Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT DOKTER MUDA

PTERYGIUM

Oleh :
Sekar Afifah Priandhini
011923143131

Pembimbing:
M. Nurdin Zuhri, dr., Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA
2021
ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2
2.1 Anatomi Konjungtiva................................................................................................2
2.2 Definisi Pterygium....................................................................................................3
2.3 Epidemiologi.............................................................................................................3
2.4 Patofisiologi..............................................................................................................4
2.5 Faktor Risiko.............................................................................................................4
2.6 Klasifikasi..................................................................................................................5
2.7 Gejala Klinis..............................................................................................................6
2.8 Penegakan Diagnosis.................................................................................................6
2.9 Diagnosis Banding....................................................................................................7
2.10 Tatalaksana..............................................................................................................9
2.11 Komplikasi............................................................................................................10
2.12 Prognosis...............................................................................................................11
BAB 3 LAPORAN KASUS..............................................................................................12
BAB 4 PEMBAHASAN....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................19

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Pterygium merupakan penyakit mata bagian eksternal yang umum terjadi


dengan prevalensi antara 0,7%-33% secara global.(1) Pterygium dapat
menyebabkan terjadinya astigmatisme serta menimbulkan gangguan lain seperti
menurunnya tajam penglihatan, iritasi kronik, inflamasi rekuren, penglihatan
ganda, serta gangguan pergerakan bola mata. Pterygium berpotensi menyebabkan
kebutaan dan mengganggu kosmetik, pada stadium lanjut memerlukan tindakan
operasi untuk perbaikan visus. Pertumbuhan pterygium dipengaruhi oleh faktor-
faktor risiko, penyebab dan distribusi penyakit yang berguna untuk memberikan
strategi yang tepat dalam pencegahan terjadinya pterygium. (2)
Indonesia merupakan negara tropis pada daerah dengan curah sinar matahari
yang tinggi sehingga menyebabkan paparan sinar ultraviolet tinggi, hal itu dapat
menjadi faktor risiko paling sering pada terjadinya pterygium. Terlebih lagi,
mayoritas matapencaharian masyarakat Indonesia menengah ke bawah sebagian
besar bekerja di bawah terik matahari seperti petani, nelayan, dan kuli serta
memiliki riwayat pendidikan rendah. Berdasarkan riset kesehatan dasar
masyarakat (Riskesdas 2013), prevalensi pterygium di Indonesia sebesar 8,3%.
Pterygium juga banyak ditemukan lebih tinggi pada laki-laki.
Oleh karena itu melalui laporan kasus mengenai pterygium ini dokter muda
yang nantinya sebagai dokter umum diharapkan mendalami kasus mengenai
salah satu penyakit pada sistem penglihatan yang sering terjadi terutama di
negara tropis Indonesia, agar nantinya saat mendapatkan pasien pterygium,
dokter muda siap dalam mengenali tanda dan gejala, menegakkan diagnosis
hingga memberikan terapi dan edukasi terhadap masyarakat agar mengurangi
angka rekuren serta kecacatan lebih lanjut.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjugtiva


Mata memungkinkan kita untuk melihat dan memahami bentuk, warnam dan
dimensi objek dengan memproses sinar yang direfleksikan atau dipancarkannya.
Mata mampu menderteksi cahaya terang atau cahaya redup, mata merupakan
struktur yang komplek yang dirancang untuk menyatukan sejumlah informasi
yang signifikanyang berhubungan dengan lingkungan.
Konjungtiva merupakan salah satu komponen indera penglihatan yang
menyusun mata. Konjungtiva menyediakan proteksi dan lubrikasi dengan
memproduksi mucus dan air mata. Konjungtiva mencegah masuknya mikroba ke
dalam mata dan memainkan peran sebagai kekebalan. Konjungtiva berada di
dalam kelopak mata dan menutupi sklera, memiliki banyak vaskuler dan rumah
bagi pembuluh limfatik. Konjungtiva dapat dibagi menjadi tiga bagian:
konjungtiva palpebral atau tarsal, konjungtiva bulbar atau ocular, dan
konjungtiva fornix. (3)
Permukaan dari mata terpapar oleh dunia luar yang menjadikannya rentan
dengan banyak penyakit dan gangguan, seperti mata kering, reaksi alergi, iritasi
kimia, trauma dan infeksi. Banyak penyakit sistemik yang menyebabkan iritasi
pada konjungtiva, sickle-cell anemia, DM tipe 2, hipertensi, oklusi arteri karotis,
dan leptospirosis hanyalah merupakan beberapa penyakit dari banyaknya
penyakit yang menyebabkan berubahnya suplai darah atau struktur dari
konjungtiva. (3)
Konjungtiva bulbar dapat diperiksa dengan slit lamp dengan meminta pasien
untuk melihat ke arah hidung untuk memeriksa konjungtiva temporal dan melihat
ke arah temporal untuk memriksa konjungtiva nasal. Bagian superior dan inferior
dari konjungtiva bulbar dapat diperiksa dengan membuka kelopak mata secara
lembut sambal pasien melihat ke atas atau bawah. Konjungtiva palpebra dan
forniks akan lebih sulit diperiksa namun bisa menggunakan cotton bud untuk

2
membalik kelopak. Konjungtiva juga dapat diperiksa secara klinis dengan zat
warna menggunakan slit lamp oleh oftalmologis yang terlatih. Jumlah yang kecil
dari zat warna fluorescein diaplikasikan ke permukaan okuler dan cahaya dengan
filter biru digunakan untuk mendeteksi area yang menyerap zat warna, yang
mana mengindikasikan kerusakan epitelium. (3)

2.2 Definisi Pterigium


Pterygium atau dalam bentuk pluralnya disebut pterygia merupakan jaringan
fibrovascular berbentuk segitiga (triangular) yang bertumbuh ke dalam subepitel
dari jaringan konjungtiva bulbar yang merambat ke limbus hingga ke kornea.
Pterygium umumnya timbul pada pasien yang tinggal di negara-negara dengan
paparan sinar ultraviolet yang tinggi dari matahari dan faktor lain seperti mata
yang kering. Kondisi ini cenderung akan bersifat turun-temurun. (4)

Gambar 1 Pterygium (The Wills Eye Manual 7th Edition)

Pada awalnya pterygium disebut sebagai ‘ophthalmoheliosis’ yang artinya


kondisi yang berhubungan dekat dengan paparan cahaya matahari yang
menyebabkan pertumbuhan jaringan fibrovascular pada permukaan okuler. (5)

2.3 Epidemiologi
Meskipun pterygium terjadi di penjuru dunia, prevalensi pterygium tinggi
pada “pterygium belt” yang terletak di antara 30 derajat utara dan 30 derajat
selatan dari garis ekuator. Prevalensi pterygium dilaporkan sebanyak 3% di

3
Australia, 23% pada ras hitam di Amerika Serikat, 15% di Tibet, 18% di
Mongolia, 30% di Jepang dan 7% pada ras tionghoa dan india di Singapur.
Berdasarkan penelitian dari India, prevalensi pterygium meningkat dari 6,7
±0.8% pada kelompok usia 30-39 tahun hingga 25.3±2.1% pada kelompok usia
70-79 tahun. (6)
Negara Indonesia sendiri merupakan negara yang berada di pterygium belt
tersebut. Prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3% dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), Maluku (18,0%), dan Nusa Tenggara Barat
(17,0%). Daerah dengan prevalensi pterygium terendah justru pada provinsi DKI
Jakarta dengan prevalensi sekitar 3,7% diikuti oleh Banten (3,9%). Data
prevalensi pterygium nasional tahun 2013 menunjukkan bahwa pterygium
merupakan salah satu penyakit kelainan konjungtiva dengan angka morbiditas
yang tinggi.

2.4 Patofisiologi
Sinar ultraviolet menyebabkan insufisiensi sel punca limbal dari kornea. Hal
itu menyebabkan aktivasi dari faktor pertumbuhan jaringan, yang lebih jauh akan
menimbulkan angiogenesis dan proliferasi sel. Sel punca limbal dirusak oleh
sinar ultraviolet yang menyebabkan konjungtivalisasi dari kornea dan kornea
diinvasi oleh fibroblast yang agresif. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan
mutase pada gen p53 tumor supresor yang menimbulkan epitelium pterygium
yang abnormal. (7)
Secara mikroskopik, pterygium diduga terbuat dari jaringan fibrovascular
elastotic. Pterygium tertutupi oleh epitel conjungtiva. Ekstensi dari jaringan
fibrosa akan tampak pada puncak pterygium dan ketika kepala pterygium
merambat ke kornea, lapisan Bowman terlibat dan terfragmentasi. Jaringan ikat
fibrosa mengisi kavitas tersebut. Tanda histopatologis peradangan kronis juga
dapat dilihat. (7)

4
Gambar Patogenesis dari pterygium(8)

2.5 Faktor Risiko


Beberapa penelitian mengatakan bahwa pterygium dapat dipicu oleh paparan
dari sinar ultraviolet yang terlalu sering, biasanya terjadi pada orang-orang yang
bekerja di luar bangunan merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada
perkembangan pterygium. Faktor lain yang berasosiasi dengan terjadinya
pterygium adalah usia, jenis kelamin laki-laki dan mata kering. Faktor genetik,
gen supresor tumor p53 dan gen lain dapat bersangkutan dalam pathogenesis dari
pterygium. (6)
Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang meningkatkan kejadia
pterygium. Hal ini dikarenakan sifat dari sinar ultraviolet yang bersifat iritatif,
lingkungan berangin besar, dan matapencaharian masyarakat pesisir seperti
nelayan, petani, dan penyelam tradisional yang umumnya bekerja di luar yang

5
penuh sinar matahari, berangin, berdebu dan berpasir dapat memicu terjadinya
pterygium (9)
Penelitian dengan subjek orang dewasa mengkonfirmasi bahwa prevalensi
meningkat sejajar dengan bertambahnya usia. Studi mengenai prevalensi dengan
subjek 5147 residen di Victoria dengan usia di atas 40 tahun menemukan tingkat
tertimbang pterygium 2,83% dan cenderung meningkat seiring bertambahnya
usia, sebesar 6,4% terjadi pada golongan usia 80-89 tahun. (10)

2.6 Klasifikasi
Pterigium primer diklasifikasikan menjadi empat derajat berdasarkan
perluasannya ke kornea (hiperplasia). Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium
hanya terbatas pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah
melewati limbus kornea tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea, derajat
3 bila pertumbuhan pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
tepi pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4mm)
dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati tepi pupil. (11)

Gambar. Derajat pterigium berdasarkan perluasan ke kornea. Gambar A pterigium derajat 1,


gambar B pterigium derajat 2, gambar C pterigium derajat 3, gambar D pterigium derajat 4.(11)

Selain membagi pterigium berdasarkan transluency, Tan (2002) juga


membagi pterigium menjadi tiga derajat berdasarkan banyaknya vaskularisasi.
Derajat 1 yaitu pterigium dengan minimal vaskularisasi, derajat 2 yaitu pterigium
dengan vaskularisasi sedang dan sudah mulai ada pembesaran pembuluh darah
dan derajat 3 yaitu pterigium dengan vaskularisasi penuh dengan banyaknya
pembuluh darah yang membesar. Pembagian tipe ini digunakan untuk menilai
derajat angiogenesis yang terjadi pada pterygium. (12)

6
Gambar 2 Derajat pterigium berdasarkan vaskularisasi. Gambar A pterigium derajat 1, dengan
vaskularisasi minimal dan sulit dibedakan dengan pembuluh darah konjungtiva normal; Gambar B
pterigium derajat 2, terlihat mulai ada pembuluh darah yang membesar dengan vaskularisasi sedang;
Gambar C pterigium derajat 3, dengan vaskularisasi penuh pada body pterigium dan terdapat
pembesaran pembuluh darah multiple (12)

2.7 Gejala Klinis


Pada awal perjalanan penyakit, pterygium biasanya asimtomatik, namun bisa
didapatkan tanda-tanda mata kering seperti rasa terbakar, gatal atau
mengeluarkan air mata. Seiring penyakit ini berprogres, lesi membesar dan
menjadi tampak oleh kasat mata dan dapat mengubah penampilan pasien secara
kosmetik tidak bagus. Pertumbuhan lebih lanjut dapat menyebabkan gejala
penglihatan karena pterygium dapat memicu terjadinya astigmatisme atau
perambahan langsung ke axis visual. (13)

2.8 Penegakan Diagnosis


2.8.1 Anamnesis
- Berapa lama sejak awal pertumbuhan selaput? Biasanya pterygium
akan tumbuh untuk beberapa bulan atau tahun. Hal ini akan
membedakan pterygium dengan ocular surface squamous neoplasia
(OSSN) yang memiliki waktu tumbuh lebih pendek.(14)
- Apakah selaput atau daging tersebut bertambah besar? Beberapa
pterygia bersifat inaktif dan tidak bertumbuh selama beberapa dekade.
- Gejala lain apa yang dirasakan pasien? Dapat terjadi kemerahan pada
mata, iritasi, pandangan kabur, penglihatan ganda, gatal, dan
kepentingan tampilan kosmetik.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik

7
- Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta
ditentukan derajat pertumbuhan pterygium.
- Tajam penglihatan dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan
menggunakan trial frame
- Astigmatisme kornea diperiksan keratometer baik secara manual
maupun menggunakan alat auto-refrakto-keratometer

2.9 Diagnosis Banding


a. Pseudopterygium
Jaringan konjungtiva menempel pada perifer kornea. Dapat muncul di lokasi
yang sebelumnya terkena trauma, ulkus kornea, dan sikatriks konjungtivitis.
(15)

Gambar Pseudopterygium (5)

b. Pinguekula
Umum terjadi pada dewasa tidak seperti pterygium yang cenderung
meningkat seiring bertimbah usia. Pinguekula tampak seperti nodul kuning
pada kedua sisi kornea (lebih sering di sisi nasal) pada area bukaan palpebra
(16)

8
Gambar Pinguekula (Sumber: Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 19th Edition)

c. Conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN)


Papilomatus unilateral seperti jelly, seperti beludru, atau massa putih
leukoplakia, sering terjadi peninggian dan vaskularisasi. Dapat tidak dalam
konfigurasi sayap dan lokasi tidak khas seperti pada pterygium di arah jam 3
atau 9. (15)

Gambar Conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN)(17)

d. Pannus
Pembuluh darah tumbuh pada kornea, sering merupakan akibat pemakaian
lensa kontak jangka panjang, blefaritis, rosasea ocular, herpes keratitis,
keratitis phlyctenular, penyakit atopic, trakoma, trauma, dan lain-lain.
Biasanya pada level membrana Bowman dengan minimal atau tanpa elevasi.
(15)

9
Gambar Pannus Kornea (Sumber: www.eyerounds.org)

2.10 Tatalaksana
a. Medis
Perawatan medis diberikan untuk meringankan gejala inflamasi dari
pasien dan mengurangi ketidaknyamanan yang persisten. Selama bertahun-
tahun pengobatan medis menggunakan agen yang relative tidak berbahaya
seperti empedu dan urin serta agen yang lebih berbahaya seperti asam
timbal, lanolin merkuri, radioterapi, tiotepa, 5-fluorourasil dan lebih baru
lagi, mitomycin C dalam pencarian untuk terapi yang aman dan efektif. (7)
Pengobatan medis pada era modern meliputi lubrikasi dengan air mata
buatan atau dekongestan untuk menyediakan kenyamanan jangka pendek
dan penampilan yang lebih baik untuk kosmetik. NSAID topical, tetes mata
loteprednol menambahkan kenyamanan. Agen vasokonstriktif
meminimalkan kemerahan dan memperbaiki penampilan dan penambahan
antihistamin pada tetes dekongestan untuk membantu mencegah edema dan
gatal. (7)
b. Pembedahan
Pembedahan merupakan indikasi pada pasien pterygium apabila terdapat
astigmatisme yang secara signifikan mengganggu penglihatan pasien,
terdapat ancaman keterlibatan dari axis visual, gejala berat dari iritasi serta
alasan kosmetik. (13)

10
Komplikasi utama dari operasi pterygium ini adalah rekurensi yang
didefinisikan dari pertumbuhan kembali jaringan fibrovascular melewati
limbus dan mencapai kornea. Tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa
eksisi pterygium yang ideal berhubungan dengan angka rekuren yang
rendah. Teknik bare sclera yang digunakan secara luas di seluruh dunia
memiliki angka rekuren yang tinggi (sekitar 80%). Nampaknya apabila
teknik tersebut dikombinasikan dengan terapi tambahan akan mengurangi
rekurensi sebesar 2-15%. Untuk anestesi lebih dipilih anestesi peribulbar
daripada topical atau subkonjungtival untuk mencegah nyeri saat operasi dan
operasi berjalan lancar. (6)
Pilihan lain untuk pembedahan adalah conjunctival autografting. Donor
konjungtiva diambil dari superior atau area upper-temporal-para-limbal.
Graft tersebut dijahit menggunakan 10-0 nylon, dengan ini biasanya sembuh
dengan cepat. Graft dapat diamankan dengan TISSEEL fibrin glue daripada
jahitan selain itu juga dapat memperpendek waktu operasi dan mengurangi
iritasi postoperasi. (4)

2.11 Komplikasi
Pasien harus diberi informasi seutuhnya mengenai komplikasi yang dapat
terjadi saat operasi maupun setelah operasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi
komplikasi intraoperative dan postoperative.
Komplikasi intraoperative termasuk perdarahan berlebih, cedera pada otot
rectus, eksisi lebar pada pterygium, graft terlalu tebal, lubang pada graft, hilang
orientasi akan graft, graft yang didonorkan terlalu kecil, dan perforasi akibat
jarum jahit. Komplikasi postoperative yang paling utama adalah rekurensi.
Komplikasi postoperative lain adalah edema, dellen, defek epitel, granuloma
pyogenic, symblefaron, nekrosis graft, retraksi graft, granuloma sutural, dan
lain-lain. (7)

2.12 Prognosis

11
Untuk pterygium derajat berat, kejadian rekuren tidak terlalu tinggi hanya
berkisar 1 diantara 1000 pasien tergantung pada pendekatan operasi. Defek
pada lapisan Bowman sering dihasilkan dari eksisi saat operasi karena
keterlibatan lapisan Bowman dengan lesi dan astigmatisme ringan dapat masih
tersisa meskipun operasi sukses. Prognosis visual biasanya sangat baik.

12
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn. T
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lamongan
Pekerjaan : Petani

3.2. DATA DASAR


Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama: kedua mata tampak tumbuh selaput
Riwayat Penyakit Sekarang
Kedua mata tampak tumbuh selaput pada bagian dekat hidung sejak sekitar 5
tahun. Selaput tersebut makin lama makin panjang ke arah tengah mata. Pasien
kadang mengeluh agak mengganjal. Tidak ada keluhan mata merah, nyeri, mata
kabur, berair ataupun silau.

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, HT, ataupun trauma, Pasien juga
tidak memiliki riwayat operasi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit sistemik atau penyakit mata
tertentu.

13
Riwayat Penggunaan Kacamata
Pasien tidak pernah menggunakan kacamata.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


GCS : 456
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5 oC

St. Generalis
Kepala-leher : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax : gerak dada simetris, tidak ada retraksi
Paru : suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing maupun rhonki
Cor : S1S2 tunggal, tidak ada murmur maupun gallop
Abdomen : supel, bising usus normal
Extremitas : akral hangat kering merah

Status Lokalis Mata

OD Pemeriksaan OS
6/6 Visus 6/6
17,3 mmHg TIO 17,3 mmHg
Segmen Anterior
Edema (-), spasme (-) Palpebra Edema (-), spasme (-)
Hiperemi (+), jaringan Hiperemi (+), jaringan
fibrovascular berbentuk fibrovascular berbentuk segitiga
Konjungtiva
segitiga melewati limbus melewati limbus 2mm dari
2mm dari kornea kornea
Jernih, arkus senilis (+) Kornea Jernih, arkus senilis (+)
Dalam Bilik mata depan Dalam

14
Radier (+) Iris Radier (+)
Bulat, 3 mm RC (+) Pupil Bulat, 3 mm RC (+)
Jernih Lensa Jernih
OD Pemeriksaan OS
Segmen Posterior
Positif Fundus refleks Positif

Batas tegas, warna normal, Papil N. II Batas tegas, warna normal,


CD 0,3 CD ratio 0,3
Perdarahan (-), eksudat (-) Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
positif Refleks makula positif

Foto Klinis Pasien


OD OS

3.4 Daftar Masalah


a. Anamnesis
- Faktor risiko: laki-laki, 45 tahun, pekerjaan petani
- Keluhan utama : terdapat selaput tumbuh di kedua mata
- Selaput tumbuh sejak 5 tahun lalu
- Selaput makin lama memanjang ke arah tengah mata
- Pasien mengeluh mengganjal pada mata
b. Pemeriksaan Fisik

15
Status lokalis mata:
- Konjungtiva ODS slight hiperemi
- Konjungtiva ODS terdapat jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga
menyerupai daging yang menjalar melewati limbus dan berjarak sekitar 2
mm dari kornea
- Tepi kornea ODS terdapat lingkaran berwarna abu-abu keputihan

3.5 Diagnosis Banding


- Pseudopterigium
- Pinguekulum

3.6 Diagnosis Kerja


ODS Pterygium Grade II

3.7 Planning
a. Diagnosis
- Bowman’s probe test
- Pemeriksaan histopatologi
b. Terapi
- Edukasi pasien untuk melindungi pasien dari paparan sinar matahari,
sinar ultraviolet, maupun benda iritan saat bekerja dengan menggunakan
kacamata pelindung atau kacamata hitam.
- Apabila terdapat iritasi atau terasa kering dapat diberikan artificial tears
yang mengandung karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat 3-4x
sehari 1-2 tetes ODS
- Rujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi lebih lanjut dan apabila ada
indikasi untuk operasi
c. Monitoring
- Gejala klinis dan keluhan pasien
- Tanda-tanda vital

16
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan segmen anterior mata
d. Edukasi
- Menjelaskan mengenai penyakit pterygium, faktor risiko, manfaat terapi,
cara penggunaan obat, kemungkinan komplikasi, serta prognosis.
- Menjelaskan kemungkinan faktor risiko yang berpengaruh pada pasien
karena pekerjaannya sebagai petani sinar matahari dapat berpengaruh
besar pada perjalan penyakit.
- Menyarankan penggunaan kacamata pelindung atau kacamata hitam.
- Menyarankan untuk kontrol setiap 3-12 bulan untuk mengetahui dan
mengukur perkembangan.

3.8 Prognosis
Ad vitam : ad Bonam
Ad functionam : Dubia ad Bonam
Ad sanationam : ad Bonam

17
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien atas nama Tn. T, 45 tahun,


berasal dari Lamongan dengan pekerjaan petani, datang dengan keluhan utama kedua
mata tampak tumbuh selaput. Selaput tersebut tumbuh pada bagian dekat hidung
sejak sekitar 5 tahun dan semakin memanjang ke arah tengah mata. Pasien juga
mengeluh mata mengganjal, tidak ada keluhan mata merah, nyeri, mata kabur, berair
ataupun silau. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva ODS
sedikit hiperemi serta terdapat jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga
menyerupai daging yang menjalar melewati limbus dan berjarak sekitar 2 mm dari
kornea, didapatkan arkus senilis pada kedua mata.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut mendukung pada
penegakan diagnosis pterygium. Faktor risiko umum dari pterygium pun juga
terdapat pada Tn. T yaitu pekerjaannya sebagai petani yang sering bekerja di luar
membuat Tn.T sering terkena paparan sinar ultraviolet dari matahari. Selain itu pada
kesehariannya pasien tidak memakai kacamata pelindung yang membuat mata pasien
mudah iritasi dari debu dan kotoran serta paparan sinar matahari tidak tersaring.
Pterygium pada Tn. T dapat diklasifikasikan dengan Pterygium grade II ODS oleh
karena selaputnya tumbuh sudah melalui limbus dan berjarak sekitar 2 mm dari
kornea dan belum menutupi axis visual, sehingga fungsi penglihatan pasien pada
kedua mata masih dalam batas normal 6/6.
Diagnosis banding dari pterygium ini adalah pseudopterygium dan
penguikulum. Untuk planning diagnosis dapat ditambahkan pemeriksaan
histopatologi untuk mengetahui lebih pasti. Pemeriksaan Bowman’s probe test
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding pseudopterygium.
Penatalaksanaan yang akan diberikan pada pterygium grade II pada pasien ini
adalah menyarankan pasien untuk menggunakan kacatama pelindung atau kacamata
hitam selama melakukan pekerjaannya, lalu apabila pasien merasakan mata iritasi,
kering dan tidak nyaman dapat diberikan artificial tears yang mengandung

18
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat 3-4x sehari 1-2 tetes pada kedua mata.
Selain itu merujuk pasien kepada spesialis mata untuk dievaluasi lebih lanjut dan
apabila ada indikasi untuk operasi. Untuk arkus senilis pada umumnya tidak perlu
diberikan terapi. Pasien disarankan untuk kontrol 3-12 bulan sekali untuk monitoring
gejala klinis, pemeriksaan visus, pemeriksaan segmen anterior mata serta melihat
perkembangan dan pertumbuhan dari selaput itu sendiri. Prognosis tergolong baik
selama pasien mematuhi saran dokter untuk menjaga kesehatan mata.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Jiao W, Zhou C, Wang T, Yang S, Bi H, Liu L, et al. Prevalence and risk


factors for pterygium in rural older adults in Shandong Province of China: A
cross-sectional study. Biomed Res Int. 2014;
2. Ardianty DP, Maulina N. Hubungan Faktor Risiko Dengan Kejadian
Pterygium Di Poliklinik Mata Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015. J Kedokt dan Kesehat
Malikussaleh. 2018;2(1):64.
3. Shumway CL, Wade M. Anatomy, Head and Neck, Eye Conjunctiva.
StatPearls. 2018.
4. Salmon JF. Kanski Clinical Ophthalmology, A systematic approach. Journal of
Chemical Information and Modeling. 2019.
5. Detorakis ET, Spandidos DA. Pathogenetic mechanisms and treatment options
for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives (review). International
Journal of Molecular Medicine. 2009.
6. Sanjay KS. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community
eye Heal [Internet]. 2017;29(99):1–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29849437
7. Sarkar P, Tripathy K. Pterygium [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021. 15 p. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558907/
8. Chui J, Coroneo MT, Tat LT, Crouch R, Wakefield D, Di Girolamo N.
Ophthalmic pterygium: A stem cell disorder with premalignant features. Am J
Pathol. 2011;
9. Rany N. Hubungan Lingkungan Kerja Dan Perilaku Nelayan Dengan Kejadian
Pterygium Di Desa Kemang Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten
Pelalawan. J Kesehat Masy. 2017;3(4):153–8.
10. Lü P, Chen XM. Prevalence and risk factors of pterygium. International
Journal of Ophthalmology. 2008.

20
11. Youngson RM. Recurrence of pterygium after excision. Br J Ophthalmol.
1972;
12. Tan D. Pterygium. In: Ocular Surface Disease Medical and Surgical
Management. 9th Ed. New York: Springer-Verlag; 2002. p. 65–89.
13. Tan D, Chan C. Management of Pterygium. Cornea. 2011;1625–37.
14. Hall AB. Understanding and managing pterygium. Community Eye Heal J.
2016;
15. Hood CT. The Wills eye manual: office and emergency room diagnosis and
treatment of eye disease. Br J Ophthalmol. 2009;
16. Vaughan A. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Egc. 2016.
17. Nelson KD, McSoley JJ. Clinical findings and management of conjunctival
intraepithelial neoplasia. Optometry. 2011;

21

Anda mungkin juga menyukai