Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA DAN PERILAKU PERSONAL PADA

NELAYAN DENGAN KEJADIAN PTERYGIUM DI WILAYAH


KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

PRA PROPOSAL
disusun guna memenuhi tugas akhir Matakuliah Umum
Karya Tulis Ilmiah (Pra Proposal)
Tahun Ajaran 2019/2020

Oleh
GAMELIA SABARANI HIDAYATI
NIM 172010101100

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
NOVEMBER 2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai potensi dan sumber daya alam
(SDA) yang melimpah. Tidak hanya luasnya daratan Indonesia yang memanjakan mata,
tetapi birunya laut membuat potensi alam Indonesia tidak akan pernah habis. Dalam segi
kelautan saat ini Indonesia memiliki visi kedepan sebagai poros maritim dunia. Sebagai
negara maritim, Indonesia memiliki panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km dengan
gugusan pulau 17.508 pulau.

Dalam sejarahnya, Indonesia sempat menjadi negara jalur transportasi


perdagangan dunia. Sejarah tersebut membuat masyarakat Indonesia masih
mengandalkan laut sebagai pemenuhan perekonomian. Menurut Kementrian PPN atau
Bappenas isu strategis terhadap perekonomian di bidang kelautan saat ini menjadi
masalah umum yang menyebabkan tingkat penghasilan nelayan di Indonesia tergolong
rendah. Karena masalah umum yang masih belum terlihat progress perbaikannya
mempermudah masalah penting lain muncul, salah satunya adalah masalah kesehatan.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia nelayan adalah pekerja dengan


resiko kemiskinan dikarenakan pekerjaan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca
dan musim. Dalam setahun rata-rata nelayan hanya dapat melaut kira-kira dalam 172
hari. Maka dari itu Menkes mengharapkan pemerintah yang daerahnya memiliki wilayah
laut dapat melakukan penguatan koordinasi pelaksanaan upaya peningkatan pelayanan
kesehatan masyarakat nelayan, pembuatan peta masalah kesehatan masyarakat nelayan
di wilayahnya, dan pemberdayaan masyarakat nelayan di bidang kesehatan.

Nelayan sebagai kelompok pekerja informal memiliki tingkat resiko penyakit akibat
kerja yang tinggi. Nelayan mudah terkena resiko penyakit kronis yang banyak
disebabkan oleh lingkungan kerja maupun lingkungan fisik karena adanya perilaku
personal. Eksposure yang menyebabkan nelayan beresiko menderita penyakit akibat
kerja yaitu noise/bising yang menyebabkan hearing loss, radiasi ultraviolet (UV) yang
menyebabkan dermatitis kontak, mata pterygeum dan katarak, lamanya waktu dan jam
kerja yang irregular, serta tekanan fisik. Selain itu prevalensi kanker tipe actinic
keratosis dan leukimia, fatigue, dan muskuloskeletal injuries dilaporkan sering terjadi
juga. Poor dental care, pemenuhan imunisasi yang kurang dan kesehatan mental juga
diduga meningkatkan resiko timbulnya penyakit akibat pekerja laut. Kesehatan kronis
tidak mengenal batasan usia, resiko kesehatan kronis dan penyakit biasa lainnya yang
sering terjadi pada populasi seperti obesitas, cardiovascular disease (CVD), dan
obstructive sleep apneu (OSA). [CITATION Chr18 \l 1033 ]

Sedangkan faktor lingkungan kerja yang menyebabkan penyakit akibat kerja pada
nelayan antara lain adalah kontak dengan air laut, kondisi lingkungan kerja basah,
bahaya mikroorganisme dan makhluk laut, suhu dan kelembaban.

Pterygium merupakan pertumbuhan abnormal dari jaringan fibrovascular yang


berbentuk sayap pada concingtivita mata yang menyebar luas ke daerah kornea mata,
menyebabkan masalah astigmatisme, penglihatan, dan penampilan/kosmetik mata
penderitanya. Prevalensi pterigium menurut Riskesdas di Indonesia pada tahun 2015
menunjukkan prevalensi pterigium nasional yaitu sebesar 8,3%. Tingginya prevalensi
pterigium pada kelompok pekerjaan nelayan dan petani dibandingkan dengan pekerjaan
lainnya yaitu sebesar 15, 8%. Hal tersebut dapat berkaitan dengan kondisi tingginya
paparan sinar ultraviolet yang berasal dari matahari. Sinar matahari diduga
menyebabkan penguapan yang cepat dan penghancuran tear film dengan degenerasi
elastoid dari jaringan ikat subepitel.

Pterigium dilaporkan memiliki distribusi di seluruh dunia dan dianggap umum pada
negara yang memiliki iklim hangat dan kering, sedangkan prevalensi setinggi 22 % di
daerah garis equator dengan suhu rata-rata lebih dari 30°.Oleh karena itu, banyak
penelitian yang menyebutkan bahwa pterigium salah satu penyakit mata kronis yang
lazim ditemukan di negara tropis seperti Indonesia.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pterigium seperti usia, jenis kelamin, etnis
seperti pada penelitian oleh Barbados Eye Studies menjelaskan bahwa orang dengan
kulit gelap memiliki resiko petrigium tinggi dibandingkan orang dengan kulit hitam.
Selain itu resiko lain seperti kondisi pekerjaan diluar rumah. Resiko pterigium lebih
tinggi di daerah pedesaan yang termasuk masyarakat pesir pantai karena kondisi
lingkungan, gaya hidup, kemiskinan, dan akses layanan kesehatan yang terbatas.

Salah satu penyebab nelayan mudah terkena paparan penyakit dikarenakan perilaku
personal terhadap dirinya sendiri. Rata-rata nelayan di Indonesia pada saat melaut tidak
menggunakan APD (alat pelindung diri) lengkap sehingga beresiko terkena penyakit
pterigium. Selain tidak menggunakan APD, pengetahuan masyarakat rendah terhadap
pterigium terutama di negara yang memiliki resiko pterigium tinggi. Berdasarkan
penelitian Nasution (2013) diketahui bahwa terdapat hubungan pekerjaan dengan
kejadian pterigium. Hal ini dikarenakan para nelayan yang berada di sekitar pantai tidak
mengerti dampak langsung sinar matahari yang dapat menyebabkan pterigium. Petani
hanya berfokus dengan pekerjaannya bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan
kehidupan dirinya maupun keluarga.

Sedangkan pada penelitian mengaiktkan lingkungan kerja seperti lamanya bekerja


para nelayan. Lamanya masa kerja nelayan berkaitan dengan semakin lama terpapar
dengan sinar UV. Selain itu durasi dan kualitas tidur pada nelayan yang buruk dapat
menjadi predisposisi penyakit akibat kerja lainnya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti ingin meneliti lebih lanjut
mengenai hubungan kerja dan perilaku personal pada nelayan dengan kejadian pterigium
di wilayah Kecamatan Puger Kabupaten Jember.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“bagaimana hubungan lingkungan kerja dan perilaku personal pada nelayan dengan
kejadian pterigium di wilayah kecamatan Puger Kabupaten Jember?”

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah ada hubungan lingkungan
kerja dan perilaku personal pada nelayan dengan kejadian pterigium di wilayah Puger
Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat Penelitian
14.1 Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi ilmiah terkait efek lingkungan kerja dan perilaku personal
nelayan terhadap kejadian pterigium.
b. Dapat dijadikan landasan teori dan sebagai dasar pengembangan penelitian
selanjutnya khususnya pada bidang kesehatan.

14.2 Manfaat Aplikatif


Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dan pemerintah khususnya
daerah dengan wilayah perairan dalam upaya pencehagan terhadap penyakit pterigium.
Serta memberikan pengetahuan mengenai penyakit pterigium yang sering terjadi di
daerah dengen iklim tropis seperti Indonesia.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Pterigium Pada Nelayan


2.1.1 Definisi
Pterygium berasal dari bahasa yunani yaitu pteron yang berarti sayap (wing).
Pterigium merupakan jaringan fibrovaskular yang menfiltrasi konjungtiva bulbi, pada
permukaan kornea, bersifat degeneratif dan invansif, umumnya bilateral di sisi nasal,
biasanya berbentuk segitiga dengan kepala atau apex menghadap ke sentral kornea dan
basis menghadap lipatan semilunar pada kantus. [ CITATION Wal04 \l 1033 ]

2.1.2 Epidemiologi

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan pada daerah
iklim panas dan kering. Prevalensinya juga tinggi di daerah berdebu dan berpasir
[CITATION Ame06 \l 1033 ]. Faktor yang sering mempengaruhi ialah letak suatu daerah
yang dekat dengan garis khatulistiwa yaitu daerah yang kurang dari 37° lintang utara
dan selatan dari garis khatulistiwa. Prevalensi tinggi sampai 22% di dapati di daerah
dekat garis khatulistiwa dan kurang dari 2% pada daerah diatas lintang 40°.
Penelitian case control di Australia, mengidentifikasi jumlah pterigium
berdasarkan faktor resiko didapati 44 kali lebih banyak pada pasien yang bermukim di
daerah tropis. 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali
pada pasien tidak memakai sunglasses dan 2 kali pada pasien tidak memakai topi
dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki.
Taylor dkk yang melakukan penelitian di daerah utara, mengemukakan bahwa
pterigium hanya ditemukan pada nelayan dan pekerja di pedesaan. Hal ini menunjukkan
bahwa pterigium berhubungan erat dengan exposure sinar matahari. [ CITATION
Wal04 \l 1033 ]
Singapore National Eye Center, melakukan penelitian di daerah Riau untuk
meninjau pterigium berhubungan dengan umur dan pekerjaan diluar rumah (exposure
sinar matahari). Di dapati prevalensi pada usia 21 tahun sebesar 10% usia diatas 40 tahun
sebesar 16,8% .[ CITATION Gaz02 \l 1033 ]
2.1.3 Etiologi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas serta diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi, juga diduga disebabkan iritasi lama akibat debu,
cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Pterigium berpotensi menjadi penyebab
kebutaan pada tahap lanjut, serta memerlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki
penglihatan. [ CITATION Gaz02 \l 1033 ]

2.1.4 Patogenesis

Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan berbentuk sayap, mengandung


pembuluh darah dan jaringan yang berasal dari konjungtiva dan dapat menyebar ke
limbus kornea dan seterusnya. Rusaknya limbal stem cell sebagai pembatas antara
kornea dan konjungtiva merupakan awal terbentuknya pterigium. Akibat paparan sinar
ultraviolet terjadi mutasi gen p53 dan menimbulkan proliferasi sel epitel limbus
membentuk jaringan fibrovaskular ke arah kornea.

2.1.5 Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi


ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi Ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan


berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Adanya pterygium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye
dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium. Selain itu faktor lain seperti
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah dapat meajadi pemicu
terjadinya pterigium.

2.1.6 Klasifikasi
Youngson, (1972) mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat
berdasarkan perluasannya ke kornea. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya
terbatas pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati
limbus kornea tapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat 3 bila pertumbuhan
pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi tepi pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium
sudah melewati tepi pupil.

Gambar 2.1.6 Derajat pterigium (Gambar A pterigium derajat 1, gambar B derajat 2,


gambar C derajat 3, dan gambar D derajat 4)

2.2 Lingkungan Kerja dan Perilaku Personal Pada Nelayan


2.2.1 Lingkungan Kerja
Pengembangan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan, dalam bentuk
pelatihan diharapkan mampu mencegah atau menimalisir terjadinya kecelakaan melaut.
Tersedianya alat keselamatan di kapal perikanan dan di pelabuhan perikanan Selain
dengan pelatihan, sertifikasi bagi nelayan, maka perlu dipastikan kelengkapan alat
keselamatan di setiap kapal perikanan yang akan melaut. Alat-alat keselamatan yang
seharusnya dimiliki oleh boat nelayan yaitu jaket pelampung (life jacket), pelampung
penolong (life bouy), dan alat isyarat visual seperti isyarat asap apung (buoyant smoke
signal) yang digunakan pada siang hari dan pada malam hari dapat menggunakan obor
tangan (Red hand flare) atau obor parasut (parachute signal). (Hafimmudin,2015)
Anurogo (2011) alat pelindung diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan
pekerja itu sendiri dan orang disekelilingnya. Menurut penelian yang dilakukan oleh
Toni (2005) mengatakan bahwa salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
pterigium adalah pekerjaan (pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan sinar
UV) sehingga untuk mencegah pertumbuhannya pasien harus menggunakan kaca mata.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Nasution (2013) alat pelindung diri sangat
mempengaruhi keadaan kesehatan mata nelayan. Seorang nelayan menggunakan alat
pelindung diri berupa topi agar kepala dan wajah dapat terlindungi dari sinar UV dan
benda asing. Pelindung kepala berperan penting untuk kesehatan mata.
Kebiasaan tidak menggunakan alat pelindung diri saat melaut, nelayan
menganggap bahwa melaut dengan menggunakan alat pelindung diri lengkap merupakan
sesuatu yang dapat mengganggu aktifitas mereka saat bekerja sehingga mereka tidak
mau menggunakannya, padahal nelayan tidak mengetahui bahwa resiko pterigium akan
lebih besar bila sering terpapar sinar UV dan angin yang berlebihan. Hal ini diperkuat
dengan adanya hasil yang didapat oleh penelitian yaitu nelayan dengan kejadian
pterigium yang tidak memakai alat pelindung diri lengkap lebih tinggi dari pada yang
menggunakan alat pelindung diri lengkap. Oleh karena itu nelayan harus membiasakan
menggunakan alat pelindung diri lengkap saat melaut agar dapat mengurangi resiko
terjadinya/penyakit pterigium.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan
domain yag sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan, biasanya pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman
yang berasal dari berbagai macam sumber. Penelitian yang dilakukan oleh Erry (2010)
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan masyarakat
dengan privalensi pterigium dua mata maupun satu mata.

2.2.2 Perilaku Personal


Perilaku personal berhubungan dengan bagaimana nelayan memperhatikan
dirinya terhadap lingkungan kerja yaitu dengan seberapa lama ia mengahbiskan watu
untuk bekerja dan kesehatan yang ditandai dengan melakukan general check up oleh
nelayan. Hasil penelitian didapatkan adanya hubungan masa kerja nelayan terhadap
kejadian pterigium. Ini disebabkan karena semakin lama melaut maka semakan lama
terpapar sinar UV. Penelitian ini di dukung oleh teori Ilyas (2008) bahwa paparan sinar
matahari merupakan faktor yang pentingng dalam perkembangan terjadinya Pterigium.
Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada
daerah di dekat equator dan pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah allergen,
bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Yusuf. S, dkk (2014) yang mengatakan bahwa prevalensi pterigium
yang tinggi pada subjek dengan lama paparan rata-rata perhari terhadap matahari > dari
5 jam perhari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama berada di luar rumah memiliki
resiko yang meningkat terjadinya Pteregium. Selain itu, paparan terhadap radiasi sinar
UV juga memiliki peranan yang penting. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pterigium
berkaitan erat dengan paparan sinar matahari pada mata.
Masyarakat nelayan yang paparan sinar ultraviolet yang berlebihan memiliki
resiko yang meningkatkan terjadinya Pterigium, ini dapat dikarenakan oleh musim yang
menjadi patokan nelayan untuk mencari penghasilan, karena ada saatnya musim yang
nelayan tidak bisa melaut dikarenakan cuaca sehingga pada waktu musim yang tepat
mereka menggunakan waktu lebih banyak untuk melaut agar mendapat penghasilan
lebih. Sehingga masyarakat nelayan yang memiliki masa kerja >5 jam perhari lebih
besar resikonya dibandingkan nelayan yang masa kerjanya <5 jam perhari.
Peran tenaga kesehatan sangatlah penting bagi seseorang yang bekerja dengan
faktor resiko tinggi, menurut peneltian yang dilakukan oleh Toni (2005) sebenarnya
untuk pterigium derajat 1- 2 yang mengalami inflasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 6 kali sehari selama 5-7 hari tanpa perlu
pembedahan. Ini perlu dilakukan dan di kerjakan oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian Nainggolan (2010) setiap pasien yang datang untuk rawat
jalan akan mendapat pengetahuan dan cara pencegahan terhadap berbagai penyakit mata
termasuk Pterigium. Petugas kesehatan mempengaruhi kesehatan mata pasien di rumah
sakit. Peran penting petugas kesehatan sebagai payung bagi pasien dalam pencegahan
penyakit mata akibat sinar UV.

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent


Lingkungan kerja dan Kejadian pterigium pada
perilaku personal nelayan

2.4 Hipotesis Penelitian


Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan kerja danperilaku
personal pada nelayan terhadap kejadian pterigium di Kecamatan Puger
Kabupaten Jember.
H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan kerja dan
perilaku personal terhadap kejadian pterigium di Kecamatan Puger
Kabupaten Jember.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan lingkungan kerja dan


perilaku personal pada nelayan dengan kejadian pterigium di wilayah Kecamatan
Puger Kabupaten Jember. Desain penelitian pada penelitian ini adalah studi
kolerasi dengan jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan
metode cross-sectional study.

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dapat dilihat pada gambar 3.2

Kejadian Variabel Analisis


Populasi Sampel
Pterigium Terikat Data
Gambar 3.2 konsep rancangan penelitian

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian


3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian bertempat di kawasan pesisir pantai Desa Puger Kecamatan Puger


Kabupaten Jember.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2019. Karena
nelayan di kawasan pesisir pantai Kecamatan Puger Kabupaten Jember mengandalkan
cuaca sebagai faktor utama yang mempengaruhi ketersediaan ikan di laut dan
menentukan keberanian nelayan untuk melaut. Curah hujan yang cukup tinggi disertai
kondisi angin kencang dan gelombang tinggi, masyarakat biasanya menyebutkan
sebagai angin barat yang menyebabkan nelayan di Pesisir Puger enggan melaut. Kondisi
demikian biasanya dimulai awal tahun, pada umumnya angin ini terjadi tertinggi pada
bulan Januari dengan kecepatan 3m/s. Kondisi seperti ini sering pada saat memasuki
musim penghujan, sehingga banyak nelayan dan pedagang ikan yang mengaggur,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan sampingan.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang berawa di pesisir pantai Desa
Puger Kecamatan Puger Kabupaten Jember.

3.4.2 Kriteria Inklusi


a) Masyarakat (nelayan) yang telah tinggal di pesisir pantai Desa Puger Wetan
maupun Kulon Kecamatan Puger Kabupaten Jember yang lebih dari 5 tahun.
b) Laki-laki usia 20 sampai 79 tahun, dikarenakan populasi tersering pekerja yang
menekuni bidang kelautan khususnya sebagai nelayan.
c) Bersedia diambil datanya untuk menjadi responden penelitian.
d) Semua informasi yang ada pada quisioner telah terpenuhi.

3.4.3 Kriteri Eksklusi


a) Riwayat pembedahan/pengobatan penyakit mata petrigium.
b) Riwayat pembedahan/pengobatan penyakit katarak.
c) Pekerja yang tidak menyetujui untuk mengikuti penelitian ini.

3.4.4 Besar Sampel Penelitian

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 sampel.

3.8.1.4.5 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling. Teknik ini dilaksanakan dengan pertimbangan tertentu agar data yang
diperoleh lebih representatif. (Sugiyono,2010). Pengambilan sampel menggunakan
kriteria inklusi dan eksklusi sebagai pertimbangan.

3.5 Variabel Penelitian


3.8.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu lingkungan kerja (pengetahuan,


kelengkapan alat pelindung diri) dan perilaku personal (peran tenaga kesehatan dan
masa kerja).

3.8.2 Variabel Terikat

Variabel terikat penelitian ini adalah kejadian pterigium pada nelayan pesisir pantai.

3.6 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran


3.8.1 Nelayan

Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah nelayan pesisir pantai Desa
Puger Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Subjek penelitian ini diwajibkan hadir
dalam wawancara dan menjawab pertanyaan yang telah tercantum pada quisioner. Jika
subjek tidak bersedia untuk dijadikan subjek dalam penelitian dikarenakan alasan
tertentu, dapat digunakan responden lain. Yang terpenting adalah subjek memenuhi
kriteria inklusi maupun eksklusi.

3.8.2 Jenis Kelamin

Pada penelitian, subjek yang digunakan hanya kelompok jenis kelamin laki-laki.
Untuk memastikan jenis kelamin pada penelitian ini dinilai dengan pengamatan
langsung pada kondisi fisik yang terlihat dan melihat kartu identitas subjek.
3.8.3 Pterygium

Dalam penelitian variabel terikat menjadi fokus utama penelitia. Kejadian


pterigium pada nelayan pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimtomatis
hanay menganggu kosmetis penderitanya. Tetapi gejala umum yang dapat dirasakan
yaitu berupa mata yang sangat kering (rasa gatal, gatal, atau mata berair) akibat dari lesi
yang mulai berkembang di permukaan okular. Seiring dengan proyeksi penyakit, lesi
bertambah besar dan dan dapat dilihat dengan menggunakan mata telanjang. Maka,
selain menggunakan wawancara dan quisioner untuk memenuhi data, peneliti dapat
memastikan langsung dengan memeriksa organ mata subjek penelitian untuk mendapat
hasil sesuai data kejujuran yang telah diambil.

3.8.4 Tingkat Pengetahuan

Tingkat pendidikan dalam penelitian dapat dinilai dengan menggunakan


quisioner. Tingkat pengetahuan terlihat dari pedidikan terakhir seseorang, semakin
tinggi pendidikan yang mereka tempuh maka semakin luas wawasan yag mereka miliki.
Masyarakat pesisir pantai di Indonesia yang hidup sebagai nelayan biasanya berada pada
tingkat pendidikan dan pengetahuan rendah sehingga hasil produktifitas relatif redah,
modal kerja yang minim dan peralatan yang sederhana, hidup dibawah garis kemiskinan
dengan lingkungan yang tidak sehat. Jadi tingkat pengetahuan dinilai dengan
menanyakan pendidikan terakhir subjek dan apakah subjek mengetahui resiko kejadian
pterigium menjadi faktor resiko pekerjaan yang selama ini ia kerjakan.

3.8.5 Alat Pelindung

Alat pelindung yang seharusnya dipakai nelayan sebagai alat untuk keselamatan
adalah life jacket (jaket pelampung), life buoy (pelampung penolong), dan alat isyarat
visual seperti asap apung (buoyant smoke signal) yang digunakan pada siang hari
maupun malam hari, dapat menggunakan obor tangan atau obor parasut. Selain itu
nelayan harus memenuhi kebutuhan umum sebagai alat pelindung diri seperti alat
pelindung kepala, alat pelindung mata dan muka, alat pelindung telinga, alat pelindung
tangan, alat pelindung kaki, pakaian pelindung, dan alat pelindung jatuh perorangan. Di
dalam penelitian peneliti dapat mengetahui alat pelindung diri apa saja yang biasa
dipakai pada nelayan di pesisir pantai Kecamatan Puger.

3.8.6 Peran Tenaga Kesehatan

Di dalam penelitian dapat terlihat apakah tenaga kesehatan cukup berperan aktif
dalam kejadian pterigium. Dikarenakan banyak nelayan masih kurang sadar terhadap
pentingnya merawat kesehatan dirinya sendiri. Peneliti dapat mencari data dengan
menanyakan kepada subjek terkait general check up yang biasa dilakukan. Tenaga
kesehatan manakah yang sering dikunjungi oleh nelayan dapat ditanyakan pula.

3.8.7 Masa Kerja

Dalam penelitian dapat pula peneliti mengetahui masa kerja tiap nelayan yaitu
dengan masa kerja kurang dari 8 jam, 8-10 jam, lebih dari 10 jam, tidak ingat untuk
menghitung atau tidak mengetahui berapa lama mereka menghabiskan waktu untuk
bekerja.

3.7 Instrument Penelitian


3.8.1 Informed Consent

Instrument penelitian ini berisi tentang penyataan tentang kesediaan dari sampel
untuk menjadi responden dalam penelitian ini, serta berisi informasi yang harus
diketahui calon sampel meliputi kewajiban subjek penelitian, prosedur penelitian,
kerahasiaan identitas sampel sebagai subyek penelitian, dan manfaat penelitian untuk
subyek penelitian.

3.8.2 Identitas Sampel

Instrument ini berisi nama, usia, jenis kelamin, berat badan dan alamat
responden.

3.8.3 Lembar Quisioner dan Lembar Jawaban


Lembaran ini berisi pertanyaan pertanyaan tentang keseharian nelayan,
sehingga didapatkan hasil yang diinginkan.
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Uji Kelayakan

Penelitian ini menggunakan subjek manusia sehingga dalam pelaksanaannya


memerlukan uji kelayakan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
3.8.2 Sumber Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara
dan quisioner yang dilakukan peneliti pada nelayan pesisir pantai Kecamatan Puger
Kabupaten Jember.

3.8.3 Pengambilan Data Populasi dan Pengambilan Sampel


a. Menyiapkan Instrumen penelitian yang akan digunakan.
b. Mengisi lembar persetujuan atau informed consent.
c. Melakukan sesi wawancara dan mengisi kuisioner yang diberikan peneliti.
d. Melihat dan memeriksa pasien dengan menggunakan pen light untuk memastikan
kemungkinan pterigium pada nelayan.
e. Melakukan pengumpulan lembar hasil untuk rekapan data oleh peneliti.

3.8.4 Pengolahan Data

Data yang telah didapatkan akan diolah untuk mempermudah analisis dengan
cara editing data, coding data, entry data, sorting data, dan tabulating data.
1. Editing data dilakukan secara manual untuk memeriksa kelengkapan identitas
responden.
2. Coding data dilakukn untuk menyusun data yang telah didapatkan secara sistematis
supaya lebih mudah dibaca pada aplikasi komputer. Semua jawaban angka diubah
dalam bentuk kode angka.
3. Entering data taitu memasukkan data yang telah diubah menjadi kode angka lalu
dianalisis menggunakan aplikasi komputer.
4. Sorting data untuk mengelompokkan data sesuai jenisnya.
5. Tabulating data untuk menyajikan data dalam bentuk tabel.
3.9 Analisis Data

Analisis data menggunakan program komputer pengolah statistik “Statistical


Package for Social Science (SPSS) 25.0.0” berlisensi Universitas Jember. Uji statistik
yang digunakan adalah Chi square dengan derajat signifikasi p<0,05% dengan tingkat
kepercayaan 95% pada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

3.10 Alur Penelitian

Populasi

Ethical Clearance

Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Berpotensi Peserta Berpotensi Bukan Peserta

Menyetujui Informed
Concent

Identifikasi Identitas dan


Jenis Kelamin

Sampel

Sesi Wawancara, Pengisian


Quisioner, dan
Pemeriksaan Menggunakan
Pen Light
Lingkungan Kerja Perilaku Personal

Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Wibowo, Rudi, Zulfikar, Hadi Paramu, Dominikus Rato, Hardian Susilo Addy. . . .
., Nawiyanto. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: UPT Penerbitan Universitas Jember.

Jurnal
Carly Eckert, T. B. (2018). Chronic Health Risks in Commercial Fishermen: A Cross-
Sectional Analysis from a Small Rural Fishing Village in Alaska. Journal of
Agromedicine, 176-185.
E.O ACHIGBU, U. F. (2014). Prevalence and Severity of Pterygium Among Commercial
Motorcycle Riders In South Eastern Nigeria. Ghana Medical Journal.
Erry, U. A. (2011). Distribusi dan Karakteristik Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 84-89.
Felmi Violita Ingrad de Lima, A. G. (2012). Hubungan Paparan Sinar Matahari Dengan
Angka Kejadian Pterigium Di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013.
Jurnal Fakrultas Kedokteran Universitas Pattimura.
Gazzard, G. S. (2002). Pterigium Indonesia:Prevalence, Severity and Risk Factor. British
Journal of Ophtalmology, 1341.
Hassan Hashemi, M. K. (2016). The prevalence and determinants of pterygium in rural areas.
Journal of Current Ophthalmology , 1-5.
Hendrawan, A. (2017). Analisa Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Nelayan.
Ophtalmology, A. A. (2015-2006). External disease and cornea. Basic and clinical science
course, 344 & 405.
Perbandingan prevalensi pterygium pada nelayan di Tuminting dengan Petani di Rurukan.
(2016). Jurnal e-Clinic (eCl).
Rany, N. (2017). Relationship Between Working Environment And Fisherman Behaviour's
Toward Pterygium Incidence In Kemang Village District Of Pangkalan Kuras Pelalawan.
Journal of Community Health, 153-158.
Sary Somba, J. S. (2018). Gambaran Pengetahuan Masyarakat yang Bekerja sebagai
Nelayan. Jurnal e-Clinic (eCl).
Ting Chen, L. D. (2015). Prevalence and Racial Differences in Pterygium: A CrossSectional
Study in Han and Uygur Adults in Xinjiang, China. Clinical and Epidemiologic
Research.
Waller, G. A. (2004). Pterigium. Duane's Clinical Ophtalmologi, 6 :Revised Edition, 1-10.

Anda mungkin juga menyukai