“REVIEW JURNAL”
DOSEN PENGAMPU :
Nur Chabibah, S.Si., M.Si.
Disusun oleh :
TEDI NOVAN MAULANA
1810102 / S1-3B
ABSTRAK
Latar Belakang: Nelayan penyelam di Indonesia sebagian besar nelayan penyelam
tradisional. Berdasarkan data terdapat penyakit/kelainan akibat penyelaman dan
hiperbarik antara lain penyakit pada penyelaman adalah Barotrauma, dan penyakit
Dekompresi. Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan
khususnya penyelam adalah rendahnya pengetahuan tentang cara penyelaman yang
baik dan minimnya peralatan. Implementasi Permenkes RI No 61 Tahun 2013 tentang
Kesehatan Matra yang didalamnya termaktub kesehatan penyelaman, menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi. Tujuan penelitian untuk
mengetahui implementasi kebijakan kesehatan matra bagi peselam di Kecamatan
Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang
diperkuat dengan indepth interview ini dilakukan terhadap 8 informan, meliputi 2
orang korban peselam, dan peselam tradisional, 1 orang kepala desa, 1 0rang kepala
puskesmas, 1 orang sekretaris kecamatan dan 1 orang pengambil kebijakan tingkat
kabupaten
Hasil: salah satu hasil wawancara dengan informan “...selaku korban maupun sebagai
profesi penyelam kami sangat mengharapkan perlindungan kesehatan matra, dan
penyuluhan-penyuluhan yang bersifat teknik menyelam….”
Kesimpulan: Implementasi Kebijakan Permenkes RI No. 61 Tahun 2013 tentang
Kesehatan Matra di Kecamatan Balesang Tanjung Kabupaten Donggala, belum
terlaksana dengan baik
Kata Kunci: Implementasi, permenkes, penyelam
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf10305
Persepsi Risiko Keselamatan dan Kesehatan Menyelam pada Penyelam Tradisional dengan Kelumpuhan di
Provinsi Maluku: Studi Kualitatif
La Rakhmat Wabula
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga; la.rakhmat.wabula-2017@fkp.unair.ac.id
(koresponden)
Kusnanto
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga
Bambang Purwanto
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga
ABSTRACT
Background: One of the diverse communities was found in Maluku Province. Traditional diver diving expertise
is obtained from generation to generation. Traditional divers have not received formal education and training
related to diving. The safety and health aspects of the driving method and the tools used are not according to
the standard. The risk of injury and illness due to non-standard diving has increased even higher, although to
date the health aspects of traditional divers in Maluku Province have never been explored. Objective: This
study aims to explore the perceptions of the risk of diving safety and health behavior in traditional divers who
experience paralysis in Maluku Province. Method: The study used qualitative with a case study approach. The
subjects of this study were traditional diver fishermen in Ambon City, West Seram District, and Buru Province
District with ten participants. The research phase in the form of an interview will begin on January 15 -
February 15, 2019. Data analysis uses thematic theory driven. Results: Identification found two main themes:
1) Vulnerability; and 2) Severity. Conclusion: Traditional diver's perceptions of safety and health while diving
can form self-efficacy so as to reduce morbidity and mortality from diving.
Keyword: perception; safety and health behavior; and traditional divers
ABSTRAK
Indonesia adalah negara kepulauan yang hampir 70% wilayahnya terdiri dari laut.
Kondisi geografis seperti ini sebagian besar penduduk pesisir mempunyai mata
pencaharian sebagai nelayan. Penyelam tradisional tersebar di wilayah Indonesia
terutama di daerah pesisir dan kepulauan, tetapi sampai sekarang belum ada data yang
akurat menyangkut keberadaan penyelam tradisional tersebut(1).
Salah satu komunitas penyelam ditemukan di Provinsi Maluku. Keahlian menyelam
penyelam tradisional diperoleh secara turun temurun. Penyelam tradisional belum
memperoleh pendidikan dan pelatihan formal terkait penyelaman. Aspek keselamatan
dan kesehatan dari metode menyelam dan alat yang digunakan belum sesuai standard (2).
Risiko cidera dan penyakit akibat penyelaman yang tidak standar meningkat lebih tingi,
meskipun sampai saat ini aspek kesehatan penyelam tradisional di Provinsi Maluku
belum pernah di ekplorasi.
Berdasarkan data dari Direktorat Kenelayanan Provinsi Maluku pada tahun 2017,
jumlah nelayan secara keseluruhan ada 5.931 orang yang terbagi dalam dua kelompok
yaitu nelayan biasa sebanyak 4.237 orang (71%)
dan penyelam tradisional sebanyak 1.694 orang (29%), yaitu penyelam yang dalam
melakukan pekerjaan penyelaman secara turun temurun atau mengikuti yang lain dan
tanpa bekal penguasaan ilmu dan teknologi yang cukup serta sarana dan prasarana yang
tidak memadai. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh penyelam tradisional, antara lain:
penangkapan ikan, lobster, teripang, abalone, dan mutiara. Kegiatan tersebut dilakukan
dengan melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh meter di bawah laut,
karena lobster, teripang, abalone dan mutiara banyak terdapat di dasar laut. Penyelaman
ini banyak dilakukan oleh penyelam tradisional karena ikan jenis tertentu, lobster,
teripang, dan mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi(3). Penyelaman pada
kedalaman lebih dari 20 meter mempunyai risiko yang cukup besar terhadap keselamatan
dan kesehatan penyelam(4). Oleh karena itu penyelaman harus dilakukan dengan syarat
tertentu dan menggunakan alat selam yang memenuhi standar (SCUBA). Penyelam
pencari hasil laut di beberapa wilayah Provinsi Maluku masih menggunakan kompresor
(penyelam tradisional) sebagai alternatif pengganti alat selam SCUBA(2).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Maluku tahun
2017, jumlah penderita dan kematian akibat penyakit penyelaman di Provinsi Maluku
selama 4 tahun terakhir mengalami peningkatan terutama penyakit kelumpuhan,
sebagaimana tabel 1.1 berikut:
Tabel 1. Penyakit dan kematian akibat pekerjaan penyelaman di Provinsi Maluku tahun
2014-2017
Data mengatakan bahwa masalah kelumpuhan yang dialami oleh penyelam tradisional
disebabkan buruknya perilaku keselamatan dan kesehatan saat menyelam. Berdasarkan
fenomena yang ada, perlu untuk memperkuat persepsi tentang perilaku berisiko
keselamatan dan kesehatan penyelaman pada penyelam tradisional di Provinsi Maluku.
METODE
HASIL
Pelaksanaan pengambilan data telah dilakukan oleh peneliti, yakni sekali
wawancara dengan subjek. Untuk melakukan deskripsi hasil wawancara, peneliti
sebelumnya membuat verbatim/transkrip dari rekaman wawancara dengan subjek yang
setelah itu dilakukan pengkodingan dan analisis verbatim. Hasil tematik menemukan dua
tema, yaitu: Kerentanan dan Keparahan.
1. Sebelum lumpuh
a. Persepsi Risiko
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter tidak
berisiko terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“saya biasa menyelam dengan kedalaman 100 meter dan saya menganggap bahwa hal tersebut
adalah biasa dan sudah menjadi rutinitas saya, tidak memiliki risiko bahaya apapun terhadap
keselamatan maupun kesehatan saya” (R1901:49-63)
2. Setelah lumpuh
a. Persepsi risiko
1) Kerentanan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter atau
lebih memiliki kerentanan terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“jika menyelam dengan kedalaman 100 meter atau lebih memiliki kerentanan terhadap
keselamatan maupun kesehatan, seperti: badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan
keluarnya darah dari telinga, hidung dan mulut” (A2901:48-52)
2) Keparahan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan tidak memperhatikan
SOP dengan benar, maka akan berakibat yang parah terhadap keselamatan dan
kesehatannya.
“jika menyelam dengan tidak memperhatikan SOP dengan benar, maka akan berakibat yang
parah terhadap keselamatan dan kesehatannya, seperti: lumpuh dan mati” (LI3001:54-57)
PEMBAHASAN
Hasil analisis tematik menunjukkan bahwa persepsi risiko yang dialami oleh subjek
terdiri dari 2 fase, yaitu fase sebelum lumpuh dan sesudah lumpuh. Pada fase sebelum
lumpuh, subjek sering mengungkapkan bahwa menyelam tidak memiliki risiko bahaya
apapun terhadap kesehatan maupun keselamatan. Sehingga atas dasar asumsi tersebutlah
maka subjek tetap melakukan penyelaman.
Hasil penelitian tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Zheng
et al.,(7) bahwa pekerjaan penyelaman penyelaman selalu diincar bahaya baik sebagai
akibat dari perubahan tekanan, temperatur air, maupun terhadap kehidupan bawah air
lainnya. Beberapa penyakit akibat penyelaman, meliputi:
Barotrauma, keracunan gas, penyakit dekompresi (kelumpuhan), dan serangan dari
binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang beracun(3).
Kemudian pada fase setelah subjek mengalami kelumpuhan, persepsi risiko yang
dirasakan oleh subjek yaitu terbagi menjadi 2 persepsi risiko, antara lain: a) Persepsi
risiko kerentanan. Subjek sering mengungkapkan bahwa risiko kerentanan yang akan
dirasakan yaitu badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan keluarnya darah dari
telinga, hidung, dan mulut; dan b) Persepsi risiko keparahan. Subjek sering
mengungkapkan bahwa risiko keparahan yang akan dirasakan jika menyelam tidak sesuai
SOP yang baik, yaitu: bisa merasakan lumpuh dan mati.
Hammerton(8) memiliki pendapat yang sama dengan hasil penelitian bahwa
pekerjaan sebagai penyelam selalu diincar bahya baik sebagai akibat dari perubahan
tekanan, temperatur air (hipotermi), maupun terhadap kehidupan bawah air lainnya,
seperti: a) Penyakit barotrauma (rasa sakit yang sering diikuti perdarahan pada rongga
udara yang mengalami barotrauma, seperti keluarnya darah dari hidung, telinga, dan
mulut); b) Keracunan gas pernapasan (sesak nafas, sakit kepala, muntah, lumpuh, tidak
sadarkan diri, dan dapat berakhir dengan kematian); c) Penyakit dekompresi (seluruh
tubuh terutama persendian terasa sangat nyeri timbulnya berangsur-angsur atau
mendadak, kelelahan dan rasa ngantuk yang berlebihan, pusing, bercak-bercak merah
pada kulit disertai rasa gatal, dan jika perawatannya terlambat atau tidak memadai sering
menyebabkan cacat tubuh, yaitu lumpuh dan bahkan bisa mengakibatkan kematian); dan
d) Serangan dari binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang beracun.
Hasil tersebut juga memiliki kesamaan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
WHO bahwa salah satu perubahan perilaku yang terjadi secara alamiah yaitu perubahan
yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi
dimana ia beraktifitas. Selain itu juga Schwarzer, Lippke and Luszczynska(9) juga
berpendapat bahwa persepsi kerentanan, yaitu persepsi seseorang terhadap resiko dari
suatu penyakit agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan kalau ia rentan terhadap penyakit tersebut. Pinidiyapathirage et al.,(10)
menjelaskan bahwa persepsi keparahan, yaitu tindakan seseorang dalam pencarian
pengobatan dan pencegahan penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu
penyakit yang dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian, atau
kelumpuhan, dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan sosial.
Persepsi risiko merupakan komponen penting sebagai tingkat minimum ancaman
atau keprihatinan seseorang, sehingga komponen ini harus ada sebelum seseorang
mempertimbangkan manfaaat dari tindakan yang mungkin mencerminkan
ketidakmampuannya untuk benar-benar melakukan tindakan(9). Persepsi risiko dibagi
menjadi dua dimensi yaitu, kerentanan dan keparahan. Kerentanan adalah kemungkinan
pengaruh yang dirasakan terhadap ancaman kesehatan, sedangkan tingkat keparahan
adalah hubungan yang dirasakan dari ancaman kesehatan. Risiko kesehatan mengacu
merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang baik secara langsung maupun jangka
panjang dan memengaruhi kesejahteraan(11).
Sebagai contoh, risiko langsung dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam
dengan baik adalah dapat mengakibatkan terjadinya barotrauma telinga, sedangkan risiko
jangka panjang dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan baik adalah
dekompresi. Jika seseorang menyadari adanya risiko jika tidak menggunakan alat selam
dengan baik, maka ini akan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan
mempertimbangkan penggunaan alat selam secara teratur(12).
Bila seseorang mempunyai persepsi risiko positif dan negatif yang seimbang, maka
hal ini menyebabkan pembentukan niat perilaku yang baik. Misalnya tentang risiko
ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan baik, seseorang akan berfikir
dampak dari penggunaan alat selam (positif) atau tidak menggunakan alat selam
(negatif). Seseorang yang percaya bahwa ada lebih banyak manfaat dari penggunaan alat
selam yang baik akan memiliki niat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak
percaya bahwa ada lebih banyak manfaat dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat
selam dengan baik(5).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dapat
dikatakan, persepsi risiko bagian dari pengalaman penyelam tradisional yang paling
menentukan efikasi diri untuk mematuhi SOP penyelaman.
KESIMPULAN
Abstrak: Pada dasarnya nelayan penyelam tradisional yang sering disebut dengan nelayan kompresor
yaitu penyelam yang menggunakan peralatan sangat terbatas. Potensi bahaya dapat dilihat juga dari
perilaku nelayan yang bekerja tanpa memperhatikan aspek keselamatan (safety diving), keluhan yang
sering terjadi antara lain rasa kesemutan pada daerah persendihan, gatal, keluar darah dari hidung
bahkan dapat terjadi kelumpuhan (Navisah,2016). Metode yang digunakan dalam Penelitian ini ialah
deskriptif dengan pendekatan survey pada 40 orang penyelam tradisional yang juga berprofesi
sebagai nelayan di Kampung Simueng, Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dilaksanakan selang bulan
Mei 2017. Hasil penelitian menunjukan bahwa gejala ringan 35 % dan berat 27 % . Gejala ringan
dialami berupa nyeri sendi, gatal– gatal, timbul bercak darah pada kulit dan kesemutan, adapun
selain itu gejala berat yang dialami responden berupah pecah pembuluh darah, lumpuh, dan tuli.
Kesimpulan dalam penelitian yakni sebagian responden mengalami gangguan akibat penyelaman, hal
tersebut diakibatkan karena penyelam tidak mengikuti aturan serta standar penyelaman yang baik
dan menurut para nelayan mereka belum pernah mendapatkan materi/penyuluhan tentang standar
penyelaman oleh karena itu pelulis menyarankan kepada Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pelatihan standar penyelaman kepada para Nelayan tersebut.
Status
Kawin 23 58
Belum Kawin 17 42
1 – 5 Tahun 20 50
6 – 10 Tahun 13 32
11 – 15 Tahun 1 3
16 – 20 Tahun 6 15
Tujuan Penyelaman
Menangkap ikan 40 100
Rekreasi 0 0
Frekuensi Penyelaman dalam Seminggu
2 – 4 kali 19 48
5 – 7 kali 21 52
30 6 38
50 5 32
70 1 5
100 4 25
Total 16/40 100
Lama selama dikedalaman
2 jam 13 81
3 jam 3 19
Total 16 100
Lama waktu istirahat
1 jam 14 88
2 jam 2 12
Total 16 100
Ya 18 45
Tidak 22 55
Total 40 100
Tabel. 10. Gejala yang dialami sehubungan dengan proses penyelaman (< 24jam).
Gejala Jumlah ( n ) Persentase ( % )
Ringan 14 35
Berat 11 27
Total 40 100
Diving Science Essential Physiologi and Medicine for Divers by Michael B.Strauss,
MD, Igor V. Aksenov, MD, Phd
Tim Mata Kuliah Olahraga Air. 1987. Bahan Ajar Mata Kuliah Olahraga
Air. Fakultas Perikanan. Universitas Sam Ratulangi.
REVIEW JURNAL 3 :
JURNAL 4
ABSTRAK
EKG merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa penyakit jantung. Pada
iskemia disertai perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi sel yaitu T inversi dan ST
depresi. Sedangkan pada infark miokard akut didapatkan perubahan EKG yaitu adanya ST
elevasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan melakukan
observasi pada gambaran EKG sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen dan terapi
farmakologi di HCU jantung RSUD Kabupaten.Hasil penelitian didapatkan gambaran EKG
sebelum pemberian terapi oksigen dan farmakologi sebanyak 40% adalah ST elevasi.
Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi nasal kanul 4 lpm dan
terapi farmakologi didapatkan 70% adalah baik. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK
dengan pemberian terapi masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi sebagian besar
didapatkan perubahan gambaran EKG baik
ECG is an invaluable tool in the diagnosis of heart disease. In ischemia with ECG
changes due to changes in the T cell electrophysiological inversion and ST depression.
While in acute myocardial infarction found that the changes in ECG ST elevation. This
study uses a descriptive cross-sectional observation on the EKG before and after
administration of oxygen therapy and pharmacological therapy in heart HCU research
Kabupaten.Hasil Hospital EKG obtained before administration of oxygen therapy and
pharmacology as much as 40% is ST elevation. EKG changes in patients with CHD
therapy nasal cannula 4 lpm and pharmacological therapy obtained 70% is good. EKG
changes in patients with CHD simple mask therapy and pharmacological therapy 8 lpm
mostly obtained either EKG changes.
Key words: picture, ECG, therapy, oxygen, pharmacology
ini dapat terjadi akibat penyempitan arteri dan difus. Iskemia merupakan manifestasi
koroner, penurunan aliran darah/curah hemodinamika yang sering terjadi. Respon
jantung (cardiac output), peningkatan tersebut merupakan kompensasi simpatis
kebutuhan aliran di miokard, atau spasme terhadap berkurangnya fungsi miokardium.
arteri koroner. Apabila keadaan plak Iskemia biasanya disertai oleh perubahan
ateroma pada arteria koronaria menjadi EKG berupa gelombang T terbalik dan
tidak stabil, misalnya mengalami depresi segmen ST. Pada infark miokard
perdarahan, rupture atau terjadi fisura, akan akut didapatkan gambaran EKG berupa
terbentuk thrombus di daerah plak yang elevasi segmen ST (Linsay, 2006).
menghambat aliran darah koroner maka Tanda dan gejala yang paling sering
terjadi serangan PJK (Gray huon, 2002). dijumpai pada penyakit kardiovaskuler
Perubahan reversibel pada EKG adalah sesak napas dan nyeri dada. Keluhan
dasar yang terjadi saat episode nyeri dada ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
(pergeseran segmen ST, inversi gelombang antara suplai dan kebutuhan oksigen yang
T merupakan tanda penyakit oklusif berada di miokard. Terapi farmakologis
koroner. Perubahan yang luas dikaitkan untuk mengurangi gejala dan iskemia.
dengan prognosis yang buruk karena Gejala dan tanda angina pectoris yang
berhubungan dengan penyakit koroner disebabkan iskemia miokard dapat
yang berat berkurang dengan pemberian obat yang
dapat menurunkan kebutuhan oksigen dan
atau meningkatkan aliran darah ke daerah
yang iskemia. Obat anti angina yang
sering
dipakai adalah β Blocker, calsium antagonis dan harus dapat memberikan terapi oksigen
nitrat organik. Pembuka kanal kalium secara benar dan mengetahui apakah pasien
mungkin dapat digunakan. Kini dapat juga mengalami kekurangan oksigen. Kendala di
dipakai obat inhibisi nodus sino atrial dan HCU (High Care Unit) Jantung RSUD
agen metabolic (Anwar, 2004). Kabupaten Jombang dalam pemberian terapi
Selain itu terapi oksigen penting oksigen adalah pendokumentasian yang
untuk memberikan transport O2 yang kurang terperinci tentang evaluasi
adekuat dalam darah sambil menurunkan pemberian terapi oksigen sehingga sulit
upaya bernapas dan mengurangi stres pada untuk menentukan keefektifan pemberian
miokardium. Pemberian terapi oksigen terapi oksigen. Evaluasi pemberian oksigen
melalui kanula nasal menghantarkan meliputi penilaian kardiopulmoner dan
oksigen berkonsentrasi rendah (24-44 penilaian analisa gas darah. Penilaian sistem
persen) dengan kecepatan aliran 2-6lpm. kardiopulmoner meliputi kesadaran, laju
Akan tetapi bila kecepatan diatas 6lpm, jantung, laju nadi, dan perfusi perifer serta
kemungkinan klien menelan udara dan tekanan darah ( Price, S.A and Wilson
mukosa faring serta nasal menjadi teriritasi, L.M. 2003). Atas dasar inilah perawat di
dan FiO2 (fraksi oksigen) tidak meningkat. unit kritis harus mengetahui tehnik dan
Pemberian terapi oksigen lainnya rasional alat dalam pemberian oksigen dan
menggunakan masker sederhana (simple face perawat juga harus mengembangkan
mask) menghantarkan konsentrasi oksigen kebiasaan memeriksa alat-alat ini dan
dari 40-60 persen dengan aliran 5-8 lpm mengkaji pasien apakah menunjukkan tanda
secara berturut-turut (Berman, 2009; Potter dan gejala hipoksemia-takikardi, takipnea,
dan Perry, 2005). berkeringat dan kekacauan mental atau
Pemberian terapi oksigen perilaku yang juga merupakan tanda-tanda
merupakan tindakan kolaboratif yang keracunan oksigen.
tentunya tanpa advice dari dokter, perawat Di HCU Jantung RSUD Kabupaten
Jurnal keperawatan 67
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091
Jombang, pasien dengan penyakit tetapi setelah itu tidak dievaluasi dan
kardiovaskuler tercatat sebanyak 519 didokumentasikan secara rinci dan jelas
pasien pada tahun 2009 dan apakah pemberian terapi tersebut memberi
481 pasien (93%) mendapatkan terapi reaksi pada pasien. Evaluasi pemberian
oksigen. Terapi yang digunakan adalah terapi oksigen ini penting dilaksanakan
nasal kanul 2-4 lpm dan masker dengan karena terapi oksigen dapat menimbulkan
dosis 6-10 lpm. Monitoring dari terapi efek samping dan komplikasi. Efek
oksigen di HCU Jantung didokumentasikan samping dan komplikasi dari pemberian
dalam status pasien. Akan tetapi pada terapi oksigen adalah keracunan oksigen,
pendokumentasian terapi oksigen kurang CO2 narkosis, mikroatelektasis, aspirasi
diperhatikan. bila pasien muntah, perut kembung dan
Kurangnya evaluasi efektifitas infeksi.
terapi oksigen pada HCU Jantung RSUD Tujuan umum penelitian adalah
Kabupaten Jombang disebabkan pemberian mengidentifikasi perubahan gambaran
oksigen merupakan prosedur tetap yang EKG pada pasien penyakit jantung koroner
dilakukan pada pasien yang dirawat di setelah pemberian terapi oksigen dan terapi
HCU Jantung sehingga keadaan ini tidak farmakologi di HCU Jantung RSUD
terevaluasi oleh perawat. Oksigen diberikan Kabupaten Jombang. Tujuan khususnya
kemudian dicatat cara pemberian dan adalah: 1)Mengidentifikasi gambaran EKG
dosisnya akan pada pasien penyakit jantung koroner
sebelum pemberian terapi oksigen dan
terapi farmakologi; 2)Mengidentifikasi
gambaran EKG pada pasien penyakit
jantung koroner setelah pemberian terapi
oksigen nasal kanula dan terapi
farmakologi; 3)Mengidentifikasi gambaran
EKG pada pasien penyakit jantung koroner
setelah pemberian terapi oksigen masker
dan terapi farmakologi.
Jurnal keperawatan 72
Tabel 3 Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi
oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi I di HCU Jantung
RSUD Jombang,Juli 2010
perubahan pada pasien atau bahkan oksigen sebagai aspek legal dalam
memburuk. Berdasar hasil uji statistik melakukan tindakan keperawatan;
Kendall Tau Beta menunjukkan bahwa Pentingnya untuk disediakan trombolisis
terapi oksigen dan terapi farmakologi jika dalam formularium obat, dan Mengadakan
berdiri sendiri tidak bermanfaat terhadap pelatihan tentang cara
perubahan gambaran EKG, maka perlu mengintepretasikan EKG, reperfusi
diberikan terapi oksigen dengan terapi (trombolisis) pada perawat IRD.
farmakologi secara bersama-sama.
http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
hubungan dan menguji hipotesis antara kedua variabel. Berdasarkan uji chi
square itu diketahui bahwa masa kerja (p = 0,001), alat pelindung diri (APD) (p
= 0,001), riwayat pekerjaan (p = 0,027), kesehatan pribadi (p = 0,027),
riwayat penyakit kulit (p = 0,006) dan riwayat alergi (p = 0,018). Hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan
meliputi masa kerja, alat pelindung diri, riwayat pekerjaan, hygiene personal,
riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.
Abstract
Problems in this study were what factors are associated with dermatitis on the
ßsh- ermen who work in the Fish Auction Place (FAP). Ris study aimed to
determine those factors. Ris type of study was explanatory with cross
sectional approach. Re population consist of 68 peoples. Techniques used was
random sampling. Re samples equal 40 peoples. Techniques of data retrieval
were done using a ques- tionnaire. Chi square correlation used to ßnd
relationships and testing hypotheses between these two variables. Based on chi
square test, it was known that the period of employment (p = 0.001), personal
protective equipment (PPE) (p = 0.001), his- tory of work (p = 0.027),
personal hygiene (p = 0.027), history of skin disease (p = 0.006), and a history
of allergy (p = 0.018), because p <0.05 then the factors are related to the
occurrence of dermatitis in ßshermen who worked in the FAP. In conclusion,
there are factors associated with the incidence of dermatitis in ßsher- men
such as personal protective equipment, work history, personal hygiene, his-
tory of skin disease and history of alergy.
Dermatitis
Bukan
Penderita
Variabel Penderita Nilai p
f % f %
Masa Kerja
>2 tahun 15 0 20 75
≤2 tahun 5 100 0 25 0,0001
Pemakaian APD
Memakai 3 35 13 85
Tidak Memakai 17 65 7 15 0,001
Riwayat Pekerjaan
Ada 13 70 6 35
Tidak Ada 7 30 14 65 0,027
Hygiene Personal
Baik 7 30 14 65
Buruk 13 70 6 35
Riwayat Penyakit 0,027
Kulit
Ada 18 50 10 10
Tidak Ada 2 50 10 90 0.006
Riwayat Alergi
Ada 10 85 3 50
Tidak Ada 10 15 17 50 0.018
gian besar tidak menderita dermatitis. keja- dian dermatitis, terbukti dari hasil uji
Hasil uji chi square diperoleh p = chi square dengan nilai p = 0,006 (< 0,05).
0,027 (< 0,05), yang berarti ada hubungan Sebagian besar responden yang memiliki
yang sig- nifikan antara riwayat pekerjaan riwayat penyakit ku- lit sebelumnya
dengan ke- jadian dermatitis. cenderung menderita dermati- tis.
Faktor personal hygiene ternyata Faktor riwayat alergi ternyata
ber- hubungan dengan kejadian dermatitis menjadi faktor yang berhubungan dengan
pada nelayan yang bekerja di TPI, terbukti penyakit der- matitis, terbukti dari p =
dari hasil uji chi square dengan p = 0,027 0,018 < 0,05. Sebagian besar responden
(< 0,05). Ada kecenderungan bahwa yang tidak menderita derma-
responden yang men- derita dermatitis
karena memiliki personal hy- giene buruk,
sebaliknya responden yang tidak
menderita dermatitis sebagian besar
memiliki personal hygiene baik.
Faktor riwayat penyakit kulit
ternyata
menjadi faktor yang berhubungan dengan
titis tidak memiliki riwayat alergi. ada di tempat pelelangan ikan Tanjungsari
Kecamatan Rembang. Di mana sebagian
besar (75%) nelayan penderita dermatitis
Pembahasan memiliki masa kerja 2 tahun atau kurang,
sebaliknya yang tidak menderita der-
Hasil penelitian ini bahwa ada matitis semuanya memiliki masa lebih dari
hubungan yang signifikan antara masa dua tahun sebesar (25%). Hal ini
kerja dengan ke- jadian dermatitis pada dimungkinkan bahwa para pekerja yang
nelayan yang bekerja di tempat telah bekerja lebih dari dua tahun telah
pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan memiliki resistensi ter- hadap bahan iritan
Rembang. maupun alergen, sehingga penderita
Masa kerja seseorang menentukan dermatitis kontak pada kelompok ini
ting- kat pengalaman seseorang dalam cenderung sedikit ditemukan. Pekerja
menguasai pekerjaannya. Sama halnya dengan
dengan pekerjaan sebagai nelayan yang
lama kerja kurang atau sama dengan 2 maupun biologi. Hasil penelitian
tahun dapat menjadi salah satu faktor yang menunjukkan bahwa sebesar 17 dari 24
mengindi- kasikan bahwa pekerja tersebut (85%) nelayan penderita dermatitis tidak
belum memi- liki pengalaman yang cukup memakai alat pelindung diri saat
dalam melakukan pekerjaanya. melakukan pekerjaannya. Hal ini sejalan
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dengan pendapat yang disampaikan oleh
dis- ampaikan oleh Lestari (2008), bahwa Les- tari dan Utomo (2007), bahwa jika
pekerja dengan pengalaman akan lebih tenaga kerja atau pekerja dalam bekerja
berhati-hati, sehingga kemungkinan tidak memakai alat pelindung diri maka
terpajan bahan iritan maupun alergen lebih kulit menjadi tidak terlin- dungi dan kulit
sedikit. Berlaku sebalik- nya pada pekerja menjadi lebih mudah terpapar oleh bahan
dengan lama bekerja lebih dari 2 tahun iritan maupun alergen.
dapat dimungkinkan telah memiliki re- Hasil penelitian ini menunjukkan
sistensi terhadap bahan iritan maupun bahwa ada hubungan yang signifikan
alergen. Untuk itu pekerjaan dengan lama antara riwayat pekerjaan dengan kejadian
bekerja lebih dari 2 tahun lebih sedikit dermatitis pada ne- layan yang bekerja di
yang mengalami der- matitis kontak tempat pelelangan ikan Tanjungsari
(Lestari dan Utomo, 2007). Kecamatan Rembang.
Hasil penelitian ini menunjukkan Riwayat pekerjaan merupakan salah
bahwa ada hubungan yang signifikan satu faktor yang dapat dipertimbangkan
antara pemakai- an alat pelindung diri sebagai penyebab penyakit dermatitis. Hal
dengan kejadian der- matitis pada nelayan ini dimung- kinkan penyakit dermatitis
yang bekerja di tempat pelelangan ikan diderita bukan aki- bat pekerjaan yang
Tanjungsari Kecamatan Rem- bang. dijalaninya sekarang, tetapi akibat
Dermatitis pada nelayan yang bekerja di pekerjaan sebelumnya. Sebagian besar
tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari responden di TPI Tanjungsari yang
salah satu faktor penyebabnya adalah terdeteksi menderita dermatitis memiliki
tempat kerja sehingga termasuk dalam riwayat pekerja- an sebelumnya di bidang
jenis dermatitis akibat kerja, jadi pertanian, salon, per- cetakan, pom bensin,
pemakaian alat pelindung diri merupakan di pasar, maupun pertu- kangan. Sebanyak
salah satu upaya yang dapat dilaku- kan 13 dari 19 (90%), responden memiliki
untuk meminimalkan risiko. riwayat pekerjaan yang memberikan
Pemakaian alat pelindung diri, maka peluang terjangkitnya penyakit dermatitis.
akan menghindarkan seseorang kontak Mi- salnya akibat paparan benda asing,
lang- sung dengan agen-agen fisik, kimia bahan kimia, biologi, atau lingkungan
tempat bekerja terda- hulu. Seperti pada mendatangkan gatal (Lestari, 2008).
pekerja yang biasa terpajan dengan Sehingga melalui riwayat pekerjaan yang
sensitizer, seperti kromat pada industri dilakukannya seseorang dapat mengetahui
bangunan atau pewarna, pada pabrik kemungkinan penyebab penyakit yang
pengola- han kulit, mempunyai insiden sedang dideritanya.
yang lebih tinggi (Kabulrachman, 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa bahwa ada hubungan yang signifikan
penyakit kulit pada nelayan mungkin antara personal hygiene dengan kejadian
akibat air laut yang karena kepekatan- nya dermatitis pada ne- layan yang bekerja di
menarik air dari kulit, dalam hal ini air laut tempat pelelangan ikan Tanjungsari
merupakan penyebab dermatitis kulit Kecamatan Rembang. Di tempat
kronis dengan sifat rangsangan primer pelelangan ikan kondisi kebersihan lingku-
(Lestari, 2008). Tetapi penyakit kulit ngannya kurang sehat dan nyaman. Hal ini
mungkin pula disebabkan oleh jamur- dimungkinkan akibat segala kegiatan di
jamur atau binatang-binatang laut. tem- pat pelelangan ikan ternyata
Pekerjaan basah merupakan tempat menimbulkan banyak sekali sampah dari
ber- kembangnya penyakit jamur, sisa-sisa ikan dan banyak air yang
misalnya mono- liasis. Serkarial tergenang di lantai karena ter- sumbatnya
dermatitis mungkin menghing- gapi aliran air. Hal ini akan memberikan
nelayan-nelayan yang hidup di pantai dampak negatif pada tempat kerja yaitu
dengan keadaan sanitasi kurang baik, pence- maran lingkungan kerja
penye- babnya ialah larva sejenis cacing. (Mahyuddin, 2007). Akibatnya nelayan
Beberapa jenis ikan dapat menyebabkan yang bekerja di tempat pele- langan ikan
kelainan kulit, biasanya nelayan-nelayan akan mendapatkan risiko terkena penyakit
mengetahui jenis- jenis ikan yang menular dan tidak menular.
Beberapa contoh penyakit yang dapat
timbul di tempat pelelangan ikan yaitu Riwayat penyakit digunakan sebagai salah
derma- titis, desentri, dan thypus (Suyono, satu dasar penentuan apakah suatu penyakit
1995). Hasil penelitian menunjukkan terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga
bahwa 13 dari 19 res ponden (65%) riwayat penyakit sangat penting dalam
menderita dermatitis dengan hygiene proses penyembuhan seseorang.
personal yang buruk. Jika kebersihan Berdasarkan penelitian, di tempat
perorangan seperti cuci tangan, mandi pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari sebagian
sebe- lum pulang kerja, pakaian bersih dan besar responden yang terdeteksi
diganti setiap hari serta memakai alat berpenyakit dermatitis memiliki riwayat
pelindung diri yang masih bersih tidak penyakit kulit se- belumnya.
dilakukan, maka akan mempermudah Diagnosis mengenai riwayat
timbulnya penyakit dermatitis. Hal ini dermatologi yang sering diajukan untuk
sesuai dengan pendapat yang disampai- membedakan suatu penyakit dari penyakit
kan oleh Lestari dan Utomo (2007) dan lainnya adalah menan- yakan pada pasien
Siregar (2006), dimana dengan usaha apakah mempunyai riwayat masalah medis
higiene personal dapat berperan dalam kronik (Goldstein, B. dan Gold- stein, A.,
mencegah semakin pa- rahnya kondisi 2001). Hal ini sejalan dengan penda- pat
kulit karena keadaan yang lem- bab. Kabulrachman (2003), bahwa timbulnya
Hasil penelitian ini menunjukkan dermatitis kontak alergi dipengaruhi oleh
bahwa ada hubungan yang signifikan ri- wayat penyakit konis dan pemakaian
antara riwayat penyakit kulit dengan topikal lama. Seperti yang terjadi di tempat
kejadian dermatitis pada nelayan yang pelelangan ikan di Tanjungsari Kecamatan
bekerja di tempat pelelangan ikan Rembang, dari hasil penelitian diketahui
Tanjungsari Kecamatan Rembang. bahwa sebanyak 18 dari 28 (90%) nelayan
memiliki riwayat pe- nyakit kulit serta tis pada nelayan yang bekerja di tempat
menderita dermatitis. pele- langan ikan Tanjungsari Kecamatan
Berdasarkan hasil penelitian di Rembang. Lingkungan berpengaruh besar
tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari untuk timbulnya penyakit, seperti
diketahui bahwa sebesar 10 dari 27 (50%) pekerjaan dengan lingkungan basah,
memiliki ri- wayat alergi dan mnderita tempat-tempat lembab atau panas,
penyakit dermatitis. Hasil analisis data pemakaian alat-alat yang salah (Siregar,
diperoleh chi square sebesar 5,584 dengan 2006). Seperti yang ada di tempat
probabilitas 0,018 (< 0,05) yang artinya pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan
bahwa ada hubungan yang signifikan Rembang, dimana masih terdapat
antara riwayat alergi dengan kejadian lingkungan tempat mereka be- kerja yang
dermati- lembab banyak genangan air, basah, kotor
dan kurang sehat serta tidak nyaman.
Kecenderungan alergi dipengaruhi dua
faktor yaitu genetik dan lingkungan (faktor
eksternal tubuh). Hal tersebut merupakan
salah satu fak- tor penyebab terjadinya
peningkatan kemung- kinan mendapat
alergi. Alergi adalah penyakit yang
biasanya ditimbulkan oleh faktor ketu-
runan dan faktor lingkungan.
Alergi timbul oleh karena pada sese-
orang terjadi perubahan reaksi terhadap
bahan tertentu. Dermatitis akibat kerja atau
yang di- dapat sewaktu melakukan
pekerjaan, banyak penyebabnya. Agen
sebagai penyebab penyakit kulit tersebut
atara lain berupa agen-agen fisik, kimia,
maupun biologis. Kebanyakan agen ter-
dapat dalam pekerjaan industri, akan tetapi
paparan terhadap kondisi cuaca lazim pada
pekerjaan nelayan seperti yang terjadi
pada ne- layan yang bekerja di tempat
pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan
Rembang. Respon ku- lit terhadap agen-
agen tersebut dapat berhubu- ngan dengan
alergi (Manjoer, 2000).
Pajanan terhadap perubahan dalam
kondisi lingkungan, terutama yang
berkaitan dengan temperatur yang ekstrim
dan kelemba- ban. Kontak dengan
peralatan yang digunakan dalam pekerjaan
laut yang mungkin berbahaya bagi kulit
karena mereka dapat menyebabkan untuk
misalnya dermatitis kontak dan cedera
traumatik yang dapat menjadi portal
masuk untuk berbagai agen infeksi
(Hamdi, 2009).
Simpulan dan Saran Tanjungsari Ke- camatan Rembang, dapat
disimpulkan bahwa:
Berdasarkan hasil penelitian tentang 1) Ada hubungan antara masa kerja
fakor-faktor yang berhubungan dengan dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan
ke- jadian dermatitis pada nelayan yang yang bekerja di
bekerja di tempat pelelangan ikan (TPI)
TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 2) Ada hubungan antara pemakaian APD
dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di TPI Tanjungsari
Kecamatan Rembang. 3) Ada hubungan antara riwayat pekerjaan dengan kejadian
dermatitis pada nelayan yang beker- ja di TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang.
4) Ada hubungan antara dengan personal hy- giene dermatitis pada nelayan yang
bekerja di TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 5) Ada hubungan antara
riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di
TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 6) Ada hubungan antara riwayat alergi
dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di TPI Tanjungsari
Kecamatan Rembang.
Adapun saran yang dapat diberikan pe- nulis kepada para nelayan yang
bekerja di tem- pat pelelangan ikan antara lain: 1) Sebaiknya nelayan yang
memiliki masa kerja kurang dari atau sama dengan 2 tahun lebih berhati-hati
dalam bekerja, karena nelayan yang memiliki masa kerja kurang dari sama
dengan 2 tahun belum resisten terhadap bahan iritan maupun allergen. 2)
Sebaiknya pada saat bekerja ne- layan menggunakan alat pelindung diri, mi-
salnya sepatu boot dan sarung tangan untuk mencegah terpapar bahan iritan
maupun al- lergen yang ada di tempat kerja. 3) Sebaiknya para nelayan yang
bekerja di tempat pelelangan ikan lebih menjaga hygiene personal, misalnya cuci
tangan dan kaki menggunakan sabun dan air mengalir setelah bekerja, mandi
setelah pu- lang kerja, mengganti pakaian kerja setiap hari, menggunakan alat
pelindung diri yang bersih dan tidak lembab.
Daftar Pustaka