Anda di halaman 1dari 28

Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Pantai Jayanti Terhadap Anomali

Iklim Di Desa Karawangi, Cianjur, Jawa Barat


Usulan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015
Di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi Cianjur, Jawa Barat
10 18 Mei 2015

Disusun oleh :
Noviyanti Soleha
140410120059

PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015

LEMBAR PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGAN

Nama

: Noviyanti Soleha

NPM

: 140410120059

Bidang

: Ekologi Manusia

Judul

: Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Pantai Jayanti


Terhadap Anomali Iklim Di Desa Karawangi, Cianjur, Jawa
Barat

Tempat Penelitian

: Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi,


Cianjur, Jawa Barat

Waktu Penelitian

: 10 18 Mei 2015

Telah diperiksa dan disahkan :


Jatinangor, 26 Maret 2015
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Laporan
KKL 2015

Dosen Pembimbing Lapangan


KKL 2015

Dr. Herri Y Hadikusumah, M.Si


NIP. 19531118 198701 1 001

___________________________
NIP.

Mengetahui,
Ketua Rombongan KKL 2015

Prof. Dr. Erri Noviar Megantara


NIP. 19571103 198603 1 004

DAFTAR ISI

DAFTAR
I
ISI.................................................................................................
BAB I
1
PENDAHULUAN............................................................................
1.1.Latar
1
Belakang..................................................................................
1.2.Identifikasi
2
Masalah..........................................................................
1.3.Maksud dan Tujuan
3
Penelitian..........................................................
1.4.Kegunaan
3
Penelitian.........................................................................
1.5.Metodologi.....................................................................................
4
....
1.6.Waktu dan Lokasi
4
Penelitian............................................................
BAB II TINJAUAN
5
LOKASI....................................................................
2.1
Profil
Kecamatan
Cidaun,
Cianjur,

Jawa
5

Barat............................
2.1.1

Desa
5

Karawangi...................................................................
BAB III TINJAUAN
8
PUSTAKA.............................................................
3.1

Pemanasan
8

Global............................................................................
3.2
Perubahan
Iklim
dan

Anomali
9

Iklim................................................
3

3.2.1

Perubahan
9

Iklim......................................................................
3.2.2
Musim

di
11

Indonesia................................................................
3.2.3
Indian
Ocean

Dipole
12

(IOD)....................................................
3.2.4
El
Nino

dan

La13

Nina.............................................................
3.3
Kondisi
Sosial

Ekonomi

Nelayan

di
14

Indonesia.............................
3.4
Adaptasi

Manusia

Terhadap

Perubahan
16

Iklim.................................
BAB IV METODE
19
PENELITIAN............................................................
4.1 Alat dan Bahan......................................................................
19
4.2
Pengumpulan
19
Data..........................................................................
4.3
Analisis
20
Data...................................................................................
DAFTAR
21
PUSTAKA..................................................................................
LAMPIRAN..............................................................................................
23
...

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Global warming atau pemanasan global adalah fenomena meningkatnya
suhu bumi. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya pemanasan global adalah
Efek Rumah Kaca (EFK). Sebagian dari energi panas matahari tidak dapat
dipantulkan kembali karena lapisan gas di atmosfer sudah terganggu
komposisinya oleh adanya gas rumah kaca (GRK) yang berlebih. Berlebihnya
GRK memicu naiknya suhu rata-rata di permukaan bumi, maka terjadilah
pemanasan global. Suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu
peningkatan suhu akan berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim
secara global.
Dengan suhu bumi dan GRK yang semakin meningkat, mencairnya es dan
gletser dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang akan
mempengaruhi peningkatan titik beku air. Meningkatnya titik beku air laut akan
menghambat proses pertukaran panas, sehingga dapat merubah sirkulasi air laut
dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang tidak normal atau anomali
iklim. Anomali iklim memberikan dampak yang cukup besar terhadap
pembangunan sosial ekonomi Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negara maritim, 5,8 juta km atau 75 % dari luas
wilayah Indonesia merupakan lautan. Lautan Indonesia memiliki kekayaan hayati
laut yang tinggi (mega diversity) di dunia (Dewan Hankamnas dan BPPT, 1996
dalam Zid, 2011). Dengan potensi yang besar tersebut, banyak penduduk

Indonesia yang bermata pencaharian berkaitan dengan kelautan, salah satunya


sebagai nelayan.
Di Pantai Jayanti terdapat tiga jenis nelayan berdasarkan objek laut yang
ditangkap, yaitu nelayan ikan, nelayan lobster dan nelayan gurita. Nelayan ikan
sebagian besar merupakan warga Desa Cidamar, sedangkan nelayan lobster
sebagian besar merupakan warga Desa Karangwangi. Di Desa Karangwangi,
diinformasikan terdapat 200 orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster. Nelayan lobster tersebut aktif melaut pada bulan Agustus dan September.
Diperlukan pengetahuan mengenai pembacaan keadaan alam baik yang
sifatnya pengetahuan turun temurun dari tetua ke generasi berikutnya,
pengetahuan yang bersifat ilmiah yang didasarkan pada fakta yang dikeluarkan
oleh kelembagaan berwernang mengenai kondisi iklim, dan diperlukan strategi
adaptasi yang dilakukan untuk menghadapi anomali iklim yang terjadi. Untuk itu
perlu dilakukan pencarian informasi mengenai strategi adaptasi kelompok
nelayan, khususnya nelayan lobster di Pantai Jayanti terhadap anomali iklim.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat peroleh
adalah:
1) Apa saja pengetahuan atau informasi yang diturunkan dari tetua ke
generasi selanjutnya mengenai iklim melalui pembacaan tanda-tanda alam
berkaitan dengan aktivitas melaut
2

2) Bagaimana pengetahuan nelayan lobster Pantai Jayanti terhadap anomali


iklim yang saat ini terjadi akibat pemanasan global
3) Apa saja dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan
lobster Pantai Jayanti saat mengahadapi anomali iklim
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi adaptasi
kelompok nelayan lobster Pantai Jayanti, Cianjur, Jawa Barat terhadap anomali
iklim. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan
pengetahuan lokal mengenai iklim dari tetua kepada generasi berikutnya melalui
pembacaan tanda-tanda alam berkaitan aktivitas melaut, mengetahui sejauh mana
pengetahuan para nelayan lobster Pantai Jayanti mengenai anomali iklim dan
strategi adaptasi yang dilakukan nelayan lobster Pantai Jayanti saat anomali iklim
sedang berlangsung yang mengakibatkan para nelayan lobster tidak dapat melaut
untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan wawasan
mengenai strategi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok nelayan lobster Pantai
Jayanti terhadap anomali iklim.
1.5 Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan desain eksploratif yang bersifat deskriptif dari hasil data di lapangan
malalui wawancara semi terstruktur dengan beberapa informasi kunci dan
3

beberapa sampel nelayan lobster yang bermukim di Desa Karawangi, serta


melakukan pengamatan lapangan mengenai aktivitas mencari lobster di Pantai
Jayanti.

1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di Desa Karawangi, Cianjur, Jawa Barat, pada 10 s.d
18 Mei 2015. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja),
dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan desa nelayan yang
sebagian besar penduduknya adalah nelayan lobster.

BAB II
TINJAUAN LOKASI

2.1 Profil Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat

Kecamatan Cidaun memiliki 14 desa, 81 RW dan 380 RT. Desa yang


terletak pada kecamatan ini adalah Desa Cidamar, Desa Cibuluh, Desa Cisalak,
Desa Cimaranggang, Desa Mekarjaya, Desa Kertajadi, Desa Sukapura, Desa
Gelar Pawitan, Desa Karangwangi, Desa Karyabakti, Desa Jayapura, Desa
Neglasari, Desa Puncakbaru, dan Desa Gelarwangi. Kecamatan Cidaun memiliki
luas kawasan sebesar 320,72 dengan jumlah penduduk sebanyak 63.323 jiwa.
Ketinggian wilayah Kecamatan Cidaun adalah 7 500 mdpl dan kemiringannya
sebesar 0-40%. Kecamatan Cidaun memiliki tiga jenis sawah berdasarkan
pengairannya dengan luasan yang berbeda, yaitu sawah irigasi semi teknis
sebesar 297 ha, sawah irigasi sederhana 856 ha dan sawah tadah hujan 1.294 ha
(Media Pesona Cidaun, 2015).
2.2.1 Desa Karawangi
Karangwangi adalah Desa di Jawa Barat yang termasuk wilayah dari
Kabupaten Cianjur. Berbatasan langsung dengan Desa Cimaragang di utara,
Samudera Indonesia di belahan selatan, Sungai Cilaki di bagian Timur dan Desa
Cidamar pada sisi barat. Memiliki luas wilayah sekitar 12.000 ha yang sebagian
besar digunakan sebagai lahan pertanian. Terdapat tiga jenis sawah, yaitu sawah
tadah hujan, pasang surut dan ladang. Di bagian barat laut Karangwangi, terdapat
Hutan Bojong Larangan yang memiliki luas sekitar 700 ha (Media Pesona Cidaun,
2015).
Selain lahan pertanian, warga Karangwangi juga memiliki mata pencaharian
lain, yaitu berternak. Hewan yang mereka ternak antara lain ayam, sapi, kerbau,
bebek, kambing dan domba. Akan tetapi hasil dari hewan yang diternak tersebut
5

tidak dijadikan komoditas utama oleh warga Karangwangi. Di Karangwangi juga


terdapat empang atau kolam seluas 350 ha/m2, namun tidak dimanfaatkan oleh
warga untuk dijadikan budidaya ikan (Media Pesona Cidaun, 2015).
Karangwangi memiliki potensi alam berupa bahan galian akibat dari letak
geografisnya yang di lalui oleh dua sungai, Sungai Cilaki dan Sungai Cikawung.
Bahan galian yang terdapat adalah batu kali, pasir, batu cadas, pasir kwarsa, batu
trass, dan pasir besi. Dari sekian banyak bahan galian, yang dijadikan komoditas
di desa ini adalah batu kali yang diolah oleh warga menjadi bahan bangunan
(Media Pesona Cidaun, 2015).
Walaupun Desa Karangwangi dilalui oleh dua sungai, desa ini masih
terbilang sulit untuk mendapatkan air bersih untuk dikonsumsi. Untuk akses pun
masih terbilang cukup sulit, bukan karena kondisi jalan atau belum tersedianya
jalanan aspal yang bagus tapi karena terbatasnya kendaraan umum dan jarak antar
dusun yang terbilang jauh (Media Pesona Cidaun, 2015).
Sulitnya akses ini berakibat buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat di
desa Karangwangi, antara lain terhambatnya kegiatan belajar mengajar serta
banyaknya anak-anak berusia dini lebih memilih menikah dibanding melanjutkan
sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada bidang kesehatan sendiri,
terbatasnya akses mengakibatkan sulitnya masyarakat mendapatkan jaminan
kesehatan dan usaha untuk mengobati penyakit mereka (Media Pesona Cidaun,
2015).

Gambar 1. Peta lokasi Desa Karangwangi (Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten Cianjur, 2014).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pemanasan Global

Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan fenomena


peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah
kaca (greenhouse effect). Efek rumah kaca (ERK) disebabkan oleh meningkatnya
emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dinitro-oksida (N2O) dan CFC, sehingga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi (Muhi, 2011).
Sebagian besar energi matahari berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, ia berubah
dari cahaya menjadi energi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi
akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari
panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini menyerap dan memantulkan kembali
radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Akibat yang
ditimbulkan oleh pemanasan global sudah terasa di berbagai negara (Muhi, 2011).
Pemanasan global menimbulkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan bio-geofisik, seperti pelelehan es di kutub, bencana kekeringan sering
terjadi di berbagai belahan bumi, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, iklim mulai tidak stabil sehingga
sering terjadi ketidakteraturan cuaca dan sering terjadi badai-badai yang besar,
dan sebagainya. Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat

meliputi, gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan
terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan
bandara, gangguan terhadap permukiman penduduk, dan sebagainya (Muhi,
2011).

3.2 Perubahan Iklim dan Anomali Iklim


3.2.1 Perubahan Iklim
Para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PotsdamInstitut fr Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman menyatakan bahwa musim
dingin ekstrim yang terjadi berturut-turut di benua Eropa dalam 10 tahun
belakangan ini adalah akibat mencairnya lapisan es di kawasan Artik, dekat Kutub
Utara sebagai akibat pemanasan global. Hilangnya lapisan es membuat
permukaan laut di Samudera Artik langsung terkena sinar matahari. Energi panas
matahari yang biasanya dipantulkan lagi ke luar angkasa oleh lapisan es berwarna
putih, kini terserap oleh permukaan laut, membuat laut di kawasan kutub
memanas dan mengubah pola aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer
yang dibuat PIK dan dimuat di Journal of Geophysical Research awal bulan
Desember 2010, memperlihatkan kenaikan temperatur udara di lautan Artik yang
menimbulkan sistem tekanan tinggi. Sistem tekanan tinggi inilah yang membawa
udara dingin kutub ke daratan Eropa. Anomali iklim tersebut mengakibatkan
gangguan transportasi. Vladimir Petoukhov menyatakan bahwa anomali ini bisa
melipat tigakan probabilitas terjadinya musim dingin yang ekstrim di Eropa dan
Asia Utara. Efek aliran udara dingin dari kutub utara itu akan makin parah saat
9

terjadi gangguan pada arus udara panas yang melintasi Samudra Atlantik dan
perubahan aktivitas matahari (Wahono, 2010 dalam Muhi, 2011).
Perubahan iklim yang terjadi telah merubah pola musim panas menjadi
semakin panjang, semakin panas dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah
42% es di Kutub Utara semakin menipis dan mencair di setiap musim panas. Hal
ini dilaporkan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA. Mereka
menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub Utara menipis sebanyak 7 inci
(17,78 cm) per tahun sejak tahun 2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67 m) selama empat
musim dingin. Es Kutub Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan
pada pola cuaca dan iklim global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua
kutub bumi dan udara hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara dan
air, termasuk arus yang memancar. Hilangnya es global dari Greenland, Antartika
dan gletser lain menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80 cm dan 2 m
sampai tahun 2100. Tahun 2008 Mark Lynas memprediksi kondisi yang lebih
ekstrim, jika kenaikan suhu bumi lebih dari 2,7 C pencairan es akan menaikkan
level air laut hingga 6 meter (Setiawan, 2009 dalam Muhi, 2011).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar
dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap banyak pulau-pulau kecil
yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga akan kehilangan
wilayah-wilayah pesisir dan kota-kota yang berada di wilayah pesisir pada pulaupulau besar. Secara logis kondisi tersebut akan berdampak terhadap semakin
mengecilnya luas wilayah. Jika wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpenghuni
menghilang, maka mau tidak mau penduduknya harus berpindah ke lokasi yang

10

lebih tinggi. Disinyalir pula akan semakin sering terjadi kekeringan yang dapat
mengakibatkan musibah gagal panen dan kebakaran, curah hujan semakin ekstrim
menyebabkan musibah banjir dan longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata
pencaharian karena perubahan iklim semakin sulit diprediksi. Perubahan Iklim
semakin kacau, hujan badai angin topan, kekeringan akan semakin sering terjadi
(Muhi, 2011).
3.2.2 Musim di Indonesia
Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Secara umum musim hujan terjadi antara bulan Oktober-Maret
dengan puncaknya sekitar bulan Desember-Februari, disebabkan Monsun Dingin
Asia. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan April-September dengan
puncaknya sekitar bulan Juni-Agustus, disebabkan Monsun Dingin Australia.
Musim di Indonesia selain dipengaruhi oleh Monsun dan pengaruh lokal, juga
dipengaruhi oleh adanya fenomena global, diantaranya sirkulasi Hadley, sirkulasi
Walker, El Nino, La Nina, Indian Ocean Dipole dan lainnya (Fadholi, 2013).
Variasi cuaca dan iklim sangatlah perlu diperhatikan karena sebagian
wilayah Indonesia terletak di Belahan Bumi Utara dan sebagian di Belahan Bumi
Selatan. Musim hujan di Indonesia didefinisikan sebagai periode dengan jumlah
curah hujan 150 mm dalam sebulan, sedangkan musim kemarau didefinisikan
sebagai periode dengan jumlah curah hujan kurang dari 150 mm dalam sebulan
(BMG,2006 dalam Fadholi, 2013).

11

Meskipun musim hujan dan kemarau terjadi secara periodik, tetapi panjang
musim dan jumlah curah hujan untuk setiap musim tidaklah selalu sama. Kondisi
ini menunjukkan bahwa musim di wilayah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh
monsun, tapi dibentuk juga oleh faktor lain yang berinteraksi dengan monsun
untuk membentuk musim tersebut (Sulistya et al., 2000 dalam Fadholi, 2013).
Faktor tersebut bisa jadi merupakan fenomena global, yaitu El Nino dan Indian
Ocean Dipole
3.2.3 Indian Ocean Dipole (IOD)
Terjadi penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan
atmosfer di Samudera Hindia di sekitar khatulistiwa yang disebut dengan IOD
(Indian Ocean Dipole). Interaksi tersebut menghasilkan tekanan tinggi di
Samudera Hindia bagian Timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang
menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat. Hembusan angin ini
akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke
permukaan. Akibatnya, SPL di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat
Sumatera akan mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat
pantai timur Afrika tejadi kenaikan suhu permukaan laut (Kailaku, 2009 dalam
Fadholi, 2013).
Indian Ocean Dipole (IOD) adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang
terjadi di samudera hindia tropis. Selama fenomena IOD positif, suhu permukaan
laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian
timur lebih dingin dari normalnya (Saji et al. 1999; Yamagata et al. 2004 dalam

12

Fadholi, 2013). Perubahan pada suhu permukaan laut selama IOD terjadi terkait
dengan perubahan medan angin di tengah samudera Hindia ekuator. Sehingga
angin bergerak berlawanan dari biasanya barat ke timur selama IOD positif.
Selain itu, proses konveksi yang biasanya terjadi di atas Samudera Hindia bagian
timur yang menghangat bergerak ke arah barat. Hasil dari kondisi tersebut adalah
hujan lebat di Afrika bagian timur dan meninggalkan wilayah Indonesia dengan
sedikit hujan (Bahera et al., 2005 dalam Fadholi, 2013), yang kemudian diikuti
dengan kekeringan dan hutan yang terbakar. Fosil koral dari pantai Sumatera
mencatat fenomena IOD beberapa kali di Holocene. Kondisi IOD mempengaruhi
konveksi di Indonesia dan curah hujan regionalnya (Yulihastin, 2009 dalam
Fadholi, 2013).
3.2.4 El-Nino dan La Nina
El-Nino adalah kejadian iklim di mana terjadi penurunan jumlah dan
intensitas curah hujan akibat naiknya suhu permukaan laut di wilayah Samudra
Pasifik Selatan yang mendorong mengalirnya massa uap air di wilayah Indonesia
ke arah timur. Sebaliknya, La-Nina adalah kejadian iklim di mana terjadi
peningkatan jumlah dan intensitas curah hujan hingga memasuki musim kemarau
akibat penurunan suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang
memperkaya massa uap air di wilayah Indonesia (Nurdin, 2011).
Hasil penelitian Boer dan Subbiah (2005) dalam Nurdin (2011), melaporkan
bahwa sejak tahun 1844 hingga 2009 masing-masing telah terjadi 47 dan 38 kali
peristiwa El-Nino dan La-Nina yang menimbulkan kekeringan dan banjir

13

nasional. Secara klimatologis, dampak El-Nino dan La-Nina dapat diperlemah


atau diperkuat jika dalam waktu bersamaan juga terjadi fenomena IOD. Fenomena
IOD memengaruhi dinamika dan peredaran udara dan massa uap air dari/ke
Samudra Hindia daratan Asia Selatan dan Indonesia. IOD positif cenderung
memperkuat dampak El- Nino, sedangkan bila IOD negatif akan memperkuat
dampak La-Nina. Data curah hujan di berbagai lokasi menunjukkan adanya
kecenderungan curah hujan rata-rata yang makin rendah di wilayah bagian selatan
Indonesia. Sementara itu di wilayah utara terjadi gejala sebaliknya. Contoh kasus
kejadian hujan pada periode tahun 1988-1994 di Gorontalo (Sulawesi bagian
utara) yang mengakibatkan beberapa wilayah di Gorontalo mengalami kejadian
banjir yang tidak mengikuti pola banjir umumnya. Selain itu, musim kemarau di
daerah ini juga semakin panjang dan sulit diprediksi kapan awal musim tanam
untuk sektor pertanian biasa dimulai (Nurdin, 2011).

3.3 Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan di Indonesia


Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya

bekerja

menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun
permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat
merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Di negara-negara berkembang
seperti di Asia Tenggara atau di Afrika, masih banyak nelayan yang menggunakan
peralatan yang sederhana dalam menangkap objek tangkapannya. Nelayan di
negara-negara maju biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang
besar yang dilengkapi teknologi canggih (Putri, 2014).
14

Kajian-kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada


kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, karena kesulitan hidup yang dihadapi
nelayan dan keluarganya. Keadaan tersebut disebabkan oleh hubungan antara
nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) yang diliputi situasi
ketidakpastian. Angin kencang dan gelombang tinggi yang seringkali terjadi
menyebabkan pola aktivitas melaut berubah yang berujung pada penurunan
pendapatan nelayan (Helmi dan Arif, 2012).
Laporan keempat IPCC pada tahun 2007 lalu menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang paling rentan akibat perubahan iklim. Perubahan
iklim dapat menyebabkan nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan
karena cuaca yang tidak menentu dan hal ini berisiko mengubah stabilitas
ekosistem, sosial ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi planet bumi sebagi
penunjang kehidupan (Kusnadi, 2009; Satria 2009 dalam Helmi dan Arif, 2012).
Kajian Davies (1993) dalam Helmi dan Arif (2012), pada sumberdaya yang
berbasis lahan, perubahan iklim memicu munculnya shock dan stress akibat gagal
panen atau harga yang turun atau sumberdaya lahan yang tidak memadai yang
kemudian mempengaruhi dasar dari sumber nafkah rumah tangga. Shock dan
stress ini juga terjadi pada nelayan yang diakibatkan oleh rusaknya sumbersumber mata pencaharian mereka akibat perubahan ekologis. Kondisi ini
kemudian menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk beradaptasi dalam
menghadapi krisis.

15

3.4 Adaptasi Manusia Terhadap Perubahan Iklim


Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan
bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani
hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah. Berdasarkan sudut
pandang ekologi manusia, adaptasi dapat diartikan sebagai suatu strategi
penanggulangan yang dilakukan manusia dalam kehidupannya untuk merespon
berbagai perubahan ekosistem atau lingkungan biofisik dan sistem sosial
(Iskandar, 2009).
Pada umumnya manusia memeliki kelunturan yang luar biasa dalam
mengadaptasikan diri terhadap berbagai kondisi ekosistem (lingkungannya).
Terdapat tiga jenis penyesuaian manusia untuk mengadaptasikan dirinya pada
berbagai perubahan lingkungannya, yaitu adaptasi cara fisiologi, adaptasi cara
perilaku dan adaptasi cara kebudayaan (Iskandar, 2009).
Adaptasi fisiologi dan perilaku manusia merupakan adaptasi biologi atau
evolusi, agar manusia dapat bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Adaptasi
fisiologi misalnya, suku-suku Indian, yang hidup di pegunungan tinggi Andes,
Amerika Selatan, telah beradaptasi dengan kadar oksigen yang rendah dalam
udara (hypoxia). Manusia juga dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya
secara tingkah laku. Manusia dengan memanfaatkan aliran informasi dari berbagai
ekosistem dimana mereka tinggal melakukan adaptasi tingkah laku. Misalnya,
kelompok Suku Masaai di Afrika, selama musim baik tidak mengalami musim
kekeringan panjang, mereka biasanya banyak mengkonsumsi susu ternak,
mengingat pada saat itu hewan-hewan ternak mereka sedang memproduksi susu

16

lebih banyak karena didukung oleh ketersediaan pakan rumput yang cukup
banyak. Sebaliknya, selama musim jelek masa kemarau panjang, Suku Masaai
tersebut biasanya selain mengonsumsi susu juga mengonsumsi daging karena
produksi susu tidak memadai (Iskandar, 2009).
Berbeda dengan adaptasi fisiologi dan tingkah laku, adaptasi kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu strategi penanggulan yang diupayakan manusia
dalam kehidupannya untuk merespon perubahan lingkungan maupun perubahan
sosial. Misalnya, komunitas Punan di Kalimantan Timur yang hidupnya sebagai
pemburu dan peramu yang biasa hidup di hutan. Untuk menghindari bahaya
kekurangan pangan, mereka mengadaptasikan diri terhadap persediaan makan di
lingkungannya, misalnya, ketika musim buah-buahan hutan dan banyak binatang
buruan di hutan, maka, mereka banyak mengonsumsi bahan pangan buah-buahan
hutan dan daging binatang buruan, serta hasil umbi-umbian. Namun, ketika
musim kemarau, sedikit buah-buahan hutan dan satwa liar, mereka biasanya akan
mencari sagu hutan untuk bahan pangannya, serta mencari jenis-jenis ikan di
sungai untuk lauk pauknya (Iskandar, 2009).
Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu
yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan
suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan
antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia
dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah
memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat

17

bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett


1976 dalam Helmi dan Arif, 2012).
Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan
kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis sangat penting untuk
dipelajari karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan memungkinkan
nelayan mengatur sumberdaya terhadap persoalan-persoalan spesifik seperti
fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan, khususnya
lobster pada penelitian ini. Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat untuk
menyelamatkan perekonomian nelayan namun juga menjaga ekosistem laut dan
pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang
mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit
ditemukan. Bagaimana hubungan antara masyarakat (nelayan) dan sumberdaya
alam dan keadaan cuaca atau iklim. Sebagian ahli memandang hal tersebut
sebagai bagian dari persoalan adaptasi.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

18

1. Alat perekam, digunkan untuk merekam wawancara dengan narasumber


2. Buku catatan dan alat tulis, digunakan untuk mencatat data penting dan
kata kunci saat wawancara dengan narasumber
3. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar saat kegiatan wawancara
berlangsung
4.2 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
yang diperoleh dari narasumber dilakukan melalui teknik wawancara semi
terstruktur dengan beberapa informasi kunci dan beberapa sampel nelayan lobster
yang bermukim di Desa Karawangi, serta melakukan pengamatan lapangan
mengenai aktivitas mencari lobster di Pantai Jayanti. Selain data primer,
pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Sumber
data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karawangi, Cianjur, Jawa Barat,
buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang
berkaitan dengan penelitian ini.
4.3 Analisis Data
Strategi adaptasi nelayan lobster Pantai Jayanti yang bermukim di Desa
Karawangi, Cianjur, Jawa Barat akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Analisis deskriptif yang dilakukan adalah dengan melihat bagaimana cara nelayan
mengtahui keadaan alam yang baik untuk melaut dengan pengetahuan lokalnya,
mengetahui keadaan saat anomali iklim sedang terjadi dan melihat adaptasi yang
dilakukan akibat terjadinya anomali iklim, baik secara ekonomi maupun
teknologi. Secara ekonomi, nelayan akan mencari sumber pendapatan lainnya

19

apabila dia tidak melaut pada saat cuaca buruk. Secara teknologi, nelayan akan
mencari teknologi yang lebih canggih untuk digunakan pada saat melaut.
Teknik analisis data dilakukan sejak awal pengumpulan data. Hasil
wawancara mendalam dengan teknik wawancara semi terstruktur dan pengamatan
disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke
lapangan dan berlangsung terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data,
analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis
data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992)
dalam Lekatompessy, et al. (2013), dimana data diolah dengan melakukan tiga
tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data.

20

DAFTAR PUSTAKA
Fadholi, Akhmad. 2013. Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD)
Terhadap Curah Hujan Di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol
11(1):43 50
Helmi, Alfian Dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap
Perubahan Ekologis. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1
Iskandar,

Johan.

2009.

Berkelanjutan.Program

Ekologi

Manusia

dan

Pembangunan

Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas

Padjajaran.
Lekatompessy Hendri Stenli, M. Natsir Nessa Dan Andi Adri Arief. 2013.
Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis.
Jurnal kelautan Dan Perikanan
Media

Pesona

Cidaun.

2015

Profil

Http://Mediapesonacidaun.Blogspot.Com/P/Blog-Page_154.Html

Cidaun.
Diakses

05 Maret 2015 Pukul 20.00 wib.


Muhi, Dr.Ir.H. Ali Hanapiah. 2011. Praktek Lingkungan Hidup. Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (Ipdn) Jatinangor: Jawa Barat.
Nurdin, Sp, Msi. 2011. Antipasi Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Ketahanan
Pangan. Jurnal Agroteknologi

21

Putri, Yohananda Eka. 2014. Pengaruh Pencemaran Air Laut Terhadap Kaum
Nelayan Dan Lingkungan Sekitar Pantai. Makalah, Fakultas Ilmu
Pendidikan: Universitas Negeri Malang
Zid, Muhammad. 2011. Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi
Ekologis Di Cikahuripan-Cisolok, Sukabumi. Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1
Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

22

LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pertanyaan
1. Sejak kapan Anda menjadi nelayan lobster?
2. Apakah Anda mengetahui sejarah adanya mata pencaharian nelayan
Lobster di Pantai Jayanti ini?
3. Kapan biasanya Anda melaut? Bagaimana kalender melaut Anda?
4. Apa yang Anda gunakan untuk menangkap lobster?
5. Apakah Anda menjadi pemilik perahu dan peralatan penangkap lobster
6.
7.
8.
9.

yang Anda gunakan?


Lobster yang di dapat selanjutnya di jual kemana?
Berapakah penghasilan Anda dari satu kali aktivitas melaut?
Untuk waktu melaut, informasi apa yang Anda peroleh dari tetua Anda?
Bagaimana tanda-tanda alamya, adakah kemunculan flora ataupun fauna

tertentu?
10. Apakah Anda sering mencari tahu atau diberikan informasi mengenai
keadaan iklim saat ini berdasarkan fakta ilmiah yang dikeluarkan
kelembagaan berwenang atau informasi dari media elektronik atau media
cetak?
11. Bagaimana perubahan iklim yang Anda rasakan saat ini berkaitan dengan
aktivitas melaut?
12. Apakah Anda mengetahui tentang anomali iklim?
a. Jika ya, anomali seperti apa yang Anda ketahui?
b. Kapan terjadinya anomali tersebut?
13. Apakah ada perbedaan terhadap hasil tangkapan lobster yang di dapat saat
terjadi anomali iklim dan tidak?
14. Saat iklim tidak seperti biasa untuk melaut, apa yang Anda lakukan?
15. Apakah Anda memiliki mata pencaharian lain?
a. Jika ya, apa pekerjaan tersebut?
b. Bagaimana melakukan aktivitasnya?
c. Apakah dipengaruhi oleh iklim juga?
d. Berapakah pendapat yang di dapat dari pekerjaan tersebut?

23

24

Anda mungkin juga menyukai