Anda di halaman 1dari 70

KESEHATAN PENYELAMAN DAN HIPERBARIK

“REVIEW JURNAL”

DOSEN PENGAMPU :
Nur Chabibah, S.Si., M.Si.

Disusun oleh :
TEDI NOVAN MAULANA
1810102 / S1-3B

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2020
JURNAL 1

J. Kesehat. Masy. Indones. 13(1): 2018 ISSN 1693-3443

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEHATAN PENYELAM


DI KECAMATAN BALAESANG TANJUNG KABUPATEN DONGGALA

Jellyta. H. Bofe1, Ishak Martinus1,2, Nawawi Natsir3, Muzakir Tawil4


1
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
2
Prodi Magister Epidemiologi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang
3,4
Magister Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Tadulako

ABSTRAK
Latar Belakang: Nelayan penyelam di Indonesia sebagian besar nelayan penyelam
tradisional. Berdasarkan data terdapat penyakit/kelainan akibat penyelaman dan
hiperbarik antara lain penyakit pada penyelaman adalah Barotrauma, dan penyakit
Dekompresi. Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan
khususnya penyelam adalah rendahnya pengetahuan tentang cara penyelaman yang
baik dan minimnya peralatan. Implementasi Permenkes RI No 61 Tahun 2013 tentang
Kesehatan Matra yang didalamnya termaktub kesehatan penyelaman, menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi. Tujuan penelitian untuk
mengetahui implementasi kebijakan kesehatan matra bagi peselam di Kecamatan
Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang
diperkuat dengan indepth interview ini dilakukan terhadap 8 informan, meliputi 2
orang korban peselam, dan peselam tradisional, 1 orang kepala desa, 1 0rang kepala
puskesmas, 1 orang sekretaris kecamatan dan 1 orang pengambil kebijakan tingkat
kabupaten
Hasil: salah satu hasil wawancara dengan informan “...selaku korban maupun sebagai
profesi penyelam kami sangat mengharapkan perlindungan kesehatan matra, dan
penyuluhan-penyuluhan yang bersifat teknik menyelam….”
Kesimpulan: Implementasi Kebijakan Permenkes RI No. 61 Tahun 2013 tentang
Kesehatan Matra di Kecamatan Balesang Tanjung Kabupaten Donggala, belum
terlaksana dengan baik
Kata Kunci: Implementasi, permenkes, penyelam

IMPLEMENTATION OF DIVERS HEALTH POLICY IN


BALAESANG TANJUNG DISTRICK DONGGALA
ABSTRACT
Background: Fishermen divers in Indonesia mostly fishermen divers. Based on the data
there is a disease/disorder due to submergence and hyperbaric among others diseases
of the dives are Barotrauma, and decompression sickness. The conditions and problems
encountered by fishing communities especially the divers is low level of knowledge
about how good dives and lack of equipment. The implementation Permenkes RI No. 61
Years 2013 on Health Committee which contained health dives, become a matter for
the local Government of Sulawesi. Objective to know the health policy implementation
Committee for divers in the subdistrict of Tanjung Balaesang Donggala.
Methods: this study uses descriptive qualitative research methods that are reinforced
with indepth interview was conducted against the informant 8, including 2 divers,
victims and people come from other traditional village head, 1, 1, 1 the health Chief
outsiders a person Secretary of the districts and 1 county-level policy makers people
Result: one of the results of interviews with informants "... as a victim or as a profession
of diver we strongly expect the health protection Committee, and extension-extension
diving technique that is "
Conclusion: the implementation of a policy of Permenkes RI No. 61 Years 2013 on
Health Committee in district Balesang the Cape of Donggala, haven't well done.
Keywords: implementation, permenkes, diver
26
PENDAHULUAN Tenggara, pendengaran
Sulawesi Tengah, sebesar 39,5%,
Indonesia Laut bukanlah Sulawesi Selatan, dan menderita
terkenal dengan lingkungan Sulawesi Utara, kelumpuhan
negara kepulauan kehidupan normal Gorontalo, 10,3%.
dengan jumlah bagi manusia, Kalimantan Nelayan
pulaunya tidak terutama dalam Timur, Bali, Nusa penyelam di
kurang dari kegiatan Tenggara Timur, Indonesia
17.508 pulau penyelaman. Maluku Utara, sebagian besar
yang tersebar dari Masuknya hingga tahun nelayan penyelam
Sabang sampai manusia ke dalam 2008 dari 1.026 tradisional.
Marauke air akan penyelam yang Hampir seluruh
(Kementrian mempengaruhi diwawancarai Provinsi di
Kesehatan RI. kondisi penyelam secara langsung Indonesia
2012), yang juga bahkan ditemukan 93,9% memiliki wilayah
sering disebut mempunyai risiko penyelam pernah aktivitas
sebagai negara tinggi terhadap menderita gejala penyelaman, baik
maritime dan kesehatan tubuh awal dari penyakit di daerah maupun
negara bahari. seperti: 1) akibat di
Laut merupakan kesakitan, 2) penyelaman, daerah/Provinsi
sumber daya kelumpuhan/keca sebanyak 29,8% lainnya bahkan
alam sekaligus catan, 3) menderita nyeri hingga negara
menjadi jalur kematian. Risiko sendi, gangguan tetangga. Dalam
transportasi, yang dimaksud dunia
obyek wisata dan tidak hanya akibat penyelaman di
merupakan penyelaman itu kenal dua jenis
sumber mata sendiri, akan kegiatan yaitu
pencaharian bagi tetapi juga penyelaman
masyarakat dipengaruhi oleh basah dan
terutama nelayan. lingkungan bawah penyelaman
Pada sebagian air, teknik kering.
masyarakat penyelaman serta Penyelaman
terutama yang peralatan yang basah adalah
berada di pesisir digunakan dan kegiatan yang
pantai kondisi fisik dan dilakukan oleh
menjadikan mental penyelam. manusia di bawah
nelayan sebagai Data yang air yang
profesi, cara dikumpulkan oleh bertekanan lebih
pengelolaan yang Sub Dit dari satu
sering dijumpai Kesehatan Matra atmosfir.
pada masyarakat (2009) dari Penyelaman
nelayan adalah beberapa kering
menyelam. Provinsi, antara (hiperbarik)
Menyelam adalah lain yaitu ; adalah kegiatan
kegiatan yang Bengkulu, yang
dilakukan Bangka Belitung, dilaksanakan di
dibawah/dalam Lampung, Jawa dalam ruangan
air. Timur, Sulawesi udara yang
bertekanan Implementasi Kesehatan antara lain: 1)
tinggi (RUBT). peraturan Matra, Kelompok umur
Berdasarkan Permenkes RI yang penyelam adalah
data terdapat No 61 Tahun kelompok umur 15-
penyakit/kelaina 2013 tentang sebelumnya 35 tahun (usia
n akibat Kesehatan Matra Kesehatan Matra produktif), 2).
penyelaman dan yang didalamnya diatur oleh Pendidikan rendah,
hiperbarik antara termaktub Keputusan Menteri 3). Pendapatan yang
lain; a) penyakit kesehatan minim, 4). Lamanya
pada penyelaman, Kesehatan RI pekerjaan ditekuni,
penyelaman menjadi masalah Nomor: 1215/ 5). Kedalaman
adalah: tersendiri bagi Menkes/ SK/XI/ penyelaman rata-rata
Barotrauma, pemerintah 2001.Perlindungan antara 10
penyakit daerah Provinsi akan kesehatan – 20 meter, 6).
Dekompresi; Sulawesi masyarakat Kebiasaan
adalah penyakit Tengah. nelayan penyelam mengkonsumsi obat
yang diakibatkan Berdasarkan atau bawah air penghilang rasa sakit
karena data yang bagian dari dan alkohol sebelum
perubahan diperoleh, Kesehatan matra menyelam.
tekanan yang masyarakat Hanya saja, Berdasarkan alasan-
mendadak penyelam di berdasarkan alasan tersebut, perlu
sehingga Sulawesi Tengah observasi penulis, dilakukan penelitian
nitrogen yang masih jauh dari kesahatan matra mengenai implentasi
terlarut dalam perlindungan belum dirasakan Kepmenkes RI No 6
cairan dan kebijakan oleh penyelam kita Tahun 2013 tentang
jaringan tubuh pemerintah khususnya bagi Kesehatan Matra
menjadi bentuk Pusat, terutama masyarakat apakah sudah
gas (hukum menyangkut hak- nelayan terlaksana dengan
Henry) hak masyarakat baik.
Kondisi dan nelayan tradisional.
permasalahan penyelam, ini METODE
yang dihadapi lebih disebabkan Implementasi Penelitian ini
oleh masyarakat oleh kurangnya Kebijakan Meteri menggunakan
nelayan informasi akan metode penelitian
khususnya hak mereka Kesehatan deskriptif kualitatif.
penyelam adalah sebagai Republik Fokus penelitian ini
rendahnya masyarakat Indonesia Nomor adalah Implementasi
pengetahuan nelayan 61 Tahun 2013 Kebijakan Kesehatan
tentang cara penyelam, hasil amandemen Penyelam. Lokasi
penyelaman disamping taraf Keputusan Menteri Penelitian ini adalah
yang baik dan pendidikan Kesehatan RI Kecamatan
minimnya mereka dalam sebelumnya Balaesang Tanjung,
peralatan. memperoleh Nomor Kabupaten
pengetahuan ada. Peraturan 1215/Menkes/SK/ Donggala. Lokasi ini
penyelaman masih Menteri Kesehatan XI/2001. dipilih karena hasil
relatif kurang Republik Indonesia Permasalahan observasi
bahkan dapat Nomor 61 Tahun yang terjadi pada menunjukkan bahwa
dikatakan belum 2013 tentang para penyelam banyak penyelam
yang tidak kesehatan informan yang Orang. 3) Kepala
memperhatikan penyelam. akan Desa Pomolulu,
kesehatannya Waktu digunakan 1 Orang. 4)
sewaktu penelitian ini dalam Kepala
melakukan direncanakan penelitian ini Puskesmas
aktifitas selama 3 bulan adalah dengan Kecamatan
penyelaman sejak bulan cara sengaja Balaesang
sehingga Oktober s/d atau Tanjung, 1
menyebabkan Desember 2014. Purposive, Orang. 5).
gangguan Informan dimana Sekretaris
adalah orang informan yang Kecamatan, 1
yang dipilih dipilih Orang. 6).
untuk dapat berdasarkan Pengambil
menerangkan maksud dan Kebijakan
dan memberikan tujuan Tingkat
informasi sesuai penelitian. Kabupaten
dengan Teknik ini Donggala, 1
permasalahan digunakan Orang
dan tujuan untuk Teknik
penelitian. menentukan pengumpulan
Pemilihan informan yang data primer dari
informan dibutuhkan wawancara
dilakukan sebagai terhadap
berdasarkan sumber data responden sesuai
kebutuhan data. berdasarkan pertanyaan
Penentuan asumsi bahwa dalam kuesioner,
Informan oleh informan observasi
Penulis tersebut dengan
disesuaikan mempunyai pengamatan
dengan karakteristik langsung di
kapasitas, yang sesuai tempat
kualitas dengan pelayanan
pengetahuan permasalahan kesehatan dan
serta partisipasi penelitian indepth
sebagai yang telah interview pada
implementor ditetapkan responden. Data
dalam oleh Penulis, sekunder
Implementasi Maka diperoleh dari
Kebijakan keterwakilan pencatatan dan
Kesehatan infoman itu pelaporan di
Penyelam di terdiri dari: 1). Puskesmas
Kecamatan Korban Balaesang,Anali
Balaesang Penyelam sis data
Tanjung, Tradisional, 2 dilakukan secara
Kabupaten Orang. 2). bertahap yaitu
Donggala. Profesi dengan reduksi
Teknik Penyelam data (reduction
pemilihan Tradisional, 2 data), penyajian
data dan kesimpulan. berkeinginan Untuk
penarikan jika peraturan memperkuat
HASIL DAN 1. Ukuran- meteri analisis , penulis
Kesehatan
ukuran dasar melakukan
PEMBAHAS Republik
dan tujuan – wawancara
Indonesia
tujuan dengan informan
AN HASIL tersebut sudah
kebijakan. Pengelola
pernah ada
Aspek Kesehatan Matra
Aspek-aspek ukuran dasar dan
sudah barang
Dinas Kesehatan
yang diteliti pada tujuan kebijakan
tentu
Kabupaten
penelitian ini yang diteliti
disosialisasikan
Donggala,
adalah: 1) Ukuran kemasyarakat
meliputi pada setiap sebagai berikut:
dasar dan tujuan penyelam “...Saat ini
kebijakan, 2) kesempatan
mendapatkan hak- pertemuan, baru
Sumber-sumber hak perlindungan melakukan
kebijakan, 3) misalnya di
kesehatan dari tempat pesta tindakan
Karakteristik pemerintah pengumpulan
agen pelaksana perkawinan dan
setempat di tempat data bagi
/ implementor, 4) khususnya Dinas penyelam,
Kondisi ekonomi, duka..” (R ,
Kesehatan Sekretaris melalui
sosial dan politik, Kabupaten Puskesmas
kecamatan
dan 5) Donggala dalam yang ada di
Balaesang)
Kecenderungan hal ini Puskesmas Kabupaten
“..Umumny
(disposition) Malei selaku Donggala…
a pasien yang
pelaksana/imple implementor. Dari serta
berobat
mentor. hasil wawancara melakukan
dipuskesmas
Sedangkan fokus penulis dengan Malei ini hanya koordinasi
penelitian adalah informan beridentitas dengan instansi
implementasi mengatakan petani, terkait….misaln
kebijakan bahwa: sehingga belum ya Dinas
kesehatan “..Selaku ada Kelautan dan
penyelam di Pemerintah di teridentifikasi Perikanan…”
Kecamatan tingkat identitas dari (IW)
Balaesang Kecamatan para
Tanjung belum memiliki penyelam…”(P- 2. Sumber-
pengetahuan Petugas Sumber
Kabupaten dan informasi Puskesmas) Kebijakan
tentang Sumber-
Donggala kesehatan sumber kebijakan
sebagaimana Matra yang dimaksud
adanya kebijakan khususnya dalam penelitian
Menteri perlindungan ini adalah
Kesehatan terhadap anggaran dan
Republik kesehatan para dana atau
Indonesia Nomor Penyelam, perangsang
61 Tahun 2013 pemerintahan (Incentive) lain
Tentang kecamatan yang mendorong
Kesehatan Matra. sangat dan
memperlancar penyelam “… Karakteristik bahwa
implementasi belum Badan-badan atau karakteristik agen
yang efektif. teragendakan, agen pelaksana/ pelaksana/
Dari hasil dengan implementor implementor, lebih
wawancara demikian dana yang ada di mengedepankan
dengan anggarannyap tingkat kepentingan yang
pengelola un dapat bersifat
Kesehatan Matra dipastikan nihil kecamatan menguntungkan
Dinas Kesehatan atau belum implementor.
ada….” (R- dalam Sebab dari hasil
Kabupaten
Sekretaris mensosialisasika wawancara
Donggala, dapat
Kecamatan n sebuah dengan informan
dikatakan
Balaesang) kebijakan masih korban penyelam
bahwa:
dipengaruhi oleh penulis
“…..Faktan
3. Karakterist karakteristik mendapatkan
ya dana
ik Agen badan atau keterangan
kesehatan
Pelaksana/ organisasi itu bahwa:
matra, serta
Implemento sendiri, hal ini “…Tingkat
dana
r. disebabkan kepekaan lembaga
sosialisasi
Yang karena terikat atau agen
belum
dimaksud oleh komponen pelaksana/implem
teranggarkan
internal…”(R) entor khususnya
khusus bagi karakteristik
“… dalam
penyelam, agen
Karakteristik mengimplementasi
dana yang ada pelaksana/imple
setiap dinas kan kesehatan
hanya cukup mentor pada
terkait sebagai matra bagi
untuk penelitian ini
implementor, penyelam di
pengumpulan yakni : norma- tidak dapat
data dasar norma atau kecamatan
dipaksakan, Balaesang Tanjung
bagi aturan-aturan karena di batasi Kabupaten
penyelam…”(I organisasi oleh norma- Donggala dapat
W- pengelola pelaksana/ norma yang dikatakan sangat
Kesehatan implementor berlaku dalan
Matra Dinas minim bahkan
sejalan dan dapat instansinya
Kesehatan tidak terjadi…”(Np)
menerima sendiri.
Kabupaten Kebijakan Kesulitandinas 4. Kondisi
Donggala) Menteri kesehatan Ekonomi, Sosial
“…Dalam Kesehatan melakukan dan Politik
Musrembang Republik koordinasi Indikator yang
di tingkat Indonesia Nomor dengan instansi diteliti pada aspek
Kecamatan 61 Tahun terkait terbentur kondisi ekonomi,
Balaesang 2013tersebut. pada pola-pola
program social dan politik
Berdasarkan yang berlaku
sosialisasi dan adalah pendapatan,
hasil wawancara pada instansi
penanganan pendidikan dan
peneliti dengan tersebut…”(IW)
khusus tingkat partisipasi
informan Secara
pada Pilkada.
Sekretaris Kabupaten Donggala sederhana
Berdasarkan pada
penulis
Kecamatan mengatakan bahwa:
mendalami
hasil wawancara
Balaesang Tanjung dengan
informan RI Nomor 61 yang “…. Saya
mengatakan bahwa Tahun 2013 mengatakan sewaktu
: tentang bahwa : kampanye dan
“…Aspek kesehatan “... Rata- memilih… saya
ekonomi Matra…” (R- rata tingkat disuruh
implementor Sekretaris pendidikan memilih salah
khususnya Kecamatan para satu kandidat
organisasi Balaesang) penyelam karena kalau
pemerintah di “…para tidak tamat memilih
tingkat pelaksana/ Sekolah kandidat itu…
kecamatan implementor Dasar, hal kami penyelam
Balaesang khususnya ini menjadi akan diberi
Tanjung organisasi salah satu kapal/katintin
Kabupaten pemerintah indikator g… maka saya
Donggala ini, tingkat yang memilih yg
masih tergolong Kecamatan, menyebabka disuruh.., tapi
lemah, demikian jika n aktivitas saya kecewa
pula, kondisi melakukan penyelaman dan teman-
sosial sosialisasi yang teman,
masyarakatnya sebuah dilakukan di ternyata janji
masih kebijakan, Kecamatan itu sampe
memprihatinkan mengalami Balaesang sekarang
, ekonomi dan kesulitan menyebabka kapal/katintin
sosial karena kondisi n g itu tidak ada
masyarakat ekonomi, kelumpuhan di kampung
menjadi aspek sosial dan , tuli, dan kami…”(Np-
penentu atas politik bentuk informan)
keberhasilan masyarakat di penyakit
implementasi daerah ini lainnya bagi 5. Kecenderun
Kebijakan belum penyelam gan
Meteri memberikan …”(S) (Disposition)
Kesehatan ruang yang para
kondusif Demikian Pelaksana/I
terhadap pula halnya mplementor
kegiatan dengan Indikator
implementasi indikator yang diteliti
…”(TS-Kepala politik, dalam pada aspek ini
Desa) hal ini yakni sosialisasi
keterlibatan arah sasaran
Kaitannya penyelam pada kebijakan,ukura
dengan partisipasi n-ukuran dasar
indikator sosial politik dan tujuan-
khususnya khususnya tujuan kebijakan.
pendidikan Pemilihan Hasil
penyelam, hasil Kepala Wawancara
wawancara Daerah. Hasil penulis dengan
dengan wawancara informan-
informan Bapak mengatakan: informan
Safriansyah mengatakan
bahwa: Namun
“... Malei PEMBAHASAN demikian, dalam
Kecenderungan Kecamatan 1. Ukuran- banyak kasus
para pelaksana Balaesang ukuran dasar penyelam,
terutama dinas Tanjung dan tujuan – penulis
terkait baru bersedia untuk tujuan menemukan
sebatas pada melakukan kebijakan beberapa
semangat, sosialisasi Arah Untuk kesulitan besar
belum pada sasaran untuk
tataran kebijakan, menjelaskan mengidentifikasi
pelaksanaan, ukuran-ukuran dan mengukur
dengan dasar dan apakah apakah kebijakan
berbagai tujuan-tujuan implementasi perlindungan
alasan kebijakan telah berhasil atau bagi masyarakat
termasuk Menteri tidak, perlu yang beprofesi
aspek-aspek Kesehatann ditentukan status sebagai penyelam
yang telah di atau identitas para dapat dijangkau
uraikan di Petugas penyelam sebagai oleh kebijakan
atas…..” (IW- Puskesmas) profesi pekerjaan kesehatan matra,
pengelola “…..Masyar oleh pihak terkait, untuk
Kesehatan akat yang ada identitas orang- mengukurnya ada
Matra Dinas di wilayah orang yang
Kesehatan pemerintahann
dua hal yang
bekerja sebagai menjadi
Kabupaten ya mendukung penyelam menjadi
Donggala) apabila ada penyebabnya :
penting sebagai pertama,
“… Secara sosialisasi data awal atau
kelembagaan kebijakan disebabkan oleh
data dasar. bidang program
atau organisasi Menteri
Hampir dapat yang terlalu luas
Pemerintah Kesehatan
dipastikan dan sifat tujuan
Kecamatan tentang
keberadaan para yang kompleks,
Balaesang Kesehatan
penyelam belum dalam hal ini
Tanjung sangat Matra….”(TS-
terakses program dinas
mendukung Kepala Desa)
sebagaimana tekait dan dinas
apabila “...selaku
dilakukan korban maupun
profesi kesehatan
sosialisasi dan sebagai profesi masyarakat Kabupaten
perlindungan penyelam kami lainnya. Donggala, terlalu
terhadap sangat luas sehingga
penyelam yang mengharapkan dapat dikatakan
ada di daerah perlindungan penyelam lepas
ini…..”(R- kesehatan dari progam yang
Sekretaris matra, dan dirumuskan.
Kecamatan penyuluhan- Kedua, akibat
Balaesang) penyuluhan dari ketidak
“… seluruh yang bersifat jelasan,
petugas yang teknik kontradiksi
ada menyelam….”( pernyataan
dilingkungan M-korban ukuran dasar dan
Puskesmas penyelam) tujuan kebijakan
yang dilakukan kebijakan itu Kesehatan mempengaruhi
oleh pihak sendiri. Kabupaten mengapa mata
pengambil Menurut Van Donggala, namun anggaran untuk
keputusan di Meter Van Horn realitas di masyarakat
kabupaten dalam Winarno organisasi penyelam belum
Donggala, belum ( 2012;160) pemerintah lainnya terdapat dalam
dapat Kadangkala terutama dinas- program yang
menempatkan ketidak jelasan dinas terkait baik diambil
profesi dalam ukuran di Kabupaten keputusannya oleh
penyelam dasar dan tujuan maupun di dinas kesehatan
kedalam agenda kebijakan Kecamatan belum kabupaten Donggala,
kebijakan yang sengaja sepenuhnya yaitu: Pertama;
dikeluarkan. Jadi diciptakan oleh mengetahui, Adanya pengaruh
jelas bahwa pembuat sehingga terjadi kebijaksanaan lama (
salah satu aspek keputusan, hal ini Permenkes RI No. conservative ); yaitu
implemetasi dimaksudkan 61 Tahun 2013 sebuah kebijakan
Permenkes RI agar dapat tersebut. yang mengutamakan
No 61 Tahun menjamin proram yang bersifat
2013 tentang tanggapan positif 2. Sumber- rutinitas tanpa ada
kesehatan matra, dari orang- orang Sumber evaluasi yang
bagi para atau lembaga Kebijakan berkelanjutan
implementor di yang diserahi Perlindungan dengan
kabupaten tanggung jawab bagi masyarakat menggunakan data
donggala (implemtor). penyelam di hasil penelitian.
terhadap Jelas dari Kecamatan Kedua; Adanya
penyelam di wawancara Balaesang Tanjung pengaruh tekanan-
kecamatan tersebut di atas, Kabupaten tekanan dari luar
Balaesang bahwa telah Donggala melalui terhadap penyusunan
Tanjung belum terjadi ketidak sosialisasi dan anggaran yang lebih
ada sosialisasi. jelasan ukuran penanganan mengutamakan
hal ini dasar dan tujuan kesehatan bagi kepentingan program
disebabkan kebijakan dari korban penyelam tertentu. Ketiga;
karena Kebijakan belum Dalam penyususnan
pengambilan Menteri diprogramkan oleh anggaran, pengambil
kebijakan Kesehatan pengambil kebijakan di tingkat
kabupaten belum Republik kebijakan di lebih tinggi di
linier kedalam Indonesia Nomor Kabupaten pengaruhi oleh sifat-
program yang 61 Tahun 2013 Donggala yakni sifat pribadi
ditetapkan, atau oleh pengambil Dinas Kesehatan misalnya dalam
ada unsur kebijakan di Kabupaten proses pengajuan
ketidak jelasan tingkat Donggala, hal ini proposal. Keempat
dari ukuran Kabupaten terjadi karena Keterbatasan dana
dasar dan tujuan Donggala. belum ada anggaran sehingga
Penulis 61 Tahun 2013 telah anggaran khusus pengambil keputusan
menyimpulkan diketahui oleh yang di sediakan melakukan
bahwa isi sebagian bagi penyelam. penghematan
Kebijakan implementor Ada beberapa program yang
Permenkes RI No. khususnya Dinas aspek yang bersifat skala
prioritas. sumber- Kesehatan RI sehingga tidak
sumber Nomor 61 heran terjadi
kebijakan telah Tahun 2013 antara badan
terlaksana, Tentang atau agen saling
namun karena Kesehatan melepas
keterbatasan Matra,ini tanggung jawab.
anggaran maka bukan karena Van Meter
anggaran hanya rendahnya dan Van Horn
diperuntukkan koordinasi, dalam Winarno (
untuk kebutuhan melainkan 2012; 166)
pengumpulan keterbatasan mengetengahkan
data base atau informasi beberapa unsur
data dasar, diantara yang mungkin
dimana lembaga yang berpengaruh
implementor ada dan hal ini terhadap suatu
berdasarkan dapat organisasi dalam
penelitian ini merugikan mengimplement
telah bagi asikan
mengumpulkan masyarakat kebijakan,
data- data para nelayan unsur- unsur
penyelam khususnya tersebut antara
khususnya di bagi nelayan lain: 1).
Kecamatan penyelam di Kompotisi dan
Balaesang Kecamatan ukuran staf suatu
Tanjung. Balaesang badan;
Dengan Tanjung 2).Tingkat
demikian aspek Kabupaten pengawasan
sumber-sumber Donggala. hierarkis
kebijakan telah Dalam terhadap
terimplemenatas pandangan keputusan-
i sekalipun penulis ciri- keputusan sub-
belum ciri dari setiap unit dan proses-
sempurna. proses dalam
badan badan-badan
3. Karakterist pelaksana;3).Su
ik Agen atau mber- sumber-
Pelaksana/ politik suatu
Implemento agen organisasi
r pelaksana/impl (misalnya
Karakteristik ementor dukungan di
agen atau badan mempengaruhi antara anggota-
badan cara anggota
pelaksana/imple penyampaian Legislatif dan
mentor belum sebuah Eksekutif).
sejalan tentang kebijakan,
implementasi 4. Kondisi dasarnya
kebijakan Ekonomi, Sosial partsisipasi
menteri dan Politik Pada penyelam pada
Pilkada dan hidup sebagian sosial dan politik badan-badan
proses politik besar masyarakat pada kebijakan pelaksana/imple
telah cukup yang ada di publik merupakan mentor. Karena
terlibat…, namun kecamatan pusat perhatian itu Van Meter
keinginan dan tersebut. Namun yang besar selama dan Van Horn
wujud dari dibutuhkan dasawarsa yang mengusulkan
demokrasi dalam teknik-teknik lalu. Sekalipun agar kita
arti kepedulian implementasi oleh dampak dari memberi
dan janji para implementor, aspek-aspek ini pertimbangan
pemimpin tidak misalnya pada pertanyaan-
sejalan dengan implementor implementasi pertanyaan
aspirasi dan melakukan mengenai
permintaan pendekatan yang keputusan lingkungan
masyarakat. bersifat struktural kebijakan ekonomi, sosial
Sebagaimana kita dan kultural, mendapat dan politik yang
ketahui bahwa pendekatan yang perhatian yang mempengaruhi
dalam prosudural dan kecil, implementasi itu
mengimplementa manajerial, juga Namun dilaksanakan.
sikan kebijakan pendekatan menurut Van
publik kadang Meter dan Van 5. Kecenderung
mendapat keprilakuantermas Horn,aspek-aspek an
dukungan uk pendekatan ini mungkin (Disposition)
atau politik mempunyai efek para
penolakan dari khsususnya yang mendalam Pelaksana/I
masyarakat, hal memenuhi terhadap mplementor
ini tentu erat keinginan dan pencapaian Van Meter
kaitannya dengan aspirasi politik. dan Van Horn
peran para elit Hasil penelitian dalam Winarno
setempat. penulis (2012;169)
Kondisi pendekatan- menegaskan
masyarakat di pendekatan bahwa para
Kecamatan tersebut termasuk pelaksana/imple
Balaesang pendekatan belum mentor mungkin
Tanjung dilakukan oleh gagal dalam
Kabupaten implementor. melaksanakan
Donggala apabila Aspek yang kebijakan-
dilakukan diidentifikasi kebijakan dengan
implementasi dalam tepat,karena
kebijakan keberhasilan mereka menolak
Menteri implementasi tujuan-tujuan
Kesehatan RI kebijakan publik. yang terkandung
nomor 61 tahun Menurut Van dalam kebijakan
2013 tentang Meter dan Van kebijakan
Kesehatan Matra, Horn dalam tersebut. Dan
sangat Winarno (2012: begitu
mendukung 167), bahwa sebaliknya,
sebab dampak kondisi- penerimaan
menyangkut hajat kondisi ekonomi, terhadap ukuran-
ukuran dasa dan Menteri hasil penelitian Kesehatan Matra,
tujuan-tujuan Kesehatan RI dengan memerlukan
kebijakan yang Nomor 61 Tahun menggunakan pemahaman yang
diterima secara 2013 tentang pendekatan teori mendalam,
luas oleh para Kesehatan Matra implementasi terutama bagi
pelaksana/imple membutuhkan Model Van Meter implementor baik
mentor akan waktu, anggaran dan Van Horn Dinas Kesehatan
menjadi serta koordinasi meliputi : ukuran Kabupaten
pendorong bagi antar organisasi dasar dan tujuan Donggala maupun
implementasi terkait, karena itu kebijakan, Dinas terkait,
kebijakan yang implementasi Sumber- sumber sehingga
berhasil. kebijakan Kebijakan, dibutuhkan
Analisis Menteri Kesehata Aktifitas sosialisasi lebih
tentang tersebut implementasi dan awal terhadap
implementasi merupakan komunikasi antar lembaga yang
dari aspek proses yang Organisasi, terkait.
kecenderungan dinamis, aspek- karakteristik agen 2. Karakteristik agen
para aspek yang pelaksana/impleme pelaksana/
implementor, mungkin ntor, Kondisi Implementor;
pada umumnya mempengaruhi ekonomi, sosial disarankan agar
memiliki pelaksanaan dan politik, dan badan- badan
keinginan yang kebijakan Kecenderungan pelaksana
baik namun tersebut (disposition) program terutama
belum dapat membutuhkan pelaksana/ dinas yang terkait
melaksanakan tahapan-tahapan implementor hasil menyamakan visi
kegiatan yang penelitian dan misi serta
sosialisasi berkelanjutan. menunjukkan tanggung jawab
tentang Oleh karena itu empat aspek tidak terhadap
Kesehatan Matra berdasarkan menunjang untuk Kesehatan Matra
khususnya bagi analisis penulis terimplementasiny bagi masyarakat
penyelam di dapat a kebijakan penyelam di
Kecamatan menyimpulkan tersebut dengan Kecamatan
Balaesang bahwa aspek baik di lapangan Balaesang
Tanjung kecenderungan Tanjung.
Kabupaten (Disposotion) Saran 3. Kondisi Ekonomi,
Donggala. pelaksana/imple 1. Ukuran-ukuran Sosial, dan
Implementasi mentor belum dasar dan Politik; karena
kebijakan terlaksana tujuan-tujuan pada umumnya
dengan baik kebijakan; kondisi ekonomi
KESIMPULAN tentang Kesehatan karena masyarakat
DAN SARAN Matra di Kecamatan implementasi penyelam yang
Kesimpulan Balesang Tanjung Kebijakan ada di Kecamatan
Implementasi Kabupaten Menteri Balaesang
Kebijakan Menteri Donggala, belum Kesehatan Tanjung sangat
Kesehatan terlaksana dengan Republik
Republik baik. Indonesia No.
Indonesia No. 61 Hal ini 61 Tahun 2013
Tahun 2013 dikarenakan dari tentang
memprihati untuk Jaico Komputindo
nkan, maka terlebih Publishing .
disarankan dahulu House. Edi Suharto.
kepada menguasai Dunn, William 2010.
Pemerintah ukuran- N. 1994. Analisis
Kabupaten ukuran dasar Public Kebijakan
Donggala dan tujuan- Personel Publik.
untuk tujuan Managem Pandun
memperbai Kebijakan ent and Praktis
ki Menteri public Mengkaji
kesejahtera Kesehatan policy. Masalah dan
an hidup Republik New York Kebijakan
mereka. Indonesia : Addison Sosial.
Disarankan No. 61 Tahun Wesley Penerbit
pula 2013 tentang Longman. CV.
kepada Kesehatan Dunsire, Alfabeta
lembaga Matra Andrew. Bandung.
politik agar tersebut. 1978.
menyusun Implemen
program DAFTAR tation in
mengikutse PUSTAKA Bureaucra
rtakan Agustino cy.
program Leo, 2008. Oxford :
bagi Dasar-Dasar Martin
masyarakat Kebijakan Robertson
penyelam. Publik, .
4. Kecenderu Alpabeta, -----------,
ngan Bandung. 1985.
Badjuri, Abdul Implemen
(dispositio Kahar, dan tation
n) Teguh Yuwono, Theory
pelaksana/I 2002. Kebijakan The
mplemento Publik Konsep Gague :
r; dan Strategi. ISS
kecenderun Program
gan para Semarang : Secretary.
implement Dwijowijoto,
or belum Universitas R.N,
dapat Diponegoro. 2003.
bekerja Cafezio, Peter & Kebijakan
dengan Morehouse Publik
baik, maka Debra. Formulasi,
disarankan 1983. Implemen
para Secrets of tasi, dan
implement Breakthrou Evaluasi.
or terutama gh Jakarta :
organisasi Leadership. Elex
terkait Mumbai : Media
-----------------, 1996. An Introduction to the Study of Public Policy. Wads
Worth, Inch.
Islamy, Irfan M. 1984. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta : Bina Aksara.
Jones, Charles O. 1984. Pengantar Kebijakan Publik (Tejemahan). Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
------------, 2009. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : Hanindita Graha
Widya.
Keban, YT. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep,
Teori dan Isu. Yogyakarta : Gama Media.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2013
tentang Kesehatan Matra. Kementerian Kesehatan 2013.
………….Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Hiperbarik dan Penyakit
Lain Akibat Penyelaman. 2012
…………Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Hiperbarik dan Penyakit
Lain Akibat Penyelaman. 2012
…………Petunjuk Teknis Upaya Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik.
2009.
Riant Nugroho, 2003. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
…………, 2011. Public Policy. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sad Ari Kartono, 2007, Universitas Gadjah Mada dengan judul Prevalensi
dan Faktor Resiko Kejadian Penyakit Dekompresi dan Barotrauma pada
Nelayan Penyelam di Kecamatan Karimunjaya Kabupaten Jepara.
Subarsono. AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Susi Susilawati, 2007, Universitas Diponegoro, dengan judul Analisis
Kebijakan Publik Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Kota
Tasikmalaya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Van Meter, Donal S. & Carl E. Van Horn. 1975. The Policy Implementation
Process : A Conceptual Framwork. London : Sage Publication Inc.
Wahab, S.A. 1997. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
------------ 2002. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.
------------- 2008. Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Edisi Kedua, Penerbit Bumi Aksara.
Waluyo. 2007. Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi, dan
Implementasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah), Mandar Maju.
Bandung.
Widodo, G, 2010, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Surabaya : Insan Cendikia.
Winardi J. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta : Prenada Media.
Winarno Budi. 2008, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta :
Penerbit Media Pressindo
REVIEW JURNAL 1 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 implementasi Penelitian ini 1). Korban Penyelam salah satu hasil wawancara hasil penelitian dengan
kebijakan Jellyta. H. Bofe1, menggunakan Tradisional, 2 dengan informan “...selaku
menggunakan pendekatan
teori implementasi Model
kesehatan Ishak metode penelitian Orang. 2).Profesi korban maupun sebagai Van Meter dan Van Horn
meliputi : ukuran dasar dan
penyelam Martinus1,2, deskriptif kualitatif. Penyelam profesi penyelam kami
tujuan kebijakan, Sumber-
di kecamatan Fokus penelitian ini Tradisional, 2 sangat mengharapkan sumber Kebijakan, Aktifitas
Nawawi Natsir3,
implementasi dan
balaesang adalah Implementasi Orang. perlindungan kesehatan
Muzakir Tawil4 komunikasi antar
tanjung Kebijakan Kesehatan 3) Kepala Desa matra, dan penyuluhan- Organisasi, karakteristik
agen
kabupaten Penyelam. Pomolulu, 1 Orang. penyuluhan yang bersifat
pelaksana/implementor,
donggala 4) Kepala teknik menyelam….” Kondisi ekonomi, sosial dan
politik, dan Kecenderungan
Puskesmas
(disposition) pelaksana/
Kecamatan implementor hasil penelitian
menunjukkan empat aspek
Balaesang Tanjung,
tidak menunjang untuk
1 Orang. terimplementasinya
kebijakan tersebut dengan
5). Sekretaris
baik di lapangan
Kecamatan, 1 Orang.
6). Pengambil
Kebijakan Tingkat
Kabupaten
Donggala, 1 Orang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes------------------olume 10 Nomor 3,
Juli 2019
JURNAL 2

DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf10305
Persepsi Risiko Keselamatan dan Kesehatan Menyelam pada Penyelam Tradisional dengan Kelumpuhan di
Provinsi Maluku: Studi Kualitatif

La Rakhmat Wabula
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga; la.rakhmat.wabula-2017@fkp.unair.ac.id
(koresponden)
Kusnanto
Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga
Bambang Purwanto
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga
ABSTRACT

Background: One of the diverse communities was found in Maluku Province. Traditional diver diving expertise
is obtained from generation to generation. Traditional divers have not received formal education and training
related to diving. The safety and health aspects of the driving method and the tools used are not according to
the standard. The risk of injury and illness due to non-standard diving has increased even higher, although to
date the health aspects of traditional divers in Maluku Province have never been explored. Objective: This
study aims to explore the perceptions of the risk of diving safety and health behavior in traditional divers who
experience paralysis in Maluku Province. Method: The study used qualitative with a case study approach. The
subjects of this study were traditional diver fishermen in Ambon City, West Seram District, and Buru Province
District with ten participants. The research phase in the form of an interview will begin on January 15 -
February 15, 2019. Data analysis uses thematic theory driven. Results: Identification found two main themes:
1) Vulnerability; and 2) Severity. Conclusion: Traditional diver's perceptions of safety and health while diving
can form self-efficacy so as to reduce morbidity and mortality from diving.
Keyword: perception; safety and health behavior; and traditional divers

ABSTRAK

Latar belakang: Salah satu komunitas penyelam ditemukan di Provinsi Maluku.


Keahlian menyelam penyelam tradisional diperoleh secara turun temurun. Penyelam
tradisional belum memperoleh pendidikan dan pelatihan formal terkait penyelaman.
Aspek keselamatan dan kesehatan dari metode menyelam dan alat yang digunakan belum
sesuai standar. Risiko cidera dan penyakit akibat penyelaman yang tidak standar
meningkat lebih tinggi, meskipun sampai saat ini aspek kesehatan penyelam tradisional di
Provinsi Maluku belum pernah di ekplorasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi tentang persepsi risiko perilaku keselamatan dan kesehatan menyelam
pada penyelam tradisional yang mengalami kelumpuhan di Provinsi Maluku. Metode:
Penelitian menggunakan kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek dari penelitian
ini adalah nelayan penyelam tradisional yang berada di Kota Ambon, Kabupaten Seram
Bagian Barat, dan Kabupaten Buru Provinsi sejumlah sepuluh partisipan. Tahap
penelitian berupa wawancara akan dimulai pada 15 Januari – 15 Februari 2019. Analisis
data mengunakan tematik theory driven. Hasil: Identifikasi menemukan dua tema utama:
1) Kerentanan; dan 2) Keparahan. Kesimpulan: Persepsi penyelam tradisional tentang
keselamatan dan kesehatan saat menyelam dapat membentuk efikasi diri sehingga dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat menyelam.
Kata kunci: persepsi; perilaku keselamatan dan kesehatan; dan penyelam tradisional

184 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes-------http://forikes-ejournal.com/index.php/SF


Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes------------------olume 10 Nomor 3,
Juli 2019
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang hampir 70% wilayahnya terdiri dari laut.
Kondisi geografis seperti ini sebagian besar penduduk pesisir mempunyai mata
pencaharian sebagai nelayan. Penyelam tradisional tersebar di wilayah Indonesia
terutama di daerah pesisir dan kepulauan, tetapi sampai sekarang belum ada data yang
akurat menyangkut keberadaan penyelam tradisional tersebut(1).
Salah satu komunitas penyelam ditemukan di Provinsi Maluku. Keahlian menyelam
penyelam tradisional diperoleh secara turun temurun. Penyelam tradisional belum
memperoleh pendidikan dan pelatihan formal terkait penyelaman. Aspek keselamatan
dan kesehatan dari metode menyelam dan alat yang digunakan belum sesuai standard (2).
Risiko cidera dan penyakit akibat penyelaman yang tidak standar meningkat lebih tingi,
meskipun sampai saat ini aspek kesehatan penyelam tradisional di Provinsi Maluku
belum pernah di ekplorasi.
Berdasarkan data dari Direktorat Kenelayanan Provinsi Maluku pada tahun 2017,
jumlah nelayan secara keseluruhan ada 5.931 orang yang terbagi dalam dua kelompok
yaitu nelayan biasa sebanyak 4.237 orang (71%)
dan penyelam tradisional sebanyak 1.694 orang (29%), yaitu penyelam yang dalam
melakukan pekerjaan penyelaman secara turun temurun atau mengikuti yang lain dan
tanpa bekal penguasaan ilmu dan teknologi yang cukup serta sarana dan prasarana yang
tidak memadai. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh penyelam tradisional, antara lain:
penangkapan ikan, lobster, teripang, abalone, dan mutiara. Kegiatan tersebut dilakukan
dengan melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh meter di bawah laut,
karena lobster, teripang, abalone dan mutiara banyak terdapat di dasar laut. Penyelaman
ini banyak dilakukan oleh penyelam tradisional karena ikan jenis tertentu, lobster,
teripang, dan mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi(3). Penyelaman pada
kedalaman lebih dari 20 meter mempunyai risiko yang cukup besar terhadap keselamatan
dan kesehatan penyelam(4). Oleh karena itu penyelaman harus dilakukan dengan syarat
tertentu dan menggunakan alat selam yang memenuhi standar (SCUBA). Penyelam
pencari hasil laut di beberapa wilayah Provinsi Maluku masih menggunakan kompresor
(penyelam tradisional) sebagai alternatif pengganti alat selam SCUBA(2).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Maluku tahun
2017, jumlah penderita dan kematian akibat penyakit penyelaman di Provinsi Maluku
selama 4 tahun terakhir mengalami peningkatan terutama penyakit kelumpuhan,
sebagaimana tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. Penyakit dan kematian akibat pekerjaan penyelaman di Provinsi Maluku tahun
2014-2017

Penyakit 2014 2015 2016 2017


S M S M S M S M
Barotrauma 183 0 211 0 215 0 221 0
Kelumpuhan 17 6 21 2 26 4 27 7
Gigitan binatang laut 8 0 13 0 16 0 21 0
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Provinsi Maluku (2017)

Tabel 1 menunjukkan bahwa tingginya penderita dan kematian akibat penyakit


penyelaman kemungkinan disebabkan karena ketidakpatuhan penyelam terhadap standar
185 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes-------http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes------------------olume 10 Nomor 3,
Juli 2019
keselamatan dan kesehatan penyelaman, antara lain: a) menyusun rencana penyelaman;
b) memeriksa perlengkapan selam; c) memeriksa dan memastikan keamanan lokasi
penyelaman; d) melaksanakan penyelaman sesuai rencana; dan e) memperhatikan interval
waktu antara penyelaman awal dan berikutnya. Selain itu, belum pernah ada pelatihan
keterampilan mengenai prosedur penyelaman dan kesehatan penyelaman bagi masyarakat
Provinsi Maluku serta penyelam memperoleh pengetahuan menyelam secara turun
temurun dan berdasarkan pengalaman saja. Terkait dengan data kepatuhan nelayan dalam
penggunaan alat selam yang sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan
penyelaman tidak dapat ditemukan oleh peneliti.
Pekerjaan penyelaman mempunyai tingkat risiko bahaya yang sangat tinggi,
peningkatan produktivitas kerja mengacu pada standar penyelaman yang baik dan aman,
pengetahuan penyelam tradisonal tentang risiko bahaya yang terjadi di lingkungan
bertekanan tinggi meningkatkan ketaatan terhadap standar keselamatan kerja dalam
penyelaman(5). Kecerobohan dalam mentaati peraturan keselamatan kerja dapat berakibat
fatal berupa kecacatan menetap seumur hidupnya. Sementara itu para penyelam
tradisional memperoleh keahlian menyelam hanya secara turun temurun tanpa bekal ilmu
kesehatan dan keselamatan penyelaman yang memadai(6).
Melalui wawancara awal yang dilakukan peneliti pada beberapa penyelam
tradisional yang mengalami kelumpuhan dan ketulian grade 1 menyatakan beberapa hal
yang membuat mereka alami. Beberapa dari mereka menyampaikan bahwa kelumpuhan
dan ketulian yang dialami mereka adalah akibat dari tidak memperhatikan prosedur
penyelaman yang baik disertai peralatan menyelam yang memadai.
“yaa, saya sudah 2 tahun mengalami kelumpuhan. Saya sebagai penyelam sejak saya SMA. Saya biasa
menyelam menggunakan compressor, dengan kedalaman menyelam lebih dari 100 meter. Saat menyelam
saya hanya menggunakan kaca mata dan selang compressor yang saya taruh di mulut saya supaya bisa
bernapas dengan baik di dalam air” (Tn.J/43 tahun)
“saya menyelam sejak 20 tahun yang lalu. Saya biasanya menyelam pakai kompressor. Saya mengalami tuli
sejak 5 tahun yang lalu. Biasanya saya menyelam dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Saya menyelam
hanya menggunakan alat compressor, tidak ada alat selam lain” (Tn. B/37 tahun)
“saya lumpuh sejak 1 tahun yang lalu. Terakhir menyelam dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Hanya
menggunakan kaca mata selam dan alat compressor saja. Tidak ada alat yang lain” (Tn.L/46 tahun)

Data mengatakan bahwa masalah kelumpuhan yang dialami oleh penyelam tradisional
disebabkan buruknya perilaku keselamatan dan kesehatan saat menyelam. Berdasarkan
fenomena yang ada, perlu untuk memperkuat persepsi tentang perilaku berisiko
keselamatan dan kesehatan penyelaman pada penyelam tradisional di Provinsi Maluku.

186 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes-------http://forikes-ejournal.com/index.php/SF


Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang persepsi risiko perilaku


keselamatan dan kesehatan menyelam pada penyelam tradisional yang mengalami
kelumpuhan di Provinsi Maluku.

METODE

Metode penelitian menggunakan kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek


dari penelitian ini adalah nelayan penyelam tradisional yang berada di Kota Ambon,
Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Buru Provinsi Maluku dengan jumlah
pertisipan mencapai saturasi data (kejenuhan data), sebagai sampel penelitian dengan
kriteria inklusi sampel sebagai berikut: 1) Subjek yang mengalami dekompresi
(kelumpuhan) dan barotrauma telinga (perforasi membran timpani grade 1); 2) Subjek
memiliki riwayat menyelam menggunakan compressor; 3) Subjek memiliki riwayat
bekerja minimal 1 (satu) tahun; 4) Usia subjek minimal 25 tahun dan maksimal 64 tahun
(usia angkatan kerja) (UU No 13 tahun 2013); dan 5) Subjek yang mampu berkomunikasi
verbal dengan baik. Berdasarkan tingkat kejenuhan data, maka didapatkan jumlah subjek
dalam penelitian ini adalah 10 nelayan penyelam tradisional yang mengalami
kelumpuhan. Selain manusia sebagai instrumen penelitian, alat pengumpulan data lain
yang menunjang proses penelitian adalah pedoman wawancara mendalam (indepth
interview), catatan lapangan (fields notes), dan alat perekam. Tahap penelitian berupa
wawancara akan dimulai pada 15 Januari – 15 Februari 2019. Analisis data mengunakan
tematik theory driven. Tahap uji etika penelitian dengan mendapatkan lolos etik
penelitian dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
dengan nomor surat: 1244-KEPK yang terbit pada tanggal 31 Desember 2018.

HASIL
Pelaksanaan pengambilan data telah dilakukan oleh peneliti, yakni sekali
wawancara dengan subjek. Untuk melakukan deskripsi hasil wawancara, peneliti
sebelumnya membuat verbatim/transkrip dari rekaman wawancara dengan subjek yang
setelah itu dilakukan pengkodingan dan analisis verbatim. Hasil tematik menemukan dua
tema, yaitu: Kerentanan dan Keparahan.
1. Sebelum lumpuh
a. Persepsi Risiko
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter tidak
berisiko terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“saya biasa menyelam dengan kedalaman 100 meter dan saya menganggap bahwa hal tersebut
adalah biasa dan sudah menjadi rutinitas saya, tidak memiliki risiko bahaya apapun terhadap
keselamatan maupun kesehatan saya” (R1901:49-63)
2. Setelah lumpuh
a. Persepsi risiko
1) Kerentanan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan kedalam 100 meter atau
lebih memiliki kerentanan terhadap keselamatan dan kesehatannya.
“jika menyelam dengan kedalaman 100 meter atau lebih memiliki kerentanan terhadap
keselamatan maupun kesehatan, seperti: badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan
keluarnya darah dari telinga, hidung dan mulut” (A2901:48-52)
2) Keparahan
Subjek mengungkapkan bahwa jika menyelam dengan tidak memperhatikan
SOP dengan benar, maka akan berakibat yang parah terhadap keselamatan dan
kesehatannya.
“jika menyelam dengan tidak memperhatikan SOP dengan benar, maka akan berakibat yang
parah terhadap keselamatan dan kesehatannya, seperti: lumpuh dan mati” (LI3001:54-57)

PEMBAHASAN

Hasil analisis tematik menunjukkan bahwa persepsi risiko yang dialami oleh subjek
terdiri dari 2 fase, yaitu fase sebelum lumpuh dan sesudah lumpuh. Pada fase sebelum
lumpuh, subjek sering mengungkapkan bahwa menyelam tidak memiliki risiko bahaya
apapun terhadap kesehatan maupun keselamatan. Sehingga atas dasar asumsi tersebutlah
maka subjek tetap melakukan penyelaman.
Hasil penelitian tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Zheng
et al.,(7) bahwa pekerjaan penyelaman penyelaman selalu diincar bahaya baik sebagai
akibat dari perubahan tekanan, temperatur air, maupun terhadap kehidupan bawah air
lainnya. Beberapa penyakit akibat penyelaman, meliputi:
Barotrauma, keracunan gas, penyakit dekompresi (kelumpuhan), dan serangan dari
binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang beracun(3).
Kemudian pada fase setelah subjek mengalami kelumpuhan, persepsi risiko yang
dirasakan oleh subjek yaitu terbagi menjadi 2 persepsi risiko, antara lain: a) Persepsi
risiko kerentanan. Subjek sering mengungkapkan bahwa risiko kerentanan yang akan
dirasakan yaitu badan terasa lelah, kedinginan, sesak nafas, dan keluarnya darah dari
telinga, hidung, dan mulut; dan b) Persepsi risiko keparahan. Subjek sering
mengungkapkan bahwa risiko keparahan yang akan dirasakan jika menyelam tidak sesuai
SOP yang baik, yaitu: bisa merasakan lumpuh dan mati.
Hammerton(8) memiliki pendapat yang sama dengan hasil penelitian bahwa
pekerjaan sebagai penyelam selalu diincar bahya baik sebagai akibat dari perubahan
tekanan, temperatur air (hipotermi), maupun terhadap kehidupan bawah air lainnya,
seperti: a) Penyakit barotrauma (rasa sakit yang sering diikuti perdarahan pada rongga
udara yang mengalami barotrauma, seperti keluarnya darah dari hidung, telinga, dan
mulut); b) Keracunan gas pernapasan (sesak nafas, sakit kepala, muntah, lumpuh, tidak
sadarkan diri, dan dapat berakhir dengan kematian); c) Penyakit dekompresi (seluruh
tubuh terutama persendian terasa sangat nyeri timbulnya berangsur-angsur atau
mendadak, kelelahan dan rasa ngantuk yang berlebihan, pusing, bercak-bercak merah
pada kulit disertai rasa gatal, dan jika perawatannya terlambat atau tidak memadai sering
menyebabkan cacat tubuh, yaitu lumpuh dan bahkan bisa mengakibatkan kematian); dan
d) Serangan dari binatang laut yang berbahaya baik yang berbisa maupun yang beracun.
Hasil tersebut juga memiliki kesamaan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
WHO bahwa salah satu perubahan perilaku yang terjadi secara alamiah yaitu perubahan
yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi
dimana ia beraktifitas. Selain itu juga Schwarzer, Lippke and Luszczynska(9) juga
berpendapat bahwa persepsi kerentanan, yaitu persepsi seseorang terhadap resiko dari
suatu penyakit agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan kalau ia rentan terhadap penyakit tersebut. Pinidiyapathirage et al.,(10)
menjelaskan bahwa persepsi keparahan, yaitu tindakan seseorang dalam pencarian
pengobatan dan pencegahan penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu
penyakit yang dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian, atau
kelumpuhan, dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan sosial.
Persepsi risiko merupakan komponen penting sebagai tingkat minimum ancaman
atau keprihatinan seseorang, sehingga komponen ini harus ada sebelum seseorang
mempertimbangkan manfaaat dari tindakan yang mungkin mencerminkan
ketidakmampuannya untuk benar-benar melakukan tindakan(9). Persepsi risiko dibagi
menjadi dua dimensi yaitu, kerentanan dan keparahan. Kerentanan adalah kemungkinan
pengaruh yang dirasakan terhadap ancaman kesehatan, sedangkan tingkat keparahan
adalah hubungan yang dirasakan dari ancaman kesehatan. Risiko kesehatan mengacu
merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang baik secara langsung maupun jangka
panjang dan memengaruhi kesejahteraan(11).
Sebagai contoh, risiko langsung dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam
dengan baik adalah dapat mengakibatkan terjadinya barotrauma telinga, sedangkan risiko
jangka panjang dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan baik adalah
dekompresi. Jika seseorang menyadari adanya risiko jika tidak menggunakan alat selam
dengan baik, maka ini akan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan
mempertimbangkan penggunaan alat selam secara teratur(12).
Bila seseorang mempunyai persepsi risiko positif dan negatif yang seimbang, maka
hal ini menyebabkan pembentukan niat perilaku yang baik. Misalnya tentang risiko
ketidakpatuhan dalam penggunaan alat selam dengan baik, seseorang akan berfikir
dampak dari penggunaan alat selam (positif) atau tidak menggunakan alat selam
(negatif). Seseorang yang percaya bahwa ada lebih banyak manfaat dari penggunaan alat
selam yang baik akan memiliki niat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak
percaya bahwa ada lebih banyak manfaat dari ketidakpatuhan dalam penggunaan alat
selam dengan baik(5).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dapat
dikatakan, persepsi risiko bagian dari pengalaman penyelam tradisional yang paling
menentukan efikasi diri untuk mematuhi SOP penyelaman.

KESIMPULAN

Diperlukannya penguatan terhadap persepsi risiko yang dirasakan oleh penyelam


tradisional sehingga mereka dapat membangun efikasi diri terhadap perilaku keselamatan
dan kesehatan menyelam serta dapat mengurangi angka kesekitan dan kematian akibat
menyelam.
Metode hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan
Provinsi Maluku serta yang berada di wilayah pesisir khususnya pada kabupaten/kota
yang tinggi kasus penyakit dan angka kematian akibat penyelaman dan pemerintah pusat
dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam rangka meningkatkan kepatuhan menyelam
terhadap SOP penyelaman pada penyelam tradisional melalui KIE (Komunikasi,
Informasi, dan Edukasi) dan adanya pendampingan oleh petugas kesehatan penyelaman
di Puskesmas
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan
Provinsi Bali. 2016. 1-220 p.
2. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Profil kelautan dan perikanan Provinsi Maluku. Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3. Brown SE, Wickersham JA, Pelletier AR, Marcus RM, Erenrich R, Kamarulzaman A, et al.
Attitudes toward medication-assisted treatment among fishermen in Kuantan, Malaysia, who
inject drugs. J Ethn Subst Abuse. 2017;16(3):363–79.
4. Lucrezi S, Egi SM, Pieri M, Burman F, Ozyigit T, Cialoni D, et al. Safety priorities and
underestimations in recreational scuba diving operations: A European study supporting the
implementation of new risk management programmes. Front Psychol. 2018;9(MAR):1–13.
5. Wilson H, Sheehan M, Palk G, Watson A. Self-efficacy, planning, and drink driving: Applying
the health action process approach. Heal Psychol. 2016;35(7):695–703.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
7. Zheng Y, Yang X, Ni X. Barotrauma after liquid nitrogen ingestion: a case report and literature
review. Postgrad Med [Internet]. 2018;0(0):1–4. Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00325481.2018.1494492
8. Hammerton Z. Risk assessment of SCUBA diver contacts on subtropical benthic taxa. Ocean
Coast Manag [Internet]. 2018;158(September 2017):176–
85. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2018.03.036
9. Schwarzer R, Lippke S, Luszczynska A. Mechanisms of Health Behavior Change in Persons
With Chronic Illness or Disability: The Health Action Process Approach (HAPA). Rehabil
Psychol. 2011;56(3):161–70.
10. Pinidiyapathirage J, Jayasuriya R, Cheung NW, Schwarzer R. Self-efficacy and planning
strategies can improve physical activity levels in women with a recent history of gestational
diabetes mellitus. Psychol Health [Internet]. 2018;446:1–16.
Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/08870446.2018.1458983?needAccess=true
11. Zhang C, Zheng X, Huang H, Su C, Zhao H, Yang H, et al. A Study on the Applicability of the
Health Action Process Approach to the Dietary Behavior of University Students in Shanxi,
China. J Nutr Educ Behav [Internet]. 2018;50(4):388–395.e1. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.jneb.2017.09.024
12. Ghisi GL de M, Grace SL, Thomas S, Oh P. Behavior determinants among cardiac
rehabilitation patients receiving educational interventions: An application of the health action
process approach. Patient Educ Couns [Internet]. 2015;98(5):612–21. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.pec.2015.01.006
REVIEW JURNAL 2 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 Persepsi Risiko La Rakhmat Penelitian Subjek dari Hasil tematik menemukan Metode hasil penelitian ini
Keselamatan Wabula, menggunakan penelitian ini adalah dua tema, yaitu: Kerentanan dapat digunakan oleh
dan Kesehatan Kusnanto, kualitatif dengan nelayan penyelam dan Keparahan. pemerintah kabupaten/kota
Menyelam pada Bambang pendekatan studi tradisional yang dan Provinsi Maluku serta
Penyelam Purwanto kasus. berada di Kota yang berada di wilayah
Tradisional Ambon, Kabupaten pesisir khususnya pada
dengan Seram Bagian Barat, kabupaten/kota yang tinggi
Kelumpuhan di dan Kabupaten Buru kasus penyakit dan angka
Provinsi Provinsi sejumlah kematian akibat penyelaman
Maluku: Studi sepuluh partisipan. dan pemerintah pusat dalam
Kualitatif hal ini Kementerian
Kesehatan dalam rangka
meningkatkan kepatuhan
menyelam terhadap SOP
penyelaman pada penyelam
tradisional melalui KIE
(Komunikasi, Informasi,
dan Edukasi) dan adanya
pendampingan oleh petugas
kesehatan penyelaman di
Puskesmas
JURNAL 3

P3M POLITEKNIK NEGERI NUSA UTARA

GAMBARAN KELUHAN PENYAKIT DEKOMPRESI PADA PENYELAM TRADISIONAL


DI KAMPUNG SIMUENG KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE TAHUN 2017

Meylan L. W. Takalelumang, Meistvin Walembuntu, Iswanto Gobel


Politeknik Negeri Nusa Utara

Abstrak: Pada dasarnya nelayan penyelam tradisional yang sering disebut dengan nelayan kompresor
yaitu penyelam yang menggunakan peralatan sangat terbatas. Potensi bahaya dapat dilihat juga dari
perilaku nelayan yang bekerja tanpa memperhatikan aspek keselamatan (safety diving), keluhan yang
sering terjadi antara lain rasa kesemutan pada daerah persendihan, gatal, keluar darah dari hidung
bahkan dapat terjadi kelumpuhan (Navisah,2016). Metode yang digunakan dalam Penelitian ini ialah
deskriptif dengan pendekatan survey pada 40 orang penyelam tradisional yang juga berprofesi
sebagai nelayan di Kampung Simueng, Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dilaksanakan selang bulan
Mei 2017. Hasil penelitian menunjukan bahwa gejala ringan 35 % dan berat 27 % . Gejala ringan
dialami berupa nyeri sendi, gatal– gatal, timbul bercak darah pada kulit dan kesemutan, adapun
selain itu gejala berat yang dialami responden berupah pecah pembuluh darah, lumpuh, dan tuli.
Kesimpulan dalam penelitian yakni sebagian responden mengalami gangguan akibat penyelaman, hal
tersebut diakibatkan karena penyelam tidak mengikuti aturan serta standar penyelaman yang baik
dan menurut para nelayan mereka belum pernah mendapatkan materi/penyuluhan tentang standar
penyelaman oleh karena itu pelulis menyarankan kepada Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pelatihan standar penyelaman kepada para Nelayan tersebut.

Kata kunci: Penyakit Dekompresi, Penyelam Tradisional, Kampung Simueng

Kepulauan sangihe terletak di kegiatan yang dilakukan dalam


utara pulau Sulawesi dan selatan peningkatan hasil perikanan tangkap
kepulauan Mindanao (Philipina). Luas ialah dengan kegiatan penyelaman.
wilayah Kab. Sangihe yaitu 11.863,58 Pada dasarnya nelayan
km2 (6,2%) daratan dan 11.126,61 km2 penyelam tradisional yang sering
(93,8%) luas laut. Sebagian besar disebut dengan nelayan kompresor
penduduk mempunyai mata yaitu penyelam yang
pencaharaian nelayan. Nelayan
merupakan orang yang secara
keseluruhan atau sebagian mata
pencahariannya tergantung dari
kegiatan menangkap ikan. Laut
merupakan sumber daya alam yang
digunakan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat. (Badan
pusat Statistik,2016). Salah satu
menggunakan peralatan sangat menderita nyeri persendian, 11,3%
terbatas. Potensi bahaya dapat dilihat menderita gangguan pendengaran
juga dari perilaku nelayan yang ringan sampai ketulian. Di Kepulauan
bekerja tanpa memperhatikan aspek Seribu ditemukan 41,37% nelayan
keselamatan (safety diving). penyelam menderita barotrauma atau
(Navisah,2016) perdarahan akibat tubuh mendapat
Adapun berbagai penyakit dan tekanan yang berubah secara tiba-tiba
kecelakaan dapat terjadi pada nelayan pada beberapa organ/jaringan serta
dan penyelam tradisional, hasil 6,91% penyelam menderita kelainan
penelitian Depkes RI tahun 2006 di dekompresi yang di sebabkan tidak.
Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat tercukupinya gas
ditemukan 57,5% nelayan penyelam

P3M POLITEKNIK NEGERI NUSA UTARA

nitrogen akibat penurunan tekanan yang survey khususnya pada penyelam


mendadak, sehingga menimbulkan gejala tradisional. Penelitian dilaksanakan di
sakit pada persendian, susunan syaraf, Kampung Simueng pada bulan Mei
saluran pencernaan, jantung, paru-paru dan 2017.
kulit. (Sukbar,2016). Populasi dari penelitian ini
Data survey didesa Simueng adalah Para Penyelam Tradisional di
masyarakat Simeung mata Kampung Simueng berjumlah 40
pencahariannya adalah sebagai nelayan. Sampel dalam penelitian ini
nelayan, masyarakat setempat ialah total sampling. Kriteria inklusi
melakukan kegiatan penyelaman yaitu pada penelitian ini adalah Penyelam
dengan cara memiti , pada saat survey yang bersedia menjadi responden.
dikampung terdapat 2 korban yang Penyelam yang biasa menyelam
meninggal karena barotrauma telinga dikedalaman > 5 meter. Kriteria
dan penurunan kesadaran , terdapat 40 eksklusi yaitu Mempunyai / menderita
penyelam tradisional. 16 orang penyakit gagal jantung.
diantaranya masih menggunakan Variabel dalam penelitian ini
kompresor untuk menyelam. Adapun adalah adalah Keluhan Penderita
14 orang nelayan mengalami gejala dekompresi pada penyelam tradisional.
ringan, Dalam penelitian ini ialah
11 orang mengalami gejala berat. menggunakan kuesioner formulir
Berdasarkan data jumlah penyelam daftar pertanyaan yang dapat
tradisional yang cukup banyak, maka memberikan feed back gambaran
peneliti tertarik untuk mengetahui pelaku kegiatan penyelaman
keluhan penyakit dekompresi pada tradisional. Kuesioner terdiri dari 4
penyelam tradisional. bagian yaitu identitas responden
sebagai informasi , kebiasaan
METODE PENELITIAN menyelam, keluhan akibat
Penelitian ini dilakukan di penyelaman, penyakit yang diderita
Kampung Simueng .Metode yang oleh penyelam , dinyatakan kategori
digunakan dalam penelitian ini yaitu ringan apa bila mengalami 1 gejala
penelitian deskriptif dengan metode yang ada, dinyatakan kategori berat
apa bila mengalami lebih dari 1 gejala
HASIL PENELITIAN yang ada.
Karakteristik Responden
Tabel 2. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah (n) Presentase ( %)


Umur
20-25 Tahun 13 32
26-35 Tahun 7 18
36-42 Tahun 10 25
43-54 Tahun 10 25
Jenis Kelamin
Laki – laki 40 100
Perempuan 0 0
Pendidikan
SD 31 77
SMP 6 15
SMA 3 8

P3M POLITEKNIK NEGERI NUSA UTARA

Takalelumang, Walembuntu, Gobel, Gambaran Keluhan Penyakit …. 91

Status
Kawin 23 58
Belum Kawin 17 42

Berdasarkan Tabel 2. Dapat disimpulkan bahwa umur responden penyelaman


berada pada rentang umur 20 – 25 tahun sebanyak 13 responden ( 32% ), pada tabel
diatas sebanyak 40 responden (100%) laki - laki, tingkat pendidikan responden
sebagian besar SD yaitu sebanyak 31 responden ( 77%) , status terbanyak responden
yaitu sudah kawin sebanyak 23 responden ( 58 ).

Tabel 3 . Distribusi Lama Kerja ( Penyelam ), Tujuan, dan Frekuensi


penyelaman.

Lama Melakukan Penyelaman Jumlah (n) Presentase (%)

1 – 5 Tahun 20 50
6 – 10 Tahun 13 32
11 – 15 Tahun 1 3
16 – 20 Tahun 6 15
Tujuan Penyelaman
Menangkap ikan 40 100
Rekreasi 0 0
Frekuensi Penyelaman dalam Seminggu
2 – 4 kali 19 48
5 – 7 kali 21 52

Tabel 3. Diatas menunjukan bahwa lama responden melakukan penyelaman


1-5 tahun sebanyak 20 responden (50 %), tujuan penyelaman responden yaitu
menangkap ikan sebanyak 40 responden (100%), freskuensi penyelaman responden
yaitu 5 – 7 kali sebanyak
21 responden (52 %).
Tabel 4.Penggunaan Alat menggunakan Kompresor dan Tanpa alat
Alat yang digunakan Jumlah (n) Presentase (%)
Kompresor 16 40
Tanpa Alat 24 60

Tabel 4. Diatas menunjukan bahwa responden menyelam menggunakan alat


Kompresor yaitu sebanyak 16 responden (40%), reponden yang menyelam tanpa alat
sebanyak 24 responden (60%).

Tabel 5.Rerata kedalaman penyelam pada responden yang menggunakan alat


Kompresor.

Kedalaman Penyelaman ( Meter) Jumlah ( n ) Presentase (%)

92 JURNAL ILMIAH SESEBANUA, Volume 2, Nomor 2, Nopember 2018, hlm.89 – 96

30 6 38
50 5 32
70 1 5
100 4 25
Total 16/40 100
Lama selama dikedalaman
2 jam 13 81
3 jam 3 19
Total 16 100
Lama waktu istirahat
1 jam 14 88
2 jam 2 12
Total 16 100

Lama waktu naik ke permukaan


9 meter per 1 menit 16 40
Tidak 24 60
Total 40 100
Safety Stop
Ya 16 40
Tidak 24 60
Total 40 100

Tabel 5. Diatas menunjukan bahwa kedalaman menyelam responden


menggunakan alat kompresor yaitu 30 meter sebanyak 6 responden (38%), lama
selama dikedalaman yaitu 2 jam sebanyak 13 responden (81%) , lama waktu istirahat
penyelaman yaitu 1 jam sebanyak 14 responden (88%), lama waktu naik ke
permukaan yaitu 9 meter per 1 menit sebanyak 16 responden (40%), penyelam yang
menggunakan safety stop sebanyak 16 responden (40%)

Tabel 6. Rerata kedalaman penyelam pada responden tanpa alat.


Kedalaman Penyelaman (Meter) Jumlah (n) Presentase (%)
 10 24 60
Lama selama dikedalaman
2 – 5 menit 19 79
20 detik 5 21
Lama waktu istirahat
1 – 5 menit 19 79
15 menit 5 21

Takalelumang, Walembuntu, Gobel, Gambaran Keluhan Penyakit …. 93

Tabel 6. Diatas menunjukan bahwa kedalaman menyelam responden tanpa


alat yaitu  10 meter sebanyak 24 responden (60 %), lama dikedalaman yaitu 2 – 5
menit sebanyak 19 responden (79,%), lama waktu istirahat penyelaman yaitu 1 - 5
menit sebanyak 19 responden (79,%) responden.

Tabel 7. Alat bantu menyelam.


Alat Bantu Menyelam Jumlah (n) Presentase (%)

Fins (kaki katak ) 4 10


Masker 19 48
Entoho / kaca mata renang 22 55
Baju selam (Wetsuit) 1 2
Paralon 38 95

Tabel 7 . Diatas menunjukan bahwa penyelaman terbanyak menggunakan alat


bantu menyelam yaitu Paralon sebanyak 38 responden (95%), Penyelam
menggunakan Antoho / kaca mata renang sebanyak 22 responden (55%).
Tabel 8. Penyakit yang di derita.
Penyakit yang diderita Jumlah ( n ) Presentase ( % )

Ya 18 45

Tidak 22 55

Total 40 100

Tabel 8.menunjukan bahwa sebagian besar penyelam tidak mempunyai


penyakit yaitu 22 responden (55 %).

Tabel 9. Kebiasaan sebelum melakukan penyelaman.


Kebiasaan merokok Jumlah (n) Presentase (%)
Ya 33 82
Tidak 7 18
Mengonsumsi minuman berakohol
Ya 6 15
Tidak 34 85

Kondisi yang tidak fit


Ya 29 72
Tidak 11 28
94 JURNAL ILMIAH SESEBANUA, Volume 2, Nomor 2, Nopember 2018, hlm.89 – 96

Tabel 9. Menunjukan bahwa kebiasaan sebelum melakukan penyelaman yaitu


merokok sebanyak 33 (82 %) responden , mengonsumsi minuman berakohol
sebanyak 6 (15%) responden, kondisi yang tidak fit sebanyak 29 (72%) responden.

Tabel. 10. Gejala yang dialami sehubungan dengan proses penyelaman (< 24jam).
Gejala Jumlah ( n ) Persentase ( % )
Ringan 14 35
Berat 11 27

Tidak ada gejala 15 38

Total 40 100

Tabel 10. Menunjukan bahwa gejala yang dialami penyelaman sesudah


menyelam
< 24 jam yaitu gejala berat sebanyak 11 (27%) responden, gejala ringan 14 responden
(35%), tidak ada gejala sebanyak 15 (38%) responden.

PEMBAHASAN Hasil penelitian sehubungan


dengan proses penyelaman nelayan penyelam tradisional tidak
menunjukan bahwa gejala ringan 35 % mengetahui standar operasional
dan berat 27 % penyelaman dan tabel selam serta
. Gejala ringan dialami berupa nyeri penggunaannya. Seperti diketahui
sendi, gatal– gatal, timbul bercak bahwa salah satu resiko yang dihadapi
darah pada kulit dan kesemutan, dan oleh peselam adalah terkena penyakit
gejala berat yang dialami responden dekompresi.
berupah pecah pembuluh darah, Menurut Dewan Instruktur
lumpuh, dan tuli. Selam Indonesia penyakit dekompresi
Adapun gejala yang di alami terjadi karena pada saat peselam turun
sejalan dengan penelitian Prasetyo ke kedalaman, meningkatnya jumlah
(2012), bahwa penyelam menderita tekanan parsial gas yang dipergunakan
gejala awal penyakit penyelaman, saat benapas pada kedalaman yang
yaitu sebanyak 29,8% menderita nyeri lebih dalam akan meningkatkan pula
sendi, 39,5% menderita gangguan jumlah gas yang terlarut dalam
pendengaran dan 10,3% menderita jaringan, dimana nitrogen tidak
kelumpuhan. Penyelam tradisional diperlukan tubuh dalam metabolisme
banyak terdapat di wilayah Indonesia maka gas nitrogen lebih banyak
terutama di daerah pesisir dan tersimpan dan larut dalan jaringan
kepulauan, yang kebanyakan belum tubuh. Pada saat naik menuju
pernah mengikuti pendidikan atau kadalaman yang lebih dangkal, dimana
pelatihan dalam hal penyelaman secara tekanan sekeliling berkurang, maka
formal karena keterbatasan dana dan kelebihan gas dalam jaringan dilepas
jangkauan jarak ke tempat pelatihan. oleh tubuh. Jika kecepatan naik tidak
Para nelayan penyelam tradisional cukup perlahan, maka perbedaan
umumnya hanya melakukan pekerjaan tekanan gas dalam tubuh menjadi lebih
secara turun- temurun atau mengikuti besar, maka timbul ketidak
yang lain, serta tanpa dibekali ilmu seimbangan dan terbentuklah
kesehatan dan keselamatan gelembung di dalam jaringan tubuh
penyelaman yang memadai. Keadaan peselam tersebut. (Dewan Instruktur
inilah yang menyebabkan Selam Indonesia.A2 POSSI).
Takalelumang, Walembuntu, Gobel, Gambaran Keluhan Penyakit …. 95

Menurut data di lapangan, safety stop, dimana kita harus berhenti


sebagian besar tidak menggunakan di kedalaman tertentu sebelum naik ke
safety stop pada saat menyelam. permukaan sambil "melepaskan"
Penyelam masih kurang nitrogen yg terhisap ke dalam aliran
memperhatikan prosedur keselamatan darah. Tanpa melakukan ini maka
dengan naik ke permukaan secara kandungan nitrogen dalam darah akan
cepat tanpa melakukan safety stop. sangat tinggi. Apabila penyelam merasa
Mereka hanya mengandalkan perasaan udara yang dihirup semakin tipis atau
saat naik, hal ini dilakukan karena tidak ada sama sekali karena selang
masih sedikit informasi, kurangnya terlipat, macet atau matinya mesin
pengetahuan dan rendahnya pemompa, maka dalam situasi ini,
pendidikan para penyelam membuat nelayan akan naik ke permukaan
mereka kurang mengerti tentang dengan cepat tanpa mengindahkan
keamanan dalam penyelaman. Di safety stop, dan tentu akan
dalam setiap penyelaman harus ada membahayakan keselamatan
(Hanifsakala, 2011). Adapun Selama ini waktu
Hasil penelitian menunjukkan acuan para penyelam kompresor
responden yang melakukan adalah lebih cenderung mengukur pada
penyelaman menggunakan kompresor target hasil tangkapan. Waktu
minimal selama penyelaman bukanlah ukuran nelayan,
2 jam. Lama penyelaman asal dirasa tubuhnya masih mampu
menggunakan kompresor ban yang memburu ikan di dalam suatu
tidak terukur, akan memperbesar kedalaman, maka nelayan akan terus
kemungkinan penyelam terkena bekerja sampai target hasil tangkapan
decompression sickness yang akan terpenuhi. Penggunaan kompresor
membuat penyelam berhalunisasi dan tambal ban cukup berbahaya
seperti merasa mabuk kemudian tahap dikarenakan didalam kompresor
berikutnya akan membuat tidak tambal ban tidak terdapat filter
sadarkan diri. N2 yang terlalu banyak penyaringan udara serta menggunakan
terakumulasi ditubuh akan oli sintetis yang berasal dari minyak
mengganggu pasokan O2 ke jaringan bumi sebagai pelumas kompresornya.
otak yang akan menyebabkan Penggunaan kompresor ban untuk
penyelam seperti orang mabuk dan menyelam tidak memberikan batas
berhalunisasi. Untuk menghindarinya, waktu bagi nelayan ketika menyelam
maka seorang penyelaman harus di dalam air, karena udara di pasok
menggunakan tabel waktu yang sudah terus dari permukaan air, dan hal
standar (US Army Dive Table dan tersebut akan mengakibatkan
PADI Dive Table), berapa lama waktu dekompresi akut bagi nelayan.
penyelaman, berapa waktu untuk (Baileyet, 2005). Sehubungan dengan
safety stop dan berapa lama waktu proses penyelaman sebagian besar
istirahat sebelum penyelaman responden mengalami penyakit
berikutnya, semua harus terukur. hipertensi, gejala yang di alami setelah
menyelam kurang dari 24 jam berupa
nyeri, gatal- gatal, kesemutan, lumpuh
dan tuli.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan dalam penelitian yakni
sebagian responden mengalami
gangguan akibat penyelaman, hal
tersebut diakibatkan karena penyelam
tidak mengikuti aturan serta standar
penyelaman yang baik dan menurut
para nelayan mereka belum pernah
mendapatkan materi/penyuluhan
tentang standar penyelaman oleh
karena itu pelulis menyarankan kepada
Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pelatihan standar
penyelaman kepada para Nelayan
tersebut.
Badan Pusat Statistik Kabupaten
DAFTAR PUSTAKA Kepulauan Sangihe.
Badan Pusat Statistik, 2016. Kabupaten
Kepulauan Sangihe Dalam angka. Bailey, J. E., Argyropoulos, S. V.,
Kendrick, A. H., and Nutt, D. J.
(2005). Behavioral and cardiovascular effects of 7.5% CO2 in human volunteers.
Depression and anxiety, 21(1), 18-25.

Dewan Instruktur Selam Indonesia. Pendidikan Akademik Penyelaman


Peselam Jenjang A1. Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia.

Dewan Instruktur Selam Indonesia. Pendidikan Akademik Penyelaman


Peselam Jenjang A2 : Navigasi, Selam Malam, Selam Dalam. Persatuan
Olahraga Selam Seluruh Indonesia.

Diving Science Essential Physiologi and Medicine for Divers by Michael B.Strauss,
MD, Igor V. Aksenov, MD, Phd

Herman D. F.Yunus, F.Harahap, M. Rasmin. 2011. Ambilan Oksigen


Maksimal Dan Faal Paru Laki-laki Sehat Penyelam dan Bukan
Penyelam. J Respir Indo Vol. 31, No. 2.

Http://hanifsakala.blogspot.com/2011/11/ bahaya kompresor ban


untuk penyelam. html.Diakses pada
hari jumat 23, juni 2017.

Irkhami, F. L. 2015. Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres Kerja Pada


Penyelam Di PT. X. The Indonesian Journal of Occupational Safety and
Health, Vol. 4. No. 1. Hal. 54 – 63.

Navisah, S. F., I. Ma'rufi, A. D. P. Sujoso. 2016. Faktor resiko Barotrauma


Telinga Pada Nelayan Penyelam Tradisional Di Dusun Watu Ulo Desa
Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA Vol.
12 No. 1.

Paskarini I., A. R. Tualeka, D. Y. Ardianto, E. Dwiyanti. 2010. Kecelakaan


dan Gangguan Kesehatan Penyelam Tradisional dan Faktor-
faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Seram, Maluku.

Prasetyo, A. T., J. B. Soemantri, Lukmantya. 2012. Pengaruh Kedalaman


Dan Lama Menyelam Terhadap Ambang-Dengar Penyelam Tradisional
Dengan Barotrauma Telinga. ORLI Vol. 42 No. 12.

Ruslam, R. D. C., J. F. Rumampuk, V. R. Danes. 2015. Analisis Gangguan


Pendengaran Pada Penyelam Di Danau Tondano Desa Watumea
Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara 2014.
Jurnal e- Biomedik (eBm), Volume 3, Nomor 1.

Sukbar., L. Dupai, S. Munandar. 2016 “ Hubungan Aktivitas Penyelam


Tradisional Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Nelayan Di Desa
Toro Bulu Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Halu Oleo. 9 hal.
Scuba Schools International. Buku Pedoman Penyelam Perairan Terbuka.
Scuba Schools International.

Tim Mata Kuliah Olahraga Air. 1987. Bahan Ajar Mata Kuliah Olahraga
Air. Fakultas Perikanan. Universitas Sam Ratulangi.
REVIEW JURNAL 3 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 Gambaran Meylan L. W. Penelitian ini Variabel dalam Hasil penelitian menunjukan Kesimpulan dalam
keluhan Takalelumang, dilakukan di penelitian ini adalah bahwa gejala ringan 35 % penelitian yakni sebagian
penyakit Meistvin Kampung adalah Keluhan dan berat 27 % . Gejala responden mengalami
dekompresi Walembuntu, Simueng .Metode Penderita ringan dialami berupa nyeri gangguan akibat
pada penyelam Iswanto Gobel yang digunakan dekompresi pada sendi, gatal– gatal, timbul penyelaman, hal tersebut
tradisional di dalam penelitian ini penyelam bercak darah pada kulit dan diakibatkan karena
kampung yaitu penelitian tradisional. Dalam kesemutan, adapun selain penyelam tidak mengikuti
simueng deskriptif. penelitian ini ialah itu gejala berat yang dialami aturan serta standar
kabupaten menggunakan responden berupah pecah penyelaman yang baik dan
kepulauan kuesioner formulir pembuluh darah, lumpuh, menurut para nelayan
sangihe tahun daftar pertanyaan dan tuli. mereka belum pernah
2017. yang dapat mendapatkan
memberikan feed materi/penyuluhan tentang
back gambaran standar penyelaman oleh
pelaku kegiatan karena itu pelulis
penyelaman menyarankan kepada
tradisional. Pemerintah Daerah untuk
Kuesioner terdiri menyelenggarakan pelatihan
dari 4 bagian yaitu standar penyelaman kepada
identitas responden para Nelayan tersebut.
sebagai informasi ,
kebiasaan
menyelam, keluhan
akibat penyelaman,
penyakit yang
diderita oleh
penyelam ,
dinyatakan kategori
ringan apa bila
mengalami 1 gejala
yang ada, dinyatakan
kategori berat apa
bila mengalami lebih
dari 1 gejala yang
ada.
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

JURNAL 4

PERUBAHAN GAMBARAN EKG PASIEN JANTUNG KORONER SETELAH PEMBERIAN TERAPI


OKSIGEN DAN TERAPI FARMAKOLOGI

THE CHANGES OF ECG PATIENT WITH CORONARY HEART DESEASE


AFTER GIVING OXYGEN THERAPY AND PHARMACOLOGY THERAPY

Neni Ernawati, Joko Suwito, Siti Maemonah, Dhiana Setyorini


Prodi DIII Keperawatan Soetomo Poltekkes Kemenkes Surabaya

ABSTRAK

EKG merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa penyakit jantung. Pada
iskemia disertai perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi sel yaitu T inversi dan ST
depresi. Sedangkan pada infark miokard akut didapatkan perubahan EKG yaitu adanya ST
elevasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan melakukan
observasi pada gambaran EKG sebelum dan sesudah pemberian terapi oksigen dan terapi
farmakologi di HCU jantung RSUD Kabupaten.Hasil penelitian didapatkan gambaran EKG
sebelum pemberian terapi oksigen dan farmakologi sebanyak 40% adalah ST elevasi.
Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi nasal kanul 4 lpm dan
terapi farmakologi didapatkan 70% adalah baik. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK
dengan pemberian terapi masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi sebagian besar
didapatkan perubahan gambaran EKG baik

Kata-kata kunci: EKG, terapi, oksigen, farmakologi


ABSTRACT

ECG is an invaluable tool in the diagnosis of heart disease. In ischemia with ECG
changes due to changes in the T cell electrophysiological inversion and ST depression.
While in acute myocardial infarction found that the changes in ECG ST elevation. This
study uses a descriptive cross-sectional observation on the EKG before and after
administration of oxygen therapy and pharmacological therapy in heart HCU research
Kabupaten.Hasil Hospital EKG obtained before administration of oxygen therapy and
pharmacology as much as 40% is ST elevation. EKG changes in patients with CHD
therapy nasal cannula 4 lpm and pharmacological therapy obtained 70% is good. EKG
changes in patients with CHD simple mask therapy and pharmacological therapy 8 lpm
mostly obtained either EKG changes.
Key words: picture, ECG, therapy, oxygen, pharmacology

Alamat Korespondensi: Jl. MayJend Prof DR Moestopo 8c Surabaya, Tilp.5038487

PENDAHULUAN adalah terjadinya ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan. Ketidakseimbangan
Penyakit jantung koroner (PJK)
Jurnal keperawatan 66
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

ini dapat terjadi akibat penyempitan arteri dan difus. Iskemia merupakan manifestasi
koroner, penurunan aliran darah/curah hemodinamika yang sering terjadi. Respon
jantung (cardiac output), peningkatan tersebut merupakan kompensasi simpatis
kebutuhan aliran di miokard, atau spasme terhadap berkurangnya fungsi miokardium.
arteri koroner. Apabila keadaan plak Iskemia biasanya disertai oleh perubahan
ateroma pada arteria koronaria menjadi EKG berupa gelombang T terbalik dan
tidak stabil, misalnya mengalami depresi segmen ST. Pada infark miokard
perdarahan, rupture atau terjadi fisura, akan akut didapatkan gambaran EKG berupa
terbentuk thrombus di daerah plak yang elevasi segmen ST (Linsay, 2006).
menghambat aliran darah koroner maka Tanda dan gejala yang paling sering
terjadi serangan PJK (Gray huon, 2002). dijumpai pada penyakit kardiovaskuler
Perubahan reversibel pada EKG adalah sesak napas dan nyeri dada. Keluhan
dasar yang terjadi saat episode nyeri dada ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
(pergeseran segmen ST, inversi gelombang antara suplai dan kebutuhan oksigen yang
T merupakan tanda penyakit oklusif berada di miokard. Terapi farmakologis
koroner. Perubahan yang luas dikaitkan untuk mengurangi gejala dan iskemia.
dengan prognosis yang buruk karena Gejala dan tanda angina pectoris yang
berhubungan dengan penyakit koroner disebabkan iskemia miokard dapat
yang berat berkurang dengan pemberian obat yang
dapat menurunkan kebutuhan oksigen dan
atau meningkatkan aliran darah ke daerah
yang iskemia. Obat anti angina yang
sering
dipakai adalah β Blocker, calsium antagonis dan harus dapat memberikan terapi oksigen
nitrat organik. Pembuka kanal kalium secara benar dan mengetahui apakah pasien
mungkin dapat digunakan. Kini dapat juga mengalami kekurangan oksigen. Kendala di
dipakai obat inhibisi nodus sino atrial dan HCU (High Care Unit) Jantung RSUD
agen metabolic (Anwar, 2004). Kabupaten Jombang dalam pemberian terapi
Selain itu terapi oksigen penting oksigen adalah pendokumentasian yang
untuk memberikan transport O2 yang kurang terperinci tentang evaluasi
adekuat dalam darah sambil menurunkan pemberian terapi oksigen sehingga sulit
upaya bernapas dan mengurangi stres pada untuk menentukan keefektifan pemberian
miokardium. Pemberian terapi oksigen terapi oksigen. Evaluasi pemberian oksigen
melalui kanula nasal menghantarkan meliputi penilaian kardiopulmoner dan
oksigen berkonsentrasi rendah (24-44 penilaian analisa gas darah. Penilaian sistem
persen) dengan kecepatan aliran 2-6lpm. kardiopulmoner meliputi kesadaran, laju
Akan tetapi bila kecepatan diatas 6lpm, jantung, laju nadi, dan perfusi perifer serta
kemungkinan klien menelan udara dan tekanan darah ( Price, S.A and Wilson
mukosa faring serta nasal menjadi teriritasi, L.M. 2003). Atas dasar inilah perawat di
dan FiO2 (fraksi oksigen) tidak meningkat. unit kritis harus mengetahui tehnik dan
Pemberian terapi oksigen lainnya rasional alat dalam pemberian oksigen dan
menggunakan masker sederhana (simple face perawat juga harus mengembangkan
mask) menghantarkan konsentrasi oksigen kebiasaan memeriksa alat-alat ini dan
dari 40-60 persen dengan aliran 5-8 lpm mengkaji pasien apakah menunjukkan tanda
secara berturut-turut (Berman, 2009; Potter dan gejala hipoksemia-takikardi, takipnea,
dan Perry, 2005). berkeringat dan kekacauan mental atau
Pemberian terapi oksigen perilaku yang juga merupakan tanda-tanda
merupakan tindakan kolaboratif yang keracunan oksigen.
tentunya tanpa advice dari dokter, perawat Di HCU Jantung RSUD Kabupaten

Jurnal keperawatan 67
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

Jombang, pasien dengan penyakit tetapi setelah itu tidak dievaluasi dan
kardiovaskuler tercatat sebanyak 519 didokumentasikan secara rinci dan jelas
pasien pada tahun 2009 dan apakah pemberian terapi tersebut memberi
481 pasien (93%) mendapatkan terapi reaksi pada pasien. Evaluasi pemberian
oksigen. Terapi yang digunakan adalah terapi oksigen ini penting dilaksanakan
nasal kanul 2-4 lpm dan masker dengan karena terapi oksigen dapat menimbulkan
dosis 6-10 lpm. Monitoring dari terapi efek samping dan komplikasi. Efek
oksigen di HCU Jantung didokumentasikan samping dan komplikasi dari pemberian
dalam status pasien. Akan tetapi pada terapi oksigen adalah keracunan oksigen,
pendokumentasian terapi oksigen kurang CO2 narkosis, mikroatelektasis, aspirasi
diperhatikan. bila pasien muntah, perut kembung dan
Kurangnya evaluasi efektifitas infeksi.
terapi oksigen pada HCU Jantung RSUD Tujuan umum penelitian adalah
Kabupaten Jombang disebabkan pemberian mengidentifikasi perubahan gambaran
oksigen merupakan prosedur tetap yang EKG pada pasien penyakit jantung koroner
dilakukan pada pasien yang dirawat di setelah pemberian terapi oksigen dan terapi
HCU Jantung sehingga keadaan ini tidak farmakologi di HCU Jantung RSUD
terevaluasi oleh perawat. Oksigen diberikan Kabupaten Jombang. Tujuan khususnya
kemudian dicatat cara pemberian dan adalah: 1)Mengidentifikasi gambaran EKG
dosisnya akan pada pasien penyakit jantung koroner
sebelum pemberian terapi oksigen dan
terapi farmakologi; 2)Mengidentifikasi
gambaran EKG pada pasien penyakit
jantung koroner setelah pemberian terapi
oksigen nasal kanula dan terapi
farmakologi; 3)Mengidentifikasi gambaran
EKG pada pasien penyakit jantung koroner
setelah pemberian terapi oksigen masker
dan terapi farmakologi.

BAHAN DAN METODE

Disain penelitian yang digunakan


adalah deskriptif cross-sectional. Populasi
penelitian adalah semua pasien PJK yang
dirawat di HCU Jantung RSUD Kabupaten
Jombang selama bulan Juli- Desember
2009 sebanyak 120 pasien. Sampel
penelitian adalah pasien yang dirawat di
HCU Jantung yang diberi terapi oksigen.
kriteria sampel penelitian adalah :1)Pasien
yang dirawat di HCU Jantung RSUD
Kabupaten Jombang; 2)Pasien yang
mendapat terapi oksigen; 3)Pasien dengan
diagnosa medis PJK; 4)Pasien dengan
terapi farmakologi : antiplatelet (aspilet dan
atau plavix), nitrat (fasorbid tablet atau
injeksi cedocard), calcium antagonis
(nifedipin, diltiazem), statin (simvastatin,
Jurnal keperawatan 68
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

cholestat), LMWH (injeksi lovenox). terapi oksigen, terapi farmakologi. Variabel


Besar sampel sebanyak 25 sampel. Teknik dikelompokkan sebagai berikut:
pengambilan sampel menggunakan 1. Gambaran EKG dikelompokkan: 1)baik, jika
didapatkan (1) HR normal (80-100 x/menit), dan
consecutive sampling. Waktu penelitian
atau (2) ST elevasi turun ≥1 mV dan ST depresi naik
adalah tanggal 1-14 Juli 2010 dan ≥ 1 mV, dan atau (3)T inversi naik
dilaksanakan di HCU Jantung RSUD ≥1 mV; 2)tetap, jika tidak terdapat
Kabupaten Jombang. Alat pengumpulan perubahan gambaran EKG; dan
data adalah lembar observasi. 3)Buruk, jika didapatkan
Variabel penelitian adalah (1) HR < 60 x/menit, dan > 100 x/menit, dan atau
(2) ST elevasi naik ≥1 mV dan ST depresi turun ≥1
perubahan gambaran EKG, pemberian mV, dan atau (3) T inversi turun ≥1 mV.
2. Pemberian terapi oksigen dikelompokkan yang
mendapat terapi oksigen menggunakan nasal kanule Tabel 1 Gambaran EKG pada pasien
dengan kecepatan 4 liter per menit (lpm) dan PJK sebelum diberikan terapi
menggunakan masker sederhana dengan kecepatan 8 oksigen dan terapi farmakologi di
lpm
3. Terapi farmakologi dikelompokkan sebagai berikut: HCU Jantung RSUD Jombang,
1)terapi farmakologi I (Nitrat+Kombinasi Juli 2010
Antiplatelet+ACE inhibitor+ Statin+Calsium
Antagonis); 2)terapi farmakologi II
Gambaran EKG f %
(Nitrat+Antiplatelet+β blocker ST Elevasi 10 40
+LMWH); 3) terapi farmakologi III ST elevasi dan ST depresi 2 8
ST elevasi dan T inversi 8 32
(Nitrat+kombinasi Antiplatelet+Statin); ST depresi dan T inversi 3 12
4) terapi farmakologi IV (Nitrat T inversi 2 8
i.v+kombinasi Antiplatelet+ACE Jumlah 25 100
Inhibitor+Statin+LMWH); dan 5)terapi
farmakologi V Berdasarkan tabel 2 didapatkan
(Nitrat+Antiplatelet+ACE Inhibitor+ perubahan gambaran EKG yang membaik
Calsium Antagonis). pada 17 pasien (68%) pada pasien PJK
setelah pemberian terapi oksigen dan
farmakologi. Hal ini dapat dijelaskan
HASIL DAN PEMBAHASAN bahwa terapi awal untuk semua penyakit
jantung koroner yang diberikan oleh tenaga
Karakteristik pasien Penyakit paramedik ataupun pada unit/instalasi
Jantung Koroner (PJK) di HCU jantung gawat darurat sebenarnya sama walaupun
RSUD kabupaten Jombang sebagai berikut: manifestasi unstable angina dan infark
1. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
yaitu 17 orang (68%), sedangkan perempuan miokard akut seringkali berbeda.
sebanyak 8 orang (32%). Umumnya gejala infark miokard akut
2. Pasien umur 25-44 tahun sebanyak 3 pasien (12%), bersifat parah dan mendadak, sedangkan
46-65 tahun ada separuh lebih yaitu 17 orang (72%),
dan > 65 tahun sebanyak 4 pasien (16%).
infark miokard akut non ST elevasi
3. Pasien dengan pendidikan tertinggi adalah SMA yaitu (NSTEMI) atau unstable angina berkembang
mencapai 11 orang atau 44% dari total pasien. dalam 24-72 jam atau lebih. Pada kedua
4. Karakteristik pasien dengan pekerjaan PNS, swasta
dan tani masing-masing terdapat 7 pasien (28%).
kasus tersebut tujuan awal terapi adalah
5. Pasien yang mendapat pemberian terapi oksigen untuk menstabilkan kondisi, mengurangi
dengan nasal kanul 4 lpm adalah 20 orang (80%) rasa sakit dan kecemasan pasien. Dan
sedangkan pada pemberian terapi oksigen dengan oksigen diberikan untuk menjaga kadar
masker sederhana 8 lpm sejumlah 5 orang (20%).
6. Pasien PJK paling banyak mendapat Terapi saturasi dan memperbaiki oksigen yang
farmakolgi terapi farmakologi Nitrat, kombinasi sampai ke miokard (Anwar dan Bahri,,
Antiplatelet, Statin, ACE inhibitor dan Calcium 2004). Klien dengan peningkatan kerja
Antagonis sebanyak 8 orang (36%).
miokard, dimana jantung berusaha untuk
mengatasi gangguan O2 melalui
peningkatan laju pompa jantung yang
adekuat (www.farmakoterapi-info.com).
Jurnal keperawatan 69
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

Reperfusi adalah tindakan yang cepat dan


tepat. Dengan pemberian trombolitik atau
Tabel 2 Perubahan gambaran EKG
bahkan dengan PCI (Primary Coronary
pasien PJK setelah 24 jam pemberian
Intervention) dapat secara cepat
terapi oksigen dan pemberian terapi
meningkatkan aliran darah miokard
farmakologi di HCU Jantung RSUD
sehingga oksigen dapat terpenuhi (Perki,
Jombang, Juli 2010
2009).
Perubahan
f %
gambaran EKG
Gambaran EKG pasien PJK Baik 17 68
Sebelum dan setelah Diberikan Teta 2 8
p 6 24
Terapi Oksigen Dan Terapi
Farmakologi Buru
k
Gambaran EKG sebelum pemberian Jumlah 25 100
terapi oksigen dan terapi farmakologi
didapatkan terdapat gambaran ST elevasi
sebanyak 10 pasien (40%), gambaran ST Setiap siklus jantung terdiri dari
elevasi dan ST depresi sebanyak 2 pasien urutan peristiwa listrik dan mekanik yang
(4%), gambaran ST elevasi dan T inversi saling terkait. Gelombang rangsangan
sebanyak 8 pasien (32%), ST depresi dan T listrik tersebar dari nodus SA melalui
inversi sebanyak 3 pasien (24%) dan sistem konduksi menuju miokardium untuk
gambaran T inversi sebanyak 2 pasien (8%) merangsang kontraksi otot. Rangsangan
seperti tabel 1. listrik ini disebut sebagai depolarisasi, dan
diikuti pemulihan listrik kembali yang
disebut repolarisasi.
Aktivitas listrik sel yang dicatat secara akut otot jantung (injuri), sedangkan
grafik melalui elektroda intrasel gelombang T di bawah garis isoelektrik
memperlihatkan bentuk khas, yang disebut (inversi) menunjukkan adanya iskemik otot
potensial aksi. Sedangkan aktivitas listrik jantung terutama pada saat aktivitas
dari semua sel miokardium secara (Widjaja, 2009).
keseluruhan dapat dilihat dalam suatu Pasien mengalami perubahan
elektrokardiogram. Gelombang reversibel pada EKG dasar yang terjadi saat
pada episode nyeri dada (pergeseran segmen ST,
elektrokardiogram mencerminkan inversi gelombang T) merupakan tanda
penyebaran rangsang listrik dan penyakit oklusif koroner. Perubahan yang
pemulihannya melalui miokardium luas dikaitkan dengan prognosis yang buruk
ventrikel dan atrium. Kelainan tata listrik karena berhubungan dengan penyakit
jantung akan menimbulkan kelainan koroner yang berat dan difus (Anwar dan
gambaran EKG. Bahri, 2004).
Segmen ST yang normal terletak Adanya gambaran EKG ST elevasi,
sejajar dengan garis isoelektrik, pada ST depresi maupun T inversi yang
kelainan segmen ST di bawah garis menunjukkan adanya gangguan di miokard
isoelektrik disebut ST depresi yang yang menandakan miokard kekurangan
menunjukkan otot jantung kekurangan oksigen yang bisa disebabkan oleh
oksigen (iskemik) dan jika kelainan segmen penyempitan arteri koroner atau spasme.
ST di atas garis isoelektrik disebut ST Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terlalu
elevasi yang menunjukkan adanya cidera lama karena arteri koroner membutuhkan
Jurnal keperawatan 70
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

oksigen sehingga memerlukan penanganan tetapi dalam 2 tahun terakhir pemberian


yang cepat dan tepat sehingga tidak terjadi trombolitik di RSUD Kabupaten Jombang
perluasan infark, komplikasi seperti odema tidak dilaksanakan. Hal ini disebabkan
paru bahkan dapat mengakibatkan tidak tersedianya trombolitik (streptokinase)
kematian. Keberhasilan terapi penyakit di RSUD Jombang, padahal terapi ini
jantung koroner bergantung pada sangat dibutuhkan pasien. Disini peran
pengenalan dini gejala dan transfer pasien perawat sangat dibutuhkan. Perawat adalah
segera ke unit/instalasi gawat darurat. mitra dokter yang harus mengingatkan
Trombolisis dipilih jika pasien dokter untuk mengorder obat tersebut
segera dirawat dalam 3 jam pertama setelah (Streptokinase) dan karena pemberian
onset (idealnya dalam 1 jam). Trombolisis trombolisis sangat penting mengingat “door
dalam 1 jam pertama sejak gejala muncul to needle” yaitu pasien harus menerima
menghasilkan penrunan mortalitas 50%, trombolisis dalam 1 jam maka tindakan
jika lebih lambat (dalam reperfusi dengan trombolisis dilakukan di
12 jam setelah onset gejala) maka angka IRD (Hipercci, 2010).
penurunan resiko mortalitas turun (<50%).
Jika lebih dari 12 jam, tidak ada perbedaan
antara terapi trombolosis dan terapi Perubahan Gambaran EKG Setelah
konvensional walaupun masih cenderung Pemberian Terapi Oksigen Nasal
menurunkan kematian. Oleh karena itu Kanul 4Lpm Dan Pemberian Terapi
pengenalan dini gejala dan pemberian Farmakologi
terapi trombolisis sangat penting, sehingga
kebijakan National Service Framework for Hasil penelitian pada tabel 3
Coronary Heart Disease menyatakan agar menunjukkan perubahan gambaran EKG
sedapat mungkin “door to needle” time 60 pasien PJK yang mendapat terapi oksigen
menit (semua pasien harus menerima nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi I
trombolisis dalam waktu 1 jam sejak adalah sebagian baik dan sebagian buruk
kontak pertama dengan petugas masing-masing sebanyak 2 orang (50%).
kesehatan). Akan Gambaran EKG Pasien PJK dengan
pemberian terapi oksigen nasal kanul 4 lpm
dan terapi farmakologi II dan III adalah
semuanya (100%) masing-masing 2 orang
dan 8 orang baik Pasien yang mendapat
terapi oksigen nasala kanul 4lpm dengan
terapi farmakologi IV didapatkan
perubahan gambaran EKG yang baik, tetap
dan buruk sama yaitu masing-masing 1
orang (33,3%). Pasien yang mendapat
terapi nasal kanul 4lpm dan terapi
farmakologi V mengalami perubahan
gambaran EKG buruk sebanyak 2 orang
(66,7%).
Berdasarkan tabel 3 pasien yang
mendapat terapi oksigen nasal kanul 4 lpm
dan terapi farmakologi I menunjukkan
bahwa mengalami perubahan gambaran
EKG baik dan buruk masing-masing
sebanyak 50%. Pasien yang mendapat
terapi oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi
farmakologi II dan III semuanya (100%)
Jurnal keperawatan 71
VOL. V NO. 2 Agustus 2012 ISSN 1979-8091

baik. Pasien yang mendapat terapi oksigen


nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi
IV mengalami perubahan gambaran EKG
baik, tetap dan buruk masing-masing
33,3%. Pasien yang mendapat terapi
oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi
farmakologi V sebanyak 66,7%
mengalami perubahan gambaran EKG
buruk.
Perubahan gambaran EKG yang
buruk disebabkan oleh adanya perluasan
infark, dimana perfusi miokard dan
kebutuhan metabolik akan oksigen
bertambah. Perubahan gambaran EKG
yang baik disebabkan oleh karena
peningkatan suplai oksigen ke miokard
dan penurunan kebutuhan oksigen. ini
disebabkan oleh obat antiangina (senyawa
nitrat, penghambat beta, menghambat
kanal kalsium) dan asetosal
(Isselbacher, 2000).

Jurnal keperawatan 72
Tabel 3 Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi
oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi farmakologi I di HCU Jantung
RSUD Jombang,Juli 2010

Jenis Terapi Farmakologi Perubahan Gambaran EKG


Baik Tetap Buruk Total
f % F % f % F %
terapi farmakologi I (Nitrat + Kombinasi 2 50 - - 2 50 4 100
Antiplatelet + ACE inhibitor + Statin +
Calsium Antagonis)
terapi farmakologi II 2 100 - - - - 2 100
(Nitrat+Antiplatelet+β blocker+LMWH)
terapi farmakologi III (Nitrat+kombinasi 8 100 - - - - 8 100
Antiplatelet+Statin)
terapi farmakologi IV (Nitrat i.v + 1 33,3 1 33,3 1 33,3 3 100
kombinasi Antiplatelet + ACE Inhibitor +
Statin + LMWH)
terapi farmakologi V 1 33,3 - - 2 66,7 3 100
(Nitrat+Antiplatelet+ACE
Inhibitor+Calsium Antagonis)

Senyawa nitrat bekerja melalui dua akan mengakibatkan kurangnya suplai


mekanisme. Secara in vivo senyawa nitrat oksigen pada pembuluh darah yang sehingga
merupakan pro drug yaitu menjadi aktif terjadi infark atau injuri (Anwar dan Bahri,
setelah dimetabolisme dan menghasilkan 2004).
nitrogen monoksida (NO). Biotransformasi Perubahan gambaran EKG pada
senyawa nitrat yang berlangsung pasien dengan terapi oksigen nasal kanul
intraseluler ini dipengaruhi oleh adanya 4lpm dan terapi farmakologi II
reduktase ekstrasel dan reduced tiol (Nitrat+Antiplatelet+β
(glutation) intrasel. Nitrogen monoksida blocker+LMWH) didapatkan 2 pasien
akan membentuk kompleks nitrosoheme (100%) mengalami perubahan EKG yang
dengan guanilat siklase dan menstimulasi baik (tabel 4.9). Hal ini disebabkan oleh
enzim ini sehingga kadar cGMP pemberian β blocker dalam 5 jam pertama
meningkat. Selanjutnya cGMP akan bila tidak ada kontra indikasi dapat
menyebabkan defosforilasi miosin, mengurangi luasnya infark (Anwar Anwar
sehingga terjadi relaksasi otot polos. dan Bahri,2004). Pemberian dini β blocker
Mekanisme kerja yang kedua yaitu akibat bermanfaat
pemberian senyawa nitrat, endotelium akan
melepaskan prostasiklin (PGI2) yang
bersifat vasodilator. Berdasarkan kedua
mekanisme ini, senyawa nitrat dapat
menimbulkan vasodilatasi, dan pada
akhirnya menyebabkan penurunan
kebutuhan dan peningkatan suplai oksigen
(Gunawan, 2007). Sedangkan
asetosal/antiplatelet digunakan karena
dapat mencegah atau mengurangi agregasi
trombosit, dengan demikian aliran darah
tidak semakin terhambat
(www.farmakoterapi-info.com, 2010).
Adanya perluasan infark atau pecahnya
trombus yang nantinya akan menyebabkan
sumbatan baru pada pembuluh darah maka
menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam lebih buruk dan terjadinya nekrosis di
setelah miokard infark dengan cara miokard.
menurunkan kebutuhan oksigen, Perubahan gambaran EKG pada
membatasi ukuran infark, mengurangi pasien PJK dengan pemberian terapi
resiko pecahnya pembuluh djantung oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi
dengan menurunkan tekanan darah, farmakologi V (Nitrat+Antiplatelet+ACE
mengurangi resiko aritmia ventrikuler dan Inhibitor+Calsium Antagonis) yaitu pada
supraventrikuler yang disebabkan aktivasi tabel 3 didapatkan 2 dari 3 pasien
simpatik. LMWH (Low Moleculler Weight mengalami perubahan gambaran buruk. Hal
Heparin) digunakan untuk membatasi ini disebabkan oleh adanya perluasan infark
perluasan thrombosis koroner pada dan perubahan dari infark subendokard
NSTEMI/Unstable angina. menjadi transmural.
Pada tabel 4 yaitu pasien dengan Perubahan gambaran EKG baik,
terapi oksigen nasal kanul 4 lpm dan terapi tetap maupun buruk semuanya tidak telepas
farmakologi IV (Nitrat i.v + kombinasi dari peran dokter, perawat dan pasien itu
Antiplatelet + ACE Inhibitor sendiri. Dokter sebagai pemberi terapi dan
+ statin + LMWH) disebutkan bahwa perawat yang selalu berada di dekat pasien
pasien yang mengalami perubahan selam 24 jam harus selalu memantau
gambaran EKG baik sebanyak 1 pasien keadaan pasien dan melaksanakan asuhan
(33,33%), perubahan gambaran EKG tetap keperawatan. Pasien sebagai penerima
1 pasien (33,33%), dan perubahan terapi juga merupakan penentu dari
gambaran buruk juga 1 pasien (33,33%), keberhasilan terapi dan tindakan yang telah
hal ini bisa dikarenakan adanya perluasan dilakukan oleh dokter dan perawat. Kondisi
infark sehingga perfusi miokard menjadi pasien sangat
menentukan apakah terapi yang telah Analisa)sangat diperlukan. Karena BGA
diberikan dapat meningkatkan status dapat sebagai acuan
kesehatan pasien itu sendiri. Perawat tidak adanya hipoksia di jaringan. Sehingga
boleh hanya bergantung dari terapi yang acuan dalam pemberian terapi oksigen
diadviskan oleh dokter saja, akan tetapi yang lebih lanjut dapat diberikan seperti
intervensi perawat juga menentukan pemasangan ventilator. Mengingat
keberhasilan dalam melakukan asuhan pemberian nasal kanul hanya memberikan
keperawatan. Dalam hal ini pemberian konsentrasi 24-44 %, dan masker sederhana
oksigen yang adekuat dan sesuai dengan 40-60%.
kondisi pasien sangat diperlukan dalam
meningkatan suplai oksigen di miokard
Perubahan Gambaran EKG Setelah
pada khususnya dan di seluruh tubuh pada
khususnya. Pemberian terapi oksigen Pemberian Terapi Oksigen Masker
merupakan tindakan kolaborasi yang Sederhana 8 Lpm Dan Terapi
tentunya tanpa advice dokter, perawat dapat Farmakologi
melakukan terapi oksigen secara benar.
Akan tetapi ketiadaan SOP dalam Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui
pemberian terapi oksigen di RSUD bahwa pasien yang mendapat terapi oksigen
Kabupaten Jombang bisa menimbulkan masker sederhana 8 lpm dan terapi
kendala. Bahwa pasien sesak atau nyeri farmakologi mengalami perubahan
dada diberi terapi oksigen, akan tetapi gambaran EKG baik sebanyak 3 orang
rasional dan dosis yang diberikan hanya (100%). pasien yang mendapat terapi terapi
sebatas rutinitas. oksigen masker sederhana 8 lpm terapi
Perlunya pemeriksaan penunjang farmakologi IV mengalami perubahan
lain seperti pemeriksaan BGA (Blood Gas
gambaran EKG baik sebanyak 2 orang
(66,7%). pasien yang mendapat terapi mengurangi stress dalam miokardium.
masker sederhana 8 lpm dan terapi Nitrat selain sebagai anti nyeri angina juga
farmakologi V mengalami perubahan dapat menimbulkan vasodilatasi dan pada
gambaran EKG baik dan tetap masing- akhirnya menyebabkan penurunan
masing 1 orang (50%). kebutuhan dan peningkatan suplai oksigen.
Berdasarkan tabel 4 perubahan terapi platelet juga mengurangi resiko
gambaran EKG pada pasien PJK dengan trombosis koroner (http://www.kalbe.co.id .
pemberian terapi oksigen masker sederhana 20010)
8 lpm dan terapi farmakologi IV Hal ini menunjukkan bahwa
menunjukkan sebanyak 66,7% mengalami pemberian terapi oksigen 8 lpm dan terapi
perubahan gambaran EKG baik. Pasien farmakologi V (Nitrat+Antiplatelet+ACE
PJK dengan pemberian terapi oksigen
masker sederhana 8 lpm dan terapi Inhibitor+Calsium Antagonis) terjadi
farmakologi V mengalami perubahan vasodilatasi pembuluh darah koroner
gambaran EKG baik dan tetap masing- sehingga kebutuhan oksigen ke miokard
masing 50%. Perubahan gambaran buruk terpenuhi. Akan tetapi pada gambaran EKG
disebabkan adanya perluasan infark dan yang tidak mengalami perubahan
adanya perubahan dari infark subendokard disebabkan oleh tidak adanya aliran
menjadi transmural. kolateral yang mengakibatkan penurunan
Pemberian terapi oksigen untuk perfusi miokard (Anwar dan Bahri, 2004).
memberikan transpor oksigen yang adekuat Pemberian terapi oksigen dan terapi
dalam darah sambil menurunkan upaya farmakologi juga tidak terlepas dari kondisi
bernapas dan pasien itu sendiri. Terapi oksigen yang
tidak tepat juga dapat menimbulkan
dampak yang kurang baik bagi pasien.
Adanya sumbatan di miokard menyebabkan
oksigen yang diperlukan jantung untuk
menyuplai oksigen bagi tubuh dan bagi
miokard itu sendiri kurang, sehingga
diperlukan vasodilator yang diperoleh dari
terapi farmakologi sehingga sumbatan yang
berada di miokard tidak terjadi perluasan
dan nekrosis pada miokard serta diharapkan
suplai oksigen yang dibutuhkan miokard
dapat terpenuhi (Hudak and Gallo, 1997;
Smeltzer and Bave, 2001.)
Di dalam Artikel Terkini Perawat
dan Dokter, 2008 yaitu tentang
profesionalisme perawat critical care
disebutkan bahwa salah satu peran perawat
adalah sebagai kolaborator. Disini perawat
bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri
dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-
lain dengan berupaya mengidentifikasi
pelayanan keperawatan yang diperlukan
ternasuk diskusi atau tukar pendapat dalam
menentukan pelayanan selanjutnya.
Adapun fungsi dari perawat salah
satunya adalah fungsi interdependen.
Dimana dalam fungsi ini dilakukan oleh
kelompok tim yang bersifat
ketergantungan diantara tim satu dengan
lainnya dan membutuhkan kerjasama tim
sehingga dokter dalam memberikan
pengobatan bekerjasama dengan perawat
dalam memantau reaksi obat yang telah
diberikan. Perawat selalu berada di sisi
pasien. Dimana setiap waktu selalu
mengetahui kondisi pasien apakah
mengalami perbaikan atau bahkan
memburuk. Atas dasar inilah perawat
wajib mengingatkan dokter yang dalam
hal ini dokter mempunyai kewenangan
dalam memberikan terapi farmakologi.
Karena tidak mustahil perawat lebih
mengerti respon pasien terhadap terapi
farmakologi yang telah diberikan oleh
dokter. Sehingga perawat juga bisa
mengingatkan dokter jika dengan terapi
farmakologi yang telah diberikan, tidak
ada
Tabel 4 perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan pemberian terapi
oksigen masker sederhana 8 lpm dan terapi farmakologi di HCU Jantung RSUD
Jombang, Juli 2010
Jenis Terapi Farmakologi Perubahan Gambaran EKG
Baik Tetap Buruk Total
f % f % f % f %
terapi farmakologi IV (Nitrat i.v + 2 66,7 - - 1 33,3 3 100
kombinasi Antiplatelet + ACE Inhibitor +
Statin + LMWH)
terapi farmakologi V 1 50 1 50 - - 2 100
(Nitrat+Antiplatelet+ACE
Inhibitor+Calsium Antagonis)

perubahan pada pasien atau bahkan oksigen sebagai aspek legal dalam
memburuk. Berdasar hasil uji statistik melakukan tindakan keperawatan;
Kendall Tau Beta menunjukkan bahwa Pentingnya untuk disediakan trombolisis
terapi oksigen dan terapi farmakologi jika dalam formularium obat, dan Mengadakan
berdiri sendiri tidak bermanfaat terhadap pelatihan tentang cara
perubahan gambaran EKG, maka perlu mengintepretasikan EKG, reperfusi
diberikan terapi oksigen dengan terapi (trombolisis) pada perawat IRD.
farmakologi secara bersama-sama.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran EKG sebelum pemberian terapi oksigen
dan terapi farmakologi didapatkan sebanyak 40%
mengalami gambaran ST elevasi dan setelah
pemberian oksigen dan terapi farmakologis
didapatkan sebanyak 68% gambaran EKG-nya
membaik.
2. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan
pemberian terapi nasal kanul 4 lpm dan terapi
farmakologi didapatkan sebagian besar dengan
perubahan gambaran EKG baik dan sebagian kecil
didapatkan perubahan gambaran EKG buruk. Hal ini
dikarenakan adanya perluasan infark, nekrosis
miokard dan adanya perubahan dari infark
subendokard menjadi infark transmural.
3. Perubahan gambaran EKG pada pasien PJK dengan
pemberian terapi masker sederhana 8 lpm dan terapi
farmakologi sebagian besar didapatkan perubahan
gambaran EKG baik. Hal ini disebabkan oleh
perluasan infark dan perubahan infark sub endokard
menjadi transmural.
Beberapa hal yang disarankan
adalah: 1)Perawat harus mengetahui kerja
obat harus mampu menganalisa hasil
rekaman EKG sebelum dan sesudah
diberikan terapi oksigen dan terapi
farmakologi.secara dini mengetahui dan
melaporkan perubahan pasien kepada
dokter; 2) Bagi rumah sakit hendaknya
menyediakan SOP pemberian terapi
DAFTAR ACUAN
Anwar Djohan, T. Bahri, 2004. Patofisiologi dan
Penatalaksanaan Penyakit Jantung
Koroner. Fakultas Kedokteran USU. Medan

Berman Audrey, dkk., 2009. Buku Ajar Praktik


Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5.
Jakarta : EGC.

Gray Huon dkk, 2002. Lecture Notes Kardiologi. Edisi


Keempat. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Gunawan, S.G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi.


Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI. Jakarta

Hudak, C. M and Gallo B.M, 1997. Keperawatan Kritis


Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.

Isselbacher, K.J, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3.
EGC. Jakarta

Linsay E.A, 2006.The Alan E. Linsay ECG Learning


Center, http://library.med.utah.edu/kw/
ecg/ diakses 5 Nopember 2006.

Penyakit Jantung Koroner. http://www.kalbe.co.id


files/PenyakitJantung Koroner.pdf/diakses 23
April 2010

Hipercci. 2010. Peran Perawat. Artikel


Terkini Perawat dan Dokter
Profesionalisme Perawat
Critical
Care.
http://www.hipercci.org. Diakses 30
Agustus 2010
Perki, 2009. Pedoman Tatalaksana Penyakit
Kardiovaskular di Indonesia. Edisi ke-2 .
Jakarta : Secretariat Indonesian Heart
Association.
Potter. A and Perry A.G, 2005. Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik,.
Edisi 4. Jakarta: EGC.
Price, S.A and Wilson L.M. 2003.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6 Volume I.
Jakarta: EGC

Pusat Jantung Nasional National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2001.


Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Bidang Diklat dan Pelatihan
Harapan Kita.
Smeltzer, Suzanne C and Bave B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, volume 1.
Jakarta : EGC

Terapi Farmakologi Sindroma Koroner Akut. http://www.farmakoterapi-info.com. iakses 15 Agustus 2010

Widjaja S, 2009. EKG Praktis. Tangerang: Binarupa Aksara.


Review Jurnal 4 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 perubahan Neni Ernawati, Penelitian ini Sampel penelitian Hasil penelitian didapatkan Gambaran EKG sebelum
gambaran ekg Joko Suwito, menggunakan adalah pasien yang gambaran EKG sebelum pemberian terapi oksigen
pasien jantung Siti Maemonah, metode deskriptif dirawat di HCU pemberian terapi oksigen dan terapi farmakologi
koroner setelah Dhiana cross-sectional Jantung yang diberi dan farmakologi sebanyak didapatkan sebanyak 40%
pemberian terapi Setyorini dengan melakukan terapi oksigen. 40% adalah ST elevasi. mengalami gambaran ST
oksigen dan observasi pada kriteria sampel elevasi dan setelah
terapi gambaran EKG penelitian adalah : pemberian oksigen dan
farmakologi sebelum dan sesudah 1)Pasien yang terapi farmakologis
pemberian terapi dirawat di HCU didapatkan sebanyak 68%
oksigen dan terapi Jantung RSUD gambaran EKG-nya
farmakologi di HCU Kabupaten Jombang; membaik.
jantung RSUD 2)Pasien yang Perubahan gambaran EKG
Kabupaten mendapat terapi pada pasien PJK dengan
oksigen; 3)Pasien pemberian terapi nasal
dengan diagnosa kanul 4 lpm dan terapi
medis PJK; 4)Pasien farmakologi didapatkan
dengan terapi sebagian besar dengan
farmakologi : perubahan gambaran EKG
antiplatelet (aspilet baik dan sebagian kecil
dan atau plavix), didapatkan perubahan
nitrat (fasorbid tablet gambaran EKG buruk. Hal
atau injeksi ini dikarenakan adanya
cedocard), calcium perluasan infark, nekrosis
antagonis (nifedipin, miokard dan adanya
diltiazem), statin perubahan dari infark
(simvastatin, subendokard menjadi infark
cholestat), LMWH transmural.
(injeksi lovenox). Perubahan gambaran EKG
Besar sampel pada pasien PJK dengan
sebanyak 25 sampel. pemberian terapi masker
sederhana 8 lpm dan terapi
farmakologi sebagian besar
didapatkan perubahan
gambaran EKG baik. Hal ini
disebabkan oleh perluasan
infark dan perubahan infark
sub endokard menjadi
transmural.
JURNAL 5

KEMAS 6 (2) (2011) 134-141

Jurnal Kesehatan Masyarakat

http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS PADA


NELAYAN

Imma Nur Cahyawati, Irwan Budiono

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel:
Diterima 12 September
Permasalahan dalam penelitian adalah faktor-faktor apa sajakah yang ber-
2010 hubungan dengan penyakit dermatitis pada nelayan. Tujuannya untuk
Disetujui 29 Oktober 2010 menge- tahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis
Dipublikasikan Januari 2011
pada ne-
layan. Ini termasuk penelitian penjelasan dengan pendekatan belah lintang.
Keywords: Populasi penelitian berjumlah 68 orang. Sampel dikumpulkan secara acak.
Dermatitis
Fish Auction Place (FAP)
Sampel penelitian berjumlah 40 orang. Teknik pengambilan data dilakukan
Personal hygiene dengan menggunakan kuesioner. Korelasi chi square digunakan untuk
mencari

hubungan dan menguji hipotesis antara kedua variabel. Berdasarkan uji chi
square itu diketahui bahwa masa kerja (p = 0,001), alat pelindung diri (APD) (p
= 0,001), riwayat pekerjaan (p = 0,027), kesehatan pribadi (p = 0,027),
riwayat penyakit kulit (p = 0,006) dan riwayat alergi (p = 0,018). Hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan
meliputi masa kerja, alat pelindung diri, riwayat pekerjaan, hygiene personal,
riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.

Abstract
Problems in this study were what factors are associated with dermatitis on the
ßsh- ermen who work in the Fish Auction Place (FAP). Ris study aimed to
determine those factors. Ris type of study was explanatory with cross
sectional approach. Re population consist of 68 peoples. Techniques used was
random sampling. Re samples equal 40 peoples. Techniques of data retrieval
were done using a ques- tionnaire. Chi square correlation used to ßnd
relationships and testing hypotheses between these two variables. Based on chi
square test, it was known that the period of employment (p = 0.001), personal
protective equipment (PPE) (p = 0.001), his- tory of work (p = 0.027),
personal hygiene (p = 0.027), history of skin disease (p = 0.006), and a history
of allergy (p = 0.018), because p <0.05 then the factors are related to the
occurrence of dermatitis in ßshermen who worked in the FAP. In conclusion,
there are factors associated with the incidence of dermatitis in ßsher- men
such as personal protective equipment, work history, personal hygiene, his-
tory of skin disease and history of alergy.

© 2011 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 1858-1196
Jalan Jatisari Lestari Blok C.13 No.6 Mijen Semarang
Email: erwanbudiono@staff.unnes.ac.id
Pendahuluan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya alam. Alasan lain dan yang
Indonesia dikenal sebagai salah satu akan banyak dibahas dalam draf ini adalah
ne- gara maritim yang sebagian besar disebabkan karena faktor-faktor sosial
wilayahnya merupakan wilayah perairan. seperti pertumbuhan jumlah penduduk
Beberapa fakta di lapangan menunjukkan yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan,
bahwa kita memang layak disebut negeri dan ren- dahnya tingkat kesehatan serta
bahari karena menurut fak- ta 2/3 wilayah alasan-alasan lainnya seperti kurangnya
Indonesia berupa perairan, garis pantai prasarana umum di wilayah pesisir,
Indonesia mencapai 18.000 km terpan- lemahnya perencanaan spasial yang
jang kedua setelah Kanada, dan mengakibatkan tumpang tindihnya be-
keanekaraga- man laut kita pun diyakini berapa sektor pada satu kawasan, polusi,
merupakan salah satu yang terlengkap di dan
dunia (Rakawhisnu, 2007). kerusakan lingkungan (Pangemanan,
Sensus penduduk tahun 2000 2002). Disamping itu pada aspek kesehatan,
menun- jukkan jumlah penduduk nelayan relatif lebih berisiko terhadap
Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat munculnya masalah kesehatan seperti
ini setidaknya terdapat 2 juta rumah kekurangan gizi, dermatitis, diare, dan
tangga yang menggantungkan hidupnya infeksi saluran perna- fasan atas (ISPA),
pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap yang disebabkan karena persoalan
rumah tangga nelayan memiliki 6 jiwa, lingkunan seperti sanitasi, air bersih, indoor
maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta pollution, serta minimnya prasaran ke-
jiwa yang menggantungkan hidupnya sehatan seperti puskesmas ataupun
sehari-hari pada sumber daya laut posyandu yang tidak digunakan secara
termasuk pesisir tentunya (Pangemanan, optimal (Injhawan et al., 2009).
2002). Nelayan merupakan is- tilah bagi Sejak 1982, penyakit dermatitis telah
orang-orang yang sehari-harinya be- kerja menjadi salah satu dari 10 besar penyakit
menangkap ikan atau biota lainnya yang aki- bat kerja (PAK) berdasarkan potensial
hidup di dasar, kolom, maupun permukaan insidens, keparahan, dan kemampuan
pe- rairan. Perairan yang menjadi daerah untuk dilakukan pencegahan. Biro
aktivitas nelayan ini dapat merupakan Statistik Amerika Serikat (1988)
perairan tawar, payau, maupun laut. Di menyatakan bahwa penyakit kulit men-
negara-negara berkem- bang seperti di duduki sekitar 24 % dari seluruh PAK
Asia Tenggara atau di Afrika, masih yang dilaporkan. Re National Institute of
banyak nelayan yang menggunakan Occupa- tion Safety Hazards (NIOSH)
peralatan yang sederhana dalam dalam survei ta- hunan (1975)
menangkap ikan. Nelayan di negara- memperkirakan angka kejadian dermatitis
negara maju biasanya menggunakan akibat kerja yang sebenarnya adalah 20-50
peralatan modern dan kapal yang besar kali lebih tinggi dari kasus yang telah di-
yang dilengkapi teknologi canggih laporkan (Lestari, 2008). Di beberapa
(Eidman, 2008). negara ada yang memiliki departemen
Nelayan identik dengan kemiskinan. khusus untuk menangani dermatitis karena
Ada banyak penyebab terjadinya tingkat insidensi dan prevalensi yang
kemiskinan pada masyarakat nelayan, cukup tinggi (Slodownik et al., 2008)
seperti kurangnya akses kepada sumber- Dermatitis pada nelayan mungkin
sumber modal, akses ter- hadap teknologi, aki- bat air laut yang karena kepekatannya
akses terhadap pasar, mau- pun rendahnya menarik air dari kulit, dalam hal ini air
laut merupakan penyebab dermatitis kulit Penelitian WHO pada pekerja
kronis dengan sifat rangsangan primer tentang penyakit akibat kerja di 5 (lima)
(Lestari, 2008). Penyakit kulit mungkin benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa
pula disebabkan oleh jamur-ja- mur atau penyakit gang- guan otot rangka (Musculo
binatang-binatang laut. Pekerjaan ba- sah Skeletal Disease) pada urutan pertama 48
merupakan tempat berkembangnya %, kemudian ganggu- an jiwa 10-30 %,
penya- kit jamur, misalnya monoliasis penyakit paru obstruksi kronis 11 %,
(Kaukiainen et al., 2005; Chew and penyakit kulit (dermatitis) akibat kerja 10
Maibach, 2003). Dermatitis dapat %, gangguan pendengaran 9 %, keracunan
menyebabkan alergi, iritasi kulit, hiper- pes- tisida 3 %, cedera dan lain-lain
sensitivitas kulit, dan juga eczema (Lestari, 2008). Jumlah penderita
(Czarnobil- ska et al., 2009) dermatitis di Amerika Seri- kat mencapai
15 juta orang, dimana 60 % dari
jumlah tersebut terjadi pada usia di bawah Pelelangan Ikan (TPI) Cabang 2.
12 tahun, 30 % terjadi sebelum usia 5 Tempat pelangan ikan di kelurahan
tahun. Der- matitis Atopik sangat jarang Tan- jungsari ini relatif lebih kecil daripada
terjadi di usia tua (lebih dari 50 tahun). TPI uta- ma di Desa Tasik Agung
Lima puluh persen pen- derita dermatitis Kecamatan Rembang, selain itu tidak
atopik terjadi pada tahun per- tama tersedia fasilitas yang berarti di tempat ini.
kehidupan (Setyaningrum, 2002). Kebersihan dan kerapiannya kurang
Apabila ditinjau lebih lanjut, diperhatikan. Di sekitar Tempat Pelelangan
Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) Ikan (TPI) digunakan warga setempat
sebagai salah satu bentuk penyakit akibat sebagai tempat pembuangan sampah akhir,
kerja, merupakan jenis penyakit akibat saluran air di tempat ini tidak dapat
kerja terbanyak yang kedua setelah digunakan karena tersumbat oleh sampah-
penyakit muskulo-skeletal, berjum- lah sampah dari rumah tangga dan sampah sisa
sekitar 22 % dari seluruh penyakit akibat kotoran ikan sehingga banyak air yang
kerja. Data di Inggris menunjukkan 129 tergenang, selain itu sisa upas karang pun
kasus per 1000 pekerja merupakan jarang dibersihkan.
dermatitis akibat kerja. Apabila ditinjau Nelayan yang bekerja di TPI
dari jenis penyakit kulit akibat kerja, Tanjungsari berjumlah 153 orang, yang
maka lebih dari 95 persen meru- pakan rata-rata kurang memperhatikan masalah
dermatitis kontak, sedangkan yang lain kebersihan diri sendi- ri dan kurangnya
merupakan penyakit kulit lain seperti kesadaran untuk memakai alat pelindung
akne, ur- tikaria kontak, dan tumor kulit diri (misal: sepatu boot, sarung tangan, dan
(Lestari, 2008). Di Indonesia secara topi) pada saat bekerja. Tanpa disa- dari
umum, diantara 8 penyakit keturunan, hal-hal tersebut dapat menjadi penyebab
prevalensi dermatitis kon- tak yang penyakit akibat kerja khususnya penyakit
tertinggi (6,2 %). Prevalensi dermati- tis der- matitis akibat kerja.
kontak tinggi (>10 %) di Wakatobi dan Menurut data rekam medis dari
Kota RSUD dr. Soetrasno Kabupaten Rembang
Bau Bau (Soendoro, 2007). pada tahun 2007, kejadian dermatitis pada
Kabupaten Rembang terdiri dari 14 nelayan sebe- sar 60%. Sedangkan pada
ke- camatan. Sedangkan Kecamatan tahun 2008, kejadian dermatitis pada
Rembang sendiri terdiri dari 26 desa dan 8 nelayan meningkat menjadi 62% dari
kelurahan. Tanjungsari merupakan salah tahun sebelumnya. Melihat dari data
satu nama kelu- rahan di Kecamatan tersebut sudah jelas bahwa lebih dari 50%
Rembang yang berlokasi sekitar 2-2,5 km ne- layan di Kabupaten Rembang
dari alun-alun pusat kabupa- ten itu. Di menderita pe- nyakit dermatitis, dan
kelurahan inilah dibangun Tempat
jumlah penderita derma- titis mengalami Metode
kenaikan dari tahun ke tahun.
Menurut data dari Dinas Kesehatan Jenis penelitian ini adalah penelitian
Kota Rembang, kejadian penyakit kulit penjelasan yang bertujuan untuk
dibagi men- jadi 2, yaitu penyakit kulit menyoroti hubungan antar variabel
karena alergi dan penyakit kulit karena penelitian dan me- nguji hipotesis yang
infeksi. Menurut catatan Dinas Kesehatan dirumuskan sebelumnya. Desain penelitian
Kota Rembang kejadian pe- nyakit kulit yang digunakan adalah me- tode survei
infeksi menempati urutan nomor 3 pada dengan pendekatan cross sectional yaitu
data 10 besar penyakit tahun 2007 de- variabel bebas dan terikat diobservasi dan
ngan jumlah kejadian 28.162 kasus, diukur dalam waktu bersamaan
sedangkan kejadian penyakit kulit alergi (Sastroasmoro dan Ismael, 2008).
menempati uru- tan nomor 5 pada data 10 Variabel bebas dalam penelitian ini
besar penyakit tahun 2007 dengan jumlah meli- puti masa kerja, pemakaian APD,
kejadian 14.041 kasus. riwayat pe- kerjaan, hygiene personal,
Menurut data dari Puskesmas riwayat penyakit ku- lit, riwayat alergi,
Pemban- tu di kelurahan Tanjungsari pada sedangkan variabel terikatnya adalah
tahun 2007 kasus penyakit kulit dibagi 2, kejadian dermatitis.
yaitu penyakit kulit akibat infeksi dan Populasi dalam penelitian ini adalah
penyakit kulit alergi. Pada kasus penyakit seluruh nelayan yang bekerja di tempat
kulit infeksi berjumlah 776 kasus dan pele- langan ikan Tanjungsari Kecamatan
penyakit kulit alergi berjumlah 1.608 Rembang yang berjumlah 97 orang.
kasus. Pengambilan sampel
menggunakan random sampling. Besar (65%) yang bukan penderita der- matitis
sam- pel dalam penelitian ini menggunakan memakai APD, sedangkan 7 responden
ukuran sampel minimal dan didapatkan 49 (35%) yang tidak memakai APD tidak
orang. mende- rita dermatitis.
Sebagian besar responden yang
mende- rita dermatitis memiliki riwayat
Hasil pekerjaan di bidang pertanian, salon
kecantikan, perceta- kan, pompa bensin,
Para penderita dermatitis sebagian pabrik, di pasar, dan per- tukangan. Dari
be- sar memiliki masa kerja di TPI data sebanyak 13 responden (90%) yang
Tanjungsari 2 tahun atau kurang dari 2 menderita dermatitis memiliki ri- wayat
tahun. Dari 20 res- ponden yang menderita pekerjaan yang memberikan peluang ter-
penyakit dermatitis, sebanyak 15 jangkitnya penyakit dermatitis. Bagi
responden (75%) memiliki masa responden yang tidak menderita dermatitis
kerja < 2 tahun, selebihnya 5 responden sebanyak 14 responden (50%) tidak
(25%) memiliki masa kerja > 2 tahun. memiliki riwayat peker- jaan yang
Sebaliknya para pekerja yang tidak memberikan peluang terjangkitnya
menderita penyakit derma- titis semuanya penyakit dermatitis dan 6 responden
memiliki masa kerja > 2 tahun. lainnya (50%) memiliki riwayat pekerjaan
Sebagian besar penderita dermatitis yang mem- berikan peluang terjangkitnya
tidak memakai alat pelindung diri saat be- dermatitis.
kerja. Dari data diperoleh gambaran Sebagian besar para penderita
bahwa 17 responden penderita dermatitis dermati- tis memiliki personal hygiene
(85%) tidak memakai alat pelindung diri yang buruk yai- tu tidak mencuci tangan
(APD), meski- pun ada 3 responden (15%) dan kaki dengan air mengalir, tidak tidak
memakai APD namun menderita mencuci tangan dan kaki dengan sabun,
dermatitis. Sebaliknya, 13 responden
tidak membersihkan sela-sela jari tangan baik. Sebanyak 14 responden (70%)
dan kaki, tidak mencuci pakaian kerja, memiliki personal hygiene baik dan tidak
tidak mandi minimal 2 kali sehari. Dari menderita dermatitis, selebihnya 6
data sebanyak 13 responden (65%) yang responden (30%) me- miliki personal
memi- liki personal hygiene buruk hygiene buruk meskipun tidak menderita
menderita derma- titis, selebihnya 7 dermatitis.
responden (35%) menderita dermatitis Sebagian besar responden yang
meskipun memiliki personal hygiene mende- rita dermatitis memiliki riwayat
penyakit ku- lit sebelumnya. Dari data
diperoleh gambaran bahwa sebanyak 18
responden (90%) yang menderita
dermatitis memiliki riwayat penya- kit
kulit sebelumnya, hanya 2 responden
(10%) yang tidak memiliki riwayat
penyakit kulit.
Sebagian besar responden yang tidak
menderita dermatitis tidak memiliki
riwayat alergi sebelumnya. Dari data
sebanyak 17 res- ponden (85%) responden
yang tidak menderita dermatitis tidak
memiliki alergi sebelumnya, sebaliknya 10
responden (50%) yang menderita
dermatitis memiliki riwayat alergi
sebelumnya. Masa kerja ternyata menjadi
faktor yang berhubungan secara signifikan
dengan kejadian dermatitis pada nelayan
yang bekerja di tempat
pelelangan ikan, terbukti dari nilai p =
0,001.
Terlihat dari Tabel 1 menunjukkan
bahwa sebagian besar penderita dermatitis
me- miliki masa kerja 2 tahun atau kurang
dari 2 tahun, sebaliknya yang tidak
menderita derma- titis semuanya memiliki
masa kerja lebih dari 2 tahun. Nilai OR
sebesar 5 menunjukkan bahwa seseorang
yang memiliki masa kerja kurang dari
sama dengan 2 tahun lebih berisiko ter-
kena dermatitis sebesar 5 kali
Pemakaian alat pelindung diri
ternyata menjadi faktor yang berhubungan
dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan
yang bekerja di TPI. Responden yang
cenderung memakai APD secara baik
lebih rendah berisiko terkena dermatitis.
Terlihat dari Tabel 1, nilai p = 0,001
(< 0,05) yang berarti bahwa pemakaian
APD ber- hubungan secara signifikan
dengan kejadian dermatitis.
Faktor riwayat pekerjaan ternyata men- bidang pertanian, pekerja salon
jadi faktor yang berhubungan dengan kecantikan, percetakan dan pekerja pompa
kejadian dermatitis pada nelayan yang bensin, penjual di pasar dan pertukangan
bekerja di TPI. Para responden yang lebih banyak mende- rita dermatitis,
memiliki riwayat peker- jaan yang sebaliknya para responden yang tidak
berisiko terkena dermatitis seperti di memiliki riwayat pekerjaan tersebut seba-
Tabel 1. Keterkaitan antara Faktor Masa Kerja, Faktor Alat Pelindung Diri, Faktor
Riwayat Peker- jaan, Faktor Hygiene Personal, Faktor Riwayat Penyakit Kulit dan
Faktor Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis

Dermatitis
Bukan
Penderita
Variabel Penderita Nilai p
f % f %
Masa Kerja
>2 tahun 15 0 20 75
≤2 tahun 5 100 0 25 0,0001
Pemakaian APD
Memakai 3 35 13 85
Tidak Memakai 17 65 7 15 0,001
Riwayat Pekerjaan
Ada 13 70 6 35
Tidak Ada 7 30 14 65 0,027
Hygiene Personal
Baik 7 30 14 65
Buruk 13 70 6 35
Riwayat Penyakit 0,027
Kulit
Ada 18 50 10 10
Tidak Ada 2 50 10 90 0.006
Riwayat Alergi
Ada 10 85 3 50
Tidak Ada 10 15 17 50 0.018

gian besar tidak menderita dermatitis. keja- dian dermatitis, terbukti dari hasil uji
Hasil uji chi square diperoleh p = chi square dengan nilai p = 0,006 (< 0,05).
0,027 (< 0,05), yang berarti ada hubungan Sebagian besar responden yang memiliki
yang sig- nifikan antara riwayat pekerjaan riwayat penyakit ku- lit sebelumnya
dengan ke- jadian dermatitis. cenderung menderita dermati- tis.
Faktor personal hygiene ternyata Faktor riwayat alergi ternyata
ber- hubungan dengan kejadian dermatitis menjadi faktor yang berhubungan dengan
pada nelayan yang bekerja di TPI, terbukti penyakit der- matitis, terbukti dari p =
dari hasil uji chi square dengan p = 0,027 0,018 < 0,05. Sebagian besar responden
(< 0,05). Ada kecenderungan bahwa yang tidak menderita derma-
responden yang men- derita dermatitis
karena memiliki personal hy- giene buruk,
sebaliknya responden yang tidak
menderita dermatitis sebagian besar
memiliki personal hygiene baik.
Faktor riwayat penyakit kulit
ternyata
menjadi faktor yang berhubungan dengan
titis tidak memiliki riwayat alergi. ada di tempat pelelangan ikan Tanjungsari
Kecamatan Rembang. Di mana sebagian
besar (75%) nelayan penderita dermatitis
Pembahasan memiliki masa kerja 2 tahun atau kurang,
sebaliknya yang tidak menderita der-
Hasil penelitian ini bahwa ada matitis semuanya memiliki masa lebih dari
hubungan yang signifikan antara masa dua tahun sebesar (25%). Hal ini
kerja dengan ke- jadian dermatitis pada dimungkinkan bahwa para pekerja yang
nelayan yang bekerja di tempat telah bekerja lebih dari dua tahun telah
pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan memiliki resistensi ter- hadap bahan iritan
Rembang. maupun alergen, sehingga penderita
Masa kerja seseorang menentukan dermatitis kontak pada kelompok ini
ting- kat pengalaman seseorang dalam cenderung sedikit ditemukan. Pekerja
menguasai pekerjaannya. Sama halnya dengan
dengan pekerjaan sebagai nelayan yang
lama kerja kurang atau sama dengan 2 maupun biologi. Hasil penelitian
tahun dapat menjadi salah satu faktor yang menunjukkan bahwa sebesar 17 dari 24
mengindi- kasikan bahwa pekerja tersebut (85%) nelayan penderita dermatitis tidak
belum memi- liki pengalaman yang cukup memakai alat pelindung diri saat
dalam melakukan pekerjaanya. melakukan pekerjaannya. Hal ini sejalan
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dengan pendapat yang disampaikan oleh
dis- ampaikan oleh Lestari (2008), bahwa Les- tari dan Utomo (2007), bahwa jika
pekerja dengan pengalaman akan lebih tenaga kerja atau pekerja dalam bekerja
berhati-hati, sehingga kemungkinan tidak memakai alat pelindung diri maka
terpajan bahan iritan maupun alergen lebih kulit menjadi tidak terlin- dungi dan kulit
sedikit. Berlaku sebalik- nya pada pekerja menjadi lebih mudah terpapar oleh bahan
dengan lama bekerja lebih dari 2 tahun iritan maupun alergen.
dapat dimungkinkan telah memiliki re- Hasil penelitian ini menunjukkan
sistensi terhadap bahan iritan maupun bahwa ada hubungan yang signifikan
alergen. Untuk itu pekerjaan dengan lama antara riwayat pekerjaan dengan kejadian
bekerja lebih dari 2 tahun lebih sedikit dermatitis pada ne- layan yang bekerja di
yang mengalami der- matitis kontak tempat pelelangan ikan Tanjungsari
(Lestari dan Utomo, 2007). Kecamatan Rembang.
Hasil penelitian ini menunjukkan Riwayat pekerjaan merupakan salah
bahwa ada hubungan yang signifikan satu faktor yang dapat dipertimbangkan
antara pemakai- an alat pelindung diri sebagai penyebab penyakit dermatitis. Hal
dengan kejadian der- matitis pada nelayan ini dimung- kinkan penyakit dermatitis
yang bekerja di tempat pelelangan ikan diderita bukan aki- bat pekerjaan yang
Tanjungsari Kecamatan Rem- bang. dijalaninya sekarang, tetapi akibat
Dermatitis pada nelayan yang bekerja di pekerjaan sebelumnya. Sebagian besar
tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari responden di TPI Tanjungsari yang
salah satu faktor penyebabnya adalah terdeteksi menderita dermatitis memiliki
tempat kerja sehingga termasuk dalam riwayat pekerja- an sebelumnya di bidang
jenis dermatitis akibat kerja, jadi pertanian, salon, per- cetakan, pom bensin,
pemakaian alat pelindung diri merupakan di pasar, maupun pertu- kangan. Sebanyak
salah satu upaya yang dapat dilaku- kan 13 dari 19 (90%), responden memiliki
untuk meminimalkan risiko. riwayat pekerjaan yang memberikan
Pemakaian alat pelindung diri, maka peluang terjangkitnya penyakit dermatitis.
akan menghindarkan seseorang kontak Mi- salnya akibat paparan benda asing,
lang- sung dengan agen-agen fisik, kimia bahan kimia, biologi, atau lingkungan
tempat bekerja terda- hulu. Seperti pada mendatangkan gatal (Lestari, 2008).
pekerja yang biasa terpajan dengan Sehingga melalui riwayat pekerjaan yang
sensitizer, seperti kromat pada industri dilakukannya seseorang dapat mengetahui
bangunan atau pewarna, pada pabrik kemungkinan penyebab penyakit yang
pengola- han kulit, mempunyai insiden sedang dideritanya.
yang lebih tinggi (Kabulrachman, 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa bahwa ada hubungan yang signifikan
penyakit kulit pada nelayan mungkin antara personal hygiene dengan kejadian
akibat air laut yang karena kepekatan- nya dermatitis pada ne- layan yang bekerja di
menarik air dari kulit, dalam hal ini air laut tempat pelelangan ikan Tanjungsari
merupakan penyebab dermatitis kulit Kecamatan Rembang. Di tempat
kronis dengan sifat rangsangan primer pelelangan ikan kondisi kebersihan lingku-
(Lestari, 2008). Tetapi penyakit kulit ngannya kurang sehat dan nyaman. Hal ini
mungkin pula disebabkan oleh jamur- dimungkinkan akibat segala kegiatan di
jamur atau binatang-binatang laut. tem- pat pelelangan ikan ternyata
Pekerjaan basah merupakan tempat menimbulkan banyak sekali sampah dari
ber- kembangnya penyakit jamur, sisa-sisa ikan dan banyak air yang
misalnya mono- liasis. Serkarial tergenang di lantai karena ter- sumbatnya
dermatitis mungkin menghing- gapi aliran air. Hal ini akan memberikan
nelayan-nelayan yang hidup di pantai dampak negatif pada tempat kerja yaitu
dengan keadaan sanitasi kurang baik, pence- maran lingkungan kerja
penye- babnya ialah larva sejenis cacing. (Mahyuddin, 2007). Akibatnya nelayan
Beberapa jenis ikan dapat menyebabkan yang bekerja di tempat pele- langan ikan
kelainan kulit, biasanya nelayan-nelayan akan mendapatkan risiko terkena penyakit
mengetahui jenis- jenis ikan yang menular dan tidak menular.
Beberapa contoh penyakit yang dapat
timbul di tempat pelelangan ikan yaitu Riwayat penyakit digunakan sebagai salah
derma- titis, desentri, dan thypus (Suyono, satu dasar penentuan apakah suatu penyakit
1995). Hasil penelitian menunjukkan terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga
bahwa 13 dari 19 res ponden (65%) riwayat penyakit sangat penting dalam
menderita dermatitis dengan hygiene proses penyembuhan seseorang.
personal yang buruk. Jika kebersihan Berdasarkan penelitian, di tempat
perorangan seperti cuci tangan, mandi pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari sebagian
sebe- lum pulang kerja, pakaian bersih dan besar responden yang terdeteksi
diganti setiap hari serta memakai alat berpenyakit dermatitis memiliki riwayat
pelindung diri yang masih bersih tidak penyakit kulit se- belumnya.
dilakukan, maka akan mempermudah Diagnosis mengenai riwayat
timbulnya penyakit dermatitis. Hal ini dermatologi yang sering diajukan untuk
sesuai dengan pendapat yang disampai- membedakan suatu penyakit dari penyakit
kan oleh Lestari dan Utomo (2007) dan lainnya adalah menan- yakan pada pasien
Siregar (2006), dimana dengan usaha apakah mempunyai riwayat masalah medis
higiene personal dapat berperan dalam kronik (Goldstein, B. dan Gold- stein, A.,
mencegah semakin pa- rahnya kondisi 2001). Hal ini sejalan dengan penda- pat
kulit karena keadaan yang lem- bab. Kabulrachman (2003), bahwa timbulnya
Hasil penelitian ini menunjukkan dermatitis kontak alergi dipengaruhi oleh
bahwa ada hubungan yang signifikan ri- wayat penyakit konis dan pemakaian
antara riwayat penyakit kulit dengan topikal lama. Seperti yang terjadi di tempat
kejadian dermatitis pada nelayan yang pelelangan ikan di Tanjungsari Kecamatan
bekerja di tempat pelelangan ikan Rembang, dari hasil penelitian diketahui
Tanjungsari Kecamatan Rembang. bahwa sebanyak 18 dari 28 (90%) nelayan
memiliki riwayat pe- nyakit kulit serta tis pada nelayan yang bekerja di tempat
menderita dermatitis. pele- langan ikan Tanjungsari Kecamatan
Berdasarkan hasil penelitian di Rembang. Lingkungan berpengaruh besar
tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjungsari untuk timbulnya penyakit, seperti
diketahui bahwa sebesar 10 dari 27 (50%) pekerjaan dengan lingkungan basah,
memiliki ri- wayat alergi dan mnderita tempat-tempat lembab atau panas,
penyakit dermatitis. Hasil analisis data pemakaian alat-alat yang salah (Siregar,
diperoleh chi square sebesar 5,584 dengan 2006). Seperti yang ada di tempat
probabilitas 0,018 (< 0,05) yang artinya pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan
bahwa ada hubungan yang signifikan Rembang, dimana masih terdapat
antara riwayat alergi dengan kejadian lingkungan tempat mereka be- kerja yang
dermati- lembab banyak genangan air, basah, kotor
dan kurang sehat serta tidak nyaman.
Kecenderungan alergi dipengaruhi dua
faktor yaitu genetik dan lingkungan (faktor
eksternal tubuh). Hal tersebut merupakan
salah satu fak- tor penyebab terjadinya
peningkatan kemung- kinan mendapat
alergi. Alergi adalah penyakit yang
biasanya ditimbulkan oleh faktor ketu-
runan dan faktor lingkungan.
Alergi timbul oleh karena pada sese-
orang terjadi perubahan reaksi terhadap
bahan tertentu. Dermatitis akibat kerja atau
yang di- dapat sewaktu melakukan
pekerjaan, banyak penyebabnya. Agen
sebagai penyebab penyakit kulit tersebut
atara lain berupa agen-agen fisik, kimia,
maupun biologis. Kebanyakan agen ter-
dapat dalam pekerjaan industri, akan tetapi
paparan terhadap kondisi cuaca lazim pada
pekerjaan nelayan seperti yang terjadi
pada ne- layan yang bekerja di tempat
pelelangan ikan Tanjungsari Kecamatan
Rembang. Respon ku- lit terhadap agen-
agen tersebut dapat berhubu- ngan dengan
alergi (Manjoer, 2000).
Pajanan terhadap perubahan dalam
kondisi lingkungan, terutama yang
berkaitan dengan temperatur yang ekstrim
dan kelemba- ban. Kontak dengan
peralatan yang digunakan dalam pekerjaan
laut yang mungkin berbahaya bagi kulit
karena mereka dapat menyebabkan untuk
misalnya dermatitis kontak dan cedera
traumatik yang dapat menjadi portal
masuk untuk berbagai agen infeksi
(Hamdi, 2009).
Simpulan dan Saran Tanjungsari Ke- camatan Rembang, dapat
disimpulkan bahwa:
Berdasarkan hasil penelitian tentang 1) Ada hubungan antara masa kerja
fakor-faktor yang berhubungan dengan dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan
ke- jadian dermatitis pada nelayan yang yang bekerja di
bekerja di tempat pelelangan ikan (TPI)
TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 2) Ada hubungan antara pemakaian APD
dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di TPI Tanjungsari
Kecamatan Rembang. 3) Ada hubungan antara riwayat pekerjaan dengan kejadian
dermatitis pada nelayan yang beker- ja di TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang.
4) Ada hubungan antara dengan personal hy- giene dermatitis pada nelayan yang
bekerja di TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 5) Ada hubungan antara
riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di
TPI Tanjungsari Kecamatan Rembang. 6) Ada hubungan antara riwayat alergi
dengan ke- jadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di TPI Tanjungsari
Kecamatan Rembang.
Adapun saran yang dapat diberikan pe- nulis kepada para nelayan yang
bekerja di tem- pat pelelangan ikan antara lain: 1) Sebaiknya nelayan yang
memiliki masa kerja kurang dari atau sama dengan 2 tahun lebih berhati-hati
dalam bekerja, karena nelayan yang memiliki masa kerja kurang dari sama
dengan 2 tahun belum resisten terhadap bahan iritan maupun allergen. 2)
Sebaiknya pada saat bekerja ne- layan menggunakan alat pelindung diri, mi-
salnya sepatu boot dan sarung tangan untuk mencegah terpapar bahan iritan
maupun al- lergen yang ada di tempat kerja. 3) Sebaiknya para nelayan yang
bekerja di tempat pelelangan ikan lebih menjaga hygiene personal, misalnya cuci
tangan dan kaki menggunakan sabun dan air mengalir setelah bekerja, mandi
setelah pu- lang kerja, mengganti pakaian kerja setiap hari, menggunakan alat
pelindung diri yang bersih dan tidak lembab.

Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Dermatitis Kontak, http://www.med- icastore.com diakses 9 Mei 2009


Chew, A.L. and Maibach, H.I. 2003. Occupational Issues of Irritant Contact Dermatitis. Int Arch
Occup Environ Health, 76: 339–346
Czarnobilska, E., Obtulowicz, K., Dyga, W., Wnek,
K.W.W. And Spiewak, R. 2009. Contact Hy- persensitivity and Allergic Contact Derma- titis
Among School Children and Teenagers with Eczema. Contact Dermatitis, 60: 264– 269
Eidman. 2008. Nelayan. http://wikipedia.org diakses
4 Maret 2010
Goldstein, B.G. dan Goldstein, A.O. 2001. Derma- tologi Praktis. Jakarta: Hipokrates
Hamdi, K.I.A. 2009. Dermatitis Kontak Pada Ne- layan. http://www.wikipedia.com diakses 14
Februari 2010
Injhawan, R.I., Matiz, C. and Jacob, S.E. 2009. Con- tact Dermatitis: From Basics to Allergo-
dromes. Pediatric Annals, 38 (2)
Kabulrachman. 2003. Penyakit Kulit Alergi. Sema- rang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro
Kaukiainen, A., Riala, R., Martikainen, R., Estland- er, T., Susitaival, P. And Korte, K.A. 2005.
Chemical Exposure and Symptoms of Hand Dermatitis in Construction Painters. Contact
Dermatitis, 53: 14–21
Lestari, C. 2008. Penyakit Kulit Akibat Kerja. http:// cintalestari.wordpress.com diakses 21 Mei
2009
Lestari, F. dan Utomo, H.S. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak
pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Depok: FKM UI
Mahyuddin, B. 2007. Peranan Pelelangan Ikan Dalam Meningkatkan Pendapatan Nelayan.
http://tumoutou.net diakses 21 Mei 2009
Manjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakar- ta: Media Aesculapius
Pangemanan, A.P. 2002. Rendahnya Tingkat Pe- layanan Kesehatan Di Lingkungan Nelayan.
Bogor: http://www.rudyct.com diakses 14 Januari 2010
Podjasek, J.O., Norris, R.H.C., Richardson, D.M., Drage, L.A., Davis, M.D.P. 2005. Irritant Contact
Dermatitis Precipitating Allergic Contact Dermatitis. Dermatitis, 22 (2): 87–89 Rakawhisnu.
2007. Indonesia Bukan Negara Ma- ritim. http://rakawhisnu.blogspot.com di-
akses 20 Februari 2010
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung Seto
Setyaningrum, T. 2002. Dermatitis Kontak. http:// www.trisniartami.blogspot.com diakses 10
Oktober 2009
Siregar, R.S. 2006. Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Ja- karta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Slodownik, D., Lee, A. and Nixon, R. 2008. Profes- sional Development Program Irritant contact
dermatitis: A review. Australasian Journal of Dermatology, 49: 1–11
Soendoro, T. 2007. Prevalensi Dermatitis Kontak Pada Nelayan Di Wakatobi, Wakatobi: http://
www.wikipedia.com diakses 15 Januari 2010
Suyono, J. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Review Jurnal 5 :

No Judul Jurnal Pengarang Metode penelitian Sampel/responden Hasil penelitian Analisa


1 Faktor yang menggunakan Besar sampel dalam Berdasarkan uji chi Ada hubungan antara
Imma Nur
berhubungan random sampling. penelitian ini square itu diketahui bahwa pemakaian APD dengan ke-
Cahyawati,
dengan menggunakan masa kerja (p = 0,001), alat jadian dermatitis pada
Irwan
kejadian ukuran sampel pelindung diri (APD) (p nelayan yang bekerja di TPI
Budiono
dermatitis pada minimal dan = 0,001), riwayat pekerjaan Tanjungsari Kecamatan
nelayan didapatkan 49 orang. (p = 0,027), kesehatan Rembang. Ada hubungan
pribadi (p = 0,027), riwayat antara riwayat pekerjaan
penyakit kulit (p = 0,006) dengan kejadian dermatitis
dan riwayat alergi (p = pada nelayan yang beker- ja
0,018). Hasil penelitian di TPI Tanjungsari
dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Rembang.
ada faktor-faktor yang Ada hubungan antara
berhubungan meliputi masa dengan personal hy- giene
kerja, alat pelindung diri, dermatitis pada nelayan
riwayat pekerjaan, hygiene yang bekerja di TPI
personal, riwayat penyakit Tanjungsari Kecamatan
kulit, dan riwayat alergi. Rembang. Ada hubungan
antara riwayat penyakit kulit
dengan kejadian dermatitis
pada nelayan yang bekerja
di TPI Tanjungsari
Kecamatan Rembang. Ada
hubungan antara riwayat
alergi dengan ke- jadian
dermatitis pada nelayan
yang bekerja di TPI
Tanjungsari Kecamatan
Rembang.

Anda mungkin juga menyukai