Anda di halaman 1dari 10

STUDI STRATEGI ADAPTASI NELAYAN LOBSTER TERHADAP PERUBAHAN

IKLIM DI DESA KARANGWANGI KECAMATAN CIDAUN KABUPATEN


CIANJUR, JAWA BARAT
Noviyanti Soleha, Herri Y Hadikusumah, Tatang Suharmana E
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Perubahan iklim telah menyebabkan kerentanan di berbagai wilayah, terutama di wilayah
pesisir. Kelompok nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap
perubahan cuaca dan lingkungan. Di Desa Karangwangi tercatat 117 orang bermata
pencaharian sebagai nelayan lobster. Perubahan iklim yang terjadi memaksa nelayan lobster
untuk beradaptasi. Mata pencaharian nelayan yang sangat bergantung pada kondisi alam
menyebabkan adanya ketergantungan terhadap pola cuaca dan aktivitas penangkapan lobster.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan lokal mengenai iklim
melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut, mengetahui tanda dari flora dan fauna
lainnya sebagai tanda bahwa waktu panen lobster telah tiba dan mengetahui strategi adaptasi
yang dilakukan oleh nelayan lobster Desa Karangwangi terhadap perubahan iklim. Metode
yang digunakan adalah metode kualitatif dengan hasil data bersifat deskriptif. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan
kunci melalui wawancara mendalam dan dilakukan pengamatan berkaitan dengan aktivitas
penangkapan lobster. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Karangwangi, buku dan
jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa
sebelum melakukan penangkapan lobster para nelayan mengamati kecepatan, arah dan
besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut, serta kecerahan langit.
Pengetahuan tersebut lebih banyak diperoleh dari pembelajaran dan pengalaman pribadi
dibandingkan dengan pengetahuan yang sifatnya turun temurun. Tanda waktu panen lobster
telah tiba adalah dengan adanya flora, yaitu Sagassum spinuligerum dan fauna laut, yaitu
lumba-lumba, ikan hiu, ikan layur, ikan sidat, gurita, kepiting, rajungan, ikan tongkol dan
ikan tuna yang melimpah jumlahnya. Pola iklim yang berubah membuat para nelayan
beradaptasi dengan mengubah kalender penangkapan lobster mereka mengikuti perubahan
dan pergeseran musim, para nelayan lobster memiliki mata pencaharian sampingan, seperti
menjadi petani, peternak bahkan buruh dan para nelayan melakukan inovasi dan modifikasi
pada alat penangkap lobster guna meningkatkan hasil tangkapan.
Kata Kunci: Nelayan Lobster, Adaptasi, Perubahan Iklim, Desa Karangwangi

PENDAHULUAN

Global warming atau pemanasan global adalah fenomena meningkatnya suhu bumi. Suhu
adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu peningkatan suhu akan berpengaruh
pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global. Meningkatnya titik beku air laut
akibat pemanasan global akan menghambat proses pertukaran panas, sehingga dapat merubah
sirkulasi air laut dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim
memberikan dampak yang cukup besar terhadap pembangunan sosial ekonomi Indonesia.

Dengan potensi Indonesia sebagai negara maritim, banyak penduduk Indonesia yang bermata
pencaharian berkaitan dengan laut, salah satunya sebagai nelayan.
Masyarakat nelayan adalah golongan yang sangat merasakan dampak dari perubahan cuaca
dan iklim. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Ningsih dan
Juhadi, 2012). Hubungan antara nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) diliputi
situasi ketidakpastian. Angin kencang dan gelombang tinggi yang seringkali terjadi
menyebabkan pola aktivitas melaut berubah yang berujung pada penurunan pendapatan
nelayan (Helmi dan Arif, 2012).
Di Desa Karangwangi tercatat sebanyak 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster. Nelayan lobster tersebut memiliki kalender dalam memanen lobster dari alam. Akibat
perubahan iklim yang terjadi kini kalender tersebut mengalami pergeseran mengikuti
perubahan musim setiap tahunnya.
Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan kemampuan respon
masyarakat terhadap perubahan ekologis. Hal tersebut sangat penting untuk dipelajari karena
strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya
terhadap persoalan-persoalan spesifik, seperti fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya
sumberdaya perikanan, khususnya lobster pada penelitian ini. Strategi adaptasi tidak hanya
bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan, tetapi juga untuk menjaga
ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang
mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit ditemukan.
Bagaimana hubungan antara masyarakat (nelayan) dan sumberdaya alam serta keadaan cuaca
atau iklim. Sebagian ahli memandang hal tersebut sebagai bagian dari persoalan adaptasi.
ALAT, BAHAN, DAN METODE
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam, buku catatan, alat
tulis dan kamera. Penelitian dilakukan di Desa Karawangi Kabupaten Cianjur pada 10 s.d 17
Mei 2015. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja), dengan
pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan desa yang sebagian besar penduduknya
berprofesi sebagai nelayan lobster.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif bersifat deskriptif
analisis. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa
informan kunci yang bermukim di Desa Karawangi menggunakan pedoman wawancara
sebagai pertanyaan dasar dan melakukan pengamatan secara langsung mengenai aktivitas
penangkapan lobster di Muara Cilaki dan Pantai Kukumbung Desa Karangwangi. Selain data
primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Sumber
data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karawangi, buku, internet, jurnal-jurnal
penelitian, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

HASIL DAN DISKUSI

Tercatat sebanyak 117 orang di Desa Karangwangi bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster yang tersebar dalam sepuluh kelompok. Sebuah kelompok nelayan lobster disebut
juga dengan KUB (Kelompok Usaha Bersama) diketuai oleh satu orang yang bertindak
sebagai bandar dan beranggotakan 10-14 orang nelayan lobster. Bandar atau ketua KUB
adalah orang yang bertindak sebagai pengumpul hasil tangkapan lobster dari anggota-anggota
nelayan lobsternya.
Sejarah Nelayan Lobster di Desa Karangwangi
Nelayan lobster di Desa Karangwangi adalah orang yang sumber kehidupannya baik primer
ataupun sekunder berasal dari aktivitas melaut, mencari dan menangkap lobster. Lobster yang
ditangkap hidup secara alami di laut bukan hasil budidaya. Lobster secara langsung dan tidak
langsung menjadi pokok kehidupan mereka. Secara langsung, lobster dapat dijadikan
konsumsi pribadi sebagai pemenuhan kebutuhan diri dan keluarganya terhadap bahan pangan.
Secara tidak langsung, lobster dapat dijual dan hasil dari penjualannya diperoleh bahan-bahan
pangan lainnya, seperti beras, sayur-mayur, dan lauk-pauk; kebutuhan sandang, seperti
pakaian; kebutuhan papan, seperti rumah dan kebutuhan penunjang kehidupan lainnya.
Mata pencaharian sebagai nelayan lobster sudah dilakukan setelah kemerdekaan Indonesia.
Sekitar tahun 1970-1980, jumlah nelayan lobster yang ada di Desa Karangwangi 17 orang.
Seiring dengan bertambahnya tahun, bertambahnya jumlah penduduk, adanya jumlah lobster
yang melimpah, kurangnya variasi mata pencaharian selain bertani dan berkebun, dan
tingginya permintaan pasar domestik dan eksport menyebabkan mata pencaharian sebagai
nelayan lobster ini banyak dilakukan oleh warga sebagai salah satu mata pencaharian yang
menjanjikan.
Pada tahun 1990 jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster mencapai
400 orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang tercatat sebanyak 117 orang maka
jumlah tersebut berkurang signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya (1) saat ini banyak pilihan mata pencaharian lain, yaitu menjadi PNS,
wiraswasta, berdagang, TNI, POLRI, dan guru yang bagi sebagian orang pendapatannya lebih
stabil daripada menjadi nelayan lobster; (2) berkurangnya jumlah tangkapan lobster karena
pengaruh lingkungan dan manusia; (3) faktor keberanian dan kekuatan juga mempengaruhi
mata pencaharian ini. Mata pencaharian nelayan lobster ini tidak bersifat turun temurun.
Seseorang yang ingin menjadi nelayan lobster harus gigih, pantang menyerah, kuat secara
fisik dan mental, tidak takut terhadap ombak beserta resiko laut lainnya dan tentunya dapat
berenang.
Jenis Lobster yang Ditangkap
Udang lobster laut (Panulirus spp.) atau biasa disebut dengan udang barong atau udang
karang adalah salah satu komoditas perikanan yang potensial dan bernilai ekonomis penting.
Pemintaan pasar domestik dan ekspor ke Negara Hongkong, Taiwan, Singapura, Jepang dan
Cina pada udang barong terus meningkat (DKP, 2011).
Lobster atau udang barong hidup pada habitat di perairan pantai yang banyak terdapat
bebatuan atau pada daerah terumbu karang. Batuan dan terumbu karang dapat dijadikan oleh
udang barong sebagai tempat bersembunyi dari predator dan juga berfungsi sebagai daerah
mencari makan. Habitat umum untuk lobster laut sangat dipengaruhi oleh hidrodinamik dan
turbiditas air laut (Musbir, dkk., 2014)
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan selama dua hari di TPI Muara Cilaki diketahui dua
jenis lobster yang selalu ditangkap, yaitu lobster hijau (Panulirus versicolor) dan lobster
3

merah (Panulirus longipes). Namun, dari hasil wawancara diperoleh jenis lobster lain, yaitu
lobster batik atau mutiara (Panulirus ornatus).
Lobster batik (P.longipes) dan lobster bambu (P.versicolor) adalah spesies udang barong yang
berasosiasi dengan terumbu karang dalam area yang terlindung dari gelombang lautan.
Sejumlah anakan lobster lebih senang untuk berlindung pada karang dan pecahan batu karang
juga pada pinggiran akar pohon mangrove untuk menghindari penangkapan (Acosta dan
Butler, 1997).
Habitat spesies P. longipes adalah perairan karang atau bebatuan yang dangkal tetapi
terkadang dijumpai juga pada kedalaman 130 meter). Perairan yang disukai lobster adalah
perairan yang jernih dengan arus sedang atau kadang-kadang sedikit keruh (Musbir, dkk.,
2014).
Pengetahuan Nelayan Lobster Desa Karangwangi Terhadap Kondisi Lingkungan
Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya menggunakan kebudayaan sebagai
pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk memenuhi seluruh kebutuhannya serta sebagai
jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber daya atau energi yang ada di dalam
lingkungan (ekosistem). Berdasarkan unsur-unsurnya, kebudayaan memiliki tujuh unsur
universal. Ke tujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan sistem
kesenian. Pada umunya kebudayaan tidaklah diwariskan secara genetika tetapi diperoleh
manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar (Suparlan, 2005 dalam Iskandar, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dapat diketahui kebudayaan masyarakat nelayan
dalam unsur sistem pengetahuan, khususnya mengenai pengetahuan kondisi yang baik untuk
menangkap lobster atau tidak melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut. Hal
yang diperhatikan diantaranya kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan
waktu pasang surut, serta kecerahan langit.
Waktu untuk penangkapan lobster sebenarnya dapat dilakukan setiap hari. Namun, pada
kondisi tertentu tidak dilakukan karena dapat membahayakan nyawa nelayan lobster tersebut.
Kondisi yang membuat nelayan tidak melaut, seperti terjadinya angin yang kencang, besar
dan tingginya ombak dan gelapnya langit. Untuk patokan pasang surut, seluruh nelayan
melakukan observasi langsung ke laut dan menggunakan pengetahuan dari nenek moyang
mereka mengenai hubungan sistem kalender hijriah dengan kondisi pasang surut laut karena
sistem kalender hijriah menggunakan bulan sebagai acuan. Telah diketahui bahwa bulan
merupakan penentu dari pasang surut air laut. Beberapa nelayan lobster mengatakan bahwa
pasang surut air laut yang terbaik terjadi di pertengahan bulan hijriah, yakni tanggal 13-15.
Pada tanggal tersebut, pasang tepat terjadi di tengah hari dan tengah malam.
Air laut terjadi pasang naik dan pasang surut disebabkan gaya tarik bulan atau gaya tarik
bulan dan matahari terhadap bumi berdasarkan Hukum Newton. Hukum Newton berbunyi,
Dua benda tarik menarik dengan kekuatan yang berbanding lurus dengan besarnya massa I
dan massa II dan berbanding terbalik dengan pangkat dua jaraknya. Menurut Hukum
Newton ini makin besar jaraknya makin kecil gaya tariknya. Pasang sebenarnya disebabkan
oleh gaya gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi akan tetapi karena bulan lebih dekat
jaraknya terhadap bumi maka gaya gravitasi bulan yang lebih utama menyebabkan pasang.
Pasang karena matahari hanya 5/11 pasang karena bulan, tetapi jika bulan dan matahari
bekerja bersamaan, yaitu pada waktu bulan baru dan bulan purnama maka terjadilah pasang
yang sangat besar. Pasang surut umumnya terjadi dua kali dalam sehari. Jika pasang terjadi

pukul 12.00 siang dan pukul 24.00 malam, surut akan mulai pukul 06.00 pagi dan pukul
18.00 sore (Kamshory dan Syafii, 2014).
Tengah bulan qomariyah (13-15) biasanya bumi diterangi oleh sinar bulan yang bulat penuh.
Puncak fenomena pasang surut air laut terjadi di tanggal-tanggal ini. Malam ke-13 bulan
menuju fullmoon (purnama penuh) sedangkan malam 14 dan 15 bulan pada posisi fullmoon.
Selanjutnya, malam ke-16 bulan kembali menunju sabit. Malam ke-15 adalah puncak dari
purnama sehingga malam ke-16 adalah adalah antiklimaks (Kamshory dan Syafii, 2014).
Dengan demikian, kebudayaan pembacaan tanda-tanda alam diperoleh dengan cara belajar.
Berbagai pengetahuan penduduk lokal tersebut diwariskan kepada turunannya melalui tiga
kategori tahapan perkembangan, yaitu parental, peer group dan individual learning
(Iskandar, 2009). Penyebaran pengetahuan mengenai kondisi alam tersebut dominan melalui
proses peer group. Informasi pada proses ini terjadi antar anggota nelayan dalam satu KUB
ataupun dengan anggota KUB yang lainnya.
Pengetahuan Nelayan Lobster Terhadap Waktu Panen Lobster Berkaitan Kemunculan
Flora dan Fauna Lain
Saat musim panen lobster tiba para nelayan mengetahui waktu tersebut berdasarkan tanda
dari flora dan fauna yang keberadaannya mudah dijumpai dan jumlahnya banyak. Flora dan
fauna tersebut bukan dari jenis yang habitatnya di darat, melainkan jenis tumbuhan dan
binatang laut. Tumbuhan laut yang sering dijumpai saat panen lobster adalah makroalga atau
penduduk setempat menyebutnya dengan sebutan ganggeung atau ganggang. Rumput laut
atau ganggang adalah salah satu tumbuhan laut yang hidup di perairan pantai yang dangkal
dengan subtrat dasar berupa pasir, pasir bercampur lumpur, karang mati maupun pecahan
karang mati. Kehadiaran ganggang pada paparan terumbu karang dengan kedalaman perairan
yang dangkal berkisar antara 15 meter. Jenis yang dapat dijumpai adalah Chaetmorpha
crassa, Chaetomorpha spiralis, Codium sp., Padina antillarum, Euchema cotonii, Euchema
spinusom, Borgesenia sp., Valonia sp., Ulva lactuca, Colpomenia spinuosa, Valonia
aegagropila dan Sargassum spinuligerum. Makroalga yang memiliki dominansi dan jumlah
yang tertinggi secara kualitatif berdasarkan hasil pengamatan di laut adalah Sargassum
spinuligerum.
Kehadiran komunitas makroalga disuatu perairan memiliki peran yang cukup besar terhadap
kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat mencari makan
(Magruder, 1979 dan Kadi, 2004). Selain itu komunitas makroalga juga dapat berperan
sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik yang berukuran besar maupun kecil seperti
Ampiphoda, kepiting dan biota laut lainnya, terutama lobster.
Sementara itu, fauna yang sering ditemukan saat panen lobster adalan lumba-lumba, gurita,
ikan sidat, ikan layur, ikan tuna, ikan tongkol, ikan hiu, kepiting dan rajungan. Banyaknya
fauna yang sering dijumpai saat panen lobster bisa dihubungkan dengan sistem jaring-jaring
makanan di laut. Makroalga merupakan makanan bagi ikan-ikan kecil, ikan kecil merupakan
makanan bagi ikan predator yang lebih besar.
Pergeseran Kalender Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi Terhadap Perubahan
Iklim
Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Secara umum musim hujan terjadi antara bulan Oktober-Maret dengan puncaknya sekitar
bulan Desember-Februari, disebabkan Monsun Dingin Asia. Sedangkan musim kemarau
terjadi antara bulan April-September dengan puncaknya sekitar bulan Juni-Agustus,
5

disebabkan Monsun Dingin Australia. Variasi cuaca dan iklim sangatlah perlu diperhatikan
karena sebagian wilayah Indonesia terletak di Belahan Bumi Utara dan sebagian di Belahan
Bumi Selatan. Musim hujan di Indonesia didefinisikan sebagai periode dengan jumlah curah
hujan 150 mm dalam sebulan sedangkan musim kemarau didefinisikan sebagai periode
dengan jumlah curah hujan kurang dari 150 mm dalam sebulan (BMG,2006 dalam Fadholi,
2013).
Patokan musim tersebut digunakan para nelayan lobster untuk menentukan kalender dalam
memanen lobster dari alam. Musim panen lobster biasanya mulai pada bulan Agustus akhir
hingga bulan Desember sebelum musim angin barat tiba. Kondisi oseanografi khususnya
suhu dapat mengalami fluktuasi baik harian maupun musim dan dapat ditemui adanya kondisi
yang ekstrim. Sumber daya lobster bergantung pada kondisi lingkungan sehingga ketika
terjadi perubahan kondisi lingkungan menyebabkan lobster akan merespon dengan
menghindar dari lingkungan yang tidak sesuai. Respon ini menunjukan bahwa pada sumber
daya lobster terdapat batas-batas toleransi terhadap perubahan berbagai kondisi lingkungan
sebagaimana diungkapkan oleh Nybakken (1992) bahwa setiap spesies dalam komunitas
mempunyai daya toleransi tertentu terhadap tiap tiap faktor dan semua faktor lingkungan.
Musim kemarau yang panjang akan mengakibatkan keuntungan yang berlimbah karena pada
musim kemarau salinitas air laut tinggi dan suhu laut hangat sesuai untuk kegiatan bertelur
lobster. Lobster akan banyak mudah ditemukan di sekitar batu karang yang letaknya tidak
jauh dari garis pantai. Pada saat musim kemarau angin relatif lemah sehingga proses
pemanasan di permukaan terjadi lebih kuat. Tingginya intensitas penyinaran dan dengan
kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan panas ke dalam air laut
lebih tinggi sehinga suhu air menjadi maksimum (Rasyid, 2010).
Sementara itu, saat musim hujan jumlah tangkapan lobster mengalami penurunan. Saat hujan
salinitas air laut menurun karena bercampur dengan air hujan yang tawar dan suhu laut
menjadi dingin. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk bertelur dan kehidupan lobster sehingga
lobster akan berpindah ke laut yang lebih dalam yang memiliki salinitas lebih stabil. Suhu
yang dingin tersebut disebabkan karena pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan
curah hujan tinggi. Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan
permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke dalam air laut, hal
inilah yang mengakibatkan suhu permukaan mencapai minimum (Rasyid, 2010).
Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik, yaitu tidak dapat mengatur
suhu tubuhnya. Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu
air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu, adanya perubahan suhu air akan membawa akibat
yang kurang menguntungkan bagi organisme perairan diantaranya kematian, menghambat
proses pertumbuhan, mengganggu proses respirasi, dan lain-lain
Pengaruh suhu air pada tingkah laku lobster paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air
laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis lobster
dan ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor - faktor yang paling
penting yang menentukan kekuatan keturunan dan daya tahan anakan pada spesies - spesies
lobster dan ikan. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama monsun
pemijahan dapat memaksa lobster dan ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah
tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan
dan fishing ground secara periodik (Reddy, 1993).
Inovasi dan Modifikasi dalam Peralatan Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi dalam
Bidang Teknologi
6

Perubahan yang terjadi terhadap keadaan alam, seperti iklim yang tidak dapat diprediksi lagi
membuat nelayan lobster melakukan inovasi dan modifikasi dalam peralatan penangkap
lobster yang meraka gunakan. Hal ini bertujuan untuk menaikkan jumlah tangkapan lobster.
Terdapat empat alat yang digunakan dalam penangkapan lobster. Pertama adalah dengan
mengunakan pancingan. Pancingan untuk lobster pada umumnya tidak berbeda dengan
pancingan yang digunakan untuk memancing ikan. Namun, untuk pancingan lobster harus
memiliki tiga buah kail dan umpannya dapat berupa makroalga, seperti Sargassum sp. dan
jenis ikan-ikan kecil, seperti ikan layur.
Alat yang kedua adalah jaring ampar. Penggunaan jaring ampar tidak berubah dari waktu ke
waktu. Jaring ditempatkan atau di kaitkan di sekitar batu karang dan dibiarkan semalam, esok
harinya jaring diambil. Peletakkan jaring ampar di dekat batu karang dikarenakan lobster
banyak beraktivitas di sekitar batu karang dan di batu karanglah tempat hidup makroalga
yang menjadi sumber makanan dan tempat berpijah lobster. Penggunaan jaring ampar ini
tidak memerlukan alat bantu lainnya.
Alat yang ketiga adalah jaring pasang. Pengambilan lobster menggunakan alat ini disebut
dengan nyumen, yaitu berenang melawan arus menggunakan ban dengan membawa jaring.
Alat bantu lainnya yang dibutuhkan adalah ban dan piring plastik. Jaring ini dipasang di
perairan diantara bebatuan karang. Penggunaan ban ini baru mulai digunakan sekitar tahun
1995 dengan piring plastik sebagai dayung sederhana. Sebelumnya, saat ban belum
digunakan nelayan hanya memakai kompan atau dirigen kecil yang diikatkan di bahu kanan,
bahu kiri, pinggang bagian kanan dan pinggang bagian kiri tubuhnya dan tidak menggunakan
alat bantu dayung apapun. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah kendaraan yang
semakin banyak dan bervariasi, mereka mencetuskan ide dengan penggunaan ban dalam
kendaraan sebagai pengganti kompan atau dirigen. Mereka akan naik ke atas ban dan dengan
posisi duduk dan berenang ke tempat pemasangan jaring yang diinginkan. Ukuran ban yang
digunakan dari waktu ke waktu juga terjadi perubahan. Sebelumnya digunakan ban dengan
ukuran yang kecil karena pada masa lalu kendaraan masih sangat terbatas. Saat ini digunakan
ban dalam dari truk besar. Bentuk ban yang digunakan juga mengalami modifikasi. Dahulu
ban yang digunakan hanya berbentuk bulat, tetapi saat ini ban bulat tersebut dibentuk lonjong
seperti perahu dengan cara mengikatnya menggunakan tali tambang. Bentuk ban yang
melonjong seperti perahu ini memudahkan nelayan dalam membawa jaring dan peralatan
lainnya yang dibutuhkan. Penggunaan ban dengan segala modifikasinya kini telah dipakai
oleh seluruh nelayan. Jaring yang digunakan biasanya memiliki panjang 25-30 meter dengan
tinggi 1,5 meter dan ukuran lubang jaring 2-4 inchi.
Alat keempat adalah jodang. Jodang adalah jaring yang dikaitkan pada bambu atau besi
berbentuk segi empat ataupun lingkaran pada umumnya. Ukuran jodang bervariasi, jodang
berbentuk lingkaran memiliki diameter 1-1,2 meter. Penggunaan jodang ini biasanya
dilengkapi dengan umpan. Umpan yang umumnya digunakan adalah tamikil, sejenis
moluska dengan nama latin Chiton sp. ataupun dengan ikan-ikan kecil, seperti layur. Umpan
ini diletakkan di bagian tengan jodang. Chiton sp. lebih sering digunakan karena lebih tahan
lama dan dapat digunakan berkali-kali jika dibandingkan dengan ikan kecil yang mudah habis
dan mudah membusuk. Chiton sp. memiliki tubuh bagian luar yang keras. Jodang diletakkan
di perairan sempit di sekitar batu karang yang sulit di pasang jaring pasang. Pemasangan dan
pengambilan jodang umumnya dibarengi dengan jaring pasang. Dibagian bambu ataupun besi
jodang dikaitkan tali tambang dengan busa ataupun benda yang mengapung lainnya sebagai
penanda letak jodang dan untuk penarikan jodang.
Peralatan keamanan dan keselamatan yang digunakan adalah sepatu dan jaket pelampung.
Saat melakukan observasi di lapangan, tidak ada satupun nelayan yang memakai jaket
7

pelampung. Menurut mereka jaket pelampung membatasi gerak mereka di atas ban. Sepatu
ataupun kaos kaki tebal digunakan saat berenang agar menghindari luka di bagian kaki akibat
tajamnya bebatuan karang dan bulu babi di sekitar batu karang. Ombak yang besar dapat
menghempaskan nelayan ke bebatuan karang.
Mata pencaharian Sampingan Sebagai Adaptasi Terhadapa Perubahan Iklim
Adanya musim paceklik dan musim panen lobster membuat para nelayan lobster melakukan
adapatasi dalam mata pencaharian. Seluruh nelayan memiliki mata pencaharian sampingan.
Saat musim hujan atau ketika jumlah lobster menurun pada umumnya para nelayan yang
memiliki sawah akan menjadi petani padi dengan sistem sawah tadah hujan. Menjadi petani
tidak seutuhnya mengahalangi atau membuat mereka meninggalkan kegiatan mereka di laut,
hanya saja porsi waktu yang digunakan lebih besar di persawahan dibanding dengan di laut.
Selain menjadi petani, sebagian nelayan juga menjadi peternak. Hewan yang diternakan
umumnya adalah sapi dan kambing. Saat musim panen lobster, urusan ternak akan dialihkan
kepada istri, anggota keluarga yang lain atupun dengan memakai jasa buruh. Bagi para
nelayan yang tidak memiliki sawah ataupun hewan ternak, alternatif mata pencaharian yang
dapat dijalani adalah dengan menjadi buruh. Baik buruh tani, buruh ternak, buruh kelapa
sawit ataupun kuli bangunan ke kota-kota besar.
Sebagai suatu proses perubahan adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau
tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang
berlangsung terus antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan ekosistemnya.
Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya,
lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar
manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya
(Bennett 1976 dalam Helmi dan Arif, 2012).

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa (1) nelayan lobster di Desa
Karangwangi sebelum melaut melakukan pengamatan terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Hal yang diperhatikan diantaranya kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan
waktu pasang surut, serta kecerahan langit. Pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut
tersebut ada yang sifatnya turun temurun dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih
muda, tetapi lebih banyak berasal dari pembelajaran dan pengalaman pribadi; (2) kemunculan
flora dan fauna laut dapat menjadi tanda bahwa masa panen lobster telah tiba. Saat masa
panen lobster akan terdapat jumlah makroalga terutama jenis Sargassum sp. yang melimpah
dan fauna laut yang banyak dijumpai adalah lumba-lumba, ikan hiu, ikan layur, ikan sidat,
rajungan, kepiting, ikan tuna, ikan tongkol dan gurita (3) terjadinya perubahan iklim yang
saat ini tidak dapat lagi diprediksi membuat nelayan lobster melakukan adaptasi. Adaptasi
yang dilakukan diantaranya mengubah kalender masa panen lobster mereka mengikuti
pergeseran musim, saat musim paceklik nelayan memiliki mata pencaharian sampingan,
seperti menjadi petani, peternak ataupun sebagai buruh dan dalam bidang teknologi nelayan
lobster melakukan inovasi dan modifikasi alat penangkap lobster untuk memaksimalkan
jumlah lobster yang ditangkap.
Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan perekonomian nelayan
namun juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
Kajian-kajian yang mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit
8

ditemukan. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan, dengan melakukan
penilaian efektivitas dengan menggali indikator yang terkait dengan sustainable
livelihoodasset, livelihood outcomes, dan sustainable fisheries. Perlu juga adanya penelitian
mengenai teknik budidaya lobster air laut secara murah, mudah dan efesien agar nelayan
lobster dapat mengurangi ketergantungannya dirinya terhadap iklim dan hasil lobster alami
yang jumlahnya semakin berkurang disebabkan banyak faktor. Diperlukan pula bantuan dari
pemerintah dalam pemulihan dan pelestarian habitat lobster yang telah rusak dan yang masih
ada agar terjadi peningkatan hasil tangkapan lobster yang berkualitas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu
dan mendukung kegiatan penelitian khususnya kepada masyarakat Desa Karangwangi dan
pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas
dan prasarana demi kelancaran penelitian Kuliah Kerja Lapangan ini.
REFERENSI
Acosta, C.A and M.J. Butler. 1997. Role of mangrove habitat as a nursery for juvenile spiny
lobster, Panulirus argus, in Belize. Mar Freshwater Res., 48,721-727.
Dinas Kelautan dan Perikanan dan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Statistik Perikanan
Propinsi Sulawesi Selatan. Propinsi Sulawesi Selatan
Fadholi, Akhmad. 2013. Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) Terhadap
Curah Hujan Di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 11(1):43 50
Helmi, Alfian dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis.
Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1
Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.Program Studi
Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjajaran.
Kadi, A. 2005. Beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan Indonesia. Jurnal
Oseanologi di Indonesia, 4
Kamshory dan Syafii. 2014. Simulator Posisi Matahari dan Bulan Berbasis Web dengan
WEBGL. Jurnal Nasional Teknik Elektro, Vol: 3 No. 2
Magruder, W.H. 1979. Seaweed of Hawai. The Oriental Puslishing Company, Honolulu.
Musbir, Sudirman dan Mahfud Palo. 2012. Penggunaan Atraktor Buatan yang Ramah
Lingkungan Dalam Pemanenan Anakan Udang Lobster Laut (Panulirus spp.) Jurnal
IPTEKS PSP, Vol. 1
Ningsih, Novia Retno; Juhadi, Saptono Putro. 2012. Pengaruh Pemanasan Global Terhadap
Pola Mata Pencaharian Nelayan Serta Dampaknya Pada Minat Dan Hasil Belajar Anak
Di Kelurahan Tegalkamulyan Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Jurnal
Edu Geography 1 (1)
Nybakken, J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. PT. Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta.
9

Rasyid, Abd. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan Barat-Timur Terkait
dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan Spermonde. Torani (Jurnal Ilmu
Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1)
Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the Abundance
of Fish Catch. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote
Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing
Countries, India, 7-11 December 1993.

10

Anda mungkin juga menyukai