PRA PROPOSAL
disusun guna memenuhi tugas akhir Matakuliah Umum
Karya Tulis Ilmiah (Pra Proposal)
Tahun Ajaran 2019/2020
Oleh
GAMELIA SABARANI HIDAYATI
NIM 172010101100
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
NOVEMBER 2019
BAB 1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai potensi dan sumber daya alam
(SDA) yang melimpah. Tidak hanya luasnya daratan Indonesia yang memanjakan mata,
tetapi birunya laut membuat potensi alam Indonesia tidak akan pernah habis. Dalam segi
kelautan saat ini Indonesia memiliki visi kedepan sebagai poros maritim dunia. Sebagai
negara maritim, Indonesia memiliki panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km dengan
gugusan pulau 17.508 pulau.
Nelayan sebagai kelompok pekerja informal memiliki tingkat resiko penyakit akibat
kerja yang tinggi. Nelayan mudah terkena resiko penyakit kronis yang banyak
disebabkan oleh lingkungan kerja maupun lingkungan fisik karena adanya perilaku
personal. Eksposure yang menyebabkan nelayan beresiko menderita penyakit akibat
kerja yaitu noise/bising yang menyebabkan hearing loss, radiasi ultraviolet (UV) yang
menyebabkan dermatitis kontak, mata pterygeum dan katarak, lamanya waktu dan jam
kerja yang irregular, serta tekanan fisik. Selain itu prevalensi kanker tipe actinic
keratosis dan leukimia, fatigue, dan muskuloskeletal injuries dilaporkan sering terjadi
juga. Poor dental care, pemenuhan imunisasi yang kurang dan kesehatan mental juga
diduga meningkatkan resiko timbulnya penyakit akibat pekerja laut. Kesehatan kronis
tidak mengenal batasan usia, resiko kesehatan kronis dan penyakit biasa lainnya yang
sering terjadi pada populasi seperti obesitas, cardiovascular disease (CVD), dan
obstructive sleep apneu (OSA). [CITATION Chr18 \l 1033 ]
Sedangkan faktor lingkungan kerja yang menyebabkan penyakit akibat kerja pada
nelayan antara lain adalah kontak dengan air laut, kondisi lingkungan kerja basah,
bahaya mikroorganisme dan makhluk laut, suhu dan kelembaban.
Pterigium dilaporkan memiliki distribusi di seluruh dunia dan dianggap umum pada
negara yang memiliki iklim hangat dan kering, sedangkan prevalensi setinggi 22 % di
daerah garis equator dengan suhu rata-rata lebih dari 30°.Oleh karena itu, banyak
penelitian yang menyebutkan bahwa pterigium salah satu penyakit mata kronis yang
lazim ditemukan di negara tropis seperti Indonesia.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pterigium seperti usia, jenis kelamin, etnis
seperti pada penelitian oleh Barbados Eye Studies menjelaskan bahwa orang dengan
kulit gelap memiliki resiko petrigium tinggi dibandingkan orang dengan kulit hitam.
Selain itu resiko lain seperti kondisi pekerjaan diluar rumah. Resiko pterigium lebih
tinggi di daerah pedesaan yang termasuk masyarakat pesir pantai karena kondisi
lingkungan, gaya hidup, kemiskinan, dan akses layanan kesehatan yang terbatas.
Salah satu penyebab nelayan mudah terkena paparan penyakit dikarenakan perilaku
personal terhadap dirinya sendiri. Rata-rata nelayan di Indonesia pada saat melaut tidak
menggunakan APD (alat pelindung diri) lengkap sehingga beresiko terkena penyakit
pterigium. Selain tidak menggunakan APD, pengetahuan masyarakat rendah terhadap
pterigium terutama di negara yang memiliki resiko pterigium tinggi. Berdasarkan
penelitian Nasution (2013) diketahui bahwa terdapat hubungan pekerjaan dengan
kejadian pterigium. Hal ini dikarenakan para nelayan yang berada di sekitar pantai tidak
mengerti dampak langsung sinar matahari yang dapat menyebabkan pterigium. Petani
hanya berfokus dengan pekerjaannya bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan
kehidupan dirinya maupun keluarga.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti ingin meneliti lebih lanjut
mengenai hubungan kerja dan perilaku personal pada nelayan dengan kejadian pterigium
di wilayah Kecamatan Puger Kabupaten Jember.
2.1.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan pada daerah
iklim panas dan kering. Prevalensinya juga tinggi di daerah berdebu dan berpasir
[CITATION Ame06 \l 1033 ]. Faktor yang sering mempengaruhi ialah letak suatu daerah
yang dekat dengan garis khatulistiwa yaitu daerah yang kurang dari 37° lintang utara
dan selatan dari garis khatulistiwa. Prevalensi tinggi sampai 22% di dapati di daerah
dekat garis khatulistiwa dan kurang dari 2% pada daerah diatas lintang 40°.
Penelitian case control di Australia, mengidentifikasi jumlah pterigium
berdasarkan faktor resiko didapati 44 kali lebih banyak pada pasien yang bermukim di
daerah tropis. 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali
pada pasien tidak memakai sunglasses dan 2 kali pada pasien tidak memakai topi
dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki.
Taylor dkk yang melakukan penelitian di daerah utara, mengemukakan bahwa
pterigium hanya ditemukan pada nelayan dan pekerja di pedesaan. Hal ini menunjukkan
bahwa pterigium berhubungan erat dengan exposure sinar matahari. [ CITATION
Wal04 \l 1033 ]
Singapore National Eye Center, melakukan penelitian di daerah Riau untuk
meninjau pterigium berhubungan dengan umur dan pekerjaan diluar rumah (exposure
sinar matahari). Di dapati prevalensi pada usia 21 tahun sebesar 10% usia diatas 40 tahun
sebesar 16,8% .[ CITATION Gaz02 \l 1033 ]
2.1.3 Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas serta diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi, juga diduga disebabkan iritasi lama akibat debu,
cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Pterigium berpotensi menjadi penyebab
kebutaan pada tahap lanjut, serta memerlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki
penglihatan. [ CITATION Gaz02 \l 1033 ]
2.1.4 Patogenesis
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Adanya pterygium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye
dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium. Selain itu faktor lain seperti
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah dapat meajadi pemicu
terjadinya pterigium.
2.1.6 Klasifikasi
Youngson, (1972) mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat
berdasarkan perluasannya ke kornea. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya
terbatas pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati
limbus kornea tapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat 3 bila pertumbuhan
pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi tepi pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium
sudah melewati tepi pupil.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2019. Karena
nelayan di kawasan pesisir pantai Kecamatan Puger Kabupaten Jember mengandalkan
cuaca sebagai faktor utama yang mempengaruhi ketersediaan ikan di laut dan
menentukan keberanian nelayan untuk melaut. Curah hujan yang cukup tinggi disertai
kondisi angin kencang dan gelombang tinggi, masyarakat biasanya menyebutkan
sebagai angin barat yang menyebabkan nelayan di Pesisir Puger enggan melaut. Kondisi
demikian biasanya dimulai awal tahun, pada umumnya angin ini terjadi tertinggi pada
bulan Januari dengan kecepatan 3m/s. Kondisi seperti ini sering pada saat memasuki
musim penghujan, sehingga banyak nelayan dan pedagang ikan yang mengaggur,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan sampingan.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang berawa di pesisir pantai Desa
Puger Kecamatan Puger Kabupaten Jember.
Variabel terikat penelitian ini adalah kejadian pterigium pada nelayan pesisir pantai.
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah nelayan pesisir pantai Desa
Puger Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Subjek penelitian ini diwajibkan hadir
dalam wawancara dan menjawab pertanyaan yang telah tercantum pada quisioner. Jika
subjek tidak bersedia untuk dijadikan subjek dalam penelitian dikarenakan alasan
tertentu, dapat digunakan responden lain. Yang terpenting adalah subjek memenuhi
kriteria inklusi maupun eksklusi.
Pada penelitian, subjek yang digunakan hanya kelompok jenis kelamin laki-laki.
Untuk memastikan jenis kelamin pada penelitian ini dinilai dengan pengamatan
langsung pada kondisi fisik yang terlihat dan melihat kartu identitas subjek.
3.8.3 Pterygium
Alat pelindung yang seharusnya dipakai nelayan sebagai alat untuk keselamatan
adalah life jacket (jaket pelampung), life buoy (pelampung penolong), dan alat isyarat
visual seperti asap apung (buoyant smoke signal) yang digunakan pada siang hari
maupun malam hari, dapat menggunakan obor tangan atau obor parasut. Selain itu
nelayan harus memenuhi kebutuhan umum sebagai alat pelindung diri seperti alat
pelindung kepala, alat pelindung mata dan muka, alat pelindung telinga, alat pelindung
tangan, alat pelindung kaki, pakaian pelindung, dan alat pelindung jatuh perorangan. Di
dalam penelitian peneliti dapat mengetahui alat pelindung diri apa saja yang biasa
dipakai pada nelayan di pesisir pantai Kecamatan Puger.
Di dalam penelitian dapat terlihat apakah tenaga kesehatan cukup berperan aktif
dalam kejadian pterigium. Dikarenakan banyak nelayan masih kurang sadar terhadap
pentingnya merawat kesehatan dirinya sendiri. Peneliti dapat mencari data dengan
menanyakan kepada subjek terkait general check up yang biasa dilakukan. Tenaga
kesehatan manakah yang sering dikunjungi oleh nelayan dapat ditanyakan pula.
Dalam penelitian dapat pula peneliti mengetahui masa kerja tiap nelayan yaitu
dengan masa kerja kurang dari 8 jam, 8-10 jam, lebih dari 10 jam, tidak ingat untuk
menghitung atau tidak mengetahui berapa lama mereka menghabiskan waktu untuk
bekerja.
Instrument penelitian ini berisi tentang penyataan tentang kesediaan dari sampel
untuk menjadi responden dalam penelitian ini, serta berisi informasi yang harus
diketahui calon sampel meliputi kewajiban subjek penelitian, prosedur penelitian,
kerahasiaan identitas sampel sebagai subyek penelitian, dan manfaat penelitian untuk
subyek penelitian.
Instrument ini berisi nama, usia, jenis kelamin, berat badan dan alamat
responden.
Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara
dan quisioner yang dilakukan peneliti pada nelayan pesisir pantai Kecamatan Puger
Kabupaten Jember.
Data yang telah didapatkan akan diolah untuk mempermudah analisis dengan
cara editing data, coding data, entry data, sorting data, dan tabulating data.
1. Editing data dilakukan secara manual untuk memeriksa kelengkapan identitas
responden.
2. Coding data dilakukn untuk menyusun data yang telah didapatkan secara sistematis
supaya lebih mudah dibaca pada aplikasi komputer. Semua jawaban angka diubah
dalam bentuk kode angka.
3. Entering data taitu memasukkan data yang telah diubah menjadi kode angka lalu
dianalisis menggunakan aplikasi komputer.
4. Sorting data untuk mengelompokkan data sesuai jenisnya.
5. Tabulating data untuk menyajikan data dalam bentuk tabel.
3.9 Analisis Data
Populasi
Ethical Clearance
Menyetujui Informed
Concent
Sampel
Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Wibowo, Rudi, Zulfikar, Hadi Paramu, Dominikus Rato, Hardian Susilo Addy. . . .
., Nawiyanto. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: UPT Penerbitan Universitas Jember.
Jurnal
Carly Eckert, T. B. (2018). Chronic Health Risks in Commercial Fishermen: A Cross-
Sectional Analysis from a Small Rural Fishing Village in Alaska. Journal of
Agromedicine, 176-185.
E.O ACHIGBU, U. F. (2014). Prevalence and Severity of Pterygium Among Commercial
Motorcycle Riders In South Eastern Nigeria. Ghana Medical Journal.
Erry, U. A. (2011). Distribusi dan Karakteristik Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 84-89.
Felmi Violita Ingrad de Lima, A. G. (2012). Hubungan Paparan Sinar Matahari Dengan
Angka Kejadian Pterigium Di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013.
Jurnal Fakrultas Kedokteran Universitas Pattimura.
Gazzard, G. S. (2002). Pterigium Indonesia:Prevalence, Severity and Risk Factor. British
Journal of Ophtalmology, 1341.
Hassan Hashemi, M. K. (2016). The prevalence and determinants of pterygium in rural areas.
Journal of Current Ophthalmology , 1-5.
Hendrawan, A. (2017). Analisa Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Nelayan.
Ophtalmology, A. A. (2015-2006). External disease and cornea. Basic and clinical science
course, 344 & 405.
Perbandingan prevalensi pterygium pada nelayan di Tuminting dengan Petani di Rurukan.
(2016). Jurnal e-Clinic (eCl).
Rany, N. (2017). Relationship Between Working Environment And Fisherman Behaviour's
Toward Pterygium Incidence In Kemang Village District Of Pangkalan Kuras Pelalawan.
Journal of Community Health, 153-158.
Sary Somba, J. S. (2018). Gambaran Pengetahuan Masyarakat yang Bekerja sebagai
Nelayan. Jurnal e-Clinic (eCl).
Ting Chen, L. D. (2015). Prevalence and Racial Differences in Pterygium: A CrossSectional
Study in Han and Uygur Adults in Xinjiang, China. Clinical and Epidemiologic
Research.
Waller, G. A. (2004). Pterigium. Duane's Clinical Ophtalmologi, 6 :Revised Edition, 1-10.