PTERYGIUM
Oleh :
Sekar Afifah Priandhini
011923143131
Pembimbing:
M. Nurdin Zuhri, dr., Sp.M
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2
2.1 Anatomi Konjungtiva................................................................................................2
2.2 Definisi Pterygium....................................................................................................3
2.3 Epidemiologi.............................................................................................................3
2.4 Patofisiologi..............................................................................................................4
2.5 Faktor Risiko.............................................................................................................4
2.6 Klasifikasi..................................................................................................................5
2.7 Gejala Klinis..............................................................................................................6
2.8 Penegakan Diagnosis.................................................................................................6
2.9 Diagnosis Banding....................................................................................................7
2.10 Tatalaksana..............................................................................................................9
2.11 Komplikasi............................................................................................................10
2.12 Prognosis...............................................................................................................11
BAB 3 LAPORAN KASUS..............................................................................................12
BAB 4 PEMBAHASAN....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................19
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
membalik kelopak. Konjungtiva juga dapat diperiksa secara klinis dengan zat
warna menggunakan slit lamp oleh oftalmologis yang terlatih. Jumlah yang kecil
dari zat warna fluorescein diaplikasikan ke permukaan okuler dan cahaya dengan
filter biru digunakan untuk mendeteksi area yang menyerap zat warna, yang
mana mengindikasikan kerusakan epitelium. (3)
2.3 Epidemiologi
Meskipun pterygium terjadi di penjuru dunia, prevalensi pterygium tinggi
pada “pterygium belt” yang terletak di antara 30 derajat utara dan 30 derajat
selatan dari garis ekuator. Prevalensi pterygium dilaporkan sebanyak 3% di
3
Australia, 23% pada ras hitam di Amerika Serikat, 15% di Tibet, 18% di
Mongolia, 30% di Jepang dan 7% pada ras tionghoa dan india di Singapur.
Berdasarkan penelitian dari India, prevalensi pterygium meningkat dari 6,7
±0.8% pada kelompok usia 30-39 tahun hingga 25.3±2.1% pada kelompok usia
70-79 tahun. (6)
Negara Indonesia sendiri merupakan negara yang berada di pterygium belt
tersebut. Prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3% dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), Maluku (18,0%), dan Nusa Tenggara Barat
(17,0%). Daerah dengan prevalensi pterygium terendah justru pada provinsi DKI
Jakarta dengan prevalensi sekitar 3,7% diikuti oleh Banten (3,9%). Data
prevalensi pterygium nasional tahun 2013 menunjukkan bahwa pterygium
merupakan salah satu penyakit kelainan konjungtiva dengan angka morbiditas
yang tinggi.
2.4 Patofisiologi
Sinar ultraviolet menyebabkan insufisiensi sel punca limbal dari kornea. Hal
itu menyebabkan aktivasi dari faktor pertumbuhan jaringan, yang lebih jauh akan
menimbulkan angiogenesis dan proliferasi sel. Sel punca limbal dirusak oleh
sinar ultraviolet yang menyebabkan konjungtivalisasi dari kornea dan kornea
diinvasi oleh fibroblast yang agresif. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan
mutase pada gen p53 tumor supresor yang menimbulkan epitelium pterygium
yang abnormal. (7)
Secara mikroskopik, pterygium diduga terbuat dari jaringan fibrovascular
elastotic. Pterygium tertutupi oleh epitel conjungtiva. Ekstensi dari jaringan
fibrosa akan tampak pada puncak pterygium dan ketika kepala pterygium
merambat ke kornea, lapisan Bowman terlibat dan terfragmentasi. Jaringan ikat
fibrosa mengisi kavitas tersebut. Tanda histopatologis peradangan kronis juga
dapat dilihat. (7)
4
Gambar Patogenesis dari pterygium(8)
5
penuh sinar matahari, berangin, berdebu dan berpasir dapat memicu terjadinya
pterygium (9)
Penelitian dengan subjek orang dewasa mengkonfirmasi bahwa prevalensi
meningkat sejajar dengan bertambahnya usia. Studi mengenai prevalensi dengan
subjek 5147 residen di Victoria dengan usia di atas 40 tahun menemukan tingkat
tertimbang pterygium 2,83% dan cenderung meningkat seiring bertambahnya
usia, sebesar 6,4% terjadi pada golongan usia 80-89 tahun. (10)
2.6 Klasifikasi
Pterigium primer diklasifikasikan menjadi empat derajat berdasarkan
perluasannya ke kornea (hiperplasia). Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium
hanya terbatas pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah
melewati limbus kornea tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea, derajat
3 bila pertumbuhan pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
tepi pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4mm)
dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati tepi pupil. (11)
6
Gambar 2 Derajat pterigium berdasarkan vaskularisasi. Gambar A pterigium derajat 1, dengan
vaskularisasi minimal dan sulit dibedakan dengan pembuluh darah konjungtiva normal; Gambar B
pterigium derajat 2, terlihat mulai ada pembuluh darah yang membesar dengan vaskularisasi sedang;
Gambar C pterigium derajat 3, dengan vaskularisasi penuh pada body pterigium dan terdapat
pembesaran pembuluh darah multiple (12)
7
- Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta
ditentukan derajat pertumbuhan pterygium.
- Tajam penglihatan dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan
menggunakan trial frame
- Astigmatisme kornea diperiksan keratometer baik secara manual
maupun menggunakan alat auto-refrakto-keratometer
b. Pinguekula
Umum terjadi pada dewasa tidak seperti pterygium yang cenderung
meningkat seiring bertimbah usia. Pinguekula tampak seperti nodul kuning
pada kedua sisi kornea (lebih sering di sisi nasal) pada area bukaan palpebra
(16)
8
Gambar Pinguekula (Sumber: Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 19th Edition)
d. Pannus
Pembuluh darah tumbuh pada kornea, sering merupakan akibat pemakaian
lensa kontak jangka panjang, blefaritis, rosasea ocular, herpes keratitis,
keratitis phlyctenular, penyakit atopic, trakoma, trauma, dan lain-lain.
Biasanya pada level membrana Bowman dengan minimal atau tanpa elevasi.
(15)
9
Gambar Pannus Kornea (Sumber: www.eyerounds.org)
2.10 Tatalaksana
a. Medis
Perawatan medis diberikan untuk meringankan gejala inflamasi dari
pasien dan mengurangi ketidaknyamanan yang persisten. Selama bertahun-
tahun pengobatan medis menggunakan agen yang relative tidak berbahaya
seperti empedu dan urin serta agen yang lebih berbahaya seperti asam
timbal, lanolin merkuri, radioterapi, tiotepa, 5-fluorourasil dan lebih baru
lagi, mitomycin C dalam pencarian untuk terapi yang aman dan efektif. (7)
Pengobatan medis pada era modern meliputi lubrikasi dengan air mata
buatan atau dekongestan untuk menyediakan kenyamanan jangka pendek
dan penampilan yang lebih baik untuk kosmetik. NSAID topical, tetes mata
loteprednol menambahkan kenyamanan. Agen vasokonstriktif
meminimalkan kemerahan dan memperbaiki penampilan dan penambahan
antihistamin pada tetes dekongestan untuk membantu mencegah edema dan
gatal. (7)
b. Pembedahan
Pembedahan merupakan indikasi pada pasien pterygium apabila terdapat
astigmatisme yang secara signifikan mengganggu penglihatan pasien,
terdapat ancaman keterlibatan dari axis visual, gejala berat dari iritasi serta
alasan kosmetik. (13)
10
Komplikasi utama dari operasi pterygium ini adalah rekurensi yang
didefinisikan dari pertumbuhan kembali jaringan fibrovascular melewati
limbus dan mencapai kornea. Tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa
eksisi pterygium yang ideal berhubungan dengan angka rekuren yang
rendah. Teknik bare sclera yang digunakan secara luas di seluruh dunia
memiliki angka rekuren yang tinggi (sekitar 80%). Nampaknya apabila
teknik tersebut dikombinasikan dengan terapi tambahan akan mengurangi
rekurensi sebesar 2-15%. Untuk anestesi lebih dipilih anestesi peribulbar
daripada topical atau subkonjungtival untuk mencegah nyeri saat operasi dan
operasi berjalan lancar. (6)
Pilihan lain untuk pembedahan adalah conjunctival autografting. Donor
konjungtiva diambil dari superior atau area upper-temporal-para-limbal.
Graft tersebut dijahit menggunakan 10-0 nylon, dengan ini biasanya sembuh
dengan cepat. Graft dapat diamankan dengan TISSEEL fibrin glue daripada
jahitan selain itu juga dapat memperpendek waktu operasi dan mengurangi
iritasi postoperasi. (4)
2.11 Komplikasi
Pasien harus diberi informasi seutuhnya mengenai komplikasi yang dapat
terjadi saat operasi maupun setelah operasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi
komplikasi intraoperative dan postoperative.
Komplikasi intraoperative termasuk perdarahan berlebih, cedera pada otot
rectus, eksisi lebar pada pterygium, graft terlalu tebal, lubang pada graft, hilang
orientasi akan graft, graft yang didonorkan terlalu kecil, dan perforasi akibat
jarum jahit. Komplikasi postoperative yang paling utama adalah rekurensi.
Komplikasi postoperative lain adalah edema, dellen, defek epitel, granuloma
pyogenic, symblefaron, nekrosis graft, retraksi graft, granuloma sutural, dan
lain-lain. (7)
2.12 Prognosis
11
Untuk pterygium derajat berat, kejadian rekuren tidak terlalu tinggi hanya
berkisar 1 diantara 1000 pasien tergantung pada pendekatan operasi. Defek
pada lapisan Bowman sering dihasilkan dari eksisi saat operasi karena
keterlibatan lapisan Bowman dengan lesi dan astigmatisme ringan dapat masih
tersisa meskipun operasi sukses. Prognosis visual biasanya sangat baik.
12
BAB 3
LAPORAN KASUS
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
13
Riwayat Penggunaan Kacamata
Pasien tidak pernah menggunakan kacamata.
St. Generalis
Kepala-leher : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax : gerak dada simetris, tidak ada retraksi
Paru : suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing maupun rhonki
Cor : S1S2 tunggal, tidak ada murmur maupun gallop
Abdomen : supel, bising usus normal
Extremitas : akral hangat kering merah
OD Pemeriksaan OS
6/6 Visus 6/6
17,3 mmHg TIO 17,3 mmHg
Segmen Anterior
Edema (-), spasme (-) Palpebra Edema (-), spasme (-)
Hiperemi (+), jaringan Hiperemi (+), jaringan
fibrovascular berbentuk fibrovascular berbentuk segitiga
Konjungtiva
segitiga melewati limbus melewati limbus 2mm dari
2mm dari kornea kornea
Jernih, arkus senilis (+) Kornea Jernih, arkus senilis (+)
Dalam Bilik mata depan Dalam
14
Radier (+) Iris Radier (+)
Bulat, 3 mm RC (+) Pupil Bulat, 3 mm RC (+)
Jernih Lensa Jernih
OD Pemeriksaan OS
Segmen Posterior
Positif Fundus refleks Positif
15
Status lokalis mata:
- Konjungtiva ODS slight hiperemi
- Konjungtiva ODS terdapat jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga
menyerupai daging yang menjalar melewati limbus dan berjarak sekitar 2
mm dari kornea
- Tepi kornea ODS terdapat lingkaran berwarna abu-abu keputihan
3.7 Planning
a. Diagnosis
- Bowman’s probe test
- Pemeriksaan histopatologi
b. Terapi
- Edukasi pasien untuk melindungi pasien dari paparan sinar matahari,
sinar ultraviolet, maupun benda iritan saat bekerja dengan menggunakan
kacamata pelindung atau kacamata hitam.
- Apabila terdapat iritasi atau terasa kering dapat diberikan artificial tears
yang mengandung karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat 3-4x
sehari 1-2 tetes ODS
- Rujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi lebih lanjut dan apabila ada
indikasi untuk operasi
c. Monitoring
- Gejala klinis dan keluhan pasien
- Tanda-tanda vital
16
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan segmen anterior mata
d. Edukasi
- Menjelaskan mengenai penyakit pterygium, faktor risiko, manfaat terapi,
cara penggunaan obat, kemungkinan komplikasi, serta prognosis.
- Menjelaskan kemungkinan faktor risiko yang berpengaruh pada pasien
karena pekerjaannya sebagai petani sinar matahari dapat berpengaruh
besar pada perjalan penyakit.
- Menyarankan penggunaan kacamata pelindung atau kacamata hitam.
- Menyarankan untuk kontrol setiap 3-12 bulan untuk mengetahui dan
mengukur perkembangan.
3.8 Prognosis
Ad vitam : ad Bonam
Ad functionam : Dubia ad Bonam
Ad sanationam : ad Bonam
17
BAB 4
PEMBAHASAN
18
karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat 3-4x sehari 1-2 tetes pada kedua mata.
Selain itu merujuk pasien kepada spesialis mata untuk dievaluasi lebih lanjut dan
apabila ada indikasi untuk operasi. Untuk arkus senilis pada umumnya tidak perlu
diberikan terapi. Pasien disarankan untuk kontrol 3-12 bulan sekali untuk monitoring
gejala klinis, pemeriksaan visus, pemeriksaan segmen anterior mata serta melihat
perkembangan dan pertumbuhan dari selaput itu sendiri. Prognosis tergolong baik
selama pasien mematuhi saran dokter untuk menjaga kesehatan mata.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
11. Youngson RM. Recurrence of pterygium after excision. Br J Ophthalmol.
1972;
12. Tan D. Pterygium. In: Ocular Surface Disease Medical and Surgical
Management. 9th Ed. New York: Springer-Verlag; 2002. p. 65–89.
13. Tan D, Chan C. Management of Pterygium. Cornea. 2011;1625–37.
14. Hall AB. Understanding and managing pterygium. Community Eye Heal J.
2016;
15. Hood CT. The Wills eye manual: office and emergency room diagnosis and
treatment of eye disease. Br J Ophthalmol. 2009;
16. Vaughan A. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Egc. 2016.
17. Nelson KD, McSoley JJ. Clinical findings and management of conjunctival
intraepithelial neoplasia. Optometry. 2011;
21