Anda di halaman 1dari 44

Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana) memiliki berbagai keunggulan namun

mengalami keterbatasan dalam perbanyakan bibit. Jenis ini mengandung senyawa steviosida
dengan tingkat kemanisan 300-400 kali dibandingkan gula tebu sukrosa (Geuns, 2003;
Megeji et al., 2005; Mousumi, 2008). Gula stevia bersifat nonkar-sinogenik dan rendah
kalori, sehingga cocok untuk penderita diabetes dan obesitas. Stevia juga dapat dimanfaatkan
sebagai pencegah timbulnya plak gigi dan menurunkan akumulasinya sebesar 57,82% (De
Slavutzky dan Blauth, 2010). Saat ini stevia telah banyak digunakan dalam campuran
makanan dan minuman di negara Amerika Selatan, Jepang, Cina dan Korea Selatan serta
negara-negara lain di Asia. Di Indonesia sendiri penggunaan stevia masih terbatas pada
industri jamu dalam negeri dan memenuhi permintaan pasar luar negeri dimana satu produsen
dapat memasok 50-70 ton daun stevia kering per bulan dengan harga jual sekitar Rp 23.000,sampai Rp 24.000,- per kg (http://www. ciputraenterpreneurship). Perbanyakan stevia secara
konvensional umumnya dilakukan dengan biji atau setek. Perbanyakan menggunakan biji
kurang efektif karena rendahnya perkecambahan dan keseragaman (Goettemoeller dan Ching,
1999). Perbanyakan stevia melalui setek menghasilkan benih yang seragam tetapi jumlahnya
terbatas. Perbanyakan menggunakan teknik kultur jaringan merupakan metode yang dapat
digunakan untuk menghasilkan benih seragam secara massal dan cepat. Multiplikasi tanaman
stevia telah dilakukan dalam berbagai penelitian, diantaranya perbanyakan stevia
menggunakan sumber eksplan pucuk dengan media Lismainer dan Skoog (Gunawan, 1992),
sementara Pratiwi (1995) telah memperoleh 10 tunas baru dalam waktu 50 hari pada
perbanyakan stevia dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Kristina dan Syahid (2010)
telah melakukan perbanyakan dan penyimpanan Stevia dengan menggunakan media
Murashige dan Skoog (MS) dan penambahan Benzyl Amino Purine (BAP) 0,1 mg l-1 yang
menghasilkan sekitar 20 tunas per botol. Keberhasilan tersebut tentunya perlu didukung
dengan optimalisasi perakaran untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi. Gunawan
(1992) telah melakukan inisiasi perakaran stevia dengan cara menginduksi stevia yang telah
dikulturkan selama 30 hari pada media Linsmainer dan Skoog yang ditambahkan dengan 0,1
mg l-1 NAA. Namun belum dilakukan studi lebih lanjut dengan menggunakan jenis auksin
lain pada berbagai konsentrasi untuk mendapatkan inisiasi perakaran yang optimum sabagai
protokol perbanyakan bibit secara in vitro.
Cahyadi (2006) mengemukakan bahwa jumlah kalori gula pasir sebebesar 3,94 kkal/g.
Menurut Raini dan Isnawati (2011) konsumsi gula tinggi dapat mengakibatkan tingginya
kadar gula dalam tubuh sehingga mengakibatkan diabetes, dapat menyebabkan gigi
berlubang, serta menyebabkan kegemukkan. Pemanis rendah kalori seperti stevia merupakan

jenis pemanis yang aman bagi orang yang cenderung mengurangi konsumsi gula sukrosa.
Maudy et al., (1992) dalam Buchori et al., (2004) mengungkapkan bahwa stevia memiliki
tingkat kemanisan 200-300 kali lebih manis dari sukrosa. Beberapa penelitian telah
menyebutkan bahwa steviosida mengandung kalori yang rendah sampai dengan nol kalori
(Thomas dan Glade, 2010). Selain rendah kalori, stevia yang berasal dari tanaman bersifat
non karsinogenik, aman, dan tidak menyebabkan carries gigi (Rukmana, 2003). Daryanti
(2012) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa ekstraksi stevia dengan
menggunakan pelarut air menghasilkan warna coklat gelap. Ghazi et al., (2013) menyatakan
bahwa timbulnya warna coklat ekstrak stevia dikarenakan adanya kandungan tanin.
Faktor yang menentukan mutu bahan pangan adalah pemanis dan pewarna (Pitojo,
2009). Pemanis alami yang popular di Indonesia adalah gula pasir yang dihasilkan oleh
tanaman tebu, mengandung kalori yang sangat tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan
penyakit diabetes dan obesitas. Bagi penderita penyakit tersebut, gula tebu merupakan
pantangan yang harus dihindari, padahal tanpa gula susu terasa tawar. Stevia diperoleh dari
tanaman maka penggunaannya lebih aman, nonkarsinogenik dan non kalori. Kadar
kemanisannya sekitar 200-300 kali lebih manis dibanding gula biasa. Keunggulan lainnya
adalah gula stevia tidak menyebabkan carries gigi, memiliki nilai kalori rendah yang cocok
bagi penderita diabetes, dan tidak menyebabkan kanker pada pemakaian jangka panjang
(Buchori, 2007). Kekurangannya adalah penambahan stevia sebagai pemanis dapat
menurunkan kandungan protain (Hsieh 2004 dalam Rani dan Isnawati 2011).
Faktor yang menentukan mutu bahan pangan adalah pemanis dan pewarna. Dalam
pembuatan yoghurt jenis pemanis yang popular di Indonesia adalah gula pasir (sukrosa) yang
memiliki kalori sangat tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan penyakit diabetes dan
obesitas. Menurut Suparmo dan Sudarmanto (1991), gula pasir berbentuk kristal berwarna
putih mempunyai rasa manis, dan mengandung sukrosa 97,1%, gula reduksi 1,24%, kadar air
0,61%, dan senyawa organik bukan gula 0,7%. Jenis pemanis gula stevia berasal dari daun
stevia (Stevia rebaudiana) yang telah mengalami proses ekstraksi dapat disubtitusikan
sebagai pengganti gula pasir. Gula stevia tidak menyebabkan carries gigi, rendah kalori
sehingga baik bagi penderita diabetes, dan tidak menyebabkan kanker pada pemakaian jangka
panjang (Buchori, 2007). Hasil penelitian Kusuma (2013), menunjukkan bahwa dalam
pembuatan susu organik dari biji keluwih dengan penambahan gula pasir 25 g memiliki rasa
sangat manis dan dengan penambahan ekstrak daun stevia 25 g memiliki rasa manis.
Kandungan utama gula stevia yang berasal dari ekstrak daun stevia adalah derivate steviol
terutama steviosid (4-15%), rebausid A (2-4%), dan C (1-2%) serta dulkosida. Selain itu, gula

stevia rendah kalori dan non-karsinogenik, sehingga aman digunakan bagi penderita diabetes
(Raini dan Isnawati, 2011). Gula pasir mengandung sukrosa yang memiliki sifat tidak
berwarna, tidak berbau, dan rasanya manis serta memiliki jumlah kalori yang tinggi, sehingga
tidak baik dikonsumsi para penderita diabetes (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Stevia merupakan tanaman perdu famili Compositae asal Paraguay yang dapat
dijadikan pemanis pengganti gula tebu karena keunggulannya sebagai pemanis alami yang
tidak mengandung kalori dan 200-300 kali lebih manis daripada gula tebu (Mogra dan
Dashora dalam Sumaryono dan Sinta, 2011). Pemanis stevia memiliki indeks glikemat
hampir nol sehingga aman bagi penderita diabetes maupun bagi orang yang sedang menjalani
diet makanan untuk menurunkan berat badan (Gregesen et al., dalam Sumaryono dan Sinta,
2011). Stevia memiliki nilai ekonomis tinggi untuk dibudidayakan sehingga ketersediaan
bibit yang baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya stevia.
Penyediaan bibit secara konvensional melalui biji memiliki tingkat keberhasilan yang rendah,
sedangkan perbanyakan dengan stek ujung apikal dan batang akan menghasilkan pertanaman
yang tidak seragam sehingga kualitas tanaman tidak dapat dipastikan. Perbanyakan secara
kultur jaringan lebih cepat, bibit yang dihasilkan lebih banyak dan seragam serta kualitas
tanaman lebih terjaga (Staba, 2000). Pada penelitian ini digunakan eksplan daun stevia karena
kultur kalus eksplan daun stevia dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa steviosida
yang merupakan pemanis alam.
Tanaman stevia tumbuh baik di dataran tinggi, namun tumbuh kurang baik di dataran
rendah. Karena lahan pertanian pada dataran tinggi terbatas, maka untuk mengatasi
keterbatasan lahan produksi pemanis stevia dapat dilakukan di laboratorium dengan teknik
kultur jaringan agar diperoleh metabolit sekundernya. Dalam kultur jaringan diperlukan
medium nutrisi yang cocok agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan.
Medium NP memiliki komposisi hampir sama dengan medium MS namun kandungan garamgaram mineralnya lebih rendah dan telah terbukti dapat menginduksi kalus eksplan daun
stevia lebih cepat dibandingkan dengan medium MS. Zat pengatur tumbuh baik eksogen
maupun endogen juga sangat diperlukan untuk merangsang pembelahan sel dan
dediferensiasi eksplan agar membentuk kalus. Auksin menginduksi pembentangan sel
terutama dengan menaikkan kemungkinan pemanjangan dinding sel. Pada umumnya auksin
digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus dengan memacu pemanjangan sel di dalam
jaringan tanaman (Davies, 2004). Zat pengatur tumbuh 2,4 D merupakan salah satu jenis
auksin yang memiliki peran inisiasi kalus pada jaringan tanaman (Flick, et al. dalam Lestari
2011).

Induksi kalus tercepat terjadi pada perlakuan 2,4 D 1,0 mg/l; 1,5 mg/l; dan 2,0 mg/l;
yaitu 8 hari. Induksi kalus terjadi karena pemberian 2,4 D eksogen pada medium NP yang
digunakan untuk menumbuhkan eksplan berpengaruh terhadap sel-sel eksplan stevia
sehingga terjadi pemanjangan sel (Hayati et al., 2010) untuk membentuk kalus sedangkan
pada kontrol tanpa penambahan 2,4 D (perlakuan 2,4 D 0 mg/l) kalus tidak terinduksi. Tidak
terbentuknya kalus pada perlakuan E dikarenakan sel-sel eksplan tidak kompeten untuk
mengekspresikan totipotensi sehingga tidak terjadi induksi kalus (Smith, 2013). Tekstur kalus
hampir semua perlakuan adalah kompak kecuali pada perlakuan 2,4 D 0 mg/l. Pada perlakuan
2,4 D 0 mg/l tidak terjadi induksi kalus, eksplan daun hanya menggulung hingga hari terakhir
pengamatan yaitu hari ke-40. Hartmann dan Kester menyebutkan bahwa tekstur kalus
kompak terbentuk karena pembelahan sel-sel eksplan stevia terjadi hanya pada bagian
meristematik yang terletak pada bagian luar sel perifer, tidak pada seluruh bagian eksplan
dikarenakan lapisan dalamnya terdiri dari sel mixoploid yang merupakan jaringan tua dan
tidak membelah lagi. Proses fisiologi dan genetik yang terjadi akan berbeda dengan lapisan
luar, kemudian pembelahan sel pada bagian luar eksplan berkurang sehingga kalus menjadi
kompak (Katuuk, 1989).
Kalus pada perlakuan 2,4 D 0,5 mg/l berwarna hijau, perlakuan 2,4 D 1,0 mg/l
berwarna hijau putih sedangkan pada perlakuan 2,4 D 1,5 mg/l; dan 2,4 D 2,0 mg/l; berwarna
kuning. Kalus yang berwarna hijau merupakan kalus yang di dalam sel-selnya masih
terkandung klorofil, kalus yang berwarna hijau ini didapat dari perlakuan dengan konsentrasi
2,4 D lebih rendah. Pada kalus yang berwarna kuning telah terjadi reduksi pembentukan
klorofil dihasilkan oleh perlakuan yang memiliki konsentrasi 2,4 D lebih tinggi daripada
kalus berwarna hijau. Menurut Katuuk (1989) 2,4 D yang ditambahkan dalam medium NP
sebagai auksin bersifat sebagai penghambat terhadap pembentukan klorofil, sesuai data hasil
yaitu kalus pada perlakuan 2,4 D 0,5 mg/l berwarna hijau, pada perlakuan 2,4 D 1,0 mg/l
berwarna hijau putih sedangkan pada perlakuan 2,4 D 1,5 mg/l; dan 2,4 D 2,0 mg/l; berwarna
kuning. Pada medium NP yang digunakan telah disubtitusi dengan air kelapa 20%. Menurut
Katuuk (1989) air kelapa mengandung kalori, protein dan mineral juga mengandung
sitokinin, keberadaan sitokinin dalam medium yang ditanami eksplan daun stevia mampu
bekerja secara sinergis dengan 2,4 D sehingga eksplan mengalami stres yang diarahkan dalam
peningkatan pembelahan sel secara terus menerus. Interaksi auksin dan sitokinin ini
selanjutnya akan menginisiasi kalus dari stevia. Peningkatan pembelahan sel ini akan
meningkatkan ukuran kalus sehingga biomassa kalus juga akan bertambah.

Gula sebagai pemanis banyak dikonsumsi oleh masyarakat sehari-hari, akan tetapi
bila terlalu banyak mengkonsumsi gula dapat menimbulkan efek yang merugikan kesehatan.
Pada tahun 1915, asupan gula perorang pertahun sekitar 17 pound.1 Secara dramatis,
kenaikan tersebut terjadi pada tahun 1980 menjadi 124 pound dan akhir-akhir ini konsumsi
gula sekitar 155 pound.1 Yang menarik, prevalensi penderita diabetes juga meningkat dari
13,6 orang per 100 penduduk pada tahun 1963 menjadi 54,5 per 1000 penduduk pada tahun
2005. Hubungan antara konsumsi gula dan penyakit diabetes adalah akibat asupan gula yang
tinggi membuat pankreas bekerja keras untuk memproduksi insulin yang dibutuhkan dalam
menormalkan kadar gula dalam darah. Produksi insulin yang berlebihan pada akhirnya dapat
menimbulkan kelelahan pankreas sehingga produksi insulin akan menurun.. Hal ini dapat
berakhir dengan tingginya kadar gula dalam tubuh dan akan mengakibatkan diabetes.
Diabetes akan membuat banyak komplikasi dalam tubuh.1,2,3
Konsumsi gula yang tinggi juga dapat menyebabkan gigi berlubang. Bakteri yang
berada di mulut, seperti Streptococci mutans akan memfermentasikan gula menjadi asam.
Asam ini menempel pada email gigi yang menyebabkan gigi berlubang. Kegemukan, juga
sering terjadi pada orang yang mengkonsumsi gula tinggi. Gula dapat mempengaruhi
keseimbangan

hormonal

yang

mengakibatkan

peningkatan

selera

makan

dan

perkembangbiakan jaringan lemak dan selulit. Di samping itu, gula juga mempengaruhi
metabolisme kalsium dalam tubuh. Osteoporosis dapat timbul karena masalah adanya
asimilasi kalsium yang dihubungkan dengan konsumsi gula yang berlebihan. Selain itu,
konsumsi gula yang tinggi juga berdampak pada sintesa hormon yang berimplikasi langsung
pada koordinasi aktivitas sistem imunitas. Hal ini mengakibatkan imunitas rendah yang
dikarakterisasi dengan meningkatnya kemampuan penerimaan tubuh terhadap beberapa
penyakit seperti virus, cystitis, infeksi kulit. Penyakit lain yang ditimbulkan karena konsumsi
gula dalam jumlah besar adalah alergi, sklerosis, gastritis, kolitis, siklus menstruasi yang
tidak teratur, riketsia, anemia, sinusitis, rinitis, astenia.2,3
Stevia yang telah digunakan sebagai pemanis alami selama bertahun-tahun di berbagai
negara, antara lain di negara-negara Amerika Selatan dan Jepang. Pemanis stevia yang
berasal dari daun Stevia rebaudiana Bertoni merupakan tumbuhan perdu asli dari Paraguay.
Daun stevia mengandung pemanis alami non kalori dan mampu menghasilkan rasa manis 70400 kali dari manisnya gula tebu. Pada tahun 1887 peneliti ilmiah Amerika Antonio Bertoni
menemukan tanaman stevia dan menamakannya Eupatorium rebaudianum Bertoni, kemudian
dimasukkan dalam genus stevia pada tahun 1905. Diduga lebih dari 80 jenis spesies stevia
tumbuh liar di Amerika Utara dan 200 spesies alami di Amerika Selatan, namun hanya Stevia

rebaudiana yang diproduksi sebagai pemanis. Sejak tahun 1970, stevia digunakan di Jepang.
Ekstrak stevia menjadi sangat populer dan sekarang digunakan sebagai pemanis secara
komersial dengan pasar di atas 50%. Stevia digunakan sebagai pemanis mulai dari saus
kedelai, sayursayuran hingga minuman ringan. Sebagai pemanis tanpa kalori, tanpa
penambahan bahan kimia dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius, stevia cepat
populer si seluruh dunia.4
Daun stevia mengandung: apigenin, austroinulin, avicularin, beta-sitosterol, caffeic
acid, kampesterol, kariofilen, sentaureidin, asam klorogenik, klorofil, kosmosiin, sinarosid,
daukosterol, glikosida diterpene, dulkosid A-B, funikulin, formic acid, gibberellic acid,
giberelin, indol-3-asetonitril, isokuersitrin, isosteviol, jihanol, kaempferol, kaurene, lupeol,
luteolin, polistakosid, kuersetin, kuersitrin, rebaudiosid A-F, skopoletin, sterebin A-H, steviol,
steviolbiosid, steviolmonosida, steviosid, steviosid a-3, stigmasterol, umbelliferon, dan
santofil (5). Kandungan utama daun stevia adalah derivat steviol terutama steviosid (415%) ,rebausid A (2-4%) dan C (1-2%) serta dulkosida A (0,4-0,7%).6
Stevia yang ditanam di Indonesia berasal dari Jepang, Korea dan Cina. Bahan
tanaman tersebut berasal dari biji sehingga pertumbuhan tanaman stevia di lapangan sangat
beragam. Kualitas daun stevia dipengaruhi banyak faktor lingkungan seperti jenis tanah,
irigasi, penyinaran dan sirkulasi udara. Selain itu juga dipengaruhi oleh gangguan bakteri dan
jamur. Kualitas pemanis stevia didasarkan atas aroma, rasa, penampilan dan tingkat
kemanisannya. Tidak seperti pemanis lainnya, stevia tidak memberikan rasa pahit pada
akhirnya. Rahasia kemanisan stevia terletak pada molekul kompleksnya yang disebut
steviosid yang merupakan glikosida tersusun dari glukosa, sophorose dan steviol.7
Stevia menawarkan banyak keuntungan bagi kesehatan yang telah dibuktikan oleh
lebih dari 500 penelitian, diantaranya: Tidak mempengaruhi kadar gula darah, aman bagi
penderita diabetes, mencegah kerusakan gigi dengan menghambat pertumbuhan bakteri di
mulut, membantu memperbaiki pencernaan dan meredakan sakit perut. Baik untuk mengatur
berat badan, untuk membatasi makanan manis berkalori tinggi.8 Stevia juga tidak rusak pada
suhu tinggi seperti sakarin atau aspartam. Steviosid tahan pada pemanasan hingga 2000C
(3920 Fahrenheit), sehingga dapat digunakan pada hampir semua resep makanan.8
Meskipun demikian, Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) belum
mengizinkan stevia sebagai pemanis pengganti gula karena belum ada kajian yang
membuktikan dampaknya. Pemanis pengganti gula dikenal di kalangan masyarakat sebagai
pemanis rendah kalori dan dikonsumsi penderita diabetes. Pemanis pengganti gula yang
beredar di pasaran umumnya berasal dari hasil sintesa kimia seperti: aspartame, sakarin,

siklamat, dll. Pemanis buatan ini mempunyai rasa manis kurang lebih 200-700 kali gula.
Selain itu pemanis ini banyak menimbulkan masalah bagi kesehatan dan diduga dapat
menimbulkan kanker, sehingga pemakaiannya dibatasi. Di Indonesia menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/1X/88 kadar maksimum asam siklamat yang
diperbolehkan dalam makanan berkalori rendah dan untuk penderita diabetes melitus adalah
3 g/kg sebagai bahan makanan/minuman dan WHO menetapkan batas konsumsi harian
siklamat yang aman (ADI) adalah 11 mg/kg berat badan.10 Untuk pemakaian sakarin
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 208/Menkes/Per/1V/85 tentang pemanis
buatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/1X/88 tentang bahan
tambahan pangan, menyatakan bahwa pada makanan atau minuman olahan berkalori rendah
dan untuk penderita penyakit diabetes melitus kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan
adalah 300 mg/kg.10 Oleh karena itu banyak ilmuwan mencari pemanis lain yang lebih alami
dengan harapan selain berkhasiat juga aman untuk dikonsumsi.
Farmakodinamik dan farmakokinetik Absorbsi, distribusi dan ekskresi
Steviosid dihidrolisa menjadi steviol, sebelum diabsorbsi pada usus halus. Absorpsi
steviosida dan rebausida A sangat rendah dengan koefisien permiabilitas 0,16. 10-6 dan 0,11.
10-6cm/detik, sedangkan steviol pada konsentrasi 100 mmol/l diabsorpsi lebih efektif dengan
koefisien permeabilitas yang sangat tinggi yaitu 44,5. 10-6cm/detik sedangkan di secretory
7,93. 10-6 cm/detik.11 Absorpsi aglikon steviol dalam bentuk tunggal (steviol) lebih baik
dibandingkan dalam bentuk campuran stevia (rebausida A, rebausida C, steviosida dan
dulkosida A), lebih dari 93% tersisa dalam cairan mukosal dan 76% steviol diabsorpsi pada
kedua duodenum-jejunum dan ileum.12 Penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk, 2004,
menunjukkan steviol dengan kadar rendah ditemukan dalam plasma setelah 8 jam sejak
pemberian secara oral 0,5 g/kgbb steviosid (kemurnian 95%). Penelitian mengetahui biotransformasi steviosid dilakukan dengan menginkubasikan 50 mg/l steviosid (kemurnian
>96%) dalam limbah kotoran ayam (chicken excreta) dengan kondisi anaerob selama 24 jam,
hasilnya: 20% steviosid dihidrolisis menjadi steviol.14
Penelitian lain juga dilakukan dengan menginkubasikan 40 mg steviosid (kemurnian
85%) dan 40 mg rebausid A (kemurnian 90%) dalam feses yang berasal dari 11 sukarelawan
dengan kondisi anaerob selama 72 jam. Steviosid dihidrolisis menjadi aglikon steviol dalam
10 jam dan rebaudiosid dalam 12 jam. Steviol tetap tidak berubah selama 72 jam,
menunjukkan enzim bakteri tidak dapat memutuskan struktur steviol.15 Penelitian mengenai
metabolisme dari steviol pada tikus dan manusia dilakukan menggunakan preparat human
liver microsomal yang berasal dari 10 orang donor dan preparat liver microsomal tikus. Profil

metabolit yang didapat dari mikrosomal hati manusia serupa dengan tikus, analisis
spektrokopi masa menunjukkan adanya 2 dihidroksi metabolit dan 4 monohidroksi metabolit.
Satu tambahan monohidroksimetabolit terdapat pada preparat tikus. Liver microsomal
clerance dari steviol pada manusia 4 kali lebih rendah dibandingkan dengan tikus.13
Efek dan khasiat
Steviosid mempunyai efek antihiper-glikemik dengan meningkatkan respon insulin
dan menekan kadar glukagon dan antihipertensi, secara nyata menekan tekanan darah sistolik
dan diastolik pada hewan coba dan manusia. Efek antihiperglikemik ditunjukkan dengan
penelitian yang dilakukan Jeppesen dkk, 2000, steviosid (kemurnian 95%) dengan kadar 109-10-3 mol/l dan steviol (kemurnian 90%) berefek meningkatkan sekresi insulin pada pulaupulau pankreas tikus dan dalam sel-sel B pankreas (INS-1). Efek maksimal terjadi pada 10-6
mol/l steviol dan steviosid 10-3 mol/l. Efek insulinotropik tergantung dari kadar glukosa
darah.16 Juga penelitian dengan menggunakan tikus diabetes tipe 2 Goto-Kakizaki yang
diberi steviosid (kemurnian 96%), dosis 200 mg/kgbb secara intra vena, menunjukkan bahwa
steviosid dapat menekan glukagon plasma, meningkatkan respon insulin.17
Mekanisme kerja steviosid sebagai antihiperglikemik ditunjukkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Jeppesen dkk, 2003. Steviosid bekerja dengan meningkatkan kandungan
insulin dalam sel INS-1, dengan menginduksi gene yang terlibat dalam glikolisis. Steviosid
mengatur ekspresi liver-jenis piruvat dan asetil koenzim A (CoA) karboksilase dan ekspresi
karnitin palmitoil transferase 1 (CPT-1), rantai panjang asil-CoA dehidrogenase, sistolik
epoksida hidrolase dan 3-oksoasil-CoAtiolase. Selain itu, steviosid juga memperbaiki
mekanisme nutrient sensing, meningkatkan rantai panjang sitolik fatty asil-CoA dan mengatur
bagian bawah fodfodiesterase 1 (PDE1). Steviol menunjukkan efek yang sama.18
Penelitian lain tentang efek steviosid terhadap glukosa dalam metabolisme insulin
dengan 2 model diabetes pada tikus dilakukan oleh Hsieh dkk, 2004. Tikus yang diinduksi
STZ diabetes dan NIDDM diabetes dengan pemberian makanan fruktosa. Steviosid dengan
kadar 0,5 mg/kg diberikan 2 kali sehari, penurunan kadar glukosa darah pada induksi STZ
lebih rendah, dibandingkan dengan NIDDM tikus diabetes. Steviosid tergantung dari dosis
yang diberikan menurunkan kadar protein dari fosfofenol piruvat karboksinase (PEPCK) dan
PEPCK mRNA setelah 15 hari pemberian. Steviosid juga mengurangi resistensi insulin pada
tikus diabetes seperti yang ditunjukkan penurunkan kadar glukosa oleh tolbutamid.19
Penelitian yang dilakukan Lailerd dkk, 2004, pada tikus Zucker tidak berlemak dan
tikus Zucker resisten insulin-obese, diberi 200 mg/kgbb dan 500 mg/kgbb steviosid secara
oral, hasilnya menunjukkan tidak ada efek pada glukosa plasma, insulin atau kadar asam

lemak bebas pada kedua kelompok. Pada dosis lebih tinggi, steviosid meningkatkan
sensitivitas insulin pada tikus tidak berlemak dan obese. Tidak ada efek yang teramati setelah
pemberian 200mg/kgbb steviosid.20
Penelitian yang dilakukan oleh Hsieh dkk, menunjukkan bahwa steviosid sebagai supplemen
makanan yang dikombinasikan dengan abalon, suatu protein kedele, isoflavon dan serat
kotiledon dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes tipe 2 dan memperbaiki
sindrom metabolik. Kombinasi steviosid dan suplemen kedele nampaknya memiliki potensi
sebagai pengobatan efektif sejumlah penyakit dengan sindrom metabolik, yaitu hiperglikemi,
hipertensi, dan dislipidemia.19
Efek antihipertensi steviosid ditunjukkan dengan penelitian yang menggunakan tikus
diabetes tipe 2 Goto-Kakizaki yang diberi air minum mengandung 25 mg/kgbb steviosid
(kemurnian > 99,6%), setiap hari selama 6 minggu, menunjukkan efek antihiperglikemik
dengan meningkatkan respon insulin dan menekan kadar glukagon serta secara nyata
menekan tekanan darah sistolik dan diastolik.18

Penelitian lain yang bertujuan untuk

mengevaluasi efek antihipertensi steviosid pada tikus dengan strain yang berbeda
(Normotensive

Wistar

Kyoto

(NTR),

Sensitive

Hypertensive

Rats

(SHR),

Deoxycorticosterone acette salt (DOCA-NaCl) sensitive Hypertensive Rats (DHR) dan Renal
Hypertensive Rats (RHR)). Steviosid dengan konsentrasi 50, 100 dan 200 mg/kg diberikan
secara intraperitoneal (ip) kepada tikus tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
steviosid mempunyai efek hipotensi yang signifikan pada tikus dengan strain yang berbedabeda. Tekanan darah akan kembali pada nilai semula setelah obat dihentikan selama 2-3
hari.21
Steviosid secara signifikan juga menyebabkan efek hipotensi pada anjing. Hal ini
ditunjukkan dengan pemberian steviosid 200mg/kg secara nasogastrik akan menghasilkan
penurunan tekanan darah pada menit ke 60 dan kembali ke baseline setelah 180 menit.
Penurunan tekanan darah terjadi lebih cepat dan efektif setelah injeksi iv steviosid
50mg/kgbb, maksimum pada 5-10 menit (20). Rebausida A, suatu komponen yang diisolasi
dari daun tanaman Stevia rebaudiana Bertonii (SrB) menunjukkan efek yang sama dengan
steviosid.22
Efek steviosid pada manusia ditunjukkan oleh penelitian berikut ini
Penelitian uji toleransi glukosa dari ekstrak 5 gram daun stevia rebaudiana yang
diberikan setiap 6 jam selama 3 hari pada 16 sukarelawan, secara signifikan meningkatkan
toleransi glukosa, mengurangi kadar gula dalam plasma selama pengujian dan setelah puasa
semalam pada seluruh sukarelawan.23 Penelitian tentang suplementasi 1 gram steviosid

dalam makanan pada 12 pasien diabetes tipe 2 yang tergolong akut, menunjukkan adanya
penurunan kadar glukosa darah sesudah makan. Steviosid meningkatkan Indeks insulin
sekitar 40% dibandingkan dengan kontrol (P=0,01). Steviosid mengurangi kadar gula darah
setelah makan.24
Penelitian yang bertujuan untuk menentukan efek steviosid pada Left Ventricular
Mass Index (LVMI) dan Quality of Life (QOL), menggunakan metoda : multicenter, secara
acak, double-blind, placebo control trial di Cina. Penelitian ini dilakukan pada wanita dan
pria antara 20-75 tahun yang mengidap hipertensi ringan dengan tekanan darah sistolik 140159 mm Hg dan tekanan diastolik 90-99 mm Hg. Pasien mendapatkan 500mg serbuk
steviosid atau plasebo 3 kali sehari selama 2 tahun. Penelitian ini menunjukkan pemberian
oral steviosid pada pasien yang hipertensi ringan, secara signifikan menurunkan tekanan
darah sistol dan diastol dibandingkan dengan plasebo. Kualitas hidup (QOL) juga meningkat,
dan tidak ada efek samping yang dicatat.20
Penelitian yang dilakukan untuk meng-evaluasi pengaruh glikosida steviol terhadap
kadar glukosa dan tekanan darah pada 3 kelompok individu (diabetes tipe 1, tipe 2 dan tanpa
diabetes dan tekanan darah normal), dilakukan secara random, double blind, placebo control,
selama 3 bulan menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada kadar gula darah, HbA1c,
tekanan darah. Steviosid dengan kadar 250 mg/hari aman tanpa efek farmakologi.25
Penelitian yang dilakukan di Uruguay pada laboratorium menggunakan hewan coba
dan manusia dengan diabetes tipe 1 dan 2 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan
pada tekanan darah, kadar glukosa darah dan glycated hemoglobin (HbA1c) atau kadar
glukosa darah dalam perioda beberapa bulan. Meskipun demikian ditemukan juga bahwa
stevia aman, tidak ada efek samping yang terjadi selama penelitian.25 Penelitian yang sama
menggunakan rebausida A dilakukan pada 120 subyek dengan diabetes tipe 2 menunjukkan
tidak ada perubahan yang sinifikan pada HbA1c, kadar gula puasa, pelepasan insulin dan
kadar C-peptida.25
Toksisitas kronik
Penelitian tentang toksisitas kronik dilaku-kan dengan menambahkan steviosid
(kemurnian 95,6%) pada makanan tikus. Pada makanan seratus tikus Fischer 344 yang terdiri
dari 50 jantan dan 50 betina ditambahkan steviosid dengan kadar 0, 2,5 dan 5% (setara
dengan 0,970 dan 2000mg/kgbb) untuk jantan dan kadar 0, 1100 dan 2400 mg/kgbb untuk
betina, setiap hari selama 104 minggu. Dosis dievaluasi setiap 13 minggu. Hasil analisis
menunjukkan berat badan tikus sedikit menurun dan hubungan dosis-respon terlihat pada
jantan (2,3% dan 4,4%) dan betina (2,4% dan 9,2%) pada dosis terendah dan tertinggi. Pola

konsumsi makan tidak berbeda pada ke-2 kelompok. Survival rate pada tikus jantan yang
menerima steviosid 5% secara signifikan menurun (60%) dibandingkan dengan kontrol
(78%). Pada hewan betina dan jantan yang mendapat steviosid dosis tinggi, berat ginjal
rendah, tidak ada bukti hispatologikal neoplastik atau lesi non neoplastik yang disebabkan
perlakuan pada jaringan atau organ kecuali adanya penurunan insiden mammary adenomas
pada betina dan mengurangi keparahan kronik nefropati pada tikus jantan. Peneliti
menyimpulkan bahwa steviosid tidak bersifat karsinogenik pada tikus Fischer 344 yang
digunakan pada penelitian ini.26,27
Penelitian lain tentang toksisitas kronik steviosid (kemurnian tidak ditetapkan)
dilakukan melalui model 2 tahap karsinogenik kulit pada mencit. Kelompok pertama terdiri
dari 15 mencit ICR jantan diawali dengan pemberian 7,12-dimetilbenzaantrasen (DMBA,
100mg)

secara

topikal.

Satu

minggu

kemudian

mencit

tsb

diberikan

12-O-

tetradekanoilforbol-13-asetat (TPA1mg) 2 kali per minggu selama 20 minggu. Pemberian 68


mg steviosid secara topikal dilakukan 1jam sebelum diberikan TPA. Steviosid secara
signifikan menurunkan risiko mencit yang terkena papilloma pada10 dan15 minggu.27
Penelitian yang sama dilakukan pada kelompok yang terdiri dari 15 mencit betina SENCAR
yang diawali dengan pemberian 33,1 mg peroksinitril diikuti dengan pemberian TPA dua kali
perminggu selama 20 minggu. Mencit-mencit tersebut diberi air minum yang mengandung
0,0025% steviosida dimulai 1 minggu sebelum sampai 1 minggu setelah terbentuknya tumor.
Steviosida secara signifikan menurunkan risiko tumbuhnya papiloma pada mencit pada10 dan
15 minggu dan jumlah papilloma tiap mencit pada 10, 15, 20 minggu.28
Steviosid mempunyai toksisitas akut (LD 50) pada tikus, mencit dan hamster berkisar
8-15 g/kgbb/hari dan ADI (Acceptable Daily Intake) adalah 7,9 mg/kgbb/hari berdasarkan
NOEL (No Observed Effect Level 970 mg/kgbb. Menurut literatur ADI diperkirakan 20 lebih
dari mg/kgbb (Geuns, 2002). Sedangkan steviol mempunyai ADI 0-2 mg/kgbb/hari
berdasarkan NOEL 383 mg/kgbb/hari.29
Mutagenesitas
Steviol dan derivatnya steviol-16, 17-epoksida,15-okso-steviol,steviol metilester dan
13,16-seco-13-okso-steviol metilester menyebab-kan mutasi pada S typhimurium TM677
dengan adanya aktivasi sistem metabolik. Sistem metabolit menurunkan mutagenesitas
steviol metilester 8,13-lakton. Hasil: 15 -hidroksi steviol, steviol metilester, dan 13,16-seco13-hidroksi-steviol metilester memberikan hasil negatif.30 Steviol memberikan hasil negatif
dalam penentuan mutasi sel dan kerusakan DNA dalam sel kultur.30,31

Kadar Steviol hanya sedikit terdapat dalam daun stevia tetapi perlu adanya pengaturan
dosis stevia, sesuai dengan yang dikeluarkan oleh FDA bahwa stevia sejak tahun 2008
diizinkan untuk digunakan sebagai dietary supplement, FDA menggolongkan stevia dengan
kategori GRAS (Generally Recognize As Safe). Meskipun stevia banyak digunakan sebagai
pemanis di banyak negara khususnya di Amerika Latin dan Jepang, namun Uni Eropa
melarang penggunaan stevia sampai dilakukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan Cina dan
Singapura melarang penggunaan stevia. Pada April 2010 European Food Safety Authority
(EFSA) dalam panel Food Additive and Nutrient Source (ANS) memberikan opini positif
tentang keamanan glikosida steviol sebagai food additive.34
Menurut WHO Acceptable Daily Intake untuk glikosida steviol 4 mg/kgbb/hari.34
Dosis maksimum yang dianjurkan di negara Jepang 3 mg/kgbb/hari,dan di Amerika 5
mg/kgbb/hari pada dosis tersebut stevia aman sebagai pemanis pengganti gula namun tidak
berkhasiat?29

Stevia ditunjuk sebagai produk aman oleh FDA berdasarkan pada hasil

konsumsi 1500 mg perhari selama dua tahun. Bagaimanapun, FDA tidak merekomendasikan
stevia digunakan bagi wanita hamil dan menyusui, paling tidak hingga penelitian dalam
jangka panjang dilakukan. WHO pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa steviosid dan
rebaudiosid A tidak bersifat mutagenik baik secara in vitro maupun in vivo dan mutagenesitas
steviol dan derivatnya yang positif secara in vitro tidak dapat diekspresikan pada in vivo.35
WHO juga melaporkan bahwa steviosid, rebaudiosid A dan steviol tidak bersifat
karsinogenik, steviosid juga memberikan efek farmakologi pada pasien hipertensi dan/atau
diabetes tipe 2 tetapi memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penentuan dosis.35
Steviosid dan rebaudiosid A dihidrolisis menjadi steviolbiosid kemudian dengan cepat
diubah menjadi steviol, sebelum diabsorpsi pada usus halus. Steviosid dihidrolisis lebih
lambat dibandingkan dengan rebaudiosid A. Absorbsi stevia dalam bentuk aglikon steviol
lebih mudah dibandingkan dengan bentuk glikosida dan absorbs dalam bentuk tunggal lebih
mudah dibandingkan dengan campuran. Steviosid dan rebaudiosid A aman, tidak bersifat
mutagenik dan tidak memberikan khasiat dan efek samping pada dosis rendah. Efek sebagai
insulinotropik, antidiabetik dan antihipertensi terjadi pada dosis yang cukup tinggi.
Sedangkan steviol bersifat mutagenik secara in vitro terutama dengan adanya aktivasi
metabolit namun secara in vivo tidak bersifat mutagenik.
Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) adalah tanaman tahunan berbentuk perdu.
Tingginya 30 90 cm dengan batang berbentuk bulat, beruas dan bercabang hijau. Daun
Stevia saling berhadapan satu sama lain, berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, runcing
pada pangkalnya, tepi daun rata dengan panjang 2 - 4 cm & lebar 1 5 cm, tulang daun

menyirip & berbulu serta memiliki tangkai yang pendek berwarna hijau. Produk utama Stevia
adalah daun yang digunakan sebagai bahan baku pembuat gula atau pemanis alami. Daun
stevia mengandung steviosida yaitu suatu senyawa glikosida yang memiliki tingkat
kemanisan 200 300 kali lebih tinggi dibandingkan gula tebu atau sukrosa. Rasa manis
siklamat sebesar 30 kali gula tebu. Jika rendemen glikosida yang didapat dari daun tanaman
stevia sebesar 2.5%, dengan produksi daun kering sekitar 2.5 ton/ha/tahun, maka diperlukan
20.000-30.000 ton daun stevia untuk mengganti pemanis sintetik di Indonesia (Rodiansah,
2007).
Klon tanaman Stevia cukup banyak. Pusat Penelitian Perkebunan Bogor dan PT
Garsela telah menghasilkan sejumlah klon pilihan dari hasil seleksi terhadap 10.000 tanaman
Stevia yang berasal dari Jepang. Indentifikasi klon stevia didasarkan pada kriteria produksi
daun yang tinggi, pembungaan yang lambat, pertumbuhan yang baik dan kadar pemanis yang
tinggi. Klon tanaman stevia yang telah dikembangkan antara lain BPP 02, BPP 08, BPP 16,
BPP 18, BPP 22, BPP 26, BPP 43, BPP 46, BPP 50, BPP 68, BPP 70, BPP 72, BPP 76
(Rukmana, 2003).
Di Indonesia pembudidayaan dan pengolahan tanaman Stevia berkembang pesat, hal
ini dapat dilihat dari semakin luasnya areal pertanaman Stevia dan semakin beragamnya
penggunaan produk stevia. Dengan makin dikenalnya stevia sebagai bahan pemanis
pengganti gula, perlu dilakukan pengembangan tanaman Stevia. Salah satu pengembangan
yang dilakukan adalah perbanyakan tanaman Stevia. Stevia dapat dikembangbiakkan dengan
cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan Stevia dengan generatif dapat dilakukan melalui
biji sedangkan perbanyakan tanaman stevia secara vegetatif dapat dilakukan dengan anakan,
stek batang dan kultur jaringan.
1. Perbanyakan Stevia dengan biji
Biji Stevia berbentuk jarum yang berwarna putih, biji harus dibersihkan dari kotorankotoran yang menempel. Sebelum ditanam dilahan, biji Stevia harus disemai terlebih dahulu.
Biji-biji yang telah disemai harus dijaga kelembabannya dengan cara ditutup plastik
transparan yang telah dilubangi. Biji akan berkecambah dalam waktu 4 hari. Plastik penutup
dapat dibuka saat kecambah sudah berumur 2 minggu. Kecambah yang sudah memiliki dua
pasang daun dapat dipindahkan ke bedengan. Kelembaban media persemaian juga dapat
dilakukan dengan memberikan sedikit air pada bagian bawah media (Goettemoeller, 2006).
Kriteria bibit yang siap ditanam di lapang antara lain memiliki 6 daun, bibit yang sehat
mempunyai 5-6 daun, tinggi tanaman 12-15 cm, batang sedikit berkayu, daun lebar berwarna
hijau, daun pucuk berbentuk konkaf, mempunyai 5-7 akar sekunder, 2-3 daun telah memiliki

cabang (Rahayu, 1986). Persentase biji yang tumbuh berbeda dari jumlah biji yang disemai.
Keberhasilan perbanyakan melalui biji tergantung dari pengalaman petani. Beberapa
pembibitan melalui biji tidak dapat berkecambah sama sekali. Perkecambahan biji Stevia
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan kontaminasi
media tanam. Perbanyakan tanaman Stevia juga tergantung pada persiapan lahan yang tepat,
pengelolaan gulma & hama, kelembaban di dalam tanah, panen hati dll (Anonim 1, 2013).
2. Perbanyakan Stevia melalui tunas / bonggol
Penjual bibit Stevia memilih menjual dalam bentuk bonggol untuk menghindari
kematian bibit muda saat di perjalanan. Bonggol Stevia dapat ditanam di tempat yang tidak
langsung terkena matahari. Setelah bertunas dan tumbuh sekitar 15 sentimeter (cm), bonggol
Stevia baru bisa dipisah-pisah dan ditanam langsung di lahan. Tunas yang keluar menandakan
bahwa bonggol masih hidup. Satu bonggol bisa menghasilkan 20 bibit baru. Untuk mendapat
tunas/bonggol yang bermutu, harus dipilih tanaman induk yang baik antara lain tanaman
mempunyai pertumbuhan dan penampilan yang baik, tanaman sehat tidak terserang hama dan
penyakit dan bonggol berasal dari tanaman yang mempunyai daun dengan kandungan
pemanis yang tinggi. Penanaman dapat dilakukan pada musim hujan, karena pada awal
penanaman dibutuhkan naungan dan pengairan yang cukup (Rahayu, 1986).
3. Perbanyakan Stevia melalui Stek
Perbanyakan melalui stek adalah salah satu perbanyakan Stevia secara vegetatif yang
banyak dilakukan oleh para petani. Keuntungan dari perbanyakan ini adalah dapat dihasilkan
tanaman yang sempurna dalam waktu relatif lebih cepat dibanding secara generatif
(Yusmaini, 2008). Dengan perbanyakan melalui stek, pertumbuhan tanaman lebih cepat dan
memiliki sifat yang sama dengan tanaman induk. Oleh karena itu pemilihan tanaman induk
yang tepat adalah hal yang penting dalam perbanyakan ini. Kriteria pohon induk yang
bermutu yaitu memiliki pertumbuhan dan penampilan yang baik, berasal dar pohon induk
yang sehat, mengandung kadar stevioside yang tinggi. Stek diambil dari batang tanaman
bagian atas dengan 5-6 pasang daun. Agar pertumbuahn akar dapat terpacu, diperlukan
perlakuan dengan memberikan zat pengatur tumbuh (Rahayu, 1986).
4. Perbanyakan Stevia melalui Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman secara massal
dan cepat untuk menyediakan bahan tanam unggul. Penelitian telah dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan multiplikasi tunas dan keragaan planlet stevia.

Penelitian

tersebut telah dilakukan oleh Sumaryono dan Masna, 2011 yaitu dengan menggunakan
eksplan tunas pucuk dan tunas samping dari planlet yang ditumbuhkan pada medium MS.

Ada tiga tahap yang dilakukan dalam perbanyakan secara kultur jaringan yaitu tahap inisiasi
tunas, tahap perbanyakan tunas dan tahap perakaran (Wahyono, 2005).
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gula sangatlah tinggi, namun produksi gula di
Indonesia hanya dapat mencapai 60% dari kebutuhan masyarakat, yaitu 2,3 juta ton dari total
kapasitas produksi 3,54 juta ton. Sedangkan kekurangan sebesar lebih dari 1 juta ton masih
mengandalkan pasokan impor (Musanif, 2012). Untuk memenuhi permintaan gula yang
semakin meningkat pemerintah telah mengupayakan program untuk mempercepat pencapaian
swasembada gula tahun 2014, namun sampai saat ini masih banyak kendala untuk
mewujudkan swasembada gula. Untuk itu diperlukan strategi alternatif untuk memenuhi
kekurangan kebutuhan gula, salah satunya dengan mengeksplor keanekaragaman hayati
tanaman penghasil gula. Beberapa tanaman penghasil gula selain tebu yang sudah dikenal
adalah: aren, jagung, sorgum, kelapa, agave, dan stevia.
Pemanfaatan stevia sebagai pemanis sudah berkembang di negara-negara maju seperti
Amerika dan Jepang. Di Jepang, 5,6% gula yang dipasarkan adalah gula stevia atau yang
dikenal dengan nama sutebia. Di Indonesia tanaman Stevia dikenal pada tahun 1977, namun
di Indonesia, pemanfaatan stevia sebagai bahan pemanis sangatlah terbatas. Budidaya
tanaman stevia juga jarang dilakukan. Selain itu, tanaman ini masih relatif sedikit karena
habitat hidupnya terbatas (Adinegoro, 1986 dalam Rodiansah, 2007). Bagian tanaman stevia
yang digunakan sebagai pemanis adalah daunnya. Daun stevia mengandung glikosida yang
didalamnya mengandung komponen utama steviosida yang dapat menghasilkan rasa manis
dengan tingkat kemanisan 200- 300 kali lebih tinggi dibandingkan gula tebu atau sukrosa
(Buchori, 2007).
Perbanyakan stevia dengan biji kurang efektif karena rendahnya persentase
perkecambahan biji (Goettemoeller and Ching, 1999). Selain itu, perbanyakan menggunakan
biji (generatif) lebih lama masa produksinya dan dapat menghasilkan keturunan yang tidak
sama dengan induknya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Salah satu alternatif untuk
mendapatkan tanaman stevia dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat
adalah dengan melakukan perbanyakan secara in vitro. Teknik kultur jaringan diperlukan
untuk menghasilkan bibit unggul stevia klonal secara massal, cepat, dan identik secara
genetik. Keuntungan perbanyakan stevia secara in vitro diantaranya dapat menghasilkan
multiplikasi tanaman dengan cepat sehingga di kemudian hari tanaman ini dapat
menghasilkan gula alami yang diproduksi sebagai pilihan lain selain gula tebu (Hendaryono
dan Wijayani, 1994).

Perbanyakan tanaman stevia secara in-vitro dilakukan dengan menggunakan media


MS (Murashige and Skoog), sebagai medium baku kultur jaringan yang biasa digunakan. Zat
pengatur tumbuh yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah sitokinin dan auksin.
Peranan sitokinin dan auksin terhadap jaringan berbeda-beda. Jika sitokinin diberikan
bersama dengan auksin, maka akan memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi
jaringan. Pada pemberian auksin dengan kadar yang relatif tinggi menyebabkan diferensiasi
kalus cenderung kearah pembentukan primodia akar. Sedangkan pada pemberian sitokinin
dengan kadar yang relatif tinggi, diferensiasi kalus akan cenderung kearah pembentukan
primodia batang atau tunas. Pemberian hormon pada kultur jaringan dapat ditentukan sesuai
dengan tujuannya, misalnya untuk induksi tunas, pemberian kombinasi sitokinin dan auksin
dengan rasio perbandingan 4:1. Kombinasi zat pengatur tumbuh dapat ditentukan dengan
menggunakan metode Mohr (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Beberapa penelitian untuk menginduksi tunas Stevia rebaudiana Bertoni secara in
vitro telah dilakukan. Beberapa penelitian tersebut antara lain: Sivaram & Mukundan (2003)
menggunakan ujung tunas sebagai sumber eksplan dan mendapatkan 11,2 tunas per eksplan
pada perlakuan BA 2 ppm + IAA 1 ppm, sedangkan Anbazhagan et al (2010) mendapatkan
rata-rata 16 tunas tiap eksplan pada medium MS dengan BA 1 ppm + IAA 0,5 ppm.
Sedangkan penelitian Alhady (2011) yang menggunakan eksplan dari segmen nodus,
proliferasi maksimum diperoleh dengan menggunakan medium 2.0 ppm BAP + 0.5 ppm
kinetin. Ada juga penelitian lain yang menggunakan eksplan daun untuk perbanyakan tunas
Stevia, yaitu oleh Janarthanam et al (2009) yang menyimpulkan bahwa untuk eksplan daun
Stevia, media yang paling efektif untuk induksi kalus adalah media MS dengan tambahan
11.31 M 2,4 D dan 2.22 M BAP. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah
dilakukan, eksplan nodus stevia dapat menghasilkan tunas terbaik pada media MS dengan
kombinasi zat pengatur tumbuh BAP 1 ppm dan IAA 0,5 ppm.
Selain zat pengatur tumbuh, hal penting lain yang mempengaruhi respon eksplan
tanaman yaitu tergantung dari spesies tanaman, varietas, aksesi atau tanaman asal eksplan
tersebut. Spesies, varietas, aksesi, dan asal tanaman eksplan menyandi gen-gen yang berbeda,
sehingga ketika berinteraksi dengan lingkungan, maka akan memberikan pengaruh yang
berbeda pula. Pengaruh gen berhubungan erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Penelitian tentang pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap induksi tunas tanaman
stevia sudah banyak dilakukan. Namun penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon

aksesi dan komposisi media terbaik untuk masing-masing aksesi tanaman stevia belum
banyak dilakukan penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan
mengembangkan beberapa penelitian-penelitian sebelumnya agar didapatkan informasi
tentang respon aksesi terhadap induksi tunas stevia sehingga didapatkan suatu metode yang
efisien untuk mengetahui komposisi media yang cocok untuk masing-masing aksesi dalam
menginduksi tunas stevia secara in vitro, karena kemampuan menghasilkan tunas sangat
menentukan keberhasilan produksi bibit yang dapat diproduksi melalui kultur jaringan untuk
perbanyakan tanaman stevia secara massal dan cepat. Aksesi berpengaruh terhadap respon
jumlah tunas karena memiliki sifat (genotipe) yang berbeda dalam pertumbuhan, morfologi,
maupun kandungan kimia. Menurut rujukan [5], faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan kultur jaringan, selain komposisi media dan lingkungan yaitu genotipe.
Beberapa penelitian pada tanaman lain menunjukkan bahwa setiap genotipe (varietas)
tanaman membutuhkan komposisi media tertentu guna mendukung pertumbuhan eksplan
yang optimal [7].
Apabila dalam perbandingan sitokinin lebih besar dari auksin, maka hal ini akan
memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Menurut rujukan [7], sitokinin
adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang ditemukan pada tanaman. Zat pengatur tumbuh
ini mempunyai peranan untuk memicu proses transisi pada fase G1 (pertumbuhan sel)
menuju fase S (replikasi DNA) dan transisi pada fase G2 (fase transisi sel) menuju fase M
(mitosis) dalam proses pembelahan sel (cell division) [8]. Hal inilah yang diduga dapat
mempengaruhi kecepatan munculnya tunas pada eksplan kultur jaringan. Menurut rujukan
[9], tanaman yang memiliki batang dengan diameter yang lebih besar akan cenderung
memicu kearah pertumbuhan sekunder untuk memperbesar ukuran batang, sehingga laju
pertumbuhan primernya lebih lambat.
Tumbuhan merupakan salah satu mahluk hidup ciptaan Allah SWT yang banyak
memberikan manfaat bagi mahluk hidup yang lainnya, baik manusia maupun hewan. Allah
SWT menganugrahkan mahluknya dengan berbagai macam tanaman, salah satunya adalah
tanaman stevia (Stevia rebaudiana) yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat maupun
sebagai pemanis untuk makanan. Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuara (26) ayat 7:
Artinya: Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu berbagai macam (tumbuh-tumbuhan) yang baik? (QS. Asy-Syuara
ayat 7).
Shihab (2002) memberikan tafsiran bahwa ayat ini mengundang manusia untuk
mengarahkan pandangan hingga batas kemampuannya memandang sampai mencakup

seantero bumi, dengan aneka tanah dan tumbuhannya dan aneka keajaiban yang terdapat pada
tumbuh-tumbuhannya. Allah SWT telah menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan,
salah satunya tanaman stevia (Stevia rebaudiana Bertoni) yang ditumbuhkan oleh Allah
dengan berbagai manfaat. Tanaman ini biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai
pengganti gula sintetis sebab pada daun stevia terdapat glikosida dengan tingkat kemanisan
kurang lebih 200-300 kali lebih manis dibandingkan gula tebu atau sukrosa serta sifatnya
yang nonkalori sehingga aman jika dikonsumsi oleh penderita diabetes atau orang yang
sedang melakukan program diet. Beberapa negara termasuk indonesia stevia sedang
dikembangkan sebagai pemanis alami alternatif sebagai pengganti sakarin dan siklamat yang
diduga beresiko bagi kesehatan, menurut hasil penelitian kedua pemanis sintetis tersebut
dapat menyebabkan kanker sehingga penggunaanya mulai dikurangi. Menurut Cahyadi
(2008) dijelaskan bahwa pemanis sintetis merupakan bahan tambahan yang dapat
menyebabkan rasa manis pada pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. Bahan sintetis ini
memiliki sifat yang karsinogenik yaitu penyebab kanker. Beberapa pemanis sintetis yang
telah dikenal dan banyak digunakan adalah sakarin, siklamat dan aspartam. Berdasarkan
penjelasan tersebut keberadaan stevia sangat sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh
masyarakat, mengingat gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia.
Stevia rebaudiana Bertoni (Famili-Asteraceae) adalah satu dari 154 jenis stevia dan
satu dari dua spesies yang menghasilkan pemanis steviol glikosida (Madan, 2010., Jitendra,
2012). Glikosida dalam daun stevia terdiri dari steviosida, beberapa rebaudiosida termasuk
rebau-diosida A (reb-A), dulkosida,
dan beberapa senyawa lainnya (Geuns, 2003). Glikosida tidak mengandung kalori dan
mempunyai indeks glikemat hampir nol sehingga sesuai untuk penderita diabetes dan
seseorang yang sedang melakukan diet makanan untuk menurunkan berat badan. Stevia
digunakan pada minuman ringan rendah-kalori, bahan makanan, pasta gigi, bahan kosmetika,
antioksidan, antihipertensi, dan berbagai produk lain (Sumaryono dkk, 2011).
Sesuai dengan Chatsudthipong (2009) steviosida adalah glikosida diterpenoid, yang
terdiri dari aglikon (steviol) dan tiga molekul glukosa. Fatima (2010) menambahkan senyawa
pemanis diisolasi dari daun Stevia. Senyawa ini disebut sebagai "stevioside" yang terdiri dari
tiga molekul komplek glukosa dan satu molekul aglikon steviol, alkohol karboksilat
diterpenik. Berdasarkan banyaknya manfaat dari tanaman stevia inilah yang mendasari untuk
dilakukannya kultur jaringan yaitu kalus. Kultur kalus juga menjadi suatu alternatif untuk
meningkatkan sintesa metabolit sekunder yang mempunyai nilai komersial tinggi. Teknik in
vitro mempunyai keuntungan antara lain produksi metabolit sekunder dapat dilakukan

sepanjang tahun dan tanpa dipengaruhi oleh cuaca, serta dapat dikembangkan untuk produksi
biomassa metabolit secara besar-besaran, sehingga kultur merupakan cara yang dapat
digunakan dalam meningkatkan sintesis
metabolit sekunder. Kelebihan penggunaan kultur jaringan dalam produksi senyawa bioaktif
dibanding dengan budidaya tanaman secara utuh antara lain adalah tidak adanya keterbatasan
iklim, tidak memerlukan lahan yang luas, dan senyawa bioaktif dapat dihasilkan secara terus
menerus dalam keadaan yang terkontrol (Habibah, 2009).
Perubahan warna kalus menjadi kecoklatan atau coklat menunjukkan terjadinya
senyawa fenolik. Menurut Naz (2008) fenolb yang teroksidasi akan membentuk kuinon dan
kuinon adalah senyawa yang menyebabkan warna coklat pada kultur kalus. Intensitas warna
coklat berkorelasi positif dengan hiperaktivitas enzim oksidatif. Peningkatan enzim tersebut
terkait dengan reaksi pertahanan jaringan dari
stres oksidatif. Menurut Hendaryono (1994) menyatakan bahwa warna kalus yang bervariasi
disebabkan oleh adanya pigmentasi, pengaruh cahaya dan bagian tanaman yang dijadikan
sebagai sumber eksplan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana awal terbentuknya
kalus berwarna hijau atau hijau kekuningan yang lama kelamaan berubah menjadi kuning
kecoklatan atau coklat.
Stevia ialah tanaman perdu yang memiliki tinggi antara 40-60 cm, berbatang bulat,
berbulu, beruas, bercabang banyak, dan berwarna hijau. Daun tunggal berhadapan, berbentuk
bulat telur, dengan panjang 2-4 cm, lebar 1-5 cm. Bunga majemuk, bentuk malai, di ujung
dan di ketiak daun, bentuk terompet, kelopak bentuk tabung, berbulu, berbagi lima, hijau,
tangkai benang sari dan tangkai putik pendek, kepala sari kuning, putik bentuk silindris, putik
mahkota ungu berbentuk tabung dan berakar tunggang. Tanaman ini memiliki daya
regenerasi yang kuat sehingga tahan terhadap pemangkasan. Stevia sebagai sumber pemanis
alami memiliki prospek cerah di masa yang akan datang, mengingat pemanis sintetik
seringkali berpengaruh buruk terhadap kesehatan.
Di daerah asalnya, tanaman stevia disebut caa-ehe, ca-enhem atau azucacaa. Kerabat
dekat tanaman stevia antara lain stevia ovata wild dan stevia sp. stevia ovata yang berasal
dari Meksiko ditemukan tumbuh liar di daerah Selabintana, Sukabumi (Jawa Barat). Produk
utama stevia adalah daun yang digunakan sebagai bahan baku pembuat gula atau pemanis
alami. Saat yang tepat untuk panen pertama pada waktu kandungan stevioside maksimal yaitu
tanaman telah berumur 40-60 hari, tinggi tanaman 40-60 cm, berdaun rimbun, dan menjelang
stadium berbunga. Panen dilakukan dengan cara memotong batang tanaman stevia setinggi
10-15 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan gunting pangkas yang tajam

(Rukmana, 2003). Daun stevia yang sudah kering dapat dijadikan bubuk daun dan dapat
digunakan secara langsung sebagai bahan makanan seperti roti, minuman ringan dll.
Meskipun dalam bubuk daun dan tanpa proses lanjutan, daun stevia masih aman dikonsumsi,
bebas kalori, 20-30 kali lebih manis dari pemanis gula dan bermanfaat bagi kesehatan
(Madan, et. al., 2010).
Salah satu bahan makanan yang cukup banyak dikonsumsi adalah bahan pemanis. Ada
dua macam bahan pemanis yaitu bahan pemanis alami dan bahan pemanis sintetis. Bahan
pemanis alami lebih umum digunakan, dimana yang termasuk jenis ini antara lain gula dari
tebu, aren, kelapa, dan bit. Bahan sintetis walaupun tidak umum digunakan tetapi beberapa
sudah dikenal, antara lain sakarin dan siklamat.
Sampai saat ini Indonesia masih belum berswasembada gula. Dari data yang dihimpun
oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat bahwa impor gula Indonesia, baik untuk gula alami
maupun untuk gula sintetis, pada tahun 2000 cukup besar. Untuk gula alami jumlahnya
mencapai 2.505.455 ton, sedang untuk gula sintetis jumlahnya 37.522 ton. Peningkatan
jumlah penduduk tentunya ikut berperan dalam peningkatan konsumsi gula, dimana
peningkatan produksi gula masih lebih rendah dibanding peningkatan konsumsi gula oleh
masyarakat.
Di tengah kondisi impor gula tersebut, gula stevia nampaknya mempunyai peluang
untuk mengisi kekurangan produksi gula. Stevia merupakan bahan pemanis non tebu dengan
kelebihan tingkat kemanisan 200 300 kali dari gula tebu dan diperoleh dengan mengekstrak
daun stevia (Maudy E., dkk., 1992). Gula stevia bukanlah dimaksudkan untuk menggantikan
gula tebu karena nilai kalorinya yang rendah, tetapi lebih dimaksudkan untuk menggantikan
gula sintetis lainnya yang menurut berbagai penelitian bersifat karsinogenik. Karena stevia
diperoleh dari tanaman maka penggunaannya lebih aman, non karsinogenik dan non kalori.
Keunggulan lainnya adalah gula stevia tidak menyebabkan carries gigi, memiliki nilai kalori
rendah yang cocok bagi penderita diabetes, dan tidak menyebabkan kanker pada pemakaian
jangka panjang.
Daun stevia berisi glycoside yang mempunyai rasa manis tapi tidak menghasilkan
kalori. Stevioside dan rebaudioside merupakan konstituen utama dari glycoside dengan
gabungan dari molekul gula yang berbeda seperti yang terdapat pada tanaman stevia.
Glycoside yang digunakan secara komersial dinamakan stevioside yang memberikan rasa
manis 250 300 kali dari gula (http://emperors_herbologist.com/steviocide.htm ). Daun
stevia selain mengandung pemanis glycoside (stevioside, rebauside, dan dulcosida) juga

mengandung protein, fiber, karbohidrat, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, natrium, besi,
vitamin A, vitamin C, dan juga minyak (http://stevia-steviocide.com/).
Rasa manis pada stevia disebabkan karena dua komponen yaitu stevioside (3 10%
berat kering daun) dan rebaudioside (1 3%) yang dapat dinaikkan 250 kali manisnya dari
sukrosa. Stevioside mempunyai keunggulan dibandingkan pemanis buatan lainnya, yaitu
stabil pada suhu tinggi (100C), range pH 3 9, dan tidak menimbulkan warna gelap pada
waktu pemasakan (http://newcrops.uk.edu.au). Stevioside mempunyai rumus molekul
C38H60O18 dan berat molekul 804,90. Apabila diurai sempurna stevioside mengandung
56,90% C, 7,51% H, dan 35,78% O.
Rebaudioside merupakan pemanis terbaik yang ada pada tanaman stevia yang
memberikan rasa manis 300 kali dibanding gula. Rebaudioside dengan kemurnian tinggi
diperoleh dengan kristalisasi dari ekstrak stevia dengan menggunakan teknologi pemurnian
tingkat tinggi. Rebaudioside mempunyai rasa yang lebih baik dari stevioside. Kekuatan
kemanisannya sekitar 30% lebih tinggi daripada stevioside tetapi jumlahnya lebih sedikit
(http://stevia-steviacide.com).
Pembuatan gula dari daun stevia selama ini telah dilakukan di negara-negara maju
seperti Jepang dan Amerika Serikat. Di Jepang dikembangkan metode refining sweet
glucoside dari daun stevia, sementara di Amerika Serikat Emperors Herbologist
mengembangkan Natural Aqueous Extraction (purified water extraction, air dehydration)
Process yang menghasilkan kristal stevia berwarna putih tanpa adanya warna coklat
(http://emperors_herbologist.com/steviocide.htm).

Gula stevia berbentuk kristal dengan

besar kristal antara 0,8 1,2 mm. Mempunyai titik leleh 196 198 oC dengan pH 5 6 dan
densitas 1,43 1,67 gram/mL.
Bahan pemanis adalah salah satu bahan pangan yang keperluannya selalu meningkat
setiap tahun. Sampai saat ini Indonesia masih harus mengimpor bahan pemanis, terutama
gula tebu untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.Sehingga perlu dikembangkan
alternatif tanaman lain yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan terhadap pemanis
tersebut. Disamping gula tebu, beberapa pemanis sintetis seperti siklamat dan sakarin, banyak
digunakan secara luas di Indonesia. Bahan pemanis ini mempunyai keuntungan karena
tingkat kemanisannya jauh lebih tinggi daripada gula tebu.Tetapi untuk pemanis sintetis ini
mempunyai efek samping yang membahayakan kesehatan. Hal ini dibuktikan pada suatu
penelitian di Amerika pada tahun 1969 yang berkesimpulan bahwa pemanis sintetis

mempunyai sifat Karsinogenik, yaitu dapat menyebabkan kanker, sehingga pemakaiannya


dibatasi dan diatur sangat ketat.
Pemerintah Indonesia mengatur kadar pemakaian siklamat 20 gram / Kg. Sakarin 50
mg/kg sedangakan beberapa negara besar seperti Amerika serikat sudah membatasi
penggunaan pemanis tersebut dalam produk-produk makan (Padmawinata,1985).Oleh karena
itu perlu dicari bahan pemanis sintetis terutama siklamat dan sakarin. Stevia Rebaudiana
bertoni adalah suatu sumber bahan pemanis alami yang mempunyai tingkat kemaniasan 200300 kali lebih manis dari pada gula tebu. Dengan demikian mungkin stevia bisa memberikan
jalan keluar bagi konsumen yang karena alasan apapun tidak mau atau tidak boleh makan
gula pasir / gula tebu, misalnya penderita diabetes, karena tentu saja gula stevia lebih aman
dibandingkan pemanis sintetis / buatan.Tanaman Stevia berasal dari Amerika Serikat,
terutama perbatasan Paraguay- Brazil- Argentina digunakan sebaagai campuran minuman teh
atau kopi. Di Indonesia Stevia mulai ditanam sejak tahun 1977 di Jawa barat dan Jawa
Tengah.
Stevia Rebaudiana Bertoni termasuk familia Compositae merupakan tumbuhan tahunan
berbentuk perdu basah, Tinggi tanaman 60-70 cm bercabang banyak .Jumlah Kromosom 2 n
= 22. Duduk daun berhadapan, tunggal, bentuknya sederhana lonjong dan langsing serta tepi
daun bergerigi halus ( Tjasadiharja,1982). Tangkai daun pendek, tulang daun menyirip dan
pada permukaan daun bagian bawah kelihatan menonjol. Panjang helaian daun antara 2- 5 cm
( Anonim 1985). Nama Stevia rebaudiana Bertoni Mengabadikan dua nama peneliti
tumbuhan, Dr Moises Bertoni (1899) dan Dr. Ovidio Rabaudi (1905)(Tjasadiharja,1982)
Stevia berasal dari distrik Amambai dan Iquaqu, perbatasan Paraguay- Brazil Argentina.
Tumbuhan itu tumbuh liar atau dibudidayakan oleh penduduk setempat dan dikenal dengan
nama lokal Caa-hehe, Caa-enhe atau Kaa- he-e. Daun Stevia yang telah dipetik pada
umumnya dipasarkan dalam bentuk kering. Cara Pengeringan daun Stevia ada beberapa
macam, diantaranya :
1. Pengeringan dengan aliran udara panas
Dilakukan dengan cara menghamparkan daun dilantai pengering yang dialiri udara
hangat selama 12 jam sambil diaduk-aduk hingga merata. Kemudian dipindah dalam tempat
yang dialiri udara panas sehingga daun menjadi kering.
2. Pengeringan alami dengan sinar matahari
Pengeringan dengan sinar matahari dilakukan dengan cara , daun dilayukan dengan cara
diangin-anginkan, kemudian baru dipanaskan dibawah sinar matahari langsung . Hal tersebut
dapat dilakukan tampa merusak kandungan tanaman . Gula stevia mempunyai tingkat

kemanisan 200-300 kali kemaniasan dari pemanis yang berasal dari gula tebu, berkalori
rendah, tiudak menganggu rasa minuman sirop, relatif tidak berbahaya karena tidak
mengandung zat yang bersifat karsinogenik dan telah dipasarkan dijepang, Taiwan dan Korea
( Inglet, G.E., 1981) Rasa manis ini dihasilkan dari daun tanaman stevia tersebut yang
disebabkan adanya kandungan Glikoside dalam daun stevia tersebut. Glikoside ini
merupakan suatu senyawa yang terdiri dari gula dan bukan gula ( aglukon ) .Bila gulanya itu
glukose maka glikoside tersebut disebut Glukoside. Biasanya selain glukose ada Fruktose,
ribose dan manose.
Pemanis Stevia merupakan ekstrak kasar dari daun stevia, sesungguhnya terdiri atas
delapan komponen yaitu ;
1. Stevioside
2. Steviolbioside
3. Rebaudioside-A
4. Rebaudioside-B
5. Rebaudioside-C
6. Rebaudioside-D
7. Rebaudioside-E
8. Dulcoside-A(Kinghorn et al.1982 )
Dimana stevioside , rebaudioside-A, dan rebaudioside-C (Dulcoside A) merupakan
kandungan dalam jumlah terbanyak ( Ahmed , et al 1980 ) Rumus molekul stevioside yaitu
C38 H60O16 dengan berat molekul 804.9 gram . Sifat-sifat dari daun Stevia dalah :
a. Higroskopis
b. Titik cair 198 o C
c. Larut dalam air
d. Larut dalam metanol
e. Dioxan
f. Tidak larut dalam alkohol murni
g. Tidak larut dalam khloroform
h. Tidak larut dalam eter ( Depprin,1985)
Produk stevia sudah mulai dipasarkan terutama di Jepang, diantaranya:
a. Stevia ST AB ( 100 % Ekstrak Stevia )
b. Histevia- 500 ( 50 % Stevioside )
c. Licostevia-A ( 2 % stevioside )
d. Licostevia S-1 ( 10 % Stevioside )

e. Licostevia S-2 ( 5 % Stevioside )


f. Licostevia S-3 ( 3 % Stevioside )
Pada licostevia terdapat tiga sampai tujuh glycyrhizin. Jenis makanan yang
menggunakan stevia dipasarkan di Jepang adalah :
a. Pickles
b. Carbonat Drinks
c. Permen karet
d. Frozen deserts
e. Fist paste
f. Soy sauce
g. Es cream
h. Dan Orange Juice ( Fujite dan Edahrino,1979)
Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di Indonesia
yang memiliki keunikan berupa rasa manis pada daunnya. Daun stevia ini mengandung
sejumlah senyawa glikosida diterpen dengan steviol sebagai aglikonnya. Komponen utama
yang memberikan rasa manis dan terkandung paling banyak pada daun stevia adalah
steviosida (Daneshyar dkk., 2010), yang diperkirakan 300 kali lebih manis dari sukrosa
(Geuns, 2003).
Bahan pemanis ini telah digunakan di banyak negara sebagai pemanis alami nonkalori, sehingga dapat direkomendasikan untuk penderita diabetes mellitus tipe 2 dan
penderita obesitas (Jagatheeswari dan Ranganathan, 2012). Penggunaannya juga telah diuji
dan tidak memberikan efek samping (Megaji dkk., 2005 dalam Sairkar dkk., 2009). Daun
stevia memiliki banyak manfaat, selain rasa manis dan tanpa efek samping, juga berpotensi
memberikan manfaat kesehatan sebagai antihiperglikemik (Jeppesen dkk., 2002),
antihipertensi (Hsu dkk., 2002) dan menjaga kesehatan gigi (Geuns dkk., 2003a dalam
Daneshyar dkk., 2010).
Potensi yang dimiliki oleh stevia menjadi perhatian banyak orang sehingga banyak
pula keinginan untuk mengembangkan tanaman ini. Kemampuan biji stevia untuk
berkecambah sangatlah rendah dan propagasi secara vegetatif juga terbatas dilakukan karena
rendahnya jumlah individu yang dapat diperoleh dari satu tanaman induk (Sivaram dan
Mukundan, 2003 ; Saikar dkk., 2009 ; Janarthanam dkk., 2010). Kultur in vitro yang lebih
berpotensi untuk digunakan dalam produksi metabolit sekunder adalah kultur suspensi sel
dan kultur kalus (Rahardja dan Wiryanta, 2005). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
inisiasi proliferasi dan sintesis metabolit sekunder dalam kultur kalus dan suspensi sel, seperti

genotipe tumbuhan, komposisi medium dan faktor-faktor fisik dalam pertumbuhan sel seperti
cahaya dan suhu (Siregar dkk., 2006). Penambahan zat pengatur tumbuh pada kalus dapat
mempengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder (Wardani dkk., 2004).
Penelitian ini menggunakan kultur kalus dan steviosida pada penelitian ini diperoleh
dengan menginduksi kalus dari daun stevia. Kalus merupakan proliferasi massa jaringan yang
belum terdiferensiasi. Kumpulan sel terbentuk di seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga
semakin luas irisan eksplan maka semakin cepat dan banyak kalus yang terbentuk
(Herdaryono dan Wijayani, 1994). Induksi kalus dapat dioptimasi dengan kombinasi zat
pengatur tumbuh (ZPT) berupa auksin dan sitokinin.
Komposisi medium kultur juga memainkan peranan penting dalam menentukan
morfogenetik kalus (Gupta dkk., 2010). Wiryosoendjoyo (2009) telah berhasil menumbuhkan
kalus dari eksplan daun stevia pada medium New Phaleonopsis (NP) dan menjelaskan bahwa
pertumbuhan kalus pada eksplan daun stevia yang ditanam pada medium Murashige and
Skoog (MS) membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pada medium NP. Hal ini
karena medium MS memiliki konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi sehingga akan
menyebabkan kondisi medium cenderung hipertonis yang menghambat pertumbuhan
eksplan. Konsentrasi garam-garam mineral pada medium NP lebih rendah dibandingkan
medium MS, sehingga dapat memacu pertumbuhan eksplan. Pada penelitian ini, medium
kultur yang digunakan adalah medium MS dan NP.
Kandungan steviosida bergantung dari kultivar dan lingkungan pertumbuhannya,
yaitu antara 5 22 % dari berat kering daun (Kennelly, 2002). Menurut Das dkk. (2006),
senyawa glikosida steviol banyak disintesis di daun dari pada di akar dari tanaman stevia,
sedangkan menurut Gupta dkk. (2010), eksplan daun merupakan materi tumbuhan terbaik
untuk produksi kalus. Hendaryono dan Wijayani (1994) juga mengungkapkan untuk
pemilihan eksplan sebagai bahan dasar pembentukan kalus sebaiknya dipilih bagian tanaman
yang masih muda karena masih bersifat meristematik seperti ujung daun, ujung batang,
keping biji dan sebagainya. Oleh karena itu, eksplan yang digunakan pada penelitian ini
adalah bagian daun dari tanaman stevia yang masih muda. Janarthanam dkk. (2010)
melakukan penelitian mengenai produksi metabolit sekunder melalui kultur kalus stevia dari
eksplan nodus dan daun stevia. Berdasarkan penelitiannya, eksplan daun stevia menunjukkan
respon induksi kalus dan proliferasi yang lebih baik daripada eksplan nodus, dimana 75%
kalus terinduksi pada hari ke-12 setelah inokulasi dengan menggunakan hormon 2,4-D 1,0
mg/l. Produksi biomassa kalus dilakukan pada medium MS dengan kombinasi hormon yang

berbeda. Pada medium produksi biomassa kalus, kombinasi hormon 2,4-D 0,5 mg/l + NAA
0,5 mg/l + Kinetin 1,0 mg/l merupakan kombinasi hormon paling optimum.
Das dkk. (2006) melakukan penelitian dengan menginisiasi kalus dari eksplan daun
stevia dan memeliharanya pada medium MS dengan konsentrasi garam medium yang
berbeda, yaitu MS, 1 MS dan 2 MS. Kombinasi 2,4-D 1,0 mg/l + Kinetin 0,2 mg/l
menunjukkan pertumbuhan kalus dengan proliferasi terbaik pada konsentrasi garam medium
MS dan 1 MS, sedangkan kombinasi NAA 0,1 mg/l + BAP 2,0 mg/l sebagai kombinasi
hormon terbaik untuk pemeliharaan kalus. Penggunaan medium MS dengan konsentrasi
garam medium MS menunjukkan hasil yang lebih baik untuk pemeliharaan kalus.
Kandungan persentase steviosida pada kalus yang tumbuh di medium MS (5,6%) lebih
tinggi dibandingkan kalus yang tumbuh di medium 1 MS (4,45%).
Gupta dkk. (2010) juga melakukan penelitian untuk memproduksi senyawa steviol
gikosida dengan menumbuhkan kalus dari eksplan daun salah satunya. Induksi kalus
dilakukan dengan menggunakan berbagai kombinasi hormon seperti 2,4-D, NAA, IBA dan
kinetin. Kombinasi NAA 0,75 mg/l + 2,4-D 1 mg/l merupakan kombinasi hormon optimum
yang mampu menginduksi kalus 100% setelah tiga minggu. Perbanyakan kalus dilakukan
dengan subkultur kalus pada medium MS dengan konsentrasi garam medium 1 MS dan
MS. Jumlah kalus maksimum dari hasil subkultur kalus eksplan daun diperoleh dari
perlakuan yang diberi NAA 2 mg/l.
Sivaram dan Mukundan (2003) juga telah melakukan penelitian dengan menggunakan
daun stevia sebagai salah satu eksplannya. Kombinasi hormon BAP (8.87 M 2 mg/l) dan
IBA (9.80 M 2 mg/l) pada medium MS merupakan kombinasi hormon yang dapat
memberikan kandungan glikosida maksimal pada kalus (5,8%). Nilai ini lebih tinggi dari
kandungan steviosida pada daun stevia in vivo maupun in vitro (4,9% dan 3,6%).
Menurut Geuns (2003), Stevia rebaudiana Bertoni (Gambar 1) adalah tanaman semak
yang berasal dari daerah Amerika Selatan (daerah perbatasan antara Paraguay dan Brazil).
Daun stevia mengandung steviosida yang merupakan komponen utama pemberi rasa manis.
Kandungannya antara 4 20 % dari berat kering daun stevia (tergantung dari kondisi
penanaman dan pertumbuhannya). Komponen lain pemberi rasa manis pada daun stevia
tetapi dalam kadar yang lebih rendah, yaitu steviolbiosida, rebaudiosida A, B, C, D, E, F dan
dulcosida A.
Stevia termasuk tumbuhan semak yang tingginya mencapai 30 cm. Daunnya langsung
menempel pada batang dengan panjang sekitar 3 4 cm, berbentuk lanset atau bentuk spatula
dengan ujung lamina daun yang tumpul. Tepi daun bergerigi mulai dari bagian tengah hingga

ujung daun. Permukaan atas daun dan batang muda memiliki rambut-rambut halus (trikoma),
sedangkan batang tua menjadi berkayu. Akarnya sedikit bercabang dan bunga berwarna ungu
cerah (Madan dkk., 2010).
Stevia rebaudiana Bertoni pertama kali diklasifikasikan tahun 1899 oleh Moises
Santiago Bertoni. Awalnya tanaman ini benama Eupatorium rebaudianum dan berubah nama
menjadi Stevia rebaudiana Bertoni pada tahun 1905 (Lemus-mondaca dkk., 2012).
Kedudukan taksonomi tanaman stevia menurut Yadav dkk. (2011) sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Sub-kerajaan : Tracheobionta
Super-divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-kelas : Asteridae
Grup : Monochlamydae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Tribe : Eupatorieae
Marga : Stevia
Spesies : Stevia rebaudiana Bertoni.
Persebaran stevia kini telah tersebar ke beberapa daerah di dunia, seperti Kanada,
beberapa negara Asia dan Eropa. Diantara 230 spesies pada genus Stevia, hanya spesies
rebaudiana dan phlebophylla yang menghasikan steviol glikosida. Tanaman ini telah
digunakan berabad-abad oleh suku Guarani di Paraguay sebagai pemanis dan untuk
pengobatan penyakit ringan (Lemus-Mondaca dkk., 2012).
Gambar 1. Stevia rebaudiana Bertoni (Lemus-Mondaca dkk., 2012)
Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan
metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu untuk pembentukan senyawa
kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert, 1995). Karakteristik metabolit
sekunder adalah struktur kimianya heterogen dan terbentuk hanya pada kelompok makhluk
hidup bahkan jenis tertentu. Metabolit yang diproduksi oleh tumbuhan tersebut memiliki nilai
penting dalam berbagai industri khususnya bahan baku industri farmasi, penyedap, makanan
dan parfum (Khadi dkk., 1981).
Menurut Gupta dkk. (2010), ada 9 tipe senyawa glikosida steviol yang ditemukan
pada tanaman stevia, diantaranya steviosida, rebaudiosida A, rebaudiosida B, rebaudiosida C,

rebaudiosida D, rebaudiosida E, rebaudiosida F, steviolbiosida A dan dulcosida A. Bahan


pemanis yang paling berlimpah pada daun stevia adalah steviosida (Gambar 2) yang
merupakan senyawa yang paling bertanggung jawab terhadap rasa manis pada daun stevia.
Gambar 2. Struktur Steviosida (Geuns, 2008)
Senyawa ini terbentuk dari tiga molekul glukosa dan satu molekul steviol
(Janarthanam dkk., 2010). Steviosida juga merupakan senyawa gula yang stabil pada suhu
100oC (Uddin dkk., 2006). Kandungannya dapat mencapai 1320% pada daun stevia kering,
sedangkan rebaudiosida hanya sekitar 13% pada daun stevia kering (Das dkk., 2006).
Kesimpulan bahwa steviol disintesis dari Kaurene melalui jalur mevalonat telah
terungkap lebih dari 30 tahun yang lalu (Brandle dan Telmer, 2007). Menurut Kim dkk.
(1996) dalam Brahmachari dkk. (2011), ada aktivitas yang tinggi dari 3-hydroxy-3methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase di kloroplas Stevia rebaudiana yang
merupakan enzim pokok dari jalur asam mevalonat (MVA) ke isopentildifosfat (IPP),
sehingga disimpulkan bahwa asam mevalonat (MVA) sebagai perantara dari jalur biosintesis
steviol. Akan tetapi, kesimpulan tersebut tidak didukung dengan bukti langsung (Geuns,
2003; Brahmachari dkk., 2011).
Menurut Brahmachari dkk. (2011), penelitian Totte dkk. (2000) menunjukkan bahwa
adanya keterlibatan jalur 2-C-methyl-D-erythritol-4-phosphate (MEP) sebagai jalur
biosintesis untuk ent-kaurene yang merupakan kerangka dari steviosida dan giberelin (GA).
Menurut Geuns (2003), kesimpulan tersebut telah dibuktikan dari 5548 sekuens cDNA dari
daun Stevia. Banyak gen spesifik yang ditemukan dari jalur MEP dan tidak ada yang
teridentifikasi dari jalur MVA, sehingga biosintesis steviosida disimpulkan melalui jalur MEP
(Gambar 3). Tahap awal proses biosintesis steviosida ini terjadi di plastida (Osbourn dan
Lanzotti, 2009).
Gambar 3. Skema Biosintesis Steviosida melalui Jalur MEP (Brandle dan Telmer,
2007)
Keterangan: DXS = deoxyxylulose-5-phosphate synthase; DXR = deoxyxylulose-5phosphate reductoisomerase; CMS = 4-diphosphocytidyl-2-C-methyl-D-erythritol synthase;
CMK = 4-diphosphocytidyl-2-C-methyl-D-erythritol kinase; MCS = 4-diphosphocytidyl-2-Cmethyl-D-erythritol 2,4- cyclodiphosphate synthase; HDS = 1-hydroxy-2-methyl-2(E)-butenyl
4- diphosphate synthase; HDR = 1-hydroxy-2-methyl-2(E)-butenyl 4- diphosphate reductase;
GGDPS = geranylgeranyl diphosphate synthase; CDPS = copalyl diphosphate synthase; KS
= kaurene synthase; KO = kaurene oxidase; KAH = kaurenoic acid 13-hydroxylase

Tanaman stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) sangat potensial dikembangkan


sebagai bahan baku gula (pemanis) alami, pendamping gula tebu dan pengganti gula sintetis.
Daun stevia mengandung senyawa glikosida diterpen dengan tingkat kemanisan 200 D300
kali gula tebu tetapi kalorinya sangat rendah, sehingga mempunyai keunggulan lain dapat
digunakan oleh penderita diabetes maupun pada penderita kegemukan. Zat manis dalam
stevia disebut stevisoida. Gula stevia telah dikomersilkan di
Jepang, Korea, RRC, Amerika Selatan untuk bahan pemanis bagi penderita diabetes dan
kegemukan. Di Jepang dan Brazilia, stevia selain digunakan sebagai pemanis buatan untuk
penderita diabetes, juga diijinkan digunakan dalam makanan. Di Amerika, penggunaan stevia
untuk zat tambahan makanan (food additive) masih belum mendapat ijin dari FDA karena
alasan keamanannya. Stevia dilaporkan menimbulkan efek karsinogenik dan mutagenik.
Tetapi hal ini masih menjadi pertentangan mengingat ada beberapa hasil penelitian yang
menyatakan stevia menunjukkan efek mutagenik, efek mutagenik lemah dan ada yang
menyatakan tidak ada masalah dengan keamanannya. Efek mutagenik dan karsinogenik
diduga disebabkan oleh adanya hasil metabolit stevisoida yang disebut steviol.
Puluhan hasil penelitian mengenai keamanan steviosida dan steviol telah dilakukan.
Hasil uji toksisitas akut (LDso) terhadap steviosida dan steviol terhadap 3 jenis hewan coba
yaitu mencit, tikus dan hamster, menunjukkan bahwa steviosida sampai 15 g/kg bb tidak
menyebabkan kematian pada ketiga jenis hewan. LDso steviol pada hamster 5,2 dan 6,10
g/kg bb masing-masing untuk jenis kelamin jantan dan betina; sedangkan LDso steviol pada
mencit dan tikus lebih besar dari 15 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa steviosida maupun
steviol sangat aman. 1 Penelitian lain mengenai toksisitas akut terhadap mencit yang
dilakukan oleh Japan Food Sanitation Corporation tahun 1991, menunjukkan bahwa ekstrak
stevia sangat aman. Pemberian 20 gram ekstrak stevia atau sebanding dengan 3 liter pada
manusia, tidak menunjukkan kelainan setelah 7 hari. Steviosida pada dosis sampai 2,5 g/kg
tidak menimbulkan bahaya pada hewan coba, tidak mempengaruhi perkembangan
pertumbuhan hamster.' Data LDso daun Stevia dari B2P2T02T Tawangmangu, menunjukkan
nilai 79,81 mg/l0 g (=8,0 g/kg ) bb mencit, dengan pemberian intra peritoneal. 3
Stevia merupakan tanaman semak semusim dengan tinggi antara 30-90 cm, dapat
tumbuh
pada 10-1300 dpl. Stevia ditanam dengan populasi 60.000-125.000 tanaman/ha, usia
produktif 2-3
tahun, masa panen 6-7 kali/tahun. Didataran rendah stevia cepat berbunga dan mudah mati
apabila sering dipanen. Stevia yang ditanam di Indonesia berasal dari Jepang, Korea dan

China. Bahan tanaman tersebut berasal dari biji sehingga pertumbuhan tanaman stevia di
lapangan sangat beragam."
Menurut keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no.115/mpp/kep/2/1998
tanggal 27 Februari 1998, gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok
kebutuhan masyarakat Indonesia. Kesembilan bahan pokok tersebut yaitu beras, gula,
minyak goreng, daging, telur, susu, jagung, minyak tanah, dan garam. Konsumsi gula
masyarakat Indonesia mencapai angka 5,2 juta ton per tahun (Ayu Rosyidah, 2013).
Konsumsi

gula

meningkat

seiring

dengan

meningkatnya

jumlah

penduduk,

kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya industri berbahan baku gula.


Indonesia memproduksi gula sekitar 2,3 juta ton per tahun dan jumlah ini hanya dapat
memenuhi 40% kebutuhan gula nasional (Didik Kusbiantoro, 2013). Beberapa alasan
pemerintah perlu melakukan impor gula yaitu jumlah produksi gula yang berfluktuasi
dan tidak dapat memenuhi konsumsi gula masyarakat, masa panen gula yang
berlangsung cukup lama yaitu selama 16 bulan sehingga menyebabkan ketersediaan
gula menjadi terbatas, meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun, dan semakin
berkembangnya industri berbahan baku gula. Jumlah produksi dan impor gula tebu di
Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2013) disajikan pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah
produksi dan impor gula tebu di Indonesia
Tahun Produksi (ton) Impor (ton)
2009 2.333.900 1.373.546
2010 2.288.700 1.382.525
2011 2.244.150 2.371.250
2012 2.600.350 2.743.778
Jumlah impor gula tebu yang tinggi dan jumlah produksi yang berfluktuasi
menyebabkan diperlukannya alternatif lain pengganti gula tebu. Alternatif tersebut
dapat berupa pemanis alami maupun buatan. Bahan pemanis alami memiliki nilai
kalori tinggi dan mudah dicerna tubuh, contohnya yaitu gula dari aren, bit, madu, dan
kelapa. Bahan pemanis sintesis yang banyak dikonsumsi masyarakat yaitu saccharine,
aspartame, siklamat, sorbitol, xylitol, sucralose, dan acesulfame-K. Bahan pemanis
sintesis memiliki nilai kalori rendah dan sulit dicerna tubuh. Konsumsi gula yang tinggi
dapat berakibat pada penyakit diabetes mellitus karena asupan gula yang tinggi
mengakibatkan pankreas bekerja keras memproduksi insulin yang digunakan tubuh
untuk menormalkan kadar gula dalam darah. Namun pada akhirnya, pankreas akan
kelelahan sehingga produksi insulin akan menurun dan tidak mampu menormalkan

kadar gula dalam darah. Pada akhirnya kadar gula dalam darah menjadi tinggi dan
menimbulkan penyakit diabetes mellitus.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penderita diabetes
mellitus di Indonesia mencapai 8,4 juta orang. Pada 2020 diperkirakan penderita
diabetes bertambah menjadi 12 juta orang. Faktor keturunan hanya 20%, sedangkan
faktor utama yaitu pola hidup tidak sehat berupa mengkonsumsi makanan tinggi
kalori, obesitas, rendah serat, dan jarang berolahraga (Yaspen M., 2013). Diabetes
mellitus tercatat menjadi penyakit dengan peringkat keenam penyebab
kematian di dunia. Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevelensi
diabetes tertinggi setelah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Meksiko. Penyakit ini
juga dapat menimbulkan penyakit lainnya seperti kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes
(gengrene) sehingga harus diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Santi A., 2013).
Penderita diabetes mellitus, obesitas, dan orang yang sedang diet gula sangat
membutuhkan pemanis sintesis sebagai pengganti gula karena nilai kalorinya yang
rendah dan sulit dicerna tubuh. Industri makanan maupun minuman juga telah banyak
yang menggunakan pemanis sintesis untuk menggantikan gula tebu karena faktor
ekonomi. Pemanis sintesis memiliki harga yang lebih murah daripada gula tebu,
memiliki tigkat kemanisan yang jauh lebih tinggi, diproduksi melalui rekayasa kimia
sehingga dapat diproduksi dengan jumlah yang tinggi tanpa memperhatikan faktor
lahan perkebunan. Namun pemanis sintesis sangat berbahaya bagi kesehatan karena
dapat menyebabkan kanker jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama
(karsinogenik), tidak aman bagi ibu hamil atau menyusui, atau bagi penderita
fenilketonuria (aspartame mengandung asam amino fenilalanin), sehingga diperlukan
pemanis dengan nilai kalori rendah dan aman bagi kesehatan, salah satunya yaitu
stevia.
Pemanis stevia berasal dari tumbuhan dan diperoleh melalui ekstraksi daun
stevia,

sehingga

penggunaanya

lebih

aman.

Keunggulan

stevia

yaitu

tidak

menyebabkan kanker (non karsinogenik), karies gigi, dapat mencegah obesitas,


menurunkan tekanan darah tinggi, dan kandungan kalori yang rendah dengan tingkat
kemanisan yang jauh lebih tinggi daripada gula tebu yaitu 300 kali lebih manis.
Keunggulan lainnya yaitu pembudidayaan stevia yang mudah, pertumbuhannya yang
relatif tidak lama yaitu tiga hingga empat bulan, dan mengandung vitamin, protein,
kalsium dan lain-lain yang bermanfaat bagi tubuh. Oleh karena itu pemanis stevia
dapat menjadi alternatif yang berpotensial untuk menggantikan pemanis sintesis.

Pemanis merupakan bahan yang ditambahkan pada makanan atau minuman


yang dapat memberikan rasa manis. Secara umum, pemanis dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu alami dan sintesis. Pemanis alami yaitu pemanis yang berasal dari
tanaman maupun lainnya yang dari alam, seperti gula dari tebu, aren, bit, madu, dan
kelapa. Pemanis sintesis yaitu pemanis yang diperoleh dari proses sintesa kimia, seperti
saccharine, aspartame, siklamat, sorbitol, xylitol, sucralose, dan acesulfame-K (Luqman
B., 2007).
Berdasarkan kandungan kalori, pemanis dapat dibagi menjadi dua yaitu
pemanis nutritif dan pemanis non nutritif. Pemanis nutritif adalah pemanis yang dapat
dicerna dan memiliki kalori di dalam komponen gulanya, contohnya yaitu sukrosa dan
polyols. Pemanis non nutritif adalah pemanis yang hanya memiliki sedikit atau sama
sekali tidak memiliki kalori di dalam komponen gulanya. Pemanis non nutritif
dibedakan menjadi dua yaitu pemanis non nutritif alami dan sintesis. Contoh dari
pemanis non nutritif alami yaitu thaumantin, monellin, miraculin, brazzein, stevioside,
glycyrrhizinic acid, mogroside, dan dihydrochalcones, sedangkan contoh dari pemanis
non nutritif sintesis yaitu saccharine, aspartame, siklamat, acesulfame-K, sucalose, dulcin
(Dr. D.Chattopadhya, 2007) ]
Sukrosa merupakan salah satu jenis oligosakarida yang terdiri dari dua
monomer (disakarida) yaitu glukosa dan fruktosa, dan termasuk kelompok karbohidrat
dengan rumus molekul C12H22O11.. Nama lain dari sukrosa yaitu-D-glukopiranosil(12)--Dfruktofuranosida. Sukrosa lebih dikenal dengan nama gula tebu.
Stevia Rebaudiana Bertoni ditemukan oleh seorang direktur perguruan tinggi
pertanian di Asuncion bernama Dr. Moises Santiago Bertoni ketika sedang menjelajahi
hutan timur Paraguay pada tahun 1887. Nama Rebaudiana berasal dari kimiawan
Paraguay bernama Rebaudi yang pertama kali melakukan ekstraksi daun stevia
(Donna G., 2000). Stevia Rebaudiana lebih dikenal dengan nama honey leaf plant, sweet
chrysanthemum, sweetleaf stevia, sugarleaf, atau kaa-he-e (nama lokal di Amerika
Selatan). Daun Stevia memiliki bentuk seperti kemangi, bergerigi, berukuran kecil dan
berwarna hijau yang termasuk dalam keluarga aster atau chrysanthemum, serta
bertumpuk-tumpuk dalam satu batang, berbiji dan bertunas. Tanaman stevia memiliki
batang yang lemah dan semi kayu, serta memiliki cabang-cabang. Bunga stevia
berwarna putih, berukuran kecil, dan tumbuh di bagian paling atas. Gambar tanaman
stevia disajikan dalam Gambar 2.2:
Gambar 2.2 Stevia rebaudiana (Anonim, 2006)

Stevia memiliki sifat pemanis alami dan tingkat kemanisannya 300 kali
dibandingkan dengan gula tebu. Stevia tumbuh terutama di Gunung Amambay,
Lembah Rio Monday, Paraguay, Amerika Selatan. Stevia telah dibudidayakan di Asia
Timur (China, Korea, Taiwan, Thailand, Malaysia), Amerika Selatan (Brazil, Kolombia,
Peru, Paraguay, Uruguay), dan Israel (Anonim, 2008). Stevia pertama kali dikenal di
Indonesia pada tahun 1977 dan telah dibudidayakan di Tawangmangu, Sukabumi,
Garut, dan Bengkulu. Menurut EFSA (2010), batas konsumsi atau acceptable daily
intake (ADI) untuk pemanis stevia yaitu 4 mg/kg body weight/day.
Stevia memiliki beberapa sifat yaitu:
a. Memiliki kadar kemanisan 300 kali dari sukrosa
b. Stabil pada suhu tinggi (100 0C) , larutan asam maupun basa (range pH 3-9), dan
cahaya
c. Tidak menimbulkan warna gelap pada waktu pemasakan
d. Larut dalam air
e. Tidak larut dalam alkohol murni, kloroform, atau eter
f. Tahan pada pemanasan hingga 200 0C
Tabel 2.3 Taksonomi stevia rebaudiana (USDA, 2008)
Kingdom Plantae
Sub kingdom Tracheobionta
Super divisi Spermatophyta
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Sub kelas Asteridae
Ordo Asterales
Famili Asteraceae
Genus Stevia Cav.
Spesies Rebaudiana
Di dalam daun stevia terdiri dari berbagai macam glikosida, seperti disajikan
pada
Tabel 2.4. Namun glikosida yang paling banyak dan memberikan rasa manis yaitu
steviosida
dan rebaudiosida A. Stevia tidak hanya mengandung glikosida, namun juga beberapa
senyawa lainnya yaitu seperti disajikan dalam Tabel 2.5 berikut:

Selain mengandung beberapa komponen seperti disajikan dalam Tabel 2.5, daun
stevia juga mengandung beberapa senyawa seperti apigenin, austroinulin, avicularin,
betasitosterol, caffeic acid, kampesterol, kariofilen, sentaureidin, asam klorogenik,
klorofil, kosmosiin, sinarosid, daukosterol, glikosida diterpene, dulkosid A-B, funikulin,
formic acid, gibberellic acid, giberelin, indol-3-asetonitril, isokuersitrin, isosteviol, jihanol,
kaempferol, kaurene, lupeol, luteolin, polistakosid, kuersetin, kuersitrin, skopoletin,
sterebin A-H, steviol, steviolbiosid, steviolmonosida, steviosid a-3, stigmasterol,
umbelliferon, dan santofil (Tropical Plant Database, 2013).
Tanaman stevia dapat tumbuh di dataran dengan ketinggian 500 1000 meter di
atas permukaan laut. Kondisi optimum untuk pertumbuhan tanaman ini yaitu pada
suhu 14 27 0C
dan pH antara 6,5 7,5. Beberapa cara pembudidayaan stevia yaitu dengan
mengecambahkan
biji stevia, stek batang, maupun dengan kultur jaringan. Tanaman stevia dapat
mencapai ketinggian sebesar 45 cm dan lebar 46 61 cm selama tiga bulan. Pemanenan
pertama dapat dilakukan setelah 4 5 bulan sejak pertama kali ditanam, kemudian
pemanenan selanjutkan dapat dilakukan selama tiga bulan. Jarak antar kolom
tanaman stevia yaitu 51 61 cm dan 46 cm untuk setiap tanaman. Tanaman stevia
sensitif terhadap dingin dan kandungan air yang berlebihan, serta bertumbuh secara
lebih baik dengan penambahan pupuk dengan kadar nitrogen yang rendah daripada
asam fosfat atau kalium yang tinggi.
Stevia memiliki beberapa manfaat bagi kesehatan maupun keunggulan
dibandingkan
dengan pemanis lainnya, yaitu (Donna G., 2000):
a. Beberapa glikosida dalam stevia mampu memperlebar pembuluh darah,
meningkatkan
ekskresi natrium dan urin, sehingga pada dosis tertentu mampu menurunkan tekanan
darah (hipotensif).
b. Stevioside dalam stevia adalah senyawa glikosida non-karbohidrat. Senyawa ini tidak
dimiliki oleh sukrosa. Stevia juga memiliki beberapa sifat yang berbeda dengan
sukrosa,
yaitu umur penyimpanan yang panjang, stabil terhadap suhu tinggi, non-fermentasi,
tetapi
mengandung kalori mendekati nol.

c. Stevia memiliki nilai kalori yang sangat rendah.


d. Stevia mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dalam mulut
karena kadar karbohidrat yang rendah. Streptococcus mutans memfermentasi gula
menjadi
asam. Selanjutnya asam ini akan menempel pada gigi dan menyebabkan karies dan gigi
berlubang. Oleh karena itu, stevia tidak menyebabkan terjadinya karies dan gigi
berlubang.
e. Stevia adalah tumbuhan herbal yang mengandung vitamin penting yang tidak
dimiliki
oleh pemanis sintesis.
f.

Stevia

mengandung

beberapa

sterol

dan

antioksidan

seperti

triterpenes,

flavonoids,dan
tannins.
g. Chlorgenic acid dalam stevia dapat mengurangi perubahan glikogen menjadi glukosa
sehingga dapat mengurangi penyerapan glukosa dalam usus. Hal ini berarti stevia
dapat
mengurangi kadar gula dalam darah.
h. Membantu memperbaiki pencernaan dan meredakan sakit perut.
i. Steviosida tidak memiliki efek mutagen, teratogenik, maupun karsinogenik.
Glikosida merupakan suatu molekul yang terdiri dari gula (glikon) yang terikat
dengan molekul non gula (aglikon atau genin). Keduanya dihubungkan oleh ikatan
glikosidik berupa jembatan oksigen ( O-glikosida, dioscin), jembatan nitrogen (Nglikosida, adenosine), jembatan sulfur (S-glioksida, sinigrin), maupun jembatan karbon
(C-glikosida, barbaloin). Glikosida yang mengandung ikatan glikosidik nitrogen sering
dinamakan glycosylamines. Glikon dapat mengandung satu monomer (monosakarida)
atau beberapa monomer (oligosaksrida). Struktur O-glikosida dapat disajikan pada
Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Struktur O-glikosida (Sheila N. A., 2013)
Gula yang sering terdapat dalam glikosida yaitu D-glukosa.

Namun ada
beberapa jenis gula lainnya yang terdapat dalam glikosida yaitu ramnosa, digitoksosa,
fruktosa, arabinosa, xylosa, atau simarosa. Penamaan komponen glikon yaitu dengan
cara mengganti akhiran sa menjadi sida. Apabila kelompok glikon berupa glukosa,
maka dinamakan glukosida. Apabila kelompok glikon berupa fruktosa, maka
dinamakan fruktosida. Bagian aglikon atau genin terdiri dari berbagai macam senyawa

organik seperti triterpena, steroid, antrasena, ataupun senyawa-senyawa yang


mengandung gugus fenol, alkohol, aldehid, keton, dan ester (Sheila N. A., 2013 ;
Anonim, 2012).
Steviosida merupakan salah satu glikosida utama dalam daun stevia yang
memiliki rasa manis 250-300 kali dari sukrosa dan memiliki nama lain yaitu (4)-13[(2-O--DGlucopyranosyl-D-glucopyranosyl)oxy]kaur-16-en-18-oicacid

-D-glucopyranosyl

ester

(Sigma

Aldhrich, 2013). Kandungan steviosida dalam daun stevia kering yaitu 5 22 %-berat
dan pada bunga stevia yaitu 0,9 %-berat. Steviosida mempunyai nilai kalori yang
rendah, sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh orang yang mengidap penyakit diabetes
mellitus dan bagi yang sedang melakukan diet. Steviosida tidak bersifat racun, sehingga
aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Steviosida mempunyai rumus empiris
C38H60O18 dan berat molekul 804,90 g/mol. Apabila diurai sempurna stevioside
mengandung 56,90 % C, 7,51 % H, dan 35,78 % O. Senyawa Steviosidamemiliki titik
lebur 198 oC, berbentuk kristal amorf dan hidroskopis, larut dalam air, dioxan, dan
metanol, dan sedikit larut dalam alkohol (Luqman B., 2007) . Struktur kimia steviosida
disajikan dalam Gambar 2.4:
Steviosida dalam tubuh bekerja dengan cara meningkatkan produksi hormon
insulin dan sensitivitasnya. Peningkatan hormon insulin dalam plasma darah. Senyawa
ini juga menghambat penyerapan glukosa pada usus dan pembentukan glukosa pada
hati dengan mengubah aktivitas sejumlah enzim yang berperan dalam sintesa glukosa,
sehingga kadar glukosa dalam (Chatsudthipong, 2009).
Rebaudiosida A merupakan salah satu glikosida dalam daun stevia yang
mempunyairasa pahit dengan tingkat terendah dibandingkan dengan glikosida lainnya.
Rebaudiosida mempunyai sifat yang lebih stabil dan rasa yang lebih manis daripada
steviosida karena memiliki kandungan glukosa yang l C44H70O23, berat molekul
glucopyranosyl-3-O--Dglucopyranosyl glucopyranosyl ester (Sigma Aldhrich, 2013)
Gambar 2.5 berikut:
Pada proses pencernaan, rebaudiosida dimetabolisme menjadi steviosida,
kemudian steviosida dipecah menjadi glukosa dan steviol. Glukosa tersebut digunakan
oleh bakteri dalam usus besar dan tidak diserap dalam darah. Steviol tidak dicerna dan
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk steviol glucuronide (Anonim, 2008). Proses
perubahan rebaudiosida dalam usus besar manusia disajikan dalam Gambar 2.6
berikut: Gambar 2.6 Proses penguraian steviol glikosida dalam usus besar manusia

Pembentukan akar merupakan tahapan penting dalam perbanyakan bibit


secara in vitro. Inisiasi perakaran tanaman dalam model ini dapat dipacu dengan
menambahkan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) pada media tanam. ZPT yang umum
digunakan untuk pendorong perakaran adalah golongan auksin, yaitu Indole-3-Acetic
Acid (IAA), Naphtalene Acetic Acid (NAA), dan Indole-3-Butyric Acid (IBA). Pemilihan
jenis auksin untuk memacu pertumbuhan akar didasarkan pada: sifat translokasi,
persistensi (tidak mudah terurai), dan laju aktivitas. IBA merupakan jenis auksin yang
paling sering digunakan dalam menginduksi akar diban-dingkan jenis auksin lainnya,
karena kemampuan yang tinggi dalam menginisiasi perakaran (Wattimena, 1992).
Selain IBA, NAA juga kerapkali digunakan karena mempunyai sifat translokasi yang
lambat dan persistensi yang tinggi.
Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana) memiliki berbagai keunggulan namun
mengalami keterbatasan dalam perbanyakan bibit. Jenis ini mengandung senyawa
steviosida dengan tingkat kemanisan 300-400 kali dibandingkan gula tebu sukrosa
(Geuns, 2003; Megeji et al., 2005; Mousumi, 2008). Gula stevia bersifat nonkarsinogenik dan rendah kalori, sehingga cocok untuk penderita diabetes dan obesitas.
Stevia juga dapat dimanfaatkan sebagai pencegah timbulnya plak gigi dan
menurunkan akumulasinya sebesar 57,82% (De Slavutzky dan Blauth, 2010).
Saat ini stevia telah banyak digunakan dalam campuran makanan dan minuman
di negara Amerika Selatan, Jepang, Cina dan Korea Selatan serta negara-negara lain di
Asia. Di Indonesia sendiri penggunaan stevia masih terbatas pada industri jamu dalam
negeri dan memenuhi permintaan pasar luar negeri dimana satu produsen dapat
memasok 50-70 t daun stevia kering per bulan dengan harga jual sekitar Rp 23.000,sampai Rp 24.000,- per kg (http://www. ciputraenterpreneurship).
Perbanyakan stevia secara konvensional umumnya dilakukan dengan biji atau
setek.

Perbanyakan

menggunakan

biji

kurang

efektif

karena

rendahnya

perkecambahan dan kese-ragaman (Goettemoeller dan Ching, 1999). Perba-nyakan


stevia melalui setek menghasilkan benih yang seragam tetapi jumlahnya terbatas.
Perbanyakan menggunakan teknik kultur jaringan merupakan metode yang dapat
digunakan untuk menghasilkan benih seragam secara massal dan cepat.
Multiplikasi tanaman stevia telah dilakukan dalam berbagai penelitian,
diantaranya perbanya-kan stevia menggunakan sumber eksplan pucuk dengan media
Lismainer dan Skoog (Gunawan, 1992), sementara Pratiwi (1995) telah memperoleh 10
tunas baru dalam waktu 50 hari pada perbanyakan stevia dengan menggunakan teknik

kultur jaringan. Kristina dan Syahid (2010) telah melakukan perbanyakan dan
penyimpanan Stevia dengan menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) dan
penambahan Benzyl Amino Purine (BAP) 0,1 mg l-1 yang menghasilkan sekitar 20
tunas per botol. Keberhasilan tersebut tentunya perlu didukung dengan optimalisasi
perakaran untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi. Gunawan (1992) telah
melakukan inisiasi perakaran stevia dengan cara menginduksi stevia yang telah
dikulturkan selama 30 hari pada media Linsmainer dan Skoog yang ditambahkan
dengan 0,1 mg l-1 NAA. Namun belum dilakukan studi lebih lanjut dengan
menggunakan jenis auksin lain pada berbagai konsentrasi untuk mendapatkan inisiasi
perakaran yang optimum sabagai protokol perbanyakan bibit secara in vitro. Penelitian
ini dilakukan untuk mengukur respon stevia terhadap zat pengatur tumbuh induksi
perakaran (IAA, IBA dan NAA) dan tahap aklimatisasi. Diharapkan melalui penelitian
ini akan diperoleh informasi jenis auksin dan konsentrasi yang optimal untuk
mendukung perbanyakan bibit stevia secara in vitro.
Masyarakat Indonesia sehari-harinya kebanyakan mengonsumsi gula hablur
dari tebu sebagai zat karbohidrat untuk tubuh yang diproses menjadi energi dan dari
non tebu masih rendah (Gondosari, 2010). Mulai tahun 2010, diperkirakan kebutuhan
gula nasional mencapai 34,9 juta ton, sedangkan produksi gula dalam negeri hanya
mampu 2,12,7 juta ton (memenuhi 60% kebutuhan), sehingga sekitar 2,2 juta ton
masih impor melalui kebijakan pemerintah (Agustiar, 2010; Triyatna, 2012).
Pemenuhan kebutuhan gula selain impor juga melalui upaya swasembada gula dengan
bentuk revitalisasi sektor on-farm berupa perluasan areal dan peningkatan
produktivitas gula, dan revitalisasi sektor off-farm salah satunya berupa pemberdayaan
penelitian dan pengembangan gula (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian, 2010).
Selain dilakukan produksi gula melalui tebu sebagai tanaman penghasil gula
terbesar di Indonesia, maka diperlukan studi potensi produksi gula yang dilakukan
dari tanaman yang tergolong non tebu yaitu melalui tanaman Stevia (Stevia rebaudiana
Bertoni M.) yang merupakan alternatif pengganti tebu dalam menghasilkan gula
(pemanis). Ilyas (2003) dan Rukmana (2007) menjelaskan bahwa Stevia sebagai sumber
pemanis alami non tebu ternyata memiliki keunggulan dibandingkan dengan tebu
dengan rasa yang lebih manis dibandingkan tebu karena mengandung senyawa
glikosida diterpen dengan tingkat kemanisan mampu mencapai 200300 kali gula tebu,

tetapi gula stevia kalorinya lebih rendah dibandingkan gula tebu, serta bersifat nonkarsinogenik.
Pengembangan dan pelestarian bahan baku gula di Kalimantan Tengah dan
Kota Palangka Raya dapat dilakukan menggunakan stevia dan cukup bagus
pertumbuhannya pada media tanah gambut meskipun diperlukan upaya perbaikan
media tanam gambut dan pengaturan cahaya dan suhu untuk memperlambat umur
panen dan meningkatkan potensi hasil (Susilo, 2012). Sementara itu, Provinsi
Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk dikembangkan
sebagai lahan budidaya, khususnya Kota Palangka Raya yang memiliki sebaran tanah
gambut mencapai 141.088 ha meskipun memiliki kendala berupa kesuburan yang
rendah (BPS, 2010) tetapi cukup potensial sebagai alternatif pengembangan stevia
dengan memperhatikan pengelolaan iklim mikro dan kesuburan tanah media
tanamnya.
Selain itu, karena Palangka Raya memiliki rata-rata hari hujan, curah hujan
dan suhu yang relatif tinggi serta kecepatan angin mencapai 5,4 km jam-1 (BPS, 2010),
sehingga untuk mendapat pertumbuhan yang baik dapat dilakukan penaungan
menggunakan agronet sebagai pengaturan cahaya yang menggambarkan kesesuaian
kebutuhan tanaman serta diharapkan mendukung reaksi dan dekomposisi media
tanam, memberikan efek perbaikan iklim mikro berupa mengurangi suhu udara dan
meningkatkan kelembapan udara di sekitar tanaman, menghindari kekeringan media
tanam, dan mempertahankan kelembapan media tanam (Ashari, 1995; Maghfoer dan
Koesriharti, 1998; Widiastoety et al., 2004). Upaya perbaikan sifat-sifat tanah gambut
sebagai media tanam melalui penambahan pupuk kotoran ayam juga dapat dilakukan
untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dalam menunjang pertumbuhan dan hasil
tanaman (Atikah, 2004).
Tanaman stevia ditemukan oleh Bertoni sebagai tumbuhan yang daunnya berasa
manis di daerah Paraguay pada tahun 1899. Oleh penduduk Paraguay mula-mula daun
stevia digunakan sebagai pemanis minuman dengan jalan mengeringkan daunnya.
Sebagai pemanis alami daun stevia dinilai aman dan layak digunakan dalam makanan
(Irawadi,1986). Stevia rebaudiana adalah salah satu species famili Compositae (Atmoko,
2001). Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah yang berhawa sejuk, dengan
ketinggian 500-1500 m dpl. Tanaman stevia merupakan herba tahunan yang berbentuk
perdu basah dan bercabang banyak dengan tinggi tanaman antara 60 sampai 90 cm.
Bentuk daunnya sederhana, lonjong dan langsing, pinggiran daun bergerigi halus.

Gambar 6. Tanaman stevia (Stevia rebaudiana)


Pemanis stevia bermanfaat sebagai campuran dalam minuman dengan
keasaman rendah, gula-gula, es krim, orange juice, dan minuman berkarbonat. Produk
stevia digunakan terutama untuk makanan berkalori rendah bagi penderita diabetes,
orang yang kegemukan dan penderita gigi berlubang. Pada umumnya produk stevia
dapat mengurangi atau menggantikan 10 sampai 30 persen gula (Muhammad, 1983).
Salah satu produk industri hasil perkebunan yang dibutuhkan oleh masyarakat
adalah gula. Masyarakat di Indonesia umumnya hanya mengenal tebu dan aren sebagai
tanaman penghasil gula, padahal ada tanaman lain yang dimanfaatkan sebagai pemanis
yakni stevia. Tanaman ini memang lebih populer di wilayah asalnya, Amerika Selatan,
dan juga di Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea Selatan.
Stevia baik bila dijadikan pengganti gula bagi penderita diabetes dan obesitas.
Daun stevia mampu menjadi bahan pemanis yang bisa menghasilkan rasa manis hingga
400 kali lipat dibandingkan dengan manis yang dihasilkan gula tebu. Penelitian ilmiah
mengindikasikan bahwa stevia efektif meregulasi gula darah dan dapat menormalkan
gula darah. Daun stevia menghambat pertumbuhan bakteri dan organisme yang
menyebabkan infeksi, termasuk bakteri yang menyebabkan gangguan gigi dan
penyakit gusi. Selain itu, stevia menghasilkan rasa manis yang unik tidak seperti
pemanis kebanyakan yang menimbulkan rasa pahit pada akhirnya. Air daun stevia
dapat pula digunakan untuk perawatan kulit (Cahyono, 2011).
Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di
Indonesia yang memiliki keunikan berupa rasa manis pada daunnya. Komponen utama
yang memberikan rasa manis dan terkandung paling banyak pada daun stevia adalah
steviosida (Daneshyar dkk., 2010), yang diperkirakan 300 kali lebih manis dari sukrosa
(Geuns, 2008). Bahan pemanis ini telah digunakan di banyak negara sebagai pemanis
alami non-kalori, sehingga dapat direkomendasikan untuk penderita diabetes mellitus
tipe 2 dan penderita obesitas (Jagatheeswari dan Ranganathan, 2012). Penggunaannya
juga telah diuji dan tidak memberikan efek samping (Megaji dkk., 2005 dalam Sairkar
dkk., 2009).
Potensi yang dimiliki oleh stevia menjadi perhatian banyak orang sehingga
banyak pula keinginan untuk mengembangkan tanaman ini. Kemampuan biji stevia
untuk berkecambah sangatlah rendah dan propagasi secara vegetatif juga terbatas
dilakukan karena rendahnya jumlah individu yang dapat diperoleh dari satu tanaman
induk (Saikar dkk., 2009 ; Janarthanam dkk., 2010). Oleh karena itu, kultur in vitro

dapat menjadi alternatif dan sebagai sumber yang efisien untuk produksi metabolit
sekunder (Janarthanam dkk., 2010). Kemampuan ZPT 2,4-D 1 mg/l yang digunakan
untuk menginduki kalus dari eksplan daun stevia dapat diketahui tingkat
keberhasilannya dengan pengamatan presentase pertumbuhan kalus. Jumlah eksplan
yang terinduksi diamati selama tiga minggu dan diperoleh persentase induksi kalus
diperoleh sebesar 70,2 %. Eksplan diinduksi menggunakan hormon 2,4-D 1 mg/l karena
menurut Machakova dkk. (2008), auksin yang paling umum digunakan untuk
menginduksi kalus adalah 2,4-D. Penelitian Babu dkk. (2011) juga menunjukkan bahwa
kalus dari eksplan daun stevia yang tumbuh dari medium MS dengan 2,4-D 1 mg/l
mampu menunjukkan kemampuan induksi kalus yang lebih baik dengan respon
induksi 75 5 % (Janarthanam dkk., 2010).
Menurut Payghamzadeh dan Kazemitabar (2010), BAP dan IBA memiliki efek
yang sinergis dalam pembentukan kalus dan berat basah kalus. Hal serupa juga
diungkapan oleh Mohajer dkk. (2012) dalam penelitiannya yang menggunakan
kombinasi NAA, BAP dan IBA pada medium MS dan diperoleh kombinasi 2 mg/l BAP
dan 1 mg/l IBA memberikan berat basah kalus tertinggi dari eksplan daun Sainfoin
(Onobrychis sativa). Hasil pengamatan tekstur kalus pada semua perlakuan yaitu, kalus
memiliki tekstur kompak dengan warna yang mendominasi adalah warna putih
kekuningan (Gambar 2). Menurut Lizawati (2012), warna putih atau kekuningan
menunjukkan ciri kalus yang embrionik. Selain genotipe eksplan dan ZPT endogen,
perkembangan dan tekstur kalus juga dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi ZPT,
komposisi nutrien medium dan kondisi lingkungan kultur.
Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni) merupakan tanaman perdu famili
Compositae yang berasal dari Paraguay. Daun stevia menghasilkan rasa manis yang
disebabkan oleh adanya glikosida dengan tingkat kemanisan 200 300 kali lebih tinggi
dibandingkan gula tebu atau sukrosa (Geuns, 2003; Megeji et al., 2005; Mogra &
Dashora, 2009). Glikosida dalam daun stevia terdiri dari steviosida, beberapa
rebaudiosida termasuk rebaudiosida A (reb-A), dulkosida, dan beberapa senyawa
lainnya (Kennelly, 2002; Geuns, 2003). Glikosida tidak mengandung kalori dan
mempunyai indeks glikemat hampir nol sehingga sesuai untuk penderita diabetes dan
seseorang yang sedang melakukan diet makanan untuk menurunkan berat badan
(Jeppesen et al., 2002; Gregersen et al., 2004). Stevia digunakan pada minuman ringan
rendah-kalori,

bahan

makanan,

pasta

gigi,

bahan

kosmetika,

antioksidan,

antihipertensi, zat pengatur tumbuh, dan berbagai produk lain (Midmore & Rank,
2002).
Populasi tanaman dalam budidaya stevia sangat tinggi 60 ribu sampai 100 ribu
tanaman per ha dan diremajakan setiap dua atau tiga tahun. Oleh karena itu,
diperlukan bahan tanam dalam jumlah banyak dan berkesinambungan. Perbanyakan
stevia dengan biji kurang efektif karena rendahnya persentase perkecam-bahan biji
(Goettemoeller & Ching, 1999) dan terjadinya inkompatibilitas-sendiri yang
menyebabkan turunannya sangat beragam. Perbanyakan stevia paling umum adalah
dengan stek batang yang menghasilkan benih yang seragam tetapi jumlahnya terbatas.
Teknik kultur jaringan diperlukan untuk menghasilkan bibit unggul stevia klonal
secara massal dan cepat, terutama pada tahap awal pembibitan. Kultur jaringan stevia
dilakukan melalui multi-plikasi tunas, organogenesis dan embriogenesis somatik.
Prosedur multiplikasi tunas lebih sederhana dan kemungkinan terjadinya keragaman
somaklonal lebih rendah dibandingkan dengan organogenesis dan embriogenesis
somatik karena digunakan eksplan yang telah terdiferensiasi. Media MS (Murashige &
Skoog, 1962) pada umumnya digunakan sebagai medium baku untuk kultur in vitro
stevia.
Sebagai bahan eksplan bagi multiplikasi tunas adalah tunas pucuk dan tunas
samping. Untuk meningkatkan laju multiplikasi tunas stevia, pada umumnya
digunakan sitokinin atau kombinasi sitokinin dan auksin. Sivaram & Mukundan (2003)
menggunakan ujung tunas sebagai sumber eksplan dan mendapatkan 11,2 tunas per
eksplan pada perlakuan BA 2 mg/L + IAA 1 mg/L, sedangkan Anbazhagan et al. (2010)
mendapatkan rata-rata 16 tunas tiap eksplan pada medium MS dengan BA 1 mg/L +
IAA 0,5 mg/L. Rafiq et al. (2007) melaporkan bahwa BA 2 mg/L dapat menginduksi
tunas 78% dari eksplan dengan rata-rata 8 tunas per eksplan. Mencelupkan sebentar
tunas stevia dalam larutan BA 250 atau 500 mg/L sebelum dikultur pada medium MS
meningkatkan multiplikasi tunas 2 5 kali (Manjusha & Sathyanarayana, 2010).
Peningkatan konsentrasi BA dan kinetin dilaporkan meningkatkan laju multiplikasi
tunas stevia, namun planlet yang diperoleh kecil-kecil dan tidak vigor (Ibrahim et al.,
2008). Peningkatan keragaan planlet dapat dilakukan dengan merubah komposisi
medium dan faktor lingkungan in vitro. Penambahan senyawa penghambat aktivitas
giberelin seperti ansimidol dan paklobutrazol pada medium dapat menghambat
perpanjangan batang dan menghasilkan planlet yang dapat beradaptasi lebih baik di
lingkungan luar (Ziv, 1995). Sebagai contoh penggunaan ansimidol 3 mg/L

meningkatkan

daya

hidup

planlet

stevia

saat

aklimatisasi

(Manjusha

&

Sathyanarayana, 2010).
Salah satu faktor lingkungan in vitro yang berperan dalam pertumbuhan dan
keragaan planlet adalah intensitas cahaya (Chen, 2004; Huang & Chen, 2005).
Keragaan

planlet

yang

baik

berkorelasi

positif

dengan

daya

hidup

dan

pertumbuhannya pada tahap aklimatisasi di lingkungan ex vitro (Hazarika, 2003). Hasil


penelitian ini memperlihatkan bahwa penambahan BA meningkatkan laju multiplikasi
tunas stevia, namun diperlukan juga penambahan IAA untuk memperoleh tingkat
multiplikasi tertinggi. Nampaknya perlu adanya perimbangan antara sitokinin (BA)
dan auksin (IAA) untuk meningkatkan laju multiplikasi tunas stevia, seperti yang
dilaporkan juga oleh Sivaram & Mukundan (2003) yang mendapatkan rata-rata 11,2
tunas tiap eksplan dengan BA 2 mg/L dan IAA 1 mg/L serta oleh Anbazhagan et al.
(2010) yang mendapatkan rata-rata 16 tunas tiap eksplan pada medium MS dengan BA
1 mg/L dan IAA 0,5 mg/L. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan laju
multiplikasi tunas setara atau lebih tinggi dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini,
namun planlet yang dihasilkan kecil, pendek dan tidak vigor sehingga tidak mampu
tumbuh dengan baik ketika disubkultur. BA banyak digunakan untuk meningkatkan
jumlah tunas stevia (Rafiq et al., 2007; Ibrahim et al., 2008; Sairkar et al., 2009). BA
lebih baik dibandingkan jenis sitokinin lain yaitu kinetin dalam pembentukan tunas
stevia (Anbazhagan et al., 2010). Namun, pembentukan tunas yang banyak tidak
diimbangi dengan keragaan tunas yang baik yakni tunas menjadi kecil, pendek dan
tidak vigor sehingga tidak mampu hidup ketika ditransfer ke medium baru (Ibrahim et
al., 2008; Sairkar et al., 2009).
Indonesia memproduksi gula sekitar 2,3 juta ton per tahun dan jumlah ini hanya
dapat memenuhi 40% kebutuhan gula nasional (Didik 2013), sisanya dipenuhi dari
impor gula maupun dengan menggunakan bahan pemanis lainnya. Bahan pemanis
alami memiliki nilai kalori tinggi dan mudah dicerna tubuh, contohnya yaitu gula dari
aren, bit, madu, dan kelapa. Bahan pemanis sintesis yang banyak dikonsumsi
masyarakat yaitu saccharine, aspartame, siklamat, sorbitol, xylitol, sucralose, dan
acesulfame-K (Luqman 2007). Bahan pemanis sintesis memiliki nilai kalori rendah dan
sulit dicerna tubuh. Pemanis non-nutritif alami antara lain: thaumantin, monellin,
miraculin, brazzein, stevioside, glycyrrhizinic acid, mogroside, dan dihydrochalcones
(Chattopadhya 2007).

Pemanis Stevia berasal dari tumbuhan dan diperoleh melalui ekstraksi daun
Stevia Rebaudiana Bertoni, sehingga penggunaanya lebih aman. Keunggulan Stevia
yaitu tidak menyebabkan kanker (non karsinogenik), karies gigi, dapat mencegah
obesitas, menurunkan tekanan darah tinggi, dan kandungan kalori yang rendah
dengan tingkat kemanisan yang jauh lebih tinggi daripada gula tebu yaitu 200-300 kali
lebih manis (Raini 2011). Di dalam daun Stevia terdapat bermacammacam glikosida.
Namun glikosida yang paling dominan dan memberikan rasa manis yaitu steviosida
atau (4)-13- [(2-O--D-Glucopyranosyl--D-glucopyranosyl)oxy]kaur- 16-en-18-oicacid
-D-glucopyranosyl ester (Sigma 2013) dan rebaudioksida-A atau (4)-13-[(2-O-Dglucopyranosyl- 3-O--Dglucopyranosyl--Dglucopyranosyl)- oxy]kaur-6-en-8-oic acid
-Dglucopyranosyl ester (Sigma 2013).
Keunggulan lain yaitu pembudidayaan Stevia yang mudah (dengan masa
pertumbuhannya sekitar tiga hingga empat bulan hingga masa panen), serta
mengandung vitamin, protein, kalsium, dan kandungan lainnya yang bermanfaat bagi
tubuh. Daun Stevia adalah tanaman asli dari Paraguay sehingga perlu diperhatikan
kesediaan bahan baku dari Stevia itu sendiri. Dalam penelitian ini juga diperhatikan
cara penanaman dan pemeliharaan pohon Stevia, serta cara panen yang benar,
sehingga pada akhirnya daun Stevia ini dapat tumbuh dan dikembangbiakan di
Indonesia (khususnya di Bandung yang memiliki suhu udara dan kelembaban yang
sesuai dengan sifat dari daun Stevia itu sendiri).

Anda mungkin juga menyukai