Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus Kepada Yth

TATALAKSANA ULKUS KORNEA SENTRAL OKULI


SINISTRA DENGAN TEKNIK PERIOSTEAL GRAFT
DILANJUTKAN DENGAN KERATOPLASTY

Fadillah Amrina*

Pembimbing :
Dr. Petty Purwanita, SpM (K), Subsp. IIM
Dr. dr. Anang Tribowo, SpM (K), Subsp. IIM

KELOMPOK STAF MEDIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................... 3
2.1 Identifikasi ..................................................................................... 3
2.2 Anamnesis .................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 4
2.3.1 Status Generalis................................................................... 4
2.3.2 Status Oftalmologikus .......................................................... 5
2.4 Diagnosis Banding ........................................................................ 6
2.5 Diagnosis Kerja ............................................................................. 7
2.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 7
2.7 Hasil Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 29
3.1 Anatomi, Fisiologi, Persarafan Kornea ........................................ 29
3.1.1 Anatomi Kornea ................................................................. 29
3.1.2 Persarafan Kornea ............................................................. 34
3.1.3 Imunitas Kornea ................................................................. 35
3.2 Ulkus Kornea............................................................................... 36
3.2.1 Definisi ............................................................................... 36
3.2.2 Patofisiologi........................................................................ 36
3.2.3 Manifestasi Klinis ............................................................... 37
3.2.4 Diagnosis ........................................................................... 37
3.2.5 Penatalaksanaan ............................................................... 38
3.2.6 Prognosis ........................................................................... 38
3.3 Keratoplasti ................................................................................. 39
3.3.1 Syarat untuk menjadi donor dan penerima donor ............... 42
3.3.2 Teknik Operasi Penetrating Keratoplasty ........................... 43
BAB IV DISKUSI.................................................................................... 49
BAB V KESIMPULAN .......................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 53

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ulkus kornea adalah keadaan patologis pada kornea yang ditandai
oleh adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas
jaringan kornea dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur maupun virus. Ulkus kornea terjadi karena
sel pejamu dan respon imunologis terhadap agen penyebab seperti bakteri,
virus, jamur atau organisme protozoa. Kehilangan jaringan kornea ini
menyebabkan kornea menjadi tipis dan dapat mengalami perforasi. Bila
terjadi perforasi, akan memperbesar risiko infeksi dan peradangan di sekitar
atau seluruh organ mata. 1,2
Kekeruhan kornea yang paling banyak disebabkan oleh keratitis
infeksius merupakan penyebab kebutaan ke empat secara global dan
merupakan penyebab 10% gangguan penglihatan yang dapat dihindari di
negara-negara berkembang. Insiden ulkus kornea pada negara
berkembang diperkirakan 100 hingga 800 per 100.000 orang per tahun.
Menurut data infodatin tahun 2014, kebutaan yang disebabkan oleh
kekeruhan kornea merupakan penyebab keempat kebutaan di Indonesia.1
Pada keadaan inflamasi dan infeksi pada kornea, maka dapat terjadi
penipisan lapisan kornea hingga mencapai membran Descemet
(Descemetocele). Kondisi penipisan ini merupakan suatu kondisi yang
serius dan mengancam integritas bola mata pasien. Bila pasien telah
mencapai tahap ini manajemen tatalaksana yang dapat diberikan
mencakup mengontrol inflamasi dan infeksi yang terjadi, serta tatalaksana
yang mendukung epitielisasi dan menghambat proses kolagenase. 1-4
Pengobatan ulkus kornea bertujuan untuk eradikasi penyebab dari
ulkus kornea, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat
destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel,
mengatasi komplikasi serta memperbaiki tajam penglihatan.

1
2

Penatalaksanaan yang diberikan dapat berupa medikamentosa dan


tindakan bedah. Salah satu terapi operasi yang dapat dilakukan pada ulkus
kornea adalah periosteal graft dan transplantasi kornea atau keratoplasti.3,4
Periosteal graft merupakan prosedur untuk menutup sementara ulkus
kornea dengan menggunakan jaringan periosteum sedangkan keratoplasti
merupakan prosedur bedah untuk mengganti kornea resipien secara
keseluruhan (penetrating keratoplasty) maupun sebagian (lamellar
keratoplasty) dengan kornea donor. Jika donor tersebut merupakan orang
lain maka prosedur tersebut dinamakan allograft sedangkan jika
menggunakan jaringan donor dari mata yang sama atau mata sebelahnya
dinamakan autograft.1-3

1.2. Tujuan
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk melaporkan pasien dengan
ulkus kornea sentral pada mata kiri yang disebabkan bakteri dan
ditatalaksana dengan teknik operasi periosteal graft dilanjutkan dengan
keratoplasti.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi
Seorang laki laki, berusia 46 tahun, pekerjaan petani, etnis Melayu,
beralamat luar kota, datang ke poli mata subdivisi Infeksi Imunologi pada
tanggal 28 Januari 2022. Pasien datang dengan riwayat timbul bintik putih
pada mata kiri sejak 7 bulan yang lalu.

2.2. Anamnesis ( 28 Januari 2022)


Keluhan Utama
Bintik putih pada mata kiri sejak 7 bulan SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak 7 bulan yang lalu, pasien merasakan muncul bintik putih di hitam
mata kiri pasien. Bintik putih sebesar biji beras. Sebelumnya pasien
mengatakan mata kiri terkena pelantingan kayu 2,5 bulan yang lalu,
kemudian pasien mencuci mata dengan air cucian daun sirih dan pasien
sering mengucek ngucek mata setelahnya. Mata kiri merah (+), berair-air
(+), kotoran mata (+).
Sejak 5 bulan yang lalu, pasien merasakan bintik putih di hitam mata
kiri dirasakan makin besar, mata kiri kabur dan merah, dirasakan juga nyeri
pada mata kiri. Mata merah (+), berair-air (+) dan silau (+), keluar cairan
seperti putih telur disangkal. Pasien kemudian berobat ke Poliklinik Mata di
RS Swasta Palembang dan dirujuk ke RS. Mohammad Hoesin Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Trauma (+) 2,5 bulan yang lalu mata kiri terkena pelantingan
kayu
 Riwayat alergi disangkal.

3
4

 Riwayat darah tinggi disangkal


 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
 Riwayat kacamata (-)
 Riwayat konsumsi obat sebelumnya (Dari RSUD Prabumulih)
Natacen ED 1gtt/12 jam OS
LFX ed 1gtt/ 12 jam OS
Tobrosone ED 1gtt/12 jam OS

2.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 81x/menit
Pernafasan : 22x/menit
Temperatur : 36.1˚C
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 160 cm
5

2.3.2 Status Oftalmologikus


Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/ ~ PSS


Tekanan
14.3 mmHg ,P= N+1
intraokular
KBM Simetris

Gerakan bola
mata

Palpebra Tenang Tenang


6

Konjungtiva Tenang Mix Injeksi (+)


Tampak defek bergaung
pada central kornea, FT
(+) pada tepi defek
ukuran 8x7 mm, dengan
Kornea Jernih
kedalaman >2/3 stroma,
infiltrat (+) pada tepi
defek, desmetocele (+).
Seidel test (-)
Bilik Mata
Sedang Sulit Dinilai
Depan
Iris Gambaran baik Sulit Dinilai
Bulat, sentral, RC (+) 3
Pupil Sulit Dinilai
Mm
Lensa Jernih Sulit Dinilai
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

2.4. Diagnosis Banding


 Ulkus Kornea Sentral OS et causa Bakteri dengan komplikasi
Impending perforasi kornea
 Ulkus Kornea Sentral OS et causa Jamur dengan komplikasi
Impending perforasi kornea
7

2.5. Diagnosis Kerja


 Ulkus Kornea Sentral OS et causa Bakteri dengan komplikasi
Impending perforasi kornea

2.6. Penatalaksanaan
 Informed consent
 MRS
 Moxifloxacin ED 1gtt/jam OS
 Natacen ED 1gtt/ jam OS
 Sodium chloride Potassium chloride ED 1gtt/jam OS
 Timolol maleat 0.5% 1gtt/12 jam OS
 Itrakonazole 100 mg/12 jam PO
 Glauceta 250 mg/8 Jam PO
 KSR 1 tab/24 Jam PO
 Pro Periosteal Graft OS ( 02 Agustus 2021)
 Pro Cek Lab, Ro Thorax
 Pro Konsul Bagian Penyakit Dalam & Anestesi

2.7. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (19/07/2021)
Hb 14,8 g/dL
Eritrosit 5.07 juta/mm3
Leukosit 7,49 ribu/mm3
Hematokrit 43%
Trombosit 341 ribu /uL
SGOT 20 Ul
SGPT 16 Ul
GDS 94 mg/dL
Ureum 13 mg/dL
Kreatinin 0.72 mg/dL
8

Na 144 mEql
K 4.2 mEql
Cl 107 mmol/l
Hbs Ag Non Reaktif
Hasil Pemeriksaaan Swab RT-PCR : Negatif

Rontgen Thoraks ( 20/07/2021)


Kesan :
Cor dan Pulmo dalam Batas Normal.
Tidak tampak kelainan radiologis pada saat ini.

USG Orbita 19/07/2021


Vitreus : Echo free
Retina : Intak
Koroid : Tidak menebal
Kesan
USG dalam batas normal

Hasil Pemeriksaan Gram (10-8-2021)


Hasil Mikroskopis :
Staphylococcus Lugdunensis
Bakteri Gram (+) coccus (+)
Bakteri Gram (-) basil (-)
Leukosit 0-1/lp
Epitel 0-1/lp
9

Hasil Pemeriksaan Kultur

Nama Kuman : Staphylococcus lugdunensis

Jumlah koloni :

No Nama Antibiotik Interpretasi MIC

1 Benzylpenicillin S 0.06

2 Tetracycline S <=1

4 Ciprofloxacin S <=0.5

5 Clindamycin S <=0.25

6 Erythromycin S <=0.25

7 Gemtamicin S <=0.5

8 Levofloxacin S <=0.12

9 Linezolid S 1

10 Trimetroprim/Sulfamethoxazole S <=10

11 Vancomycin S <=0,5

12 Moxifloxacin S <=0.25

13 Oxacillin S 0,5

2.8. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Malam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
10

Laporan Operasi
02/08/2021
1. Operasi dimulai pukul 09.15 WIB.
2. Pasien posisi Supine dalam General Anasthesia.
3. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada kedua mata dan
sekitarnya dengan povidon iodine 10%.
4. Lapangan operasi dipersempit dengan Doek Steril
dan dipasang eyedrap
5. Dilakukan pemasangan Blepharostat pada mata kiri.
6. Dilakukan pengambilan jaringan periosteoum pada tibia kiri kemudian
ditutup dan dijahit.
7. Dilakukan peritomi konjungtiva melingkar 360˚
8. Dilakukan penjahitan periosteoum ke kornea dengan benang vicryl
8.0 sebanyak 8 jahitan.
9. Dilakukan penjahitan konjungtiva sehingga terbentuk flap dengan
benang vicryl 8.0 sebanyak 7 jahitan.
10. Diberi salep mata antibiotik pada mata kiri.
11. Luka operasi ditutup dengan kassa steril.
12. Operasi selesai pukul 10.30 WIB.

Foto Intra Operasi

Dilakukan Aseptik dan Pengambilan Penjahitan pada


Antiseptik dengan jaringan tibia kiri
povidone iodine 10% periosteoum pada
11

tibia kiri

Dilakukan penjahitan Dilakukan Dilakukan


periosteoum sebanyak pengukuran peritomi
4 jahitan jaringan konjungtiva 360˚
periosteoum
pada kornea

Dilakukan penjahitan Luka operasi diberi


konjungtiva sehingga salep antibiotik
terbentuk flap dan
sebanyak 7 jahitan ditutup dengan
kassa
sterile
12

Follow Up 3/08/2021
Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/~ PSB


Tekanan
17,1 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
Sulit dinilai
mata

Palpebra Tenang Hiperemis (+)


13

Flap konjungtiva baik,


jahitan baik, simpul
Konjungtiva Tenang
didalam, darah (-), sekret
(-)
Tidak dapat dinilai
Kornea Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
BMD Sedang
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Iris Gambaran Baik
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Lensa Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

Diagnosa
 Post Periosteal Graft hari ke-1 atas indikasi Ulkus Kornea Sentral OS
ec Bakteri dengan komplikasi impending perforasi kornea.
Tatalaksana
 KIE
 Cefixime 100 mg/ 12 Jam PO
 Asamefenamat 500 mg/ 8 Jam PO
 Moxifloxacin 1 gtt/ 2 Jam OS
14

 Sodium Chloride Potassium chloride 1gtt/ 4 Jam OS


 Chloramfenicol eo 1ue/8jam OS
 ACC Rawat Jalan

Follow Up 10 /08 /2021


Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/~ PSB


Tekanan
13,4 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
Sulit dinilai
mata
15

Palpebra Tenang Tenang


Flap konjungtiva baik,
Konjungtiva Tenang
neovaskularisasi (+)
Tidak dapat dinilai
Kornea Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
BMD Sedang
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Iris Gambaran Baik
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Lensa Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

Diagnosa
Post Periosteal Graft Hari ke-7 atas indikasi Ulkus Kornea Sentral OS ec
Bakteri dengan komplikasi impending perforasi kornea

Tatalaksana
- KIE
- Moxifloxacin ED 1gtt/6 jam OS
- Sodium chloride Potassium chloride ED 1 gtt/4 jam OS
- Chloramfenikol EO 1ue/8 jam OS
16

Follow Up 28/01/2022
Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/~ PSB


Tekanan
15,6 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
Sulit dinilai
mata

Palpebra Tenang Tenang


17

Flap konjungtiva baik,


Konjungtiva Tenang
neovaskularisasi (+)
Tidak dapat dinilai
Kornea Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
BMD Sedang
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Iris Gambaran Baik
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm
(Tertutup flap konjungtiva)
Keruh, ST (+) Tidak dapat dinilai
Lensa
NO1, NC1,C2,P2 (Tertutup flap konjungtiva)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

USG (04 Februari 2022)


Vitreus : Echo free
Retina : Intak
Koroid : Tidak menebal
Kesan
USG dalam batas normal

Diagnosa
Post Periosteal Graft bulan ke- 6 atas indikasi Impending Prolaps Iris OS
ec Ulkus Kornea Sentral ec Bakteri.
18

Tatalaksana
 Pro Keratoplasty OS (Senin, 7 Februari 2022)
 Sodium chloride potassium chloride1gtt/ 4 Jam OS
 Pro Rontgen Thorax
 Pro Cek Laboratorium
 Pro Swab Antigen dan PCR
 Pro Konsul bagian Penyakit Dalam dan Anastesi

Follow Up 07 /02/2022
Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/~ PSB


19

Tekanan
14.3 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
Sulit dinilai
mata

Palpebra Tenang Tenang


Flap konjungtiva baik,
Konjungtiva Tenang
neovaskularisasi (+)
Tidak dapat dinilai
Kornea Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
BMD Sedang
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Iris Gambaran Baik
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm
(Tertutup flap konjungtiva)
Tidak dapat dinilai
Lensa Jernih
(Tertutup flap konjungtiva)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai
20

Hasil Laboratorium (4 Februari 2022)


Hb 13.0 g/Dl
Eritrosit 4.67 juta/mm3
Leukosit 8,72 ribu/mm3
Hematokrit 39%
Trombosit 298 ribu /uL
SGOT 22 Ul
SGPT 19 Ul
GDS 112 mg/dL
Ureum 11mg/dL
Kreatinin 0.42 mg/Dl
Na 146 mEql
K 4.1 mEql
Cl 103 mmol/l
Hbs Ag Non Reaktif

Hasil Pemeriksaaan Swab RT-PCR : Negatif

Jawaban Konsultasi TS Penyakit Dalam


Assasment
Saat ini cor dan pulmo fungsional kompensata
Planning
Terapi sesuai TS Mata

Jawaban Konsultasi TS Anestesi


Assasment
Status Fungsional ASA II
Planning
 Puasa 6 jam sebeulum Operasi dimulai
 Rencana Tindakan Operasi dengan General Anasthesia
21

Diagnosis
 Pro Keratoplasty OS atas indikasi Post Periosteal Graft bulan ke- 6
ec Impending Prolaps Iris OS ec Ulkus Kornea Sentral ec Bakteri

Tatalaksana
 Pro Keratoplasty OS (Senin, 7 Februari 2022)
 Sodium chloride potassium chloride 1 gtt/4 jam OS

Laporan Operasi
07/02/2022
1. Operasi dimulai pukul 08.30 WIB.
2. Pasien posisi Supine dalam General Anasthesia.
3. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada kedua mata dan
sekitarnya dengan povidon iodine 10%.
4. Lapangan operasi dipersempit dengan Doek Steril dan
dipasang eyedrap
5. Dilakukan pemasangan Blepharostat pada mata kiri.
6. Dilakukan pengguntingan flap konjungtiva
7. Dilakukan pengukuran defek kornea dengan menggunakan caliper
8.0 mm lalu dillakukan trepinisasi resipien dengan trepin 8.5 mm
8. Dilakukan penembusan kornea menggunakan stab knife kemudian
dimasukkan viscoat.
9. Dilakukan pemotongan kornea dengan menggunting kornea
melingkar 360˚
10. Dilakukan pemasangan kornea donor ukuran 8.5 mm dijahit ke
sklera dengan nylon 10.0 secara interuptus sebanyak 16 jahitan
11. Diberikan povidone iodine untuk menilai kekedapan jahitan kornea
12. Diberikan injeksi subkonjungtiva gentamisin 0,25 cc
13. Luka operasi ditutup dengan kassa steril.
14. Operasi selesai pukul 10.00 WIB
22

Foto Intra Operasi

Dilakukan Dilakukan Pembuatan marker


pengguntingan pengukuran menggunakan trephin
flap konjungtiva defek kornea yang diberi trypan
menggunakan blue.
caliper 8 mm

Sementara itu Dilakukan Dilakukan


dilakukan trepinisasi pengguntingan penembusan
kornea donor dengan kornea kornea menggunakan
ukuran pemasangan melingkar 360˚ stabknife kemudian
kornea donor dimasukkan viscoat
ukuran trepin 8,5 mm
23

Dilakukan penjahitan Diberikan Povidone Diberikan Injeksi


kornea Iodine 10% untuk Gentamisin
ke sklera dengan menilai kekedapan subkonjungtiva 0,25
benang kornea cc
nylon 10.0 secara
interuptus

Operasi selesai, Luka


operasi ditutup
dengan
kassa sterile
24

Follow Up 08/02/2022
Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/~ PSB


Tekanan
17.0 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
mata

Palpebra Tenang Tenang


25

Subkonjungtival bleeding
Konjungtiva Tenang (+) diseluruh kuadran,
Kemosis (+)
Tampak 16 jahitan radier
Kornea Jernih 360 derajat, jahitan baik
simpul didalam.
BMD Sedang Air buble (+)
Iris Gambaran Baik detail sulit dinilai
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm detail sulit dinilai
Lensa Jernih Lensa: Keruh (+), ST(-)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

Diagnosis
Post Keratoplasty hari ke-1 ai Post Periosteal Graft ai Ulkus Kornea Sentral
et causa Bakteri OS dengan komplikasi impending perforasi kornea

Tatalaksana
- KIE
- Prednisolon asetat ED 1 gtt/4jam OS
- Moxifloxacin ED 1gtt/ 3jam OS
- Sodium chloride ED 1gtt / 3 jam OS
- Timolol maleat 0,5% ED 1gtt/12 jam OS
- Asam Mefenamat 500 mg/ 8 jam PO
- Cefixime tab 100 mg/12 jam PO
- Metilprednisolon tab 4 mg/8jam PO
26

Follow Up 18/02/2022
Status Oftalmologikus
Mata kanan Mata kiri

Visus 6/21 ph 6/7,5 1/300


Tekanan
17.4 mmHg P= N+0
Intraokular
Kedudukan
Simetris
bola mata

Gerakan bola
mata

Palpebra Tenang Tenang


27

Subkonjungtiva bleeding
Konjungtiva Tenang
(+)
Tampak 16 jahitan radier
Kornea Jernih 360 derajat, jahitan baik
simpul didalam
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran Baik Gambaran Baik
Ireguler RC (-) diameter
Pupil B, C, RC (+) D 3 mm
5mm
Lensa Jernih Keruh (+), ST(-)
Segmen
RFOD(+) RFOS(-)
Posterior
Bulat batas tegas, warna
Papil merah (+) normal c/d 0,3 a:v Tidak bisa dinilai
2:3.
Makula Refleks fovea (+) Normal Tidak bisa dinilai
Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak bisa dinilai

Diagnosis
 Post Keratoplasty hari ke-10 ai Post Periosteal Graft ec Ulkus
Kornea Sentral OS ec Bakteri dengan komplikasi impending
perforasi kornea
 Katarak Komplikata OS

Tatalaksana
- KIE
- Prednisolon asetat ED 1 gtt/4jam OS
- Moxifloxacin ED 1gtt/ 3jam OS
- Sodium chloride ED 1gtt / 3 jam OS
- Timolol maleat 0,5% ED 1gtt/12 jam OS
- Asam Mefenamat 500 mg/ 8 jam PO
28

- Cefixime tab 100 mg/12 jam PO


- Metilprednisolon tab 4 mg/8jam PO
- Pro Ekstraksi Katarak OD
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi, Fisiologi, Persarafan Kornea


3.1.1. Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan ikat avaskular transparan yang
menutupi bagian depan mata. Kornea adalah salah satu jaringan yang
paling banyak persyarafannya dalam tubuh, melindungi mata bagian dalam
dari penetrasi benda asing dan patogen, dan berkontribusi, bersama
dengan lapisan air mata, dua pertiga dari kekuatan bias mata. Sumber
oksigen dibagian anterior berasal dari air mata dan posterior oleh aquos
humor. Kornea harus mempertahankan tekanan intraokular dan menahan
kekuatan dari otot ekstraokular selama gerakan mata. Bentuk dan
kelengkungan kornea, yang relevan untuk refraksi, dicapai dengan
pengaturan spesifik kolagen lamellae dalam stroma, dan transparansi
kornea, yang sangat penting untuk penglihatan, adalah hasil dari banyak
faktor termasuk avaskularitas jaringan kornea, integritas epitel kornea, dan
pengaturan komponen ekstraseluler dan seluler stroma, yang tergantung
5-7
pada keadaan hidrasi yang diatur oleh endotelium kornea.
Pada orang dewasa, kornea memiliki diameter horizontal 11,0-12,0
mm, diameter vertikal 10,0-11,0 mm, dan ketebalan sekitar 500-550 μm di
pusat, yang secara bertahap meningkat menjadi 600-800 μm ke arah
perifer. Daya refraksi rata-rata adalah 43,25 dioptri, jari-jari kelengkungan
rata-rata adalah 7,8 mm, dan indeks bias kornea adalah 1,376. Kornea
terdiri dari lima lapisan anatomi, yaitu: epitel, lapisan Bowman, stroma,
5-7
membran Descemet, dan endotel (Gambar 1).

29
30

Gambar 1. Lapisan kornea


(Louis B Cantor et al. Fundamentals and Principles of Ophthalmology. American
Academy of Ophthalmology. 2019-2020)

1. Epitel Kornea
Permukaan epitel kornea mewakili penghalang fisik ke lingkungan luar
dan bergabung dengan lapisan air mata yang sangat penting untuk daya
refraksi mata. Hal ini bertanggung jawab untuk melindungi mata terhadap
kehilangan cairan dan invasi benda asing dan patogen dan untuk menyerap
oksigen dan nutrisi dari lapisan air mata. Permukaan kornea ditutupi oleh
epitel bertingkat, nonkeratinisasi, dan berbentuk skuamosa, dengan
ketebalan sekitar 50 μm. Epitel kornea dapat disusun menjadi tiga lapisan,
lapisan sel superfisial atau skuamosa, lapisan sel sayap suprabasal, dan
lapisan sel kolumnar basal. Desmosom meningkatkan daya rekat yang kuat
antara sel-sel pada semua lapisan epitel. Lapisan superfisial dibentuk
oleh2-3 lapisan sel poligon datar, yang membentuk intercellular tight
junction untuk memberikan penghalang yang efektif dan banyak mikrofili
permukaan, yang meningkatkan luas permukaan sel dan meningkatkan
penyerapan oksigen dan nutrisi dari lapisan air mata. Air mata terdiri dari
tiga lapisan: lapisan lipid superfisial untuk memberikan perlindungan dari
penguapan, lapisan air memberikan nutrisi dan pasokan oksigen ke epitel
kornea, dan lapisan musin basal, yang berinteraksi erat dengan sel epitel
untuk memungkinkan pelumasan permukaan mata dan penyebaran lapisan
31

air mata setiap kelopak mata berkedip. Lapisan air mata juga memasok
faktor-faktor imunologis dan pertumbuhan yang sangat penting untuk
kesehatan epitel, proliferasi, dan perbaikan. Lapisan sel sayap dibentuk
oleh 2-3 lapisan sel berbentuk sayap. Lapisan basal terdiri dari satu lapisan
sel kolumnar yang melekat pada membran basement di bawahnya oleh
hemidesmosom. Membran basal epitel memiliki peran penting dalam
penyembuhan luka kornea, karena cacat pada lapisan ini memungkinkan
penetrasi faktor pertumbuhan dari epitel ke dalam stroma. Adhesi epitel
kornea ke lapisan Bowman dipertahankan oleh anchoring fibrils (kolagen
tipe VII) dan anchoring plaques (kolagen tipe VI). Abnormalitas pada
kompleks penahan ini dapat menyebabkan erosi kornea berulang atau
5-7
cacat epitel yang tidak sembuh secara klinis.
Selain sel epitel, ada banyak ujung saraf di antara sel-sel diperkirakan

kepadatannya 7000 nosiseptor per mm2, yaitu 400 kali lebih banyak dari
pada kulit. Stres mekanis pada saraf ini dapat menyebabkan rasa sakit yang
luar biasa. Epitel kornea sendiri memiliki sifat antiinflamasi dan
antiangiogenik yang kuat. Sel epitel kornea secara rutin mengalami
apoptosis dan deskuamasi dari permukaan. Proses ini menghasilkan
pergantian total lapisan epitel kornea setiap 5-7 hari karena sel-sel yang
lebih dalam menggantikan sel-sel superfisial yang mengalami deskuamasi
secara teratur. Dua populasi sel, sel epitel basal dan limbal stem cell,
membantu memperbarui permukaan epitel. Sel-sel induk epitel terletak di
bagian di limbus korneoskleral. Menipisnya cadangan sel induk ini,
misalnya setelah luka bakar kimia, dapat menyebabkan penyakit
permukaan okuler yang parah dan kerusakan visual yang signifikan, suatu
5-7
kondisi dikenal sebagai limbal stem cell deficiency.
Epitel kornea merespon cedera dalam tiga fase, yaitu: migrasi,
proliferasi, dan diferensiasi dengan perlekatan kembali ke membran basal.
Setelah cedera, sel-sel yang berdekatan dengan epitel yang cacat
bermigrasi untuk menutupi luka dalam beberapa jam. Setelah penutupan
32

luka, epitel basal dan limbal stem cell berproliferasi dan berdiferensiasi
untuk membentuk kembali epitel. Pada fase akhir, hemidesmosom
mengikat sel-sel epitel basal dengan erat ke membran basement dan
stroma. Jika membran basement tetap utuh, adhesi yang kuat terbentuk
hanya dalam beberapa hari. Jika membran dasar rusak, perbaikannya bisa
memakan waktu hingga 6 minggu. Selama waktu ini, perlekatan epitel ke
membran basement yang baru cenderung tidak stabil dan lemah, dan epitel
5-7
yang diregenerasi sangat rentan terhadap kerusakan.

2. Membran Bowman
Lapisan Bowman mewakili bagian stroma kornea yang paling anterior
dan aselular. Ketebalannya sekitar 8-12 μm dan tersusun dari serat-serat
kolagen yang tersusun secara acak, berdiameter 20-25 nm, terdiri dari
kolagen tipe I, III, V, dan VI. Ketebalannya telah dilaporkan menurun
dengan usia 0,06 μm per tahun, sehingga kehilangan sepertiga dari
ketebalannya antara usia 20 dan 80 tahun. Peran fungsional lapisan
Bowman tidak sepenuhnya diketahui, tetapi diyakini berfungsi sebagai
penghalang yang melindungi stroma kornea dan saraf dari cedera
traumatis. Selain itu, diperkirakan untuk memastikan perlengkatan epitel ke
stroma kornea dan membantu mempertahankan bentuk dan kekuatan tarik
kornea. Lapisan Bowman juga berfungsi sebagai perisai UV penting yang
melindungi mata bagian dalam dan penghalang terhadap invasi tumor epitel
5-7
ke dalam stroma kornea.

3. Stroma kornea
Stroma adalah lapisan paling tebal dari kornea yang berukuran
sekitar 500 μm. Terdiri dari bundel yang teratur dari serat-serat kolagen
yang tertanam dalam matriks ekstraseluler yang kaya glikosaminoglikan,
yang diselingi dengan sel-sel mirip fibroblast yang membesar yang disebut
keratosit. Organisasi kolagen dalam stroma sangat penting untuk fungsi
kornea seperti transmisi cahaya dan pemeliharaan kelengkungan kornea,
33

kekuatan tarik, dan kekakuan. Lamella kolagen membentuk lapisan yang


6,7,10
sangat terorganisir.
Keratosit adalah sel yang aktif secara metabolik yang terlibat dalam
sintesis dan pergantian komponen matriks ekstraseluler, yaitu: molekul
kolagen dan glikosaminoglikan. Keratosit mengandung protein yang larut
dalam air, "kristal" kornea, yang tampaknya bertanggung jawab untuk
mengurangi hamburan cahaya dari keratosit dan untuk menjaga
transparansi kornea. Setelah cedera pada stroma, keratosit yang
berdekatan dengan luka mengalami apoptosis. Sekitar 24 jam setelah luka,
keratosit yang tersisa mulai berproliferasi dan berubah menjadi fibroblast
teraktivasi, yang bermigrasi ke daerah luka dan menghasilkan komponen
matriks ekstraseluler, suatu proses yang dapat bertahan hingga 1 minggu.
Sel-sel peradangan, termasuk monosit, granulosit, dan limfosit,
menginfiltrasi stroma dari pembuluh darah limbal. Fibroblast berubah
menjadi miofibroblast, yang mengikat luka dan mengeluarkan matriks
ekstraseluler, suatu proses yang dapat bertahan hingga 1 bulan. Deposisi
sejumlah besar matriks ekstraseluler yang tidak terorganisir dapat
menyebabkan hilangnya transparansi kornea yang menyebabkan
kekeruhan stroma. Matriks remodeling dengan merepopulasi keratosit
sehingga mengembalikan transparansi adalah fase terakhir penyembuhan
5,6,10
luka stroma dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.

4. Membran Descemet
Membran Descemet memiliki ketebalan 10-12 μm, membran basal
khusus endotel kornea yang terdiri dari kolagen tipe IV, VIII, XVIII, dan
komponen non-kolagen. Selain memberikan integritas struktural kornea,
membran Descemet berperan dalam beberapa proses fisiologis penting
termasuk hidrasi kornea, diferensiasi, dan proliferasi sel endotel, dan
pemeliharaan kelengkungan kornea. Membran Descemet melekat pada
stroma kornea dengan zona transisional yang sempit (sekitar 1 μm) dari
34

5,6,10
matriks ekstraseluler amorf.
5. Endotel kornea
Lapisan terdalam dari kornea, endotelium kornea, adalah lapisan
tunggal sel kuboid, yang memiliki peran penting dalam mempertahankan
hidrasi kornea dan transparansi. Lapisan endotel bertanggung jawab untuk
dehidrasi kornea dan menjaga transparansi kornea dengan memompa air
keluar dari stroma kornea. Jumlah sel endotel berkurang dengan
bertambahnya usia, trauma, peradangan, pembedahan, dan proses
penyakit. Kepadatan sel endotel saat lahir adalah sekitar 3500-4000
2
sel/mm , menurun secara bertahap rata-rata 0,6% per tahun menjadi 2.500
2 2
sel/mm pada usia 50 dan 2000 sel/mm pada usia 80 tahun. Sel-sel endotel
dari kornea manusia memiliki kapasitas proliferasi yang rendah dan sel-sel
yang hilang digantikan oleh penyebaran sel-sel yang berdekatan yang
menghasilkan peningkatan ukuran sel (polimegathisme) dan peningkatan
variasi bentuk sel (pleomorfisme). Dengan meningkatnya kehilangan sel,
fungsi pompa dan penghalang endotelium dapat terganggu. Densitas yang
lebih rendah dari 500 dapat menyebabkan dekompensasi endotel dan
5,10
edema kornea dengan disertai hilangnya transparansi.

3.1.2. Persarafan Kornea


Kornea dipersarafi secara padat oleh serat saraf sensorik yang tak
bermielin berasal dari saraf trigeminal. Sekitar 70 bundel saraf utama
memasuki kornea perifer dengan cara radial dan bergerak menuju pusat di
sepertiga anterior stroma kemudian membelah menjadi cabang-cabang
yang lebih kecil dan menembus lapisan Bowman untuk membentuk pleksus
saraf subepitel atau subbasal di antara lapisan Bowman dan epitel kornea
kemudian menembus semua lapisan epitel dan berakhir di lapisan
2
superfisial. Diperkirakan ada sekitar 7000 nosiseptor per mm di epitel
kornea manusia. Kepadatan ujung saraf per satuan luas 400 kali lebih tinggi
daripada di kulit, menjadikan kornea salah satu jaringan yang paling padat
35

dipersarafi dalam tubuh. Sesuai dengan kepadatan ujung saraf, sensitivitas


kornea meningkat dari limbus ke kornea sentral. Saraf kornea melepaskan
neuropeptida, seperti zat P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP),
yang memiliki fungsi penting pada epitel kornea dan merangsang
penyembuhan luka epitel. Hilangnya persarafan sensorik kornea dapat
menyebabkan keratopati neurotropik, yang menyebabkan cacat epitel,
5,6,10
penyembuhan luka yang buruk, dan ulkus.

3.1.3. Imunitas Kornea


Karena avaskularitas kornea merupakan faktor penting untuk
transparansi kornea, kornea memiliki sistem untuk mempertahankan
avaskularitas, sebuah fenomena yang disebut “corneal antiangiogenic
privilege”. Beberapa faktor antiangiogenik telah terbukti berkontribusi
terhadap avaskularitas kornea, termasuk pigment ephithelium-derived
factor (PEDF), trombospondin, dan pengikatan reseptor dan inaktivasi
faktor pertumbuhan angiogenik seperti vascular endothelial growth factor
5,6,10,11
(VEGF).
Kornea juga telah mengembangkan strategi untuk meminimalkan
reaksi peradangan, sebuah fenomena yang disebut "corneal immune
privilage". Misalnya, tidak adanya pembuluh darah dan getah bening.
Mekanisme molekuler immune privilage mirip dengan yang memediasi
avaskularisasi, misalnya, trombospondin-1 terlibat dalam kedua proses. Sel
epitel dan stroma kornea mensekresi faktor-faktor yang dapat larut,
termasuk VEGFR-2 dan endostatin, yang menghambat limfangiogenesis
dan hemangiogenesis, sehingga mempertahankan immune privilage.
Endotelium kornea juga mengekspresikan molekul yang terikat membran,
seperti Fas ligand (FasL), yang bertahan melawan sel-sel efektor imun
5,6,8
termasuk sel T dan komponen kaskade komplemen.
36

3.2. Ulkus Kornea


3.2.1. Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif
disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea yang
dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Terbentuknya ulkus kornea
disebabkan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan
sel radang.1, 11-13

3.2.2. Patofisiologi
Ulserasi kornea terjadi karena respons seluler dan imunologis host
terhadap agen penyebab yang dapat berupa bakteri, virus, jamur, atau
protozoa. Terkadang dapat berupa ulserasi kornea steril, yang dapat terjadi
karena penyakit jaringan sistemik dermatologis atau penyakit jaringan ikat,
dan luka kimia atau thermal. Respons seluler inang terutama bertanggung
jawab atas kerusakan kornea pada kornea melting karena infeksi maupun
yang steril. Dalam semua kasus, melting stroma didahului oleh defek epitel
kornea. Ulserasi terjadi sekunder akibat kolagenase jaringan. Sel-sel
polimorfonuklear (PMN) disekresikan sebagai respons terhadap defek
kornea, yang mensekresi berbagai enzim litik seperti kolagenase, elastase
dan katepsin yang menyebabkan kerusakan kornea. Secara bersamaan,
fibroblas reaktif, mensintesis kolagen dan menyebabkan perbaikan

kornea.1, 11-13
Kornea bagian mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses
infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian.
Badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan
dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi
perikornea. Selanjutnya terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel
plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang mengakibatkan timbulnya
infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas
37

tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel
dan kemudian timbul ulkus kornea. 1, 11,12

3.2.3. Manifestasi klinis


Gejala klinis ulkus kornea secara umum dapat berupa gejala
subjektif dan objektif. Gejala subjektif yang dijumpai berupa eritema pada
kelopak mata dan konjungtiva, sekret mukopurulen, merasa seperti ada
benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair, bintik putih pada
kornea sesuai lokasi ulkus, silau, nyeri. Gejala objektif berupa injeksi silier,
hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat, hipopion.1-4 Ulkus kornea
yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah
perluasan ulkus dan komplikasi seperti descemetocele, perforasi,
endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan jaringan parut kornea. 1, 11-12

3.2.4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan slit lamp serta
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit
kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing,
abrasi, adanya riwayat penyakit kornea misalnya keratitis akibat infeksi
virus herpes simpleks yang sering kambuh. Hendaknya ditanyakan pula
riwayat pemakaian obat topical oleh pasien seperti kortikosteroid yang
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis
herpes simpleks.11,12,14
Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya
injeksi siliar, edema kornea, infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai
adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai
dengan hipopion. Di samping itu juga diperlukan pemeriksaan pewarnaan
kornea dengan zat fluorosens dan scrapping untuk analisa atau kultur
(pulasan gram, giemsa atau KOH).1-4,11 Gambaran klinis tidak dapat
38

digunakan untuk membuat diagnosa etiologi secara spesifik sehingga


diperlukan pemeriksaan mikrobiologik sebelum diberikan pengobatan
empirik dengan antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat
ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu. 1, 11,12

3.2.5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ulkus kornea adalah eradikasi penyebab
dari ulkus kornea, menekan reaksi peradangan sehingga tidak
memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek
epitel, mengatasi komplikasi serta memperbaiki tajam penglihatan.
Penatalaksanaan yang diberikan dapat berupa non-medikamentosa dan
medikamentosa. Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji
sensitivitas mikroorganisme penyebab. Ulkus kornea yang luas
memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea
bersifat avaskuler. Penyembuhan yang lama mungkin juga mempengaruhi
ketaatan penggunaan obat. 1, 11-13
Penatalaksanaan medikamentosa yang dapat diberikan berupa
antimikrobial yaitu antibiotik, anti jamur, antiviral atau antiacanthamoeba.
Obat-obatan lain yang dapat diberikan yaitu sulfas atropin sebagai sedative,
dekongestif dan menyebabkan paralisis m. siliaris dan m. konstriktor pupil.
Obat lain yang dapat diberikan yaitu analgetik untuk menghilangkan rasa
sakit. 1, 11-13
Selain itu dapat pula dilakukan tindakan bedah untuk mengobati
ulkus kornea. Pentalaksanaan bedah antara lain flap konjungtiva, amnion
graft, periosteal graft dan tindakan definitif berupa keratoplasti. Keratoplasti
merupakan jalan terakhir bila tindakan bedah yang lain tidak berhasil. 1, 11,12

3.2.6. Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan
cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme
39

penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang
luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama karena jaringan kornea
bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya
mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya
menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga dipengaruhi
ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini apabila tidak ada ketaatan
penggunaan obat yang terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat
menimbulkan resistensi. 1, 11,12

3.3. Keratoplasti
Penetrating keratoplasti (PK) merupakan tindakan yang
diindikasikan untuk beberapa kelainan kornea dengan derajat keparahan
yang tinggi seperti keratokonus, distropi, penipisan atau terbentuknya
jaringan parut yang luas ataupun trauma. Transplantasi kornea adalah
prosedur pembedahan di mana kornea yang rusak atau berpenyakit
digantikan oleh jaringan kornea sumbangan. Dengan prosedur tradisional,
dokter mata menghilangkan kornea mata dari donor menggunakan pisau
trephine kecil, instrumen bedah khusus. Kornea baru kemudian ditanamkan
dalam mata pasien melalui proses yang sama dengan jahitan kecil untuk
mempertahankan kornea baru di tempatnya.1,17
PK memiliki angka kesuksesan sebesar 90 % pada 5 tahun pertama
graft, dan 53% pada re-graft. Kondisi avaskular dan imunologi pada kornea
membantu dalam keberhasilan dalam transplantasi dibandingkan dengan
tranplantasi pada organ lainnya. Pengulangan graft, ukuran graft,
glaukoma, infeksi dan gangguan permukaan okuli meningkatkan kegagalan
pada transplantasi. 1,14,15
Indikasi
1. Optik, Indikasi ini digunakan pada kasus sikatriks kornea pasca
keratitis atau trauma, keratopati bulosa, keratokonus, serta distrofi dan
degenerasi kornea untuk meningkat visus
2. Tektonik, yang bertujuan untuk preservasi dan restorasi struktur
40

anatomi kornea, seperti pada mata dengan penipisan kornea, ulkus


kornea dengan descemetokel maupun perforasi kornea, corneal melt
pada trauma kimia atau rheumatoid vaskulitis berat.
3. Terapeutik, dengan tujuan menghilangkan jaringan infeksi dan
menurunkan rasa nyeri,seperti pada kasus ulkus kornea progresif
yang tidak berespons hanya dengan pengobatan medikamentosa,
serta ulkus kornea luas terutama yang terus progresif ke arah limbus
maupun sklera.
4. Kosmetik, pada mata dengan potensi visual yang rendah.

Keratoplasti dapat dilakukan dengan beberapa teknik tergantung


tujuannya dan indikasi dari tindakannya : 14-19
1. Full thickness (Penetrating) grafts
Kornea fullthickness/utuh dicangkok ke resipien. Tergantung dari
kasusnya, maka tujuan PK bisa untuk kosmetic, terapeutik, atau untuk
optikal Sebuah trephine (perangkat pemotong berbentuk melingkar)
yang digunakan oleh ahli bedah untuk memotong kornea donor, untuk
memotong disc sirkular dari kornea. Sebuah trephine kedua kemudian
digunakan untuk memotong bagian berukuran serupa dari kornea
pasien. Jaringan donor kemudian dijahit di tempat dengan jahitan.
2. Partial thickness grafts (Deep Lamellar)
Dalam prosedur ini, lapisan anterior dari kornea sentral akan
dihilangkan dan diganti dengan jaringan donor. Sel endotel dan
membran Descemets disisakan di tempatnya semula. Teknik ini
digunakan dalam kasus-kasus opasifikasi kornea anterior, bekas luka,
dan penyakit ectatic seperti keratoconus. Deep anterior lamellar
keratoplasty (DALK) adalah kornea graft ketebalan parsial, yang
digunakan di mata, di mana patologi hanya terbatas pada lapisan
anterior kornea, misalnya luka Superficial kornea dan beberapa
gangguan bawaan atau perkembangan seperti dystrophies epitel dan
stroma. Keuntungan dari teknik ini dibandingkan teknik ketebalan
41

penuh 'konvensional' adalah: jahitan lebih sedikit, rehabilitasi lebih


cepat, kurangnya penggunaan obat, hampir tidak ada kemungkinan
penolakan graft dan luka lebih aman.Partial thickness grafts
(Endothelial Lamellar) Mengganti endotelium pasien dengan disc
transplantasi dari stroma posterior / Descements/endotelium (DSEK)
atau Descemets/endotelium (DMEK). Prosedur ini relatif baru dan
telah merevolusi pengobatan gangguan dari lapisan paling dalam dari
kornea (endotelium). Tidak seperti transplantasi kornea penetrasi,
operasi dapat dilakukan dengan satu atau tanpa jahitan. Pasien dapat
pulih penglihatan fungsionalnya dalam hitungan minggu,
dibandingkan sampai satu tahun dengan transplantasi
penetrasi.Selama operasi, endothelium kornea pasien akan
dihilangkan dan diganti dengan jaringan donor. Dengan DSEK, yang
didonorkan termasuk lapisan tipis stroma, serta endotelium, dan
umumnya 100-150 mikron tebalnya. Dengan DMEK hanya endotelium
saja yang ditransplantasikan. Segera pada pada periode pasca
operasi jaringan donor dipertahankan di posisinya dengan gelembung
udara ditempatkan di dalam mata (ruang anterior). Jaringan tersebut
dengan sendirinya akan melekat dalam waktu yang singkat dan udara
diserap ke dalam jaringan sekitarnya. Komplikasi termasuk
displacement dari jaringan donor sehingga memerlukan reposisi
('refloating'). Hal ini lebih umum pada DMEK dibandingkan DSEK.
Lipatan dalam jaringan donor dapat mengurangi kualitas perbaikan
visi yang membutuhkan perbaikan segera. Penolakan dari jaringan
donor mungkin memerlukan pengulangan prosedur. Pengurangan
bertahap dari kepadatan sel endothelial dari waktu ke waktu dapat
menyebabkan hilangnya kejelasan dan membutuhkan pengulangan
prosedur.Pasien dengan transplantasi endotel sering mencapai
penglihatan terkoreksi terbaik dalam kisaran 20/30 ke 20/40,
meskipun beberapa mencapai 20/20. Penyimpangan optik pada
pertemuan graft/host dapat membatasi visi di bawah 20/20. 14-29
42

3.3.1. Syarat Untuk Menjadi Donor dan Penerima Donor.15,20


Terdapat beberapa indikasi dan prasyarat untuk menjadi donor
maupun resipien pada proses transplantasi kornea. Bank mata menetapkan
prioritas penerima donor kornea mata. Biasanya diprioritaskan bagi mereka
yang masih produktif dan masih muda. Dengan keterbatasan tadi setelah
dilakukan transplantasi kornea, maka kinerja mereka akan kembali seperti
semula atau meningkat.
Syarat Pendonor Mata
1. Sudah di atas 17 tahun dan ikhlas tanpa paksaan dari pihak lain
2. Disetujui keluarga / ahli waris
3. Kornea calon donor jernih
4. Tidak menderita penyakit: Hepatitis, HIV, Tumor mata, Septikhemia,
Sipilis, Glaukoma, Leukimia, serta tumor-tumor yang menyebar
seperti: kanker payudara dan kanker leher rahim.
5. Penyebab dan waktu kematian diketahui.
6. Mata harus diambil kurang dari 6 jam setelah meninggal dunia

7. Endothelial vitality Minimal 2000/mm2

8. To preserve clarity: 850/mm2


9. Kornea donor harus digunakan dalam waktu kurang dari 2 x 24 jam
untuk tingkat keberhasilan lebih baik
10. Kornea donor diawetkan dengan: Pendinginan, gliserin anhidrat,
ruang lembab, media kultur, McKaufmann medium, atau pengawetan
krio
11. Diketahui kapan dan penyebab kematian.

Syarat Penerima Donor Mata


1. Letak kerusakan kornea dibagian tengah.
2. Tidak ada bentukan pembuluh darah.
3. Relatif dalam keadaan tenang.
4. Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan
lain di dalam bola mata.
43

5. Tekanan bola mata normal.


6. Kondisi air mata dan selaput lendir (konjungtiva) relatifnormal.

3.3.2. Teknik Operasi Penetrating Keratoplasty


1. Persiapan Donor Kornea
Donor kornea dipersiapkan dengan cara melaukan trepinasi. Pada
tahapan ini korneoskleral donor di letakkan pada sentral, endothelial
meghadap ke atas pda bagian cekung dari alat trepin. Mata pisau yang
tajam secara vertical ditekan pada kornea donor mengikuti alur petunjuk
pada alat.pada teknologi femtosecond laser kita dapat membuat potongan
pda donor lebih bervariasi seperti, mushroom- shaped, shaped side
incision, top-hat configuration atapun zigzag. Penggunaan potongan seperti
ini mempermudah dalam prose peyembuhan, pengangkatan jahitan yang
1,14,20
lebih cepat dan penempelan jaringan yang lebih kuat dan stabil.
Kebanyakan ahli bedah memotong donor 0,25-0,5 mm lebih besar
daripada kornea resipien. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya
postoperative glaukoma, meningkatkan kerapatan penutupan luka,
mencegah terjadinya sinekia anterior dan kornea flatteing, serta
1,14,20
memberikan sel-sel endotel lebih banyak pada kornea resipien.

2. Persiapan pada Mata Resipien


Pada mata resipien penggunaan Handheld trepin masih menjad
pilihan utama karena ini memberikan kemudahan dan harga yang lebih
murah. Akan teetapi hal ini mungkin meneybabkan ireguleritas pada kornea
resipien. Trepin vacuum meningkatkan akurasi dari konsistensi dari
pemotongan, akan tetapi menguragi visualisasi dari operator dan
memerlukan keterampilan lebih. Femtosecond laser dapat juga digunak
untuk memotong ornea resipien akan tetapi hal ini memiliki akses yang sulit
14
dan meningkatkan cost dari tindakan.
44

Setelah pemotongan selesai, kornea donor diletakkan pada mata


resipien dengan endotel menghadap ke bawah. Dan diberikan viscouelastis
14,20
untuk melindungi kerusakan dari endotel selama proses operasi.

3. Teknik penjahitan
Kornea donor dan resipien diawali dengan 4 buah jahitan utama.
Jahitan utama yang kedua merupakan jahitan yang paling penting karena
dapat menyebabkan astigmat bila tidak dijahitkan dengan tepat. Penutupan
luka secara sempurna dilakukan dengan menggunakan jahitan interuptus,
continues suture, atau kombinasi keduanya.banyak variable yang dapat
menyebabkan astigmatisme, akan tetapi kunci untuk menghindari astigmat
pada pejahitan adalah dengan cara menhindari tegangan dan distorsi
tehadap jaringan, anterior wound override, dan dan posterior wound
gap.14,20
Variasi dari jahitan tergantung dari keadaan klinis dan preferensi dari
operator. Kornea yang memiliki banyak vaskularisasi, inflamsi, atau tipis
cenderung tidak terprediksi kapan terjadi penyembuhan. Jahitan interuptus
biasanya 16 – 24 jahitan adalah teknik yang tepat untuk tipe kornea yang
seperti ini, termasuk untk keratoplasti pada anak-anak, dimana proses
peyembuhan luka berlangsung cepat. Jika terjadi penarikan karena
pembuluh darah maupun kendor karena kontraksi dari luka, jahitan dapat
dibuka secara selektif. Pada kornea yagn tidak terdapat vaskularisasi,
inflamasi maupun penipisan kombinasi jahitan interuptus dan kontinnyu
dapat digunakan. Jika di jahitkan dengan teapt, jahitan kontinyu dapat
mendistribusikan tegangan lebih baik pada luka. Keunggulan dari jahitan
kontinyu adalah kemampuan untuk pengaturan jahitan intraopertif ataupun
post operatif menggunakan keratometer, dan mudah dalam pengangkatan
jahitan setela. Dan kekurangannya adalah longgar pada daerah-daerah
1,14,20
tertentu, atau vheese wiring, I yang berdampak pada seluruh jahitan.
45

Gambar 2. Teknik jahitan kombinasi interuptus dan kontinyu pada keratoplasti dikutip dari
: Eksternal disease and cornea, Section 8, AAO 2019-2020.

4. Komplikasi Intraoperatif.
Komplikasi yang dapat terjadi selama keratoplasti antaralain
sebagai berikut:
a. Kerusakan lensa dan/atau iris dari trepin, gunting, atau instrument
lain
b. Ireguler trepinasi
c. Inadequate vitrektomi sehingga vitreus menempel pada endotel
graft
d. Perdarahan yang banyak karena luka iris ataupun tepi luka pada
kornea yang banyak vaskularisasi
e. Perdarahan koroid dan effuse
f. Inkarserata iris pada luka
g. Kerusakan pada endothelial donor saat trepinasi atau handling

5. Perawatan Postoperatif
Keberhasilan jangka pajang dari keratoplasti tergantung dari kualitas
perawatan postoperative. Perawatan rutin postoperatif sepert antibiotic
topical, tapering kortikosteroid topical, dan kunjungan rutin adalah cara
langsung untuk mengetahui secara dini bila terjadi komplikasi setelah
keratoplasti, dan mengoptimalkan penyembuhan luka postoperative serta
rehabilitasi pengelihtan yang cepat.
46

Bila perawatan postoperative tidak dilakukan dengan benar, maka


dapt terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan keratoplasti tersebut
gaga. Kompliasi yang dapat terjadi setelah keratoplasti antara lain
a. Kebocoran dari luka operasi
b. Bilik mata dangkal atau inkarserasi iris pada luka
c. Glaukoma
d. Endoftalmitis
e. Primary endothelial failure
f. Persistan Epitelial defect
g. Rekurensi dari penyakit primer
h. Gangguan yang disebabkan dari jahitan
i. Microbial keratitis

Gambar 3. Endothelial failure pada keratoplasti dikutip dari : Eksternal eye disease and
cornea, Section 8, AAO 2014-2015.

6. Rejeksi dan Kegagalan Transplantasi Kornea


Istilah rejeksi dipakai untuk keadaan respon imunologi resipien
terhadap kornea donor. Rejeksi harus dibedakan dengan kegagalan graft
yang tidak dimediasi imun, seperti kegagalan graft donor primer. Diagnosis
rejeksi ditegakkan bila terdapat periode graft yang jernih selama minimal 2
minggu setelah keratoplasti. Beberapa keluhan yang timbul adalah
penurunan visus, mata merah, nyeri, iritasi dan fotofobia. Gejala yang timbul
tergantung pada keparahan rejeksi. Beberapa pasien yang mengalami
rejeksi tidak megalami gejala (asimptomatik). Insidens rejeksi paling tinggi
47

pada 1,5 tahun pertama setelah transplantasi namun dilaporkan pula dapat
14-20
terjadi setelah 20 tahun.
Tanda klinis terjadinya rejeksi antara lain edema kornea, keratic
presipitat (KP) pada graft kornea namun tidak pada kornea perifer resipien,
14-20
vaskularisasi kornea, infiltrat stroma, infiltrat subepitelial.
a. Graft Rejection
Tindakan operasi untuk mengganti kornea resipien yang sakit
dengan kornea donor yang sehat kadang-kadang mengalami
kegagalan oleh adanya reaksi penolakan dari resipien terhadap
kornea donor. Reaksi ini dapat terjadi paling awal 2 atau 3 minggu
sampai beberapa tahun pasca bedah. Diagnosis reaksi penolakan
ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut: pengurangan visus, mata
merah, rasa yang tidak enak di mata dan silau. Pada pemeriksaan
terdapat injeksi perikornea graft yang udem, flare positif. Angka
keberhasilan pencangkokan kornea tinggi, karena kornea yang
avaskuler dan di kornea tidak ada saluran limfe. Kalau hal ini terdapat
kemudahan peningkatan reaksi imunologik maka akan menimbulkan
reaksi tipe IV, yang berupa reaksi penolakan.2,13,14
b. Faktor Risiko
Banyak bukti klinis yang mengindikasikan bahwa beberapa
mekanisme dan kompleks imum dapat memicu corneal allograft
rejection. Corneal graft rejection merupakan proses yang bergantung
pada respon sel T. Dalam bentuk percobaan, faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya penolakan termasuk:` Ada beberapa faktor


risiko terjadinya reaksi penolakan graft, yaitu: Adanya vaskularisasi di
lapisan basal penerima kornea. Hal ini adalah satu-satunya faktor
yang berhubungan dengan peningkatan insidensi dari reaksi
penolakan. Hal ini diyakini akibat hilangnya peran penting imun kornea
yang normalnya avaskular.13,14,17
 Graft yang besar
48

 Incompability HLA-A, HLA-B dan ABO


 Riwayat rejection sebelumnya
 Bilateral keratoplasty
 Adanya epitelium pada transplant donor
 Memiliki riwayat atopic dermatitis, allergy dan asma
BAB IV
DISKUSI

Pasien seorang laki laki usia 46 tahun asal dari luar kota datang
dengan keluhan timbul bintik putih di mata kiri sejak 7 bulan yang lalu pada
anamnesis didapatkan sejak 7 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul
bintik putih pada mata kiri setelah terkena pelantingan kayu, mata merah
dan terasa kabur (+), berair-air (+), kotoran mata (+), silau (+), pasien
mengucek mata dan mencuci mata dengan air daun sirih, keluhan tidak
membaik.
5 bulan yang lalu, pasien merasakan bintik putih di hitam mata kiri
dirasakan makin besar, mata kiri kabur dan merah, dirasakan juga nyeri
pada mata kiri, mata merah (+), berair-air (+) dan silau (+), keluar cairan
seperti putih telur disangkal.
Pada pemeriksaan oftalmologi di dapatkan visus penderita pada mata
kiri 1/ tak hingga dengan proyeksi sinar salah dengan tekanan intraokuler
meningkat. Pada pemeriksaan segmen anterior tampak pada konjungtiva
terdapat mixed injeksi (+) dan pada kornea didapatlan tampak defek
bergaung di sentral ukuran 7 x 4 mm , FT (+) dengan ketebalan >2/3 stroma,
didapatkan desmetocele dan seidel test negatif. BMD, iris, pupil, lensa sulit
dinilai dan segmen posterior yang belum bisa dinilai.
Pada pemeriksaan scrapping dan kultur mikrobiologi didapatkan hasil
dari pemeriksaan kotoran mata pada pasien ini yaitu gram (+), coccus (+)
dengan jenis kuman streptococcus lugdunensis.
Dari anamnesis serta pemeriksaan oftalmologis dapat disimpulkan
bahwa pasien di diagnosis dengan ulkus kornea sentral mata kiri yang
disebabkan infeksi bakteri, didapatkan hasil pemeriksaan seidel test yang
negatif menandakan belum terjadinya perforasi pada pasien ini lalu
dilakukan penatalaksanaan untuk menutup ulkusnya sementara dengan
teknik periosteal graft.

49
50

Periosteal graft pada kornea merupakan salah satu tindakan bedah


yang dilakukan untuk menjaga integritas dari bola mata. Pada kasus-kasus
yang menyebabkan disintegritas dari bola mata, seperti perforasi kornea
maupun prolaps isi bola mata. Pada penderita ini periosteal graft dilakukan
dikarenakan terjadinya impending perforasi kornea mata yang disebabkan
ulkus kornea central, periosteal graft juga diharapkan bisa membantu
penyembuhan dari ulkus kornea.
Metode amnion graft tidak dipilih dikarenakan secara histologi
membran amnion memiliki tebal antara 0.02-0.5 mm yang artinya amnion
graft ini sangat tipis dan diindikasikan untuk menatalaksana ulkus dengan
defek epitel yang persisten, sedangkan pada kasus ini ulkus sudah
mencapai lebih dari 2/3 stroma dan disertai dengan desmetocele. Setelah
dilakukan evaluasi selama 6 bulan post periosteal graft diputuskan untuk
dilakukan tindakan keratoplasti untuk menggantikan jaringan kornea yang
telah rusak sekaligus untuk memperbaiki visus pasien.
Penetrating keratoplasti (PK) merupakan tindakan yang diindikasikan
untuk beberapa kelainan kornea dengan derajat keparahan yang tinggi
seperti keratokonus, distropi, penipisan atau terbentuknya jaringan parut
yang luas ataupun trauma.21 Pada kasus pasien ini dikarenakan defek ulkus
sudah mencapai 8 x 7 mm, > 2/3 stroma dan telah terdapat desmetocele
tidak mungkin dilakukan teknik lain selain mengganti semua lapisan kornea
dengan teknik penetrating keratoplasti.
Variasi dari jahitan tergantung dari keadaan klinis dan preferensi dari
operator. Kornea yang memiliki banyak vaskularisasi, inflamasi, atau tipis
cenderung tidak terprediksi kapan terjadi penyembuhan. Jahitan interuptus
biasanya 16 – 24 jahitan adalah teknik yang tepat untuk tipe kornea yang
seperti ini. Oleh karena itu pada pasien ini dilakukan jahitan interuptus,
dikarenakan sudah banyaknya vaskularisasi pada jaringan kornea dan
sekitarnya. Jika terjadi penarikan karena pembuluh darah maupun kendor
karena kontraksi dari luka, jahitan dapat dibuka secara selektif.
51

Setelah tindakan keratopati dilakukan, perlu dilakukan follow up


secara komprehensif untuk menilai keberhasilan dari tindakan keratoplasti
tersebut. Dari hasil follow up di dapatkan jaringan kornea donor menyatu
dengan baik pada kornea resipien. Tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi
pada pasien.
Penetrating Keratoplasty memiliki angka kesuksesan sebesar 90 %
pada 5 tahun pertama graft, dan 53% pada re-graft. Kondisi avaskular dan
imunologi pada kornea membantu dalam keberhasilan dalam transplantasi
dibandingkan dengan tranplantasi pada organ lainnya. Pengulangan graft,
ukuran graft, glaukoma, infeksi dan gangguan permukaan okuli
meningkatkan kegagalan pada transplantasi.21
Pada pasien didapatkan bahwa terjadi perbaikan visus yang
sebelumnya 1 per tak terhingga proyeksi sinar salah menjadi 1/300 tetapi
tidak lebih dari itu, yang berarti terdapat perbaikan visus pada pasien. Dan
pada pemerikasaan kornea didapatkan bahwa kornea tampak jernih. Hal ini
menandakan terjadinya peyatuan antara kornea resipien dan donor.
Peningkatan visus yang hanya sampai 1/300 di duga dari kekeruhan yang
terjadi pada lensa pasien berupa katarak komplikata yang terjadi pada
pasien ini. Diharapkan setelah ektraksi dari katarak pada pasien ini, visus
pasien dapat lebih baik.
Keberhasilan jangka pajang dari keratoplasti tergantung dari kualitas
perawatan postoperative. Perawatan rutin postoperatif sepert antibiotik
topical, tapering kortikosteroid topical, dan kunjungan rutin adalah cara
langsung untuk mengetahui secara dini bila terjadi komplikasi setelah
keratoplasti, dan mengoptimalkan penyembuhan luka postoperative serta
rehabilitasi pengelihtan yang cepat.
Prognosis pada pasien ini quo ad functionam adalah dubia malam, hal
ini dikarenakan kita belum bisa menilai bagaimana kondisi segmen
posterior pasien, selain itu pasien juga terdapat riwayat operasi periosteal
yang cukup lama di tambah lagi terdapat katarak komplikata pada pasien
ini.
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus tatalaksana ulkus kornea yang


disebabkan oleh bakteri dengan manajemen periosteal graft dan dilanjutkan
dengan keratoplasti. Pada laki-laki usia 46 tahun. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan dari anamnesis, dan pemriksaan oftalmologis. Anamnesis
mengenai ulkus kornea yang telah diderita sejak 7 bulan yang lalu dan
dilanjutkan dengan penanganan menggunakan periosteal graft setelah 6
bulan pemasangan periosteal graft pada pasien ini dilanjutkan dengan
keratoplasti.
Dapat disimpulkan bahwa tindakan keratoplasti yang dilakukan pada
pasien dengan periosteal graft masih dapat dilakukan selama masih
terdapat bagian kornea yang tersisa. Dan tindakan keratoplasti ini juga
dapat memperbaiki visus pada pasien dan memperbaiki estetika pasien.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Weisenthal, et al. External eye disease and cornea. American Academy


of Ophthalmology : Section 8. San Francisco: 2020-2021
2. Khurana, A K. Diseases of the Cornea.
Comprehensive Ophthalmology : sixth edition. Rohtak : 2017.
3. Kanski JJ. Disorders of the eyelids. Kanski Clinical Ophthalmology. 4th
ed. Oxford: Butterworth-Heinemann; 2019.
4. Sharma, N. Corneal Ulcers Diagnosis and Management, New Delhi
India 2015.
5. Louis B Cantor et al. Fundamentals and Principles of Ophthalmology.
American Academy of Ophthalmology. 2020-2021.
6. Vajpayee R B, et al. Corneal Transplantation,2nd edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2016.
7. Hjortdal Jesper. Corneal transplantation. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016
8. Holland EJ, Mannis MJ, Lee WB. Ocular Surface Disease : Cornea,
Conjungtiva, and Tear film. Elsevier Inc : 2013.
9. Krachmer, Mannis, Holand, et al. Cornea : 3rd edition. 2011.
10. Armitage W, Goodchild C, Griffin M, Gunn D, Hjortdal J, Lohan P et al.
High-risk Corneal Transplantation: Recent Developments and Future
Possibilities. Transplantation. 2019;103(12):2468-2478.
11. Austin A, Lietman T, Jennifer Rose-Nussbaumer. Update on the
Management of Infectious Keratitis. American Academy of
Ophthalmology. 2017; 124(11): 1678-1689.
12. Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014.
13. Jhanji V1, Young AL, Mehta JS, Sharma N, Agarwal T, Vajpayee RB.
Management of corneal perforation. Survey of Ophthalmology. 2018;
56(6): 522–538
14. Bhatti N, Zaman Y, Mahar PS. Outcome of penetrating keratoplasty

53
54

from a corneal unit in pakistan. Pak J Ophtalmol 2009; 25(3):152-159


15. Profil bank mata. www.indonesiaeyebank.org
16. Dapena I, Dapena L, Dirisamer M, et al. Visual acuity and endothelial
cell density following Descemet membrane endothelial keratoplasty.
Archivos de la Sociedad Española de Oftalmología. 2012
17. Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ. Cornea. Fundamental, diagnosis
and management. 2010.
18. Marcus Ang, Jodhbir S. Mehta, Chelvin C.A. Sng, Hla Myint Htoon,
Donald T.H. Tan. Indications, Outcomes, and Risk Factors for Failure in
Tectonic Keratoplasty. Ophthalmology 2012;119:1311–1319
19. Arenas E, Esquenazi S, Anwar M, Terry M. Lamellar corneal
transplantation. Surv Ophthalmol 2012;57:510-29
20. Karimian, Farid, and Sepehr Feizi. "Deep anterior lamellar keratoplasty:
indications, surgical techniques and complications." Middle East African
Journal of Ophthalmology 17.1 (2010): 28.
21. Derek W delmonte, Terry Kim MD. Anatomy and physiology of the
cornea from Journal Catarac and Refractive Surgery March 2011
volume 3

Anda mungkin juga menyukai