Anda di halaman 1dari 10

Luka Bakar Berat pada Mata

Harold Merie, Max Gerard, dan Norbert Schrage


1. Service dOphtalmologie, Martinique; 2. Service dOphtalmologie, Centre Hospitalier de Cayenne, Guyane;
3. University Hospital Aachen, Department of Ophthalmology, Cologne

Abstrak
Lesi paling berat pada mata adalah trauma kimia yang disebabkan oleh asam dan basa kuat.
Berhubungan dengan kerusakan stem cell limbus (limbal stem cells / LSCs), terdapat ulserasi
epitel berulang, ulkus stroma kronik, neovaskularisasi stroma dalam, invasi ke konjungtiva dan
bahkan perforasi kornea. Pemeriksaan klinis pada awal sulit dilakukan karena gejalanya parah,
meski demikian pemeriksaan tersebut membantu klasifikasi lesi, untuk menentukan prognosis
dan mengarahkan penatalaksanaannya. Sistem klasifikasi yang paling sering dipakai adalah
klasifikasi oleh Hughes dan dimodifikasi oleh Roper-Hall. Sekarang sudah dilengkapi secara rapi
oleh Dua dan Wagoner, yang berdasarkan deficit LSC. Prognosis dari bentuk yang berat sudah
berkembang secara signifikan karena fisiologi epitel kornea sudah lebih dimengerti. Teknik
operasi untuk memperbaiki LSC yang rusak sudah memperbaiki secara signifikan prognosis luka
bakar kornea berat. Untuk membatasi insidens luka bakar, pencegahan, terutama di dunia
industri, sangat penting.
Kata kunci
Luka bakar pada mata, trauma kimia, bilas okular, irigasi okular, permukaan mata, transplan
limbus, transplan membran amnion.

Trauma kimia atau panas pada mata mencakup 10% dari total trauma pada mata. Pada umumnya,
luka bakar bilateral ditemukan pada dewasa muda laki-laki. Sumber utamanya adalah pekerjaan,
kecelakaan rumah tangga atau rekreasi, dan penganiayaan.
Epidemiologi
Trauma kimia lebih sering terjadi dan umumnya disebabkan oleh asam atau basa kuat, serta
menyebabkan konsekuensi psikologi, sosial dan legal yang paling berat. Jumlah kecelakaan
rumah tangga yang berhubungan dengan prakarya atau berkebun juga meningkat secara konstan
dan melebihi 1/3 dalam beberapa seri. Beratnya luka tergantung sifat, konsentrasi, kuantitas,
lama terpajan dan pH substansi kimia tersebut. Basa (ammonia [NH3], sodium hipoklorida
[NaClO], sodium hidroksida [Ca(OH)2], dll), potassium hidroksida [KOH], kalsium hidroksida
[Ca(OH)2], dll) masuk ke area mata dengan mudah. Anion tersebut mengsaponifikasi asam lemak
membran sel, yang menyebabkan kematian langsung sel-sel epitel.
1

Diantara asam-asam tersebut (Asam hidrofluorida [HF], asam hidroklorida [HCl], asam kromat
[Cr2O3], asam asetat [Ch3COOH], dll), asam sulfur atau vitriol (H2SO4) adalah penyebab yang
paling berat. Asam menginfiltrasi lebih lambat daripada basa karena proton-protonnya (H+)
mengakselerasi dan denaturasi protein-protein. Koagulasi superficial menyebabkan infiltrasi
asam lebih dalam lagi ke dalam kornea. Untuk luka bakar suhu tinggi, benda padat yang
menahan panas dan yang dengan titik leleh tinggi akan mengakibatkan lesi dalam yang
terkadang menyebabkan kehilangan bulbus okuli.
Perjalanan luka bakar pada mata tergantung sifat substansi kimia; namun semuanya memiliki
beberapa elemen. Maka dari itu, fase pembakaran awal diikuti pembersihan lesi nekrotik
kemudian fase sikatriks. Pembersihan yang dimaksud adalah keadaan dimana banyak sel
inflamasi yang memproduksi beberapa enzim seperti matriks metalloproteinase (kolagenase,
gelatinase, dan stromelisin). Selain memproduksi enzim, sel-sel tersebut juga meningkatkan
penghancuran struktur mata. Sikatriks disebabkan oleh pertumbuhan jaringan sehat kembali yang
mengelilingi luka bakar yang melibatkan lesi iskemik akibat penghancuran kumpulan pembuluh
darah dan lesi sel-sel kornea dan konjungtiva. Sikatriks kornea dan konjungtiva dapat terjadi
melalui diferensiasi sel yang bertahan hidup ke fibroblast atau dengan divisi stem cell.
Semiotika dan Klasifikasi
Luka bakar pada mata adalah keadaan emergensi dan pemeriksaan dini harus mengarah ke
penatalaksanaan, terutama saat dilakukan bilas okular. Data dari pemeriksaan adalah data awal
dan harus dibedakan dari lesi yang terjadi nantinya seiring dengan perkembangan luka.
Pada fase akut, anamnesis tentang dan waktu kejadian, sifat produk yang mengakibatkan dan
prosedur apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Gejala dapat sangat ekspresif (fotofobia, keluar
air mata, dll) dan nyeri signifikan. Pemberian anestesi lokal dalam bentuk tetes mata dapat
membantu mengurangi spasme palpebra inferior. Mata biasa merah karena konjungtiva
hiperemis, perdarahan subkonjungtiva, lingkaran di sekitar kornea dan/atau kemosis. Selain
penghancuran epitel, luka bakar kornea berat berhubungan dengan edema yang terlihat seperti
porselen. Akibat yang lebih fatal terlihat sebagai ulserasi dan/atau iskemi atau nekrosis area
limbus atau konjungtiva bulbi. Area iskemik biasanya lebih sering di bagian inferior dimana
sebagian besar produk kimia ditemukan. Bentuk yang lebih parah tersebut berhubungan dengan
reaksi inflamasi di bilik mata depan, hipertensi okular dan anestesia kornea. Pada akhirnya lesi
palpebra dapat terjadi, terutama pada pinggir dan pungtum lakrimalis.
Tujuan klasifikasi adalah dengan data klinis, dapat menentukan prognosis dan mengarahkan
rencana terapi yang mau diambil. Sistem yang dipakai adalah oleh Hughes dengan modifikasi
oleh Roper-Hall (lihat tabel 1). Klasifikasi ini mempunyai 4 derajat dan tergantung dari opasitas
stroma dan penyebaran dari iskemi limbus yang sesungguhnya. Derajat 1 dan 2 memiliki
prognosis baik, sedangkan derajat 3 dan 4 prognosis buruk. Klasifikasi Roper-Hall belum cukup
tepat untuk derajat 4 mengenai seberapa jauh kerusakan limbus dan dengan mudahnya
2

digantikan oleh klasifikasi Wagoner atau Dua (lihat tabel 2) berdasarkan pentingnya defisiensi
stem cell limbus (LSC). Derajat 4 menurut klasifikasi Roper-Hall prognosis bisa ke arah baik
bila besar kerusakan limbus kurang dari 75%, tetapi bila kerusakan limbus total, prognosis
sangat buruk. Klasifikasi yang lebih baru dari Dua memperhitungkan besar kerusakan limbus
dan konjungtiva (tidak hanya iskemik). Besar kerusakan limbus dihitung dengan arah jam berapa
saja dan berapa persen permukaan konjungtiva bulbi yang kena. Derajat 4 yang terdiri dari
kerusakan limbus dari arah jam 6 sampai 9 dan 50-75% alterasi konjungtiva, memiliki prognosis
baik. Untuk derajat 5, prognosis buruk dan derajat 6 sangat buruk. Derajat 4-6 menurut Dua
sebanding dengan derajat 4 menurut Roper-Hall, dimana prognosis buruk.
Tabel 1. Klasifikasi oleh Hughes dengan Modifikasi Roper-Hall
Derajat

Prognosis

Keterlibatan Kornea

1
2
3

Baik
Baik
Hati-hati

Buruk

Kerusakan epitel kornea


Kornea keruh, iris masih terlihat
Epitel hilang total, stroma keruh, iris
tidak jelas
Kornea opak, iris dan pupil tidak jelas

Iskemi limbus (%
limbus)
0
< 33
33-50
> 50

Tabel 2. Klasifikasi oleh Dua


Derajat

Prognosis

Tanda Klinis

1
2

Sangat baik
Baik

Baik

Baik Hati-hati

Hati-hati Buruk

Sangat buruk

Limbus tidak terlibat


Limbus terlibat 3 arah
jarum jam
Limbus terlibat > 3-6
arah jarum jam
Limbus terlibat > 6-9
arah jarum jam
Limbus terlibat > 9 - <
12 arah jarum jam
Limbus terlibat
seluruhnya

Keterlibatan
konjungtiva
(%)
0
30

Skala analog*
(%)

> 30-50

3.16/3150

> 50-75

6.19/5175

> 75 - < 100

9.111.9/75.1
99.9
12/100

100

0/0
0.1-3/1-29.9

* Skala analog merekam secara akurat keterlibatan limbus dengan satuan arah jarum jam limbus yang terlibat dan
persentase keterlibatan konjungtiva. Dalam menghitung persentase keterlibatan konjungtiva, yang dihitung hanya
konjungtiva bulbi dan forniks konjungtiva.

Proses penyembuhan kerusakan kornea yang paling parah ditentukan oleh defisiensi stem
cell limbus di tempat terjadinya, ulserasi epitel kronik, opasifikasi, neovaskularisasi (lihat
gambar 2) dan bahkan perforasi kornea. Komplikasi intraocular sering terjadi pada kasus-kasus
3

luka bakar berat. Biasanya berupa katarak, superinfeksi, inflamasi intraocular, hipertensi okular
dan/atau hipotensi okular. Mata kering sering dihubungkan dengan komplikasi. Komplikasikomplikasi lesi palpebra terdiri dari distikiasis, entropion dan/atau ektropion.
Penatalaksanaan
Ada 2 aspek untuk mencapai tujuan penatalaksanaan pada luka bakar berat pada mata.
Yang pertama adalah untuk mengeliminasi atau untuk membatasi keagresifan dan juga penetrasi
substansi yang bersifat iritan atau korosif ke dalam mata dengan bilas okular. Yang kedua adalah
untuk mengontrol reaksi inflamasi dan untuk membantu proses penyembuhan.
Bilas Okular (Ocular Lavage)
Prosedur ini penting karena perjalanan luka bakar tergantung kecepatan aplikasi
dan kualitas bilas, harus segera dilakukan di tempat kejadian. Nyeri atau spasme palpebra
berarti bilas yang dilakukan tidak selalu efisien; maka dari itu prosedur ini harus selalu
dilakukan bila terdapat fasilitas yaitu dengan diberi tetes mata anestesi dan general
anestesi mungkin diperlukan pada pasien anak. Penggunaan spekulum mata kadang
diperlukan. Bilas okular harus dilakukan selama 15 menit dan sekitar 0,5 liter larutan
digunakan.
Kedua mata harus diarahkan ke atas dan forniks konjungtiva dibersihkan dengan
hati-hati. Semua benda asing harus dibuang dengan bantuan mikroskop. Pemeriksaan
partikel padat yang menempel di forniks konjungtiva harus dilakukan dengan teliti.
Membersihkan luka tembus dengan membilas bilik mata depan sudah tidak disarankan.
Larutan yang digunakan dalam prosedur ini adalah air, karena biasanya tersedia di tempat
kejadian. Tetapi dibanding dengan permukaan mata, air bersifat hipotonik maka dapat
diserap ke dalam epitel, memperparah edem dan mengangkut molekul asam atau basa ke
dalam kornea.Penggunaan larutan isotonik atau hipertonik lebih disukai karena kedua
larutan tersebut membuat aliran dari dalam permukaan mata keluar. Air biasa dan serum
fisiologis tidak mempunyai efek menyerap dan hanya berfungsi sebagai aliran dilusi dan
mekanik.
Ringer laktat dan larutan salin seimbang (Balanced Saline Solution) lebih
ditoleransi daripada serum fisiologis. Ringer laktat mempunyai sedikit kapasitas absorpsi
dan BSS mempunyai osmolaritas yang dekat dengan humor akuos, tetapi tidak punya
efek absorpsi. Sekarang terdapat satu larutan hipertonik untuk bilas okular dengan
osmolaritas 820 mOsm/l. Diphoterine (Laboratorium Prevor) adalah larutan amfoterik
dengan kapasitas absorpsi kuat yang telah dipakai selama beberapa tahun di industry
kimia. Zat kimia amfoterik, seperti asam etilenediaminetetrakasetat, bekerja dengan
menangkap ion-ion dan neutralisasinya melalui reaksi amfofilik. Zat-zat tersebut dapat
berikatan dengan asam atau basa tanpa mengubah pH lingkungan dan tanpa reaksi
4

eksotermik. Bilas luka bakar okular dengan larutan amfoterik lebih cepat kembali ke pH
ekstraokular normal.
Untuk luka bakar alkali, peningkatan kurva pH intraocular lebih tidak penting dan
penurunannya lebih cepat. Dengan mekanisme kerja dan hasilnya, dari hasil eksperimen
dan klinis, larutan amfoterik terlihat lebih cocok untuk bilas mata dalam keadaan
emergensi. Pada kasus luka bakar berat, bilas mata harus dilanjutkan selama perjalanan
pasien ke rumah sakit. Penggunaan kateter dengan perfusi dipertahankan kira-kira 20 cm
dari bulbus okuli lebih disukai ketimbang sistem irigasi otomatis. Alat-alat ini, termasuk
loop polietilen atau lensa polimetil metakrilat skeral (lensa Morgan) memiliki beberapa
kerugian, seperti proses pemasangan alat yang agak sulit karena dipasang di tempat lesi
dan tidak menjanjikan hasil bilas semua permukaan mata yang baik. Bilas duktus
lakrimalis tidak disarankan, terutama karena akan cepat muncul edema meatus lakrimalis,
risiko lesi bertambah parah dan risiko salah arah bilas.
Medikamentosa
Penggunaan kortikosteroid lokal, sudah didebatkan sejak lama, dapat dibenarkan
dengan kemampuannya untuk menurunkan reaksi inflamasi. Steroid dapat menurunkan
invasi stroma oleh neutrofil polinuklear, sel mast stabilizer, dan membran lisosom dari
neutrofil polinuklear dan memiliki aksi antikolagenase. Steroid membatasi penghancuran
sel mukosa konjungtiva. Namun steroid menurunkan migrasi keratosit, menghambat
sintesis kolagen dan memperlambat proses penyembuhan. Steroid lokal dapat diberikan
untuk 8 hari dengan hasil baik. Insidens komplikasi infeksi sepertinya tidak meningkat
dengan terapi steroid lokal. Untuk mengganti steroid, dapat diberikan NSAID tetapi
harusnya tidak diberikan karena dapat memperpanjang proses pembentukkan sikatriks
epitel dan mengubah sensitivitas kornea. Pada luka bakar eksperimental, tetrasiklin
menurunkan aktivitas kolagenase dan meningkatkan ulserasi kornea. Aksi ini tidak
tergantung property antimicrobial dan disebabkan oleh kelasi besi yang penting dalam
aktivias metalloproteinase. Administrasi tetrasiklin parenteral menurunkan insidens
ulserasi kornea dan membantu proses penyembuhan. Inhibitor kolagenase seperti sistein,
asetilsistein, dan tiol sintetik, sudah terbukti efisien pada luka bakar eksperimental, tetapi
belum dipelajari dalam konteks klinis. Tetes mata sikloplegik mengurangi nyeri dan
membatasi pembentukkan sinekia posterior dan diberikan secara sistematik.
Beberapa obat meningkatkan kemungkinan sembuh. Luka bakar konjungtiva
berhubungan dengan penurunan jumlah sel mukosa. Penggunaan rutin air mata buatan
tanpa pengawet direkomendasikan. Asam askorbat adalah ko-faktor sintesis kolagen,
tetapi dalam kasus luka bakar, konsentrasinya di humor akuos menurun. Pfister dan
Paterson menunjukan bahwa pemberian suplemen asam askorbat secara lokal atau
parenteral dapat mencegah penipisan retina dan insidens ulserasi kornea (dari eksperimen
dan klinis). Administrasi tetes mata 10% sudah sangat efisien karena konsentrasi asam
5

askorbat harus dibatasi karena potensial terbentuk lesi di badan siliar di bilik mata depan.
Askorbat oral dapat diberikan dengan dosis 2-3 g/hari. Faktor pertumbuhan (epidermal,
fibroblas, dll) seperti fibronektin dan asam retinoat, tidak digunakan secara klinis.
Pencegahan infeksi dengan pemberian tetes mata antibiotik spectrum luas dan tetrasiklin
parenteral. Analgesik diberi boleh oral atau parenteral karena lesi nervus kornea sangat
nyeri.
Operatif
Seperti terapi steroid, terapi operatif dengan eksisi bertujuan mengurangi reaksi
inflamasi yang dibentuk oleh produk degradasi konjungtiva nekrotik yang yang terlibat
dalam pembersihan luka. Eksisi terdiri dari ablasi jaringan nekrotik permukaan bulbus
okuli. Pada kasus luka bakar berat pada mata diikuti vaskularisasi limbus yang hilang
total, disamping sudah diprediksinya tidak mungkin re-epitelisasi sekunder, terdapat
risiko langsung nekrosis segmen anterior. Untuk membentuk sirkulasi limbus kembali
dan menghindari perkembangan ke nekrosis atau ulserasi aseptic, tenoplasti dapat
dilakukan.Prosedur ini terdiri dari realisasi strip Tenon yang diposisikan mengikuti alur
limbus. Pencegahan simblefaron dilakukan dengan menggunakan kaca sclera atau cincin
polimetilmetakrilat.
Teori stem cell limbus yang diajukan oleh Schermer dan dikembangkan oleh
Tseng, adalah dasar tranplan limbus. Pembentukkan epitel kornea baru cepat terjadi,
dengan stem cell limbus yang tidak terdiferensiasi di lapisan basal limbus. Autotransplan
limbus adalah teknik pilihan untuk tatalaksana destruksi limbus kornea dan
komplikasinya. Prosedur ini menunjukan insufisiensi limbus unilateral saat terdapat
donor mata sehat kontralateral. Pannus konjungtiva lengkap yang menutupi kornea
dibuang lebih dari 3 mm dari limbus. Graft dibuang melalui insisi kornea 1 mm di depan
limbus. Diseksi dilakukan dengan membuat terowongan kira-kira 2 mm di belakang
limbus. Untuk menghindari pembentukkan insufiensi limbus di mata donor, graft tidak
boleh lebih dari 10 derajat. Autotransplan limbus membolehkan re-epitelisasi kornea
dengan kualitas baik pada 75-100% kasus dan merupakan bagian dari pembatas
fenomena sikatriks neovaskular yang berasal dari konjungtiva. Periode optimal dari
tanggal terjadinya luka dan intervensi masih dalam perdebatan. Sebagian besar penulis
percaya bahwa lebih baik menunggu beberapa bulan supaya reaksi inflamasi berkurang.
Namun beberapa merekomendasi intervensi lebih awal, yaitu sebelum terbentuk
komplikasi berkaitan dengan defisit stem sel limbus. Tujuan alotransplan limbus identik
dengan autotransplan, direkomendasikan untuk lesi limbus luas yang bilateral atau
unilateral.
Membran amnion pertama kali dipakai untuk luka bakar pada mata oleh Sorsby
dan Simmonds pada tahun 1947 yang terdiri dari epitel selapis kubus, membran basalis,
dan mesenkim avaskular. Membran ini memfasilitasi re-epitelisasi dengan menurunkan
6

reaksi inflamasi dan sikatriks. Satu helai membran amnion, bagian epitel diatas, dijahit ke
kornea dengan nylon no 10. Membran amnion kemudian ditutup dengan epitel kornea,
digabungkan dengan stroma dan diserap. Prinsipnya adalah berdasarkan membran
amnion transplan dengan cepat saat fase awal luka. Tetapi walau dilakukan pada fase
lebih lanjut hasilnya juga tetap baik.
Risiko penolakan keratoplasti transfiksian (Transfixiant Keratoplasty / TK) biasa
sekitar 10%, lebih tinggi pada trauma kimia karena frekuensi dan pentingnya
neovaskularisasi stroma kornea reseptor. TK tidak menggunakan stem cell limbus dan
tidak cukup untuk tatalaksana iskemi limbus luas. Ini harus dilakukan dengan
transplantasi limbus. TK dapat diselesaikan pada waktu yang sama dengan autotransplan
limbus. Namun siktariks epitel dan transparansi kornea lebih baik bila dilakukan TK
nantinya (antara 1-13 bulan).
Profound Lamellar Keratoplasty terdiri dari transplan stroma dan graft epitel
dengan tidak mengganggu membran Descemet dan endotel penerima. Digunakan untuk
luka bakar kornea yang tidak mengenai membran Descemet dan endotel.
Keratoprotesis tetap sebagai teknik operatif yang paling baik untuk kebutaan
kornea bilateral, bila TK dan LSC tidak dapat dilakukan. Meski sulit dilakukan, hasilnya
sangat baik.
Transplan konjungtiva, yang dikembangkan oleh Thoft, tidak menyebabkan
penyembuhan epitel kornea, dan sudah digantikan oleh LSC. Namun prosedur ini tetap
diindikasikan untuk rekonstruksi konjungtiva forniks dikoreksi dengan fibrosis sikatriks.
Kesimpulan
Trauma kimia dapat menyebabkan kerusakan fungsi penglihatan berat, bilateral, dan
ireversibel. Pemeriksaan awal kadang sulit karena gejala yang berat. Namun, melalui
pemeriksaan dapat ditetapkan klasifikasi lesi, prognosis, dan yang paling penting mengarahkan
terapi. Terdapat kemajuan prognosis luka bakar yang paling berat berkat sudah diketahui lebih
banyak tentang fisiologi epitel kornea. Teknik operatif untuk mengembalikan stem cell limbus
yang hancur sudah mengubah prognosis luka bakar kornea berat.
Disamping itu, pencegahan penting untuk menurunkan insidens luka bakar, terutama di
dunia industri karena banyak kasus seharusnya dapat dihindari dengan informasi, pelatihan, dan
regulasi minimal.
Daftar Pustaka
1. Zagelbaum B, Tostanowski J, Kerner D, Hersh PS, Urban eye trauma, Ophthalmology,
1993;100:8516.

2. Jones NP, Hayward JM, Khaw PT, et al., Function of an ophthalmic accident and emergency
department: results of a six months survey, Br Med J, 1986;292:18890.
3. Morgan SJ, Chemical burns of the eye: causes and management, Br J Ophthalmol,
1987;71:8547.
4. Schultz GS, Strelow S, Stern GA, et al., Treatment of alkali-injured rabbit corneas with a
synthetic inhibitor of matrix metalloproteinases, Invest Ophthalmol Vis Sci, 1992;33:332531.
5. Tseng SC, Concept and application of limbal stem cells, Eye, 1989;3:14157.
6. Roper-Hall MJ, Thermal and chemical burns of the eye, Trans Ophthalmol Soc UK,
1965;85:63146.
7. Dua HS, King AJ, Joseph A, A new classification of ocular surface burns, Br J Ophthalmol,
2001;85:137983.
8. Wagoner MD, Chemical injuries of the eye: current concepts in pathophysiology and therapy,
Surv Ophthalmol, 1997;41:275313.
9. Grard M, Merle H, Chiambaretta F, et al., An amphoteric rinse used in the emergency
treatment of a serious ocular burn, Burns, 2002;7:6703.
10. Kuckelkorn R, Kottek A, Reim M, Intraocular complications after severe chemical burns:
incidence and surgicaltreatment, Klin Monatsbl Augenheilkd. 1994;205:8692.
11. Burns FR, Paterson CA, Prompt irrigation of chemical eye injuries may avert severe damage,
Occup Health Saf, 1989;58:336.
12. Schrage NF, Kompa S, Haller W, Langefeld S, Use of an amphoteric lavage solution for
emergency treatment of eye burns. First animal type experimental clinical considerations, Burns,
2002;28:7826.
13. Kuckelkorn R, Keller G, Redbrake C, Emergency treatment of chemical and thermal eye
burns, Acta Ophthalmol Scand, 2002;80:410.
14. Grard M, Josset P, Louis V, et al., Existe-il un dlai pour le lavage oculaire externe dans le
traitement dune brlure oculaire par lammoniaque? Comparaison de deux solutions de lavage:
srum physiologique et Diphotrine, J Fr Ophtalmol, 2000;5:44958.
15. Merle H, Donnio A, Ayboua L, et al., Alkali ocular burns in Martinique (French West
Indies). Evaluation of the use of an amphoteric solution as the rinsing product, Burns,
2005;2:20511.
16. Morgan SJ, A new drug delivery system for the eye, Industrial Med, 1971;40:113.
8

17. Brodovsky SC, McCarty CA, Snibson G, et al., Management of alkali burns. An 11-year
retrospective review, Ophthalmology, 2000;107:182935.
18. Brent BD, Karcioglu ZA, Effect of topical corticosteroids on goblet-cell density in an alkaliburn model, Ann Ophthalmol, 1991;23:2213.
19. Chung JH, Kang YG, Kim HJ, Effects of 0.1 % dexamethasone on epithelial healing in
experimental corneal alkali wounds: morphological changes during the repair process, Graefes
Arch Clin Exp Ophthalmol, 1998;236:53745.
20. Davis AR, Ali QH, Aclimandos WA, Hunter PA, Topical steroid use in treatment of ocular
alkali burns, Br J Ophthalmol, 1997;81:7324.
21. Perry HD, Hodes LW, Seedor JA, et al., Effect of doxycycline hyclate on corneal epithelial
wound healing in the rabbit alkali-burn model. Preliminary observations, Cornea, 1993;12:379
82.
22. Seedor JA, Perry HD, McNamara TF, Golub LM, Systemic tetracycline treatment of alkali
induced corneal ulceration, Arch Ophthalmol, 1987;105:26872.
23. Pfister RR, Paterson CA, Ascorbic acid in the treatment of alkali burns of the eye,
Ophthalmology, 1980;87:10507.
24. Reim M, Overkamping B, Kuckelkorn R, 2 years experience with Tenon-plasty,
Ophthalmologe, 1992;89:53440.
25. Kuckelkorn R, Schrage N, Reim M, Treatment of severe eyes burns by tenoplasty, Lancet,
1995;345:6578.
26. Schermer A, Galvin S, Sun TT, Differentiation-related expression of a major 64K corneal
keratin in vivo and in culture suggests limbal location of corneal epithelial stem cells, J Cell
Biol, 1986;103:4962.
27. Shimazaki J, Shimmura S, Tsubota K, Donor source affects the outcome of ocular surface
reconstruction in chemical or thermal burns of the cornea, Ophthalmology, 2004;111:3844.
28. Holland JH, Schwartz GS, The evolution of epithelial transplantation for severe ocular
surface disease and a proposed classification system, Cornea, 1996;15:54956.
29. Frucht-Pery J, Siganos CS, Solomon A, et al., Limbal cell autograft transplantation for severe
ocular surface disorders, Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol, 1998;236:5827.
30. Sorsby A, Simmonds H, Amniotic membrane graft in caustic burns of the eye (burns of
second degree), Br J Ophthalmol, 1947;31:40918.

31. Hao Y, Ma DH, Hwang DG, et al., Identification of antiangiogenic and anti-inflammatory
proteins in human amniotic membrane, Cornea, 2000;19:34852.
32. Brown SI, Bloomfield SE, Pearce DB, Follow-up report on transplantation of the alkali
burned cornea, Am J Ophthalmol, 1974;77:53842.
33. Stoiber J, Forstner R, Csaky DC, et al., Evaluation of bone reduction in osteoodontokeratoprosthesis by threedimensional computed tomography, Cornea, 2003;22:12630.
34. Thoft RA, Conjunctival transplantation, Arch Ophthalmol, 1977;95:14257.

10

Anda mungkin juga menyukai