Anda di halaman 1dari 37

PAPER REFERAT

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A217090/ Maret 2020

REAKSI ANAFILAKSIS

Oleh
Ayu Lestari, S.Ked
G1A217090

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
CASE SCIENCE SESSION (CSS)

1
Reaksi Anafilaksis

Oleh:
AYU LESTARI
G1A217090

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

Jambi,Maret 2020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha EsA, karena dengan anugerah-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas Case Science Session (CSS)pada Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anakdi RSUD Raden Mattaher Jambi yang
berjudul “Reaksi Anafilaksis”.
Case Science Session (CSS)ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih
dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
BagianIlmu Kesehatan Anak di di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat
penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan Case Science Session (CSS)ini masih


banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tugasini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Maret 2020

Penulis

DAFTAR ISI

3
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................2
2.1 Definisi Reaksi Anafilaksis.............................................................................2
2.2 Klasifikasi Reaksi Anafilaksis.........................................................................3
2.3 Etiologi Reaksi Anafilaksis.............................................................................4
2.4 Epidemiologi Reaksi Anafilaksis....................................................................7
2.5 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis......................................................................7
2.6 Manifestasi Klinis............................................................................................12
2.7 Pemeriksaan Penunjang...................................................................................14
2.8 Penegakan Diagnosis.......................................................................................16
2.9 Diagnosis Banding...........................................................................................20
2.10 Tatalaksana dan Perawatan Reaksi Anafilaksis............................................21
2.11 Edukasi .....................................................................................................29
2.12 Prognosis……………………………………………………………………30
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32

4
BAB I

PENDAHULUAN

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat


menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen
maupun pencetus yang lainnya.Anafilaksismelibatkanimunoglobulin E(IgE)
diperantaraireaksihipersensitifyang dihasilkandalam rilismediatorkimiaampuhdari
selmast danbasofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular, pernapasan,
dan gastrointestinal.1,2
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar
disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang
fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir
1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi
anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang
per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59%
dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian
anafilaksis.3
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di
bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006
sebanyak 0,04% (4 per 10.000). Sedangkan di Amerika Serikat sebanyak 0,002%-
nya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik merupakan
keadaan kegawatdaruratan pada anak.4,5,6
Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi
beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk reaksi ringan
dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress atau syok. Jika
sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat dengan
penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang
dapat mengancamjiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas.1,2Maka dari itu
penting untuk mengetahui reaksi anafilaksis dan syok anafilaksis sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitasnya pada praktik dokter sehari-hari.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Reaksi Anafilaksis

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).7
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,
berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ.8
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi
anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak
disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi
disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga
menyebabkan terlepaskan mediator.8
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuleryang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,2
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat

6
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,2

2.2 Klasifikasi Reaksi Anafilaksis

Reaksi Hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963)


dibagi dalam 4 tipe reaksi, yaitu Tipe I (Reaksi Ig E), Tipe II (Reaksi sitotoksik
IgG atau IgM), Tipe III (Reaksi kompleks imun), dan Tipe IV (Reaksi seluler).
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan ikatan antara antigen dan IgE yang
diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif. Manifestasinya terbagi
atas reaksi anafilaksis sistemik dan reaksi anafilaksis lokal. Reaksi anafilaksis
sistemik dapat berupa syok, dan bentuk lokalnya dapat berupa rhinitis, asma,
urtikaria, alergi makanan, dan ekzema.8

Gambar 2.1. Klasifikasi reaksi anafilaksis berdasarkan etiologi.


Berdasarkan etiologinya, reaksi anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu
anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan anafilaksis idiopatik.
a. Anafilaksis alergi
Bila reaksi diperantarai oleh suatu mekanisme imunologi. Anafilaksis
alergi diperantarai oleh IgE (Ig-E mediated allergic anaphylaxis).
b. Anafilaksis non alergi
Bila diperantarai oleh penyebab non imunologi (dahulu disebut reaksi
anafilaktoid)

7
c. Anafilaksis idiopatik
Bila alergen penyebab maupun faktor fisik yang merangsangnya tak
teridentifikasi.8
2.3 Etiologi Reaksi Anafilaksis

Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis


populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi.Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.6,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 6
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-
kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.6,10

Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis


Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)

8
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)

Anafilaktoid (tidak melalui IgE)


Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah
lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,


ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin,
sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.10

Gambar 2.2 Sengatan lebah merupakan penyebab anafilaktik 10

9
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut,
dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal
sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacang-
kacangan, ikan, telur dan udang.10,11

Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik 6,9,10


Alergen Penyebab Anafilaksis

Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting


Moluska  : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim    : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid   : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Am
photericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat,  Diazepam, Phenitoin,  Protamine, 
Aminopyrine, Acetil  cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan
HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid 

10
2.4 Epidemiologi Reaksi Anafilaksis

Insidensi pasien anafilaksis di unit gawat darurat diperkirakan 1 hingga 4


per 1000 pasien (0,1% to 0,4%), hanya 1 hingga 3 yang mengetahui pencetus
reaksi anafilaktik. Makanan adalah pencetus paling utama, dilanmjutkan dengan
sengatan dan obat-obatan. Makanan misalnya kacang, ikan, susu, telur, dan
makanan laut adalah produk makanan yang menimbulkan reaksi fatal.
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalensi
1.5%, Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai
sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.12
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop.12

2.5 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis


A. Mekanisme Reaksi Anafilaksis
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type
reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan
IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi ini terjadi melalui 2 fase:6,9
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

11
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.

Gambar 2.3 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis10

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan
cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru
menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP
intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini
antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl
xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap
selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun

12
sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer
dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan
hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat
cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya
mediator.9,10
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.11,13
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Plateletactivatingfactor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.13
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.13

13
Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh
mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius,
traktus gastrointestinalis, dan kulit.

B. Mediator Anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator
kimia yang sangat kuat, memacu peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala
anafilaksis.
a) Histamin
Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin.
Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel
gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin
disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsang
yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama 10 menit dan
inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.8
Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2.
Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular,
sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster, Beberapa tipe
antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antihistamin lain
menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada
beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.8
Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai
organ. Histamin dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskuler
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuliuh darah yang lebih
besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meinggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler
ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi
sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila
penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat
meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.8
b) Newly Synthesized Mediator (Leukotrien, Prostaglandin, Tromboxan)

14
Newly Synthesized Mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin, dan
tromboxan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas, dan sekresi mukus.8
Newly Synthesized Mediator berbeda dengan histamin, heparin, ECF-A,
mediator ini tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Newly
synthesized mediator berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh
enzim fosfolipase A2 menjadi asam arakidonat dan lyso-platelet activating factor
(Lyso-PAF). Kemudian asam arakidonat disintesis menjadi leukotrien oleh enzim
lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboksan oleh enzim siklooksigenasem
sedangkan lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator ini tidak dijalankan
melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh antihistamin. Epinefrin dapat
menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh newly
synthesized mediator.8
c) Eosinophyl chemotacting factor- anaphylaxsis (ECF-A)
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan
segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi
anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-
antibodi yang ada dan menghalangi aksi newly synthesized mediator dan
histamine.8
d) Platelets Activating Factor (PAF)
PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas
pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah
diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradykinin.8
e) Bradikinin
Bradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat
menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama, dan hebat.
Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca
kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut
saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang
peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin
menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor
histamin atau newly synthesized mediator.8

15
f) Serotonin
Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit
dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin
juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar,
sehingga tidak penting perannya pada anafilaksis.8
g) Prostaglandin
Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi
pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan
kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan
prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos
bronkus.8
h) Kalikrein
Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas
pembuluh darah dan tekanan darah.8

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala klinisnya dapat


berupa reaksi lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan
angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat
tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ target seperti traktus
respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.14
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.15
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat

16
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis.14
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.14
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut.16
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.16
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran
sel..16
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan sistemik, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.

17
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.9
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk
dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.6,9

b. Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan
yang pesat ke arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.6,9

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal nafas dan kolaps


kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala obyektif
pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya
masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa, Pada anak
penyebab kematian paling sering adalah edema laring.8

18
Gambar 2.4 Gambaran klinis anafilaktik9

2.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan


diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis
secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom
yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan
penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal ataumeningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal.Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgEspesifik denganRAST (radioimmunosorbent test) atauELISA(Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.14
 Untuk membedakan reaksi anafilaktik alergi dan non alergi dapat
dilakukan hitung eosinofil perifer maupun nasal dan pemeriksaan konsentrasi
tryptase serum, apabila konsentrasinya > 10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi
dari sel mast. Untuk alergi yang diperantarai IgE, dilakukan pemeriksaan IgE total
serum. Untuk alergen protein (inhalan/makanan) dan obat perlu dilakukan uji
tusuk kulit, sedangkan untuk alergi obat juga dapat menggunakan 1 tetes larutan
obat : 1000 cc Na Cl disertai kontrol positif dan negatif. Pengujian intradermal
menggunakan 0,02 ml larutan obat dibanding 1000 cc Na Cl disertai kontrol
positif dan negative.8

19
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggalatau berseri (skin end-point
titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.11
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah
dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji
Radio Allergo Sorbent Test /RAST).Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi
(penghindaran) makanan yang --mengandung protein susu sapi. Jika hasil negatif
maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung --protein susu sapi.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.

a) Uji tusuk kulit (Skin prick test )


Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk
antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2.Uji
tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil).Batasan usia
terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan.Bila uji kulit positif, kemungkinan
alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit
negatif berarti alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%.11
b) IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk
kulit dengan uji IgE RAST. Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan antara lain karena --adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin. Bila
hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi > 5 kIU/L pada --anak
usia ≤ 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan
spesifisitas 94%.11

20
c) Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji
RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah
dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji
provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi. 11
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi
dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula
susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi
kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah
uji provokasi.11

2.8 Penegakan Diagnosis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat


penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.

21
Gambar 2.5 Mekanisme Penegakan Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelahterpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis makaAmericanAcademy of Allergy,Asthma and Immunologytelah
membuat suatu kriteria.16
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dansalah satu darirespiratory
compromise(misalnya sesak nafas, bronkospasme,stridor,wheezing ,penurunan

22
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
dengandisfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).16
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelahterpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaituketerlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh,pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-
uvula);Respiratory compromise(misalnya sesak nafas,
bronkospasme,stridor,wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan
darahatau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejalagastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).16
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yangdiketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak,tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%.16
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang cepat dari gejala
- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset
- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan
lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan
lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa
tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.

23
Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation Problems:
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau
keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.
Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan
tenggorokan.17

2.9 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:

24
1. Urtikaria
Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
(kurang dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria
kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria
berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat berlangsung sampai
beberapa tahun.4
2. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. 1
3. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak
ada nyeri dada. 1
4. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas. 1
5. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 1
6. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. 1
7. Chinese restaurant syndrome

25
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.4
8. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi
hari. 1
9. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal
hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma
diawali dengan RA. 1

2.10 Tatalaksana dan Perawatan Reaksi Anafilaksis


A. Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap,
tindakan awal adalah segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi
terlentang dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi
terlarang, misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah
dianjurkan.18
Tindakan selanjutnya adalahpenilaianairway, breathing, dancirculationdari
tahapanresusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
A. Airway (membuka jalan napas)
Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke anterior, dan membuka

26
mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat terjadi obstruksi
jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk
pasien dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau
orofaringeal. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Pada pasien pediatri, intubasi mungkin secara teknis sulit,
menambah juga beratnya edema. Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi
dapat dibenarkan.10,18
B. Breathing support
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus
menerus, termasuk oksimetri.Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus
diberikan melalui masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L /
menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.18
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat
anafilaktik. Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan
dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4
kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok
anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin.18

27
Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan anafilaksis akut (Liberman, 2005)

B. Obat-obatan pada reaksi anafilaksis


a) Adrenalin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun
epinefrin memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat),
epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan
gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi

28
edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis
b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan
pelepasan mediator sel mast dan basofil.10,18
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak
dan orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute
subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan
kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses
anafilaksis. Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara
intramuskular dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis
maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin
harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat diberikan
langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan
intravena.10,18
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin
2–4 ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan
untuk dilakukannya injeksi.10,18
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti
epinefrin intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak.
Peneliti menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah
yang cukup dari epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun
pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual
administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan menggunakan model
kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada
manusia.10,18
Tabel 2.3Dosis Adrenalin18
Usia Dosis Adrenalin
Dewasa 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak lebih dari 12 tahun 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak 6-12 tahun 300 mikrogram im (0,3 ml)
Anak kurang dari 6 tahun 150 krogram im (0,15 ml)

29
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan
agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah
dengan solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg),
dengan dosis maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus
meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial
lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif. 10,18
b) Anti Histamin
Terapi kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama,
dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis.10,18 contoh lain dari antihistamin yang direkomendasikan adalah
klorfeniramin.
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat 5-
10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg
sebagai dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Difenhidramin bukan
merupakan substitusi adrenalin. Obat ini dapat diteruskan secara oral setiap 6
jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria
dan angioedema. Jika penderita tidak berspon dengan tindakan tersebut, dalam
artian tetap hipotensi dan dispnu, maka perlu dilakukan perawatan intensif.
Tabel 2.4Dosis Klorfenamin18
Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 10 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 5 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 2,5 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 250 mikrogram/kg im atau iv pelan
Pemberian antihistaminberguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitasvaskular yang diakibatkan oleh pelepasan

30
mediator dengan cara menghambat pada tempatreseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin.8
c) Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20
menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan
melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena
selama 20-30 menit setiap 6 jam.8
d) Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai
suntikan tunggal secara lambat dnegan memonitor aritmia jantung, bila terjadi
aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi jika
diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1ml) dalam 250 ml cairan intravena
dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
e) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedanghingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau  mencegah anafilaksis berulang. Kortikosteroid juga berguna
untuk mencegah gejala lama yang rekuren. Pengobatan dihentikan sesudah 2-3
hari.8

Tabel 2.5 Dosis Steroid18


Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 100 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 50 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 25 mg im atau iv pelan

31
C. Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumahsakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penangananpenderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dantransportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisitelentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita
jangancepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24
jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan,klinis (keadaan umum,
kesadaran,vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dancardiac arrest.Kerusakan
otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan
angoioedemamenetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal
ginjal juga pernah dilaporkan.Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari
2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumahsakit.

D. Resusitasi Jantung Paru


RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada
umumnya.10,18
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil
penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal.
Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang
menguasai penanganan kasus gawat darurat.10,18
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan
karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita
tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang
kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif.10,18

32
Gambar 2.7 Algoritma penanganan syok anafilaktik18

2.11 Edukasi

Memberikan edukasi sifatnya sangat penting, terutama pada pasien muda


dengan anafilaksis terhadap makanan. Edukasi yang utama adalah meghindari
faktor alergen seperti makanan.10,18

Tabel 2.6Penyebab anafilaksis pada anak yang tersering1,4


Makanan Kacang, telur, susu sapi, kerang-
kerangan, biji-bijian dan buah-
buahan
Zat aditif makanan Zat pewarna makanan
Medikasi Antibiotik (penisilin dan
sulfonamid), NSAID, aspirin,
agen anestesi
Racun Semut merah, himenoptera seperti

33
lebah
Immunoterapi Ekstrak alergen
Lateks
Vaksin
Infus darah
Kontras radiografik
Idiopatik

Pertama-tama, menemukan alergen adalah yang terpenting. Anamnesis


mengenai riwayat alergi, riwayat adanya alergi pada keluarga dapat membantu
sebagai upaya preventif. Selain itu dapat pula dilakukan tes untuk menemukan
alergen dapat dilakukan dengan tes alergi (skin tes). 10,18
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat
anafilaksis di tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ini rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan
sekolah.10,18

Gambar 2.8 Epipen, epinefrin autoinjektor 10


Peresepan epinefrin autoinjector juga merupakan upaya preventif
terjadinya reaksi anafilaksis lagi dikemudian hari. Orang tua dan pasien harus
menerima informasi mengenai indikasi untuk penggunaan autoinjector. Pada
gambar 2.5 terdapat salah satu gambar epinefrin autoinjektor dengan dosis 0,3
mg.10,18

2.12 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip


kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi

34
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.18

BAB III
KESIMPULAN
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,
berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ. Berdasarkan etiologinya, reaksi
anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan
anafilaksis idiopatik.
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Ekstrak alergen
biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti
bisa ular.

35
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Richard.E, et al. Nelson Text Book of Pediatric.W.B Saunders


Company.Philadelphia ; 2002.p797-799.
2. Simon, Ledit R, et all. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines.J
Allergy Clin Immunol. 2011. p 587-593
3. Sampson HA, Leung DY. Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.WB
Saunders Co. Philadelphia; 2004. p 983-5.
4. Bohlke K, Davis RL, et al. Epidemiology Of Anaphylaxis Among Children
And Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization. Journal
Allergy Clin Immunology. 2004; 113(3): p 536 – 542.
5. Yocum MW, Butterfield JH, et al. Epidemiology Of Anaphylaxis In Olmsted
County: A Population-Based Study.J Allergy Clin Immunol. 1999; 104(2 Pt
1):452 – 456
6. Neugut AI, Ghatak AT,et all.Anaphylaxis in the United States: an
investigation into its epidemiology. Arch Intern Med. 2001; 161(1):15 – 21.
7. Steven E. The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth
Edition. Copyright by Houghton Mifflin Company. 2000
8. Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua. Balai Penerbit IDAI. Jakarta; 2007
9. Koury SI, Herfel LU. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine 5th ed. McGrraw-Hill. New York-
Toronto; 2000. pp 242-6
10. Johnson RF, Peebles RS. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition,
and Treatment. Medscape. 2011
11. Ewan, PW. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. 1998; 316: p 1442-1445

36
12. Cheng, A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children:
Pediatric Child Health. Vancouver. 2011; 16(1): 35-40
13. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar. 2003
14. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on 27
March 2020
15. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia. Anesthesiology.
2008; (88): p1948-1963.
16. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
17. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment.
In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-
treatment . Accessed On 27 March 2020
18. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62: p 857-71.

37

Anda mungkin juga menyukai