
Ulkus kornea dapat digolongkan menjadi ulkus kornea infeksi dan non-infeksi
menurut penyebabnya. Ulkus kornea infeksi adalah ulkus kornea yang disebabkan
oleh agen infeksius. Sedangkan penyebab non-infeksi dari ulkus kornea adalah
seperti reaksi autoimun, penyakit inflamasi sistemik, trauma, dan sebab-sebab
idiopatik.1 Menurut laporan Centers for Disease Control and Prevention, dari
930.000 kunjungan pasien ulkus kornea di Amerika Serikat pada tahun 2010,
76,5% kunjungan tersebut ditatalaksana dengan obat antimikrobial. Hanya 23,5%
kunjungan ulkus kornea di Amerika Serikat pada tahun 2010 yang diperkirakan
merupakan ulkus kornea non-infeksius2
Ulkus kornea infeksi merupakan ulkus yang didahului inflamasi pada
kornea sebagai akibat dari replikasi mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus,
fungi, dan protozoa. Berdasarkan data kejadian ulkus kornea pada Amerika
Serikat tahun 2010-2015 oleh National Inpatient Sample (NIS), ditemukan bahwa
ulkus kornea infeksi mencakup 84.2% kejadian ulkus kornea, dan jenis patogen
yang paling sering menginfeksi adalah bakteri. 3
Ulkus kornea akibat jamur merupakan penyebab utama kebutaan di Asia
dan meliputi hampir setengah kejadian keratitis infeksius pada daerah beriklim
tropis dan subtropis. Namun, ulkus kornea akibat jamur jarang terjadi pada negara
beriklim dingin, dan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dimana ulkus
kornea didominasi oleh bakteri.4
Ulkus kornea non infeksi dapat disebabkan oleh proses autoimun.
Peripheral Ulcerative Keratitis (PUK) adalah bentuk keratitis yang umum
ditemukan pada berbagai kondisi sistemik. PUK merupakan komplikasi okular
dari penyakit sistemik yang paling banyak terjadi nomor dua setelah uveitis
anterior. Beberapa penyakit sistemik yang memiliki kaitan dengan PUK, seperti:
rheumatoid arthritis (RA), systemic lupus erythematosus (SLE), Wegener

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


Case Report Session

granulomatosis (WG), relapsing polychondritis, classic polyarteritis nodosa,


microscopic polyangiitis, dan Sindroma Churg-Strauss.5
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu ulkus kornea
sentral dan ulkus kornea perifer. Ulkus kornea sentral terbagi menjadi ulkus
kornea bakterialis, ulkus kornea fungi, ulkus kornea virus, dan ulkus kornea
Acanthamoeba. Sedangkan ulkus kornea perifer dibagi menjadi ulkus marginal,
dan ulkus mooren.6
Terjadinya ulkus kornea bermula dari adanya peradangan pada kornea.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah
ulkus kornea.7
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan lampu celah serta pemeriksaan
laboratorium.6 Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya
injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai
adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan
hipopion. Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti
ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan
kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan
gram, giemsa atau KOH).1,7
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Tatalaksana
yang dapat diberikan yaitu non-medikamentosa dan medikamentosa.
Penatalaksanaan non-medikamentosa dapat berupa pencegahan, yaitu seperti
edukasi untuk meningkatkan higienitas dan sanitasi, berupa penggunaan lensa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


Case Report Session

kontak yang tepat, mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih, dan segera
membawa penderita ke fasilitas kesehatan terdekat agar dapat ditatalaksana
secepatnya. Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan harus sesuai dengan
kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Obatobatan yang
dapat diberikan tergantung mikroorganisme penyebab, yaitu dapat diberikan
antibiotik, anti jamur, anti viral dan anti acanthamoeba. Pada ulkus kornea juga
dapat dilakukan penatalaksanaan bedah, yaitu flap konjungtiva, amnion, dan
keratoplasti.7

1.2 Tujuan Penelitian


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
mengenai ulkus kornea

1.3 Manfaat Penelitian


Melalui penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah informasi dan pengetahuan mengenai ulkus kornea.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Case Report Session

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea adalah jaringan transparan dan avaskuler yang terletak didepan iris
dan pupil dan bersambung dengan sklera. Kornea berbentuk oval bila dilihat dari
depan, dengan panjang rata-rata 11 mm pada bidang horizontal dan 10 mm pada
bidang vertikal. Bagian sentral dari kornea yang memiliki derajat kurvatura lebih
tinggi dibandingkan bagian perifernya merupakan area masuknya berkas cahaya
ke dalam pupil. Ketebalan kornea bagian sentral adalah 0,5 mm, sedangkan
bagian perifer kornea berstruktur lebih tebal dan landai dengan ketebalan
mencapai 1 mm. Pada anak-anak, kornea dapat mengalami perubahan struktur dan
kelengkungan seiring dengan pertumbuhan. Ukuran akhir kornea dicapai pada
usia dekade ke 3, setelah itu ukurannya cenderung stabil seumur hidup. 8

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan kornea 8

Kornea terdiri atas 5 lapisan yaitu lapisan epitel, membran bowman,


stroma, membran descemet, dan endotelium. Lapisan epitel merupakan lapisan
terluar kornea. Diatas lapisan epitel, terdapat lapisan tear film sebagai lapisan
terluar mata yang berkontak dengan berkas cahaya. Lapisan epitel yang memiliki
ketebalan homogen memungkinkan kornea berfungsi dengan baik sebagai media

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Case Report Session

refraksi. Sel-sel basal epitel saling terhubung erat dan membentuk barrier fisika
dan kimiawi terhadap patogen dan zat-zat kimia dari dunia luar.8

Membran Bowman adalah lapisan aseluler yang terdiri atas serabut-serabut


kolagen yang tersusun secara acak. Membran Bowman terletak diantara lapisan
epitel dan lapisan stroma. Terdapat kesamaan komponen penyusun membran
Bowman dan lapisan stroma. Maka dari itu, membran Bowman dapat dianggap
sebagai bagian dari stroma. Lapisan stroma merupakan lapisan paling tebal yang
menyusun 90% dari kornea manusia. Lapisan ini terbentuk dari serabut-serabut
kolagen yang tersusun secara homogen dengan jarak antar serabut yang relatif
sama. Struktur ini memungkinkan berkas cahaya melewati stroma tanpa banyak
mengalami hambatan. Stroma berperan besar dalam mempertahankan
transparensi, bentuk, dan kekuatan kornea.8,9

Membran Descemet merupakan lamina basalis dari lapisan endotel kornea.


Lapisan ini memiliki tebal 3 µm pada bayi baru lahir, dan terus menebal selama
hidup hingga mencapai 10-12 µm. Lapisan endotel merupakan lapisan terdalam
kornea yang terdiri atas satu lapis sel. Lapisan ini berperan penting dalam
menciptakan deturgesensi kornea, yaitu kondisi dehidrasi relatif pada stroma.
Kondisi dehidrasi relatif ini perlu dipertahankan oleh kornea untuk mencegah
terjadinya kebutaan fungsional sebagai akibat dari hidrasi berlebihan pada kornea.
Lapisan endotel rentan terhadap kerusakan, dan perbaikan lapisan ini dilakukan
melalui pembesaran dan pergeseran sel-sel penyusunnya. 8,9

2.2 Fisiologi Kornea


Fungsi utama kornea adalah sebagai barrier protektif terhadap dunia luar
dan sebagai media transparan mata yang dilalui berkas cahaya.
1. Barrier protektif
Selain lapisan tear film, lapisan epitel kornea juga memiliki fungsi
yang penting dalam pertahanan mata dari mikroorganisme patogen.
Sel-sel pada posterior lapisan epitel saling bertautan erat dan berfungsi
sebagai perlindungan akhir terhadap patogen sebelum memasuki
stroma kornea. Sel-sel ini juga berfungsi sebagai penghalang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Case Report Session

masuknya cairan berlebihan ke dalam stroma dan menjaga


deturgesensi kornea.
2. Media transparan
Sifat transparansi kornea disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
kandungan air kornea sebesar 78% yang harus dipertahankan oleh
epitel dan endotel kornea. Kedua, susunan serabut kolagen, keratosit,
dan matriks ekstraseluler didalam stroma yang meminimalisir jumlah
berkas cahaya yang terhambur saat melewati kornea. Ketiga, sifat
kornea yang avaskuler sehingga cahaya yang memasuki kornea tidak
terhambat oleh pembuluh darah. Selain itu, tidak adanya pembuluh
darah pada kornea juga meminimalkan jalur keluar masuknya air pada
stroma sehingga mempermudah mekanisme pengaturan kadar cairan
kornea.7,9

2.3 Definisi
Ulkus kornea merupakan keadaan patologik hilangnya sebagian
permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Ulkus kornea ditandai dengan
infiltrat supuratif yang disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan
kornea yang dapat terjadi pada epitel sampai stroma yang memiliki batas, dinding
dan dasar. Ulkus kornea merupakan salah satu keadaan yang berpotensi
menyebabkankebutaan sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan
tepat6

2.4 Klasifikasi
Ulkus kornea, dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya sebagai
berikut6:
1. Ulkus kornea infeksi
Ulkus kornea infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
protozoa.
a. Bakteri
Ulkus kornea akibat bakteri lebih umum dibandingkan keratitis akibat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Case Report Session

jamur pada kebanyakan negara. Ulkus diawali dengan terjadinya keratitis


setelah ada defek pada epitel kornea. Epitel dapat mengalami kerusakan
pada penggunaan lensa kontak, abrasi kornea, dan trauma okuler lainnya.
Faktor resiko lain yang berpengaruh adalah diabetes, riwayat operasi pada
mata, penyakit mata kronis, penggunaan kortikosteroid, kontaminasi obat-
obatan okuler, and pekerjaan agrikultural. 10 Patogen yang paling umum
menyebabkan infeksi di Asia Tenggara adalah Pseudomonas aeruginosa
dan Streptococcus pneumonia.11 Staphylococcus epidermidis and
Staphylococcus fusarium merupakan bakteri yang paling umum ditemui
pada kasus polimikrobial.12
b. Jamur
Jamur merupakan penyebab ulkus kornea yang banyak ditemui pada
negara beriklim lembab atau panas. Infeksi akibat jamur hampir selalu
didahului dengan adanya riwayat trauma pada kornea dengan paparan
terhadap material tanaman atau tumbuh-tumbuhan setelahnya, atau disebut
trauma vegetatif.10 Jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi di
Asia Tenggara adalah Fusarium spp. dan Aspergillus flavus.11
c. Virus
Virus Herpes Simpleks merupakan jenis virus yang paling banyak
menginfeksi kornea, dan merupakan penyebab paling sering kebutaan
kornea infeksius unilateral di negara maju. 13 Varicella-zoster dan
Cytomegalovirus juga dapat menyebabkan inflamasi pada kornea
meskipun insidensinya rendah dibandingkan Herpes simpleks.
d. Protozoa
Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup bebas di tanah, dan air tawar
yang dapat menyebabkan inflamasi pada kornea terutama pada pengguna
lensa kontak. 10
2. Ulkus kornea non-infeksi
Ulkus kornea non-infeksius dapat disebabkan oleh bermacam hal, seperti:
Ulkus Mooren, Keratoconjunctivitis phlyctenular, keratitis marginal pada
penyakit autoimun, ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A, keratitis
neurotropik, dan keratitis eksposur. Ulkus Mooren merupakan ulkus kornea

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Case Report Session

kronik yang mulai berkembang dari perifer kornea hingga ke bagian sentral
kornea. Insidensi, karakteristik klinis, dan tingkat keparahan penyakit ini
bervariasi menurut lokasi geografis dan ras. Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa penyakit ini tergolong jarang pada negara-negara yang terletak di
hemisfer atas, namun tergolong sering pada India, China, Afrika selatan, dan
Afrika bagian tengah.14

2.5 Faktor Predisposisi


Ulkus kornea terjadi bila keutuhan sistem pertahanan kornea terganggu
sehingga beberapa mikroorganisme patogen dapat masuk ke jaringan kornea dan
menginfeksi. Agen infeksius sendiri jarang bisa menyebabkan kerusakan pada
epitel, kecuali virus herpes simpleks yang dapat menginfeksi epitel kornea dan
mengakibatkan ulserasi. Sedangkan bakteri, jamur, dan Acanthamoeba pada
umumnya hanya masuk bila telah terjadi kerusakan pada epitel sebelumnya.
Terdapat beberapa faktor predisposisi yang membuat kornea lebih rentan
terhadap invasi mikroorganisme, diantaranya:
1. Trauma
Trauma pada mata mengganggu keutuhan lapisan epitel kornea, sehingga
lapisan kornea yang lebih dalam seperti stroma lebih rentan terinfeksi oleh
mikroorganisme, terutama bakteri dan jamur. Trauma dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada mata maupun riwayat operasi mata seperti LASIK. Benda-
benda terkontaminasi seperti lensa kontak, makeup, dan benda asing lainnya
selain merusak epitel kornea juga langsung mengontaminasi kornea dan
menyebabkan inokulasi mikroorganisme patogen di kornea. Hasil penelitian The
Asia Cornea Society Infectious Keratitis Study (ACSIKS) menunjukkan trauma
merupakan faktor predisposisi utama keratitis infeksi di 8 negara di Asia. 11,15
2. Riwayat penggunaan lensa kontak
Resiko infeksi kornea meningkat hingga 10x lipat pada pengguna lensa
kontak. Penggunaan lensa kontak dapat meningkatkan resiko infeksi melalui
beberapa mekanisme, diantaranya memediasi perlekatan benda asing yang
terkontaminasi ke kornea; menyebabkan gangguan aliran air mata; menginduksi
mikrotrauma pada epitel kornea; mengganggu sistem imunitas kornea; dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


Case Report Session

menginduksi hipoksia kornea.7 Kontaminasi pada lensa kontak cenderung terjadi


pada pengguna lensa kontak yang tidak menjaga higienitas. Lensa kontak yang
melekat erat dan tidak bergerak meski pengguna mengedipkan mata akan
mengganggu sirkulasi air mata dibawah lensa kontak. Gangguan aliran air mata
ini menurunkan pertahanan kornea terhadap patogen, karena air mata merupakan
salah satu komponen penting dalam imunitas mata. Lensa kontak juga dapat
menyebabkan berkurangnya transmisi oksigen ke kornea sehingga dapat terjadi
hipoksia. Hipoksia pada kornea menyebabkan terjadinya metabolisme anaerobik
dan asidosis laktat yang mengganggu biomekanisme kornea. Selain itu, hipoksia
pada penggunaan lensa kontak dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel
kornea sehingga jaringan stroma dibawahnya terekspos terhadap patogen. Selain
faktor-faktor diatas, pemakaian yang melebihi waktu normal; prosedur perawatan
terhadap lensa kontak yang tidak benar; dan riwayat merokok juga ditemukan
berpengaruh terhadap kejadian keratitis infeksi pada pengguna lensa kontak.
3. Penggunaan kortikosteroid topikal
Penggunaan kortikosteroid topikal dalam jangka panjang memengaruhi
lapisan tear film dan mengganggu imunitas mata, dan meningkatkan resiko
keratitis infeksi akibat bakteri dan jamur. Kortikosteroid mengganggu proses
kemotaksis neutrofil yang merupakan salah satu respon awal sistem imun
terhadap infeksi. Pada keratitis bakterial, kortikosteroid juga mengganggu proses
fagositosis bakteri penginfeksi.15
4. Penyakit mata lainnya
Penyakit mata yang merusak integritas dan keutuhan epitel kornea, seperti
dry eye syndrome, trauma kimia, dan penyakit mata alergi dapat meningkatkan
resiko infeksi kornea oleh mikroorganisme oportunistik. Sementara, infeksi pada
bagian mata lain seperti dakrosistisis, kanalikulitis, meibomitis, dan blefaritis
berpotensi menyebarkan infeksinya ke kornea dan menyebabkan keratitis
infeksi.15 Namun, agen infeksi sendiri jarang dapat menyebabkan keratitis infeksi
bila kondisi epitel kornea masih utuh, kecuali virus Herpes simpleks yang
patogenitasnya tinggi dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel epitel. 16

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Case Report Session

5. Kondisi sistemik
Beberapa penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus, AIDS, Sindrom
Sjörgen, dan Sindrom Steven-Johnson dapat menjadi faktor predisposisi keratitis
infeksi. Pada Diabetes Mellitus, terdapat gangguan ikatan hemidesmosom epitel
kornea, penebalan membran basalis serta ikatan membran basalis dengan stroma
melemah. Kondisi diatas menyebabkan epitel kornea lebih rentan terkena erosi
sehingga dapat berujung pada keratitis infeksi. Pada AIDS terjadi defisiensi
sistem imun penderita, sehingga penderita cenderung lebih rentan terkena keratitis
infeksi terutama keratitis bakterial.15
Selain dari faktor risiko di atas, pasien dengan atopi dan cold sores
memiliki risiko tinggi munculnya keratitis herpes simpleks. Riwayat abrasi kornea
sebelumnya atau distrofi kornea dapat menjadi predisposisi sindrom erosi kornea
berulang. Penyakit kolagen vascular sistemik seperti artritis rematoid dapat
menyebabkan tumbulnya ulkus kornea non infektif dan mata kering.17

2.6 Etiologi
A. Ulkus kornea infeksi
Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan keratitis infeksi,
yang merupakan prekursor ulkus kornea infeksi, memiliki variasi geografis di
seluruh dunia. Variasi ini dapat dipengaruhi oleh iklim, cuaca, vegetasi, bentuk
tanah, dan faktor individu. Namun, pada dasarnya seluruh mikroorganisme dapat
menginfeksi keratitis bila terdapat kondisi dan faktor predisposisi yang
mendukung.7
1. Bakteri
Secara global, bakteri yang paling sering menyebabkan keratitis adalah
kelompok Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Pseudomonas aeruginosa, dan
kelompok Enterobacteria (seperti Serratia, Proteus, Enterobacter).7 Sementara
spesies bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis di tiap negara
bervariasi menurut lokasinya. Di Amerika Serikat dan Kanada, Staphylococcus sp.
dan Pseudomonas sp. merupakan penyebab terbanyak keratitis terutama pada
pengguna lensa kontak. Di negara-negara berkembang, Streptococcus sp.
merupakan patogen yang mendominasi. Selain variasi geografis, jenis bakteri
yang menjadi agen penginfeksi pada keratitis juga dipengaruhi oleh kondisi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Case Report Session

predisposisi yang dimiliki pasien. Bakteri dapat dikelompokkan menjadi bakteri


gram positif dan gram negatif. Beberapa contoh bakteri gram positif dan negatif
yang dapat menyebabkan keratitis pada manusia dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bakteri yang dapat menyebabkan keratitis pada manusia7


Gram Positif Gram Negatif
Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus epidermidis Serratia marcescens
Streptococcus pneumoniae Eschericia coli
Streptococcus pyogenes Klebsiella pneumoniae
Streptococcus viridans Proteus mirabilis
Bacillus cereus Neisseria gonorrhoeae
Bacillus coagulans Moraxella sp.
Corynebacterium sp.
Clostridium tetani
Nocardia spp.
Mycobacterium spp.

Bakteri gram positif bentuk kokus seperti S. aureus dan S. epidermidis


merupakan flora normal mata. Keratitis akibat kedua spesies bakteri ini biasa
ditemukan pada pasien dengan imunodefisiensi atau penderita dakrosistitis kronik.
Corynebacterium diphteriae adalah salah satu jenis bakteri yang ditemukan bisa
merusak epitel kornea yang masih utuh. Bacillus cereus merupakan bakteri gram
positif bentuk batang yang bisa menyebabkan ulkus kornea yang parah, biasanya
ditemukan pada individu yang mengalami trauma mata dan terkena kontaminasi
tanah.7
2. Jamur
Jamur adalah organisme eukariot yang membentuk filamen bercabang-
cabang, dan dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual melalui
spora. Jamur dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu jamur berfilamen
(filamentous fungi), jamur ragi (yeast), dan jamur difasik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Case Report Session

Jamur berfilamen adalah jamur yang bersifat multiseluler dan memiliki


hifa yang bercabang. Terdapat lebih dari 80 spesies jamur berfilamen yang telah
dilaporkan menyebabkan keratitis pada manusia. Jamur berfilamen yang paling
sering menyebabkan keratitis adalah jamur Fusarium sp., Aspergillus sp.,
Curvularia sp., Scedosporium apiospermum, dan Paecilomyces sp. Keratitis
akibat jamur berfilamen pada umumnya terjadi pada individu, terutama laki-laki,
yang beraktivitas di bidang agrikultural dan pekerjaan outdoor lainnya. Infeksi
akibat jamur berfilamen terjadi bila ada trauma pada mata, karena jamur
berfilamen tidak dapat menginvasi epitel kornea yang utuh dengan sendirinya.
Penggunaan lensa kontak juga merupakan faktor resiko utama lainnya dari
kejadian keratitis yang disebabkan jamur berfilamen. 18 Keratitis yang disebabkan
oleh jamur berfilamen terjadi terutama pada daerah dengan iklim tropis dan
subtropis, seperti: Meksiko, Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, Cina, India,
dan Asia Tenggara.19
Jamur ragi (yeast) adalah jamur uniseluler yang memiliki pseudohifa
dan bertunas. Jamur ragi yang paling sering menyebabkan keratitis adalah
Candida sp. Dan Cryptococcus sp. Selain kedua spesies ini, beberapa spesies lain
yang dapat menyebabkan keratitis adalah Geotrichum candidumb, Malassezia
furfur, Rhodotorula sp., dan Rhodosporidum toruloides. Keratitis akibat jamur
ragi terjadi terutama pada daerah beriklim temperate, seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa. Candida dan jamur ragi lainnya merupakan jamur
oportunistik yang dapat menginfeksi mata pada individu dengan kondisi
immunosupresif, baik lokal maupun sistemik. Contohnya adalah pasien dengan
penyakit mata kronik seperti keratoconjunctivitis atopik, keratitis sicca berat,
herpes stromal, keratitis neurotropik, dan lain-lain. Kondisi immunosupresif
sistemik terjadi pada pasien dengan diabetes, infeksi HIV, kanker, atau
mengonsumsi obat steroid.18
Jamur difasik, disebut juga jamur dimorfik, adalah jamur yang
membentuk ragi pada jaringan hidup dan pada media pembiakan membentuk hifa.
Contoh dari jamur tipe ini yang telah dilaporkan sebagai agen penyebab keratitis
adalah Blastomyces dermatitidis, Coccidioides immitis, Paracoccidioides
brasiliensis, dan Sporothrix schenckii. Namun, infeksi oleh jamur dimorfik lebih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Case Report Session

sering dikaitkan dengan kasus mikosis profunda dan kejadian keratitis akibat
jamur tipe ini sangat jarang.20
3. Virus
Keratitis akibat Virus Herpes Simpleks merupakan penyebab utama
kebutaan pada negara-negara maju. Virus Herpes Simpleks dapat menimbulkan
lesi yang meninggalkan jaringan parut pada kornea dalam proses
penyembuhannya, sehingga kondisi ini berujung pada kebutaan. Di Amerika
Serikat, kurang lebih 500.000 penduduk menderita keratitis Herpes Simpleks
setiap tahunnya.21 Virus Herpes Simpleks, bersama virus Varicella-Zoster,
merupakan anggota dari subfamili virus herpesviridae. Keratitis akibat virus
Varicella-Zoster cenderung ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun.22
Selain golongan herpesviridae, terdapat beberapa virus lain yang dapat
menyebabkan keratitis seperti adenovirus, citomegalovirus, enterovirus, dan lain-
lain. Namun, angka kejadian keratitis akibat virus-virus tersebut kurang signifikan
bila dibandingkan keratitis Herpes Simpleks.
4. Protozoa
Protozoa adalah organisme eukaryot yang tubuhnya terdiri atas satu sel
tunggal (uniseluler). Protozoa yang paling sering menyebabkan keratitis adalah
Acanthamoeba. Acanthamoeba merupakan organisme patogen yang hidup di alam
bebas seperti di tanah, air, udara, dan debu. Keratitis akibat Acanthamoeba sering
ditemukan pada pengguna lensa kontak di negara-negara maju. Sedangkan di
negara berkembang, kejadian keratitis Acanthamoeba lebih sering dikaitkan
dengan trauma okuler yang terkontaminasi lumpur atau air yang kotor. 23 Keratitis
Acanthamoeba yang terjadi pada pengguna lensa kontak diduga adalah akibat
proses desinfeksi yang tidak sesuai standar, atau akibat kontaminasi lensa kontak
oleh air keran baik langsung maupun tidak langsung. Insidensi keratitis
Acanthamoeba diperkirakan mencapai satu dari 30.000 pengguna lensa kontak,
pada negara-negara yang tinggi angka penggunaan lensa kontak. Selain
Acanthamoeba, protozoa-protozoa lain yang dapat menyebabkan keratitis adalah
Microsporidia, Toxoplasma, Entamoeba, dan Naegleria. 23 \

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Case Report Session

2.7 Patogenesis
Infeksi pada mata dapat terjadi melalui inokulasi mikroorganisme secara
eksogen maupun melalui penyebaran hematogen melalui darah. Inokulasi dari
dunia luar dapat terjadi melalui trauma, kontak langsung, bantuan vektor,
hubungan seksual, infeksi saluran nafas atas yang menyebar melalui duktus
nasolakrimal, dan berbagai proses lainnya. Sedangkan infeksi dari penyebaran
hematogen jarang terjadi. Derajat keparahan dan karakteristik dari masing-masing
infeksi dipengaruhi oleh faktor virulensi patogen, ukuran inokulum, dan sistem
imunitas host. Mekanisme infeksi oleh mikroorganisme dapat dirumuskan
menjadi empat tahap, yaitu: perlekatan (adherence), penghindaran (evasion),
invasi, dan replikasi.7
1. Perlekatan (adherence)
Proses pertama dalam infeksi kornea adalah perlekatan mikroorganisme ke
permukaan kornea. Berbagai tipe mikroorganisme memiliki proses berbeda-beda
untuk melekat pada permukaan kornea. Acanthamoeba memproduksi protein
mannose-binding protein untuk melekat pada komponen mannose glycoprotein
yang terdapat pada permukaan kornea. Bakteri dan jamur memiliki berbagai jenis
adhesin yang membantunya melekat pada reseptor di permukaan epitel kornea. P.
aeruginosa, S. pneumonia dan S. aureus. memiliki kemampuan melekat yang
lebih tinggi dibanding bakteri jenis lainnya terhadap epitel kornea yang telah
cedera. Jamur terutama melekat hanya pada permukaan kornea yang telah rusak.
7,24

Adhesi pada permukaan bakteri seperti pada fili, fimbrae, yang mengenali
karbohidrat atau protein spesifik sel host menyebabkan adheren. Pada jamur,
adhesi dilakukan melalui binding dengan fungal site seperti laminin, fibronektin,
kolagen, dan lain-lain. Virus Herpes Simpleks memiliki berbagai glikoprotein
pada kapsidnya yang dapat berinteraksi dengan protein heparan sulfate pada
permukaan kornea untuk mempenetrasi sel host. Pada Acanthamoba, adhesi
berarti terjadi penyatuan anatara reseptor mannose dengan permukan ocular
dengan membrane tropozoid. Tambahan, pada trauma ringan atau abrasi kornea,
dan penggunaan lensa kontak meningkatkan regulasi glikoprotein mannose pada
epitel kornea, menyebabakan adherensi semakin kuat 25

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Case Report Session

2. Penghindaran (evasion)
Bakteri menghindari sel-sel imun dan molekul-molekul antibakteri pada
tear film host dengan mengekspresikan molekul eksopolisakarida yang
mengganggu proses fagositosis. Sedangkan virus memiliki berbagai mekanisme
untuk menghindari proses imunitas host. Virus Herpes Simpleks dapat meregulasi
pembentukan protein khusus yang menyebabkan sel yang didiami virus Herpes
Simpleks menjadi rentan terhadap lisis oleh sel T. 7 Pada jamur, ditemukan adanya
penggantian morfogenesis dan mekanisme adaptif, yang membuat jamur danpat
bertahan dari obat antifungi dan resisten terhadap obat antimikrobial. 25
3. Invasi
Terdapat sebagian kecil bakteri yang dapat merusak epitel kornea yang
masih utuh, seperti: Neisseria gonorrhoeae, N. meningiditis, Corynebacterium
diphteriae, dan lain-lain. Invasi pada bakteri difasilitasi oleh enzim-enzim seperti
protease, exotoksin, yang menghasilkan kerusakan membrane basalis dan matiks
ekstrasel, menyebabkan sel lisis.
Pada keratitis jamur, jamur menginvasi kornea, menimbulkan akses ke
anterior chamber, mempengaruhi drainase dari aqueous humor. Akibatnya terjadi
peningkatan tekanan intraocular yang dapat berujung pada glaukoma. Invasi
jamur berhubungan langsung dengan jumlah jamur dan sejalan dengan intensitas
respon inflamasi.Invasi stromal pada acanthimoeba difasilitasi oleh protease yang
disekresikan oleh tropozoid melalui aktivitas kolagen25.
4. Replikasi
Mikroorganisme yang menginfeksi bereplikasi pada sel host. Jumlah
mikroorganisme yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi juga dipengaruhi
oleh faktor virulensi suatu mikroorganisme. Mikroorganisme yang bersifat sangat
patogenik (highly pathogenic) dapat menyebabkan infeksi hanya dalam jumlah
kecil saja.7
5. Nekrosis stroma dan produksi infiltrat berbentuk cincin
Eksotoksin dan protease yang dikeluarkan oleh bakteri selama masa
replikasi menetap di kornea, menyebabkan destruksi kornea terus menerus.
Hampir semua eksotoksin labil terhadap panas dan memiliki profil antigen.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Case Report Session

Lipopolisakarida pada bakteri, saat dikeluarkan akan membentuk cincin stromal.


Cincin ini megandung leukosit polimorfonuklear. 25
6. Efek sitopatik
Ikatan antara tropozoid dengan permukaan kornea menyebabkan
deskuamasi ekstensif pada epitel kornea, menyebabkan penetrasi pada membrane
Bowman melalui sitolisis direk, fagositosis, dan apoptosis. Jika terjadi kemotaktil
akibat acanthamoeba di sekitar nervus korneal, akan menghasilkan keratoneuritis
radial. Tropozoid merusak nervus dengan sitolisis direk ataupun apoptosis. Efek
sitopatik ini akan menyebabkan rasa nyeri hebat pada mata. 25

Pada keratitis perifer (PUK), terjadi akibat proses autoimun. Ulkus di


perifer timbul akibat adanya perbedaan lokalisasi penyakit yang dijelaskan
melalui perbedaan antara faktor imunologi pada sentral dan perifer kornea.
Intinya, pada ulkus perifer, lebih kea rah konjungtiva dari pada kornea. Artritis
rheumatoid daoat menyebabkan munculnya ulkus perifer. Normalnya, sinoviosit
bukan sebuah antigen, nmun pada keadaan rheumatoid, tubuh mengenali
sinoviosit tersebut sebagai antigen dan menyebabkan teraktivasinya sel T dan sel
B. Akumulasi sel T dan sel B pada stroma kornea akan menyebabkan produksi
enzim proteolitik dan kolagenolitik yang akan merusak bentuk kornea. Kemudian
akan tampa defek pada epitel dan cairnya stromal secara prograsif yang
bermanifestasi bentuk crescent shaped area. 26
Pasien dengan SLE dapat menyebabkan kerusakan toleransi sel B yang
menyebabkan produksi antinuclear antibody. Kemudian terjadi penyatuan antigen
dan kompleks imun dan menyebabkan apoptosis pada kornea. 26

2.8 Gejala Klinis


Gejala-gejala klasik dari ulkus kornea adalah berupa nyeri, mata berair,
adanya discharge, fotofobia, penurunan ketajaman penglihatan, dan
pembengkakan kelopak mata. Ulkus kornea infeksi dapat dibedakan dari ulkus
kornea non-infeksi berdasarkan gejala-gejala tertentu. Lapisan tear film pada
ulkus kornea dipenuhi oleh sel-sel dan debris yang dapat diamati melalui
pemeriksaan slit-lamp. Temuan serupa tidak ditemukan pada ulkus kornea non-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Case Report Session

infeksi. Selain itu, lapisan epitel kornea akan rusak pada area-area aktif infeksi,
dan inflamasi stroma ulkus kornea infeksi bersifat supuratif.7 Gejala yang timbul
dapat bervariasi dan dapat menunjukkan kecenderungan infeksi oleh suatu
mikroorganisme spesifik. Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan dasar
diagnosis jenis mikroorganisme penyebab ulkus kornea.
1. Keratitis bakteri
Tanda dan gejala keratitis bakterialis dibedakan berdasakran durasi infeksi,
status imunitas host, virulensi bekteri, dan penggunaan antibiotic dan steroid
sebelumnya. Pasien dengan keratitis bakterialis datang dengan kemerahan, nyeri,
penurunan penglihatan, pembengkakan pada kelopak mata, discharge purulent dan
fotofobia. Pada pemeriksaan dengan slit lamp akan ditemukan reaksi papil
konjungtiva, injeksi siliaris, kemosis, infiltrate berwarna abu-abu hingga putih
pada epitel dan stroma, reaksi anterior chamber, dan hipopion.

Gambar 2.2 A. Keratitis Parsial dengan hipopion. B Abses kornea pada Keratitis
Pseudomonas.27

2. Keratitis jamur
Gejala-gejala klinik dan tanda-tanda inflamasi pada fase awal infeksi keratitis
jamur cenderung lebih ringan dibandingkan dengan gejala keratitis bakteri. Pada
keratitis akibat jamur berfilamen, gambaran infiltrat yang ditemui pada umumnya
berwarna putih keabuan, dengan tepi yang tidak teratur dan bercabang halus
(feathery). Seiring perkembangan penyakitnya, gejalanya dapat menyerupai gejala
keratitis bakteri. Sementara, keratitis akibat jamur ragi gejalanya cenderung
bersifat superfisial. Keratitis akibat jamur ragi pada umumnya akan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


Case Report Session

memperlihatkan gambaran infiltrat berwarna putih, superfisial, dan tampak


kerusakan epitel diatas infiltrat tersebut. Hipopion yang terfiksir (immobile)
merupakan salah satu gejala keratitis jamur.7 Selain itu, juga ditemukan ring
infiltrar, plak endotel, hipopion, dan perforasi kornea. Pada pemeriksaan klinis
dapat berupa pembengkakan, reaksi chamber anterior, dan hipopion. 27

Gambar 2.3 A merupakan tampilan klinis fungal keratitis. B merupakan


penampakan ulkus kornea pada membrane graft. 27

3. Keratitis virus
Keratitis akibat Virus Herpes Simpleks dapat terjadi dalam beberapa
bentuk, diantaranya: Keratitis epitelial infeksi, Keratitis epitelial neurotrofik,
Keratitis stromal herpes, dan Endothelitis. Keratitis epitelial infeksi merupakan
keratitis yang terjadi akibat infeksi virus HSV dan masih aktif pada area infeksi
(live virus). Sedangkan keratitis epitelial neurotropik dan endothelitis merupakan
akibat gangguan inervasi kornea dan reaksi hipersensitivitas yang delayed yaitu
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Keratitis stromal dapat terjadi sebagai lanjutan
15
keratitis epitelial infeksi, maupun akibat reaksi imun tipe III.
Pasien dengan keratitis epitelial infeksi dapat merasakan sensasi benda
asing, sensitif terhadap cahaya, mata merah, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Lesi kornea keratitis ini dapat timbul dalam berbagai bentuk. Lesi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Case Report Session

kornea dapat berupa sel-sel epitel yang menonjol dan tampak sebagai plak-plak
bulat kecil berwarna putih. Keratitis dengan lesi tersebut juga disebut keratitis
punctate. Lesi tersebut dapat membesar dan membentuk cabang-cabang, lalu sel
epitel pada bagian pusat lesi akan mencekung. Pada setiap ujung cabangnya akan
terdapat tonjolan akibat edema sel epitel setempat, yang merupakan tempat virus
15
aktif bereplikasi. Keratitis dengan lesi demikian disebut keratitis dendritik.

27
Gambar 2.4 Tampilan klinis pada kasusu ulkus dendrit pada keratitis herpes.

4. Keratitis Acanthamoeba
Gambaran klasik keratitis acanthamoeba adalah nyeri sedang-berat,
penurunan penglihatan, kemerahan, iritasi, sensasi benda asing, fotofobia,
discharge mukus, dan mata berair. Nyeri merupakan gejala yang dominan pada
fase awal infeksi. Hipopion merupakan gejala yang umum terjadi. Pada tahap
lebih lanjut, terdapat infiltrat berbentuk cincin yang terletak di mid-perifer kornea.
Gejala ini merupakan pathognomonic dari keratitis Acanthamoeba.15
Kecurigaan terpenting untuk mendiagnosis kasus Acanthamoeba ini adalah
dengan; (1) pada semua pengguna lensa kontak, (2) pada kasus trauma kornea
yang terekspos ke air atau tanah terkontaminasi. Pada stadium awal penyakit akan
ditemukan akrakteristik epiteliopati termasuk keratopati punctata, pseudo-dendrit,
infiltrat epitel/subepitel, dan infiltrat perineural.27

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Case Report Session

Gambar 2.5 Tampilan klinis Keratitis Acanthamoeba.27

Pada ulkus kornea perifer, dibagi atas 3 bentuk;1

1. Ulkus Mooren.
Ulserasi perifer kornea, termasuk superfisial stroma dengan hilangnya
epitel. Melingkar, lalu kemudian penebalan bagian tengah kornea dengan
infiltrasi.

Gambar 2.6 Ulkus Mooren


2. Ulkus yang berhubungan dengan penyakit sistemik autoimun
Infiltrasi stroma disertai ulkus crescentic pada limbus. Dapat ditemukan
skleritis, episkleritis, dan limbitis.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Case Report Session

Gambar 2.7 Ulkus Akibat penyakit sistemik autoimun


3. Degenerasi Terrien Margina
Asimtomatik. Opasitas stromal berwarna kekuningan

Gambar 2.8 Degenerasi Terrien Marginal

Berikut merupakan perbandingan gejala klinis pada masing-masing


penyakit kornea

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


Case Report Session

Gambar 2.9 Perbedaan gejala klinis pada penyakit kornea17

2.9 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis harus mencakup pertanyaan tentang faktor risiko untuk ulkus kornea
seperti penggunaan lensa kontak (jenis lensa, kebiasaan penyimpanan, kebersihan,
riwayat penggunaan jangka panjang), riwayat operasi mata sebelumnya, riwayat
trauma pada mata, riwayat pajanan herpes, pajanan di tempat kerja, dan
penggunaan obat-obatan imunosupresan. Hal penting lainnya dalam anamnesis
yaitu tingkat keparahan dan kualitas nyeri, progresifitas munculnya gangguan
pada mata seperti mata merah dan sekret atau mata berair, dan ada atau tidak
adanya photophobia atau penglihatan yang kabur. Riwayat penyakit dahulu harus
dieksplorasi karena penyakit seperti diabetes dan rheumatoid arthritis, dan
penyakit kolagen vascular, , AIDS, keganasan, dan terapi imunosupresi khusus
dapat mempengaruhi pasien dalam perkembangan terjadinya ulkus kornea.6,28
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan visus, pemeriksaan
tekanan intraokular, dan pemeriksaan respons pupil. Kelopak mata harus diperiksa
untuk melihat apakah ada inversi (entropion) atau eversi (ektropion). Entropion
menyebabkan abrasi pada kornea sedangkan ektropion dan lagophthalmos
menyebabkan mata kering dan terpapar.Pemeriksaan konjungtiva dilakukan untuk
melihat adanya injeksi konjungtiva, pembengkakan, atau keluarnya sekret serta
adanya ciliary flush. Pemeriksaan kornea dengan menggunakan pewarna fluoresen
1% berguna untuk melihat bagian epitel kornea yang hilang yang akan tampak
hijau cerah. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.

Fakultas Kedokteran UniversitasGambar


Andalas2.10. Pewarnaan Fluoresen pada 22
Case Report Session

Pemeriksaan slit lamp secara menyeluruh harus dilakukan untuk


menentukan ukuran, lokasi, dan bentuk lesi. Permukaan mata harus diperiksa
menggunakan oftalmoskop langsung.17,28

Pemeriksaan mikrobiologis merupakan pemeriksaan penunjang utama


yang memengaruhi diagnosis dan tatalaksana spesifik kasus keratitis infeksi.
Spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi pada keratitis infeksi dapat diambil
dari berbagai lokasi. Spesimen utama yang dibutuhkan adalah kerokan kornea
(corneal scraping). Untuk ulkus yang berukuran >2 mm, American Academy of
Ophthalmology menganjurkan pengambilan sampel dari 2 atau lebih lokasi.
Spesimen pemeriksaan juga dapat diambil dari lensa kontak, kotak penyimpanan
lensa kontak, dan cairan pembersih lensa kontak, bila pasien adalah pengguna
lensa kontak.28 Pemeriksaan mikrobiologis yang dapat dilakukan pada keratitis
infeksi adalah:

1. Pemeriksaan Gram, Giemsa, dan KOH


Pewarnaan Gram dilakukan secara rutin untuk mengidentifikasi
mikroorganisme penyebab keratitis infeksi. Hasil pemeriksaan ini
mengelompokkan bakteri menjadi gram-negatif dan gram-positif. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas sebesar 90%. Pewarnaan Giemsa tergolong pewarnaan
spesial dan tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin, meskipun pemeriksaan ini
termasuk pemeriksaan yang umum dilakukan. Pemeriksaan ini membedakan
bakteri dari jamur, dan dapat mengidentifikasi tropozoit dari Acanthamoeba.
Pemeriksaan KOH membantu mengidentifikasi jamur dan memiliki sensitivitas
yang cukup tinggi yaitu sebesar 99,1%.13
2. Kultur mikroba
Pemeriksaan kultur mikroba adalah gold standard untuk diagnosis keratitis
infeksi. Media kultur yang rutin digunakan adalah agar darah, agar coklat, agar
Saboroud’s dextrose bila diduga jamur, dan media anaerob (bila diduga bakteri
anaerob). Seringkali, hanya sedikit sekali bakteri yang dapat diperoleh dari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Case Report Session

spesimen kerokan. Oleh karena itu, idealnya spesimen diletakkan langsung pada
piringan kultur tanpa melalui media transpor. Adanya tanda pertumbuhan
mikroorganisme, sekecil apapun, dianggap ―kultur positif‖. Namun kebanyakan
kasus infeksi masih menghasilkan ―kultur negatif‖. 6,13
Berikut rekomendasi media kultur oleh AAO:

Tabel 2.2 Rekomendasi Media Kultur untuk Keratitis Mikrobial. 6

Mikroorganisme yang Dicurigai Media


Bakteri Aerob Agar darah
Agar coklat
Thioglycollate broth
Bakteri Anaerob Agar darah anaerob
Agar Phenylethyl alcohol di ruang anaerob
Thioglycollate broth
Mycobacteria Agar darah
Agar Lowenstein-Jensten
Jamur Agar darah (25⁰C)
Agar Saboraud’s (25⁰C)
Agar Brain-heart infusion
Acanthamoeba Agar nonnutrien dengan overlay bakteri
(Enterobacter aerogenes, Eschericia coli)
Agar darah
Agar buffered charcoal-yeast

3. Uji resistensi antibiotik (Antibiotic susceptibility testing)


Metode uji resistensi bakteri terhadap antibiotik yang telah terstandardisasi
adalah metode disc diffusion assay dan metode micro-dilution. Kekurangan dari
uji resistensi antibiotik yang digunakan pada mata adalah pemeriksaan ini hanya
dapat mengukur kadar antibiotik yang terdapat dalam serum, bukan kadar asli

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Case Report Session

yang telah mencapai mata sebagai organ targetnya. Sehingga, ada kemungkinan
didapatkan hasil pemeriksaan ―resisten‖ palsu. 13

Diagnosis morfologik lesi kornea6:

1. Epitelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besar jenis konjungtivitis dan
keratitis dan pada kasus tertentu mungkin merupakan satu-satunya
jaringan yang terkena (mis., pada keratitis punktata superficialis).
Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi
sampai erosi-erosi kecil, pembentukan filamen, keratinisasi parsial. Lokasi
lesi-lesi itu juga bervariasi pada kornea. Semua variasi ini mempunyai
makna diagnostik yang penting.
2. Stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit, antara lain
infiltrasi,yang menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema tampak
sebagai penebalan kornea, pengeruhan, atau parut; "perlunakan" atau
nekrosis, yang dapat berakibat penipisan atau perforasii dan vaskularisasi.
Tampilan respons-respons tersebut kurang spesifik untuk menunjukkan
keberadaan penyakit jika dibandingkan dengan yang terlihat pada keratitis
epitelial, dan dokter sering harus mengandalkan pemeriksaan laboratorium
dan informasi klinis lain untuk menetapkan penyebabnya.
3. Endotelial
Disfungsi endotel kornea akan berakibat pada edema kornea, yang
mula-mula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari edema
kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular, yang
dimulai pada epitel dan diikuti stroma. Selama kornea tidak terlalu
sembab, kelainan morfologik endotel kornea sering masih dapat dilihat
dengan slitlamp. Sel-sel radang pada endotel (keratic precipitates, atau
KPs) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang
juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang bisa dan bias juga
tidak menyertai keratitis stromal.

2.10 Penatalaksanaan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


Case Report Session

Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
1. Penatalaksanaan non medikamentosa
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya.
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang.
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk yang bersih.
d. Menghindari asap rokok karena dapat memperpanjang proses
penyembuhan luka.
2. Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi
yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan anti mikrobial yang dapat
diberikan berupa :
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas dapat diberikan berupa tetes, salep atau injeksi
subkonjungtiva.
Contoh : Cefazolin 5%, gentamisin 1,4%, ciprofloxacin 0,3%
b. Anti jamur
-jamur berfilamen : Natamicin 5%
-ragi (yeast) : Amphotericin-B 0,15%
c. Anti viral
Ulkus kornea akibat virus dapat sembuh secara spontan. Namun,
pemberian antiviral dapat memendekkan masa penyembuhannya.
Untuk herpes zoster atau herpes simpleks dapat diberikan anti viral
topikal seperti salep asiklovir 3% tiap 4 jam.
d. Anti acanthamoeba
Tidak ada pengobatan tunggal yang efektif untuk melawan
Acanthamoeba ini. Agen topikal yang paling efektif saat ini
digunakan untuk melawan Acanthamoeba trofozoit dan kista yaitu

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Case Report Session

poliheksametilen biguanid 0,02%-0,06% dan propamidin isetionat


0,1% atau salep klorheksidin glukonat 0,02%.

Berdasarkan Guideline for the Management of Corneal Ulcer yang


diterbitkan oleh WHO, penatalaksanaan terhadap keratitis supuratif pada fasilitas
kesehatan tingkat tersier adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Petunjuk Terapi Keratitis pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier
(Guideline for the Management of Suppurative Keratitis at Tertiary Ophthalmic
Centres) oleh World Health Organization25
Pemeriksaan Tidak Ditemukan Ditemukan Ditemukan hifa
mikrobiologi ditemukan bakteri gram bakteri gram jamur
tidak dapat organisme positif negatif
dilakukan
Tetes mata
Tetes mata Cefazolin 5% dan Gentamycin 1.4% per jam Natamycin 5%
per jam
Ciprofloksasin dapat digunakan sebagai alternatif Gentamycin. atau tetes mata
Bila tetes mata per jam tidak memungkinkan, dipertimbangkan Amfoterisin
injeksi sub-konjungtiva 0.15% per jam
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan :

● Sulfas atropine 1%
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga
mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.28

3. Penatalaksanaan bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


Case Report Session

a. Flap Konjungtiva

Flap konjungtiva telah digunakan pada penyakit kornea sejak tahun1800.


Transplantasi flap konjungtival telah digunakan untuk mengobati ulkus kornea
berulang. Transplantasi flap konjungtiva adalah metode pengobatan yang
sederhana, efisien, dan hemat biaya. Ini mengontrol peradangan dan melindungi
mata dari perforasi. Pembuluh darah dan limfatik dari flap terlibat dalam proses
penyembuhan: pertama, mereka mengangkut nutrisi ke permukaan kornea dan
meningkatkan resistensi terhadap infeksi, dan kedua, mereka mengurangi
mediator dan protease proinflamasi lokal. 29
Flap konjungtiva digunakan pada pengobatan medis gagal dengan ulkus
pada epitel dan stromal yang berulang, khususnya pada penyakit permukaan mata
yang persisten. Indikasi tersering digunakan untuk tatalaksana ulkus kornea
persisten.29
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas dari
permukaan kornea yang sudah menurun secara lama dan menyediakan bantuan
metabolik dan mekanik pada penymbuhan kornea. 29
Teknik flap konjungtiva terbagi 3 :
1. Total Flap
Menutupi seluruh kornea, disebut Flap Gunderson.
2. Pedicle Flap (racquet).
Flap ini membawa persediaan darah sendiri dari limbus dan
berguna untuk ulkus di dekat limbus.
3. Bridge Flap.
Digunakan untuk meliputi sentral atau parasentral pada defek
kornea. Teknik hampir sama dengan flap Gundersen kecuali
ukuran dari flap diukur sesuai dengan lesi yang akan di tutup.
Epitel kornea dibuang pada area yang akan ditutup. Kemudian
flap diletakan meliputi lesi kornea dan di ikat dengan benang
vicryl atau nylon.
Prosedur ini dapat dilakukan di bawah anestesi lokal. 28,29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Case Report Session

b. Keratoplasti

Transplantasi kornea diperlukan jika perforasi kornea luas ( diameter > 3


mm), dan tergantung dari ukuran defek, patch graft berdiameter kecil atau
keratoplasti berdiameter besar, baik tipis atau tebal dapat dilakukan. Peran
transplantasi kornea adalah tektonik yang paling utama, karena menjaga integritas
dunia dan juga terapi dalam perforasi kornea infeksius, karena menggantikan
kornea yang terinfeksi. Karena berkurangnya ketersediaan jaringan kornea,
berbagai cangkok kornea telah digunakan, seperti cryopreserved, gliserol-
diawetkan, atau cangkok kornea iradiasi gamma. 30

Indikasi untuk transplantasi kornea sebagai berikut :

1. Jaringan parut kornea akibat infeksi yang mengganggu penglihatan

2. Kelainan kornea, seperti keratokonus, Kerusakan kornea akibat trauma


mata, trauma kimia

3. Kelainan mata karena faktor bawaan (genetik), seperti distrofi kornea

4. Dengan pengobatan tidak sembuh

5. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perforasi

Tujuan transplantasi kornea sebagai berikut :

1. Optik : untuk meningkatkan ketajaman visual dengan mengganti


jaringan host yang buram atau terdistorsi oleh jaringan donor yang
sehat.

2. Tektonik / rekonstruktif : memperbaiki struktur jaringan kornea yang


mengalami penipisan atau kerusakan

3. Terapi : menghilangkan keadaan patologik di jaringan kornea.

4. Kosmetik : untuk memperbaiki penampilan pasien dengan bekas luka


kornea yang telah diberi warna keputihan atau buram ke kornea.

Syarat kornea donor :

1. Kornea jernih ( Jumlah endotel kornea cukup banyak)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


Case Report Session

2. Tidak menderita penyakit

- Hepatitis

- HIV (+)

- Tumor mata

- Septikemia

- Sifilis

- Glaucoma

- Leukemia, keganasan.

Syarat kornea resipien:

1. Letak kerusakan kornea di bagian tengah

2. Tidak ada bentukan pembuluh darah

3. Relative dalam keadaan tenang

4. Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan lain

5. Tekanan bola mata normal

6. Kondisi air mata dan selaput lender relatif normal

Prioritas penerima donor kornea mata adalah bagi penerima yang masih
produktif dan masih muda. Dilakukan transplantasi kornea, maka kinerja mereka
akan kembali seperti semula atau meningkat.

Komplikasi transplantasi kornea rejeksi transplantasi kornea

Tanda klinis rejeksi transplantasi kornea :

- Mata merah

- Rasa silau berat

- Tajam penglihatan menurun

- Rasa sakit

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Case Report Session

Tanda klinis rejeksi transplantasi kornea dapat terjadi pada satu bulan atau
selambat-lambatnya lima tahun setelah pembedahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi kornea adalah :

- Keadaan kornea calon donor

- Kondisi mata calon pendonor

- Penyulit selama operasi

- Penyulit pasca operasi : luka tidak baik, luka menjadi tidak rapat,
tekanan bola mata tinggi, infeksi, gagal re epitelisasi

- Reaksi penolakan kornea donor

- Status refraktif : bentuk lengkung kornea yang irregular

Prioritas penerima donor kornea mata adalah bagi penerima yang masih produktif
dan masih muda. Dilakukan transplantasi kornea, maka kinerja mereka akan
kembali seperti semula atau meningkat.

Jenis trasnplantasi kornea :

a. Keratoplasti penetrasi

Prognosis transplantasi kornea tergantung pada waktu operasi dan etiologi


perforasi. Dianggap bahwa hasil dari keratoplasti penetrasi lebih besar jika metode
bedah lainnya (mis. Perekat jaringan) digunakan terlebih dahulu, dan transplantasi
ditunda sampai peradangan dan infeksi mereda. Dalam etiologi non-infeksi,
dianggap bahwa keratoplasti penetrasi harus dilakukan sesegera mungkin dan
bahwa kondisi imunologis membawa prognosis yang lebih buruk daripada kondisi
infeksi.

Prinsip-prinsip teknik bedah terutama sama dengan keratoplasti penetrasi


elektif, tetapi kesulitannya terletak pada trephination mata dengan perforasi.
Kadang-kadang viskoelastik dapat digunakan untuk menciptakan kembali
chamber anterior dan harus berhati-hati untuk tidak menekan globe. Kornea inang
superfisial ditandai dengan trephine, dan kemudian kornea dieksisi sepanjang
tanda dengan pisau sekali pakai. Setelah pengangkatan kornea button, chamber

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


Case Report Session

anterior diperiksa untuk sinekia anterior dan posterior perifer, yang dilisiskan
dengan lembut, dan diirigasi untuk menghilangkan semua sisa nekrotik dan
inflamasi. Donor button diposisikan pada tempatnya dan dijahit dengan berbagai
jahitan nilon 10-0

Gambar. 2.11 Sebelum dan setelah keratoplasti penetrasi

b. Cangkok patch kornea

Cangkok patch kornea memiliki tektonik. tujuan dalam perforasi kornea


dan descemetoceles. Jika perforasi adalah perifer, cangkok patch kornea adalah
solusi bedah permanen, tetapi ketika perforasi melibatkan kornea sentral, cangkok
kornea digunakan sebagai solusi sementara sampai keratoplasti penetrasi dapat
dilakukan.

c. Lamellar keratoplasti / Cangkokan lamelar

Cangkokan yang dimana hanya bagian kornea yang rusak diangkat dan
diganti. Dengan mempertahankan jaringan kornea sehat.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


Case Report Session

c. Transplantasi membran amnion

Membran amnion memiliki sejarah panjang dalam operasi mata, sejak De


Rӧtth pertama kali melaporkan penggunaannya pada tahun 1940. Transplantasi
membran amnion telah mendapatkan popularitas dalam dua dekade terakhir, dan
telah digunakan dalam penatalaksanaan defek epitel persisten yang refrakter
terhadap terapi medis konvensional dan dapat menyebabkan ulserasi kornea
bahkan perforasi kornea.30
Transplantasi membran amnion mencakup membran amnion tunggal atau
multilayer, tergantung pada kedalaman keterlibatan stroma. Transplantasi
membran amnion berlapis tunggal dilakukan dalam kasus defek epitel persisten,
ketika membran amniotik digunakan sebagai patch untuk meningkatkan epitelisasi
kornea dan untuk mengurangi peradangan dan transplantasi membran amnio n
berlapis dilakukan dalam kasus penipisan kornea atau pencairan kornea, dan
digunakan baik sebagai isian untuk menggantikan defek stroma dan sebagai
graft.30

2. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering timbul berupa:


▪ Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
▪ Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
▪ Prolaps iris
▪ Sikatrik kornea
▪ Katarak
▪ Glaukoma sekunder

3. Prognosis

Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat


lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


Case Report Session

tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya


komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama
mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak
ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat
menimbulkan resistensi.
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan
dengan pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua
metode; migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan
pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat
sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar,
perlu adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan
granulasi dan kemudian sikatrik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


Case Report Session

BAB 3
METODE PENELITIAN

III.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AU
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 74 tahun
Alamat : Desa Muaro Langeh, Kab Merangin, Kota Jambi
Pekerjaan : Petani
Pemeriksaan : 2 Desember 2019
III.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan bagian hitam pada mata kiri semakin memutih sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Bagian hitam pada mata kiri pasien semaki memutih sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, awalnya pasien merasakan mata tampak merah dan gatal pada
mata kiri sejak 4 minggu yang lalu. Kemudian pasien pergi ke mantri dan diberi
obat berupa salep mata yang diberikan 2x sehari tetapi tidak ada perbaikan pada
mata kiri pasien.
- Kurang lebih seminggu kemudian pasien datang ke RS Bangko dan pada mata
pasien ditemukan serpihan batu kecil oleh dokter spesialis lalu dirawat selama 3
hari serta diberikan terapi inj. Ceftriaxon, LFX, ketokonazole, glauceta dan aspar
K. Kemudian pasien dirujuk ke Poli mata M.Djamil untuk terapi lebih lanjut
dengan diagnosis ulkus kornea sentral dengan hipopion.
- Pasien mengeluhkan pandangan mata kiri kabur yang semakin berat sejak 1
minggu yang lalu, awalnya pasien mulai merasakan padangan kabur sejak 2
minggu yang lalu secara perlahan-lahan.
- Pasien merasakan seperti ada yang mengganjal pada mata kiri sejak 4 minggu
yang lalu.
- Pasien menggunakan kacamata baca +3/+3.
- Pasien tidak merasakan silau apabila terkena cahaya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


Case Report Session

- Riwayat kemasukan benda asing disangkal


- Riwayat mata bersekret tidak ada
- Riwayat meneteskan air daun-daunan disangkal
- Riwayat memakai softlens tidak ada
- Riwayat trauma sebelumnya disangkal
- Riwayat pandangan seperti tirai tidak ada
- Riwayat mata terasa kering sebelumnya tidak ada

Riwayat penyakit dahulu :


- Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
- Pasien tidak pernah operasi mata sebelumnya
- Riwayat hipertensi ada tetapi tidak terkontrol
- Riwayat diabetes melitus tidak ada
- Riwayat menggunakan obat jangka panjang tidak ada

Riwayat penyakit keluarga :


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

III.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital
 Keadaan Umum : Baik
 Tekanan darah : 160/90 mmHg
 Frekuensi Nadi : 89x/menit
 Frekuensi Nafas : 18x/menit
 Suhu : Afebris

Status Generalisata:
 Kulit : dalam batas normal
 Kelenjar Getah Bening : dalam batas normal
 Kepala, rambut : dalam batas normal, dalam batas normal
 Telinga : dalam batas normal
 Hidung : dalam batas normal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


Case Report Session

 Tenggorokan, gigi dan mulut : dalam batas normal


 Leher : dalam batas normal
 Thorax : dalam batas normal
 Abdomen : dalam batas normal
 Punggung : dalam batas normal
 Alat kelamin, anus : tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : dalam batas normal

STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Visus tanpa
20/70 1/300, proyeksi benar
koreksi
Visus dengan
- -
koreksi
Refleks fundus + -
Silia Trikiasis (-), Madarosis (-) Trikiasis (-), Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (+)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (+)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva Hiperemis (-), Papil (-), folikel Hiperemis (+), Papil (-), folikel (-),
Tarsalis (-), sikatrik (-) sikatrik (-)
Konjungtiva
Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Forniks
Konjungtiva Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)
Bulbii Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)
Sklera Putih Putih
Ulkus (+) sentral diameter 8-9mm,
Kornea Bening kedalaman 1/3 stroma anterior,
maserasi (+)infiltrat (+)
Kamera Okuli Cukup Dalam, hipopion (+) ukuran
Cukup dalam
Anterior 6-7 mm

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


Case Report Session

Iris Coklat Sulit dinilai


Refleks cahaya (+/+), diameter
Pupil Sulit dinilai
=2- 3 mm, bulat, letak sentral
Lensa Keruh di Sulit dinilai
Korpus vitreum Jernih Sulit dinilai
Fundus : Tidak diperiksa
- Media Keruh Tidak diperiksa
- Papil optikus Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4 Tidak diperiksa
- Makula Refleks fovea (+) Tidak diperiksa
- aa/vv retina Aa:Vv = 2:3 Tidak diperiksa
- Retina Pendarahan (-) eksudat (-) Tidak diperiksa
Tekanan bulbus
Normal (palpasi) Normal (palpasi)
okuli
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus
Terbatas Bebas
okuli

Foto Pasien

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


Case Report Session

Pemeriksaan Penunjang:
 Slit Lamp

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


Case Report Session

Diagnosis Kerja:
 Ulkus kornea sentralis OS ec susp bakteri dengan hipopion

Diagnosis banding:
 Ulkus kornea sentralis OS ec susp jamur dengan hipopion
 Susp endoftalmitis

Anjuran Pemeriksaan:
 Laboratorium
 Pewarnaan Gram
 Pewarnaan Giemsa
 KOH
 Kultur Jamur
 Kultur bakteri dan sensitivitas

Rencana Terapi:
 Bed rest
 Menjaga kebersihan mata dengan tidak memegang/menggosok mata yang
meradang
 Parasentase hipopion + injeksi ceftriaxon intracamera OS
 LFX ed tiap jam OS
 Inj Ceftriaxon 2x1gr IV
 Sulfas atropin ed 3x1 OS

Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad malam

Follow Up
03 Desember 2019
S/ nyeri pada mata kiri berkurang
O/Status oftalmikus 03 Desember
Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 20/70 1/300 proyeksi benar
Visus dengan koreksi - -

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


Case Report Session

Refleks fundus + -
Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Silia/supersilia
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Margo palpebra
Krusta (-) Krusta (-)
Nyeri (-) Nyeri (-)
Aparat lakrimalis Lakrimasi N Lakrimasi N
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Konjungtiva forniks Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva(-) Injeksi konjungtiva (+)
Konjungtiva bulbi
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)
Sklera Putih Putih
Ulkus (+) sentral diameter 8-
Kornea Bening 9mm, kedalaman 1/3 stroma
anterior, maserasi (+)infiltrat (+)
Kamera Okuli
Cukup dalam Cukup dalam, hipopion (-)
Anterior
Iris Coklat Sulit dinilai
Refleks cahaya (+/+),
Pupil diameter =2- 3 mm, Sulit dinilai
bulat, letak sentral
Lensa Bening Bening
Korpus vitreus Jernih Jernih
Funduskopi
Media Keruh Sulit dinilai
Bulat,batas
Papil N.Optikus Sulit dinilai
tegas,c/d=0.3-0.4
Retina Perdarahan(-), Sulit dinilai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


Case Report Session

eksudat (-)
Makula Refleks fovea (+) Sulit dinilai
Aa/vv retina a:v = 2:3 Sulit dinilai
Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)
Posisi Bola mata Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

A/ Ulkus kornea sentral OS ec susp bakteri dengan maserasi dan perforasi


P/ Parasentase hipopion + injeksi ceftriaxon intracamera dalam GA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


Case Report Session

BAB 4
DISKUSI
Seorang laki-laki berusia 74 tahun dirawat di bangsal mata RSUP dr.
M.Djamil Padang sejak tanggal 2 Desember 2019 dengan diagnosis Ulkus kornea
sentralis OS ec susp bakteri dengan hipopion yang ditegakan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mata, serta dibantu dengan pemeriksaan
penunjang.

Pasien mengeluhkan bagian hitam pada mata kiri semakin memutih sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Dalam hal ini dapat dicurigai adanya
gangguan pada media dari mata pasien. Awalnya pasien merasakan mata tampak
merah dan gatal pada mata kiri sejak 4 minggu yang lalu. Kemudian pasien pergi
ke mantri dan diberi obat berupa salep mata yang diberikan 2x sehari tetapi tidak
ada perbaikan pada mata kiri pasien.
Pandangan mata kiri kabur yang semakin berat sejak 1 minggu yang lalu
dan seperti ada yang mengganjal pada mata kiri. Seminggu kemudian pasien
datang ke RS Bangko dan pada mata pasien ditemukan serpihan batu kecil oleh
dokter spesialis lalu dirawat selama 3 hari serta diberikan terapi inj. Ceftriaxon,
LFX, ketokonazole, glauceta dan aspar K. Kemudian pasien dirujuk ke Poli mata
M.Djamil untuk terapi lebih lanjut dengan diagnosis ulkus kornea sentral dengan
hipopion.
Pada pasien, ditemukan beberapa faktor risiko yang dapat mengarah
terhadap timbulnya ulkus kornea pada pasien, yaitu adanya trauma pada mata.
Trauma pada mata mengganggu keutuhan lapisan epitel kornea, sehingga lapisan
kornea yang lebih dalam seperti stroma lebih rentan terinfeksi oleh
mikroorganisme, terutama bakteri dan jamur. Selain itu, pekerjaan pasien yang
seorang petani juga semakin meningkatkan paparan mata dengan mikroorganisme
penyebab munculnya ulkus.
Kerusakan epitel kornea dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti corneal
abrasion, epithelial drying, necrosis of epithelium, desquamation of epithelial
cells, epithelial damage due to trophic changes. Pada abrasi kornea, dapat
disebabkan oleh masuknya beda asing kecil seperti serpihan batu yang
menyebabkan kerusakan epitel dan memudahkan terjadinya infeksi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


Case Report Session

Keluhan bagian hitam mata pasien yang tampak semakin memutih dapat
disebabkan oleh kerusakan endotel. Hal ini dikarnakan kerusakan endotel akan
cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi regenerasi atau perbaikan
fungsi endotel yang nantinya akan menyebabkan kehilangan sifat transparan dari
kornea dan terjadi edema. Pada pasien ini, telah terjadi kerusakan 1/3 dari stroma
anterior yang artinya telah melebihi dari lapisan epitel sehingga sifat transparansi
mulai hilang. Keluhan lain pada pasien seperti mata merah, muncul karena terjadi
kongesti pembuluh darah sekitar kornea. Baik itu injeksi siliaris maupun injeksi
konjungtiva.
Pada pemeriksaan visus mata kanan tanpa koreksi, ditemukan visus sebesar
20/70. Dari riwayat penggunaan kacamata, saat ini pasien memang menggunakan
kacamata baca +3 D. Saat ini belum dilakukan koreksi visus pada mata kanan
akibat adanya media refraksi yang keruh pada pasien. Tampak bagian yang
memutih di korteks superior mata kanan pasien, sehingga dicurigai adanya katarak
insipien pada pasien.
Pada mata kiri, didapatkan visus 1/300 dengan proyeksi benar. Artinya,
pasien mampu menunjuk arah mana gerakan tangan pemeriksa. Perbedaan visus
yang mencolok ini disebabkan adanya kekeruhan total media refraksi. Tampak
adanya edema pada palpebral superior dan inferior. Gejala ini merupakan salah
satu tanda klasik dari ulkus kornea. Edema dapat timbul akibat adanya proses
infeksi pada kornea yang meluas hingga terjadi reaksi inflamasi di palpebral
superior dan inferior. Lalu, rasa sakit diperhebat oleh gesekan palpebrae (terutama
palpebrae superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Hiperemis serta injeksi siliar dan konjungtiva juga ditemukan pada mata kiri
pasien. Hal ini terjadi akibat kongesti pembuluh darah intraorbita yang muncul
akibat adanya reaksi inflamasi di kornea. Sel-sel sitokin proinflamasi akan turut
serta dalam upaya melawan mikroba. Diantara sel-sel tersebut, terdapat beberapa
yang fungsinya sebagai kemotaksis dan vasodilator.
Pada kornea tampak adanya ulkus seukuran 8-9 mm dengna kedalaman 1/3
stroma anterior, serta adanya maserasi dan infiltrat. Selain itu juga ditemukan
hipopion ukuran 6-7 mm. Ulkus kornea infeksi dapat dibedakan dari ulkus kornea
non-infeksi berdasarkan gejala-gejala tertentu. Lapisan tear film pada ulkus kornea

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


Case Report Session

dipenuhi oleh sel-sel dan debris yang dapat diamati melalui pemeriksaan slit-lamp.
Temuan serupa tidak ditemukan pada ulkus kornea non-infeksi. Selain itu, lapisan
epitel kornea akan rusak pada area-area aktif infeksi, dan inflamasi stroma ulkus
kornea infeksi bersifat supuratif.
Pada pasien dianjurkan untuk melakukan pengambilan sampel mikrobologi
pada ulkus kornea dengan scrapping cornea . Caranya adalah dengan
menggunakan pisau ukuran 15, 21-gauge needle atau spatula platinum atau swab
kalsium alginate. Scrap pada ulkus dimulai dari dasar infiltrar, pada lokasi paling
luas. Kemudian specimen dioleskan di atas 2 objek glass, satu untuk ditetesi KOH,
yang lain dipakai untuk pewarnaan Gram. Selain itu juga dilakukan kultur jamur
dan bakteri.
Pada ulkus kornea, dapat terjadi sikatrik dalam proses penyembuhannya.
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan dan
gangguan pengelihatan di dunia. Ulkus kornea adalah adanya diskontinuitas pada
epitel normal permukaan kornea yang berhubungan dengan nekrosis disekitar
jaringan kornea. Secara patologi ditandai dengan adanya edema dan infiltrasi sel.
Pengobatan untuk ulkus kornea umumnya adalah siklopegik, antibiotika
topikal dan subkonjungtiva yang sesuai, ditambah anti fungal apabila dicurigai
infeksi jamur dan pasien dirawat bila terancam perforasi. Pada kasus ini pasien
dilakukan Parasentase hipopion + injeksi ceftriaxon intracamera OS, LFX ed tiap
jam OS, Inj Ceftriaxon 2x1gr IV, dan Sulfas atropin ed 3x1 OS.
Pada pasien ini masih belum diketahui penyebab pasti dari ulkus kornea,
apakah disebabkan oleh bakteri ataukah jamur. Oleh karena itu, untuk
penatalaksanaan awal, diberikan antibiotik spektrum luas yaitu Ceftriakson. Sulfas
atropin (SA) bekerja dengan menghilangkan rasa sakit (sedatif), dekongestif
(menurunkan tanda inflamasi), dan menyebabkan paralisis otot siliaris serta otot
konstriktor pupil. Lumpuhnya otot siliaris mata menyebabkan daya akomodasi
mata tidak ada sehingga mata dalam keadaan istirahat, sedangkan lumpuhnya otot
konstriktor pupil menyebabkan midriasis sehingga pembentukan sinekia posterior
dapat dicegah. Atropin juga meningkatkan aliran darah ke uvea anterior dengan
mengurangi tekanan pada arteri siliaris anterior dan membawa lebih banyak
antibodi ke aquous humor. Obat ini juga mereduksi eksudasi dengan menurunkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


Case Report Session

hiperemis dan permeabilitas vaskular. SA diteteskan 3x sehari pada mata kiri.


Selain itu, pasien juga mendapat obat tetes mata yang mengandung antibiotik
Levofloxacin 0.6 ml tiap jam. Levofloxacin merupakan antibiotic golongan
quinolone yang bekerja sebagai bakterisidal spectrum luas. Jika telah terbukti
ulkus kornea pada pasien disebabkan oleh bakteri, perlu dilakukan uji sensitivitas
untuk menentukan antibiotic mana yang tepat untuk pasien.
Pada pasien telah diberikan edukasi agar menjaga kebersihan mata dengan
tidak memegang atau menggosok mata yang meradang. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah menjaga kebersihan tangan dengan hand rub atau
mencucinya dengan sabun dan mengeringkannya dengan kain yang bersih.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena kondisi pasien
tidak mengancam kehidupan. Prognosis quo ad sanationam pasien adalah dubia ad
bonam karena kemungkinan rekurensi bisa saja terjadi. Prognosis quo ad
functionam adalah dubia ad malam karena ulkus pasien berada pada jalur visual.
Kondisi ini dapat mengancam fungsi penglihatan jika ulkus sembuh dengan
sikatrik yang permanen.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


Case Report Session

Daftar Pustaka
1. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New
Age International (P) Ltd. Publishers; 2007.
2. Collier SA, Gronostaj MP, MacGurn AK, Cope JR, Awsumb KL, Yoder
JS, et al. Estimated Burden of Keratitis — United States, 2010. Vol. 63.
2014.
3. Lee R, Manche EE. Trends and Associations in Hospitalizations Due to
Corneal Ulcers in the United States, 2002–2012. Ophthalmic Epidemiol.
2016;23(4):257–63.
4. Mahmoudi S, Masoomi A, Ahmadikia K, Tabatabaei SA, Soleimani M,
Rezaie S, et al. Fungal keratitis: An overview of clinical and laboratory
aspects. Vol. 61, Mycoses. 2018. 916–930 p.
5. Cao Y, Zhang W, Wu J, Zhang H, Zhou H. Peripheral Ulcerative Keratitis
Associated with Autoimmune Disease: Pathogenesis and Treatment. J
Ophthalmol. 2017;2017.
6. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. 17th
ed. Susanto D, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
7. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
2016-2017 Section 8: External Disease and Cornea. San Francisco; 2017.
8. Copeland RA. Copeland and Afshari’s Principles and Practice of Cornea.
1st ed. Copeland RA, Afshari N, editors. New Delhi: JP Medical Ltd; 2013.
9. Sridhar MS. Anatomy of cornea and ocular surface. Indian J Ophthalmol.
2018 Feb;66(2):190–4.
10. Farahani M, Patel R, Dwarakanathan S. Infectious corneal ulcers. Disease-
a-Month. 2017;63(2):33–7.
11. Khor W-B, Prajna VN, Garg P, Mehta JS, Xie L, Liu Z, et al. The Asia
Cornea Society Infectious Keratitis Study: A Prospective Multicenter Study
of Infectious Keratitis in Asia. Am J Ophthalmol. 2018 Nov;195:161–70.
12. Lin A, Rhee MK, Akpek EK, Amescua G, Farid M, Garcia-Ferrer FJ, et al.
Bacterial Keratitis Preferred Practice Pattern®. Ophthalmology. 2019
Jan;126(1):P1–55.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


Case Report Session

13. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on the Management of


Infectious Keratitis. Ophthalmology. 2017;124(11):1678–89.
14. Yang L, Xiao J, Wang J, Zhang H. Clinical Characteristics and Risk
Factors of Recurrent Mooren’s Ulcer. J Ophthalmol. 2017;2017.
15. Sharma N, Vajpayee RB. Corneal Ulcers: Diagnosis and Management.
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2008.
16. Pacheco PA. Keratitis — A Clinical Approach. In: Ophthalmology -
Current Clinical and Research Updates. InTech; 2014.
17. Arbabi EM, Kelly RJ, Carrim ZI. Corneal ulcers in general practice. Br J
Gen Pract. 2018;68(666):49–50.
18. Ong HS, Fung SSM, Macleod D, Dart JKG, Tuft SJ, Burton MJ. Altered
Patterns of Fungal Keratitis at a London Ophthalmic Referral Hospital: An
Eight-Year Retrospective Observational Study. Am J Ophthalmol.
2016;168:227–36.
19. Ghosh AK, Gupta A, Rudramurthy SM, Paul S, Hallur VK, Chakrabarti A.
Fungal Keratitis in North India: Spectrum of Agents, Risk Factors and
Treatment. Mycopathologia. 2016;181(11–12):843–50.
20. Bourcier T, Sauer A, Dory A, Denis J, Sabou M. Fungal keratitis. J Fr
Ophtalmol. 2017;40(9):e307–13.
21. Azher T, Yin X-T, Tajfirouz D, Huang A, Stuart P. Herpes simplex
keratitis: challenges in diagnosis and clinical management. Clin
Ophthalmol. 2017 Jan;Volume 11:185–91.
22. Choudhary P, Chalisgaonkar C, Lakhtakia S, Dwivedi A, Khare V. A
clinical study of pattern, complications, and visual outcome of viral
keratitis. Int J Med Sci Public Heal. 2017;6(5):1.
23. Brown AC, Ross J, Jones DB, Collier SA, Ayers TL, Hoekstra RM, et al.
Risk Factors for Acanthamoeba Keratitis—A Multistate Case–Control
Study, 2008–2011. Eye Contact Lens Sci Clin Pract. 2017 Jan;44:1.
24. Lakhundi S, Siddiqui R, Khan NA. Pathogenesis of microbial keratitis.
Microb Pathog. 2017 Mar;104:97–109.
25. Ezisi C, Ogbonnaya C, Okoye O, Ezeanosike E, Ginger-Eke H, Arinze O.
Microbial Keratitis—A Review of Epidemiology, Pathogenesis, Ocular

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 48


Case Report Session

Manifestations, and Management. Niger J Ophthalmol. 2018;26(1):13.


26. Açıkalın B. Clinical findings, pathogenesis and treatment in non-infectious
peripheral ulcerative keratitis. Beyoglu Eye J. 2018;3(2):43–51.
27. Alkatan HM, Al-Essa RS. Challenges in the diagnosis of microbial
keratitis: A detailed review with update and general guidelines. Saudi J
Ophthalmol [Internet]. 2019;33(3):268–76. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.sjopt.2019.09.002
28. Upadhyay MP, Srinivasan M, Whitcher JP. Diagnosing and managing
microbial keratitis. Community Eye Heal J. 2015;28(89):3–6.
29. Stamate A-C, Tătaru CP, Zemba M. Update on surgical management of
corneal ulceration and perforation. Rom J Ophthalmol. 2019;63(2):166–73.
30. Gain P, Jullienne R, He Z, Aldossary M, Acquart S, Cognasse F, et al.
Global survey of corneal transplantation and eye banking. JAMA
Ophthalmol. 2016;134(2):167–73.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49

Anda mungkin juga menyukai