Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN PUSTAKA

KONJUNGTIVITIS VIRAL

Digunakan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior


Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Supervisor Penguji :
Residen Pembimbing : dr. Ihsan Ardinel Abdinni
Dibacakan Oleh
Dibacakan Tanggal : 13 Januari 2021

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat : Konjungtivitis Viral

i
Supervisor Penguji : Dr. dr. A. Kentar Arimadyo Sulakso, Sp.M(K), M.Si.Med

Residen Pembimbing : dr. Ihsan Ardinel Abdinni

Dibacakan Oleh : Taufik Saputra

(NIM : 22010117130173)

Dibacakan Tanggal : 13 Maret 2021

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 13 Januari 2020


Supervisor Penguji, Residen Pembimbing,

Dr. dr. A. Kentar Arimadyo Sulakso, Sp.M(K), dr. Ihsan Ardinel Abdinni
M.Si.Med

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii

BAB I..........................................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................................................1

1.2 Tujuan..............................................................................................................................................2

1.3 Manfaat............................................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................................3

2.1 Definisi..............................................................................................................................................3

2.2 Anatomi Konjungtiva......................................................................................................................3

2.3 Histologi Konjungtiva.....................................................................................................................5

2.4 Etiologi..............................................................................................................................................6

2.5 Diagnosis..........................................................................................................................................7

2.6 Diagnosis Banding.........................................................................................................................10

2.8 Konjungtivitis Viral Akut.............................................................................................................11

2.9 Konjungtivitis Viral Menahun......................................................................................................15

2.10 Tatalaksana..................................................................................................................................17

2.11 Pencegahan...................................................................................................................................18

2.12 Komplikasi………………………………………………………………………………………..21

2.13 Prognosis......................................................................................................................................21

BAB III.....................................................................................................................................................19

iii
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................20

DAFTAR GAMBAR

iv
Gambar 1. Anatomi konjungtiva normal…………………………………………………………

Gambar 2. A. Lapisan Konjungtiva, B. Bagian-bagian Konjungtiva…………………………….5

Gambar 3. Sekret mukpurulen pada konjungtivitis

bakteri……………………………………….7

Gambar 4 “Pink Eye” pada konjungtivitis viral9…………………………………………………

Gambar 5 Algoritma penanganan konjungtivitis2……………………...…………………………

Gambar 6. Keratokonjungtivitis Epidemika…………………………………………………….13

Gambar 7. Infeksi primer virus herpes simpleks pada mata

…………………………………….15

Gambar 8. Gambaran folikel yang khas pada konjungtivitis herpetik9………………………....

15

Gambar 9. Nodul moluskum kontagiosum pada kelopak mata…………………………………17

Gambar 10. Lesi kulit vesikel pada herpes zoster oftalmika……………………………………

18

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Etiologi konjungtivitis viral……………………………………………………………..

Tabel 2. Diagnosis banding tipe konjungtivitis…………………………………………..……….

Tabel 3. . Perbedaan konjungtivitis dan keratitis…………………………………………..…….

10

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ penting dalam tubuh kita yang berperan dalam fungsi

penglihatan. Mata memiliki beberapa struktur penunjang dalam menjalankan fungsinya

tersebut, salah satunya adalah konjungtiva yang merupakan struktur terluar pada mata

sehingga rentan mengalami paparan bahan dan zat-zat inflamasi yang dapat menyebabkan

berbagai reaksi inflamasi pada konjungtiva.1

Inflamasi konjungtiva atau yang dikenal sebagai konjungtivitis dapat disebabkan oleh

infeksi virus atau bakteri, dan non-infeksi akibat alergi, reaksi toksik, sikatrik, dan inflamasi

sekunder lainnya.2,3 Pasien biasanya datang dengan keluhan mata merah, terasa nyeri, berair,

gatal, keluar kotoran (belekan) dan pandangan kabur. Umumnya, penderita konjungtivitis

mengalami pembengkakkan kelopak mata karena struktur dibawah kelopak mata memiliki

jaringan yang lemah dan membentuk lekukan, serta kaya akan pembuluh darah.4

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, dan mengenai berbagai ras, jenis kelamin,

usia, dan strata sosial. Walaupun tidak ada data akurat mengenai insiden penyakit ini, tetapi

konjungtivitis diestimasi sebagai penyakit yang paling umum terjadi. Pada 30% kunjungan

Departemen Penyakit Mata di AS, 15% diantaranya adalah pasien dengan keluhan

konjungtivitis viral atau bakteri dan 15% lainnya adalah konjungtivitis alergi.5 Sedangkan di

Indonesia, konjungtivitis merupakan 10 pola penyakit terbanyak pasien rawat jalan di rumah

sakit, dengan total kasus 87.513 dengan jumlah kasus baru sebanyak 68.026 kasus.6

Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata merah yang paling sering dijumpai di

masyarakat dan praktek dokter sehari-hari. Pada populasi dewasa, setidaknya terdapat 80%

1
kasus konjungtivitis akut yang disebabkan oleh virus. Sebagian besar konjungtivitis dapat

sembuh sendiri. Meskipun demikian, terdapat beberapa kasus bersifat serius yang

menyebabkan komplikasi dan mengancam penglihatan. Tingkat akurasi diagnosis yang

rendah menyebabkan banyak kasus konjungtivitis viral salah didiagnosis sebagai

konjungtivitis bakteri sehingga sangat penting untuk mengetahui lebih dalam mengenai

penyakit konjungtivitis viral.3

1.2 Tujuan

Pembuatan referat ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam mengenai definisi,

anatomi konjungtiva, histologi konjungtiva, etiologi, diagnosis, diagnosis banding,

manifestasi konjungtivitis viral, tatalaksana, pencegahan, serta prognosis pada konjungtivitis

viral.

1.3 Manfaat

Pembuatan referat ini diharapkan dapat membantu mahasiswa kedokteran dalam

mempelajari definisi, anatomi konjungtiva, histologi konjungtiva, etiologi, diagnosis,

diagnosis banding, manifestasi konjungtivitis viral, tatalaksana, pencegahan, serta prognosis

pada konjungtivitis viral.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Konjungtiva adalah membran yang menutupi sklera (konjungtiva bulbaris) dan kelopak

bagian belakang (konjungtiva palpebral). Konjungtivitis merupakan inflamasi konjungtiva

yang dapat bersifat akut (1-4 minggu) maupun kronis (>4 minggu), dapat karena sebab

infeksius atau non infeksius. Sebab infeksius yang tersering adalah virus atau bakteri.

Sedangkan, pada non infeksius dapat terjadi karena alergi, penyebab mekanik, toksik,

ataupun inflamasi sekunder lain. Konjungtivitis dapat ditandai dengan mata merah, berair,

nyeri, gatal, dan keluar kotoran mata.2,7

2.2 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran tipis dan transparan yang melapisi bagian anterior bola

mata dan bagian dalam palpebra. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu konjungtiva

palpebra, konjungtiva bulbar dan konjungtiva forniks.3,7

Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, terdapat kelenjar henle dan sel

goblet yang memproduksi musin, berfungsi untuk membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva palpebra dibagi lagi menjadi konjungtiva marginal, tarsal, dan orbital. Bagian

marginal terletak di tepi palpebra hingga 2 mm ke dalam palpebra, bagian tarsal menempel

pada tarsal plate dan biasanya sukar digerakkan dari tarsus, sedangkan bagian orbital

terletak diantara konjungtiva tarsal dan forniks.2,7

Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior mata dan dipisahkan dengan sklera anterior

oleh jaringan episklera. Konjungitva yang berbatasan dengan kornea disebut limbal

3
conjunctiva. Konjungtiva bulbar mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Pada

konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet.2,7

Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan dari konjungtiva palpebra dengan

konjungtiva bulbar. Pada daerah tersebut terdapat kelenjar lakrimal aksesorius yaitu kelenjar

Krause dan Wolfring yang menghasilkan komponen akuos air mata.2

Gambar 1. Anatomi konjungtiva normal3

Konjungtiva palpebra dipendarahai oleh arteri palpebralis, sedangkan konjungtiva bulbar

dipendarahi oleh arteri siliaris anterior. Arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis yang

mendarahi konjungtiva beranastomosis bebas dan membentuk jaringan vaskuler konjungtiva

dan berjalan bersama vena konjungtiva. Pembuluh limfe konjungtiva terdiri dari lapisan

superfisial dan profundus yang kemudian bergabung bersama pembuluh limfe palpebra

menjadi plekus limfatikus. Persyarafan didapat dari percabangan pertama (oftalmika) nervus

V.8

4
2.3 Histologi Konjungtiva

a. Lapisan epitel

Lapisan epitel merupakan lapisan terluar konjungtiva dengan struktur yang bervariasi di

setiap bagiannya. Epitel konjungtiva marginal terdiri atas lima lapis epitel skuamus berlapis,

Sedangkan, konjungtiva tarsal terdiri atas dua lapis epitel silindris dan skuamus.

Konjungtiva forniks dan bulbar terdiri atas tiga lapis epitel yaitu sel silindris, sel polihedral,

dan sel kuboid, serta pada konjungtiva limbal terdiri atas berlapis-lapis sel skuamus.2

b. Lapisan Stroma

Lapisan stroma konjungtiva dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan adenoid

(superfisial) dan lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid

yang berfungsi dalam respon imun pada permukaan mata. Lapisan tersebut dikenal sebagai

conjunctiva-associated lymphoid tissue (CALT) yang terdiri atas limfosit dan leukosit yang

dapat berinteraksi dengan mukosa sel epitel melalui sinyal resiprokal yang dimediasi oleh

growth factor, sitokin, dan neuropeptida. Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen,

fibrosa, serta pembuluh darah dan konjungtiva.2,8

Gambar 2. A. Lapisan Konjungtiva, B. Bagian-bagian Konjungtiva2

5
2.4 Etiologi

Virus merupakan penyebab konjungtivitis terbanyak yaitu 80% dari kasus konjungtivitis

akut, dimana sekitar 65-90% kasus disebabkan karena adenovirus. Konjungtivitis adenovirus

akan memperlihatkan gambaran gambaran klinis berupa pharyngoconjunctival fever yang

dikarakteristikkan dengan adanya demam tinggi, faringitis dan konjungtivitis bilateral, serta

adanya pembesaran limfonodi periauricular. Pada beberapa kasus, konjungtivitis viral juga

dapat disebabkan virus herpes simpleks, herpes zoster, dan measles meskipun jarang

terjadi.3,9

Tabel 1. Etiologi konjungtivitis viral8

Konjungtivitis Viral Etiologi


Konjuntivitis folikular akut Adenovirus tipe 3
Demam faringokonjungtivitis Adenovirus tipe 3 dan 7 dan serotipe lain
Keratokonjungtivitis epidemika Adenovirus tipe 8 dan 19
Konjungtivitis Herpetik akut Virus Herpes simpleks
Konjungtivitis Hemorrhagik akut Enterovirus tipe 70
Konjungtivitis folikular viral kronik Virus Molluscum contagiosum
Blefarokonjungtivitis viral Varicella, Herpes zoster

Virus campak

2.5 Diagnosis

Diagnosis konjungtivitis viral dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Namun, karena gejala konjungtivitis yang dapat menyerupai penyakit mata lainnya sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan secara lebih teliti.9

Onset konjungtivitis viral biasanya terjadi secara cepat, tetapi biasanya ada periode

inkubasi sekitar satu minggu sebelum gejalanya muncul. Pada konjungtivitis virus, keluhan

biasanya terbatas pada satu mata, tetapi beberapa hari kemudian dapat menyerang mata

6
lainnya disertai adanya pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra. Tajam penglihatan

juga dapat berkurang secara intermitten dikarenakan adanya sekret pada mata. Pada

konjungtivitis ini terdapat sekret bening dan berair sehingga pasien biasanya mengeluhkan

matanya yang sangat berair. Dapat disertai kotoran mata tetapi biasanya sedikit.2,9

Keluhan tersebut berbeda dengan konjungtivitis bakteri dan konjungtivitis alergi. Dimana

pada konjungtivitis bakteri, biasanya mengenai kedua mata dan keluar sekret yang kental

berwarna kuning kehijauan dalam jumlah banyak. Sedangkan pada konjungtivitis alergi,

keluhan juga mengenai kedua mata disertai adanya mata merah dan gatal. Gatal juga

dirasakan di hidung disertai dengan adanya produksi air mata yang meningkat sehingga mata

terasa berair.9

Gambar 3. Sekret mukpurulen pada konjungtivitis bakteri9

Pada pemeriksaan fisik konjungtivitis viral akan didapatkan gambaran khas berupa

”pinky eye”, dimana tampak konjungtiva yang berwarna merah secara difus (injeksi

konjungtiva) yang biasanya salah dikenali sebagai injeksi silier pada iritis.7,9

7
Gambar 4. “Pink Eye” pada konjungtivitis viral9

Kultur virus jarang digunakan untuk menentukan diagnosis konjungtivitis viral.

Pemeriksaan dengan metode rapid test menggunakan deteksi antigen dapat digunakan pada

konjungtivitis adenovirus. Immunodiagnostic ini memiliki spesifisitas antara 96-99% dan

sensitivitas 85-93% terhadapat adenovirus. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

dapat digunakan untuk mendeteksi asam deoksiribonukleat pada virus.3 Namun karena

terbatasnya ketersediaan alat dan harga yang cukup mahal, diagnosis konjungtivitis viral

biasanya lebih ditekankan lewat anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pendekatan algoritmik berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu

dalam mendiagnosis dan menentukan terapi pada pasien dengan keluhan mata merah,

dimana pasien dengan konjungtivitis viral biasanya memiliki gejala yang sama dengan

penyakit mata lainnya sehingga seringkali tumpang tindih dengan diagnosis kelainan mata

merah lain. Pendekatan algoritmik yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:3

8
Gambar 5. Algoritma penanganan konjungtivitis2,3

2.6 Diagnosis Banding

Konjungtivitis dapat disebabkan karena virus, bakteri, klamidia, ataupun alergi. Untuk

membedakan tipe konjungtivitis dapat dilihat dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan

sitologi pada pasien, seperti pada tabel berikut:7

Tabel 2. Diagnosis banding tipe konjungtivitis7

Klinik & Atopik


No Viral Bakteri Klamidia
Sitologi (Alergi)
1 Gatal Minim Minim Minim Hebat
2 Hiperemia Umum Umum Umum Umum
3 Air mata Profuse Sedang Sedang Sedang

9
Mengucur,
Minim, Minim,
4 Eksudasi purulent atau Mengucur
serous mukoid
mukopurulen
Lazim hanya
Adenopati
5 Lazim Jarang konjungtivitis Tak ada
preaurikuler
inklusi
Pewarnaan PMN, plasma
6 kerokan dan Monosit Bakteri, PMN sel badan Eosinofil
eksudat inklusi
Sakit
tenggorokan, Tak
7 Kadang Kadang Tak pernah
panas yang pernah
menyertai

Konjungtivitis juga perlu dibedakan dengan iritis dan keratitis dengan perbedaan seperti

pada tabel di bawah ini:7

Tabel 3. Perbedaan konjungtivitis dan keratitis7

No Tanda Konjungtivitis Keratitis/Iritis


1 Tajam Normal Turun nyata
penglihatan
2 Silau Tidak ada Nyata
3 Sakit Pedas, seperti Sakit
kelilipan
4 Mata merah Injeksi konjungtiva Injeksi silier
5 Sekret Serous, mukos, Tidak ada
purulent
6 Lengket Terutama pada pagi Tidak ada
kelopak hari
7 Pupil Normal Mengecil

2.8 Konjungtivitis Viral Akut

a. Konjungtivitis Serosa Akut

10
Konjungtivitis serosa akut disebabkan oleh infeksi virus yang bersifat ringan dan tidak

menimbulkan respons folikular. Konjungtivitis viral biasanya mengenai satu mata,

sedangkan konjungtivitis bakteri dan konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua mata.

Konjungtivitis viral ditandai dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva superfisial

sehingga muncul hiperemi dan edema konjungtiva, folikel, serta sekret yang dapat

bervariasi. Sekret penting dinilai untuk membantu mengidentifikasi penyebab konjungtivitis.

Sekret serosa biasanya disebabkan oleh infeksi virus akut atau alergi akut dan sekret mukoid

dijumpai pada alergi kronik atau keratokonjungtivitis sikka (dry eye syndrome).2,10

Konjungtivitis virus akut mudah sekali menular terutama melalui kontak dengan sekret

mata atau droplet saluran napas. Infeksi dapat terjadi secara sporadik atau epidemik pada

daerah dimana terdapat komunitas padat dengan higiene buruk.2,10

b. Konjungtivitis Folikular

Konjungtivitis folikular merupakan inflamasi pada konjungtiva dengan karakteristik

pembentukan folikel, hiperemi konjungtiva dan sekret mata. Folikel terbentuk dari agregasi

limfosit di konjungtiva. Folikel berbentuk bulat kecil dengan diameter 1-2 mm, berwarna

putih keabuan dan transparan. Konjungtivitis folikular dapat disebabkan oleh adenovirus,

virus newcastle, dan virus herpes. Sekitar 65- 90% kasus konjungtivitis viral disebabkan

oleh adenovirus yang menyebabkan 2 manifestasi klinis tersering yaitu demam

faringokonjungtiva dan keratokonjungtivitis epidemic.11

c. Demam Faringokonjungtiva

Konjungtivitis pada demam faringokonjungtiva merupakan kelainan yang disebabkan

oleh adenovirus subtipe 3, 4, dan 7, dan lebih sering mengenai anak-anak. Penyebarannya

melalui droplet atau kolam renang. Masa inkubasi 5-12 hari, yang menularkan selama 12

11
hari, dan bersifat epidemik. Penularan melalui droplet atau air kolam renang, meskipun

demikian virus sulit menulari di kolam renang yang mengandung klor.3,7

Gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu demam tinggi mendadak (38,3-40 oC),

faringitis, konjungtivitis folikularis pada satu atau dua mata, dan pembesaran kelenjar limfe

preaurikular. Folikel seringkali mencolok pada kedua konjungtiva dan mukosa faring. Pada

keadaan akut, demam faringokonjungtiva ini dapat memberikan gejala berupa hiperemi

konjungtiva, sekret serous, fotofobia, edema palpebra, dan dapat terjadi keratitis epitel

asuperfisial.2

Virus dapat dibiak dalam sel HeLa dan dapat didiagnosis secara serologi dengan

meningkatnya titer antibodi netralisasi virus. Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel

mononuclear dan tidak ada bakteri yang tumbuh dalam biakan. Tidak ada pengobatan

spesifik, karena konjungtivitis akan sembuh sendiri dalam 10 hari. Terapi diberikan secara

simptomatis dan suportif. Dapat diberikan kompres dingin, astringen, lubrikasi, dan pada

kasus berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid topical untuk mencegah adanya infeksi

sekunder.7

d. Keratokonjungtivitis Epidemika

Keratokonjungtivitis epidemika adalah konjungtivitis folikular akut yang disebabkan

karena adenovirus 8, 19, 29 dan 37 dan umumnya bilateral. Menyerang orang dewasa, dan

pada anak-anak biasanya disertai adanya gejala sistemik. Masa inkubasi antara 8-9 hari, dan

masa infeksius 14 hari. Pada orang dewasa terbatas dibagian luar mata, tetapi pada anak-

anak dapat disertai gejala sistemik infeksi seperti demam, sakit tenggorokan, dan otitis

media.7

12
Gambar 6. Keratokonjungtivitis Epidemika. A) Opasitas subepitel pada kornea.
B) Pseudomembran pada forniks inferior8

Terdapat tiga fase berdasarkan gejala klinisnya. Fase pertama adalah konjungtivitis

serosa akut dengan karakteristik konjungtiva hiperemis, kemosis, dan lakrimasi. Gejala

tersebut diikuti fase kedua yaitu konjungtivitis folikular akut, dengan karakteristik

pembentukan folikel di kelopak mata bawah. Fase ketiga yaitu konjungtivitis

pseudomembran akut yang ditandai dengan pseudomembran di permukaan konjungtiva.

Kornea dapat terinfeksi 1 minggu setelah onset penyakit, disertai dengan adanya

limfadenopati preaurikuler ipsilateral.2,7

Pasien dengan keratokonjungtivitis epidemika awalnya sering mengeluh nyeri sedang,

mata berair, dan dalam waktu 5-14 hari timbul fotofobia, keratitis epitel, serta kekeruhan

subepitel berbentuk bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan hiperemi

konjungtiva dengan tanda khas nyeri tekan di nodus preaurikuler. Perdarahan konjungtiva

dan folikel biasanya timbul dalam 48 jam. Pembentukan pseudomembran diikuti parut datar

13
atau simblefaron. Konjungtivitis 12 berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan

subepitel terutama di pusat kornea dan menetap berbulan-bulan namun sembuh tanpa

meninggalkan parut.2,7

Transmisi nasokomial biasanya terjadi saat pemeriksaan mata. Mencuci tangan teratur,

pembersihan, dan sterilisasi alat-alat pemeriksaan yang menyentuh mata dapat dilakukan

untuk mencegah transmisi. Biasanya gejala akan menurun dalam 5-7 hari. Sampai saat ini,

belum ada terapi spesifik keratokonjungtivitis epidemika, tetapi kompres dingin dapat

mengurangi gejala. Dapat diberikan astringen untuk mengurangi gejala dan hiperemi.

Pencegahan infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik, apabila terdapat membran dan

infiltrasi subepitelial dapat diberikan steroid. Penggunaan antivirus dan alfa interferon tidak

rutin diberikan pada konjungtivitis adenovirus.5,6

e. Konjungtivitis Herpetik Akut

Konjungtivitis herpetik dapat merupakan manifestasi primer herpes dan terdapat pada

anak-anak yang berlangsung selama 2-3 minggu. Gejalanya dapat berupa infeksi unilateral,

iritasi, sekret mukosa dan fotofobia ringan. Keadaan ini dapat disertai keratitis herpes

simpleks dengan vesikel di kornea atau infiltrat kornea yang membentuk gambaran

dendritik. Konjungtivitis yang terjadi umumnya folikuler namun dapat juga

pseudomembran. Vesikel juga dapat terlihat di palpebra disertai dengan edema palpebra,

serta adanya pembesaran kelenjar preaurikuler disertai nyeri tekan (tanda khas). 7,9 Diagnosis

ditegakkan dengan menemukan sel epitel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan

sel inklusi intranuklear.2

14
Gambar 7. Infeksi primer virus herpes simpleks pada mata8

Gambar 8. Gambaran folikel yang khas pada konjungtivitis herpetik9

Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radang biasanya mononuklear, tetapi jika

konjungtivitisnya berupa pseudomembran, reaksi radang dapat berupa polimorfonuklear

akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Pada fiksasi bouin dan pulasan papanicolaou

tampak inklusi intranuklear di sel konjungtiva dan kornea, tetapi jika menggunakan giemsa

tidak terlihat inklusi. Sel epitel raksasa multinuklear merupakan nilai diagnostik.2

Jika konjungtivitis terjadi pada anak berumur lebih dari satu tahun atau pada orang

dewasa, penyakit ini umumnya sembuh sendiri dan tidak perlu terapi. Meskipun demikian,

antivirus lokal atau sistemik perlu diberikan jika terjadi infeksi kornea. Pada ulkus kornea

mungkin diperlukan debridemen kornea dengan mengusap ulkus menggunakan kapas

kering, meneteskan obat antivirus. Antivirus topikal diberikan selama 7-10 hari sebagai

15
berikut: trifluridin diberikan setiap dua jam atau salep vidarabin lima kali sehari, atau

idoksuridin 0,1% satu tetes setiap jam dan satu tetes setiap dua jam pada waktu malam.

Keratitis herpetik dapat pula diobati dengan salep asiklovir 3% lima kali sehari selama

sepuluh hari atau asiklovir oral 400mg lima kali sehari selama tujuh hari. Kortikosteroid

merupakan kontraindikasi karena akan memperburuk infeksi herpes simpleks menjadi

infeksi yang lama dan berat.2

f. Konjungtivitis Newcastle

Konjungtivitis new castle disebabkan oleh virus newcastle, dan memiliki gambaran

seperti demam faringkonjungtiva yang biasanya menyerang pekerja peternakan unggas yang

tertular virus newcastle dari unggasnya.7

Gejala yang muncul berupa gejala influenza dengan demam ringan, sakit kepala dan

nyeri sendi, disertai nyeri mata, gatal, mata berair, penglihatan kabur, dan fotofobia. Pada

mata dapat terjadi edema palpebra ringan, kemosis, sedikit sekret dan folikel di konjungtiva

tarsal serta keratitis epithelial atau keratitis subepitelial di kornea. Penyakit ini dapat sembuh

sendiri dalam jangka waktu kurang dari 1 minggu. Pengobatan yang dapat diberikan berupa

terapi simptomatik dan pemberian antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.7

g. Konjungtivitis Hemoragik Akut

Konjungtivitis hemoragik akut merupakan konjungtivitis yang disertai adanya perdarahan

konjungtiva multipel, konjungtiva hiperemis, dan hiperplasia folikuler ringan. Penyakit ini

disebabkan oleh picorna virus atau enterovirus 70, dan memiliki masa inkubasi 24-48 jam.2,6

Gejala yang dapat terjadi berupa kedua mata iritatif seperti kelilipan, nyeri periorbita,

merah, berair, fotofobia, pandangan kabur, edema palpebra, kongesti konjungtiva, kemosis,

serta adanya limfadenopati pre-aurikuler. Tanda khas yang dapat dijumpai adalah adanya

16
perdarahan subkonjungtiva yang awalnya ditandai oleh petekie. Pada konjungtiva tarsal

didapatkan hipertrofi folikuler dan keratitis epithelial yang membaik dalam 3-4 hari.2,6

ini dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang diberikan biasanya berupa pengobatan

simptomatik. Pemberian antibiotik spektrum luas, sulfasetamid dapat diberikan untuk

mencegah infeksi sekunder. Karena virus ini mudah menular lewat kontak orang, alat optik

yang terkontaminasi, dan alas tempat tidur, maka pencegahan dengan mengatur kebersihan

diri dapat dilakukan untuk mencegah penularan.2,7

2.9 Konjungtivitis Viral Menahun

a. Blefarokonjungtivitis: Molluskum Kontagiosum

Gambaran pada penyakit ini berupa adanya nodul moluskum ditepi atau kulit palpebra

dan alis mata yang dapat menyebabkan konjungtivitis folikuler menahun, keratitis superior,

pannus superior, atau mungkin menyerupai trakoma.8

Gambar 9. Nodul moluskum kontagiosum pada kelopak mata8

Pada moluskum kontagiosum akan tampak gambaran khas lesi bulat, berombak, putih

mutiara dan terdapat bagian non-radang di pusat. Gambaran histopatologis akan tapak

inklusi sitoplasma eosinofilik yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar dan

mendesak inti ke satu sisi. Terapi dapat dilakukan eksisi dan krioterapi.8

17
b. Blefarokonjungtivitis: Varisela-Zoster

Herpes zoster memiliki gambaran khas berupa hiperemia, konjungtivitis dan erupsi

vesikuler sepanjang dermatom nervus V cabang oftalmika. Konjungtivitis dapat berbentuk

papiler, dapat ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesicle temporer yang mengalami

ulserasi. Teradapat limfonodus periaurikuler yang nyeri tekan di awal penyakit. Sekuele

dapat berupa parut di palpebra, entropion, dan bulu mata tumbuh salah arah.2,8

Gambar 10. Lesi kulit vesikel pada herpes zoster oftalmika8

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukannya sel raksasa pada pewarnaan

giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intraseluler. Pengobatan dapat diberikan asiklovir oral

dosis tinggi (800mg oral 5x1 hari selama 10 hari).2

c. Keratokonjungtivitis Morbili

Pada pasien immunokompeten, keratokonjungtivitis morbili hanya meninggalkan sedikit

atau sama sekali tanpa sekuel, tetapi pada pasien kurang gizi atau immunokompromis, dapat

disertai infeksi virus herpes, atau infeksi sekunder oleh S. pneumonia, H. influenza, dan

organisme lain. Infeksi sekunder dapat menyebabkan konjungtivitis purulent disertai ulserasi

kornea dan penurunan penglihatan berat. Sedangkan, infeksi herpes dapat menyebabkan

18
ulserasi kornea berat dengan perforasi, sehingga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan.

Pada kerokan konjungtivitis akan tampak adanya sel mononuklear dan pada pengecatan

giemsa akan tampak sel-sel raksasa. Tidak ada terapi spesifik, kecuali bila terdapat infeksi

sekunder.2

2.10 Tatalaksana

Konjungtivitis viral biasanya dapat sembuh sendiri dan membaik dalam waktu 2 minggu

dari onset gejala sehingga tidak memerlukan pengobatan antivirus. Namun, pengobatan tetap

diberikan untuk meningkatkan rasa nyaman pasien, mengurangi infeksi, dan membantu

mencegah penyebaran infeksi. Pasien dapat diberikan terapi suportif berupa kompres dingin

untuk mengurangi panas yang dirasakan dari mata yang gatal atau teriritasi.1,2

Terapi medikamentosa untuk konjungtivitis viral yang paling sering adalah pemberian air

mata buatan (tetes mata) atau lubrikan. Artificial tears atau air mata buatan berfungsi untuk

mengurangi viral load. Air mata buatan juga dapat mengurangi rasa tidak nyaman dan

melindungi permukaan mata mengembalikan homeostasis, menghilangkan kotoran

pengiritasi dan toksik pada lapisan mata. Air mata buatan yang sering digunakan seperti

Sodium chloride, Dextran, hydroxyprophyl methylcellulose, polivinilpirrollidon, dan

natrium hialuronat diberikan 18 1-2 tetes pada setiap mata sesuai kebutuhan. Cara

pemakaian obat tetes mata perlu diperhatikan untuk mencegah risiko penyebaran infeksi ke

mata yang sehat. Selain itu, dapat diberikan juga antihistamin.1,2

Terapi antivirus biasanya diberikan pada pasien dengan konjungtivitis herpetik, dengan

diberikan asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes simpleks dan 800mg/hari untuk virus

herpes zoster, selama 7-10 hari. Pemberian antibiotik topikal tidak rutin dilakukan karena

19
tidak mencegah infeksi sekunder dan dapat memperburuk gejala klinis yang ada karena

reaksi alergi dan reaksi toksik serta dapat menunda diagnosis mata lainnya. Pemakaian

antibiotik yang tidak perlu juga dapat meningkatkan resistensi antibiotik pada pasien.

Antibiotik dapat dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10 hari dan

diduga terdapat superinfeksi bakteri. Penggunaan kortikosteroid deksametason 0,1% topikal

dapat membantu mengurangi peradangan konjungtiva dan mengurangi jaringan parut pada

kasus yang berat.2,9

Apabila terdapat membran atau pseudomembran, dapat dilakukan peeling dengan slit

lamp untuk mencegah adanya pembentukan jaringan parut. Membran dapat dikelupas

menggunakan forsep atau dengan kapas yang telah dibasahi dengan anestesi topikal. Pasien

juga diberikan steroid topikal untuk menurunkan gejala yang ada. Penggunaan antibiotik

dapat dipertimbangkan setelah tindakan ekstraksi membran, untuk mencegah adanya infeksi

sekunder karena perlukaan pada konjungtiva.2,12

2.11 Pencegahan

Konjungtivitis viral merupakan penyakit yang mudah menular dengan risiko transmisi

sekitar 10-15%, dan dapat menyebar lewat kontak langsung dengan orang yang terinfeksi

sehingga peningkatan higienisitias perlu dilakukan dengan sering mencuci tangan, dan

menghindari penggunaan pakaian, handuk, ataupun alas tidur, serta barang lainnya

bersamaan dengan orang yang terinfeksi. Selain itu pencegahan dapat dilakukan dengan

meningkatkan daya tahan tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata

pasien, mencuci tangan setelah menyentuh mata pasien, sebelum dan sesudah menggunakan

obat tetes mata.9

20
Karena tingginya resiko penularan, terutama pada infeksi adenovirus, maka orang yang

terinfeksi perlu menghindari datang ke kantor atau sekolah selama 5 hingga 14 hari. Pasien

yang menggunakan lensa kontak juga perlu menghindari penggunaan lensa kontak hingga

adanya perbaikan konjungtivitis dan telah mendapatkan pengobatan terakhir dalam 24

jam.9,12

2.12 Komplikasi

Ada banyak komplikasi konjungtivitis viral yang diketahui. Komplikasi yang banyak

ditemukan berhubungan dengan peradangan pada kornea, yang dikenal sebagai

keratokonjungtivitis. Ada juga peningkatan kemungkinan infeksi bakteri. Komplikasi yang

jarang ditemukan terkait dengan konjungtivitis virus meliputi blepharitis, entropion dan

jaringan parut pada kelopak mata. Komplikasi yang paling serius dari konjungtivitis virus

adalah herpes simpleks keratitis, ulkus kornea, yang pada akhirnya dapat menyebabkan

kebutaan.9

2.13 Prognosis

Prognosis dari konjugtivitis viral biasanya baik, dimana konjungtivitis viral dapat sembuh

sendiri dalam 2 minggu dari onset gejala, dan jarang terjadi komplikasi jangka panjang atau

masalah lain yang berhubungan dengan konjungtivitis viral ini.9

21
BAB III

RINGKASAN

Konjungtiva merupakan struktur terluar dari mata yang rentan terpapar bahan atau agen

infeksi sehingga dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada konjungtiva (konjungtivitis).

Konjungtivitis oleh infeksi virus atau bakteri, dan non-infeksi akibat alergi, reaksi toksik,

sikatrik, dan inflamasi sekunder lainnya. Pasien biasanya datang dengan keluhan mata

merah, terasa nyeri, berair, gatal, keluar kotoran (belekan) dan pandangan kabur.

Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata yang sering dijumpai di masyarakat.

Gejala yang terjadi umumnya ringan dan tidak disertai adanya penurunan tajam penglihatan.

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Konjungtivitis

viral dengan gejala ringan biasanya dapat sembuh sendiri, namun pemberian kompres

dingin, air mata artifisial dan antihistamin dapat menurunkan gejala yang ada. Pada kasus

dengan gejala berat, dapat terjadi menifestasi klinis yang berat dan mengancam penglihatan,

sehingga perlu dirujuk ke dokter spesialis mata. Konjungtivitis viral sangat menular melalui

kontak dengan pasien, ataupun dari alat-alat yang digunakan dalam pemeriksaan mata pada

pasien, sehingga pencegahan perlu dilakukan dengan mengurangi kontak langsung ataupun

tidak langsug agar tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Insani ML, Adioka I, Artini I, Mahendra AN. Karakteristik dan Manajemen


Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Indera Denpasar Periode Januari-April
2014. e-Journal Med. 2017;6(7):1–6.
2. Sitompul R. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan Kesehatan Primer.
eJournal Kedokteran Indonesia. 2017;5(1):64-71.
3. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis: A Systematic Review of Diagnosis and Treatment.
JAMA. 2013;310(16):1721-9.
4. Lovensia. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. J Medula Unila. 2014;3(1):168–
73.
5. Gede IM, Putra D, Budhiastra P, Ketut N, Susila N. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa
Semester VI , Pogram Studi Pendidikan Dokter , Fakultas Kedokteran , Universitas
Udayana Terhadap Konjungtivitis Bakteri Tahun 2017. 2019;10(1):70–6.
6. Kemenkes RI. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta:
Kemenkes RI; 2013.
7. Ilyas S, Yulianti R. Ilmu Penyakit Mata. 4 th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 120–148.
8. Gracia-Ferrer F, Schwab I, Sheltar D. Konjungtiva. In: Susant D, editor. Oftalmologi
Umum Vaughan & Asbury. 17th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017. p.
97–114.
9. Haq A, Wardak H, Kraski N. Infective Conjunctivitis – Its Pathogenesis, Management
and Complications. In: Common Eye Infections. Intech Open [Internet]; 2013. p. 21–43.
10. Tsai J, Denniston A, Murray P, Huang J, Aldad T. Oxford American Handbook of
Ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.
11. Christopher K, Stear BA, Andrews CA, Stein JD. Seasonal Trends and Demographic
Variation of Viral Cnjunctivitis Across the US. IOVS. 2015;56(7):1877-9.
12. Solano D, Czyz CN. Viral Cojunctivitis. In: NCBI Bookshelf. StatPearls Publishing LLC
[Internet]; 2020.

23

Anda mungkin juga menyukai