REAKSI ANAFILAKTIK
Pembimbing :
Penyusun :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul “Reaksi Anafilaktik” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian
ilmu penyakit dalam RSUD dr. Mohammad Soewandhie Surabaya.
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga
referat Bagian Ilmu Penyakit Dalam yang berjudul “Reaksi Anafilaktik” dapat
terselesaikan dengan baik. Adapun pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr.
Mohammad Soewandhie Surabaya.
Dalam menyusun referat ini penyusun telah banyak mendapatkan bantuan serta
dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Ucapan terima kasih
kepada dr. Hernycane Sosilya, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini
serta kepada teman – teman sejawat.
Demikian referat ini disusun dengan sebaik – baiknya. Semoga dapat memberikan
manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iv
BAB I.....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................1
1.1 Pendahuluan..........................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................2
2.1 Definisi....................................................................................................................2
2.2 Etiologi....................................................................................................................2
2.3 Klasifikasi...............................................................................................................3
2.4 Epidemiologi..........................................................................................................4
2.5 Patofisiologi............................................................................................................6
2.8 Diagnosis...............................................................................................................12
2.10 Tatalaksana..........................................................................................................14
2.11 Pencegahan...........................................................................................................16
BAB III................................................................................................................................19
KESIMPULAN...................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................19
REFERENSI.......................................................................................................................20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Perkembangan yang pesat dalam penelitian, penemuan, dan produksi obat
untuk diagnosis, pencegahan, serta pengobatan telah menimbulkan reaksi obat yang
tidak diinginkan yang disebut efek samping obat.
Reaksi tersebut tidak hanya menimbulkan persoalan baru disamping
penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang juga dapat sangat berbahaya.
Hypokalemia, intoksitasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik
merupakan contoh-contoh efek samping obat yang berbahaya. Diperkirakan efek
samping terjadi pada 6 sampai 15% pasien yang dirawat dirumah sakit dan 6-10%
pada pasien dengan alergi obat.
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Anafilaksis
merupakan keadaan darurat potensial yang dapat mengancam nyawa. Gejala
anafilaksis timbul segera setelah pasien terpapar allergen atau faktor pencetus
lainnya. Gejala yang timbul dari reaksi alergen dan antibody disebut sebagai reaksi
anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik disebut reakis
anafilatoid.
Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-tiba,
tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kesiapan dan kewaspadaan
menghadapi kondisi tersebut sangat diperlukan. (Setiati et al., 2014)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas sistemik berat dan mengancam
jiwa. Reaksi ini dapat terjadi melalui mekanisme imunologis (baik IgE-dependent
atau Ig-E independent) atau nonimunologis. World Allergy Organizaion (WAO)
mengusulkan istilah ‘anafilaksis imunologis’ bila reaksi dimediasi oleh mekanisme
imunologis dan ‘anafilaksis non-imunologis’ bila reaksi tersebut tidak melibatkan
system imun. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
2.2 Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
ataupun melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari
anafilaksis, terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.
Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan
pada orang dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan
menjadi pemicu, namun beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga
obat seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi
penyebab tersering dari anafilaksis (Shandy & Saturti, 2016)
Reaksi alergi terhadap makanan dapat terjadi dalam beberapa menit sampai
2 jam setelah terpapar dengan makanan bahkan bisa sampai 24 jam. Reaksi yang
terlambat ini menimbulkan kesulitan untuk mengidentifikasi makanan penyebab
alergi. Paparan dapat terjadi secara inhalasi, kontak kulit dan makan, dan ke saluran
cerna. Dikatakan terjadi sentisisasi bila pada pemeriksaan darah terdapat IgE
terhadap alergen yaitu protein bahan makanan. (Karjadidjaja, 2018)
2
Tabel 2. 1 Beberapa alergen pada kasus anafilaksis
2.3 Klasifikasi
Mekanisme imunologis meliputi reaksi yang dimediasi oleh IgE maupun
non-IgE. Walaupun demikian, baik reaksi imunologis maupun non-imunologis,
yang dimediasi oleh IgE atau non-IgE, jalur akhirnya sama-sama melibatkan sel
mast dan basophil dan memicu respon alergi yang sama parahnya. Mayoritas
anafilaksis adalah reaksi yang dimediasi oleh IgE. Istilah ‘anafilaktoid’ sekarang
sudah tidak lagi digunakan dan diganti dengan ‘pseudoalergi’.
Diagnosis anafilaksis idiopatik ditegakkan bila tidak dijumpai pencetus
reaksi anafilaksis walaupun sudah dilakukan anamnesis yang rinci, tes kulit
terhadap alergen, pengukuran kadar IgE terhadap beberapa jenis alergen (yang
tampak jelas maupun yang tersembunyi), maupun tes provokasi. Ke dalam kategori
ini termasuk anafilaksis yang dipicu oleh galactose α-1, 3 galactose, karbohidrat
yang terkandung dalam daging merah, dan anafilaksis yang dipicu oleh heparin
yang terkontaminasi oleh chondroitin sulfate. Pada anafilaksis idiopatik perlu
dievaluasi apakah pada penderita didapatkan mastoisitas atau kelainan klonal set
mast. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
3
Anafilaksis
IgE, FcεRI :
Lain-lain :
Makanan, sengatan Fisik : Lain-lain :
Produk darah, agregat
serangga, lateks, dan Olahraga, hawa dingin Obat-obatan
imun, obat-obatan
obat-obatan
2.4 Epidemiologi
Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih
dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic golongan beta lactam,
khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%
pemakaian (Setiati et al., 2014). Sekitar 0,7-10% anafilaksis terjadi karena
penggunaan obat golongan penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-
5% terjadi karena gigitan serangga. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemaiakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontras menyebabkan reaksi
yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000
dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmolar. (Setiati et al., 2014)
4
Tabel 2. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi insiden dan keparahan anafilaksis
5
anafilaksis
Ras/etnik Tidak ada peranan
Kronobiologi Tidka ada hubungan antara waktu dalam sehari,
siklus lunar, siklus sirkadian dengan insidensi
anafilaksis
Penyakit Penyerta Asma, PPOK, penyakit kardiovaskular, matositosis,
dan penyakit sel mast klonal berhubungan dengan
peningkatan resiko anafilaksis yang berat dan fatal
2.5 Patofisiologi
Anafilaksis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dimana
terjadi pelepasan berbagai mediator kimia hasil degranulasi basofil dan sel mast
pada paparan berulang suatu antigen. (Waode Azfari Azis, Laode Yusman
Muriman, 2019). Kejadian primer yang mendasari reaksi anafilaksis adalah
degranulasi sel mast dan basophil, baik melalui mekanisme imunologis maupun
non-imunologis. Selama proses degranulasi, terjadi pelepasan mediator-mediator
kimia yang menimbulkan manifestasi klinis anafilaksis. Mediator tersebut meliputi
mediator yang sudah terbentuk sebelumnya dan tersimpan dalam granula sel mast
dan basophil (histamine, trypase, heparin, chymase, dan sitokin), serta molekul-
molekul yang beru disintesis (prostaglandin dan leukotriene). Mediator-mediator
ini selain menimbulkan efek langsung pada organ-organ sasaran, ternyata juga
memicu kaskade inflamasi lain seperti system komplemen, system kontak
kallikrein-kinin disertai pembentukan bradykinin, dan kaskade pembekuan darah.
[ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
6
imunogenik (misalnya dengan sengatan serangga), atau berinteraksi dengan
hapten yang terikat secara kovalen dengan protein carrier (mislanya determinan
mayor dan minor penisilin).
2. Mekanisme imunologis IgE-independent
Reaksi terhadap darah atau komponen darah diduga terjadi melalui
pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi system komplemen.
Kompleks antara IgG atau IgM dan protein asing mengaktifkan komplemen,
menghasilkan anafilaktosin C3a dan C5a, yang pada gilirannya memicu
pelepasan histamine.
Reaksi sistemik terhadap aspirin dan OAINS terjadi sekitar 1% dalam populasi.
Kemungkinan terjadinya anafilaksis tergantung dari potensi masing-masing
obat dalam menghambat sintesis prostaglandin.
3. Mekanisme nonimunologis
Beberapa jenis obat dapat secara langsung mengaktifkan sel mast dan memicu
degranulasi, antara lain opiate dan vancomycin. Reaksi sistemik dapat langsung
terjadi pada paparan pertama karena tidak diperlukan fase sensitisasi.
4. Tidak diketahui (idiopatik)
Tidak ada mekanisme pasti yang dapat dipakai untuk menjelaskan jenis-jenis
anafilaksis tertentu, misalnya pada anafilaksis idiopatik.
Mekanisme Contoh
Imunologis, Makanan
IgE-dependent Obat-obatan
Gigitan dan sengatan serangga
Aktifitas fisik
Penyebab lain
Imunologis, Kompleks imun
IgE-independent IgG anti-IgA
Sitotoksik
Abnormalitas metabolism asam arakidonat
Aspirin
OAINS lain
Aktivasi system kontak kallikrein-klinin
Membran dialysis
7
Media radiokontras
Pengerahan multimediator
Komplemen
Pembekuan
Lisis klot
System kontak kallikrein-klinin
Penyebab lain
Non-imunologis Degranulasi sel mast dan basophil secara
langsung
Obat-obatan, misalnya opiate,
vancomysin
Faktor fisik, misalnya suhu dingin,
sinar matahari
Latihan fisik
Mutase c-kit (D816V)
Penyebab lain
Idiopatik
8
Mediator biokimiawi dan zat-zat kemotaktik yang dilepaskan saat
degranulasi sel mast dan basofil meliputi mediator yang sudah terbentuk
sebelumnya (preformed), seperti histamine, tryptase, chymase, heparin, histamine-
relesing factor, dan beberapa sitokin lainnya; serta mediator-mediator yang baru
terbentuk, seperti prostaglandin D2 (PGD2),leukotriene B4 (LTB4), platelet-
activating factor dan cysteinyl leukotriene LTC4, LTD4, LTE4.
1. Histamin
Histamin berkerja melalu ikatan dengan reseptor H1 dan H2. Rangsangan
pada reseptor H1 akan menimbulkan efek pruritus, peningkatan produksi lender
mukosa hdung, takikardia, dan bronkospasme; sedangkan nyeri kepala,
kemerahana pada wajah, dan hipotensi disebabakan oleh rangsangan pada
reseptor HA dan H2. Kadar histamine dalam plasma berkorelasi dengan derajat
keparahan manifestasi kardiopulmoner atau gastrointestinal.
2. Tryptase
Tryptase adalah satu-satunya protein yang terkonsentrasi secara efektif
dalam granula sekretorik sel mast. Kadar dalam plasma selama terjadinya
degranulasi sel mast berkorelasi dengan derajat keparahan klinis anafilaksis.
3. Nitric oxide dan mediator inflamasi lainnya
Ikatan antara histamine dan reseptor H1 saat anafilaksis juga merangsang sel
endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide (NO),
suatu vasodilator yang kuat. NO mengaktifkan guanylate cyclase menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan produksi cyclic guanosine monophospat
(cGMP). Secara fisiologi NO ikut menentukan tonus vaskuler dan tekanan
darah regional. Peningkatan NO sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi
manifestasi klinis anafilaksis seperti bronkospasme atau depresi miokard,
namun secara tidak langsung ikut berperan pada timbulnya vasodilatasi yang
terjadi selama anafilaksis.
4. Metabolit asam arakidot
Meliputi hasil-hasil metabolism jalur lipo-oksigenase dan siklo-oksiganase.
LTB4 merupakan zat kemotaktik yang mampu mengerahkan sel-sel radang lain
9
untuk ikut berperan dalam anafilaksis. Efek yang ditimbulkan oleh cysteinyl
leukotrienen sama dengan efek kerja histamine dan tryptase antara lain berupa
bronkospasme, hipotensi dan eritema.
5. Pengarahan jalur kaskade inflamasi lain
Selama episode anafilaksis, terjadi aktivitas system komplemen, kaskade
pembekuan darah, system kotak kalikrein-kinin dan aktivitas trombosit, yang
secara bersama-sama berperan memperpanjang dan meningkatkan proses
inflamasi yang terjadi. Pada system komplemen, penururnan kadar C3 dan C4,
serta peningkatan kadar C3a dapat diamati selama anafilaksis. Pada katalase
pembekuan darah, terjadi penururnan faktof V, VIII dan fibrinogen. Penurunan
kadar kininogen berat molekul tinggi serta pembentukkan kompleks kalikrein-
Cl inhibitor dan kompleks factor XIIa-Cl inhibitor menunjukkn adanya
aktivitasi system kontak. Aktivitasi kalikrein tidak saja merangsang
pembentukkan bradykinin, tetapi juga mengaktifkan factor XII. Faktor XII
dapat memengaruhi pembekuan darah melalui pembentukkan plasmin. Plasmin
juga memiliki untuk mengaktifkan system komplemen. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
10
atau syok anafilaktik, yang berlangsung hingga 5-32njam dan sering resisten
terhadap pengobatan. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
Gejala dan tanda pada kulit
Rasa kesemuran dan panas dikulit seringkali merupakan gejala awal
yang timbul pada anafilaksis, diikuti dengan kemerahan pada kulit
(flushing), prupritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
Gejala dan tanda pada saluran nafas
Gejala akut dapat berupa keluarnya cairan dalam rongga hidung
(rhinorrhea), hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung, terutama
pada mereka yang menderita ringan alergika. Angioedema meliputi
pembengkakkan pada uvula, lidah, faring atau laring, yang disertai suara
parau atau hilangnya suara, stridor, sesak nafas, atau bahkan henti nafas.
Keterlibatan saluran nafas bagian bawah umumnya berupa bronkospame
dan edema saluran nafas, yang menimbulkan sesak nafas, mengi, dan
perasaaan dada terhimpit. Pada penderita asma gejala-gejala saluran nafas
tersebut sangat menonjol.
Gejala dan tanda pada system kardiovaskular
Artimia dapat dijumpai selama anafilaksis yaitu berupa gangguan
irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi,
atau nyeri dada. Hipotensiu merupakan gejala yang paling
mengkhawatirkan pada anafilaksis, bervariasi mulai dari yang ringan hingga
yang berat.
Gejala dan tanda pada system GI
Gejala GI merupakan akibat dari edema intestinal akut atau spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang-kadang
dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskmemia atau infrak usus.
Gejala dan tanda pada sususnan saraf pusat
Disorientasi, pingsan, kejang dan penurunan kesadaran dapat terjadi
akibat penurunan perfusi serebral atau efek toksik langsung mediator yang
dilepaskan selama anafilaksis.
Gejala lain
Rasa getir pada mulut, inkontinensia, nyeri kram dan pendarahan
pervagina akibat kontrksi uterus.
11
2.8 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis yang
didapatkan pada penderita dan responsinya terhadapa pengobatan yang diberikan.
Bila gejala yang muncul hanya sebagian dan terbatas, atau bila hubungan antara
gejala klinis dan dugaan bahan penyebabnya tidak begitu jelas, maka perlu
dipertimbangkan beberapa diagnosis diferensial dan beberapa pemeriksaan
laboratorium penunjang. Kristeria klinis diagnosis anafilaksis berdasarkan panduan
dari World allergy organization.
Pemeriksaan Laboratorium
12
histamine dalam plasma meningkat dalam 5-10 menit setelah gejala awal dan
menetap selama 30-60 menit, oleh karena itu tidak banyak membantu bila penderita
datang lebihdari satu jam setelah onset kejadian. Sebaliknya kadar histamine dan
metabolitnya dalam urin meingkat sampai dengan 24 jam setelah onset dan dapat
diukur dalam urin tamping 24 jam secara akurat. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
2.10 Tatalaksana
14
angioedema. Begitu pula dengan kortikosteroid, dianggap sebagai obat lini kedua
karean kurang bermanfaat pada fase akut. Kortikosteroid tetap dipakai untuk
mencegah reaksi bifasik. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
15
9. Monitor tekanan darah, denyut dan fungsi jantung, status respirasi dan
oksigen secara teratur.
2.11 Pencegahan
Penderita yang pernah mengalami reaksi anafilaksis, mempunyai resiko
yang lebih tinggi untuk mengalami reaksi berulang. Pencegahan terhadap
berulangnya kejadian anafilaksis merupakan salah satu kunci tata laksana jangka
panjang. Oleh karena salah satu penyebab utama anafilaksis adalah obat-obatan,
maka sebelummemberikan obat pada penderita, dokter harus mencatat secara teliti
adanya riwaat atropi, alergi obat, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi,
manifestasi alergi yang terjadi, dan jenis obat yang digunakan penderita saat ini.
16
Pada penderita yang memiliki riwayat alergi, pemberian obat harus dilakukan
secara hati-hati. Bila memungkinkan, lebih baik obat diberikan secara oral daripada
parental. Hindari pemakaian obat intermiten. Beritahu penderita tentang
kemungkinan reaksi yang terjadi pada setiap pemakian obat-obaan. Sediakan
obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat disetiapsarana pelayanan kesehatan.
Kenali tanda dini reaksi alergi obat dan segera hentikan obat bila terjadi reaksi. Bila
diperlukan pemberian obat secara parental, penderita harus diobservasi selama 20-
30 menit setelah injeksi.
Sebelum keluar dari rumah sakit, penderita harus mendapatkan informasi
tetang bagaiman cara menghindari pencetus alergi. Pada penderitayang beru saja
dirawat dirumah sakit kaarena anafilaksis harus dilakukan pemantuan secara
berkala. Penderita ini harus dikenali, diberi peringatan dan bila perlu diberi tanda
peringatan pada ikat pinggang, gelang atau dompetnya. Diluar negeri terdapat
gelang injeksi kit peini=ferin yang dapat digunakan sendiri oleh penderita setelah
mendapatkan latihan dan petunjuk oleh dokter tentang cara dan kapan alat tersebut
digunkan. Injeksi epinefrin ini perlu bila pencetus anafilaksis sering timbul tidak
terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.
Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan penyebab atau
pencetus anafilaksis pada kasus-kasus anafilaksis yang tidak jelas sebabnya atau
diduga oleh makanan tertentu. Akuratan anamnesis berulang yang lebih cermat
seperti daftar makanan dan obat yang dikonsumsi penderita dalam kurun waktu 4-6
jam sebelum episode anafilaksis, dan bila perlu konfrimasi dengan tes untuk kulit
atau pengukuran kadar IgE spesifik serum yang biasanya optimal dilakukan 4-6
minggu setelah episode anafilaksis. Allergen penyebab sedapat mungkin dikenali
agar selanjutnya dapat dihindari.
Pengurangan risiko jangka panjang sangat diajurkan, anatara lain
pengobatan penyakit penyerta seperti asma maupun penyakit kardiovaskuler secara
optimal, menghindari sebisa mungkin penggunanaan obat penyekay B nonspesifik
dan penghambat ACE karena obat-obat tersebut dapat memperparah episode
anafilaksis, serta penyekat B dapat mengganggua terapi epinefrin dan B agonis.
Penderita dengan riwayat anafilaksis obat tertentu seharusnya tidak
diberikan obat yang sama. Bila tersedia, gunakan obat alternative lain yang lebih
aman, efektif, tidak menimbulkan reaksi silang, dari jenis atau struktur
farmakologis yang berbeda. Berikan surat keterangan yang menyatakan bahwa
17
penderita alergi terhadap obat tersebut disertai daftar nama merk obat terkait dan
obat-obat lain yang memiliki reaksi silang. Bila suatu saat penderita memerlukan
obat tersebut dan tidak ada obat alternative yang lebih aman dan efektif, maka
dapat dilakukan desentisasi terhadap obat tersebut.
Penderita dengan resiko tinggi anafilaksis karena media kontras seharusnta
menggunakan kontras non-ionik, dan dapat dipembertimbangan pemberian
premedikasi kortikosteroid dan antihistamin.
Imunoterapi dengan toksin sengat serangga dapat memberikan manfaat
yang baik terhadap anafilaksis akibat sengatan serangga. Tindakan desentisasi dan
imunoterapi hanya dilakukan oleh dokter ahli dibidang alergi dan imunologi.
Bila penderita didiagnosis sebagai anafilaksis yang dicetuskan oleh latihan
fisik dan terkait dengan pencetus makanan tertent, diajurkan untuk tidak
mengkonsumsi makanan 4-6 jam sebelum dan sesudah latihan fisik. Bila tidak ada
makanan terttentu terkait, maka penderita diajurkan untuk membatasi latihan fisik
dan segera menghentikan latihan bila timbul gejala prodromal. Penderita juga
diajurkan agar tidak sendirian saat melakukan latihan fisik dan membawa inejksi
epnefrin setiap saat.
Pada kasus anafilaksis idiopatik berulang, pemberian terapi profilaksis
kombinasi prednisolone oral 60-100mg perhari dengn antagonis H1 selama 1-2
minggu diikuti penurunan dosis prednisone alternate day selama 3 buln dapat
menurunkan keparahan dan frekuensi anafilaksis. Diagnosis dan penatalaksaan
anafilaksis idiopatik seharusnya dilakukan dokter ahli dibidang alergi dan
imunologi. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Anafilaksis
merupakan keadaan darurat potensial yang dapat mengancam nyawa. Gejala
anafilaksis timbul segera setelah pasien terpapar allergen atau faktor pencetus
18
lainnya. Gejala yang timbul dari reaksi alergen dan antibody disebut sebagai reaksi
anafilaktik. Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-
tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya.
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
ataupun melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari
anafilaksis, terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.
Manifetasi klinis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun
perjalanan klnisnya. Organ sasaran yang terliat meliputi kulit (80-90% kasus),
saluran nafas (70% kasus) saluran GI (30-45% kasus), system kardiovaskular (10-
45% kasus), dan system sususanan saraf pusat (10-15% kasus).
Diagnosis anafilaksis ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis yang
didapatkan pada penderita dan responsinya terhadapa pengobatan yang diberikan.
Seperti keadaan gawat darurat lainnya, terapi anafilaksis mengikuti prinsip-
prinsip resusitasi gawat darurat. Setelah diagnosis anafilaksis ditegakkan maka
epinefrin sebagai obat pilihan dalam keadaaan tersebut harus segara diberikan.
19
REFERENSI
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., & Simadibrata, M. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keenam Jilid I. In Interna Publishing.
Tjokroprawiro, A. et al., 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press.
Waode Azfari Azis, Laode Yusman Muriman, S. R. B. (2019). Jurnal Penelitian Perawat
Profesional. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(November), 89–94.
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download/83/65
20