Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

REAKSI ANAFILAKTIK

Pembimbing :

Dr. Hernycane Sosilya, Sp.PD

Penyusun :

Gede Angga Dharmadiputra (20190420270)

Grasia Yanriko (20190420275)

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

RSUD DR. M. SOEWANDHIE SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Reaksi Anafilaktik” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian
ilmu penyakit dalam RSUD dr. Mohammad Soewandhie Surabaya.

Surabaya, 3 Oktober 2020

Pembimbing

dr. Hernycane Sosilya, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga
referat Bagian Ilmu Penyakit Dalam yang berjudul “Reaksi Anafilaktik” dapat
terselesaikan dengan baik. Adapun pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr.
Mohammad Soewandhie Surabaya.

Dalam menyusun referat ini penyusun telah banyak mendapatkan bantuan serta
dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Ucapan terima kasih
kepada dr. Hernycane Sosilya, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini
serta kepada teman – teman sejawat.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih belum sempurna


sehingga masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan referat ini. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam penulisan
berikutnya.

Demikian referat ini disusun dengan sebaik – baiknya. Semoga dapat memberikan
manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.

Surabaya, 3 Oktober 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii

DAFTAR ISI........................................................................................................................iv

BAB I.....................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.................................................................................................................1

1.1 Pendahuluan..........................................................................................................1

BAB II...................................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................2

2.1 Definisi....................................................................................................................2

2.2 Etiologi....................................................................................................................2

2.3 Klasifikasi...............................................................................................................3

2.4 Epidemiologi..........................................................................................................4

2.5 Patofisiologi............................................................................................................6

2.6 Mediator Biokimiawi Anafilaksis........................................................................9

2.7 Manifestasi Klinis................................................................................................10

2.8 Diagnosis...............................................................................................................12

2.9 Diagnosis Banding...............................................................................................13

2.10 Tatalaksana..........................................................................................................14

2.11 Pencegahan...........................................................................................................16

BAB III................................................................................................................................19

KESIMPULAN...................................................................................................................19

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................19

REFERENSI.......................................................................................................................20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Perkembangan yang pesat dalam penelitian, penemuan, dan produksi obat
untuk diagnosis, pencegahan, serta pengobatan telah menimbulkan reaksi obat yang
tidak diinginkan yang disebut efek samping obat.
Reaksi tersebut tidak hanya menimbulkan persoalan baru disamping
penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang juga dapat sangat berbahaya.
Hypokalemia, intoksitasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik
merupakan contoh-contoh efek samping obat yang berbahaya. Diperkirakan efek
samping terjadi pada 6 sampai 15% pasien yang dirawat dirumah sakit dan 6-10%
pada pasien dengan alergi obat.
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Anafilaksis
merupakan keadaan darurat potensial yang dapat mengancam nyawa. Gejala
anafilaksis timbul segera setelah pasien terpapar allergen atau faktor pencetus
lainnya. Gejala yang timbul dari reaksi alergen dan antibody disebut sebagai reaksi
anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik disebut reakis
anafilatoid.
Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-tiba,
tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kesiapan dan kewaspadaan
menghadapi kondisi tersebut sangat diperlukan. (Setiati et al., 2014)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas sistemik berat dan mengancam
jiwa. Reaksi ini dapat terjadi melalui mekanisme imunologis (baik IgE-dependent
atau Ig-E independent) atau nonimunologis. World Allergy Organizaion (WAO)
mengusulkan istilah ‘anafilaksis imunologis’ bila reaksi dimediasi oleh mekanisme
imunologis dan ‘anafilaksis non-imunologis’ bila reaksi tersebut tidak melibatkan
system imun. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

2.2 Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
ataupun melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari
anafilaksis, terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.
Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan
pada orang dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan
menjadi pemicu, namun beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga
obat seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi
penyebab tersering dari anafilaksis (Shandy & Saturti, 2016)
Reaksi alergi terhadap makanan dapat terjadi dalam beberapa menit sampai
2 jam setelah terpapar dengan makanan bahkan bisa sampai 24 jam. Reaksi yang
terlambat ini menimbulkan kesulitan untuk mengidentifikasi makanan penyebab
alergi. Paparan dapat terjadi secara inhalasi, kontak kulit dan makan, dan ke saluran
cerna. Dikatakan terjadi sentisisasi bila pada pemeriksaan darah terdapat IgE
terhadap alergen yaitu protein bahan makanan. (Karjadidjaja, 2018)

2
Tabel 2. 1 Beberapa alergen pada kasus anafilaksis

Serangga Tawon, lebah


Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang almond, kacang brazil, hazel
Makanan Susu sapi, telur, ikan, lobster, kepiting, udang, cumi-cumi, buncis,
krustasea, pisang, siput, daging ayam, daging kalkun, daging babi
Antibiotic Penisilin, cephalosporin, amphotericin, ciprofloxacin, vancomycin
Obat anastesi Suxamethonium, atracurium, obat-obatan induksi
Obat lainnya NSAID, ACEI, gelatin, protamin, vitamin K, etoposide,
acetazolamide, pethidine, anestesi lokal, diamorphine,
streptokinase
Kontras Iodinated, technetium, fluorescein
Lainnya Latex, cat rambut, hydatid

2.3 Klasifikasi
Mekanisme imunologis meliputi reaksi yang dimediasi oleh IgE maupun
non-IgE. Walaupun demikian, baik reaksi imunologis maupun non-imunologis,
yang dimediasi oleh IgE atau non-IgE, jalur akhirnya sama-sama melibatkan sel
mast dan basophil dan memicu respon alergi yang sama parahnya. Mayoritas
anafilaksis adalah reaksi yang dimediasi oleh IgE. Istilah ‘anafilaktoid’ sekarang
sudah tidak lagi digunakan dan diganti dengan ‘pseudoalergi’.
Diagnosis anafilaksis idiopatik ditegakkan bila tidak dijumpai pencetus
reaksi anafilaksis walaupun sudah dilakukan anamnesis yang rinci, tes kulit
terhadap alergen, pengukuran kadar IgE terhadap beberapa jenis alergen (yang
tampak jelas maupun yang tersembunyi), maupun tes provokasi. Ke dalam kategori
ini termasuk anafilaksis yang dipicu oleh galactose α-1, 3 galactose, karbohidrat
yang terkandung dalam daging merah, dan anafilaksis yang dipicu oleh heparin
yang terkontaminasi oleh chondroitin sulfate. Pada anafilaksis idiopatik perlu
dievaluasi apakah pada penderita didapatkan mastoisitas atau kelainan klonal set
mast. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

3
Anafilaksis

Imunologis Idiopatik Non-imunologis

IgE, FcεRI :
Lain-lain :
Makanan, sengatan Fisik : Lain-lain :
Produk darah, agregat
serangga, lateks, dan Olahraga, hawa dingin Obat-obatan
imun, obat-obatan
obat-obatan

Gambar 2. 1 Klasifikasi anafilaksis

2.4 Epidemiologi
Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih
dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic golongan beta lactam,
khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%
pemakaian (Setiati et al., 2014). Sekitar 0,7-10% anafilaksis terjadi karena
penggunaan obat golongan penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-
5% terjadi karena gigitan serangga. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemaiakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontras menyebabkan reaksi
yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000
dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmolar. (Setiati et al., 2014)

4
Tabel 2. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi insiden dan keparahan anafilaksis

Usia Lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak


untuk beberapa jenis alergen (media radiokontras,
plasma expander, dan obat anastesi), hal ini mungkin
karena frekuensi paparan lebih tinggi pada orang
dewasa. Pada usia lanjut terdapat peningkatan resiko
fatalitas anafilaksis karena berbagai sebab, antara lain
adanya penyakit penyerta (PPOK dan penyakit
kardiovaskuler), dan penggunaan obat-obatan seperti
beta blocker.
Jenis kelamin Pada anak-anak (sampai usia 15 tahun) lebih sering
didapatkan pada laki-laki. Setelah usia 15 tahun,
lebih sering didapatkan pada perempuan. Setelah
menopause, insiden kurang lebih sama antara laki-
laki dan perempuan.
Status sosioekonomi Lebih tinggi terkait dengan peningkatan resiko
anafilaksis (berdasarkan data angka penggunaan
epinefrin di unit rawat jalan)
Jalur paparan antigen Anafilaksis dapat terjadi melalui beberapa jalur
paparan antigen. Paparan melalui oral lebih jarang
menimbulkan anafilaksis dan reaksi yang timbul
lebih ringan dibandingkan paparan parenteral
Kesinambungan paparan antigen Adanya interval pada pemberian antigen merupakan
predisposisi terjadinya anafilaksis (misalnya : terapi
insulin yang terputus antara kehamilan pertama dan
berikutnya pada penderita diabetes gestasional)
Atopi Merupakan faktor resiko anafilaksis secara umum.
Insidens atopi lebih tinggi pada penderita anafilaksis
karena makanan, lateks, dan latihan fisik. Atopi
bukan merupakan faktor resiko untuk anafilaksis
karena obat atau serangga
Lokasi geografi Insidensi anafilaksis meningkat pada lokasi dengan
paparan sinar matahari yang redah, misalnya pada
belahan bumi bagian utara. Kadar vitamin D yang
rendah mungkin merupakan predisposisi terjadinya

5
anafilaksis
Ras/etnik Tidak ada peranan
Kronobiologi Tidka ada hubungan antara waktu dalam sehari,
siklus lunar, siklus sirkadian dengan insidensi
anafilaksis
Penyakit Penyerta Asma, PPOK, penyakit kardiovaskular, matositosis,
dan penyakit sel mast klonal berhubungan dengan
peningkatan resiko anafilaksis yang berat dan fatal

2.5 Patofisiologi
Anafilaksis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dimana
terjadi pelepasan berbagai mediator kimia hasil degranulasi basofil dan sel mast
pada paparan berulang suatu antigen. (Waode Azfari Azis, Laode Yusman
Muriman, 2019). Kejadian primer yang mendasari reaksi anafilaksis adalah
degranulasi sel mast dan basophil, baik melalui mekanisme imunologis maupun
non-imunologis. Selama proses degranulasi, terjadi pelepasan mediator-mediator
kimia yang menimbulkan manifestasi klinis anafilaksis. Mediator tersebut meliputi
mediator yang sudah terbentuk sebelumnya dan tersimpan dalam granula sel mast
dan basophil (histamine, trypase, heparin, chymase, dan sitokin), serta molekul-
molekul yang beru disintesis (prostaglandin dan leukotriene). Mediator-mediator
ini selain menimbulkan efek langsung pada organ-organ sasaran, ternyata juga
memicu kaskade inflamasi lain seperti system komplemen, system kontak
kallikrein-kinin disertai pembentukan bradykinin, dan kaskade pembekuan darah.
[ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

Mekanisme degranulasi sel mast dan basophil


Mekanisme anafilaksis dapat terjadi melalui beberapa jalur :
1. Mekanisme imunologis klasik IgE-dependent
Karena mekanismenya dimediasi oleh IgE, maka harus ada fase sensitisasi
imunologis sebelum anafilaksis timbul. Karena itu reaksi ini tidak terjadi pada
paparan pertama terhadap suatu zat tertentu. Antibody IgE yang terbentuk
kemudian berikatan dengan reseptor FcεRI pada permukaan sel mast dan
basophil. IgE ini dapat berinteraksi secara langsung dengan protein asing yang

6
imunogenik (misalnya dengan sengatan serangga), atau berinteraksi dengan
hapten yang terikat secara kovalen dengan protein carrier (mislanya determinan
mayor dan minor penisilin).
2. Mekanisme imunologis IgE-independent
Reaksi terhadap darah atau komponen darah diduga terjadi melalui
pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi system komplemen.
Kompleks antara IgG atau IgM dan protein asing mengaktifkan komplemen,
menghasilkan anafilaktosin C3a dan C5a, yang pada gilirannya memicu
pelepasan histamine.
Reaksi sistemik terhadap aspirin dan OAINS terjadi sekitar 1% dalam populasi.
Kemungkinan terjadinya anafilaksis tergantung dari potensi masing-masing
obat dalam menghambat sintesis prostaglandin.
3. Mekanisme nonimunologis
Beberapa jenis obat dapat secara langsung mengaktifkan sel mast dan memicu
degranulasi, antara lain opiate dan vancomycin. Reaksi sistemik dapat langsung
terjadi pada paparan pertama karena tidak diperlukan fase sensitisasi.
4. Tidak diketahui (idiopatik)
Tidak ada mekanisme pasti yang dapat dipakai untuk menjelaskan jenis-jenis
anafilaksis tertentu, misalnya pada anafilaksis idiopatik.

Tabel 2. 3 Klasifikasi patofisiologi anafilaksis

Mekanisme Contoh
Imunologis, Makanan
IgE-dependent Obat-obatan
Gigitan dan sengatan serangga
Aktifitas fisik
Penyebab lain
Imunologis, Kompleks imun
IgE-independent IgG anti-IgA
Sitotoksik
Abnormalitas metabolism asam arakidonat
Aspirin
OAINS lain
Aktivasi system kontak kallikrein-klinin
Membran dialysis

7
Media radiokontras
Pengerahan multimediator
Komplemen
Pembekuan
Lisis klot
System kontak kallikrein-klinin
Penyebab lain
Non-imunologis Degranulasi sel mast dan basophil secara
langsung
Obat-obatan, misalnya opiate,
vancomysin
Faktor fisik, misalnya suhu dingin,
sinar matahari
Latihan fisik
Mutase c-kit (D816V)
Penyebab lain
Idiopatik

Tabel 2. 4 Mekanisme yang mungkin terjadi pada anafilaksis idiopatik

Kemungkinan mekanisme yang terjadi


Penyakit dasar yang tidak terdeteksi
Mastositosis yang “tersembunyi”
Defisiensi C-inaktivator
Pengobatan proanafilaktik yang menyertai
Penyekat β
Penghambat ACE
Histamine-releasing factor dari limfosit T
Defisiensi angiotensisn II
Autoantibody terhadap IgE
Autoantibody terhadap reseptor IgE
Efek pelepasan mediator oleh hormone gestagen
Kemungkinan diagnosis differensial

2.6 Mediator Biokimiawi Anafilaksis

8
Mediator biokimiawi dan zat-zat kemotaktik yang dilepaskan saat
degranulasi sel mast dan basofil meliputi mediator yang sudah terbentuk
sebelumnya (preformed), seperti histamine, tryptase, chymase, heparin, histamine-
relesing factor, dan beberapa sitokin lainnya; serta mediator-mediator yang baru
terbentuk, seperti prostaglandin D2 (PGD2),leukotriene B4 (LTB4), platelet-
activating factor dan cysteinyl leukotriene LTC4, LTD4, LTE4.

Eosinofil memiliki peran ganda dalam anafilaksis, sebagai pro-inflamasi


(melalui pelepasan protein granula sitotoksik) atau anti-inflamasi (melalui
metabolism mediator vasoaktif).

1. Histamin
Histamin berkerja melalu ikatan dengan reseptor H1 dan H2. Rangsangan
pada reseptor H1 akan menimbulkan efek pruritus, peningkatan produksi lender
mukosa hdung, takikardia, dan bronkospasme; sedangkan nyeri kepala,
kemerahana pada wajah, dan hipotensi disebabakan oleh rangsangan pada
reseptor HA dan H2. Kadar histamine dalam plasma berkorelasi dengan derajat
keparahan manifestasi kardiopulmoner atau gastrointestinal.
2. Tryptase
Tryptase adalah satu-satunya protein yang terkonsentrasi secara efektif
dalam granula sekretorik sel mast. Kadar dalam plasma selama terjadinya
degranulasi sel mast berkorelasi dengan derajat keparahan klinis anafilaksis.
3. Nitric oxide dan mediator inflamasi lainnya
Ikatan antara histamine dan reseptor H1 saat anafilaksis juga merangsang sel
endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide (NO),
suatu vasodilator yang kuat. NO mengaktifkan guanylate cyclase menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan produksi cyclic guanosine monophospat
(cGMP). Secara fisiologi NO ikut menentukan tonus vaskuler dan tekanan
darah regional. Peningkatan NO sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi
manifestasi klinis anafilaksis seperti bronkospasme atau depresi miokard,
namun secara tidak langsung ikut berperan pada timbulnya vasodilatasi yang
terjadi selama anafilaksis.
4. Metabolit asam arakidot
Meliputi hasil-hasil metabolism jalur lipo-oksigenase dan siklo-oksiganase.
LTB4 merupakan zat kemotaktik yang mampu mengerahkan sel-sel radang lain

9
untuk ikut berperan dalam anafilaksis. Efek yang ditimbulkan oleh cysteinyl
leukotrienen sama dengan efek kerja histamine dan tryptase antara lain berupa
bronkospasme, hipotensi dan eritema.
5. Pengarahan jalur kaskade inflamasi lain
Selama episode anafilaksis, terjadi aktivitas system komplemen, kaskade
pembekuan darah, system kotak kalikrein-kinin dan aktivitas trombosit, yang
secara bersama-sama berperan memperpanjang dan meningkatkan proses
inflamasi yang terjadi. Pada system komplemen, penururnan kadar C3 dan C4,
serta peningkatan kadar C3a dapat diamati selama anafilaksis. Pada katalase
pembekuan darah, terjadi penururnan faktof V, VIII dan fibrinogen. Penurunan
kadar kininogen berat molekul tinggi serta pembentukkan kompleks kalikrein-
Cl inhibitor dan kompleks factor XIIa-Cl inhibitor menunjukkn adanya
aktivitasi system kontak. Aktivitasi kalikrein tidak saja merangsang
pembentukkan bradykinin, tetapi juga mengaktifkan factor XII. Faktor XII
dapat memengaruhi pembekuan darah melalui pembentukkan plasmin. Plasmin
juga memiliki untuk mengaktifkan system komplemen. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

2.7 Manifestasi Klinis


Manifetasi klinis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun
perjalanan klnisnya. Meskipun mekanisme anafilaksis dibagi menjadi imunologis
dan non-imunologis, tetapi gambaran klinisnya sama. Organ sasaran yang terliat
meliputi kulit (80-90% kasus), saluran nafas (70% kasus) saluran GI (30-45%
kasus), system kardiovaskular (10-45% kasus), dan system sususanan saraf pusat
(10-15% kasus). Beberapa organ tersebut dapat teribat baik secara berururtan
maupun serempak. Reaksi dapat timbul dalam beberapa menit hingga beberapa jam
setelah paparan terhadap suatu allergen. Semakin cepat awal timbulnya gejala,
biasanya semakin parah anafilaksis yang terjadi. Kematian dapat terjadi hanya
dalam beberapa menit.
Anafilaksis fase lambat (reaksi bifasik) ditandai dengan munculnya kembali
gejala setelah remisi spontan mapun dengan pengobatan. Sebagian besar gejala
muncul kembali dalam 8 jam pertama setelah resolusi reaksi awal, meskipun
kejadian berulang dapat terjadi dalam 24-72 jam kemudian. Istilah ‘protracted’
dipakai pada reaksi anafilaksis yang berat, biasanya berupa disfungsi pernafasan

10
atau syok anafilaktik, yang berlangsung hingga 5-32njam dan sering resisten
terhadap pengobatan. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]
 Gejala dan tanda pada kulit
Rasa kesemuran dan panas dikulit seringkali merupakan gejala awal
yang timbul pada anafilaksis, diikuti dengan kemerahan pada kulit
(flushing), prupritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
 Gejala dan tanda pada saluran nafas
Gejala akut dapat berupa keluarnya cairan dalam rongga hidung
(rhinorrhea), hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung, terutama
pada mereka yang menderita ringan alergika. Angioedema meliputi
pembengkakkan pada uvula, lidah, faring atau laring, yang disertai suara
parau atau hilangnya suara, stridor, sesak nafas, atau bahkan henti nafas.
Keterlibatan saluran nafas bagian bawah umumnya berupa bronkospame
dan edema saluran nafas, yang menimbulkan sesak nafas, mengi, dan
perasaaan dada terhimpit. Pada penderita asma gejala-gejala saluran nafas
tersebut sangat menonjol.
 Gejala dan tanda pada system kardiovaskular
Artimia dapat dijumpai selama anafilaksis yaitu berupa gangguan
irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi,
atau nyeri dada. Hipotensiu merupakan gejala yang paling
mengkhawatirkan pada anafilaksis, bervariasi mulai dari yang ringan hingga
yang berat.
 Gejala dan tanda pada system GI
Gejala GI merupakan akibat dari edema intestinal akut atau spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang-kadang
dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskmemia atau infrak usus.
 Gejala dan tanda pada sususnan saraf pusat
Disorientasi, pingsan, kejang dan penurunan kesadaran dapat terjadi
akibat penurunan perfusi serebral atau efek toksik langsung mediator yang
dilepaskan selama anafilaksis.
 Gejala lain
Rasa getir pada mulut, inkontinensia, nyeri kram dan pendarahan
pervagina akibat kontrksi uterus.

11
2.8 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis yang
didapatkan pada penderita dan responsinya terhadapa pengobatan yang diberikan.
Bila gejala yang muncul hanya sebagian dan terbatas, atau bila hubungan antara
gejala klinis dan dugaan bahan penyebabnya tidak begitu jelas, maka perlu
dipertimbangkan beberapa diagnosis diferensial dan beberapa pemeriksaan
laboratorium penunjang. Kristeria klinis diagnosis anafilaksis berdasarkan panduan
dari World allergy organization.

Tabel 2. 5 Kriteria diagnosis anafilaksis

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium kadang-kadang diperlukan untuk membantu


menegakkan diagnosis anafilaksis. Kadar tryptase serum meningkat pada penerita
anafilaksis dan mastositosis sistemik. Kadar puncak dicapai pada 6-90 menit
setelah gejala awal muncul dan bertahan hingga 5-24 jam. Waktu optimal untuk
pemeriksaan tryptase serum adalah antara 1-2 jam setelah awal mula gejala. Kadar

12
histamine dalam plasma meningkat dalam 5-10 menit setelah gejala awal dan
menetap selama 30-60 menit, oleh karena itu tidak banyak membantu bila penderita
datang lebihdari satu jam setelah onset kejadian. Sebaliknya kadar histamine dan
metabolitnya dalam urin meingkat sampai dengan 24 jam setelah onset dan dapat
diukur dalam urin tamping 24 jam secara akurat. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

2.9 Diagnosis Banding

Bebrapa penyakit lain perlu dipikirkan karena gejalanya menyerupai


anafilaksis. Bia gejala syok terjadi mendadak tanpa disertai urtikaria atau
angioedema maka perlu dipertimbangkn kemungkinana adanya infrak miokard,
aritmia atau tipe syok lainnya (syok kardiogenik, pendarahan atau septik), reaksi
vasovagal, reaksi terhadap insulin, emboli paru atau reaksi histeris. [ CITATION
Tjo15 \l 1033 ]

1. Reaksi vasovagal : umumnya terjadi setelah flebotomi, injeksi atau rangsangan


nyeri yang hebat. Penderita tampak pucart, lemah, berkeringat dingin, mual-
mual dan hipotensi. Manifestasi kulit dan pernafasan biasanya tidak dijumpai.
Pada reaksi vasovagal didapatkan bradikardia, sementara pada anafilaksis
biasanya justru didapatkan takikardia. Meskipun tekanan darah turun, tetapi
masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
Gejala dengan cepat membaik setelah penderita membaringkan dengan posisi
tungkai yang dielevasi.
2. Infark miokard : datang dengan keluhan sesak nafas disertai tanda dan gejala
hipotensu serta rasa nyeri di dada. Gejala kulit dan pernafasan atas tiodak
dijumpai. Pemeriksaan EKG dan kada CK-MB dapat membantu menegakkan
diagnosis.
3. Hipoglikemia : akibat pemberian insulin ditandai dengan kelemahan, pucat,
keringat dingin, dan penurunan kesadarana. Gejala kulit dan pernafasan tidak
dijumpai, sedangkan TD biasanya tidak terpengaruhi.
4. Emboli paru : gejala sesak akur dan hipotensi berat. Gejala kulit maupun GI
tidak dijumpai. Seringkali dijumpai tanda adanya thrombosis vena profunda
pada tungkai. Analisis gas darah dan pemeriksaan CT scan paru dapat
membantu diagnosis.
5. Angioedema herediter : bila didapatkan pada penderita dengan edama laring
disertai nyeri abdomen. Awal mula penyakit biasanya lebih lambat dan tidak
13
disertai gejala urtikaria atau hipotensi. Ada riwayat keluarga menderit penyakit
yang sama disertai penuerunan kadar Clesterase inhibitor mendukung diagnosis
angioedema herediter.
6. Sindroma munchausen : ditandai dengan episode anafilaksis berulang akibat
paparan berulang terhadap suatu allergen yang memang disengajai oleh
penderita untuk menarik perhatian orang disekitarnya. Evaluasi psikiatrik dan
psikoterapi selayaknya dilaksanakan ntuk penderita seperti ini.
7. Reaksi histeris : tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal nafas, hipotensi atau
sianosis. Penderita kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara.
Pemeriksaan tanda vital dengan seksama akan dapat membedakan kelainan ini
dari anafilaksis.
8. Sindroma karsinoid : menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindroma ini ditandai
dengan adanya gejala GI, bronkospame, dan rasa panas pada kulit. Tidak
diadapatkan urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan laboratorrium
menunjakkan kadar serotonin darah dan 5-hidroksindoleacetic acid (5-HIAA)
dalam urin meningkat.

2.10 Tatalaksana

Seperti keadaan gawat darurat lainnya, terapi anafilaksis mengikuti prinsip-


prinsip resusitasi gawat darurat. Setelah diagnosis anafilaksis ditegakkan maka
epinefrin sebagai obat pilihan dalam keadaaan tersebut harus segara diberikan.
Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir terapi. Semakin lama
terapi awal tertunda, semakin besar angka kematian. Epinefrin terbukti efektif
dalam mengatasi bronkospasme dan hipotensi pada anafilaksis. Meskipun
penelitian pada penderita anafilaksis belum pernah dilakukan, pemberin epinefrin
intramuscular lebih baik dibandingkan subkutan karena absorpsi yang lebih cepat
dan kadar epinefrin plama yang lebih tinggi. Penderita yang tetap mengalami
hipotensi memerlukan pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar, karena
diperkirakan pada kasus anafilaksis berat, kehilangan cairan dapat mencapai 35%
dari volume darah dalam waktu 10 menit pertama. Antihistami H1 dan H2 selain
mula kerjanya lama, efeknya terhadap tekanan darah kecil, sehingga dianggap
sebagai obat lini kedua. Antihistamin bermanfaat pada gejala pruritus, urtikaria dan

14
angioedema. Begitu pula dengan kortikosteroid, dianggap sebagai obat lini kedua
karean kurang bermanfaat pada fase akut. Kortikosteroid tetap dipakai untuk
mencegah reaksi bifasik. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

 Tata laksana dasar

Setiap insitusi pelayanan kesehatan selayaknya mempunyai protocol


tertulis tentang kegawatdaruratan, termasuk pengenalan, diagnosis dan tata
laksana anafilaksis, serta melakukan latihan protocol tersebut secara teratur.
Diharapkan dengan demikian semua tenaga medis selalu dalam keadaaan
siap sedia untuk menghadapi dan menangani kasus anafilaksis sesuai
protokol. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

1. Sebisa mungkin hentikan paparan terhadap pencetus, misalnya hentikan


obat intravena yang mungkin mencetuskan gejala anafilaksis.
2. Lakukan evaluasi sirkulasi, jalan nafas, pernafasan, status kedsadaran,
kulit dan berat badan (berkaitan dengan dosis obat-obatan yang akan
digunakan). Secara cepat dan simultan, lakukan langkah 345.
3. Mintalah pertolongan tim resusitasi rumah sakit atau pusat kesehatan
masyarakat terdekat.
4. Injeksi larutan epinefrin 1:1000 intramuskuler pada bagian mid
anterolateral pada drengan dosis 0,01 mg/kg, dosis maksimum untuk
dewasa 0,5mg/kg. catat waktu pemberian dan dapat diulang tiap 5-15
menit bila diperlukan. Langkah ini merupakan terapi lini pertama.
5. Letakkan penderita pada posisi bebrbaring atau pada posisi yang
nyaman bila ada gangguan pernafasan atau muntah, tinggikkan posisi
ektermitas bawah.
6. Berikan oksigen dengan aliran 6-8 L/menit menggunakan masker atau
melalui jalur orofaringeal bila ada indikasi.
7. Pasang jalur intravena menggunkn jarum atau katetetr dengan kanula
berdiameter besar (14-16 G). Bila ada indikasi, berikan -2 L NaCL
0,9% secara cepat.
8. Bila ada indikasi setiap saat, lakukan resusitasi kardiopulmoner dengan
kompresi dada kontinyu.

15
9. Monitor tekanan darah, denyut dan fungsi jantung, status respirasi dan
oksigen secara teratur.

 Terapi lini kedua


 Antihistamin H1
 Agonis B2, misalnya larutan salbutamol. Diberikan dengn nebulier
dan masker.
 Kortikosteroid, misalnya hidrokortisone 200 mg atau
metylptrnisolon 50-100 mg infus intravena, prenisolon atau
prednisolon oral.
 Antihistamin H2, misalnya ranitidine 50 mg infus intravena.

 Terapi anafilaksis refrakter


 Intubasi, ventilasi mekanik.
 Vasopressor intravena, bila pemberian cairan tidak berhasil
memperbaiki syok.
 Glucagon pada penderita pemkai obat penyekat B yang mengalami
hipotensi dan bredikardi dan tidak berespon dengan epineferin.
 Sulfas atropine pada penderita pemakai penyekat B dengan
bradikardi persisten.
 Ipratropium pada penderita pemakai penyekat B dengan
bronkospasme yang resisten terhadap epinefrin.

2.11 Pencegahan
Penderita yang pernah mengalami reaksi anafilaksis, mempunyai resiko
yang lebih tinggi untuk mengalami reaksi berulang. Pencegahan terhadap
berulangnya kejadian anafilaksis merupakan salah satu kunci tata laksana jangka
panjang. Oleh karena salah satu penyebab utama anafilaksis adalah obat-obatan,
maka sebelummemberikan obat pada penderita, dokter harus mencatat secara teliti
adanya riwaat atropi, alergi obat, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi,
manifestasi alergi yang terjadi, dan jenis obat yang digunakan penderita saat ini.

16
Pada penderita yang memiliki riwayat alergi, pemberian obat harus dilakukan
secara hati-hati. Bila memungkinkan, lebih baik obat diberikan secara oral daripada
parental. Hindari pemakaian obat intermiten. Beritahu penderita tentang
kemungkinan reaksi yang terjadi pada setiap pemakian obat-obaan. Sediakan
obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat disetiapsarana pelayanan kesehatan.
Kenali tanda dini reaksi alergi obat dan segera hentikan obat bila terjadi reaksi. Bila
diperlukan pemberian obat secara parental, penderita harus diobservasi selama 20-
30 menit setelah injeksi.
Sebelum keluar dari rumah sakit, penderita harus mendapatkan informasi
tetang bagaiman cara menghindari pencetus alergi. Pada penderitayang beru saja
dirawat dirumah sakit kaarena anafilaksis harus dilakukan pemantuan secara
berkala. Penderita ini harus dikenali, diberi peringatan dan bila perlu diberi tanda
peringatan pada ikat pinggang, gelang atau dompetnya. Diluar negeri terdapat
gelang injeksi kit peini=ferin yang dapat digunakan sendiri oleh penderita setelah
mendapatkan latihan dan petunjuk oleh dokter tentang cara dan kapan alat tersebut
digunkan. Injeksi epinefrin ini perlu bila pencetus anafilaksis sering timbul tidak
terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.
Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan penyebab atau
pencetus anafilaksis pada kasus-kasus anafilaksis yang tidak jelas sebabnya atau
diduga oleh makanan tertentu. Akuratan anamnesis berulang yang lebih cermat
seperti daftar makanan dan obat yang dikonsumsi penderita dalam kurun waktu 4-6
jam sebelum episode anafilaksis, dan bila perlu konfrimasi dengan tes untuk kulit
atau pengukuran kadar IgE spesifik serum yang biasanya optimal dilakukan 4-6
minggu setelah episode anafilaksis. Allergen penyebab sedapat mungkin dikenali
agar selanjutnya dapat dihindari.
Pengurangan risiko jangka panjang sangat diajurkan, anatara lain
pengobatan penyakit penyerta seperti asma maupun penyakit kardiovaskuler secara
optimal, menghindari sebisa mungkin penggunanaan obat penyekay B nonspesifik
dan penghambat ACE karena obat-obat tersebut dapat memperparah episode
anafilaksis, serta penyekat B dapat mengganggua terapi epinefrin dan B agonis.
Penderita dengan riwayat anafilaksis obat tertentu seharusnya tidak
diberikan obat yang sama. Bila tersedia, gunakan obat alternative lain yang lebih
aman, efektif, tidak menimbulkan reaksi silang, dari jenis atau struktur
farmakologis yang berbeda. Berikan surat keterangan yang menyatakan bahwa

17
penderita alergi terhadap obat tersebut disertai daftar nama merk obat terkait dan
obat-obat lain yang memiliki reaksi silang. Bila suatu saat penderita memerlukan
obat tersebut dan tidak ada obat alternative yang lebih aman dan efektif, maka
dapat dilakukan desentisasi terhadap obat tersebut.
Penderita dengan resiko tinggi anafilaksis karena media kontras seharusnta
menggunakan kontras non-ionik, dan dapat dipembertimbangan pemberian
premedikasi kortikosteroid dan antihistamin.
Imunoterapi dengan toksin sengat serangga dapat memberikan manfaat
yang baik terhadap anafilaksis akibat sengatan serangga. Tindakan desentisasi dan
imunoterapi hanya dilakukan oleh dokter ahli dibidang alergi dan imunologi.
Bila penderita didiagnosis sebagai anafilaksis yang dicetuskan oleh latihan
fisik dan terkait dengan pencetus makanan tertent, diajurkan untuk tidak
mengkonsumsi makanan 4-6 jam sebelum dan sesudah latihan fisik. Bila tidak ada
makanan terttentu terkait, maka penderita diajurkan untuk membatasi latihan fisik
dan segera menghentikan latihan bila timbul gejala prodromal. Penderita juga
diajurkan agar tidak sendirian saat melakukan latihan fisik dan membawa inejksi
epnefrin setiap saat.
Pada kasus anafilaksis idiopatik berulang, pemberian terapi profilaksis
kombinasi prednisolone oral 60-100mg perhari dengn antagonis H1 selama 1-2
minggu diikuti penurunan dosis prednisone alternate day selama 3 buln dapat
menurunkan keparahan dan frekuensi anafilaksis. Diagnosis dan penatalaksaan
anafilaksis idiopatik seharusnya dilakukan dokter ahli dibidang alergi dan
imunologi. [ CITATION Tjo15 \l 1033 ]

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Anafilaksis
merupakan keadaan darurat potensial yang dapat mengancam nyawa. Gejala
anafilaksis timbul segera setelah pasien terpapar allergen atau faktor pencetus

18
lainnya. Gejala yang timbul dari reaksi alergen dan antibody disebut sebagai reaksi
anafilaktik. Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-
tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya.
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
ataupun melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari
anafilaksis, terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.
Manifetasi klinis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun
perjalanan klnisnya. Organ sasaran yang terliat meliputi kulit (80-90% kasus),
saluran nafas (70% kasus) saluran GI (30-45% kasus), system kardiovaskular (10-
45% kasus), dan system sususanan saraf pusat (10-15% kasus).
Diagnosis anafilaksis ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis yang
didapatkan pada penderita dan responsinya terhadapa pengobatan yang diberikan.
Seperti keadaan gawat darurat lainnya, terapi anafilaksis mengikuti prinsip-
prinsip resusitasi gawat darurat. Setelah diagnosis anafilaksis ditegakkan maka
epinefrin sebagai obat pilihan dalam keadaaan tersebut harus segara diberikan.

19
REFERENSI

Karjadidjaja, I. (2018). Alergi Makanan.

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., & Simadibrata, M. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keenam Jilid I. In Interna Publishing.

Shandy, P. P., & Saturti, T. I. A. (2016). Reaksi Anafilaksis. 1(1102005135), 2.

Tjokroprawiro, A. et al., 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press.

Waode Azfari Azis, Laode Yusman Muriman, S. R. B. (2019). Jurnal Penelitian Perawat
Profesional. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(November), 89–94.
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download/83/65

20

Anda mungkin juga menyukai