PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dikenal dengan sebutan negara maritim, mengingat luas wilayah lautan yang
besar dengan jajaran pulau-pulau yang pengisinya. Hal ini menjadi dasar
potensi Indonesia yang kaya akan sumber daya maritim dalam bidang
kelautan dan perikanan. Secara geofrafis, Indonesia diapit oleh Benua Asia
dan Benua Australia, serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dari luas
total wilayah Indonesia, luas lautannya sebesar 3,25 juta km2, 2,01 juta km2
adalah wilayah daratan, dan 2,55 juta km2 merupakan Zona Ekonomi
perikanan (39 juta) dan budi daya ikan (20,5 juta). Sebagian besar berada di
ikan. Pada tahun 2018, perikanan dan akuakultur global berjumlah sekitar 179
dari negara berkembang. Pada tahun 2017, ikan memberi makan sekitar 3,3
1
2
miliar orang hampir 20 persen dari rata-rata asupan protein hewani mereka,
dengan proporsi yang bahkan lebih tinggi di banyak negara miskin (FAO
2020).
global. Dari sepuluh besar produsen ikan terbesar di dunia, empat berasal dari
Asia Tenggara. Pada 2010, total produksi perikanan mencapai 10,83 juta ton,
naik 10,29% dibandingkan dengan 9,82 juta ton tangkapan tahun sebelumnya.
5,2 juta ton ikan dan produk perikanan lainnya. Baru-baru ini, Myanmar telah
lima tahun terakhir, dari 2,67 juta nelayan pada tahun 2017 menjadi 2,39 juta
nelayan pada tahun 2021 (Jayani, 2021). Nelayan dalam mencari ikan
yang harus menyelam ke dalam laut untuk memasang bubu atau jaring di
lautan (Jayani, 2021). Data dari Kementerian Kesehatan, menurut survei 251
selam ataupun secara tradisional atau tanpa memakai alat bantu apapun
untuk menyelam, yang dikenal juga sebagai breath-hold diving. Secara umum
alat bantu pernafasan) atau menggunakan kompresor sebagai alat bantu suplai
(Kemenkes, 2018).
laut, karena habitat ikan, udang, kerang dan teripang banyak terdapat di dasar
4
laut dan tentunya ini membuat nelayan tradisional memiliki risiko mengalami
menyelam yang benar dan aman, serta anggapan bahwa hal itu sudah menjadi
hal biasa sejak jaman nenek moyang, bisa menjadi sumber musibah bagi
menyelam, ada anggapan ini adalah perbuatan “setan laut” (Suryono, 2012).
tubuh manusia. Berbagai gejala lainnya yang bisa dialami para penyelam
akibat dari menyelam tanpa bantuan alat apapun atau secara tradisional
seperti nyeri dan gangguan pendengaran, nyeri dada, sesak napas, batuk
bahkan hingga gangguan paru akibat penyelaman, nyeri kepala, vertigo, nyeri
menjadi pertanda ada gangguan saraf atau otak. Dampak jangka panjang tentu
2020).
Namun bila tidak teratasi maka gangguan tersebut berlanjut sehingga menjadi
dapat mengalami gangguan bersifat kronis. Penyakit ini sering disalah artikan
mengalami persendian linu, fungsi paru menurun, gangguan otot dan saraf
(Suryono, 2012).
5
93,9%, yang terdiri dari gangguan pendengaran ringan sampai ketulian 39,7%
(Sugianto, 2017).
terlihat berikut: penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2012) dengan judul
kecepatan turun dan tanpa alat selam berhubungan dengan kejadian gangguan
pendengaran.
faktor risiko terhadap kejadian Barotrauma telinga tengah adalah tidak atau
Seterusnya ada penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2020) dengan judul:
garis pantai serta wilayah laut yang sangat luas yaitu 86.398,33 km2 atau
merupakan salah satu sentra perikanan di Pulau Bintan, Kepulauan Riau yang
memiliki jumlah rumah tangga nelayan sebanyak 3.715 rumah tangga (Badan
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikasi
meningkat.
Kijang.
c. Bagi Peneliti
2. Manfaat Akademik