Oleh
Nicky Fani Oktavia
NPM. 20310091
PENDAHULUAN
biasanya mencapai kornea berbentuk segitiga; terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan
proliferasi fibrotik yang dominan (Marcella, 2019). Pterigium merupakan kelainan umum
yang menyerang mata dimana pertumbuhan abnormal epitel konjungtiva bulbi dan jaringan
ikat subkonjungtiva dari sisi nasal/temporal ke arah kornea. Pterigium dapat bersifat
unilateral dan bilateral. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhannya yang berbeda. Pterigium dapat menutupi seluruh kornea atau bola mata.
Pterigium selain menyebabkan gangguan kosmetik seperti bisa mengurangi keindahan pada
mata juga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan apabila mencapai aksis penglihatan
hal yang perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan sebab pterigium masih
merupakan masalah utama kesehatan mata di berbagai negara. World Health Organization
(WHO) mengeluarkan estimasi global terbaru dimana terdapat 285 juta orang mengalami
Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Ratih Natasha et
al., 2019). Prevalensi pterigium di seluruh dunia berkisar antara 0,3-36%, dan pada tahun
2000 dilaporkan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia didiagnosis dengan pterigium
patogenesisnya berkaitan erat dengan paparan sinar ultraviolet. Di daerah tropis seperti
Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih
tinggi dibandingkan daerah non tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa >40 tahun
adalah 16,8%, laki-laki 16,1%, dan perempuan 17,6% (Selviana & Ibrahim, 2019).
Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium
pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur (Ratih
pada dua mata maupun satu mata terlihat mengalami peningkatan dengan bertambahnya
umur. Terendah dijumpai pada kelompok umur 5–9 tahun (0,03%) sedangkan prevalensi
tertinggi ditemui pada kelompok umur >70 tahun (15,9%). Prevalensi pterigium menurut
jenis kelamin yaitu ditemui pada pterigium dua mata yang mana lebih tinggi pada laki-laki
(3,2%) dibanding satu mata lebih tinggi pada perempuan (1,9%) (Erry et al., 2011).
penyakit mata setelah katarak. Di Indonesia prevalensi pterigium nasional adalah sebesar
8,3%. Dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan
Nusa Tenggara Barat (17,0%). Pada Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi pterigium
terendah yaitu (3,7%) diikuti oleh Banten (3,9%) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia., 2013).
Di Provinsi Lampung kejadian pterigium berada pada urutan ketiga terendah dengan
Provinsi Lampung sendiri merupakan daerah beriklim tropis dengan hujan dan musim
kemarau bergantian sepanjang tahun, dengan demikian jika di lihat dari iklim tropis nya
Penyebab dari pterigium masih tidak diketahui dengan jelas, namun paparan debu,
sinar matahari, angin, dan panas secara terus menerus berisiko menyebabkan iritasi mata
dan menyebabkan pembentukan pterigium (Rais & Nasrul, 2022). Di samping itu juga
faktor risiko seperti usia dan jenis kelamin juga dapat meningkatkan kejadian pterigium,
dikarenakan pada usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang tidak bisa kita kontrol
(Muchtar & Triswanti, 2015). Risiko pterigium meningkat seiring bertambahnya usia, jenis
kelamin, pekerjaan luar ruangan dalam rentang waktu yang lama (nelayan, petani dan
buruh), dan durasi paparan kurang lebih 5 jam perharinya selama bertahun-tahun juga lebih
berisiko untuk mengalami pterigium. Pterigium banyak dijumpai pada orang yang bekerja
di luar ruangan dan banyak terpajan udara, debu atau sinar matahari dalam jangka waktu
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan menganalisa
apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah terdapat hubungan antara
usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul Moeloek
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui ada hubungan antara usia dan jenis
kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
tahun 2022.
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi usia pada kejadian pterigium di RSUD DR.
3. Untuk mengetahui Hubungan antara Usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR.
4. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin pada kejadian pterigium di RSUD
1. Bagi Peneliti
antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul
Penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi serta
sebagai tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa dalam melakukan
penelitian tentang hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian
pterigium.
4. Bagi Masyarakat
terutama pada masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis dan sering terpapar
analitik. Batasan ruang lingkup pada penelitian ini adalah mengenai usia dan jenis kelamin
dengan kejadian Pterigium. Waktu penelitian pada bulan April tahun 2023 dan lokasi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pterigium
Pterigium berasal dari kata pteryx yang berarti sayap, dan pterigion yang berarti
sirip. Pterigium merupakan suatu kelainan mata akibat adanya pertumbuhan abnormal
jaringan fibrovaskular pada sub konjungtiva. Jaringan ini berbentuk segitiga seperti sayap
yang tumbuh dari perifer (fisura palpebra nasal atau temporal) dan berlanjut ke tengah
dan mengarah ke kornea. Benbentuk seperti daging, berwarna kuning sampai putih. Pada
keadaan ini penderita akan merasa kurang nyaman dan jika perluasaan dari pinguecula ini
sudah mencapai bagian dari kornea mata, maka penderitanya akan mengalami penurunan
dalam fungsi penglihatan. Pterigium biasanya terjadi pada beberapa orang yang sering
terpapar dengan sinar matahari dan angin, sehingga pterigium banyak terjadi pada daerah
Meskipun etiologi yang pasti penyakit pterigium belum diketahui, namun ada
rangsangan asap rokok, serta beberapa faktor yang sering dijumpai pada penduduk wilayah
pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan, seperti iritasi kronik dari paparan sinar
ultraviolet (UV), udara yang panas, kering, berangin dan berdebu. Berbagai teori
pathogenesis pterigium, menunjukan bahwa paparan sinar ultra violet atau matahari adalah
Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Ratih
Natasha et al., 2019). Prevalensi pterigium di seluruh dunia berkisar antara 0,3-36%, dan
pada tahun 2000 dilaporkan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia didiagnosis dengan
pterigium (Ama et al., 2021). Pterigium ini lebih sering ditemukan di daerah beriklim tropis
pterigium pada dua mata maupun satu mata terlihat mengalami peningkatan dengan
bertambahnya umur. Terendah dijumpai pada kelompok umur 5–9 tahun (0,03%)
sedangkan prevalensi tertinggi ditemui pada kelompok umur >70 tahun (15,9%).
Prevalensi pterigium menurut jenis kelamin yaitu ditemui pada pterigium dua mata yang
penyakit mata setelah katarak. Di Indonesia prevalensi pterigium nasional adalah sebesar
8,3%. Dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan
Nusa Tenggara Barat (17,0%). Pada Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi pterigium
terendah yaitu (3,7%) diikuti oleh Banten (3,9%) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia., 2013).
keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai dengan keluhan mata merah, tanpa
adanya penurunan penglihatan. Pasien dapat juga mengeluhkan gejala iritasi mata
(lakrimasi, perasaan adanya benda asing, gatal dan perasaan terbakar) (Rais & Nasrul,
2022). Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak
merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam
menjadi :
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
oleh konjungtiva kornea yang menyebabkan kerusakan suatu sel dan proliferasi.
Radiasi matahari bertanggung jawab untuk sebagian besar sinar cahaya yang
masuk kepermukaan kornea. Sinar ultraviolet dari sisi temporal difokuskan pada
limbus hidung di lokasi yang tepat dari hidung pterigium. Selain itu, Faktor-
menentukan cahaya yang jatuh pada mata (Rais & Nasrul, 2022).
2. Usia
Usia menjadi faktor risiko pada pterygium. Beberapa penelitian pada populasi
dengan bertambahnya usia (A. St. Haniyah N.Z, 2019). Secara hukum, usia 21
tahun dikatakan mulai dewasa, dan pada usia 30 dikatakan telah mampu
usia dibawah 20 tahun. Dan pterigium tertinggi terjadi pada usia 20-40 tahun
3. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian mengatakan faktor risiko pterygium lebih tinggi pada laki-
bekerja di luar ruangan sehingga lebih sering terpapar sinar matahari. Menurut
pterigium pada dua mata maupun satu mata, akan tetapi perbedaan yang
menyolok ditemui pada pterigium dua mata yang mana lebih tinggi pada laki-
laki (3,2%) dibanding satu mata lebih tinggi pada perempuan (1,9%) (Erry et al.,
2011).
sinar ultraviolet (UV) yang menjadi faktor risiko pterigium, seperti nelayan,
waktu di luar rumah selama berjam-jam di siang hari ketika sinar ultraviolet
patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-
sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan
terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi
produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa
radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi proliferasi
pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor
dan sitokin, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth
Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α)
serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi
Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,
angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi,
sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan
memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan
mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan
Bowman pada kornea. Garis zat besi dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area
2. Bagian whitish, terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut,
merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
berupa pemberian obat tetes mata sebagai lubrikan untuk mengurangi iritasi dan rasa tidak
nyaman pada mata. Penatalaksanaan pterigium juga dapat dilakukan dengan operasi.
Operasi ini dilakukan dengan beberapa indikasi yaitu penurunan visus yang signifikan
disertai dengan gejala astigmatisme, mengancam kerusakan pada visual axis, iritasi yang
berat, dan kosmetik Teknik operasi yang dapat digunakan seperti teknik sklera, teknik
autograf konjungtiva, dan teknik grafting membrane amnion (Rais & Nasrul, 2022).
dengan tepi lebar, penggunaan payung, penggunaan kacamata dengan filter UV,
penggunaan tabir surya, dan membatasi aktivitas luar ruangan pada waktu tertentu dengan
Usia
Paparan Debu
Jenis Kelamin
Pterigium
: diteliti
: tidak diteliti
Bagan 2.1 KerangkaTeori (Rais & Nasrul, 2022)
Usia
Pterigium
Jenis kelamin
Ha =
1. Ada hubungan antara usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H.
Ho =
1. Tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul
2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA
A. St. Haniyah N.Z. (2019). Hubungan Pekerjaan, Usia Dan Jenis Kelamin Dengan
Terjadinya Pterigium Di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (Bkmm) Provinsi
Sulawesi Selatan Periode November 2018-Januari 2019. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar 2019, 8(5), 55.
Ama, D. P., Manoppo, R. D. P., & Supit, W. P. (2021). Gambaran Tingkat Pengetahuan
tentang Pterygium pada Pengendara Bentor di Kecamatan Mananggu. E-CliniC, 9(1),
15–19. https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.31706
Erry, Mulyani Ully Adhie, & Susilowati Dwi. (2011). Distribusi Dan Karakteristik
Pterigium Di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(1), 84–89.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS.
Badan Penelitian Pengembangan, 7(5), 803–809.
https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803
Lestari, D. J. T., Sari, D. R., Mahdi, P. D., & Himayani, R. (2017). Pterigium derajat IV
pada pasien geriatri. Majority, 7(1), 20–25.
Marcella, M. (2019). Manajemen pterigium. Continuing Medical Education, 46(1), 23–25.
Muchtar, H., & Triswanti, N. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Pterygium Pada Pasien yang Berobat di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Jurnal Medika Malahayati, 2(1), 8–14.
Praharsiwi, I. (2017). Karakteristik Penderita Pterigium Yang Berkunjung Di Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Di Makassar Tahun 2015.
Rais, M. A., & Nasrul, M. (2022). Pterigium Pada Penduduk Pesisir Di Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Kesehatan Jompa, 1(2), 164–169.
Ratih Natasha, Sitti Rukiyah Syawal, Halimah Pagarra, & Arifin Seweng. (2019). Ekspresi
Gen P53 Pada Pterigium Primer Dan Pterigium Rekuren. Green Medical Journal,
1(1), 58–67. https://doi.org/10.33096/gmj.v1i1.20
Rohaya, S., & Siregar, W. Y. M. (2023). Pterigium Okuli Dextra et Sinistra keluhan sama
sekali . Keluhan yang timbul biasanya berupa keluhan simptomatik dan : Perempuan :
Islam : Simpang Keuramat. 2(1), 57–65.
Selviana, B. Y., & Ibrahim, A. (2019). Pterigium Grade III pada Oculi Sinistra. Medula,
8(2), 148–53.
Zahara, N. E. (2020). Paparan Sinar Matahari sebagai Faktor Risiko Pterigium pada Pekerja
Sektor Agrikultur. Jurnal Agromedicine Unila, 7(1), 40–45.