Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN ANTARA USIA DAN JENIS KELAMIN

DENGAN KEJADIAN PTERIGIUM DI RSUD


DR. H. ABDUL MOELOEK
PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2022

Oleh
Nicky Fani Oktavia
NPM. 20310091

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler nonmaligna konjungtiva yang

biasanya mencapai kornea berbentuk segitiga; terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan

proliferasi fibrotik yang dominan (Marcella, 2019). Pterigium merupakan kelainan umum

yang menyerang mata dimana pertumbuhan abnormal epitel konjungtiva bulbi dan jaringan

ikat subkonjungtiva dari sisi nasal/temporal ke arah kornea. Pterigium dapat bersifat

unilateral dan bilateral. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat

pertumbuhannya yang berbeda. Pterigium dapat menutupi seluruh kornea atau bola mata.

Pterigium selain menyebabkan gangguan kosmetik seperti bisa mengurangi keindahan pada

mata juga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan apabila mencapai aksis penglihatan

(Rohaya & Siregar, 2023).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pterigium masih merupakan

hal yang perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan sebab pterigium masih

merupakan masalah utama kesehatan mata di berbagai negara. World Health Organization

(WHO) mengeluarkan estimasi global terbaru dimana terdapat 285 juta orang mengalami

gangguan penglihatan dan 39 juta orang diantaranya mengalami kebutaan di dunia.

Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan

kering yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Ratih Natasha et

al., 2019). Prevalensi pterigium di seluruh dunia berkisar antara 0,3-36%, dan pada tahun
2000 dilaporkan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia didiagnosis dengan pterigium

(Ama et al., 2021).

Pterigium ini lebih sering ditemukan di daerah beriklim tropis, karena

patogenesisnya berkaitan erat dengan paparan sinar ultraviolet. Di daerah tropis seperti

Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih

tinggi dibandingkan daerah non tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa >40 tahun

adalah 16,8%, laki-laki 16,1%, dan perempuan 17,6% (Selviana & Ibrahim, 2019).

Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium

pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur (Ratih

Natasha et al., 2019).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Prevalensi pterigium

pada dua mata maupun satu mata terlihat mengalami peningkatan dengan bertambahnya

umur. Terendah dijumpai pada kelompok umur 5–9 tahun (0,03%) sedangkan prevalensi

tertinggi ditemui pada kelompok umur >70 tahun (15,9%). Prevalensi pterigium menurut

jenis kelamin yaitu ditemui pada pterigium dua mata yang mana lebih tinggi pada laki-laki

(3,2%) dibanding satu mata lebih tinggi pada perempuan (1,9%) (Erry et al., 2011).

Di Indonesia, pterygium tercatat sebagai angka kesakitan tersering nomor dua

penyakit mata setelah katarak. Di Indonesia prevalensi pterigium nasional adalah sebesar

8,3%. Dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan

Nusa Tenggara Barat (17,0%). Pada Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi pterigium

terendah yaitu (3,7%) diikuti oleh Banten (3,9%) (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia., 2013).
Di Provinsi Lampung kejadian pterigium berada pada urutan ketiga terendah dengan

presentasi yaitu sebesar 5,0% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2013). Di

Provinsi Lampung sendiri merupakan daerah beriklim tropis dengan hujan dan musim

kemarau bergantian sepanjang tahun, dengan demikian jika di lihat dari iklim tropis nya

Provinsi Lampung memiliki kecenderungan untuk mempunyai resiko terjadinya pterigium.

Penyebab dari pterigium masih tidak diketahui dengan jelas, namun paparan debu,

sinar matahari, angin, dan panas secara terus menerus berisiko menyebabkan iritasi mata

dan menyebabkan pembentukan pterigium (Rais & Nasrul, 2022). Di samping itu juga

faktor risiko seperti usia dan jenis kelamin juga dapat meningkatkan kejadian pterigium,

dikarenakan pada usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang tidak bisa kita kontrol

(Muchtar & Triswanti, 2015). Risiko pterigium meningkat seiring bertambahnya usia, jenis

kelamin, pekerjaan luar ruangan dalam rentang waktu yang lama (nelayan, petani dan

buruh), dan durasi paparan kurang lebih 5 jam perharinya selama bertahun-tahun juga lebih

berisiko untuk mengalami pterigium. Pterigium banyak dijumpai pada orang yang bekerja

di luar ruangan dan banyak terpajan udara, debu atau sinar matahari dalam jangka waktu

lama (Rohaya & Siregar, 2023).

Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan menganalisa

apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD

DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah terdapat hubungan antara

usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2022”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui ada hubungan antara usia dan jenis

kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2022.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi usia pada kejadian pterigium di RSUD DR.

H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis kelamin pada kejadian pterigium di

RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

3. Untuk mengetahui Hubungan antara Usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR.

H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

4. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin pada kejadian pterigium di RSUD

DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang pterigium yang

lebih luas dan menambah serta memperdalam pengetahuan mengenai hubungan

antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung.

2. Bagi RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja klinisi di RSUD DR.

H. Abdul Moeloek dalam mendiagnosis penyakit Pterigium dan penanganannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi serta

sebagai tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa dalam melakukan

penelitian tentang hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian

pterigium.

4. Bagi Masyarakat

Dapat mengetahui faktor-faktor yang ada kaitannya dengan pterigium

sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan terjadinya pterigium

terutama pada masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis dan sering terpapar

oleh sinar matahari.


1.5 Ruang Lingkup

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian

analitik. Batasan ruang lingkup pada penelitian ini adalah mengenai usia dan jenis kelamin

dengan kejadian Pterigium. Waktu penelitian pada bulan April tahun 2023 dan lokasi

penelitian di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pterigium

2.1.1 Definisi Pterigium

Pterigium berasal dari kata pteryx yang berarti sayap, dan pterigion yang berarti

sirip. Pterigium merupakan suatu kelainan mata akibat adanya pertumbuhan abnormal

jaringan fibrovaskular pada sub konjungtiva. Jaringan ini berbentuk segitiga seperti sayap

yang tumbuh dari perifer (fisura palpebra nasal atau temporal) dan berlanjut ke tengah

(limbus dan kornea) (Rais & Nasrul, 2022).

Pterigium adalah suatu perluasan fibrovaskular dari conjungtiva yang bertumbuh

dan mengarah ke kornea. Benbentuk seperti daging, berwarna kuning sampai putih. Pada

keadaan ini penderita akan merasa kurang nyaman dan jika perluasaan dari pinguecula ini

sudah mencapai bagian dari kornea mata, maka penderitanya akan mengalami penurunan

dalam fungsi penglihatan. Pterigium biasanya terjadi pada beberapa orang yang sering

terpapar dengan sinar matahari dan angin, sehingga pterigium banyak terjadi pada daerah

yang beriklim tropis contohnya seperti di Indonesia (Praharsiwi, 2017).

2.1.2 Etiologi Pterigium

Meskipun etiologi yang pasti penyakit pterigium belum diketahui, namun ada

beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian pterigium, diantaranya sistem


kekebalan tubuh suatu individu, predisposisi genetik, gen supresi tumor p-53, akibat

rangsangan asap rokok, serta beberapa faktor yang sering dijumpai pada penduduk wilayah

pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan, seperti iritasi kronik dari paparan sinar

ultraviolet (UV), udara yang panas, kering, berangin dan berdebu. Berbagai teori

pathogenesis pterigium, menunjukan bahwa paparan sinar ultra violet atau matahari adalah

penyebab utama terjadinya pterigium (Rais & Nasrul, 2022).

2.1.3 Epidemiologi Pterigium

Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa (Ratih

Natasha et al., 2019). Prevalensi pterigium di seluruh dunia berkisar antara 0,3-36%, dan

pada tahun 2000 dilaporkan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia didiagnosis dengan

pterigium (Ama et al., 2021). Pterigium ini lebih sering ditemukan di daerah beriklim tropis

, karena patogenesisnya berkaitan erat dengan paparan sinar ultraviolet. Prevalensi

pterigium pada dua mata maupun satu mata terlihat mengalami peningkatan dengan

bertambahnya umur. Terendah dijumpai pada kelompok umur 5–9 tahun (0,03%)

sedangkan prevalensi tertinggi ditemui pada kelompok umur >70 tahun (15,9%).

Prevalensi pterigium menurut jenis kelamin yaitu ditemui pada pterigium dua mata yang

mana lebih tinggi pada laki-laki (3,2%) (Erry et al., 2011).

Di Indonesia, pterygium tercatat sebagai angka kesakitan tersering nomor dua

penyakit mata setelah katarak. Di Indonesia prevalensi pterigium nasional adalah sebesar

8,3%. Dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan

Nusa Tenggara Barat (17,0%). Pada Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi pterigium
terendah yaitu (3,7%) diikuti oleh Banten (3,9%) (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia., 2013).

2.1.4 Manifestasi Klinis Pterigium

Umumnya pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam

keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai dengan keluhan mata merah, tanpa

adanya penurunan penglihatan. Pasien dapat juga mengeluhkan gejala iritasi mata

(lakrimasi, perasaan adanya benda asing, gatal dan perasaan terbakar) (Rais & Nasrul,

2022). Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama

sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak

merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,

pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam

penglihatan menurun (Lestari et al., 2017).

2.1.5 Klasifikasi Pterigium

Pterigium dapat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya, diantaranya dibagi

menjadi :

1. Derajat I : Hanya terbatas pada limbus, jaringan pterigium akan tampak

translusen sedikit putih keabuan, dan mirip seperti konjungtiva, belum

mengalami gangguan visus atau penglihatan.

2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati

kornea, jaringan pterigium akan berwarna merah muda, belum mengalami

gangguan visus atau penglihatan.


3. Derajat III : Jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil

mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

menggangu visus atau penglihatan, jaringan pterigium berwarna merah gelap

(Rais & Nasrul, 2022).

2.1.6 Faktor Risiko Pterigium

Faktor risiko yang paling sering menyebabkan terjadinya pterigium adalah :

1. Paparan sinar matahari dan ultraviolet (UV)

Faktor utama yang dapat meningkatkan kejadian penyakit pterigium adalah

paparan sinar matahari atau ultraviolet, dikarenakan paparan ultraviolet diserap

oleh konjungtiva kornea yang menyebabkan kerusakan suatu sel dan proliferasi.

Radiasi matahari bertanggung jawab untuk sebagian besar sinar cahaya yang

masuk kepermukaan kornea. Sinar ultraviolet dari sisi temporal difokuskan pada

limbus hidung di lokasi yang tepat dari hidung pterigium. Selain itu, Faktor-

faktor lokal seperti kelengkungan kornea, dan kedalaman ruang anterior

menentukan cahaya yang jatuh pada mata (Rais & Nasrul, 2022).

2. Usia

Usia menjadi faktor risiko pada pterygium. Beberapa penelitian pada populasi

orang dewasa mengkonfirmasikan prevalensi pterygium yang lebih tinggi

dengan bertambahnya usia (A. St. Haniyah N.Z, 2019). Secara hukum, usia 21

tahun dikatakan mulai dewasa, dan pada usia 30 dikatakan telah mampu

menyelesaikan masalah dengan baik, jadi stabil secara emosional. Pemicu


pterigium tidak hanya dari etiologinya saja tetapi terdapat faktor risiko yang

mempengaruhinya seperti usia. Dimana jarang terdapat kejadian pterigium pada

usia dibawah 20 tahun. Dan pterigium tertinggi terjadi pada usia 20-40 tahun

(Rais & Nasrul, 2022).

3. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian mengatakan faktor risiko pterygium lebih tinggi pada laki-

laki dibandingkan perempuan dikarenakan umunya laki-laki yang lebih banyak

bekerja di luar ruangan sehingga lebih sering terpapar sinar matahari. Menurut

penelitian distribusi dan karakteristik pterigium di Indonesia, jenis kelamin tidak

menunjukkan perbedaan yang mencolok, baik pada laki-laki maupun perempuan

pterigium pada dua mata maupun satu mata, akan tetapi perbedaan yang

menyolok ditemui pada pterigium dua mata yang mana lebih tinggi pada laki-

laki (3,2%) dibanding satu mata lebih tinggi pada perempuan (1,9%) (Erry et al.,

2011).

4. Lamanya aktifitas bekerja di luar rumah

Pekerjaan di luar ruangan dapat sangat mempengaruhi paparan mata terhadap

sinar ultraviolet (UV) yang menjadi faktor risiko pterigium, seperti nelayan,

pekerja di sektor agrikultur, buruh bangunan dan lain-lain yang langsung

terpapar tingkat sinar ultraviolet yang tinggi karena menghabiskan banyak

waktu di luar rumah selama berjam-jam di siang hari ketika sinar ultraviolet

sangat kuat (Zahara, 2020).

2.1.7 Patofisiologi Pterigium


Mekanisme patologi pterigium belum diketahui, telah terdapat banyak teori

patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-

sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan

terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi

jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan

produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa

radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi proliferasi

abnormal epitel limbus.

Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa

pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor

dan sitokin, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth

Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α)

serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi

sel, remodelling matriks ektra-sel dan angiogenesis.

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,

angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi,

sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan

memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan

mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel

yang akhirnya akan menimbulkan pterigium (Marcella, 2019).

2.1.8 Morfologi Pterigium


Pterigium terdiri dari tiga bagian yaitu :

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang

kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan

Bowman pada kornea. Garis zat besi dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area

ini juga merupakan area kornea yang kering.

2. Bagian whitish, terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler

tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut,

merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.

Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi

pembedahan (Lestari et al., 2017).

2.1.9 Penatalaksanaan Pterigium

Penatalaksaan awal pada pterigium dapat dilakukan dengan terapi konservatif

berupa pemberian obat tetes mata sebagai lubrikan untuk mengurangi iritasi dan rasa tidak

nyaman pada mata. Penatalaksanaan pterigium juga dapat dilakukan dengan operasi.

Operasi ini dilakukan dengan beberapa indikasi yaitu penurunan visus yang signifikan

disertai dengan gejala astigmatisme, mengancam kerusakan pada visual axis, iritasi yang

berat, dan kosmetik Teknik operasi yang dapat digunakan seperti teknik sklera, teknik

autograf konjungtiva, dan teknik grafting membrane amnion (Rais & Nasrul, 2022).

2.1.10 Pencegahan Pterigium


Upaya pencegahan dengan mengurangi paparan sinar UV juga diperlukan untuk

mengurangi progresivitas penyakit. Pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan topi

dengan tepi lebar, penggunaan payung, penggunaan kacamata dengan filter UV,

penggunaan tabir surya, dan membatasi aktivitas luar ruangan pada waktu tertentu dengan

indeks UV tinggi (Rais & Nasrul, 2022).

2.2 Kerangka Teori

Pekerjaan Paparan sinar UV


Faktor Resiko Asap rokok

Usia
Paparan Debu

Jenis Kelamin

Kerusakan pada membrane


epitel dasar pada mata

Pterigium

: diteliti

: tidak diteliti
Bagan 2.1 KerangkaTeori (Rais & Nasrul, 2022)

2.3 Kerangka Konsep

Variabel Dependent Variabel Independent

Usia

Pterigium

Jenis kelamin

Bagan 2.3 Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis Penelitian

 Ha =

1. Ada hubungan antara usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung.

2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

 Ho =
1. Tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian pterigium di RSUD DR. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung.

2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pterigium di RSUD DR.

H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA

A. St. Haniyah N.Z. (2019). Hubungan Pekerjaan, Usia Dan Jenis Kelamin Dengan
Terjadinya Pterigium Di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (Bkmm) Provinsi
Sulawesi Selatan Periode November 2018-Januari 2019. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar 2019, 8(5), 55.
Ama, D. P., Manoppo, R. D. P., & Supit, W. P. (2021). Gambaran Tingkat Pengetahuan
tentang Pterygium pada Pengendara Bentor di Kecamatan Mananggu. E-CliniC, 9(1),
15–19. https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.31706
Erry, Mulyani Ully Adhie, & Susilowati Dwi. (2011). Distribusi Dan Karakteristik
Pterigium Di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(1), 84–89.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS.
Badan Penelitian Pengembangan, 7(5), 803–809.
https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803
Lestari, D. J. T., Sari, D. R., Mahdi, P. D., & Himayani, R. (2017). Pterigium derajat IV
pada pasien geriatri. Majority, 7(1), 20–25.
Marcella, M. (2019). Manajemen pterigium. Continuing Medical Education, 46(1), 23–25.
Muchtar, H., & Triswanti, N. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Pterygium Pada Pasien yang Berobat di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Jurnal Medika Malahayati, 2(1), 8–14.
Praharsiwi, I. (2017). Karakteristik Penderita Pterigium Yang Berkunjung Di Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Di Makassar Tahun 2015.
Rais, M. A., & Nasrul, M. (2022). Pterigium Pada Penduduk Pesisir Di Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Kesehatan Jompa, 1(2), 164–169.
Ratih Natasha, Sitti Rukiyah Syawal, Halimah Pagarra, & Arifin Seweng. (2019). Ekspresi
Gen P53 Pada Pterigium Primer Dan Pterigium Rekuren. Green Medical Journal,
1(1), 58–67. https://doi.org/10.33096/gmj.v1i1.20
Rohaya, S., & Siregar, W. Y. M. (2023). Pterigium Okuli Dextra et Sinistra keluhan sama
sekali . Keluhan yang timbul biasanya berupa keluhan simptomatik dan : Perempuan :
Islam : Simpang Keuramat. 2(1), 57–65.
Selviana, B. Y., & Ibrahim, A. (2019). Pterigium Grade III pada Oculi Sinistra. Medula,
8(2), 148–53.
Zahara, N. E. (2020). Paparan Sinar Matahari sebagai Faktor Risiko Pterigium pada Pekerja
Sektor Agrikultur. Jurnal Agromedicine Unila, 7(1), 40–45.

Anda mungkin juga menyukai