Anda di halaman 1dari 20

Nama : Noviyanti Soleha

NPM : 140410120059
Metode Penelitian (Literatur Review)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Stevia
Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) adalah tanaman tahunan berbentuk perdu.
Tingginya 30 90 cm dengan batang berbentuk bulat, beruas dan bercabang hijau. Daun
Stevia saling berhadapan satu sama lain, berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, runcing
pada pangkalnya, tepi daun rata dengan panjang 2 - 4 cm & lebar 1 5 cm, tulang daun
menyirip & berbulu serta memiliki tangkai yang pendek berwarna hijau (Sari, 2013). Stevia
dapat tumbuh pada 10-1300 dpl. Stevia memiliki usia produktif 2-3 tahun, masa panen 6-7
kali/tahun. Didataran rendah stevia cepat berbunga dan mudah mati apabila sering dipanen
(Widowati, dkk., 2011).
Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana) memiliki berbagai keunggulan namun mengalami
keterbatasan dalam perbanyakan bibit. Jenis ini mengandung senyawa steviosida dengan
tingkat kemanisan 300-400 kali dibandingkan gula tebu sukrosa (Geuns, 2003; Megeji et al.,
2005; Mousumi, 2008 dalam Arlianti, dkk., 2013). Gula stevia bersifat nonkar-sinogenik dan
rendah kalori, sehingga cocok untuk penderita diabetes dan obesitas. Stevia juga dapat
dimanfaatkan sebagai pencegah timbulnya plak gigi dan menurunkan akumulasinya sebesar
57,82% (De Slavutzky dan Blauth, 2010 dalam Arlianti, dkk., 2013).
Pemanis stevia yang berasal dari daun Stevia rebaudiana Bertoni merupakan
tumbuhan perdu asli dari Paraguay. Pada tahun 1887 peneliti ilmiah Amerika Antonio Bertoni
menemukan tanaman stevia dan menamakannya Eupatorium rebaudianum Bertoni, kemudian
dimasukkan dalam genus stevia pada tahun 1905. Diduga lebih dari 80 jenis spesies stevia
tumbuh liar di Amerika Utara dan 200 spesies alami di Amerika Selatan, namun hanya Stevia
rebaudiana yang diproduksi sebagai pemanis. Sejak tahun 1970, stevia digunakan di Jepang.
Ekstrak stevia menjadi sangat populer dan sekarang digunakan sebagai pemanis secara
komersial dengan pasar di atas 50%. Stevia digunakan sebagai pemanis mulai dari saus

kedelai, sayursayuran hingga minuman ringan. Sebagai pemanis tanpa kalori, tanpa
penambahan bahan kimia dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius, stevia cepat
populer si seluruh dunia (Raini dan Ani, 2011).
Saat ini stevia telah banyak digunakan dalam campuran makanan dan minuman di
negara Amerika Selatan, Jepang, Cina dan Korea Selatan serta negara-negara lain di Asia. Di
Indonesia sendiri penggunaan stevia masih terbatas pada industri jamu dalam negeri dan
memenuhi permintaan pasar luar negeri dimana satu produsen dapat memasok 50-70 t daun
stevia kering per bulan dengan harga jual sekitar Rp 23.000,- sampai Rp 24.000,- per kg
(http://www. Ciputraenterpreneurship dalam Arlianti, dkk., 2013).
Daun stevia mengandung: apigenin, austroinulin, avicularin, beta-sitosterol, caffeic
acid, kampesterol, kariofilen, sentaureidin, asam klorogenik, klorofil, kosmosiin, sinarosid,
daukosterol, glikosida diterpene, dulkosid A-B, funikulin, formic acid, gibberellic acid,
giberelin, indol-3-asetonitril, isokuersitrin, isosteviol, jihanol, kaempferol, kaurene, lupeol,
luteolin, polistakosid, kuersetin, kuersitrin, rebaudiosid A-F, skopoletin, sterebin A-H, steviol,
steviolbiosid, steviolmonosida, steviosid, steviosid a-3, stigmasterol, umbelliferon, dan
santofil (5). Kandungan utama daun stevia adalah derivat steviol terutama steviosid (4-15%) ,
rebausid A (2-4%) dan C (1-2%) serta dulkosida A (0,4-0,7%) (Raini dan Ani, 2011).
Sesuai dengan Chatsudthipong (2009) dalam Laila, dkk. (2014), steviosida adalah
glikosida diterpenoid, yang terdiri dari aglikon (steviol) dan tiga molekul glukosa. Fatima
(2010) dalam Laila, dkk. (2014), menambahkan senyawa pemanis diisolasi dari daun Stevia.
Senyawa ini disebut sebagai "stevioside" yang terdiri dari tiga molekul komplek glukosa dan
satu molekul aglikon steviol, alkohol karboksilat diterpenik. Rebaudioside dengan kemurnian
tinggi diperoleh dengan kristalisasi dari ekstrak stevia dengan menggunakan teknologi
pemurnian tingkat tinggi. Rebaudioside mempunyai rasa yang lebih baik dari stevioside.
Kekuatan kemanisannya sekitar 30% lebih tinggi daripada stevioside tetapi jumlahnya lebih
sedikit (http://stevia-steviacide.com dalam Buchori, 2007). Gula stevia berbentuk kristal dengan
besar kristal antara 0,8 1,2 mm. Mempunyai titik leleh 196 198 oC dengan pH 5 6 dan
densitas 1,43 1,67 gram/Ml (Buchori, 2007).
Stevia yang ditanam di Indonesia berasal dari Jepang, Korea dan Cina. Bahan
tanaman tersebut berasal dari biji sehingga pertumbuhan tanaman stevia di lapangan sangat
beragam. Kualitas daun stevia dipengaruhi banyak faktor lingkungan seperti jenis tanah,
irigasi, penyinaran dan sirkulasi udara. Selain itu juga dipengaruhi oleh gangguan bakteri dan

jamur. Kualitas pemanis stevia didasarkan atas aroma, rasa, penampilan dan tingkat
kemanisannya. Tidak seperti pemanis lainnya, stevia tidak memberikan rasa pahit pada
akhirnya (Raini dan Ani, 2011).
Populasi tanaman dalam budidaya stevia sangat tinggi 60 ribu sampai 100 ribu
tanaman per ha dan diremajakan setiap dua atau tiga tahun. Oleh karena itu, diperlukan bahan
tanam dalam jumlah banyak dan berkesinambungan. Perbanyakan stevia dengan biji kurang
efektif karena rendahnya persentase perkecam-bahan biji (Goettemoeller & Ching, 1999
dalam Sumaryono dan Masna, 2011) dan terjadinya inkompatibilitas-sendiri yang
menyebabkan turunannya sangat beragam. Perbanyakan stevia paling umum adalah dengan
stek batang yang menghasilkan benih yang seragam tetapi jumlahnya terbatas. Teknik kultur
jaringan diperlukan untuk menghasilkan bibit unggul stevia klonal secara massal dan cepat,
terutama pada tahap awal pembibitan. Selain itu, tanaman ini masih relatif sedikit karena
habitat hidupnya terbatas (Sumaryono dan Masna, 2011 dan Merindasya, dkk., 2012).

2.2 Kultur Jaringan


Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel,
jaringan dan organ serta menumbuhkannya menjadi tanaman utuh dalam kondisi lingkungan
yang aseptik (in vitro). Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan,
sumber eksplan, pemberian zat pengatur tumbuh, unsur hara makro dan mikro, bahan
organik, karbohidrat, asam amino, vitamin, bahan pemadat media dan kondisi bahan,
peralatan dan ruangan yang steril (aseptik). Respon pertumbuhan planlet pada kultur jaringan
juga tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkannya. (George and Sherington, 1984;
Struik 1991; Narayaswamy, 1994 dalam Hidayat, 2008).
Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan caracara tradisional (Santoso dan Nursandi, 2002 dalam Nursyamsi, 2010),
antara lain:
a. Budidayanya dimulai dengan sedikit bahan tanaman (eksplan), kemudian
dimultiplikasi menjadi sejumlah tunas. Ini berarti hanya diperlukan sedikit bahan untuk
penggandaan sejumlah besar tanaman.
b. Perbanyakan ini menggunakan pendekatan lingkungan yang aseptik, bebas dari
patogen sehingga merupakan awal seleksi bahan tanaman yang bebas dari penyakit.

c. Meningkatkan efektivitas perbanyakan klonal pada tanaman yang hampir punah


dan sulit perbanyakan vegetatifnya.
d. Produktivitas perbanyakan klonal dengan kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang
tahun tanpa tergantung pada kondisi perubahan iklim.
e. Hanya memerlukan areal yang tidak begitu luas untuk keperluan propagasi dan
pengelolaan stok tanaman.
Adapun kelemahan teknik perbanyakan dengan kultur jaringan antara lain adalah
relatif lebih mahal dan membutuhkan sumberdaya manusia terdidik.
Multiplikasi tanaman stevia telah dilakukan dalam berbagai penelitian, diantaranya
perbanyakan stevia menggunakan sumber eksplan pucuk dengan media Lismainer dan Skoog
(Gunawan, 1992 dalam Arlianti, dkk., 2013), sementara Pratiwi (1995) dalam Arlianti, dkk.
(2013) telah memperoleh 10 tunas baru dalam waktu 50 hari pada perbanyakan stevia dengan
menggunakan teknik kultur jaringan. Kristina dan Syahid (2010) dalam Arlianti, dkk. (2013)
telah melakukan perbanyakan dan penyimpanan Stevia dengan menggunakan media
Murashige dan Skoog (MS) dan penambahan Benzyl Amino Purine (BAP) 0,1 mg l-1 yang
menghasilkan sekitar 20 tunas per botol. Keberhasilan tersebut tentunya perlu didukung
dengan optimalisasi perakaran untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi.
Kultur jaringan stevia dilakukan melalui multiplikasi tunas, organogenesis dan
embriogenesis somatik. Prosedur multiplikasi tunas lebih sederhana dan kemungkinan
terjadinya keragaman somaklonal lebih rendah dibandingkan dengan organogenesis dan
embriogenesis somatik karena digunakan eksplan yang telah terdiferensiasi. Media MS
(Murashige & Skoog, 1962 dalam Sumaryono dan Masna, 2011) pada umumnya digunakan
sebagai medium baku untuk kultur in vitro stevia. Sebagai bahan eksplan bagi multiplikasi
tunas adalah tunas pucuk dan tunas samping.
Peningkatan keragaman planlet dapat dilakukan dengan merubah komposisi medium dan
faktor lingkungan in vitro. Penambahan senyawa penghambat aktivitas giberelin seperti
ansimidol dan paklobutrazol pada medium dapat menghambat perpanjangan batang dan
menghasilkan planlet yang dapat beradaptasi lebih baik di lingkungan luar (Ziv, 1995 dalam
Sumaryono dan Masna, 2011). Sebagai contoh penggunaan ansimidol 3 mg/L meningkatkan
daya hidup planlet stevia saat aklimatisasi (Manjusha & Sathyanarayana, 2010 dalam
Sumaryono dan Masna, 2011). Salah satu faktor lingkungan in vitro yang berperan dalam
pertumbuhan dan keragaan planlet adalah intensitas cahaya (Chen, 2004; Huang & Chen,
2005 dalam Sumaryono dan Masna, 2011). Keragaan planlet yang baik berkorelasi positif

dengan daya hidup dan pertumbuhannya pada tahap aklimatisasi di lingkungan ex vitro
(Hazarika, 2003 dalam Sumaryono dan Masna, 2011).
2.2.1

Induksi Kalus

Pembentukan kalus terjadi karena adanya pelukaan yang diberikan pada eksplan,
sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut. Pada awalnya
terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan membengkak
selanjutnya terjadi pembelahan sel. Sel dapat melakukan aktivitas metabolik tersebut
membutuhkan energi. Sukrosa yang ditambahkan dalam media, akan menjadi sumber energi
sel-sel eksplan, sehingga sel dapat mengalami pembentangan dan pembelahan selanjutnya
akan membentuk kalus (Sitorus, dkk., 2011)
Kultur kalus merupakan budidaya secara heterotrof. Sel tidak dapat melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan karbon seperti halnya tanaman autotrof, sehingga sumber
karbon harus diperoleh dalam bentuk karbohidrat yang ditambahkan dari luar (Sitorus, dkk.,
2011).
Tahapan kultur kalus menurut Gangga, dkk. (2007) adalah sebagai berikut
(a) Tahap inisiasi.
Inisiasi kultur kalus dilakukan menggunakan daun atau bagian tumbuhan lain
sebagai sumber eksplan yang diperoleh dari tanaman yang telah disterilkan dan ditumbuhkan
pada media dasar jenis tertentu dengan penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginisiasi
kultur kalus. Kultur disimpan di ruang gelap dan petumbuhan kalus diamati setiap minggu.
Inisiasi pembentukan kalus tanaman dapat dilakukan dari semua bagian tanaman.
Tetapi setiap bagian tersebut memiliki kecepatan pertumbuhan dan respon yang berbeda.
Selain itu, penggunaan ZPT dalam konsentrasi yang tepat juga sangat menentukan proses
pembentukan dan perkembangan kalus in vitro (Marlin, 2012).
(b) Tahap perbanyakan kalus.
Perbanyakan kalus dilakukan dengan memindahkan /subkultur masa kalus
kedalam media baru berulang kali (media yang digunakan boleh sama) pada periode tertentu
menggunakan media tumbuh yang paling optimal dan pemberiaan zat pengatur tumbuh yang
paling sesuai untuk mempercepat dan memperbanyak tumbuhnya kalus.

Jika kalus selanjutnya ingin diuji kandungan metabolit sekundernya, maka dilakukan tahapan
sebagai berikut
(c) Uji penapisan fitokimia.
Kalus yang berasal dari daun tanaman steril dan daun tanaman liar dikumpulkan
kemudian ditimbang, lalu dikeringkan dengan cara dianginanginkan, kemudian ditimbang
kembali untuk memperoleh bobot kalus dan daun kering. Selanjutnya dilakukan penapisan
fitokimia terhadap kalus kering dan daun tanaman bukan hasil kultur jaringan (sebagai
pembanding). Uji penapisan menggunakan metoda Farnsworth.
(d) Pembuatan ekstrak.
Serbuk daun dan kalus ditimbang masingmasing 10 gram dimaserasi 4x dengan
metanol, tiap kali 250 ml. Hasil maserasi dipekatkan dengan vakum rotavapor sampai
diperoleh ekstrak kental kalus dan daun
2.2.2

Iduksi Perakaran

Pembentukan akar merupakan tahapan penting dalam perbanyakan bibit secara in vitro.
Inisiasi perakaran tanaman dalam model ini dapat dipacu dengan menambahkan Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) pada media tanam. ZPT yang umum digunakan untuk pendorong perakaran
adalah golongan auksin, yaitu Indole-3-Acetic Acid (IAA), Naphtalene Acetic Acid (NAA),
dan Indole-3-Butyric Acid (IBA). Pemilihan jenis auksin untuk memacu pertumbuhan akar
didasarkan pada: sifat translokasi, persistensi (tidak mudah terurai), dan laju aktivitas
(Arlianti, dkk., 2013).
Gunawan (1992) dalam Arlianti, dkk. (2013) telah melakukan inisiasi perakaran
stevia dengan cara menginduksi stevia yang telah dikulturkan selama 30 hari pada media
Linsmainer dan Skoog yang ditambahkan dengan 0,1 mg l-1 NAA. Namun belum dilakukan
studi lebih lanjut dengan menggunakan jenis auksin lain pada berbagai konsentrasi untuk
mendapatkan inisiasi perakaran yang optimum sabagai protokol perbanyakan bibit secara in
vitro.
Aplikasi NAA nyata mempengaruhi jumlah akar, sementara aplikasi IBA nyata
mempengaruhi panjang akar. Hal ini sejalan dengan Anis et al. (2003) dalam Arlianti, dkk.
(2013), dimana penambahan NAA pada tanaman Mulberry (Morus alba) lebih menginduksi
perakaran dibandingkan dengan IBA, konsentrasi NAA 1,0 mg l-1 mampu membentuk lima
akar per tunas dengan tingkat keberhasilan aklimatisasi 90%. Menurut Wattimena (1992)

dalam Arlianti, dkk. (2013), NAA dan IBA mempunyai sifat translokasi yang lambat,
persistensi tinggi dan aktivitas yang rendah sehingga lebih mendorong pembentukan akar.
Akar tanaman merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan aklimatisasi
tanaman, seperti yang dinyatakan oleh Wardiyanti (1998) dalam Arlianti, dkk. (2013),
sebelum aklimatisasi perlu diperhatikan ada tidaknya akar. Aklimatisasi dilakukan jika sudah
terbentuk akar atau paling sedikit sudah ada primordia akar yang akan tumbuh normal di
media tanam. Akar dengan karakteristik tebal merupakan karakteris-tik akar yang membantu
keberhasilan aklimatisasi. Sementara akar dengan karakteristik tipis berserabut bersifat
kurang kokoh, sehingga apabila diaklimatisasi, planlet sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan.
2.3 Media dan ZPT
2.3.1 Media
Medium Murashige-Skoog (MS) merupakan medium yang paling popular digunakan
untuk semua macam tanaman, terutama tanaman herbaceous. Medium ini paling banyak
digunakan untuk kultur kalus dan tunas, mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang
tinggi, dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat (George & Sherington, 1984
dalam Wirtosondjoyo, dkk., 2009). Liudianto (2003) dalam Wirtosondjoyo,dkk. (2009),
berhasil melakukan penanaman eksplan daun stevia dengan menggunakan medium MS
ditambah hormon Bensil Amino Purin (BAP) dan 2,4-Dikhlorofenoksiasetat (2,4-D),
kombinasi hormon dengan metode Mohr. Kalus berhasil tumbuh baik pada medium MS
ditambah hormon BAP dan 2,4-D masing-masing 0,5 ppm.
Menurut Wiryosoendjoyo (2009) dalam Wirtosondjoyo,dkk. (2009), medium NP
dapat menggantikan peran medium MS dalam budidaya jaringan daun stevia. Medium NP
memiliki komposisi hampir sama dengan medium MS namun kandungan garam-garam
mineralnya lebih rendah dan telah terbukti dapat menginduksi kalus eksplan daun stevia lebih
cepat dibandingkan dengan medium MS(Rohmah, dkk., 2014).
2.3.2

Sukrosa

Sukrosa merupakan salah satu komponen penyusun media yang penting dalam kultur in
vitro yang berfungsi sebagai sumber karbon dan sumber energi eksplan untuk dapat tumbuh.
Sumber karbon merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menentukan
keberhasilan kultur jaringan selain kombinasi zat tumbuh (ZPT). Sumber karbon berfungsi
sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh sel untuk dapat melakukan pertumbuhan

(Kimball, 1994 dalam Sitorus, dkk., 2011). Glukosa dan fruktosa sebagai hasil hidrolisis
sukrosa dapat merangsang pertumbuhan beberapa jaringan. Konsentrasi sukrosa berpengaruh
terhadap pertumbuhan kalus (Srilestari, 2005 dalam Sitorus, dkk., 2011). Induksi kalus
embrio somatik kacang tanah pada media MS dengan konsentrasi sukrosa 20 g/L, 30 g/L dan
40 g/L menunjukkan hasil bahwa, pada media yang mengandung sukrosa 40 g/L, embrio
tumbuh lebih cepat dibandingkan pada media dengan konsentrasi sukrosa 20 g/L dan 30 g/L,
namun pada induksi kalus rimpang jahe konsentrasi sukrosa diatas 60 g/L dapat menghambat
(Marlin, 2005 & Srilestari, 2005 dalam Sitorus, dkk., 2011).
Pemberian sukrosa dalam media akan menjadi sumber energi dan sumber karbon bagi
sel-sel eksplan untuk dapat tumbuh. Peningkatan konsentrasi sukrosa yang diberikan akan
menyebabkan eksplan memperoleh sumber energi dan sumber karbon yang lebih banyak,
sehingga akan dapat mempercepat pertumbuhan eksplan. Sumber energi yang semakin
banyak mengakibatkan pembelahan sel yang lebih cepat sehingga pertumbuhan kalus akan
lebih cepat. Sukrosa juga dapat menjaga tekanan osmotik media. Pada media yang
mengandung sukrosa lebih banyak akan mengakibatkan gradien konsentrasi yang lebih tinggi
antara media dengan sel eksplan. Media dengan gradien konsentrasi yang lebih tinggi ini
akan mengakibatkan gerakan difusi lebih cepat ke dalam sel yang mempunyai konsentrasi
yang lebih rendah (Salisbury & Ross, 1995 dalam Sitorus, dkk., 2011). Keadaan ini
menyebabkan sel-sel eksplan pada konsentrasi sukrosa 40 g/l dapat lebih cepat menyerap
nutrisi dalam media untuk pertumbuhannya. Gula merupakan sumber karbon sebagai
pengganti karbon yang biasanya diperoleh tanaman dari atmosfer dalam bentuk CO2 untuk
bahan fotosintesis. Jika tidak ada sukrosa, maka aktivitas dan pertumbuhan kalus tidak dapat
berlangsung dan pada akhirnya sel-sel tersebut akan mati, karena tidak ada sumber energi.
Hal tersebut membuktikan bahwa sukrosa merupakan komponen penting yang harus tersedia
dalam media kultur jaringan tumbuhan. Menurut George dan Sherrington (1984) dalam
Srilestari (2015), sukrosa merupakan sumber karbon penting yang digunakan sebagai
penyusun sel. Dengan adanya sukrosa yang cukup, maka pembelahan sel, pembesaran sel dan
diferensiasi sel selanjutnya dapat berlangsung dengan baik. Sukrosa yang ditambahkan dalam
media akan berfungsi sebagai bahan baku dalam proses respirasi oleh sel-sel eksplan untuk
dapat melakukan aktivitas sel (Kimbal, 1994 & Wirahadikusumah, 1985 dalam Sitorus, dkk.,
2011). Sukrosa dalam media akan dihidrolis menjadi glukosa dan fruktosa.
Glukosa akan mengalami penguraian melalui respirasi sel yang akan menghasilkan
karbon dan energi. Energi ini akan digunakan oleh sel-sel eksplan untuk menutupi luka yang

terjadi dengan cara membentuk kalus. Pemberian sukrosa dengan konsentrasi yang semakin
meningkat akan menjamin ketersedian sumber energi bagi sel untuk dapat tumbuh. Pada
media dengan sukrosa yang konsentrasinya lebih kecil, sumber energinya akan lebih cepat
habis seiring dengan pertumbuhan sel, sehingga sel tidak dapat melakukan pertumbuhan lagi.
Karbon merupakan komponen penting bagisenyawa-senyawa penyusun sel seperti
karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat (Campbell et al., 2003 dalam Sitorus, dkk.,
2011). Jika sumber karbon mencukupi maka komponen-komponen sel ini akan terbentuk
cepat, waktu inisiasi kaluspun akan lebih cepat sehingga sel akan mempunyai kesempatan
untuk membelah lebih optimal. Pembelahan sel yang optimal akan menyebabkan
pertumbuhan kalus yang optimal dan akan meningkatkan berat basah kalus.
2.3.3

ZPT

Zat pengatur pertumbuhan merupakan salah satu komponen pelengkap media yang
memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan eksplan
(Wirtosondjoyo, dkk., 2009). Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan dalam kultur
jaringan adalah sitokinin dan auksin. Peranan sitokinin dan auksin terhadap jaringan berbedabeda. Jika sitokinin diberikan bersama dengan auksin, maka akan memberikan pengaruh
interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Pada pemberian auksin dengan kadar yang relatif
tinggi menyebabkan diferensiasi kalus cenderung kearah pembentukan primodia akar.
Sedangkan pada pemberian sitokinin dengan kadar yang relatif tinggi, diferensiasi kalus akan
cenderung kearah pembentukan primodia batang atau tunas.
Pemberian hormon pada kultur jaringan dapat ditentukan sesuai dengan tujuannya,
misalnya untuk induksi tunas, pemberian kombinasi sitokinin dan auksin dengan rasio
perbandingan 4:1. Menurut Gunawan (1992) dalam Arlianti, dkk. (2013), pemberian ZPT
auksin tanpa dikombinasikan dengan sitokinin cenderung hanya mendorong pertumbuhan
akar saja. Kombinasi auksin dan sitokinin dengan perbandingan komposisi 2 : 3 atau
sebaliknya, dapat mendorong pertumbuhan tunas dan akar. Kombinasi zat pengatur tumbuh
dapat ditentukan dengan menggunakan metode Mohr (Merindasya, dkk., 2012). Distribusi
auksin yang tidak merata dalam batang dan akar menimbulkan pembesaran sel yang tidak
sama disertai dengan pembengkokan organ (geotropisme, fototropisme).
a. Golongan Auksin
Salisbury dan Ros (1995) dalam Arlianti, dkk. (2013), menjelaskan bahwa pemberian
auksin mampu memacu pertumbuhan panjang akar pada konsentrasi yang rendah, sedangkan

pada konsentrasi tinggi panjang akar hampir selalu terhambat. Hambatan ini terjadi diduga
karena adanya etilen, sebab semua jenis auksin memacu berbagai jenis sel untuk
menghasilkan etilen, terutama jika sejumlah auksin eksogen ditambahkan. Auksin
menginduksi pembentangan sel terutama dengan menaikkan kemungkinan pemanjangan
dinding sel. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus dengan
memacu pemanjangan sel di dalam jaringan tanaman (Davies, 2004 dalam Rohmah, dkk.,
2014).

IBA

IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan dalam menginduksi akar
dibandingkan jenis auksin lainnya, karena kemampuan yang tinggi dalam menginisiasi
perakaran (Wattimena, 1992 dalam Arlianti, dkk., 2013). Selain IBA, NAA juga kerapkali
digunakan karena mempunyai sifat translokasi yang lambat dan persistensi yang tinggi.

2,4 D

2,4-D merupakan salah satu zat pengatur tumbuh golongan auksin yang memacu eksplan
dalam pembentukan kalus kearah pembentukan akar (Wirtosondjoyo, dkk., 2009).
b. Golongan Sitokinin
BA
BA banyak digunakan untuk meningkatkan jumlah tunas stevia (Rafiq et al., 2007;
Ibrahim et al., 2008; Sairkar et al., 2009 dalam Sumaryono dan Masna, 2011). BA lebih baik
dibandingkan jenis sitokinin lain yaitu kinetin dalam pembentukan tunas stevia (Anbazhagan
et al., 2010 dalam Sumaryono dan Masna, 2011). Namun, pembentukan tunas yang banyak
tidak diimbangi dengan keragaan tunas yang baik yakni tunas menjadi kecil, pendek dan
tidak vigor sehingga tidak mampu hidup ketika ditransfer ke medium baru (Ibrahim et al.,
2008; Sairkar et al., 2009 dalam Sumaryono dan Masna, 2011).

Kinetin

Kinetin merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin yang digunakan untuk
merangsang pembelahan sel dalam eksplan dan merangsang pertumbuhan daun
(Wirtosondjoyo, dkk., 2009).

2.4 Kendala Kultur Jaringan


2.4.1 Kontaminasi
Kontaminasi yang terjadi dapat diakibatkan oleh kontaminan yang berasal dari tanaman
itu sendiri, kurangnya ketelitian dalam sterilisasi eksplan, dan tidak aseptisnya saat
pembuatan medium dan saat penanaman. Sebaiknya tanaman yang akan di kultur berasal dari
rumah kaca. Sterilisasi eksplan secara fisika melalui pembakaran dan secara kimia melalui
penggunaan beberapa zat. Kontaminasi yang sering dijumpai akibat bakteri dan jamur.
2.4.2

Browning

Pencoklatan sangat umum terjadi pada spesies tanaman berkayu, terutama bila
eksplan diambil dari pohon dewasa. Penghambatan pertumbuhan biasanya sangat kuat pada
beberapa spesies yang umumnya mengandung senyawa tanin atau hidroksifenol dengan
konsentrasi tinggi. Pencoklatan pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan
jaringan yang tua (George dan Sherrington, 1984 dalam Hutami, 2008). Tang dan Newton
(2004) dalam Hutami (2008) juga melaporkan bahwa pencoklatan jaringan sangat
menurunkan regenerasi secara in vitro dari kultur kalus pada beberapa tanaman berkayu,
khususnya regenerasi tanaman melalui jalur organogenesis.
Meskipun sebagian besar kultur kalus berubah menjadi coklat, ada sebagian kecil
tidak mencoklat selama proses regenerasi in vitro pada Virginia pine (Pinus virginiana Mill.).
Kultur kalus dari tunas pucuk Scots pine (Pinus silvestris L.) juga ditandai dengan
pencoklatan secara cepat dan ketidakmampuan beregenerasi (Laukkanen et al. 1999 dalam
Hutami, 2008). Oxydative browning merupakan salah satu penyebab mengapa Protea
cynarioides tidak diperbanyak melalui teknik kultur jaringan (Wu dan Toit 2004 dalam
Hutami, 2008). Azghandi et al. (2002) dalam Hutami (2008) melaporkan bahwa pencoklatan
pada eksplan kalus tua pistachio dan kultur media di sekitar kalus menjadi masalah pada fase
inisiasi dan proliferasi.

Penyebab Terjadinya Pencoklatan

Beberapa macam tanaman khususnya tanaman tropika mempunyai kandungan senyawa


fenol yang tinggi yang teroksidasi ketika sel dilukai atau terjadi senesens (George dan
Sherrington 1984 dalam Hutami, 2008). Akibatnya jaringan yang diisolasi menjadi coklat
atau kehitaman dan gagal tumbuh. Pencoklatan jaringan terjadi karena aktivitas enzim

oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase (Lerch 1981
dalam Hutami, 2008) yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif
ketika jaringan dilukai.
Substrat untuk enzim ini ada bermacam-macam pada jaringan yang berbeda, yang umum
adalah tirosin atau o-hidroksifenol seperti asam klorogenik. Enzim dan substrat dalam
keadaan normal akan tertahan dalam ruang berbeda di dalam sel dan akan keluar bersamasama pada saat sel dilukai atau hampir mati. Fenol mempunyai fungsi alami penting dalam
mengatur oksidasi IAA. Apabila fenol yang terlarut dalam air digunakan pada eksplan jambu
biji maka pertumbuhan tunas dan kalus akan terpacu (kemungkinan melalui sinergisme
dengan auksin), dan akan menjadi racun apabila konsentrasinya meningkat (Cassman et al.
1978 dalam Hutami, 2008). Toksisitas fenol kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel
antara hidrogen dan protein. Penghambatan pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki terjadi
ketika fenol teroksidasi menjadi senyawa aktif quinon yang tinggi yang kemudian memutar,
memolimerase dan/atau mengoksidasi protein menjadi senyawa melanat yang makin
meningkat.
Juma et al. (1994) dalam Hutami (2008), meneliti kultur jaringan tanaman kopi dan
menemukan bahwa tingkat oksidasi fenol tergantung pada sumber potongan ruas batang
sebagai eksplan dan spesies tanaman. Kopi robusta cenderung lebih bermasalah dengan
pencoklatan dibandingkan dengan kopi arabica. Ozyigit et al. (2007) dalam Hutami (2008)
melaporkan bahwa terbentuknya senyawa fenol di pengaruhi oleh struktur kimianya, spesies
tanaman, proses biologi (organogenesis atau somatik embriogenesis), dan tahap
perkembangannya. Metabolisme fenol mempengaruhi sistem kultur jaringan secara positif
dengan metabolisme auksin (kecepatan pembelahan sel dan sintesis dinding sel serta
senyawasenyawa lain yang berhubungan), tetapi oksidasi fenol yang berubah menjadi quinon
dan senyawa lain (polimerasenya) yang sangat beracun menyebabkan pencoklatan medium
dan kematian eksplan. Harm et al. (1983) dalam Hutami (2008) mengemukakan bahwa
betasianin dilepaskan ketika jaringan bit dilukai di dalam kultur. Substrat ini akan cepat
teroksidasi dan menjadi zat penghambat secara sempurna.
Menurut Huang et al. (2002) dalam Hutami (2008), pencoklatan yang sering
menyebabkan kematian awal dari tunas bambu yang ditanam secara in vitro berkorelasi
langsung dengan aktivitas polifenol oksidase (PPO). Selama di dalam kultur, aktivitas PPO

paralel dengan pencoklatan eksplan. Vaughn dan Duke (1984) dalam Hutami (2008)
menyimpulkan bahwa:
1. PPO adalah suatu enzim plastida (plastidic enzym)yang belum jelas, tetapi tidak aktif
sampai tergabung dalam plastida tersebut.
2. Dalam jaringan hijau yang sehat, PPO ada dalam bentuk laten pada membran tilakoid
dan tidak terlibat dalam sintesis senyawa fenolic. Dalam leukoplas, protoplas, atau amiloplas,
PPO sering kali dalam bentuk laten dalam rudimentary thylakoid.
3. PPO secara normal berfungsi sebagai suatu oksidasi fenol yang secara in vivo hanya
terjadi pada senesens atau sel yang rusak.
4. Dalam fungsi kloroplas, PPO kemungkinan terlibat dalam beberapa aspek kimia
oksigen, yaitu sebagai mediator dalam pseudocyclic photophosphorylation.
Tang dan Newton (2004) dalam Hutami (2008) membandingkan kalus yang mengalami
pencoklatan dan yang tidak pada Virginia pine. Peningkatan lipid peroksida dan polifenol
oksidase serta penurunan enzim anti oksidan askorbat peroksidase (APOX), glutation
reduktase (GR), dan superoksida dismutase (SOD) diamati pada kedua macam kalus tersebut.
Ternyata aktivitas enzim anti oksidan menurun secara cepat sesaat setelah pengkulturan
dimulai, khususnya pada 3-4 minggu periode kultur. Konsentrasi asam amino yang mudah
larut berbeda. Putresin menurun 63,8-71,5% pada jaringan yang mengalami pencoklatan.
Spermidin menurun 47-65,6%, dan spermin menurun 62,3-74,5%. Disimpulkan bahwa
pencoklatan jaringan berhubungan dengan akumulasi polifenol oksidase dan penurunan
putresin, spermidin, dan spermin yang menghambat pertumbuhan kalus, diferensiasi tunas
dan perakaran.
Newton et al. (2004) dalam Hutami (2008), menyimpulkan bahwa penambahan poliamin
dapat menanggulangi pencoklatan jaringan menjadi kultur kalus normal melalui penurunan
kerusakan oksidatif dan peningkatan regenerasi tanaman dengan beraksi sebagai zat pengatur
tumbuh. Andersone dan Levinsh (2002) dalam Hutami (2008), juga melaporkan bahwa
penurunan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase berhubungan dengan peningkatan
kemampuan jaringan untuk mulai tumbuh secara in vitro.
Tabiyeh et al. (2006) dalam Hutami (2008), mengemukakan bahwa pencoklatan dalam
kultur jaringan disebabkan karena meningkatnya produksi senyawa fenolat yang diikuti

oksidasi oleh aktivitas enzim oksidase (PPO) dan polimerasinya. Fenilalanin amonia liase
(PAL) adalah salah satu enzim dalam fenilpropanoid yang sangat berpengaruh terhadap
terjadinya pencoklatan. Salah satu penyebab utama pencoklatan dalam kultur in vitro adalah
luka karena pemotongan pada jaringan. Luka tersebut memacu stres dan menyebabkan
peningkatan aktivitas PAL yang diikuti oleh produksi fenilpropanoid dan menyebabkan
pencoklatan.
Menurut Ahmad et al. (1995) dalam Hutami (2008), waktu yang dibutuhkan untuk
pencoklatan Pistacia vera dipengaruhi oleh konsentrasi dan kombinasi zat pengatur tumbuh
dalam media induksi. Induksi kalus dalam media yang mengandung NAA (2 atau 5 mg/l)
atau NAA (5 mg/l)+kinetin (2,5 mg/l) dapat mempertahankan kalus tetap putih kehijauan
selama 10-13 minggu. Tahtamouni et al. (2001) dalam Hutami (2008) mempelajari
pertumbuhan dan sifat pir liar (Pyrus syriaca Boiss.) denganpreservasi in vitro dalam MS
dengan osmotikum. Tunas mikro (0,1 cm) pada titik tumbuh disimpan dalam media yang
mengandung 3, 6, 9, atau 12% baik sukrosa, sorbitol atau manitol. Pertumbuhan sangat
terhambat dengan bertambahnya konsentrasi osmotikum.
Terjadi tahapan kerusakan fisiologis (pencoklatan ujung tunas, pangkal tunas, dan
pengguguran daun) dengan adanya peningkatan osmotikum dan sepertinya periode preservasi
diperpanjang. Di antara perlakuan yang dicoba untuk osmotikum, sukrosa pada konsentrasi
rendah paling baik untuk mengurangi kerusakan fisiologis dan untuk tumbuh kembali.

Penanggulangan Pencoklatan

Penanggulangan pencoklatan pada jaringan khususnya pada eksplan yang baru diisolasi
dan pada media tumbuh yang digunakan, menurut George dan Sherrington (1984) dalam
Hutami (2008) seringkali dilakukan dengan menggunakan salah satu cara dari be berapa
pendekatan, yaitu:
1. Menghilangkan senyawa fenol.
2. Modifikasi potensial redoks.
3. Penghambatan aktivasi enzim fenol oksidase.
4. Penurunan aktivitas fenolase dan ketersediaan substrat.
1. Menghilangkan Senyawa Fenol

Fenol sering dikonotasikan sebagai zat penghambat yang harus dihilangkan dari
kultur in vitro. Berbagai metode untuk menghindari pembentukan fenol telah dilakukan, dan
yang paling umum adalah dengan mentransfer eksplan ke media baru. Tetapi peningkatan
jumlah subkultur seringkali menyebabkan akumulasi mutasi sel-sel dan menyebabkan
hilangnya sel yang efektif untuk membentuk embriogenesis. Penambahan arang aktif ke
dalam media kultur seringkali dapat menghindari pembentukan inhibitor fenolat (Hutami
2006 dalam Hutami, 2008). Arang aktif menghilangkan pewarnaan dengan menyerap dan
mengoksidasi fenol dan menginaktifkan peroksidase. Arang aktif mengurangi pencoklatan
pada eksplan palem dan kultur media (Tisserat 1979 dalam Hutami, 2008), sehingga memacu
eksplan untuk tumbuh secara organogenesis. Arang aktif juga mengontrol pencoklatan media
dan menstimulasi pertumbuhan tunas Strelitzia regnae dan Anemone aronaria (MensualiSodi et al. 1993 dalam Hutami, 2008). Aliyu dan Mashood (2005) dalam Hutami (2008),
melaporkan bahwa pencoklatan pada eksplan jambu mete (Anacardium occidentale L.)
disebabkan karena adanya senyawa metabolit sekunder yang dapat dikurangi dengan
mentransfer eksplan beberapa kali (subkultur), penambahan arang aktif, dan perlakuan gelap.
Para ahli biokimia menemukan bahwa ekstraksi enzim dari tanaman aktif sering
dihambat oleh adanya polifenol atau tanin. Dalam hal ini berbagai senyawa (khususnya
protein, amida, dan poliamida) ditambahkan agar bereaksi dengan fenol dan menyimpan
kembali aktivitas enzim. Kafein adalah salah satu amida yang telah berhasil digunakan
(Goldstain dan Swain 1965 dalam Hutami, 2008). Poliamida yang paling umum digunakan
untuk tujuan ini adalah polivinilpirolidon (PVP) (Loomis dan Battail 1966 dalam Hutami,
2008). Untuk isolasi enzim, PVP biasanya digunakan bersamasama dengan senyawa reduksi
seperti -merkaptoetanol. Fenol diabsorbsi PVP melalui ikatan hidrogen, untuk melindungi
oksidasinya. Batt dan Dhar (2004) dalam Hutami (2008) melaporkan bahwa PVP 0,5%
sangat efektif untuk menghilangkan senyawa fenolat dan persentase eksplan yang hidup
maksimum dapat dicapai pada micropropagasi pohon betina Myrica esculenta. Newton et
al. (2004) dalam Hutami (2008) juga melaporkan bahwa penambahan anti oksidan akan
mengurangi dan menghambat pencoklatan melalui penurunan akumulasi peroksidase.
Penambahan polivinilpolipirolidon (PPVP) dan 1,4-ditio- DL-treitol (DTT) terbukti
meningkatkan pembentukan kalus, diferensiasi dan pertumbuhan tunas, serta pertumbuhan
akar Virginia pine melalui penghambatan pencoklatan jaringan selama inisiasi kultur dan
subkultur tunas selanjutnya. Dibandingkan dengan kontrol, pemberian 5 g/l PVPP dan 2 g/l
DDT menyebabkan frekuensi pembentukan kalus meningkat 15%, pertumbuhan tunas
meningkat 26%, dan perakaran meningkat 19%.

2. Modifikasi Potensial Redoks


Kecenderungan senyawa menjadi teroksidasi atau tereduksi tergantung pada oksidasireduksi (redoks) potensial dari suatu larutan. Senyawa pereduksi yang redoks potensialnya
rendah seperti asam askorbat sangat efektif untuk menghindari pencoklatan dari isolasi
jaringan tanaman atau ekstrak tanaman dan sering diasumsikan bahwa hal tersebut
menghambat oksidasi fenol (George dan Sherrington 1984 dalam Hutami, 2008).
Oksigen yang tidak larut meningkatkan redoks potensial larutan dan menyebabkan
oksidasi lebih cepat. Reduksi sementara dengan mengisolasi eksplan segar pada oksigen
dapat membantu menghindari terjadinya pencoklatan.
3. Penghambatan Aktivasi Enzim Fenol Oksidase
Senyawa penkhelat/pengikat selain mempunyai kemampuan mengikat unsur/senyawa
lain juga dapat mengganggu aktivitas enzim peroksida. Weinstein et al. 1951 dalam George
dan Sherrington 1984 dalam Hutami, 2008) menemukan bahwa EDTA dapat menghambat
aktivitas polifenol oksidase pada daun bunga matahari yang dikulturkan secara in vitro, dan
disimpulkan bahwa senyawa khelat menghilangkan metal esensial untuk aktivitas enzim
oksidase. NaFeEDTA dan EDTA keduanya dapat menghilangkan penghitaman pada tunas
pucuk Carex dan Simth (1968) dalam Hutami (2008) menyatakan bahwa hal tersebut terjadi
karena pengikatan tembaga yang dibutuhkan dalam pembentukan enzim fenolase, ketika dia
menemukan bahwa agen pengikat/penkhelat dapat melindungi pencoklatan dari isolat segar
tunas pucuk dari Carex flacca. Beberapa reaksi oksidatif juga dikatalisir secara biokimia oleh
ion-ion seperti Cu++, Co++, dan Zn++.
4. Penurunan Aktivitas Fenolase dan Ketersediaan Substrat
Tingkat oksidasi fenol dapat dikurangi dengan pengurangan aktivitas enzim spesifik atau
pengurangan substrat untuk oksidasi. Aktivitas oksidasi polifenol tertinggi pada pH 6,5
dan menurun pada pH lebih rendah (Ichihashi dan Kako 1977 dalam Hutami, 2008).
Perendaman eksplan pada campuran asam askorbat dan asam sitrat tidak hanya mengekspose
eksplan pada senyawa reduksi tetapi juga pada pH rendah. Huang et al. (2002) dalam Hutami
(2008) melaporkan bahwa aktivitas PPO sejajar dengan pencoklatan eksplan pada bambu.
Pencoklatan tertinggi diperoleh dari medium dengan pH 8, di mana pH tersebut konsisten
dengan pH optimum enzim pada bambu. Stabilitas PPO tertinggi pada bambu pada pH 10.
Aktivitas enzim, biosintesis, dan oksidasi fenol akan meningkat dengan adanya
cahaya (Creasy 1968 dalam Hutami, 2008). Pencoklatan jaringan kemungkinan akan
berkurang atau dapat dihindari apabila biakan baru disimpan di ruang gelap sampai 14 hari
sebelum ditransfer ke ruangan dengan intensitas cahaya rendah (500-1000 lux). Pencoklatan

dari

isolasi

potongan

batang

Phalaenopsis

telah

berhasil

ditanggulangi

dengan

mengkulturkan eksplan selama 2 minggu pertama dalam ruang gelap dengan suhu 26 oC.
Setelah itu kultur dipindah ke ruang terang dengan suhu 22 oC (Pieper dan Zimmer 1976
dalam Hutami, 2008).
Wu dan Toit (2004) dalam Hutami (2008) melaporkan bahwa pengurangan oxydative
browning terbaik adalah dengan mengaduk eksplan selama 1 jam dalam larutan anti oksidan
yang mengandung asam askorbat 100 mg/l dan asam sitrat 1500 mg/l sebelum ditanam dalam
medium. Kombinasi perlakuan tersebut dengan fotoperiodisitas 16 jam, mampu
menghasilkan pertumbuhan tunas hingga 100%.
5. Penanggulangan yang Sering Dilakukan dalam Praktek dengan Pra-perlakuan
Dari uraian di atas telah diterangkan beberapa cara untuk menghindari pencoklatan dalam
kultur in vitro, tetapi sayangnya tidak satupun dari cara tersebut efektif untuk semua spesies
tanaman, dan untuk beberapa tanaman masih merupakan masalah. Seringkali kombinasi dari
beberapa cara tersebut perlu dilakukan. Ada beberapa cara yang sering digunakan sebagai
pra-perlakuan terhadap eksplan antara lain (1) perendaman atau pencelupan dan (2) prakondisi pada media dasar.
Perendaman atau pencelupan
Pada beberapa spesies, pra-perlakuan dapat membantu menghindari pencoklatan seperti
pencucian dengan air mengalir pada biji walnut selama 24 jam untuk menghilangkan fenol
sebelum disterilisasi dan dikecambahkan secara in vitro (Rodriguez 1982 dalam Hutami,
2008). Eksplan juga dapat direndam dalam air steril selama 2- 3 jam setelah isolasi sebelum
dikulturkan.
Pada beberapa spesies tanaman berkayu, perendaman eksplan dari bagian masak
fisiologis pohon tersebut di dalam air, atau pra-kultur ke dalam media tanpa suplemen selama
beberapa hari tidak hanya efektif untuk menghindari atau menghilangkan kerusakan karena
fenolat, tetapi juga menghilangkan beberapa faktor penghambat pertumbuhan meskipun tanpa
adanya pencoklatan. Bonga (1977) dalam Hutami (2008), melaporkan bahwa tunas dorman
dari pohon Abies balsamea masak (tanpa daun) yang direndam dalam air atau dalam larutan
yang mengandung asam kafeat selama 15 menit sampai 24 jam sebelum dikulturkan, akan
membentuk tunas adventif. Perlakuan tunas dengan asam malonat 0,1% selama 15 menit
setelah perendaman akan meningkatkan respon tersebut. Tabiyeh et al. (2006) dalam Hutami
(2008) melaporkan bahwa perlakuan glutation (GSH) diberikan dengan pencelupan dasar
potongan tunas pucuk dari aksis embrio Pistachia vera L. ke dalam larutan GSH 0,1 mM

sebelum dikulturkan pada media MS yang mengandung BAP, dapat mengurangi secara total
senyawa fenolat penyebab pencoklatan dan meningkatkan pertumbuhan. Tao et al. (2007)
dalam Hutami (2008) melaporkan bahwa pra-perlakuan pencelupan eksplan Platanus
occidentalis L. dalam anti oksidan dan absorben pada saat yang sama dapat menghilangkan
beberapa efek samping. Pra-perlakuan dengan vitamin C 10 g/l dapat mengurangi
kontaminasi dan pencoklatan secara efektif. Suatu penelitian membuktikan bahwa faktor
optimal dan level perlakuan BA 0,5 mg/l, arang aktif 2,0 g/l, dan PVP 1,5 g/l mengakibatkan
pencoklatan hanya 16,5%, dan secara umum disimpulkan bahwa waktu pengambilan eksplan,
bagian tanaman yang digunakan, dan pra-perlakuan eksplan adalah faktor utama
yang mempengaruhi kontaminasi dan pencoklatan pada fase inisiasi kultur jaringan P.
occidentalis L.
Pra-kondisi pada media dasar
Eksplan dari beberapa spesies dapat terhindar dari pencoklatan apabila pada awalnya
dikulturkan dalam media tanpa zat pengatur tumbuh. George dan Sherrington (1984) dalam
Hutami (2008) menemukan bahwa ruas batang kedelai dapat berkembang menjadi masa
kalus yang friabel (yang menghambat pertumbuhan tunas secara langsung) apabila segera
dikulturkan pada media yang mengandung auksin dan sitokinin. Hal tersebut diperkirakan
karena tingginya konsentrasi auksin indogenous. Potongan jaringan mula-mula dikulturkan
dalam media dasar selama beberapa hari sebelum ditransfer ke dalam media dengan IBA
0,005 mg/l dan BAP 1,1 mg/l. Jumlah tunas yang terbentuk meningkat dengan meningkatnya
waktu pra-perlakuan sampai 20-25 hari. Apabila diperpanjang lagi jumlah tunas akan
menurun. Nhut et al. (2006) dalam Hutami (2008) melaporkan hasil penelitiannya pada
easter lily (Lilium longiflorum) bahwa pembentukan kalus embriogenik diperoleh dari kalus
friabel yang dikulturkan baik pada media padat/cair dengan volume yang berbeda
mengandung -naphthaleneacetic acid (NAA) 1,0 mg/l dan thidiazuron (TDZ) 0,2 mg/l.
Jumlah embrio somatik yang berasal dari kalus embriogenik pada media cair, khususnya pada
volume 20 ml (170) lebih besar dari media padat (28) dan tahap perkembangan bentuk
embrio somatik terlihat jelas di bawah mikroskop (globular, hati, dan bentuk kotiledon).
Sebagian kalus yang terendam dalam media cair mengalami pencoklatan/nekrosis karena
hilangnya respirasi sementara kalus yang muncul di permukaan cairan mengalami
embriogenesis. Kemudian embrio somatik yang masak ditransfer ke media tanpa hormon (1/2

MS), maka sekitar 78% dari total embrio berkembang menjadi planlet dengan radicle dan
plumule yang normal. Setelah 1 bulan planlet diaklimatisasi dengan keberhasilan tumbuh
98%.
Pembentukan polifenol dari potongan eksplan segar dapat dipengaruhi oleh zat
pengatur tumbuh. Kandungan kinetin yang tinggi sangat diperlukan untuk pertumbuhan tunas
pucuk Pelargonium, tetapi media agar menjadi berwarna gelap apabila konsentrasi kinetin
yang ditambahkan lebih dari 1 mg/l. Persentase hidup eksplan meningkat dengan
pengkulturan pada minggu pertama dalam media dasar tanpa zat pengatur tumbuh dan
selanjutnya ditambah sitokinin atau auksin (Debergh dan Maene, 1977 dalam Hutami, 2008).
Daftar Pustaka :
Arlianti, Tias ; Sitti Fatimah Syahid, Nn Kristina dan Otih Rostiana. 2013. Pengaruh Auksin
IAA, IBA, dan NAA Terhadap Induksi Perakaran Tanaman Stevia (Stevia Rebaudiana)
Secara In Vitro. Jurnal Littro, Volume 24, Nomor 2, Desember 2013
Buchori, L. 2007. Pembuatan Gula Non Karsinogenik Non Kalori dari Daun Stevia. Jurnal
Reaktor Vol. 11 No.2 : 57-60.
Gangga, Erlindha; Hernita Asriani dan Linda Novita. 2007. Analisis Pendahuluan Metabolit
Sekunder dari Kalus Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa [Scheff.] Boerl.). Jurnal
Ilmu Kefarmasian Indonesia, April 2007, Hal. 17-22 Vol. 5, No. 1
Hidayat, Yayat. 2008. Keefektifan Bahan Sterilisasi dalam Pengendalian Kontaminasi Pada
Pertumbuhan Kultur Zygotik Surian (Toona Sinensis Roem). Jurnal Kehutanan Wana
Mukti Volume 6 No. 1. April 2008 ; 35 44
Hutami, Sri. 2008. Masalah Pencoklatan pada Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 4(2):83-88
Laila, Fittriya Nur dan Evika Sandi Savitri. 2014. Produksi Metabolit Sekunder Steviosida
Pada Kultur Kalus Stevia (Stevia Rebaudiana Bert. M.) dengan Penambahan ZPT 2,4D dan PEG (Polyethylene Glykol) 6000 Pada Media MS (Murashige & Skoog). Jurnal
El-Hayah Vol. 4, No.2 Maret 2014
Marlin, Yulian, Dan Hermansyah. 2012. Inisiasi Kalus Embriogenik Pada Kultur
Jantung Pisang Curup Dengan Pemberian Sukrosa, BAP Dan 2,4-D. J. Agrivigor
11(2): 275-283, Mei Agustus 2012

Merindasya, Mirza; Tutik Nurhidayati dan Parnidi. 2012. Induksi Tunas Tiga Aksesi Stevia
Rebaudiana Bertoni Pada Media MS dengan Penambahan BAP dan IAA Secara In
Vitro. Jurnal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Miryam, Arina; Irfan Suliansyah dan Amril Djamaran. 2008. Multiplikasi Jeruk Kacang (Citrus
Nobilis L.) Pada Beberapa Konsentrasi NAA Dan BAP Pada Media WPM Secara In Vitro.
Jurnal Jerami Volume I No. 2, Mei - Agustus 2008
Nursyamsi. 2010. Teknik Kultur Jaringan Sebagai Alternatif Perbanyakan Tanaman Untuk
Mendukung Rehabilitasi Lahan. Jurnal Prosiding Ekspose, 2010
Raini, Mariana dan Ani Isnawati. 2011. Kajian: Khasiat dan Keamanan Stevia

Sebagai

Pemanis Pengganti Gula. Jurnal Media Litbang Kesehatan Volume 21 Nomor 4 Tahun
2011
Rohmah, Dwi Indahning; Evie Ratnasari dan Isnawati. 2014. Pengaruh Berbagai Konsentrasi 2,4
D Terhadap Kecepatan Induksi dan Viabilitas Kalus Daun Stevia (Stevia Rebaudiana) Pada
Medium NP. Jurnal Lenterabio Vol. 3 No. 1, Januari 2014: 3337
Sari, Indra. 2013. Empat Teknik Perbanyakan Tanaman Stevia. Surabaya: BBPPTP
Sitorus, Ertina Novaria; Endah Dwi Hastuti dan Nintya Setiari. 2011. Induksi Kalus
Binahong (Basella Rubra L.) Secara In Vitro Pada Media Murashige & Skoog dengan
Konsentrasi Sukrosa yang Berbeda. Jurnal Bioma, Juni 2011 Vol. 13, No. 1
Srilestari, Rina. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah

Pada Berbagai Macam

Vitamin dan Sukrosa. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 1, 2005 : 43-50
Sumaryono & Masna Maya Sinta. 2011. Peningkatan Laju Multiplikasi Tunas dan
Keragaman Planlet Stevia Rebaudiana Pada Kultur In Vitro. Jurnal Menara
Perkebunan 2011 79(2)
Widowati, Lucie; Awal Prichatini Kusumadewi dan Sri Murhandini. 2011. Keamanan Stevia
Hasil Budidaya B2p2t02t dalam Aspek Teratogenitas. Jurnal Media Litbang Kesehatan
Volume 21 Nomor 1 Tahun 2011
Wiryosoendjoyo, Kartinah Agestyna Suktiningrum, Dewi Sulistyawati. 2009. Pengaruh
Penambahan Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D dan Kinetin Pada Media New Phalaenopsis
(NP) Terhadap Kandungan Steviosida dalam Kalus Daun Stevia Rebaudiana Bertonii
M.

Anda mungkin juga menyukai