ULKUS KORNEA
Oleh
Preseptor
dr. Ardizal Rahman, Sp.M (K)
i
Case Report Session
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan Shalawat beserta salam untuk
Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah Case Report Session yang berjudul ―Ulkus Kornea‖. CRS
ini disusun sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ardizal Rahman, Sp.M (K) sebagai
preseptor yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yag telah
membantu dalam penulisan CRS ini.
Semoga makalah CRS ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
berkepentingan. Akhir kata, segala saran dan masukan akan penulis terima dengan
senang hati demi kesempurnaan Case Report Session ini.
Padang, Desember 2019
Penulis
Daftar Isi
Halaman
Sampul Depan
Sampul Dalam
Daftar Isi iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 4 DISKUSI 43
Daftar Pustaka 47
BAB 1
PENDAHULUAN
kontak yang tepat, mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih, dan segera
membawa penderita ke fasilitas kesehatan terdekat agar dapat ditatalaksana
secepatnya. Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan harus sesuai dengan
kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Obatobatan yang
dapat diberikan tergantung mikroorganisme penyebab, yaitu dapat diberikan
antibiotik, anti jamur, anti viral dan anti acanthamoeba. Pada ulkus kornea juga
dapat dilakukan penatalaksanaan bedah, yaitu flap konjungtiva, amnion, dan
keratoplasti.7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
refraksi. Sel-sel basal epitel saling terhubung erat dan membentuk barrier fisika
dan kimiawi terhadap patogen dan zat-zat kimia dari dunia luar.8
2.3 Definisi
Ulkus kornea merupakan keadaan patologik hilangnya sebagian
permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Ulkus kornea ditandai dengan
infiltrat supuratif yang disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan
kornea yang dapat terjadi pada epitel sampai stroma yang memiliki batas, dinding
dan dasar. Ulkus kornea merupakan salah satu keadaan yang berpotensi
menyebabkankebutaan sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan
tepat6
2.4 Klasifikasi
Ulkus kornea, dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya sebagai
berikut6:
1. Ulkus kornea infeksi
Ulkus kornea infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
protozoa.
a. Bakteri
Ulkus kornea akibat bakteri lebih umum dibandingkan keratitis akibat
kronik yang mulai berkembang dari perifer kornea hingga ke bagian sentral
kornea. Insidensi, karakteristik klinis, dan tingkat keparahan penyakit ini
bervariasi menurut lokasi geografis dan ras. Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa penyakit ini tergolong jarang pada negara-negara yang terletak di
hemisfer atas, namun tergolong sering pada India, China, Afrika selatan, dan
Afrika bagian tengah.14
5. Kondisi sistemik
Beberapa penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus, AIDS, Sindrom
Sjörgen, dan Sindrom Steven-Johnson dapat menjadi faktor predisposisi keratitis
infeksi. Pada Diabetes Mellitus, terdapat gangguan ikatan hemidesmosom epitel
kornea, penebalan membran basalis serta ikatan membran basalis dengan stroma
melemah. Kondisi diatas menyebabkan epitel kornea lebih rentan terkena erosi
sehingga dapat berujung pada keratitis infeksi. Pada AIDS terjadi defisiensi
sistem imun penderita, sehingga penderita cenderung lebih rentan terkena keratitis
infeksi terutama keratitis bakterial.15
Selain dari faktor risiko di atas, pasien dengan atopi dan cold sores
memiliki risiko tinggi munculnya keratitis herpes simpleks. Riwayat abrasi kornea
sebelumnya atau distrofi kornea dapat menjadi predisposisi sindrom erosi kornea
berulang. Penyakit kolagen vascular sistemik seperti artritis rematoid dapat
menyebabkan tumbulnya ulkus kornea non infektif dan mata kering.17
2.6 Etiologi
A. Ulkus kornea infeksi
Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan keratitis infeksi,
yang merupakan prekursor ulkus kornea infeksi, memiliki variasi geografis di
seluruh dunia. Variasi ini dapat dipengaruhi oleh iklim, cuaca, vegetasi, bentuk
tanah, dan faktor individu. Namun, pada dasarnya seluruh mikroorganisme dapat
menginfeksi keratitis bila terdapat kondisi dan faktor predisposisi yang
mendukung.7
1. Bakteri
Secara global, bakteri yang paling sering menyebabkan keratitis adalah
kelompok Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Pseudomonas aeruginosa, dan
kelompok Enterobacteria (seperti Serratia, Proteus, Enterobacter).7 Sementara
spesies bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis di tiap negara
bervariasi menurut lokasinya. Di Amerika Serikat dan Kanada, Staphylococcus sp.
dan Pseudomonas sp. merupakan penyebab terbanyak keratitis terutama pada
pengguna lensa kontak. Di negara-negara berkembang, Streptococcus sp.
merupakan patogen yang mendominasi. Selain variasi geografis, jenis bakteri
yang menjadi agen penginfeksi pada keratitis juga dipengaruhi oleh kondisi
sering dikaitkan dengan kasus mikosis profunda dan kejadian keratitis akibat
jamur tipe ini sangat jarang.20
3. Virus
Keratitis akibat Virus Herpes Simpleks merupakan penyebab utama
kebutaan pada negara-negara maju. Virus Herpes Simpleks dapat menimbulkan
lesi yang meninggalkan jaringan parut pada kornea dalam proses
penyembuhannya, sehingga kondisi ini berujung pada kebutaan. Di Amerika
Serikat, kurang lebih 500.000 penduduk menderita keratitis Herpes Simpleks
setiap tahunnya.21 Virus Herpes Simpleks, bersama virus Varicella-Zoster,
merupakan anggota dari subfamili virus herpesviridae. Keratitis akibat virus
Varicella-Zoster cenderung ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun.22
Selain golongan herpesviridae, terdapat beberapa virus lain yang dapat
menyebabkan keratitis seperti adenovirus, citomegalovirus, enterovirus, dan lain-
lain. Namun, angka kejadian keratitis akibat virus-virus tersebut kurang signifikan
bila dibandingkan keratitis Herpes Simpleks.
4. Protozoa
Protozoa adalah organisme eukaryot yang tubuhnya terdiri atas satu sel
tunggal (uniseluler). Protozoa yang paling sering menyebabkan keratitis adalah
Acanthamoeba. Acanthamoeba merupakan organisme patogen yang hidup di alam
bebas seperti di tanah, air, udara, dan debu. Keratitis akibat Acanthamoeba sering
ditemukan pada pengguna lensa kontak di negara-negara maju. Sedangkan di
negara berkembang, kejadian keratitis Acanthamoeba lebih sering dikaitkan
dengan trauma okuler yang terkontaminasi lumpur atau air yang kotor. 23 Keratitis
Acanthamoeba yang terjadi pada pengguna lensa kontak diduga adalah akibat
proses desinfeksi yang tidak sesuai standar, atau akibat kontaminasi lensa kontak
oleh air keran baik langsung maupun tidak langsung. Insidensi keratitis
Acanthamoeba diperkirakan mencapai satu dari 30.000 pengguna lensa kontak,
pada negara-negara yang tinggi angka penggunaan lensa kontak. Selain
Acanthamoeba, protozoa-protozoa lain yang dapat menyebabkan keratitis adalah
Microsporidia, Toxoplasma, Entamoeba, dan Naegleria. 23 \
2.7 Patogenesis
Infeksi pada mata dapat terjadi melalui inokulasi mikroorganisme secara
eksogen maupun melalui penyebaran hematogen melalui darah. Inokulasi dari
dunia luar dapat terjadi melalui trauma, kontak langsung, bantuan vektor,
hubungan seksual, infeksi saluran nafas atas yang menyebar melalui duktus
nasolakrimal, dan berbagai proses lainnya. Sedangkan infeksi dari penyebaran
hematogen jarang terjadi. Derajat keparahan dan karakteristik dari masing-masing
infeksi dipengaruhi oleh faktor virulensi patogen, ukuran inokulum, dan sistem
imunitas host. Mekanisme infeksi oleh mikroorganisme dapat dirumuskan
menjadi empat tahap, yaitu: perlekatan (adherence), penghindaran (evasion),
invasi, dan replikasi.7
1. Perlekatan (adherence)
Proses pertama dalam infeksi kornea adalah perlekatan mikroorganisme ke
permukaan kornea. Berbagai tipe mikroorganisme memiliki proses berbeda-beda
untuk melekat pada permukaan kornea. Acanthamoeba memproduksi protein
mannose-binding protein untuk melekat pada komponen mannose glycoprotein
yang terdapat pada permukaan kornea. Bakteri dan jamur memiliki berbagai jenis
adhesin yang membantunya melekat pada reseptor di permukaan epitel kornea. P.
aeruginosa, S. pneumonia dan S. aureus. memiliki kemampuan melekat yang
lebih tinggi dibanding bakteri jenis lainnya terhadap epitel kornea yang telah
cedera. Jamur terutama melekat hanya pada permukaan kornea yang telah rusak.
7,24
Adhesi pada permukaan bakteri seperti pada fili, fimbrae, yang mengenali
karbohidrat atau protein spesifik sel host menyebabkan adheren. Pada jamur,
adhesi dilakukan melalui binding dengan fungal site seperti laminin, fibronektin,
kolagen, dan lain-lain. Virus Herpes Simpleks memiliki berbagai glikoprotein
pada kapsidnya yang dapat berinteraksi dengan protein heparan sulfate pada
permukaan kornea untuk mempenetrasi sel host. Pada Acanthamoba, adhesi
berarti terjadi penyatuan anatara reseptor mannose dengan permukan ocular
dengan membrane tropozoid. Tambahan, pada trauma ringan atau abrasi kornea,
dan penggunaan lensa kontak meningkatkan regulasi glikoprotein mannose pada
epitel kornea, menyebabakan adherensi semakin kuat 25
2. Penghindaran (evasion)
Bakteri menghindari sel-sel imun dan molekul-molekul antibakteri pada
tear film host dengan mengekspresikan molekul eksopolisakarida yang
mengganggu proses fagositosis. Sedangkan virus memiliki berbagai mekanisme
untuk menghindari proses imunitas host. Virus Herpes Simpleks dapat meregulasi
pembentukan protein khusus yang menyebabkan sel yang didiami virus Herpes
Simpleks menjadi rentan terhadap lisis oleh sel T. 7 Pada jamur, ditemukan adanya
penggantian morfogenesis dan mekanisme adaptif, yang membuat jamur danpat
bertahan dari obat antifungi dan resisten terhadap obat antimikrobial. 25
3. Invasi
Terdapat sebagian kecil bakteri yang dapat merusak epitel kornea yang
masih utuh, seperti: Neisseria gonorrhoeae, N. meningiditis, Corynebacterium
diphteriae, dan lain-lain. Invasi pada bakteri difasilitasi oleh enzim-enzim seperti
protease, exotoksin, yang menghasilkan kerusakan membrane basalis dan matiks
ekstrasel, menyebabkan sel lisis.
Pada keratitis jamur, jamur menginvasi kornea, menimbulkan akses ke
anterior chamber, mempengaruhi drainase dari aqueous humor. Akibatnya terjadi
peningkatan tekanan intraocular yang dapat berujung pada glaukoma. Invasi
jamur berhubungan langsung dengan jumlah jamur dan sejalan dengan intensitas
respon inflamasi.Invasi stromal pada acanthimoeba difasilitasi oleh protease yang
disekresikan oleh tropozoid melalui aktivitas kolagen25.
4. Replikasi
Mikroorganisme yang menginfeksi bereplikasi pada sel host. Jumlah
mikroorganisme yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi juga dipengaruhi
oleh faktor virulensi suatu mikroorganisme. Mikroorganisme yang bersifat sangat
patogenik (highly pathogenic) dapat menyebabkan infeksi hanya dalam jumlah
kecil saja.7
5. Nekrosis stroma dan produksi infiltrat berbentuk cincin
Eksotoksin dan protease yang dikeluarkan oleh bakteri selama masa
replikasi menetap di kornea, menyebabkan destruksi kornea terus menerus.
Hampir semua eksotoksin labil terhadap panas dan memiliki profil antigen.
infeksi. Selain itu, lapisan epitel kornea akan rusak pada area-area aktif infeksi,
dan inflamasi stroma ulkus kornea infeksi bersifat supuratif.7 Gejala yang timbul
dapat bervariasi dan dapat menunjukkan kecenderungan infeksi oleh suatu
mikroorganisme spesifik. Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan dasar
diagnosis jenis mikroorganisme penyebab ulkus kornea.
1. Keratitis bakteri
Tanda dan gejala keratitis bakterialis dibedakan berdasakran durasi infeksi,
status imunitas host, virulensi bekteri, dan penggunaan antibiotic dan steroid
sebelumnya. Pasien dengan keratitis bakterialis datang dengan kemerahan, nyeri,
penurunan penglihatan, pembengkakan pada kelopak mata, discharge purulent dan
fotofobia. Pada pemeriksaan dengan slit lamp akan ditemukan reaksi papil
konjungtiva, injeksi siliaris, kemosis, infiltrate berwarna abu-abu hingga putih
pada epitel dan stroma, reaksi anterior chamber, dan hipopion.
Gambar 2.2 A. Keratitis Parsial dengan hipopion. B Abses kornea pada Keratitis
Pseudomonas.27
2. Keratitis jamur
Gejala-gejala klinik dan tanda-tanda inflamasi pada fase awal infeksi keratitis
jamur cenderung lebih ringan dibandingkan dengan gejala keratitis bakteri. Pada
keratitis akibat jamur berfilamen, gambaran infiltrat yang ditemui pada umumnya
berwarna putih keabuan, dengan tepi yang tidak teratur dan bercabang halus
(feathery). Seiring perkembangan penyakitnya, gejalanya dapat menyerupai gejala
keratitis bakteri. Sementara, keratitis akibat jamur ragi gejalanya cenderung
bersifat superfisial. Keratitis akibat jamur ragi pada umumnya akan
3. Keratitis virus
Keratitis akibat Virus Herpes Simpleks dapat terjadi dalam beberapa
bentuk, diantaranya: Keratitis epitelial infeksi, Keratitis epitelial neurotrofik,
Keratitis stromal herpes, dan Endothelitis. Keratitis epitelial infeksi merupakan
keratitis yang terjadi akibat infeksi virus HSV dan masih aktif pada area infeksi
(live virus). Sedangkan keratitis epitelial neurotropik dan endothelitis merupakan
akibat gangguan inervasi kornea dan reaksi hipersensitivitas yang delayed yaitu
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Keratitis stromal dapat terjadi sebagai lanjutan
15
keratitis epitelial infeksi, maupun akibat reaksi imun tipe III.
Pasien dengan keratitis epitelial infeksi dapat merasakan sensasi benda
asing, sensitif terhadap cahaya, mata merah, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Lesi kornea keratitis ini dapat timbul dalam berbagai bentuk. Lesi
kornea dapat berupa sel-sel epitel yang menonjol dan tampak sebagai plak-plak
bulat kecil berwarna putih. Keratitis dengan lesi tersebut juga disebut keratitis
punctate. Lesi tersebut dapat membesar dan membentuk cabang-cabang, lalu sel
epitel pada bagian pusat lesi akan mencekung. Pada setiap ujung cabangnya akan
terdapat tonjolan akibat edema sel epitel setempat, yang merupakan tempat virus
15
aktif bereplikasi. Keratitis dengan lesi demikian disebut keratitis dendritik.
27
Gambar 2.4 Tampilan klinis pada kasusu ulkus dendrit pada keratitis herpes.
4. Keratitis Acanthamoeba
Gambaran klasik keratitis acanthamoeba adalah nyeri sedang-berat,
penurunan penglihatan, kemerahan, iritasi, sensasi benda asing, fotofobia,
discharge mukus, dan mata berair. Nyeri merupakan gejala yang dominan pada
fase awal infeksi. Hipopion merupakan gejala yang umum terjadi. Pada tahap
lebih lanjut, terdapat infiltrat berbentuk cincin yang terletak di mid-perifer kornea.
Gejala ini merupakan pathognomonic dari keratitis Acanthamoeba.15
Kecurigaan terpenting untuk mendiagnosis kasus Acanthamoeba ini adalah
dengan; (1) pada semua pengguna lensa kontak, (2) pada kasus trauma kornea
yang terekspos ke air atau tanah terkontaminasi. Pada stadium awal penyakit akan
ditemukan akrakteristik epiteliopati termasuk keratopati punctata, pseudo-dendrit,
infiltrat epitel/subepitel, dan infiltrat perineural.27
1. Ulkus Mooren.
Ulserasi perifer kornea, termasuk superfisial stroma dengan hilangnya
epitel. Melingkar, lalu kemudian penebalan bagian tengah kornea dengan
infiltrasi.
2.9 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis harus mencakup pertanyaan tentang faktor risiko untuk ulkus kornea
seperti penggunaan lensa kontak (jenis lensa, kebiasaan penyimpanan, kebersihan,
riwayat penggunaan jangka panjang), riwayat operasi mata sebelumnya, riwayat
trauma pada mata, riwayat pajanan herpes, pajanan di tempat kerja, dan
penggunaan obat-obatan imunosupresan. Hal penting lainnya dalam anamnesis
yaitu tingkat keparahan dan kualitas nyeri, progresifitas munculnya gangguan
pada mata seperti mata merah dan sekret atau mata berair, dan ada atau tidak
adanya photophobia atau penglihatan yang kabur. Riwayat penyakit dahulu harus
dieksplorasi karena penyakit seperti diabetes dan rheumatoid arthritis, dan
penyakit kolagen vascular, , AIDS, keganasan, dan terapi imunosupresi khusus
dapat mempengaruhi pasien dalam perkembangan terjadinya ulkus kornea.6,28
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan visus, pemeriksaan
tekanan intraokular, dan pemeriksaan respons pupil. Kelopak mata harus diperiksa
untuk melihat apakah ada inversi (entropion) atau eversi (ektropion). Entropion
menyebabkan abrasi pada kornea sedangkan ektropion dan lagophthalmos
menyebabkan mata kering dan terpapar.Pemeriksaan konjungtiva dilakukan untuk
melihat adanya injeksi konjungtiva, pembengkakan, atau keluarnya sekret serta
adanya ciliary flush. Pemeriksaan kornea dengan menggunakan pewarna fluoresen
1% berguna untuk melihat bagian epitel kornea yang hilang yang akan tampak
hijau cerah. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.
spesimen kerokan. Oleh karena itu, idealnya spesimen diletakkan langsung pada
piringan kultur tanpa melalui media transpor. Adanya tanda pertumbuhan
mikroorganisme, sekecil apapun, dianggap ―kultur positif‖. Namun kebanyakan
kasus infeksi masih menghasilkan ―kultur negatif‖. 6,13
Berikut rekomendasi media kultur oleh AAO:
yang telah mencapai mata sebagai organ targetnya. Sehingga, ada kemungkinan
didapatkan hasil pemeriksaan ―resisten‖ palsu. 13
1. Epitelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besar jenis konjungtivitis dan
keratitis dan pada kasus tertentu mungkin merupakan satu-satunya
jaringan yang terkena (mis., pada keratitis punktata superficialis).
Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi
sampai erosi-erosi kecil, pembentukan filamen, keratinisasi parsial. Lokasi
lesi-lesi itu juga bervariasi pada kornea. Semua variasi ini mempunyai
makna diagnostik yang penting.
2. Stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit, antara lain
infiltrasi,yang menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema tampak
sebagai penebalan kornea, pengeruhan, atau parut; "perlunakan" atau
nekrosis, yang dapat berakibat penipisan atau perforasii dan vaskularisasi.
Tampilan respons-respons tersebut kurang spesifik untuk menunjukkan
keberadaan penyakit jika dibandingkan dengan yang terlihat pada keratitis
epitelial, dan dokter sering harus mengandalkan pemeriksaan laboratorium
dan informasi klinis lain untuk menetapkan penyebabnya.
3. Endotelial
Disfungsi endotel kornea akan berakibat pada edema kornea, yang
mula-mula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari edema
kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular, yang
dimulai pada epitel dan diikuti stroma. Selama kornea tidak terlalu
sembab, kelainan morfologik endotel kornea sering masih dapat dilihat
dengan slitlamp. Sel-sel radang pada endotel (keratic precipitates, atau
KPs) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang
juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang bisa dan bias juga
tidak menyertai keratitis stromal.
2.10 Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
1. Penatalaksanaan non medikamentosa
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya.
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang.
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk yang bersih.
d. Menghindari asap rokok karena dapat memperpanjang proses
penyembuhan luka.
2. Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi
yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan anti mikrobial yang dapat
diberikan berupa :
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas dapat diberikan berupa tetes, salep atau injeksi
subkonjungtiva.
Contoh : Cefazolin 5%, gentamisin 1,4%, ciprofloxacin 0,3%
b. Anti jamur
-jamur berfilamen : Natamicin 5%
-ragi (yeast) : Amphotericin-B 0,15%
c. Anti viral
Ulkus kornea akibat virus dapat sembuh secara spontan. Namun,
pemberian antiviral dapat memendekkan masa penyembuhannya.
Untuk herpes zoster atau herpes simpleks dapat diberikan anti viral
topikal seperti salep asiklovir 3% tiap 4 jam.
d. Anti acanthamoeba
Tidak ada pengobatan tunggal yang efektif untuk melawan
Acanthamoeba ini. Agen topikal yang paling efektif saat ini
digunakan untuk melawan Acanthamoeba trofozoit dan kista yaitu
Tabel 2.3 Petunjuk Terapi Keratitis pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier
(Guideline for the Management of Suppurative Keratitis at Tertiary Ophthalmic
Centres) oleh World Health Organization25
Pemeriksaan Tidak Ditemukan Ditemukan Ditemukan hifa
mikrobiologi ditemukan bakteri gram bakteri gram jamur
tidak dapat organisme positif negatif
dilakukan
Tetes mata
Tetes mata Cefazolin 5% dan Gentamycin 1.4% per jam Natamycin 5%
per jam
Ciprofloksasin dapat digunakan sebagai alternatif Gentamycin. atau tetes mata
Bila tetes mata per jam tidak memungkinkan, dipertimbangkan Amfoterisin
injeksi sub-konjungtiva 0.15% per jam
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan :
● Sulfas atropine 1%
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga
mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.28
3. Penatalaksanaan bedah
a. Flap Konjungtiva
b. Keratoplasti
- Hepatitis
- HIV (+)
- Tumor mata
- Septikemia
- Sifilis
- Glaucoma
- Leukemia, keganasan.
4. Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan lain
Prioritas penerima donor kornea mata adalah bagi penerima yang masih
produktif dan masih muda. Dilakukan transplantasi kornea, maka kinerja mereka
akan kembali seperti semula atau meningkat.
- Mata merah
- Rasa sakit
Tanda klinis rejeksi transplantasi kornea dapat terjadi pada satu bulan atau
selambat-lambatnya lima tahun setelah pembedahan.
- Penyulit pasca operasi : luka tidak baik, luka menjadi tidak rapat,
tekanan bola mata tinggi, infeksi, gagal re epitelisasi
Prioritas penerima donor kornea mata adalah bagi penerima yang masih produktif
dan masih muda. Dilakukan transplantasi kornea, maka kinerja mereka akan
kembali seperti semula atau meningkat.
a. Keratoplasti penetrasi
anterior diperiksa untuk sinekia anterior dan posterior perifer, yang dilisiskan
dengan lembut, dan diirigasi untuk menghilangkan semua sisa nekrotik dan
inflamasi. Donor button diposisikan pada tempatnya dan dijahit dengan berbagai
jahitan nilon 10-0
Cangkokan yang dimana hanya bagian kornea yang rusak diangkat dan
diganti. Dengan mempertahankan jaringan kornea sehat.
2. Komplikasi
3. Prognosis
BAB 3
METODE PENELITIAN
Status Generalisata:
Kulit : dalam batas normal
Kelenjar Getah Bening : dalam batas normal
Kepala, rambut : dalam batas normal, dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Visus tanpa
20/70 1/300, proyeksi benar
koreksi
Visus dengan
- -
koreksi
Refleks fundus + -
Silia Trikiasis (-), Madarosis (-) Trikiasis (-), Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (+)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (+)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva Hiperemis (-), Papil (-), folikel Hiperemis (+), Papil (-), folikel (-),
Tarsalis (-), sikatrik (-) sikatrik (-)
Konjungtiva
Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Forniks
Konjungtiva Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)
Bulbii Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)
Sklera Putih Putih
Ulkus (+) sentral diameter 8-9mm,
Kornea Bening kedalaman 1/3 stroma anterior,
maserasi (+)infiltrat (+)
Kamera Okuli Cukup Dalam, hipopion (+) ukuran
Cukup dalam
Anterior 6-7 mm
Foto Pasien
Pemeriksaan Penunjang:
Slit Lamp
Diagnosis Kerja:
Ulkus kornea sentralis OS ec susp bakteri dengan hipopion
Diagnosis banding:
Ulkus kornea sentralis OS ec susp jamur dengan hipopion
Susp endoftalmitis
Anjuran Pemeriksaan:
Laboratorium
Pewarnaan Gram
Pewarnaan Giemsa
KOH
Kultur Jamur
Kultur bakteri dan sensitivitas
Rencana Terapi:
Bed rest
Menjaga kebersihan mata dengan tidak memegang/menggosok mata yang
meradang
Parasentase hipopion + injeksi ceftriaxon intracamera OS
LFX ed tiap jam OS
Inj Ceftriaxon 2x1gr IV
Sulfas atropin ed 3x1 OS
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Follow Up
03 Desember 2019
S/ nyeri pada mata kiri berkurang
O/Status oftalmikus 03 Desember
Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 20/70 1/300 proyeksi benar
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus + -
Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Silia/supersilia
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Margo palpebra
Krusta (-) Krusta (-)
Nyeri (-) Nyeri (-)
Aparat lakrimalis Lakrimasi N Lakrimasi N
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Konjungtiva forniks Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva(-) Injeksi konjungtiva (+)
Konjungtiva bulbi
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)
Sklera Putih Putih
Ulkus (+) sentral diameter 8-
Kornea Bening 9mm, kedalaman 1/3 stroma
anterior, maserasi (+)infiltrat (+)
Kamera Okuli
Cukup dalam Cukup dalam, hipopion (-)
Anterior
Iris Coklat Sulit dinilai
Refleks cahaya (+/+),
Pupil diameter =2- 3 mm, Sulit dinilai
bulat, letak sentral
Lensa Bening Bening
Korpus vitreus Jernih Jernih
Funduskopi
Media Keruh Sulit dinilai
Bulat,batas
Papil N.Optikus Sulit dinilai
tegas,c/d=0.3-0.4
Retina Perdarahan(-), Sulit dinilai
eksudat (-)
Makula Refleks fovea (+) Sulit dinilai
Aa/vv retina a:v = 2:3 Sulit dinilai
Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)
Posisi Bola mata Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
BAB 4
DISKUSI
Seorang laki-laki berusia 74 tahun dirawat di bangsal mata RSUP dr.
M.Djamil Padang sejak tanggal 2 Desember 2019 dengan diagnosis Ulkus kornea
sentralis OS ec susp bakteri dengan hipopion yang ditegakan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mata, serta dibantu dengan pemeriksaan
penunjang.
Pasien mengeluhkan bagian hitam pada mata kiri semakin memutih sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Dalam hal ini dapat dicurigai adanya
gangguan pada media dari mata pasien. Awalnya pasien merasakan mata tampak
merah dan gatal pada mata kiri sejak 4 minggu yang lalu. Kemudian pasien pergi
ke mantri dan diberi obat berupa salep mata yang diberikan 2x sehari tetapi tidak
ada perbaikan pada mata kiri pasien.
Pandangan mata kiri kabur yang semakin berat sejak 1 minggu yang lalu
dan seperti ada yang mengganjal pada mata kiri. Seminggu kemudian pasien
datang ke RS Bangko dan pada mata pasien ditemukan serpihan batu kecil oleh
dokter spesialis lalu dirawat selama 3 hari serta diberikan terapi inj. Ceftriaxon,
LFX, ketokonazole, glauceta dan aspar K. Kemudian pasien dirujuk ke Poli mata
M.Djamil untuk terapi lebih lanjut dengan diagnosis ulkus kornea sentral dengan
hipopion.
Pada pasien, ditemukan beberapa faktor risiko yang dapat mengarah
terhadap timbulnya ulkus kornea pada pasien, yaitu adanya trauma pada mata.
Trauma pada mata mengganggu keutuhan lapisan epitel kornea, sehingga lapisan
kornea yang lebih dalam seperti stroma lebih rentan terinfeksi oleh
mikroorganisme, terutama bakteri dan jamur. Selain itu, pekerjaan pasien yang
seorang petani juga semakin meningkatkan paparan mata dengan mikroorganisme
penyebab munculnya ulkus.
Kerusakan epitel kornea dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti corneal
abrasion, epithelial drying, necrosis of epithelium, desquamation of epithelial
cells, epithelial damage due to trophic changes. Pada abrasi kornea, dapat
disebabkan oleh masuknya beda asing kecil seperti serpihan batu yang
menyebabkan kerusakan epitel dan memudahkan terjadinya infeksi.
Keluhan bagian hitam mata pasien yang tampak semakin memutih dapat
disebabkan oleh kerusakan endotel. Hal ini dikarnakan kerusakan endotel akan
cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi regenerasi atau perbaikan
fungsi endotel yang nantinya akan menyebabkan kehilangan sifat transparan dari
kornea dan terjadi edema. Pada pasien ini, telah terjadi kerusakan 1/3 dari stroma
anterior yang artinya telah melebihi dari lapisan epitel sehingga sifat transparansi
mulai hilang. Keluhan lain pada pasien seperti mata merah, muncul karena terjadi
kongesti pembuluh darah sekitar kornea. Baik itu injeksi siliaris maupun injeksi
konjungtiva.
Pada pemeriksaan visus mata kanan tanpa koreksi, ditemukan visus sebesar
20/70. Dari riwayat penggunaan kacamata, saat ini pasien memang menggunakan
kacamata baca +3 D. Saat ini belum dilakukan koreksi visus pada mata kanan
akibat adanya media refraksi yang keruh pada pasien. Tampak bagian yang
memutih di korteks superior mata kanan pasien, sehingga dicurigai adanya katarak
insipien pada pasien.
Pada mata kiri, didapatkan visus 1/300 dengan proyeksi benar. Artinya,
pasien mampu menunjuk arah mana gerakan tangan pemeriksa. Perbedaan visus
yang mencolok ini disebabkan adanya kekeruhan total media refraksi. Tampak
adanya edema pada palpebral superior dan inferior. Gejala ini merupakan salah
satu tanda klasik dari ulkus kornea. Edema dapat timbul akibat adanya proses
infeksi pada kornea yang meluas hingga terjadi reaksi inflamasi di palpebral
superior dan inferior. Lalu, rasa sakit diperhebat oleh gesekan palpebrae (terutama
palpebrae superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Hiperemis serta injeksi siliar dan konjungtiva juga ditemukan pada mata kiri
pasien. Hal ini terjadi akibat kongesti pembuluh darah intraorbita yang muncul
akibat adanya reaksi inflamasi di kornea. Sel-sel sitokin proinflamasi akan turut
serta dalam upaya melawan mikroba. Diantara sel-sel tersebut, terdapat beberapa
yang fungsinya sebagai kemotaksis dan vasodilator.
Pada kornea tampak adanya ulkus seukuran 8-9 mm dengna kedalaman 1/3
stroma anterior, serta adanya maserasi dan infiltrat. Selain itu juga ditemukan
hipopion ukuran 6-7 mm. Ulkus kornea infeksi dapat dibedakan dari ulkus kornea
non-infeksi berdasarkan gejala-gejala tertentu. Lapisan tear film pada ulkus kornea
dipenuhi oleh sel-sel dan debris yang dapat diamati melalui pemeriksaan slit-lamp.
Temuan serupa tidak ditemukan pada ulkus kornea non-infeksi. Selain itu, lapisan
epitel kornea akan rusak pada area-area aktif infeksi, dan inflamasi stroma ulkus
kornea infeksi bersifat supuratif.
Pada pasien dianjurkan untuk melakukan pengambilan sampel mikrobologi
pada ulkus kornea dengan scrapping cornea . Caranya adalah dengan
menggunakan pisau ukuran 15, 21-gauge needle atau spatula platinum atau swab
kalsium alginate. Scrap pada ulkus dimulai dari dasar infiltrar, pada lokasi paling
luas. Kemudian specimen dioleskan di atas 2 objek glass, satu untuk ditetesi KOH,
yang lain dipakai untuk pewarnaan Gram. Selain itu juga dilakukan kultur jamur
dan bakteri.
Pada ulkus kornea, dapat terjadi sikatrik dalam proses penyembuhannya.
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan dan
gangguan pengelihatan di dunia. Ulkus kornea adalah adanya diskontinuitas pada
epitel normal permukaan kornea yang berhubungan dengan nekrosis disekitar
jaringan kornea. Secara patologi ditandai dengan adanya edema dan infiltrasi sel.
Pengobatan untuk ulkus kornea umumnya adalah siklopegik, antibiotika
topikal dan subkonjungtiva yang sesuai, ditambah anti fungal apabila dicurigai
infeksi jamur dan pasien dirawat bila terancam perforasi. Pada kasus ini pasien
dilakukan Parasentase hipopion + injeksi ceftriaxon intracamera OS, LFX ed tiap
jam OS, Inj Ceftriaxon 2x1gr IV, dan Sulfas atropin ed 3x1 OS.
Pada pasien ini masih belum diketahui penyebab pasti dari ulkus kornea,
apakah disebabkan oleh bakteri ataukah jamur. Oleh karena itu, untuk
penatalaksanaan awal, diberikan antibiotik spektrum luas yaitu Ceftriakson. Sulfas
atropin (SA) bekerja dengan menghilangkan rasa sakit (sedatif), dekongestif
(menurunkan tanda inflamasi), dan menyebabkan paralisis otot siliaris serta otot
konstriktor pupil. Lumpuhnya otot siliaris mata menyebabkan daya akomodasi
mata tidak ada sehingga mata dalam keadaan istirahat, sedangkan lumpuhnya otot
konstriktor pupil menyebabkan midriasis sehingga pembentukan sinekia posterior
dapat dicegah. Atropin juga meningkatkan aliran darah ke uvea anterior dengan
mengurangi tekanan pada arteri siliaris anterior dan membawa lebih banyak
antibodi ke aquous humor. Obat ini juga mereduksi eksudasi dengan menurunkan
Daftar Pustaka
1. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New
Age International (P) Ltd. Publishers; 2007.
2. Collier SA, Gronostaj MP, MacGurn AK, Cope JR, Awsumb KL, Yoder
JS, et al. Estimated Burden of Keratitis — United States, 2010. Vol. 63.
2014.
3. Lee R, Manche EE. Trends and Associations in Hospitalizations Due to
Corneal Ulcers in the United States, 2002–2012. Ophthalmic Epidemiol.
2016;23(4):257–63.
4. Mahmoudi S, Masoomi A, Ahmadikia K, Tabatabaei SA, Soleimani M,
Rezaie S, et al. Fungal keratitis: An overview of clinical and laboratory
aspects. Vol. 61, Mycoses. 2018. 916–930 p.
5. Cao Y, Zhang W, Wu J, Zhang H, Zhou H. Peripheral Ulcerative Keratitis
Associated with Autoimmune Disease: Pathogenesis and Treatment. J
Ophthalmol. 2017;2017.
6. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. 17th
ed. Susanto D, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
7. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
2016-2017 Section 8: External Disease and Cornea. San Francisco; 2017.
8. Copeland RA. Copeland and Afshari’s Principles and Practice of Cornea.
1st ed. Copeland RA, Afshari N, editors. New Delhi: JP Medical Ltd; 2013.
9. Sridhar MS. Anatomy of cornea and ocular surface. Indian J Ophthalmol.
2018 Feb;66(2):190–4.
10. Farahani M, Patel R, Dwarakanathan S. Infectious corneal ulcers. Disease-
a-Month. 2017;63(2):33–7.
11. Khor W-B, Prajna VN, Garg P, Mehta JS, Xie L, Liu Z, et al. The Asia
Cornea Society Infectious Keratitis Study: A Prospective Multicenter Study
of Infectious Keratitis in Asia. Am J Ophthalmol. 2018 Nov;195:161–70.
12. Lin A, Rhee MK, Akpek EK, Amescua G, Farid M, Garcia-Ferrer FJ, et al.
Bacterial Keratitis Preferred Practice Pattern®. Ophthalmology. 2019
Jan;126(1):P1–55.