Anda di halaman 1dari 43

Teknik kultur jaringan tumbuhan atau kultur in vitro dapat dijadikan sebagai alternatif

pemecahan masalah bagi perbanyakan bibit dan perolehan metabolit sekunder dari tanaman
ini. Teknik ini dapat menghasilkan metabolit sekunder dalam jaringan tanaman dan juga
dalam sel-sel yang dipelihara pada media buatan secara aseptik (Fitriani, 2003). Metabolit
sekunder bisa diperoleh melalui kultur kalus. Metabolit yang dihasilkan dari kalus sering kali
kadarnya lebih tinggi dari pada metabolit yang diambil langsung dari tanamannya. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan kalus adalah dengan
menambahkan pra zat ke dalam media.
Media kultur jaringan tumbuhan berisi garam-garam mineral, hormon, vitamin,
sumber karbon, dan asam amino. Smith (1992) menyatakan pemilihan media kultur jaringan
merupakan kunci sukses dalam kultur jaringan. Hal ini menyebabkan banyak diadakan
penelitian untuk memodifikasi media-media yang memberikan respon berbeda terhadap
berbagai macam tanaman.
Sumber karbon merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menentukan
keberhasilan kultur jaringan selain kombinasi zat tumbuh (ZPT). Sumber karbon berfungsi
sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh sel untuk dapat melakukan pertumbuhan
(Kimball, 1994). Glukosa dan fruktosa sebagai hasil hidrolisis sukrosa dapat merangsang
pertumbuhan beberapa jaringan. Konsentrasi sukrosa berpengaruh terhadap pertumbuhan
kalus (Srilestari, 2005). Pembentukan kalus terjadi karena adanya pelukaan yang diberikan
pada eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut.
Pada awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan
membengkak selanjutnya terjadi pembelahan sel. Sel dapat melakukan aktivitas metabolik
tersebut membutuhkan energi. Sukrosa yang ditambahkan dalam media, akan menjadi
sumber energi sel-sel eksplan, sehingga sel dapat mengalami pembentangan dan pembelahan
selanjutnya akan membentuk kalus.
Kultur kalus merupakan budidaya secara heterotrof. Sel tidak dapat melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan karbon seperti halnya tanaman autotrof, sehingga sumber
karbon harus diperoleh dalam bentuk karbohidrat yang ditambahkan dari luar. Gula
merupakan sumber karbon sebagai pengganti karbon yang biasanya diperoleh tanaman dari
atmosfer dalam bentuk CO2 untuk bahan fotosintesis. Jika tidak ada sukrosa, maka aktivitas
dan pertumbuhan kalus tidak dapat berlangsung dan pada akhirnya sel-sel tersebut akan mati,
karena tidak ada sumber energi. Hal tersebut membuktikan bahwa sukrosa merupakan
komponen penting yang harus tersedia dalam media kultur jaringan tumbuhan. Sukrosa yang
ditambahkan dalam media akan berfungsi sebagai bahan baku dalam proses respirasi oleh selsel eksplan untuk dapat melakukan aktivitas sel (Kimbal, 1994 & Wirahadikusumah, 1985).
Sukrosa dalam media akan dihidrolis menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa akan
mengalami penguraian melalui respirasi sel yang akan menghasilkan karbon dan energi.
Energi ini akan digunakan oleh sel-sel eksplan untuk menutupi luka yang terjadi dengan cara
membentuk kalus. Karbon merupakan komponen penting bagi senyawa-senyawa penyusun
sel seperti karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat (Campbell et al., 2003). Jika sumber
karbon mencukupi maka komponen-komponen sel ini akan terbentuk cepat, waktu inisiasi
kaluspun akan lebih cepat sehingga sel akan mempunyai kesempatan untuk membelah lebih
optimal. Pembelahan sel yang optimal akan menyebabkan pertumbuhan kalus yang optimal
dan akan meningkatkan berat basah kalus.

Kalus remah merupakan kalus yang paling baik. Kalus remah ialah kalus yang
tumbuh terpisah-pisah menjadi bagian-bagian yang kecil, mudah lepas dan mengandung
banyak air (Zakiah dkk, 2003 & Anonim, 2007). eksplan tidak dapat tumbuh dan eksplan
berwarna coklat serta mulai membusuk. Hal ini karena tidak ada sukrosa, sehingga sel-sel
pada eksplan tidak mendapat sumber energi dan karbon untuk dapat tumbuh dan membentuk
komponen-komponen sel, sehingga sel-sel pada eksplan menjadi mati atau membusuk.
Selain itu, salah satu manfaat kultur kalus adalah untuk mendapatkan produk yang
berupa kalus dari suatu eksplan yang dapat ditumbuhkan secara terus-menerus sehingga dapat
dimanfaatkan dalam mempelajari metabolisme dan diferensiasi sel, morfogenesis sel, variasi
somaklonal, transformasi genetik serta produksi metabolit sekunder juga merupakan beberapa
manfaat dari hasil kultur kalus. Menurut George (1993) kalus dapat diinisiasi secara secara in
vitro dengan meletakkan irisan jaringan tanaman (eksplan) pada media tumbuh dalam kondisi
steril. Dengan adanya luka irisan 2,4-D lebih muda berdifusi ke dalam jaringan tanaman,
sehingga 2,4-D yang diberikan akan membantu auksin endogen untuk menstimulasi atau
merangsang pembelahan sel, terutama sel-sel di sekitar area luka (Ulfa , 2011).
Saat munculnya kalus dihitung berdasarkan kecepatan eksplan menunjukkan tandatanda membentuk kalus setelah kultur. Menurut Gati dan Mariska (1992), 2,4-D efektif untuk
merangsang pembentukan kalus karena aktivitas yang kuat untuk memacu proses diferensiasi
sel, organogenesis dan menjaga pertumbuhan kalus. Selain itu, studi tentang pengaruh asam
2,4-D terhadap pembentukan kalus dan pertumbuhan Acalypha indica L. menunjukkan
bahwa kehadiran BAP di media juga mendukung pembentukan kalus (Rahayu et al., 2002).
Mofologi kalus merupakan bentuk fisik kalus yang dihasilkan dalam setiap perlakuan yang
diamati berdasarkan bentuk, warna, dan tekstur kalus. Warna dan tekstur kalus merupakan
indikasi awal dimulainya respon organogenesis. Kalus yang berwarna putih merupakan
jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas, tetapi memiliki kandungan butir pati
yang tinggi (Tsuro, 1998). Menurut George (1993), jika rasio auksin lebih rendah daripada
sitokinin maka organogenesis akan mengarah ke tunas, jika rasio auksin seimbang dengan
sitokinin maka akan mengarah ke pembentukan kalus sedangkan jika rasio auksin lebih tinggi
daripada sitokinin organogenesis akan cenderung mengarah ke pembentukan akar.
Pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurwahyuni dan Puspa
(1994) tentang induksi kalus Dioscorea composita dengan menggunakan kombinasi auksin
dan sitokinin. Dalam penelitannya menunjukkan bahwa konsentrasi auksin yang tinggi selain
memacu pertumbuhan kalus juga mampu menghasilkan akar dari tanaman D. composita.
Perbanyakan secara vegetatif diperlukan apabila ingin memperoleh kondisi generasi
baru (anakan) yang memiliki karakter yang sama seperti induknya, atau bermaksud
menduplikasi pohon induk. Teknik vegetatif ini sangat cocok untuk tujuan konservasi plasma
nutfah antara lain dalam rangka menduplikasi material genetik pohon induk yang telah
diketahui memiliki karakter yang unggul (Zobel and Talbert, 1984). Teknik vegetatif yang
bisa dikembangkan berkaitan dengan duplikasi material genetik adalah okulasi, stek dan
kultur jaringan. Teknik kultur jaringan untuk tujuan perbanyakan bibit surian hanya
diperlukan apabila menginginkan kondisi bibit yang seragam dalam waktu yang cepat dan
eksplantnya berasal dari pohon elit (superior). Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk
mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya menjadi
tanaman utuh dalam kondisi lingkungan yang aseptik (in vitro). Keberhasilannya sangat

dipengaruhi oleh media yang digunakan, sumber eksplan, pemberian zat pengatur tumbuh,
unsur hara makro dan mikro, bahan organik, karbohidrat, asam amino, vitamin, bahan
pemadat media dan kondisi bahan, peralatan dan ruangan yang steril (aseptik). Respon
pertumbuhan planlet pada kultur jaringan juga tergantung pada jenis tanaman yang
dikulturkannya. (George and Sherington, 1984; Struik 1991; Narayaswamy, 1994)
Proses sterilisasi bahan eksplan merupakan kegiatan penting dalam kultur jaringan.
Sterilisasi tersebut tidak hanya dilakukan terhadap bahan eksplan tetapi juga terhadap bahan
dan peralatan, serta ruangan yang digunakan. Kegiatan sterilisasi bertujuan untuk
mengeliminasi patogen atau cendawan yang mungkin terbawa saat pengambilan eksplan,
yang dapat menimbulkan kontaminasi sehingga menghambat pertumbuhan eksplan menjadi
tanaman utuh. Banyak bahan deinfektan yang dapat digunakan untuk sterilisasi media dalam
kultur jaringan, diantaranya adalah HgCl2 dan Clorox (Gunawan, 1992; Sugiyama, 1999).
Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri awalnya ditandai dengan pembentukan
selaput bening yang membayang pada media dan berubah menjadi putih kekuningan. Kondisi
ini diduga karena kandungan kontaminan pada bahan eksplan (benih) itu sendiri atau
mungkin juga dari penggunaan alat yag kurang steril. Kontaminasi cendawan umumnya
berasal dari media dan bahan tanaman dari lapangan. Pada minggu pertama kontaminasi
cendawan sangat tinggi pada perlakuan kontrol (tanpa sterilisasi). Cendawan yang terlihat
awalnya berupa kumpulan spora berwarna coklat pada media/eksplan yang kemudian
menyebar ke sekeliling media dan menutupi seluruh permukaan eksplan, hingga akhirnya
eksplan tersebut mati.
Kelebihan perbanyakan secara in vitro adalah kemampuan memperoleh eksplan yang
tepat sesuai keinginan. Selain itu, keseragaman tanaman dapat dipertahankan serta mampu
dengan cepat diperoleh bibit untuk skala besar bila diiringi dengan penerapan teknologi
budidaya yang tepat. Menurut Gunawan (1995), kelebihan kultur jaringan adalah hasil
perbanyakan pertama, baik berupa biji dan mata tunas, dapat langsung digunakan untuk
perbanyakan selanjutnya.
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan
(Abidin, 1990). Karbohidrat terutama gula merupakan komponen penting dalam budidaya
jaringan, karena selain sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai pengatur tekanan
osmotik media (Gunawan, 1987). Thiamin yang terkandung dalam buah tomat merupakan
vitamin yang esensial dalam budidaya jaringan dimana fungsinya sebagai koenzim yang
membantu reaksi kimia dalam proses metabolisme. Selain itu pada bagian biji buah tomat
mengandung auksin.
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) auksin dapat menaikan tekanan osmotik,
meningkatkan sintesis protein, dan melunakkan dinding sel. Dengan adanya kenaikan sintesis
protein maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Menurut
Darmawan dan Baharsjah (1983), untuk mendukung pembentukan klorofil diperlukan unsurunsur yang terkandung di dalam sukrosa seperti karbon, oksigen, dan hidrogen. Ditambahkan
oleh Dwidjoseputro (1990), bahwa karbohidrat terutama dalam bentuk sukrosa dapat
membantu dalam pembentukan klorofil pada daun-daun yang tumbuh karena kekurangan
sinar matahari. Tanpa pemberian sukrosa, daun-daun tersebut tidak mampu menghasilkan
klorofil meskipun faktor-faktor lainnya mencukupi.

Menurut Dwijoseputro (1990) magnesium dan besi penting untuk pembentukan


klorofil, jika kekurangan salah satu unsur tersebut mengakibatkan klorosis. Selain itu vitamin
B1 yang berperan sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat
yang ada pada lidah buaya tersebut, serta vitamin C-nya yang dapat mencegah terjadinya
browning. Browning merupakan suatu proses oksidasi larutan fenol menjadi larutan berwarna
coklat yang disebut quinon yang bersifat toksik, dalam budidaya jaringan larutan quinon akan
terakumulasi dalam media di sekitar plb sehingga meracuni plb itu sendiri.
Bioteknologi nampaknya dapat menjadi alternatif untuk menjawab berbagai
permasalahan tersebut. Penggunaan teknik tersebut antara lain sangat tergantung pada
keberhasilan sistem regenerasi tanaman melalui teknik kultur jaringan. Untuk jangka panjang,
perbanyakan tanaman secara in vitro diharapkan dapat membantu mengatasi kesulitan
penyediaan bibit kacang tanah secara konvensional.
Perbanyakan in vitro tanaman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
organogenesis dan embriogenesis somatik. Dibandingkan dengan teknik organogenesis,
regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik memiliki beberapa keunggulan karena
mampu menghasilkan embrio bipolar dari sel atau jaringan vegetatif (Litz dan Gray, 1995).
Embrio somatik dapat diinduksi secara langsung dari jaringan eksplan atau secara tidak
langsung melalui fase kalus. Macam vitamin yang digunakan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan secara in vitro. Untuk embriogeneis somatik umumnya
digunakan vitamin B5. Beberapa hasil penelitian penggunaan vitamin B5 dapat menghasilkan
embrio somatik lebih banyak antara lain pada tanaman kopi arabika (Priyono, 1993), rotan
(Gunawan dan Wiendi, 1992), kedelai (Ratnadewi et al., 1996) dan lada liar (Husni et al.,
1997).
Komponen penting lain yang diketahui dapat mempengaruhi induksi embrio somatis
adalah dengan cara memodifikasi konsentrasi sukrosa dalam media (Lazzeri et al., 1988).
Menurut Pierik (1987) serta George dan Sherrington (1984), sukrosa dalam media berfungsi
sebagai sumber energi dan untuk keseimbangan tekanan osmotik media. Penambahan vitamin
pada medium dapat mempercepat pertumbuhan dan diferensiasi embrio. Vitamin yang
banyak digunakan adalah vitamin B1 (tiamin), vitamin B3 (asam nokitinat) dan vitamin B
(pirodiksin).
dan vitamin MS) ternyata
Pada kedua macam vitamin yang digunakan (vitamin B5
semua eksplan respon dalam pembentukan embrio, karena pada masing-masing vitamin
tersebut mengandung tiamin, asam nikotinat dan piridoksin. Diantara ketiga golongan
vitamin tersebut ternyata hanya tiamin (vitamin B1) yang secara umum digunakan. Dalam
banyak kasus piridoksin, asam nikotinat atau glisin hanya diperlukan dalam jumlah yang
kecil (Murashige dan Skoog, 1984). Hal ini sejalan pula dengan Wattimena (1992) yang
mengatakan bahwa tiamin merupakan komponen penting dalam metabolisme sel yang
dibutuhkan hampir semua kultur. Keberhasilan dalam kultur jaringan tanaman sangat
tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman tidak hanya
menyediakan unsur hara makro dan mikro tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya
berupa gula. Gula ini merupakan sumber karbon sebagai pengganti karbon yang biasanya
didapat tanaman dari atmosfer dalam bentuk CO 2 yang menjadi komponen untuk fotosintesis

(Winata, 1988). Menurut George dan Sherrington (1984), sukrosa merupakan sumber karbon
penting yang digunakan sebagai penyusun sel. Dengan adanya sukrosa yang cukup, maka
pembelahan sel, pembesaran sel dan diferensiasi sel selanjutnya dapat berlangsung dengan
baik. Disamping itu, sukrosa bila disterilisasi pada suhu yang sesuai akan terhidrolisis
menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa merupakan sumber kekuatan bagi sel untuk tumbuh
dan berkembang membentuk sel-sel baru, sehingga tumbuh embrio.
Tiamin merupakan vitamin yang esensial untuk hampir semua kultur jaringan tumbuhan
untuk mempercepat pembelahan sel. Tiamin berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme
karbohidrat. Menurut Suseno cit. Widiastoety dan Syafril (1992) tiamin berfungsi sebagai
koenzim yang merangsang aktivitas hormon yang terdapat dalam jaringan tanaman.
Selanjutnya hormon tersebut akan mendorong pembelahan sel-sel baru. Peranan tiamin
sebagai koenzim dapat meningkatkan proses metabolisme sehingga pertumbuhan organorgan dapat ditingkatkan. Menurut Wattimena (1992) tiamin merupakan komponen penting
dalam metabolisme sel yang dibutuhkan pada hampir semua kultur. Pemberian tiamin akan
dapat memacu embriogenesis somatik jaringan yang dikulturkan. (Wetzstein dan Baker,
1993).
Tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai tingkat keseragaman yang
lebih tinggi dan bebas patogen dibandingkan dengan teknik konvensional. Salah satu
indikator kualitas eksplan adalah daya tahannya terhadap serangan bakteri dan cendawan
(Altman dan Loberant, 1998). Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dikerjakan dengan
berbagai cara, antara lain kultur embrio, kultur biji, kultur meristem, kultur suspensi, kultur
anther dan polen, kultur pucuk bunga, kultur ovul, dan kultur protoplas. Perbanyakan
heliconia secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan rhizome, ovul dan
biji.
Kultur in vitro telah dikenal sejak tahun 1940 dalam skala kecil laboratorium dan
penelitian. Pada tahun 1970 mulai dilakukan pada tanaman pangan utama, tanaman hias
populer dan skala produksi besar. Sebagian besar tanaman telah banyak dikultur secara in
vitro dan 50-75% diantaranya merupakan bunga dan tanaman hias (Altman dan Loberant,
1998).
Penerapan teknik kultur in vitro dilakukan untuk mendapatkan tanaman bebas penyakit,
pelestarian plasma nuftah dengan memproduksi klonal true-to-type dalam jumlah besar,
terutama untuk perbanyakan cepat serta memproduksi tanaman baru hasil pemuliaan dalam
jumlah besar (Altman dan Loberant, 1998). Gunawan (1992) menambahkan bahwa teknik
kultur in vitro dapat digunakan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder. Langkah
kerja dalam pelaksanaan kultur in vitro meliputi persiapan media kultur, isolasi bahan
tanaman (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, mengkulturkan, aklimatisasi, dan
usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang (Gunawan, 1988).
Media kultur adalah media steril yang digunakan untuk menumbuhkan sumber bahan
tanaman menjadi bibit (Mariska dan Sukmadjaja, 2003). Keberhasilan dalam metode kultur
jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman tidak
hanya menyediakan unsur-unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada
umumnya berupa gula untuk mengganti karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui
fotosintesis (Gunawan, 1988).

Komponen dasar media kultur ialah air, gula sebagai sumber karbon, garam inorganik,
hara mikro dan makro, vitamin, dan hormon pertumbuhan. Saat ini sudah banyak dipakai
media sintetik sebagai sumber nutrisi bagi tanaman (Altman dan Loberant, 1998). Komposisi
media yang umum digunakan untuk perbanyakan tanaman adalah media Murashige-Skoog
(MS) dan Gamborgs (B5). Untuk memudahkan pembuatan media, biasanya komponen
tersebut dibuat dalam larutan stok (Lampiran 1). Larutan stok dari unsur-unsur makro dan
mikro biasanya dibuat dalam konsentrasi 100 kali, vitamin, dan zat pengatur tumbuh dibuat
dalam 1000 kali. Semua larutan stok sebaiknya disimpan dalam lemari es dengan suhu 10C
(Mariska dan Sukmadjaja, 2003).
Eksplan adalah bagian tanaman yang akan dikulturkan. Eksplan dapat berasal dari
meristem, tunas, batang, antera, daun, embrio, hipokotil, biji, rhizome, akar atau bagianbagian lain. Ukuran eksplan yang digunakan bervariasi dari ukuran mikroskopik ( 0,1 mm)
sampai 5 cm (Mariska dan Sukmadjaja, 2003).
Pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh keadaan
jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro adalah genotip
tanaman asal eksplan diisolasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa respon masingmasing eksplan tanaman sangat bervariasi tergantung dari spesies, bahkan varietas, tanaman
asal eksplan tersebut. Pengaruh genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur
tumbuh, dan lingkungan kultur. Oleh karena itu, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan
lingkungan pertumbuhan yang dibutuhkan oleh masing-masing varietas tanaman bervariasi
meskipun teknik kultur jaringan yang digunakan sama. Selain faktor genetis eksplan, kondisi
eksplan yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase
fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan (http://e-learning.unram.ac.id diakses 4
Agustus 2008).
Umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh
dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda
(juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah
terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan
dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur
dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan
menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, atau inflorescence yang
belum dewasa (http://e-learning.unram.ac.id diakses 4 Agustus 2008).
Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil
lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun
kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih
kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka
semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk disterilkan,
membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. (http://e-learning.unram.ac.id
diakses 4 Agustus 2008).
Eksplan yang berasal dari lapangan mengandung debu, kotoran- kotoran, dan berbagai
kontaminan hidup pada permukaannya. Sterilisasi bahan tanaman mutlak dilakukan
(Gunawan, 1988). Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) sterilisasi eksplan merupakan

bagian yang paling sulit dalam proses produksi bibit melalui kultur jaringan. Sterilisasi
biasanya dilakukan dalam beberapa tahap. Menurut Gunawan (1988) sterilisasi dimulai
dengan pencucian dan pembuangan bagian-bagian yang kotor dan mati dengan air steril
kemudian perendaman dalam larutan aseptik.
Pemeliharaan kondisi lingkungan kultur yang optimum dalam kultur in vitro merupakan
kunci utama dari keseluruhan langkah kerja. Pada kultur in vitro dibutuhkan cahaya, suhu,
dan RH (relative humidity) yang konstan. Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam
kondisi in vivo, kuantitas dan kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang
gelombang cahaya mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in vitro (Altman dan
Loberant, 1998). Pertumbuhan organ atau jaringan tanaman dalam kultur in-vitro umumnya
tidak dihambat oleh cahaya, namun pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya.
Pada perbanyakan tanaman secara in vitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang
penyimpanan dengan penyinaran (http://e-learning.unram.ac.id diakses 4 Agustus 2008).
Suhu yang umum dibutuhkan oleh sebagian besar tanaman antara 22C dan 27C, tergantung
jenis tanaman, tingkat pertumbuhan tanaman. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum,
pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman
juga terhambat abibat tingginya laju respirasi eksplan (http://e-learning.unram.ac.id diakses 4
Agustus 2008). RH yang umum dibutuhkan ialah 98-100%. Beberapa tanaman lebih efektif
pada RH 88-94%. Ruangan kultur dengan RH <40% menyebabkan desikasi (kekeringan)
media, meningkatnya kadar garam dalam media, dan bahan menjadi kering (Altman dan
Loberant, 1998).
Secara umum agar kegiatan kultur jaringan berjalan dengan baik dan bahan tanaman
dapat tumbuh berkembang seperti yang diharapkan, maka pada tahap inkubasi di ruang kultur
pengendalian suhu, cahaya, tingkat kelembaban, dan beberapa faktor lingkungan lain yang
menunjang adalah merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian (Santoso dan
Nursandi, 2003). Kontaminasi seringkali terjadi setelah inkubasi berjalan beberapa lama.
Penyemprotan dengan alkohol 70% secara intensif ke seluruh ruangan kultur merupakan
pencegahan yang dapat dilakukan (Santoso dan Nursandi, 2003).
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah (< 1 M) mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. ZPT banyak digunakan di dalam
praktek kultur jaringan. Semua hormon tanaman sintetik atau senyawa sintetik yang
mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah ZPT.
Pada saat ini dikenal 6 kelompok ZPT, yaitu: auksin, giberelin (GA), sitokinin, asam absisik
(ABA), etilen, dan retardan (Armini et al., 1991). ZPT mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat
pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi secara endogen oleh sel
dapat menentukan arah perkembangan suatu kultur. Golongan ZPT yang sangat penting
dalam kultur jaringan tanaman, salah satunya adalah sitokinin (Gunawan, 1988).
Sitokinin merupakan turunan dari adenin. Sitokinin sangat penting dalam pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang pertama ditemukan adalah kinetin.
Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, zeatin, 2ip, BAP/BA,
PBA, 2C 1-4 PU: N, 2,6-C 1-4 PU: N, dan thidiazuron (Gunawan, 1992). Sitokinin alami
banyak terdapat pada akar muda, biji dan buah yang belum masak, dan endosperma (Gardner

et al., 1991). Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis,
pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi,
pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi, serta menghambat
senesen dan absisi. Pengaruh sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman antara lain
berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan
pertumbuhan akar, dan induksi umbi mikro (Armini et al., 1991).
Multiplikasi tunas yang diinduksi dari benih steril dengan cara mengkulturkan benih
steril pada media yang mengandung sitokinin dapat menghasilkan laju multiplikasi yang
cukup tinggi. Pertumbuhan tunas in vitro dan daya tahan tanaman Asparagus plomusus jauh
lebih baik menggunakan 2ip dan zeatin daripada kintein dan BAP. Pada umumnya di dalam
suatu percobaan kultur jaringan dipergunakan BAP dan kinetin yang jauh lebih murah dan
tahan terhadap degradasi (Armini et al., 1991). Menurut Wattimena (1988) BAP merupakan
ZPT yang tergolong sitokinin sintetik yang memiliki berat molekul sebesar 225.26 dengan
rumus molekul C12H11N5 (Gambar 3), yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT
lainnya. Kosmiatin et al. (2005) melaporkan bahwa media kultur yang berisi 1 mg/l BAP
menghasilkan induksi dan multiplikasi tunas terbaik pada perbanyakan dan perkecambahan
gaharu secara in vitro.
Menurut Bewley dan Black (1982) terdapat 80 jenis giberelin yang diketahui saat ini.
Krisnamoorthy dalam Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa sejumlah besar giberelin
dengan struktur kimia dan kegiatan biologis yang diperlukan terdapat secara alami, dan
banyak diisolasi dari bakteri, fungi, lumut, paku dan dan diidentifikasi sebagai substansi
seperti GA. Menurut Carr dalam Gardner et al. (1991) semua organ tanaman mengandung
berbagai macam GA pada tingkat yang berbeda-beda, tetapi sumber terkaya dan mungkin
tempat sintesisnya ditemukan pada buah, biji, tunas, daun muda, dan ujung akar. Menurut
Bewley dan Black (1982) sebagian besar giberelin ditemukan di dalam biji. Menurut Armini
et al. (1991) giberelin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan tanaman ialah GA3.
GA3 merupakan giberelin sintetik yang sangat aktif dan mudah ditemukan di pasaran. GA3
mempunyai berat molekul 346.38 dengan rumus molekul C19H22O6 (Gambar 4).
Penambahan GA3 meningkatkan persentase meristem yang membentuk tunas berakar.
Gardner et al. (1991) melaporkan bahwa pembebasan -amilase yang hasilnya berupa
hidrolisis tepung dan perkecambahan membutuhkan GA3. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Padilla dan Encina (2002) pengaruh positif GA3 ditemukan dalam
perkecambahan in vitro biji cherimoya (Annona cherimolla Mill. cv. Fino de Jete) dimana
GA3 meningkatkan rata-rata daya berkecambah lebih dari 80%. Thomas (2006) melaporkan
bahwa penambahan GA3 10 mol/l, merangsang embriogenesis somatik Tylophora indica
(Burm. f.) Merrill. Menurut Pancholi et al. (1995), setelah dua minggu, 82% embrio Musa
velutina berkecambah pada media yang berisi 0.035 ppm GA3 dengan inkubasi gelap.
Menurut George dan Sherrington (1984) penambahan GA3 pada media in vitro bersama
auksin dan sitokinin meningkatkan morfogenesis.
Kontaminasi yang terjadi dapat dibedakan atas kontaminasi media dan kontaminasi
yang terbawa eksplan. Menurut Sutakaria (1974) patogen dapat mempertahankan diri dalam
bentuk miselium atau dalam bentuk lain di dalam embrio, endosperma, kulit biji atau
permukaan biji. Patogen tertentu dapat pula berada pada berbagai macam bagian dari biji
tersebut.

Persentase eksplan yang terkontaminasi bakteri sebesar 28.13% dari seluruh eksplan
yang ditanam. Terdapat kontaminasi cendawan sebesar 6.25% dari seluruh eksplan yang
ditanam. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode sterilisasi yang diterapkan belum cukup
berhasil. Rodrigues (2005) melaporkan kontaminasi bakteri pada eksplan rhizome Heliconia
rauliniana secara in vitro sebesar 30%. Cantika (2006) melaporkan kontaminasi cendawan
sebesar 8.69% pada rhizome Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di secara in vitro. Pada
penelitian ini, kontaminasi sebagian besar merupakan kontaminasi internal dan dari media.
Kontaminasi bakteri yang berasal dari eksplan ditunjukkan oleh adanya selaput putih
disekitar permukaan eksplan (Gambar 6A). Kontaminasi bakteri kemudian menyebar hingga
seluruh permukaan media tertutupi lapisan berwarna putih dan berlendir tebal. Kontaminasi
bakteri juga dapat menyebabkan media perlakuan menjadi berwarna kuning terang.
Kontaminasi yang berasal dari media umumnya berupa cendawan (Gambar 6B). Kontaminasi
media diduga karena beberapa hal, antara lain kurang sterilnya alat tanam, ruang tanam dan
ruang kultur.
Kontaminasi internal eksplan diduga karena pemilihan tanaman induk yang kurang
sehat, kondisi buah yang tidak seragam dimana buah yang diambil berasal dari tandan bunga
yang berbeda dan lingkungan tumbuh tanaman tersebut memungkinkan terjadinya
penyebaran patogen. Kontaminasi bakteri masih menjadi kendala utama pada perbanyakan
heliconia baik secara in vivo maupun in vitro. Cantika (2006) melaporkan bahwa persentase
eksplan yang terkontaminasi bakteri semakin meningkat selama perkembangan eksplan
rhizome Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di secara in vitro. Kontaminan yang terjadi pada
in vitro heliconia umumnya berasal dari dalam jaringan tanaman, terutama bakteri. Menurut
Gunawan (1988) kontaminan internal ini sangat sulit diatasi karena sterilisasi permukaan
tidak menyelesaikan masalah. Pada bahan tanaman yang mengandung kontaminan internal
harus diberi perlakuan antibiotik atau fungisida sistemik. Tingkat kontaminasi permukaan
berbeda tergantung jenis tanaman, bagian tanaman yang dipergunakan, morfologi permukaan
(berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapangan), musim waktu
mengambil bahan tanaman (musim hujan/kemarau), umur tanaman, dan kondisi tanamannya
(sakit atau dalam keadaan sehat).
Eksplan yang dipakai pada penelitian ini berasal dari kebun dan tumbuh liar tanpa
perawatan sehingga kemungkinan besar mengandung banyak kontaminan. Heliconia
caribaea Lam. mempunyai struktur bunga dengan seludang bunga terbuka dimana cairan
yang berasal dari air hujan tertampung pada seludang sehingga memungkinkan berbagai
patogen berkembang biak. Saat pengambilan eksplan, didaerah sekitar seludang bunga
terdapat organisme seperti semut, nyamuk, belatung, dan predator larva nyamuk. Bull (2000)
melaporkan terdapat beberapa organisme penting yang terdapat pada H. caribaea, yaitu larva
nyamuk, larva chironomida dan cendawan. Cendawan Saprolegnia sp. ditemukan pada
permukaan biji H. caribaea.
Mikropropagasi atau perbanyakan secara in vitro merupakan salah satu metode
perbanyakan secara vegetatif yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam
waktu relatif cepat, memiliki sifat yang sama dengan induknya, dan proses pembibitan tidak
tergantung musim (Suryowinoto, 1996). Mikropropagasi dapat dilakukan dengan
perbanyakan tunas dari eksplan berupa mata tunas atau meristem, namun dapat pula terjadi
secara tidak langsung melalui pembentukan kalus dari jaringan vegetatif, misalnya hipokotil.

Selanjutnya kalus yang terbentuk dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi planlet
(Hartman et al., 1990; Suryowinoto,1996).
Menurut Evans et al. (2003), induksi kalus dipengaruhi oleh rasio auksin dan sitokinin
yang seimbang, sehingga diperlukan kombinasi yang tepat agar dapat menginduksi
pembentukan kalus yang optimal. Waktu inisiasi kalus yang cukup lama ini dimungkinkan,
karena penambahan konsentrasi BAP pada media kurang berpengaruh dalam memacu waktu
inisiasi kalus, sehingga waktu inisiasi kalus berlangsung lambat. Hipokotil alfalfa diduga
mengandung konsentrasi sitokinin yang tinggi, karena sitokinin disintesis di akar kemudian
ditransport menuju ke pucuk melalui xilem. Transport tersebut mengakibatkan konsentrasi
sitokinin pada eksplan menjadi tinggi, karena hipokotil yang digunakan sebagai eksplan
berada di sebelah bawah dari pucuk. Penambahan BAP secara eksogen akan semakin
meningkatkan kandungan sitokinin dalam sel-sel eksplan.
Konsentrasi auksin yang tinggi diduga menyebabkan ketidakseimbangan konsentrasi
auksin dan sitokinin sehingga waktu inisiasi kalus lebih lambat. Kemungkinan lain yang
menyebabkan waktu inisiasi relatif lama karena eksplan hipokotil memerlukan sitokinin jenis
lain atau ZPT jenis lain untuk menginduksi pembentukan kalus. Kebutuhan ZPT sangat
ditentukan oleh jenis tanaman, artinya setiap tanaman membutuhkan jenis dan konsentrasi
ZPT yang spesifik. Hal tersebut tampak pada induksi kalus pada eksplan hipokotil kapas
(Gossypium hirsutum L.) yang diberi perlakuan BAP 1 ppm telah menunjukkan waktu inisiasi
kalus yang relatif cepat (4 hari) setelah waktu penanaman (Sudarmadji, 2003). Contoh lain
pada induksi kalus dari eksplan daun keladi tikus (Typonium flagelliforme. Lodd.) yang
ditanam pada media MS dengan penambahan kinetin 0,3 ppm dan 2,4 D 1 ppm, waktu
inisiasi kalus terjadi pada minggu ke delapan setelah penanaman (Syahid dan Kristina, 2007).
Eksplan yang ditumbuhkan pada media B0N2 menunjukkan waktu inisiasi kalus tercepat.
Kecepatan pertumbuhan yang terjadi pada eksplan dimungkinkan karena adanya interaksi
yang tepat antara hormon sitokinin endogen eksplan dengan konsentrasi NAA yang
ditambahkan. Hal ini mengakibatkan proses fisiologis dalam eksplan dapat berlangsung
efektif dalam memacu awal pemunculan kalus.
Waktu inisiasi kalus pada perlakuan B1N1, B1N2, B2N1, B2N2, B3N1, dan B3N2
relatif sama, yaitu pada hari ke 5 dan 6. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi
yang diberikan pada media cukup tepat dalam memacu waktu inisiasi kalus, walaupun waktu
tersebut masih lebih lama dibandingkan perlakuan BAP 0 ppm yang dikombinasikan dengan
NAA 1 ppm atau 2 ppm. Efektifitas suatu ZPT tergantung pada keberadaan ZPT yang lain
dan konsentrasi zat tersebut di dalam sel. (Bhaskaran dan Smith,1990) Keseimbangan
konsentrasi auksin dan sitokinin dalam kultur in vitro diketahui dapat memacu pembentukan
kalus (Allan, 1991), melalui interaksi dalam pembesaran dan pembelahan sel. Proses
pembesaran sel terjadi karena pengaruh auksin. Auksin eksogen dalam hal ini NAA yang
terlarut dalam media, akan berdifusi masuk ke dalam sel-sel eksplan melalui luka pada ujungujung eksplan. Auksin akan memacu pelunakkan dinding sel dengan cara mengaktifasi
pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran plasma, sehingga menyebabkan derajat
keasaman (pH) pada bagian dinding sel lebih rendah, yaitu mendekati pH pada membran
plasma (sekitar pH 4,5). Aktifnya pompa proton tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen
diantara mikrofibril selulosa dinding sel. Putusnya ikatan hidrogen menyebabkan dinding sel
mudah merenggang sehingga tekanan dinding sel akan menurun dan mengakibatkan

pelenturan sel. Derajat keasaman yang rendah juga dapat mengaktivasi enzim tertentu pada
dinding sel yang dapat mendegradasi bermacam-macam protein atau polisakarida yang
menyebar pada dinding sel yang lunak dan lentur, sehingga pembesaran sel dapat terjadi
(Catala et al., 2000 dalam Aslamyah, 2002).
Sitokinin selanjutnya berperan memacu pembelahan dalam jaringan meristematik.
Peran sitokinin secara langsung adalah dalam proses transkripsi dan translasi RNA dalam
proses sintesis protein(Catala et al., 2000 dalam Aslamyah, 2002). Proses tersebut
berlangsung dalam tahap interfase. Proses translasi RNA dilanjutkan dengan pembentukan
asam-asam amino yang merupakan komponen dasar protein. Protein yang terbentuk antara
lain berupa enzimenzim yang berperan dalam pembelahan sel. Enzim-enzim tersebut
misalnya enzim polymerase DNA yang berperan dalam memperpanjang rantai DNA dan
memperbaiki kesalahan penyusunan basa nitrogen pada DNA dan enzim ligase yang berperan
dalam menggabungkan fragmen-fragmen DNA yang terputus-putus saat proses replikasi.
Ketersediaan enzim-enzim ini di dalam sel akan menyebabkan proses pembelahan sel
berlangsung lebih efektif (Stansfield et al., 2006).
Pertumbuhan yang terjadi pada seluruh eksplan dimungkinkan, karena eksplan
mempunyai respon yang baik terhadap media tanam. Eksplan yang muda, sel-selnya bersifat
meristematis, sehingga masih aktif membelah. Kesehatan eksplan juga akan berpengaruh
pada kondisi fisiologis sel dan proses-proses yang ada di dalamnya. Eksplan yang sehat,
proses-proses fisiologisnya akan jauh lebih baik. Chawla (2003) menyatakan bahwa, eksplan
yang berasal dari jaringan muda dan sehat umumnya lebih responsif dalam kultur in vitro,
sehingga proses regenerasi sel dapat berlangsung cepat.
Menurut Manuhara (2001), kalus remah merupakan kalus yang tersusun atas sel-sel
yang panjang berbentuk tubular dimana struktur selselnya renggang, tidak teratur dan mudah
rapuh. Kalus kompak merupakan kalus yang tersusun atas sel-sel berbentuk nodular, dengan
struktur yang padat dan mengandung cukup banyak air. Pengamatan yang dilakukan terhadap
warna kalus menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk berwarna kuning. Warna kuning pada
kalus diduga merupakan pigmen antosantin (Evans et al., 2003). Pigmen antosantin ini adalah
senyawa fenol dari kelompok flavonoid. Senyawa fenol yang terbentuk pada kalus dalam
penelitian ini merupakan bentuk respon eksplan terhadap luka. Luka pada kedua ujung
hipokotil karena pengirisan akan memacu eksplan untuk melakukan usaha untuk pertahanan
diri. Usaha tersebut dilakukan dengan meningkatkan aktifitas metabolik sehingga dihasilkan
senyawa metabolit sekunder yaitu fenol. Jika fenol yang terbentuk mengalami oksidasi maka
dapat menyebabkan warna coklat pada kalus (Pierik, 1987).
Senyawa fenol yang muncul pada kalus akan bersifat toksik bagi sel apabila dalam
konsentrasi berlebihan, yang akan menghambat pertumbuhannya. Produksi senyawa fenol
yang terbatas pada eksplan ataupun kalus masih dapat ditoleransi oleh eksplan, sehingga
kultur masih dapat tumbuh. Namun apabila senyawa fenol sudah menyebabkan pencoklatan
pada media tanam, hal ini dapat menghambat pertumbuhan eksplan yang mengakibatkan
kematian kultur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kalus dapat diinduksi dari eksplan potongan
daun (Gambar 1A) yang dikulturkan pada perlakuan 2,4-D. Menurut Hagio (2002) dan
Sujatha dan Prabakaran (2001) zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin seperti 2,4-D
penting untuk induksi kalus. Selain itu auksin juga dapat menyebabkan sel yang telah

terdiferensiasi mampu mengalami dediferensiasi. Induksi kalus diawali dengan penebalan


eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami pelukaan. Penebalan tersebut
merupakan interaksi eksplan dengan media tumbuh, zat pengatur tumbuh dan lingkungan
tumbuh sehingga eksplan bertambah besar.
Menurut Meagher dan Green (2002) ukuran eksplan bertambah menjadi empat kali
lebih besar setelah dikulturkan selama 2 minggu pada tanaman saw palmetto. Induksi kalus
dipengaruhi oleh konsentrasi 2,4-D yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang
digunakan induksi kalus semakin cepat terjadi. Walaupun demikian tidak semua eksplan yang
dikulturkan dapat membentuk kalus. Pada perlakuan 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih
rendah eksplan hanya memperlihatkan penebalan dan tidak berkembang menjadi kalus
walaupun dikulturkan dalam jangka waktu yang lama.
Menurut Gunawan (1987) konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda memberikan
respon yang berbeda terhadap induksi kalus. Dari beberapa perlakuan 2,4-D yang digunakan,
konsentrasi 5.0 mg/l merupakan perlakuan yang berhasil membentuk kalus. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk induksi kalus dibutuhkan 2,4-D dengan konsentrasi yang relatif
tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian Yelnititis (2007) menunjukkan bahwa kalus dari
potongan embrio muda Shorea pinanga dapat dihasilkan dari perlakuan 2,4-D dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Selanjutnya Sopiana (2004) dalam Bastoni (2005)
menyatakan bahwa kalus dari eksplan potongan daun dapat diinduksi pada perlakuan NAA
secara tunggal maupun kombinasi dengan kinetin. Demikian juga Schestibratov et al., (2003)
menyatakan bahwa kalus dapat dihasilkan pada perlakuan modifikasi media LP dengan BAP
dikombinasikan dengan IBA dari eksplan potongan kotiledon Pinus radiata.
Rata-rata induksi kalus dari perlakuan ini mulai terjadi 21 hari setelah dikulturkan.
Menurut Gunawan (1987) eksplan berbeda memberikan respon berbeda terhadap perlakuan
yang sama. Hasil penelitian Yelnititis (2008) menyatakan bahwa induksi kalus dari eksplan
potongan embrio muda Shorea pinanga terjadi rata-rata 10 hari setelah dikulturkan.
Sedangkan induksi kalus dari potongan kotiledon Pinus radiata terjadi 4 - 5 minggu setelah
dikulturkan (Schestibratov et al., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kalus dari eksplan
berbeda terbentuk pada waktu yang juga berbeda.
Kalus yang terbentuk pada tahap awal berstruktur kompak dan berwarna putih pada
bagian permukaan (Gambar 1B). Kalus tipe ini umumnya mempunyai pertumbuhan yang
lambat. Selanjutnya secara perlahan kalus mengalami pertumbuhan dan membesar, dan
kemudian mengalami perubahan warna menjadi hijau keputihan dan segar (Gambar 1C).
Kalus dari perlakuan ini tidak mengalami perubahan sampai umur 18 minggu. Pemakaian
auksin bersama sitokinin mempunyai hubungan yang sinergis di dalam proses pembelahan
sel dan proliferasi kalus. Kalus dari perlakuan tersebut mempunyai struktur semi friabel dan
berwarna putih (Gambar 2A) atau putih kehijauan (Gambar 2B C) atau kuning kehijauan
(Gambar 2D F). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kalus yang lebih friabel
dibutuhkan senyawa atau zat pengatur tumbuh lain yang dikombinasikan dengan auksin.
Hasil yang berbeda dari penelitian Guohua (1998) menunjukkan bahwa kombinasi
auksin dengan thidiazuron menyebabkan terjadinya organogenesis pada tanaman cassava.
Selanjutnya Aasim et al., (2009) menyatakan bahwa dari perlakuan thidiazuron
dikombinasikan dengan ekstrak ragi/ yeast extract dapat dihasilkan kalus. Sedangkan

Giridhar dan Ravishankar (2004) menyatakan bahwa penggunaan thidiazuron yang


dikombinasikan air kelapa dihasilkan tunas pada tanaman Vanilla planifolia. Semakin tinggi
konsentrasi thidiazuron yang digunakan kalus yang dihasilkan lebih friabel. Kalus
embriogenik umumnya dapat diinduksi dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin
seperti 2,4-D (Litz, et al., 1998); NAA, 2,4,5 T (Nugent et al., 2001), picloram (Stella dan
Braga, 2002) dan dicamba (Sagare et al., 1993) atau dengan kombinasi dengan sitokinin.
Sterilisasi adalah proses untuk mematikan atau menonaktifkan spora dan
mikroorganisme sampai ke tingkat yang tidak memungkinkan lagi berkembang biak atau
menjadi sumber kontaminan selama proses perkembangan berlangsung (Sandra dan
Karyaningsih, 2000). Sterilisasi merupakan tahapan yang cukup penting yang menentukan
keberhasilan dalam melakukan kultur in vitro.
Menurut Santoso dan Nursandi (2001), bagian eksplan yang terinisiasi membentuk
kalus disebabkan sel-sel yang kontak dengan medium terdorong meristematik dan selanjutnya
aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka, walaupun antara sel-sel pada
bagian eksplan dengan bagian lain berbeda.Oleh karena itu diasumsikan perlakuan ZPT akan
memengaruhi respon inisiasi pembentukan kalus berat kalus dan waktu inisiasi terbentuknya
kalus Penggunaan kombinasi antara auksin dengan sitokininakan meningkatkan proses
induksi kalus (Litz dkk., 1995). Efektivitas zat pengatur tumbuh auksin maupun sitoknin
eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman (Bhaskaran
dan Smith, 1990). Perbedaan waktu inisiasi kalus mungkin disebabkan oleh penggunaan
eksplan daun kedua sampai keempat dari pucuk daun yang memungkinkan keadaan sel yang
menyusun eksplan berbeda-beda sehingga mempengaruhi kepekaan sel terhadap ZPT yang
diberikan. Menurut Lakitan (1996) setiap sel mempunyai kepekaan yang berbeda-beda
terhadap ZPT yang diberikan sehingga mempengaruhi waktu pembelahan sel untuk
membelah diri menjadi tidak sama karena siklus sel yang berbeda-beda.
Tepi Eksplan daun muda yang baru diinokulasikan belum mengalami pencoklatan
pada tepi daun (Gambar 2.). Pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan pertumbuhan
kalus diawali dengan mencoklatnya tepi daun (pada bekas luka). Daun melengkung sebagai
respon pertumbuhan yang disertai pembengkakkan daun. Kemudian muncul gelembunggelembung pada tepi daun yang bersentuhan langsung medium (Gambar 3.) Menurut Abidin
(1990), auksin dapat merubah aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam sintesis
komponen-komponen dinding sel dan menyusunnya kembali dalam suatu matriks dinding sel
yang utuh sehingga akan berpengaruh terhadap berat sel. Menurut Wattimena (1991), auksin
mendorong terjadinya elongasi sel yang diikuti dengan pembesaran sel dan meningkatnya
berat basah. Peningkatan berat basah terutama disebabkan oleh meningkatnya penyerapan air
oleh sel tersebut.
Menurut Lakitan (1996), setiap sel mempunyai kepekaan sendiri terhadap ZPT yang
diberikan, selain itu waktu pembelahan sel untuk memperbanyak diri tidaklah sama karena
siklus selnya akan selalu berbeda-beda. Perbedaan laju pertumbuhan juga dipengaruhi oleh
kemampuan jaringan untuk menyerap zat-zat hara yang tersedia, hal ini banyak dipengaruhi
oleh aerasi dan tekstur kalus. Kalus yang terlalu padat dan kompak mempunyai kemampuan
menyerap zat hara lebih rendah daripada tekstur kalus yang tidak terlalu padat. Kalus
berwarna kuning bening setelah berumur 40 hari, hal ini kemungkinan karena mulai
terbentuknya senyawa fenol dari jaringan dan semakin dewasanya umur kalus. Menurut

Wattimena (1991), senyawa-senyawa fenol dapat menghambat pembelahan sel, perbesaran


sel dan pertumbuhan.
Beberapa macam tanaman khususnya tanaman tropika mempunyai kandungan
senyawa fenol yang tinggi dan teroksidasi ketika sel dilukai atau terjadi senesens (George dan
Sherrington, 1984). Akibatnya jaringan yang diisolasi menjadi coklat atau kehitaman dan
gagal tumbuh. Pencoklatan jaringan terjadi karena aktivitas enzim oksidase yang
mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase (Lerch, 1981).
Pertumbuhan dan morfogenesis in vitro dipengaruhi oleh adanya interaksi dan
perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media dan hormon
pertumbuhan yang diproduksi oleh sel tanaman secara endogen oleh sel-sel yang dikultur
(Geroge dan Sherrington, 1984). Penambahan auksin dan sitokinin eksogen ini mengubah
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen sel (Budiyati, 2002). ZPT bertindak secara sinergis
dalam tindakannya sebagai penyebab respons (Gardner dkk., 1991). Efektifitas zat pengatur
tumbuh auksin maupun sitoknin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen
dalam jaringan tanaman. Kebanyakan hormon endogen di tanaman berada pada jaringan
meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh seperti ujung-ujung tunas dan akar (Syahid dan
Natalini, 2007). Golongan ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan ada 2, yaitu auksin
dan sitokinin. ZPT tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesisdalam kultur sel,
kultur jaringan, dan kultur organ (Karjadi 1996).
Morfologi kalus yang terbentuk pada semua perlakuan secara umum menunjukkan
karakteristik yang sama yaitu remah, dan cenderung berwarna putih-bening kehijauankekuningan (Tabel 4). Menurut Wattimena (1991), Sitokinin berperan dalam metabolisme
asam nukleat dan sintesis protein.Perubahan metabolisme tersebut pada daerah tempat
diberikannya sitokinin akan menyebabkan terjadinya penimbunan asam-asam amino, fosfat,
gula dan bahan-bahan lain. Hal tersebut memungkinkan sel optimal menghasilkan metabolit
sekunder dibandingkan perkembangan bobot kalus, sedangkan perlakuan lain memperoleh
kandungan eugenol lebih rendah, padahal sudah ditambahkan auksin bersama sitokinin untuk
memacu penghasilan eugenol. Hal ini dimungkinkan sel-sel yang membangun kalus
mempunyai fase pertumbuhan yang tidak seragam, menyebabkan aktivitas protein di dalam
setiap sel juga berbeda yang dapat mengurangi jumlah senyawa yang dihasilkan dan jumlah
enzim yang berperan dalam sintesis eugenol lebih sedikit.
Dodds dan Robert (1983) dalam Rahmawati (1999), menyatakan bahwa sebelum
inisiasi kultur jaringan terjadi tiga fase: fase log (fase penyesuaian), fase eksponensial (fase
pembelahan sel, kecepatan pertumbuhan sel mencapai maksimum), fase stasioner (fase
dimana tidak ada lagi pertumbuhan) Pada fase stasioner pertumbuhan sel terhenti dan selama
inilah terjadi produksi metabolit sekunder. Fase pertumbuhan(eksponensial) biosintesis
metabolit sekunder amat lambat bahkan seringkali belum dimulai.
Dengan kultur jaringan, tanaman Aglaonema sp. juga dapat diperoleh bibit dalam
keadaan seragam melalui induksi embriogenesis somatik. Pada embriogenesis somatik tidak
langsung, induksi kalus merupakan faktor penentu keberhasilan untuk perbanyakan tanaman
(Ibrahim et al. 2010). Semakin banyak kalus yang dibentuk maka semakin tinggi peluang
memperoleh bibit dalam jumlah yang banyak (George dan Sherrington 1992). Dengan teknik
ini juga dapat menyebabkan variasi somaklonal yang menyediakan karakter tanaman yang
diinginkan berupa varietas baru (Akbar et al. 2003). Keberhasilan kultur jaringan untuk

mengeksploitasi somaklonal variasi dipengaruhi genotipe tanaman (Tripathy dan Reddy


2002; Shirin et al. 2007), medium (Abadi dan Kaviani 2010), zat pengatur tumbuh (Hoesen
et al. 2008; Jahan et al. 2009), dan fase perkembangan eksplan (Ibrahim et al. 2010; Reddy et
al. 2011).
Untuk induksi kalus embriogenik, genotipe tanaman dan komposisi medium adalah
faktor penting penentu keberhasilan (Rachmawati et al. 2004). Pemberian perlakuan
kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh pada varietas Aglaonema sp. memberikan respon
berbeda-beda. Respon yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal
maupun eksternal. Faktor internal adalah genotipe (Bai dan Qu 2000; Tripathy dan Reddy,
2002; Shirin et al. 2007), sedangkan faktor eksternal antara lain kombinasi zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin (Rashid et al. 2009; Abdelmageed et al. 2012).
Eksplan daun melengkung dan tulang daun membengkak disebabkan adanya
pengaruh auksin dan tekanan turgor. Adanya auksin menyebabkan dinding sel mengendur dan
merenggang. Pengenduran dinding sel ini terjadi karena adanya sekresi asam dengan
mengaktifkan suatu enzim pada pH tertentu. Merenggangnya sel akan menyebabkan
pemanjangan sel. Tekanan turgor terjadi apabila sel menyerap molekul air sebagai respon
akan meningkatnya konsentrasi zat terlarut yang terdapat dalam vakuola, sehingga akan
menyokong perluasan sel yang terjadi (Taiz dan Zieger 1998). Pembentukkan kalus
disebabkan karena respons eksplan terhadap pelukaan (George dan Sherington 1992) untuk
menutup luka (Dodds dan Robberts 1982). Kalus mulai terbentuk dari bekas irisan eksplan
yang mana sel-selnya berhenti bermitosis dan mulai membentuk kalus seperti pada Solanum
nigrum L. (Shidar dan Naidu 2011), Sonchus arvensi L. (Wahyuni et al. 2010), Trichosanthes
dioica Roxb. (Komal 2011), dan Anthurium digitatum (Reddy et al. 2011). Tekstur kalus
kompak merupakan tekstur kalus yang padat dan tidak mudah lepas atau hancur. Kalus
kompak berpotensi tumbuh atau berkembang menjadi organ (organogenesis), misalnya
terbentuk akar atau tunas.
Tanaman memiliki daya regenerasi yang kuat, hal ini telah lama disadari dan ini
adalah merupakan titik tolak berkembangnya industri kultur jaringan tanaman. Beberapa
peneliti mengembangkan hasil penelitian sebelumnya bahwa sel/jaringan dapat ditanam
secara terpisah dalam suatu kultur/media tertentu(1). Usaha pengembangan tanaman dengan
metoda kultur jaringan tanaman merupakan usaha perbanyakan varietas tanaman/spesies
tanaman secara vegetatif. Spesies tanaman yang sering dikembangkan adalah tanaman hias,
bunga, tanaman pertanian seperti sayur-sayuran, buah- buahan(2). Selain untuk perbanyakan
varietas tanaman, saat ini kultur jaringan diarahkan untuk beberapa tujuan, antara lain untuk
memproduksi metabolit sekunder (alkaloid, flavonoid, dll). Dalam bidang farmasi, metoda
kultur jaringan tanaman ini menguntungkan karena dapat menghasilkan suatu metabolit
sekunder yang berguna untuk pengobatan dan menjaga kesehatan dalam jumlah besar, serta
tumbuh dalam waktu cepat pada lahan yang terbatas(2).
Kultur kalus. (a) Tahap inisiasi. Inisiasi kultur kalus dilakukan menggunakan daun
mahkota dewa sebagai sumber eksplan yang diperoleh dari tanaman steril biji mahkota dewa
yang ditumbuhkan pada media dasar MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh untuk
menginisiasi kultur kalus. Kultur disimpan di ruang gelap dan petumbuhan kalus diamati
setiap minggu. (b) Tahap perbanyakan kalus. Perbanyakan kalus dilakukan dengan
memindahkan /subkultur masa kalus kedalam media baru berulang kali (media yang

digunakan boleh sama) pada periode tertentu menggunakan media tumbuh yang paling
optimal dan pemberiaan zat pengatur tumbuh yang paling sesuai untuk mempercepat dan
memperbanyak tumbuhnya kalus.
Perbanyakan tanaman melalui embriogenesis somatik merupakan pembentukan,
pertumbuhan dan perkembangan embrio dari sel-sel soma atau dari sel-sel tubuh (Ammirato,
1983). Embriogenesis merupakan salah satu teknik yang menguntungkan untuk propagasi
vegetatif massal dari spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Blanc et al. 1999).
Selanjutnya Molina et al. (2002) menyatakan bahwa embriogenesis somatik dapat terjadi baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Embriogenesis somatik yang terjadi secara
tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus dan embrioid dapat dihasilkan melalui
kultur kalus maupun suspensi sel (Noerhadi, 1974). Kalus embriogenik dapat dihasilkan dari
perlakuan 2,4-D dan atau dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lain. Perbanyakan
tanaman melalui embriogenesis somatik sudah banyak dilakukan baik pada tanaman
berdinding lunak maupun pada tanaman berkayu.
Menurut Ortiz et al. (2000) kalus embriogenik yang berasal dari embrio zigotik muda
Acacia farneciana dan A. schaffneri dapat berkembang membentuk embrio somatik.
Selanjutnya Yelnititis (2007 dan 2008) menyatakan bahwa embrio somatik dapat diinduksi
dari eksplan potongan embrio muda tanaman Shorea pinanga. Embrio somatik yang
dihasilkan memiliki sifat klonal yang sama seperti induknya dan juga mempunyai sifat
juvenil seperti embrio yang berasal dari biji. Perbanyakan tanaman melalui embriogenesis
somatik terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap inisiasi kalus embriogenik, perbanyakan kalus
embriogenik, pendewasaan, penuaan dan perkecambahan embrio somatik (von Arnold,
2002). dengan konsentrasi yang relatif lebih tinggi.
Menurut Hagio (2002) serta Sujatha dan Prabakaran (2001) zat pengatur tumbuh dari
kelompok auksin seperti 2,4-D penting untuk induksi kalus. Selain itu auksin juga dapat
menyebabkan sel yang telah terdiferensiasi mampu mengalami dediferensiasi. Induksi kalus
diawali dengan penebalan eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami
pelukaan. Penebalan tersebut merupakan interaksi antara eksplan dengan media tumbuh, zat
pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh sehingga eksplan bertambah besar. Menurut
Meagher dan Green (2002) ukuran eksplan bertambah menjadi empat kali lebih besar setelah
dikulturkan selama 2 minggu pada tanaman saw palmetto. Pada penelitian ini induksi kalus
dipengaruhi oleh konsentrasi 2,4-D yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang
digunakan induksi kalus semakin cepat terjadi. Walaupun demikian tidak semua eksplan yang
dikulturkan dapat membentuk kalus.
Pada perlakuan 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih rendah, eksplan hanya
memperlihatkan penebalan dan tidak berkembang menjadi kalus walaupun dikulturkan dalam
jangka waktu yang lama. Menurut Gunawan (1987) konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap induksi kalus. Dari beberapa konsentrasi
2,4-D yang digunakan, perlakuan 4.0 mg/l dan 5.0 mg/l merupakan perlakuan yang berhasil
membentuk kalus. Kalus paling banyak dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 5.0 mg/l yaitu
mencapai 95 % dari eksplan yang dikulturkan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk induksi
kalus dibutuhkan 2,4-D dengan konsentrasi yang relatif tinggi.
Hasil yang berbeda dari penelitian Yelnititis (2007) yang menunjukkan bahwa kalus
dari potongan embrio muda tanaman Shorea pinanga dapat dihasilkan dari perlakuan 2,4- D

dengan konsentrasi 3.5 mg/l. Sopiana (2004) dalam Bastoni (2005) menyatakan bahwa kalus
dari eksplan potongan daun dapat diinduksi pada perlakuan NAA maupun kombinasi NAA
dengan kinetin. Selanjutnya Schestibratov et al. (2003) menyatakan bahwa kalus dari eksplan
potongan kotiledon Pinus radiata dapat dihasilkan pada perlakuan dengan BAP
dikombinasikan dengan IBA. Selain memberikan persentase kalus yang lebih tinggi, kalus
dari perlakuan 2,4-D 5.0 mg/l memperlihatkan pertumbuhan yang lebih cepat.
Rata-rata induksi kalus dari perlakuan ini terjadi 21 hari setelah dikulturkan. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda memberikan respon dan kecepatan tumbuh
yang berbeda terhadap eksplan yang dikulturkan. Menurut Gunawan (1987) eksplan berbeda
memberikan respon berbeda terhadap perlakuan yang sama. Hasil penelitian Yelnititis (2008)
menunjukkan bahwa induksi kalus dari eksplan potongan embrio muda Shorea pinanga pada
perlakuan yang sama terjadi rata-rata 10 hari setelah dikulturkan, sedangkan induksi kalus
dari potongan kotiledon Pinus radiata terjadi 4 - 5 minggu setelah dikulturkan (Schestibratov
et al. 2003). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kalus yang lebih remah
dibutuhkan senyawa atau zat pengatur tumbuh lain yang dikombinasikan dengan auksin.
Hasil yang berbeda dari penelitian Guohua (1998) menunjukkan bahwa kombinasi auksin
dengan thidiazuron menyebabkan terjadinya organogenesis pada tanaman cassava.
Selanjutnya Aasim et al. (2009) menyatakan bahwa kalus dihasilkan dari perlakuan
thidiazuron yang dikombinasikan dengan ekstrak ragi / yeast extract. Sementara Giridhar dan
Ravishankar (2004) menyatakan bahwa dari perlakuan thidiazuron yang dikombinasikan
dengan air kelapa menghasilkan tunas pada tanaman Vanilla planifolia.
Pada penelitian ini semakin tinggi konsentrasi thidiazuron yang digunakan semakin
remah kalus yang dihasilkan. Hasil yang berbeda dari penelitian Yelnititis (2007)
menunjukkan bahwa kalus remah dan embriogenik pada tanaman Shorea pinanga dihasilkan
dari perlakuan yang hanya menggunakan 2,4-D. Kalus remah dengan penampilan visual
terbaik yang dihasilkan dari perlakuan ini belum termasuk kalus embriogenik. Upaya untuk
mendapatkan kalus embriogenik dengan melakukan subkultur berulang pada perlakuan yang
sama juga belum memberikan hasil. Semua kalus dari perlakuan ini hanya melakukan
pembelahan dan tetap berwana hijau. Kalus embriogenik mempunyai ciri-ciri tekstur remah,
noduler dan berwarna putih atau kekuningan. Kalus embriogenik umumnya dapat diinduksi
dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin seperti 2,4-D (Litz et al. 1998); NAA dan
2,4,5 T (Nugent et al., 2001), picloram (Stella dan Braga, 2002) dan dicamba (Sagare et al.,
1993) atau dikombinasikan dengan sitokinin.
Selanjutnya kalus embriogenik dapat terbentuk secara langsung atau melalui
subkultur berulang baik pada perlakuan yang sama maupun pada perlakuan yang berbeda.
Menurut Indrianto (2002) insiasi kalus embriogenik terjadi sebagai respon dari stres akibat
pengaruh konsentrasi auksin yang relatif tinggi. Selanjutnya Dunstan et al. (1995)
mendapatkan kalus embriogenik pada tanaman berkayu dengan penggunaan 2,4-D. Hasil
yang berbeda dengan penelitian Guohua (1998) menunjukkan bahwa penggunaan auksin
yang dikombinasikan dengan thidiazuron menyebabkan terjadinya organogenesis pada
tanaman cassava.
Pembentukan dan pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
komposisi media tumbuh. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan dipengaruhi oleh
komposisi media yang digunakan (Gati dan Mariska, 1992). Media yang

biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah media Murashige dan Skoog (MS). Media ini
mempunyai konsentrasi garam organik yang lebih tinggi dibanding media lain (Husni, 1997).
Salah satu komponen yang sering ditambahkan dalam media adalah auksin dan sitokinin.
Pemakaian keduanya dalam konsentrasi tepat dapat mengatur arah dan kecepatan
pertumbuhan jaringan (Gati dan Mariska, 1992; Indrayanto, 1988).
Dalam kultur in vitro tahap pertama yang perlu dilakukan yaitu menginduksi kalus
dari eksplan. Pembentukan dan pertumbuhan kalus dapat dipacu dengan pemberian zat
pengatur tumbuh, baik auksin maupun dikombinasikan dengan sitokinin. Teknik kultur in
vitro juga dapat diaplikasikan untuk memproduksi senyawa kimia alami. Keuntungannya
antara lain dapat diperoleh hasil secara cepat, seragam, dan tidak membutuhkan lahan yang
luas (Indrayanto, 1988). Untuk meningkatkan produksi senyawa kimia pada kalus, maka
dapat dilakukan manipulasi terhadap media kultur, misalnya dengan penambahan zat
pengatur tumbuh tertentu (Toruan et al., 1990).
Zat pengatur tumbuh auksin yang sering ditambahkan dalam media kultur adalah
asam 2,4- diklorofenoksiasetat (2,4-D) (Syahid dan Hernani, 2001). Zat pengatur tumbuh ini
bersifat stabil karena tidak mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan
pada waktu sterilisasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Penambahan 2,4-D dalam media
akan merangsang pembelahan dan pembesaran sel pada eksplan sehingga dapat memacu
pembentukan dan pertumbuhan kalus serta meningkatkan senyawa kimia alami flavonoid.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gati dan Mariska (1992), 2,4-D efektif untuk
memacu pembentukan kalus karena aktivitasnya yang kuat untuk memacu proses
dediferensiasi sel, menekan organogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kinetin pada konsentrasi 0,5 mg/L
dalam media mendukung pembentukan kalus. Hal ini didukung pendapat Dixon dalam Setiti
dkk, (1996) yang mengemukakan bahwa media dengan penambahan sitokinin akan
menaikkan proliferasi kalus. Gunawan dalam Zulkarnain dan Hadiyono (1997) yang
mengemukakan bahwa salah satu faktor penentu pada inisiasi kalus adalah ada atau tidaknya
kambium pada eksplan. Bila eksplan mengandung kambium maka kalus dapat terbentuk.
Kalus merupakan proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi, sehingga semakin
luas permukaan irisan eksplan maka kalus yang terbentuk semakin banyak dan cepat
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Warna kalus yang dihasilkan dari media pembentukan kalus (media A dan media B)
yaitu putih dan hijau. Kalus muda berwarna putih, kemudian warnanya akan berubah menjadi
hijau dengan bertambahnya umur. Perbedaan warna kalus ini disebabkan adanya perubahan
pigmentasi (Harjoko, 1999). Kalus yang remah dapat diperoleh dengan cara melakukan sub
kultur berulang-ulang dengan media padat. Pembentukan kalus dipengaruhi oleh zat-zat
tertentu dalam media seperti zat pengatur tumbuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Torrey dan Shigemura dalam Street (1972) pada tanaman Pea bahwa konsentrasi 2,4-D dan
ekstrak khamir yang tinggi akan menghasilkan kalus bertekstur remah (friable). Zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin yang diberikan pada perbandingan yang tepat dapat menginisiasi
pembelahan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel. Hal ini terjadi pada perlakuan D3.
Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan diduga menginduksi sekresi ion H+
keluar melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan

K+ diambil, pengambilan ini mengurangi potensial air dalam sel; akibatnya air mudah masuk
ke dalam sel dan sel akan membesar (Harjoko, 1999; Maftuchah dkk, 1998). Kecepatan sel
membelah diri dipengaruhi oleh kombinasi auksin dan sitokinin dalam konsentrasi tertentu,
selain itu juga tergantung pada jenis tumbuhan faktor-faktor lain seperti jenis media,
ketersediaan unsur hara makro/mikro, karbohidrat, adanya bahan tambahan seperti air kelapa
dan juga faktor-faktor fisik seperti cahaya, pengocokan, suhu, dan pH media (Gunawan,
1991).

Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan siklus hidupnya


dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : perbanyakan seksual dan perbanyakan aseksual. Pada
perbanyakan melalui siklus seksual tanaman baru muncul sebagai penggabungan dua gamet
induknya dan berkembang melalui biji. Pada perbanyakan kasus anakan baru akan
menunjukkan variasi genetik yang besar, akibat kombinasi-kombinasi baru selama meiosis.
Berbeda sekali dengan perbanyakan secara aseksual, perbanyakan vegetatif masih mampu
mempertahankan karakter unik dari individu tanaman (tanaman induk, tanaman stok, atau
ortet) melalui pertumbuhan dan perbanyakan selsel dimana gen-gennya dikopi melalui
pembelahan mitosis. Namun dapat pula terjadi sebagian dari tanaman baru (atau rawet) yang
diproduksi dengan metode ini menunjukkan suatu individu yang berbeda dengan galur sel
somatiknya akibat terjadi mutasi. Hal seperti ini umumnya terjadi pada penggunaan kalus
yang telah berumur (long time callus) (Santoso dan Nursandi, 2001) [3].
Perbanyakan tanaman secara seksual melalui kultur in vitro (Santoso dan Nursandi,
2001)[3]. Perbanyakan secara in vitro merupakan salah satu metode perbanyakan secara
vegetatif yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu relatif cepat,
memiliki sifat yang sama dengan induknya, dan menghasilkan tanaman yang unggul yaitu
tahan terhadap penyakit, perakaran kuat, bentuk morfologinya baik dan dapat berbuah lebat
(Wijayanti dan Hendaryono, 1994)[4]. Mikropropagasi atau perbanyakan secara in vitro dapat
dilakukan dengan perbanyakan tunas dari eksplan berupa mata tunas atau meristem, namun
dapat pula terjadi secara tidak langsung melalui pembentukan kalus dari jaringan vegetatif,
misalnya hipokotil. Selanjutnya kalus terbentuk dapat dirangsang untuk berdiferensiasi
menjadi planlet (Hartman et al., 19905; Suryowinoto, 19966) .
Menurut Evans et al. (2003)7, induksi kalus dipengaruhi oleh rasio auksin dan
sitokinin yang seimbang, sehingga diperlukan kombinasi yang tepat agar dapat menginduksi
pembentukan kalus yang optimal. Hartman et al., 19905; Suryowinoto, 1996 [6] bahwa
perbanyakan dari eksplan berupa hipokotil akan menghasilkan kalus dan perbanyakan dari
eksplan berupa epikotil akan menghasilkan tunas. Pertumbuhan kalus, menunjukkan bahwa
pertumbuhan dapat terjadi pada semua macam perlakuan yang menggunakan sumber eksplan
dari hipokotil tetapi tidak menunjukkan pertumbuhan kalus pada eksplan yang bersumber
dari epikotil. Hal ini mungkin dikarenakan beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan
kalus di antaranya : penggunaan sumber eksplan juga mempengaruhi hasil kultur. Eksplan
berupa hipokotil akan menghasilkan kalus dan eksplan berupa epikotil akan menghasilkan
tunas (Hartman et al., 19905; Suryowinoto, 19966) dan mungkin juga dikarenakan
penambahan hormon eksogen tidak berpengaruh terhadap jumlah dan kerja hormon endogen
untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan eksplan (Gunawan, 1988) [8].

Faktor-faktor di atas juga terjadi pada pertumbuhan tunas, dimana pertumbuhan tunas
hanya terjadi pada eksplan yang bersumber dari epikotil dengan penambahan BAP 1 ppm
NAA 0 ppm, BAP 1.5 ppm dan NAA 0 ppm, BAP 0 ppm dan NAA 3 ppm. Eksplan yang
muda, sel-selnya bersifat meristematis sehingga masih aktif membelah. Kesehatan eksplan
juga berpengaruh pada kondisi fisiologis sel dan proses-proses yang ada di dalamnya.
Eksplan yang sehat, proses-proses fisiologisnya akan jauh lebih baik. Chawla (2003)[11]
menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari jaringan muda dan sehat umumnya lebih
responsif dalam kultur in vitro, sehingga proses regenerasi sel dapat berlangsung cepat.
Hasil pengamatan morfologi kalus di atas terdapat warna dan tekstur yang berbeda
beda. Tekstur kalus ini menunjukkan variasi akibat perlakuan hormon yang berbeda. Kalus
warna kuning, hampir terbentuk di semua media perlakuan NAA dan BAP yang
konsentrasinya di bawah 1 ppm. Tekstur kalus remah, juga hampir terbentuk di semua media
perlakuan NAA tanpa penambahan BAP. Warna kuning pada kalus diduga merupakan
pigmen antosantin (Evans et al., 2003)[7]. Pigmen antosantin ini adalah senyawa fenol dari
kelompok flavonoid. Senyawa fenol yang terbentuk pada kalus dalam penelitian ini
merupakan bentuk respon eksplan terhadap luka. Luka pada kedua ujung hipokotil karena
pengirisan akan memacu eksplan untuk melakukan usaha untuk pertahanan diri. Usaha
tersebut dilakukan dengan meningkatkan aktifitas metabolik sehingga dihasilkan senyawa
metabolik sekunder yaitu fenol. Jika fenol yang terbentuk mengalami oksidasi maka akan
menyebabkan warna coklat pada kalus (Pierik, 1987)[12].
Tekstur kalus yang remah sejalan dengan perkembangan kalus yang menunjukkan
terjadinya poliferasi massa sel dalam kalus (Khrisnamoorthy, 1981)[13]. Warna coklat pada
kalus, menandakan bahwa kalus telah mengalami fase penuaan. Fase ini terjadi setelah fase
Linier : fase dimana sel mulai lambat berkembang sebab mulai kehabisan makanan (Katuuk,
1989)[10]. Menurut Gunawan (1988)[8] kalus yang ditumbuhkan pada suatu media, perlu
dipindahkan secara teratur dalam waktu tertentu. Masa kultur yang panjang dalam media
yang tetap akan menyebabkan terjadinya kehabisan unsur hara dan air. Selain itu selsel
dalam kalus juga mengeluarkan persenyawaanpersenyawaan hasil metabolisme yang
menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri.
Contoh hasil senyawa metabolik sekunder yaitu fenol. Jika fenol yang terbentuk
mengalami oksidasi maka akan menyebabkan warna coklat pada kalus (Pierik, 1987)[12].
Seperti gambar 2. Senyawa fenol yang muncul pada kalus akan bersifat toksik bagi sel
apabila dalam konsentrasi yang berlebihan, yang akan menghambat pertumbuhannya.
Produksi senyawa fenol yang terbatas pada eksplan ataupun kalus masih dapat ditoleransi.
Namun apabila senyawa fenol sudah menyebabkan pencoklatan pada media tanam, hal ini
dapat menghambat pertumbuhan eksplan yang mengakibatkan kematian kultur (Robbiani,
2010) [14].

Pada umumnya teknik perbanyakan melati dengan cara setek batang banyak dijumpai
kendala, antara lain kualitas bibit yang dihasilkan kurang baik. (Wuryaningsih, 1997). Oleh
karena itu, dibutuhkan metode perbanyakan dengan kultur jaringan. Teknik kultur jaringan
tanaman dapat pula digunakan untuk memproduksi senyawa-senyawa kimia dari tumbuhan
tertentu dengan menghasilkan kalus dari bagian tanaman tertentu yang nantinya diekstrak
senyawanya (Sjahril dkk., 2011). Kultur jaringan selain untuk teknik perbanyakan, dapat juga
digunakan untuk menghasilkan dan memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti

minyak atsiri hanya dengan menghasilkan kalus dari bagian tanaman tertentu, kemudian
diekstrak untuk mendapatkan senyawa yang terkandung di dalamnya. Hendaryono dan
Wijayani (1994) juga mengatakan bahwa untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder
yang terkandung di dalam suatu tanaman tertentu akan lebih mudah didapat dari kalus suatu
eksplan.
Zat pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan
(Hendaryono dan Wijayani, 1994). Konsep zat pengatur tumbuh (ZPT) diawali dengan
konsep hormon. Hormon tanaman adalah senyawasenyawa organik tanaman yang dalam
konsentrasi rendah mempengaruhi proses fisiologis tanaman itu sendiri. Proses fisiologis ini
terutama untuk pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan tanaman. Proses lain pun
seperti pengenalan tanaman, pembukaan stomata, translokasi dan serapan hara pun juga
dipengaruhi oleh kerja hormon. Hormon tanaman juga disebut dengan fitohormon, namun
jarang digunakan (Wattimena et al., 1992). Golongan auksin seperti Dichlorophenoxyacetic
Acid (2,4-D) dapat berfungsi untuk pembentukan kalus, menghambat regenerasi tanaman dan
golongan sitokinin seperti 6-Benzylamino Purine (BAP), berfungsi untuk pembelahan sel,
morfogenesis, dan pemecahan dormansi, menghambat pengguguran daun.
Teknologi pengadaan bibit saat ini semakin dikembangkan seiring dengan semakin
tingginya permintaan pasar pada tanaman melati terutama dengan cara pengembangan bibit
secara in vitro melalui teknik kultur jaringan Pemilihan zat pengatur tumbuh sangat
mempengaruhi induksi kalus pada eksplan. Zat pengatur tumbuh 2,4-D paling sering
digunakan dalam menginduksi kalus karena memiliki aktivitas yang kuat untuk memacu
proses dediferensiasi sel, menekan organogenesis dan menjaga pertumbuhan kalus tanaman.
Zat pengatur tumbuh 2,4-D memiliki gugus karboksil yang dipisahkan oleh karbon atau
karbon dan oksigen yang mengoptimalkan aktivitas 2,4-D dalam pembentukan kalus,
(Wattimena et al., 1992).
Penelitian tentang induksi kalus daun melati dengan penambahan berbagai
konsentrasi 2,4-D dan BAP pada media MS secara in vitro menunjukkan bahwa dengan
penambahan 2,4-D dan BAP memberikan pengaruh terhadap kecepatan induksi dan biomassa
daun tanaman melati. Menurut George (2008) kalus dapat diinisiasi secara in vitro dengan
cara meletakkan irisan jaringan tanaman atau eksplan pada media tumbuh dalam keadaan
yang steril. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), massa sel terbentuk pada seluruh
permukaan irisan eksplan, kalus biasanya muncul pada sepanjang tulang daun atau di antara
tulang daun.
Induksi kalus disebabkan oleh luka atau irisan eksplan sebagai respon terhadap
hormon baik secara eksogen maupun endogen. Menurut Wetherel (1982) dalam Katuuk
(1989), kalus terbentuk sebagai akibat dari pengaruh hormon auksin dan sitokinin yang
tinggi. Eksplan daun melati yang ditanam pada media MS secara in vitro mengalami
pembentangan sebelum membentuk kalus. Zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP yang terlarut
dalam media akan berdifusi masuk ke dalam sel-sel eksplan daun tanaman melalui luka pada
ujung-ujung eksplan.
Zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP akan memacu pelunakkan dinding sel dengan
cara mengaktivasi pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran plasma, sehingga
menyebabkan derajat keasaman (pH) pada bagian dinding sel lebih rendah, yaitu mendekati

pH pada membran plasma (sekitar pH 4,5). Aktifnya pompa proton tersebut dapat
memutuskan ikatan hidrogen diantara mikrofibril selulosa dinding sel melati. Putusnya ikatan
hidrogen menyebabkan dinding sel melati mudah merenggang sehingga tekanan dinding sel
melati akan menurun dan mengakibatkan pelenturan sel melati. Derajat keasaman yang
rendah juga dapat mengaktivasi enzim tertentupada dinding sel yang dapat mendegradasi
bermacam-macam protein atau polisakarida yang menyebar pada dinding sel yang lunak dan
lentur, sehingga pembesaran sel melati dapat terjadi (Hayati et al., 2010).
Penambahan sitokinin berupa BAP juga memberikan respons pada eksplan daun
melati. Dalam kegiatan kultur jaringan, sitokinin berperan dalam menstimulasi terjadinnya
pembelahan sel dan proliferasi kalus. BAP yang ditambahkan pada media kultur akan
menaikkan laju sintesis protein sehingga mendorong pembesaran dan pembelahan sel
(mitosis). Sitokinin berperan terutama dalam pembentukan benang gelendong dalam tahap
metafase (Santoso dan Nursandi, 2002). Adanya interaksi antara peran auksin dan peran
sitokinin yang sama-sama ditambahkan pada media dengan kombinasi yang tepat akan
menyebabkan eksplan daun melati mengalami induksi kalus. Kecepatan induksi kalus yang
terjadi pada eksplan daun melati berbeda pada setiap perlakuan, Hal ini bergantung dari
respon setiap eksplan, karena selain penambahan zat pengatur tumbuh berupa auksin dan
sitokinin pada media, respon sel-sel eksplan juga dipengaruhi hormon endogen dan sifat
kompeten dari setiap eksplan (Santoso dan Nursandi, 2002).
Tekstur kalus yang dihasilkan pada penelitian ini bertipe kompak dengan warna kalus
yang berbeda, tekstur kalus yang kompak dianggap baik karena dapat mengakumulasi
metabolit sekunder lebih banyak (Yelnititis, 2012). Warna kalus yang dianggap baik adalah
warna kalus yang hijau, karena masih banyak mengandung klorofil (Yelnititis, 2012). Warna
kalus yang hijau tergantung dari eksplan yang digunakan. Kalus yang berwarna hijau
merupakan kalus yang di dalam sel-selnya terkandung klorofil,
Konsentrasi zat pengatur tumbuh adalah faktor utama untuk mengontrol pembentukan
kalus dalam media kultur, kombinasi konsentrasi yang tepat dan seimbang juga dapat
menumbuhkan kalus secara optimal. Kondisi kultur (media padat, suhu, cahaya) sangat
penting bagi pembentukan dan perkembangan kalus, tidak semua sel dalam eksplan
berkontribusi dalam pembentukan kalus. Beberapa sel yang kompeten untuk beregenerasi
sedangkan sel-sel lainnya tidak berkompeten untuk mengekspresikan totipotensi sehingga
tidak semua eksplan yang ditanam dapat merespon zat pengatur tumbuh yang di tambahkan
pada media.
Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan
sitokinin. IBA merupakan salah satu zat pengatur tumbuh golongan auksin. Peran auksin
yang ditambahkan pada media antara lain, merangsang pertumbuhan kalus, merangsang
pembentangan sel dan mengatur morfogenesis. Kinetin merupakan salah satu sitokinin yang
sering digunakan dalam kultur jaringan, berfungsi untuk mempercepat sintesis protein,
sehingga mendorong pembelahan dan pembesaran sel (Santoso dan Nursandi, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diketahui bahwa pemberian kombinasi zat
pengatur tumbuh IBA dan kinetin pada media MS memberikan pengaruh terhadap induksi
kalus daun tin (Ficus carica). Eksplan daun tin yang kompeten akan merespon penambahan
zat pengatur tumbuh IBA dan kinetin pada media tanam MS ditandai dengan pembentangan
eksplan dan terbentuknya massa sel yang tak beraturan, disebut kalus. Menurut Hendaryono

dan Wijayani (1994), massa sel terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, kalus
biasanya muncul pada sepanjang tulang daun atau di antara tulang daun.
Dalam kultur jaringan induksi kalus disebabkan oleh luka atau irisan eksplan sebagai
respon terhadap hormon baik secara eksogen maupun endogen. Eksplan daun tin yang
ditanam pada media MS secara in vitro mengalami pembentangan sebelum membentuk kalus.
Menurut Santoso dan Nursandi (2002), hal tersebut dikarenakan auksin (IBA) mempunyai
efek membentangkan sel. Mekanisme auksin dalam memengaruhi pembentangan sel dikenal
dengan hipotesis pertumbuhan asam. IBA mengaktifkan pompa proton pada dinding sel dan
menginduksi sekresi ion H+ keluar sel. Sekresi ion H+ ini mengaktifkan enzim tertentu
seperti selulase, hemiselulase, dan pektinase yang berperan dalam pemutusan beberapa ikatan
hidrogen pada rantai molekul selulosa yang menyusun dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi melentur dan meregang, selain itu keluarnya ion H+ menyebabkan dinding sel
menjadi asam. Pengasaman dinding sel tersebut menyebabkan ion K+ diambil dari dalam sel
dan pengambilan ini membuat potensial air dalam sel berkurang, sehingga air masuk ke
dalam sel secara osmosis dan menyebabkan sel mengalami pembentangan (Salisbury dan
Ross, 1995).
Penambahan sitokinin berupa kinetin juga memberikan respon pada eksplan daun tin.
Dalam kegiatan kultur jaringan, sitokinin berperan dalam menstimulasi terjadinnya
pembelahan sel dan proliferasi kalus. Kinetin yang ditambahkan pada media kultur akan
menaikkan laju sintesis protein sehingga mendorong pembesaran dan pembelahan sel
(mitosis). Sitokinin berperan terutama dalam pembentukan benang gelendong dalam tahap
metafase (Watimena, 1992). Sitokinin mendorong pembelahan sel dalam biakan jaringan
dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 (sesudah replikasi DNA) ke mitosis, karena
sitokinin menaikkan laju sintesis protein. Sintesis protein dapat ditingkatkan dengan cara
memacu pembentukan RNA-messenger dan menjaga kestabilannya, sehingga mempercepat
translasi pesan genetik menjadi protein (Salisbury dan Ross, 1995). Adanya interaksi antara
peran auksin dan peran sitokinin yang sama-sama ditambahkan pada media dengan
kombinasi yang tepat akan menyebabkan eksplan daun tin mengalami induksi kalus.
Kecepatan induksi kalus yang terjadi pada eksplan daun tin berbeda pada setiap
perlakuan, bahkan dari hasil penelitian, terdapat eksplan yang tidak mengalami induksi kalus
sama sekali. Hal ini bergantung dari respons setiap eksplan, karena selain penambahan zat
pengatur tumbuh berupa auksin dan sitokinin pada media, respon sel-sel eksplan juga
dipengaruhi hormon endogen dan sifat kompeten dari setiap eksplan (Santoso dan Nursandi,
2002). Sugiyama (1999), mengatakan bahwa, sel pada jaringan eksplan harus memiliki sifat
kompeten. Sifat kompeten merupakan kemampuan dari sel atau jaringan untuk merespon
sinyal dari zat pengatur tumbuh yang ditambahkan, sehingga sel atau jaringan dapat
berkembang. Hal tersebut menunjukkan bahwa induksi kalus pada tiap perlakuan bergantung
dari kombinasi konsentrasi antara auksin (IBA) dan sitokinin (kinetin) yang ditambahkan
dalam media serta tingkat kemampuan sel dari masingmasing eksplan. Sifat kompeten dari
tiap eksplan juga menentukan kecepatan waktu induksi dan biomassa kalus yang dihasilkan.
Smith (2012), mengatakan bahwa, tidak terbentuknya kalus pada eksplan daun
dapat dikarenakan sel-sel pada eksplan tersebut tidak memiliki kompetensi dalam
mengekspresikan sifat totipotensi.

Tekstur kalus yang dihasilkan pada penelitian ini bertipe kompak dengan warna kalus
yang bervariasi. Secara keseluruhan, warna kalus yang dihasilkan pada penelitian ini
didominasi warna hijau-cokelat. Penambahan IBA dan kinetin dalam media juga berpengaruh
pada warna kalus yang terbentuk. IBA sebagai auksin berperan dalam menghambat
pembentukan klorofil, sedang kinetin berperan dalam mendorong pembentukan klorofil
(Santoso dan Nursandi, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi auksin yang semakin
tinggi dan sitokinin yang makin rendah, menyebabkan kalus mengalami reduksi klorofil dan
warna menjadi lebih kuning atau cokelat. Menurut Santoso dan Nursandi (2002),
pencokelatan (browning) merupakan suatu proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat
adanya pengaruh fisik atau biokimia seperti, memar, pengupasan, atau pemotongan. Respon
eksplan terhadap luka adalah dengan mengeluarkan senyawa fenol. Jika fenol yang terbentuk
mengalami oksidasi, maka dapat menyebabkan kalus berwarna cokelat (Pierik 1987 dalam
Hayati, 2010). Warna kalus yang dianggap baik adalah warna kalus yang hijau, karena masih
banyak mengandung klorofil (Yelnititis, 2012). Warna kalus yang kecoklatan akibat
browning dianggap tidak bagus karena hal tersebut menunjukkan kemunduran kualitas suatu
kalus yang nantinya akan berakibat pada kematian eksplan atau kalus (Katuuk, 1989).
Berdasarkan hasil dan pembahasa penelitian mengenai induksi kalus daun tanaman
tin dengan penambahan berbagai kombinasi konsentrasi IBA dan kinetin secara in vitro, jenis
dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media MS merupakan faktor
penting dalam mengontrol pembentukan kalus. Jenis dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk
menginduksi kalus dapat berbeda sesuai dengan jenis atau spesies tanaman yang digunakan
sebagai eksplan. Sifat totipotensi dan kompeten sel pada eksplan juga berperan penting dalam
pembentukan dan perkembangan kalus. Hanya sel-sel yang kompeten untuk mengekspresikan
totipotensi yang mampu merespon sinyal berupa zat pengatur tumbuh yang ditambahkan
pada media, sehingga dalam pelaksanaannya, tidak semua eksplan mampu
menghasilkan kalus.

Kebutuhan bibit yang besar ini seringkali tidak dapat dipenuhi dengan hanya
menggantungkan pada perbanyakan tanaman secara generatif karena adanya keterbatasanketerbatasan, antara lain musim berbuah yang terbatas waktunya, sifat-sifat keturunan yang
variatif, membutuhkan tempat yang luas, dan keterbatasan jumlah benih yang dihasilkan.
Untuk itu maka diperlukan adanya alternatif perbanyakan tanaman sehingga kebutuhan bibit
dapat terpenuhi. Salah satu teknik perbanyakan tanaman adalah dengan teknik kultur
jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
protoplasma, sel, jaringan, organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh
kembali (Gunawan, 1995).
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sangat berbeda dibandingkan dengan
perbanyakan secara konvensional karena perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan
perbanyakan tanaman dalam skala besar dengan waktu yang relatif lebih cepat. Selain itu
teknik perbanyakan dengan kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan
caracara tradisional (Santoso dan Nursandi, 2002), antara lain:
a. Budidayanya dimulai dengan sedikit bahan tanaman (eksplan), kemudian dimultiplikasi
menjadi sejumlah tunas. Ini berarti hanya diperlukan sedikit bahan untuk penggandaan
sejumlah besar tanaman.

b. Perbanyakan ini menggunakan pendekatan lingkungan yang aseptik, bebas dari patogen
sehingga merupakan awal seleksi bahan tanaman yang bebas dari penyakit.
c. Meningkatkan efektivitas perbanyakan klonal pada tanaman yang hampir punah dan sulit
perbanyakan vegetatifnya.
d. Produktivitas perbanyakan klonal dengan kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang tahun
tanpa tergantung pada kondisi perubahan iklim.
e. Hanya memerlukan areal yang tidak begitu luas untuk keperluan propagasi dan
pengelolaan stok tanaman.
Adapun kelemahan teknik perbanyakan dengan kultur jaringan antara lain adalah
relatif lebih mahal dan membutuhkan sumberdaya manusia terdidik. Keberhasilan kegiatan
kultur jaringan akan lebih baik jika materi tanaman yang digunakan adalah materi unggul
yang diperoleh dari hasil pemuliaan. Dengan kultur jaringan maka materi unggul tersebut
dengan cepat dapat diperbanyak menjadi individu-individu baru yang sifat genetiknya sama
dengan pohon tetua.
Penggunaan bibit yang berkualitas dalam skala operasional, persiapan lahan yang
dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, penanaman serta pemeliharaan yang intensif
dapat meningkatkan keberhasilan tanaman dalam merehabilitasi lahan kritis tersebut.
Perbanyakan vegetatif adalah pembiakan tanpa penyerbukan atau menggunakan bagian
vegetatif seperti organ, jaringan, dan sel tanaman. Kelebihan dari perbanyakan vegetatif
adalah tanaman yang dihasilkan memiliki sifat genetik sama dengan induknya dan dapat
diperoleh keturunan yang unggul.
Adapun kelemahan dari pembiakan vegetatif adalah tidak semua jenis tanaman mudah
dibiakkan secara vegetatif, dan ada kesulitan dalam memilih bagian-bagian vegetatif yang
cocok untuk dibiakkan. Perbanyakan vegetatif dapat ditempuh dengan berbagai cara seperti
stek, cangkok, okulasi, sambungan, dan kultur jaringan.
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik pengisolasian dan pemeliharaan sel atau
potongan jaringan tanaman ditumbuhkan pada media buatan yang sesuai dan kondisinya
aseptik (George dan Sherrington, 1984). Bagianbagian tersebut kemudian memperbanyak
diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan, 1987). Perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan ini mempunyai keunggulan seperti: (a) tingginya
homogenitas tanaman, (b) tingginya vigor tanaman, (c) memiliki genetik yang sama dengan
induknya. Penggunaan bibit hasil kultur jaringan juga akan mengurangi biaya pemeliharaan
seperti penyulaman atau seleksi bibit inferior dan umur produksinya lebih singkat.
Selain memiliki Kelebihan, teknik kultur jaringan juga mempunyai beberapa
kelemahan misalnya munculnya variasi somaklonal yang akan menyebabkan penyimpangan
fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Hal ini terjadi karena subkultur yang berlebihan
serta organogenesis tidak langsung (perbanyakan dari kalus), konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang digunakan terlalu tinggi (Mariska et al., 1992). Perbanyakan tanaman dengan
teknik kultur jaringan untuk skala massal dapat menggunakan metode perbanyakan tunas
(shoot multiplication) karena cara ini relatif tidak ada kendala yang berarti (Wang et al.,
1993). Masalah lain yang banyak dihadapi dalam mengaplikasikan teknik kultur jaringan,
khususnya di Indonesia adalah modal investasi awal yang cukup besar dan sumberdaya
manusia yang menguasai dan terampil dalam bidang kultur jaringan tanaman masih terbatas.

Keberhasilan morfogenesis suatu budidaya jaringan, salah satunya ditentukan oleh


eksplan. Eksplan adalah bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi
suatu kultur (Vidyasagar, 2006). Untuk teknik kultur jaringan, semua bagian tanaman yang
dapat diperoleh dan bebas mikroorganisme dapat dicoba sebagai eksplan, walaupun demikian
tidak semua jaringan tanaman mudah ditumbuhkan (Wareing dan Phillips, 1976).
Hal yang harus diperhatikan dalam memilih bahan eksplan untuk kultur adalah ukuran
eksplan, umur fisiologinya, dan organ yang menjadi sumber bahan tanaman (Hartmann
et al., 1990). Ukuran eksplan mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan planlet. Tunas
dengan ukuran besar lebih tahan pada saat dipindahkan ke dalam kondisi kultur,
pertumbuhannya lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak mata tunas aksilar. Adapun
kelemahannya adalah sulit mendapatkan kultur yang aseptik dan memerlukan bahan tanaman
yang lebih banyak.
Pengambilan bahan tanaman sebagai eksplan dari umur fisiologi juvenil lebih baik
dibanding jaringan tanaman yang tua karena bagian-bagian tanaman yang masih muda
(juvenil), terutama kecambah memiliki daya regenerasi yang lebih tinggi daripada tanaman
dewasa (Gunawan, 1995). Jaringan muda mempunyai kemampuan morfogenetik yang lebih
besar daripada jaringan yang tua.
Untuk tanaman tahunan berkayu misalnya tanaman jati, bagian tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan untuk kultur jaringan adalah tunas juvenil. Tunas ini dapat diperoleh
dengan melakukan pemangkasan berat. Tunas yang muncul setelah pemangkasan, yang
digunakan sebagai bahan tanaman atau eksplan. Selain itu, fase juvenil kadangkadang
dapat juga diinduksi dengan cara melakukan penyemprotan tanaman dewasa dengan GA3
atau campuran antara auksin dan GA3 (George dan Sherrington, 1984).
Untuk memudahkan proses sterilisasi bahan tanaman, sebaiknya tanaman induk
berada atau ditanam di rumah kaca. Hal ini memudahkan perlakuan penyemprotan dengan
fungisida dan bakterisida secara periodik sehingga dapat mengurangi tingkat kontaminasi
bahan tanaman yang akan disterilisasi.
Eksplan yang telah terpilih disterilisasi permukaannya dengan berbagai bahan
sterilisasi. Tipe dan konsentrasi sterilisasi serta waktu yang digunakan ditentukan berdasarkan
pengalaman dan pengamatan. Bahan sterilisasi yang digunakan untuk sterilisasi permukaan
misalnya sodium hipoklorit, hidrogen peroksida, bromine water, dan silver nitrat. Pada
sterilisasi permukaan yang penting adalah seluruh permukaan basah oleh larutan sterilisasi.
Penggunaan alkohol 70% dan penambahan deterjen atau tween 80 dapat lebih
mengefektifkan sterilisasi (Biondi dan Thorpe, 1981).
Wattimena (1992) menyatakan eksplan tanaman berkayu seringkali mengeluarkan
senyawa fenol yang menyebabkan terjadinya pencoklatan bila jaringan diisolasi. Eksplan
yang mengalami pencoklatan bila dibiarkan akan mati. Untuk mengatasi masalah ini dapat
dilakukan antara lain dengan membilas terus-menerus dengan air atau menggunakan arang
aktif yang dapat mengabsorpsi senyawa fenol (Santoso dan Nursandi, 2002). Tiwari et al.
(2002) dalam percobaannya menggunakan pendekatan lain untuk menanggulangi masalah
pencoklatan pada kultur tanaman jati, yaitu dengan subkultur atau transfer eksplan secara
periodik dengan perlakuan waktu yang berbeda. Sumber eksplan yang digunakan berasal dari
tanaman jati terpilih berumur 45 tahun. Persentase tumbuh eksplan jati dari berbagai macam

perlakuan waktu transfer menunjukkan transfer eksplan sebanyak lima kali ke media baru
dengan selang waktu 12 jam menghasilkan 76,8 eksplan yang tunas.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media
yang digunakan (Gunawan, 1987). Unsur-unsur yang penting dalam media tersebut adalah
garam-garam anorganik, vitamin, zat pengatur tumbuh, sumber energi, dan karbon. Garamgaram anorganik terdiri dari unsur-unsur hara yang esensial. Unsur hara esensial adalah unsur
hara yang diperlukan oleh tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya, fungsi unsur hara
tersebut tidak dapat digantikan oleh unsur yang lain, dan diperlukan dalam
proses metabolisme tanaman sebagai komponen molekul anorganik atau sebagai kofaktor
dalam reaksi enzim (Orcutt dan Nilsen, 2000).
Unsur hara esensial ada dua yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara
makro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (1-15 mg/bk
tanaman) seperti nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), dan
sulfur (S) (George dan Klerk, 2008). Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan
oleh tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit (0,1g-0,1 mg/g berat kering tanaman).
Menurut Gamborg dan Shylluk (1981), yang termasuk dalam unsur hara mikro adalah Fe,
Mn, Zn, B, Cu, Co, dan Mo. George dan Klerk (2008) memasukkan khlor (Cl) ke dalam
unsur hara mikro. Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur-unsur hara
makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk
menggantikan karbon yang biasanya diperoleh dari atmosfer melalui fosintesis (Gunawan,
1987). Gula yang digunakan sebagai sumber karbon misalnya sukrosa atau glukosa (Santoso
dan Nursandi, 2002). Konsentrasi sukrosa dalam media biasanya 2- 4%.
Komposisi media yang digunakan tergantung pada jenis tanaman yang akan
diperbanyak, misalnya media dasar Vacin dan Went biasanya digunakan untuk kultur jaringan
anggrek, media dasar B5 untuk kultur alfafa, kedelai, dan legum lainnya. Media Woody Plant
Media (WPM) biasanya digunakan untuk tanaman kehutanan. Komposisi media Murashige
dan Skoog mengandung unsur-unsur yang lebih lengkap sehingga digunakan pada hampir
semua jenis kultur (Gunawan, 1987).
Menurut Moore (1979), zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan
nutrisi yang dalam jumlah sedikit (<1 milimole (mM)) mampu memacu, menghambat atau
mengubah proses fisiologi tanaman. Menurut Torres (1989), ZPT yang penting untuk kultur
jaringan tanaman antara lain adalah auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh yang termasuk
dalam golongan auksin adalah IAA (Indole Acetic Acid), PAA (Phenyl Acetic Acid), 4chloroIAA (4-chloro Indole Acetic Acid), dan IBA. Beberapa lainnya merupakan auksin
sintetik, misalnya NAA (Napthalene Acetic Acid), 2,4 D (2,4 Dichloro Phenoxy Acetic Acid),
dan MCPA (2-methyl-4 chloro Phenoxy Acetic Acid, sedangkan yang termasuk dalam
golongan sitokinin antara lain BAP (Benzil Amino Purin), kinetin, dan lain-lain.
Zat pengatur tumbuh mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan, dan organ. Interaksi antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi
oleh sel secara endogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1987).
Nisbah auksin-sitokinin yang tinggi akan mendorong pembentukan akar, sedangkan nisbah
sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas. Tanaman-tanaman yang
berbeda mempunyai respon yang berbeda terhadap sitokinin dan auksin karena perbedaan
hormon alami yang dikandungnya (Hartmann et al., 1990).

1. Tahap Inisiasi
Tahap inisiasi adalah tahap awal kultur yang bertujuan untuk mendapatkan eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru. Hasil pengamatan pada tahap
inisiasi tunas bitti, menunjukkan eksplan yang menghasilkan tunas adalah yang berasal dari
pucuk dan kotiledon. Eksplan pucuk lebih banyak menghasilkan tunas dibandingkan
kotiledon. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pada tahap ini adalah empat tunas. Hal ini
disebabkan pucuk merupakan kuncup terminal yang mempunyai kemampuan membelah diri
untuk membentuk tunas baru dan semakin tinggi tunas maka tunas yang terbentuk juga
semakin banyak. Tunas yang baru pada umumnya berasal dari tunas aksilar.
2. Tahap Multiplikasi
Pada tahap multiplikasi atau tahap perbanyakan, tunastunas yang tumbuh dari hasil
induksi diperbanyak dengan cara memotong setiap ruas dan menanamnya pada media
perbanyakan. Media perbanyakan ini umumnya lebih banyak mengandung sitokinin.
Penggunaan 6-BA sebanyak 0,75 mg/l ditambah NAA 0,01 mg/l dapat menghasilkan jumlah
tunas A. Crassicarpa sebanyak 8-10 tunas selama delapan minggu pada tahap multiplikasi
(Sapulete, 1997). Pada tanaman bitti (Vitex cofassus Reinw) diperoleh rata-rata jumlah tunas
sebanyak empat tunas per ruas dengan menggunakan media yang mengandung BAP 1,5 mg/l
+ kinetin 0,5 mg/l (Nursyamsi, 2009). Untuk tanaman gaharu, penggunaan BAP dengan
konsentrasi 0,25 mg/l dapat menghasilkan rata-rata jumlahtunas sebanyak lima tunas
(Nursyamsi dan Suhartati, 2007).
Pada multiplikasi tanaman jati, rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pada media MS
yang ditambahkan BAP 0,15 mg/l dan kinetin 0,15 mg/l adalah 6-7 tunas per sampel
(Herawan dan Husnaeni, 2001). Dari beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan BAP
sangat berpengaruh terhadap multiplikasi tunas yang dihasilkan. Jumlah tunas yang terbentuk
selain dipengaruhi oleh sitokinin yang digunakan juga dipengaruhi oleh jenis tanaman yang
akan diperbanyak.
3. Tahap Perakaran
Tujuan dari tahap perakaran adalah untuk pembentukan akar dan pembentukan
plantlet yang mandiri serta pucuk tanaman yang cukup kuat hingga dapat bertahan hidup
sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan alamiahnya. Tunas-tunas
hasil multiplikasi yang belum mempunyai akar dipindahkan ke media yang mengandung
lebih banyak auksin. Jumlah akar terbanyak pada kultur jaringan tanaman bitti adalah ratarata tujuh akar per plantlet. Akar ini diperoleh pada media MS ditambah IBA konsentrasi 1
mg/l (Nursyamsi, 2009).
4. Tahap Aklimatisasi
Tahap akhir dari kultur jaringan tanaman adalah tahap aklimatisasi. Aklimatisasi dapat
didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan
yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang
berasal dari invitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in-vivo.
Plantlet hasil kultur jaringan sering masih sulit untuk dipelihara sesuai dengan kondisi
alamiahnya/lapangan, karena masih sangat peka sehingga diperlukan tahap aklimatisasi.
Tanaman tersebut perlu dipersiapkan untuk masa transisi dari media agar ke media tanah
sehingga mempunyai perakaran dan ketinggian yang lebih baik serta lebih kokoh.

Aklimatisasi merupakan kegiatan memindahkan eksplan ke luar dari ruangan aseptik ke


rumah kaca. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan
sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan
udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara
bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama
dengan pemeliharaan bibit generatif.
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman, seperti
protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan atau organ serta menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi
tanaman utuh kembali [6]. Melalui teknik ini bibit dapat diproduksi dalam jumlah yang besar,
seragam, bebas hama dan penyakit serta penyediaannya secara kontinyu. Teknik ini juga
memungkinkan manipulasi sel dan molekul untuk memperbaiki sifat tanaman serta
mempertinggi produksi dan kualitasnya [7].
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi tanaman, aktif dalam
konsentrasi rendah yang merangsang, menghambat atau merubah pertumbuhan serta
perkembangan tanaman secara kuantitatif maupun kualitatif. Penggunaan jenis dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh tertentu dapat mengatur arah pertumbuhan suatu tanaman
[8].
Auksin merupakan salah satu golongan ZPT yang cukup penting dalam pertumbuhan
tanaman. Auksin berperan dalam mempengaruhi pembesaran, pemanjangan dan pembelahan
sel serta mempengaruhi metabolisme asam nukleat dan metabolisme protein [9,10]. Taraf
auksin dalam sel tergantung dari bagian tanaman yang diambil, jenis tanamannya dan umur
tanaman. Pengaruh fisiologis auksin yang lain adalah penghambatan tunas lateral akibat
peran auksin dalam dominansi apikal, yang bergerak dari bagian apikal secara basipetal [10].
Sitokinin merupakan ZPT yang mendorong pembelahan (sitokinesis), pertumbuhan
dan perkembangan kulktur sel tanaman. Sitokinin juga menunda penuaan daun, bunga dan
buah dengan cara mengontrol dengan baik proses kemunduran yang menyebabkan kematian
sel-sel tanaman. Pada tumbuhan, efek sitokinin sering dipengaruhi oleh keberadaan auksin,
misalnya jumlah akar yang banyak akan menghasilkan sitokinin dalam jumlah banyak [8]
Peningkatan konsentrasi sitokinin ini akan menyebabkan sistem tunas membentuk cabang
dalam jumlah yang lebih banyak. Menurut Skoog dan Miller (1957) dalam Nurhayati (1987)
bahwa terbentuknya tunas diperlukan sitokinin yang tinggi tanpa atau dengan sedikit auksin.
Sitokinin baik faktor tunggal maupun kombinasinya dengan auksin dalam kultur
jaringan berperan dalam menginduksi maupun penggandaan tunas (Winarsih dan Priyono,
2000) Hal ini menunjukkan bahwa auksin endogen sudah cukup tersedia untuk menstimulir
pembentukan akar [11]. Auksin cenderung menghambat aktivitas meristem lateral yang
letaknya berdekatan dengan meristem apical sehingga membatasi pembentukan tunas-tunas
cabang dan fenomena ini disebut dominasi apical [13]. Kuncup aksilar umumnya mulai
terbentuk pada ketiak daun yang terdapat di bagian bawah tajuk (daerah yang berdekatan
dengan akar) dan biasanya akan tumbuh memanjang dibandingkan dengan tunas aksilar yang
terdapat dekat dengan kuncup terminal [14]. Hal ini menunjukkan rasio sitokinin terhadap
auksin yang lebih tinggi pada bagian bawah tumbuhan. Interaksi antara auksin dan sitokinin

juga merupakan salah satu cara tumbuhan dalan mengatur derajat pertumbuhan akar
dan tunas.

Kultur in vitro merupakan ilmu dan teknik untuk menumbuhkan sel, jaringan atau
organ tanaman pada medium buatan. Kultur jaringan dapat diinisiasi dari bagian jaringan
tanaman yang disebut eksplan (George, 2008). Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
kegiatan kultur in vitro seperti pemilihan eksplan sebagai bahan dasar, penggunaan medium
yang sesuai, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair.
Eksplan sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh, yaitu bagian
meristem seperti daun muda, ujung batang, keping biji dan sebagainya (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).
Kultur in vitro memiliki keunggulan untuk produksi metabolit sekunder karena
kecepatan pertumbuhan sel-selnya dan hanya membutuhkan sedikit material tumbuhan (Babu
dkk., 2011). Produksi metabolit sekunder melalui kultur in vitro dipengaruhi berbagai faktor
baik secara genetis maupun lingkungan. Adanya perbedaan kondisi lingkungan pertumbuhan
antara kultur in vitro dan tanaman asalnya memungkinkan untuk adanya perbedaan
kandungan metabolit sekundernya baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Wardani dkk.,
2004).
Kalus akan tumbuh pada permukaan irisan eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Terbentuknya kalus pada bagian eksplan yang terluka disebabkan oleh otolisis sel dan dari sel
yang rusak tersebut akan dihasilkan senyawa-senyawa yang akan merangsang pembelahan sel
pada lapisan berikutnya (Gunawan, 1992). Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian
tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda
pula (Hartman dkk., 1990).
Pertumbuhan dan morfogenesis dari jaringan tumbuhan secara in vitro diatur oleh
komposisi dari medium kultur. Pada dasarnya kebutuhan nutrisi setiap tumbuhan sama,
namun untuk memperoleh pertumbuhan yang optimum dari suatu jaringan tumbuhan dalam
kondisi laboratorium bisa berbeda untuk beberapa spesies. Komponen utama dalam medium
kultur jaringan tumbuhan diantaranya adalah nutrien inorganik (makronutrien dan
mikronutrien), sumber karbon, suplemen organik, zat pengatur tumbuh dan agen pemadat
(Razdan, 2003).
Makronutrien adalah unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah banyak dan
mengandung enamunsur utama yang dibutuhkan, yaitu nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K),
kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S) (Razdan, 2003). Mikronutrien adalah unsur
yang dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah sedikit tetapi penting seperti besi (Fe), nikel
(Ni), mangan (Mn), klorin (Cl), seng (Zn), boron (B), tembaga (Cu), molibdat (Mo), kobalt
(Co), aluminium (Al), iodin (I) dan natrium (Na) (George dan de Klerk, 2008). Menurut
Epstein (1971), suatu unsur dikatakan esensial untuk pertumbuhan tanaman jika suatu
tanaman tidak bisa menyelesaikan siklus hidupnya tanpa unsur tesebut, pengaruhnya spesifik
dan tidak bisa digantikan oleh unsur yang lain, berpengaruh secara langsung pada tanaman
dan dikenal sebagai unsur pokok.
Menurut Zulkarnain (2009), sukrosa biasanya diberikan pada konsentrasi 20 30 g/l
dan hampir semua kultur memperlihatkan respon pertumbuhan yang optimum dengan
pemberian disakarida dalam bentuk sukrosa. Sumber karbon yang paling disarankan dalam

kultur jaringan tanaman adalah sukrosa. Penambahan sumber karbon akan mempercepat
proliferasi sel dan regenerasi tunas (Razdan, 2003).
Vitamin memiliki fungsi katalitik pada sistem enzim dan dibutuhkan dalam jumlah
kecil (Zulkarnain, 2009). Menurut Radzan (2003), vitamin dan asam amino dibutuhkan untuk
mendapatkan pertumbuhan yang baik dari suatu jaringan tumbuhan. Macam vitamin yang
sering digunakan adalah thiamine (B1), nicotinic acid (B3), calcium pentothenat (B5),
pyridoxine (B6) dan myoinositol. Vitamin biasanya ditambahkan antara 0,1 10 mg/l.
Zat pengatur tumbuh (ZPT) biasa ditambahkan dalam medium untuk membantu
pertumbuhan kultur (Narayanaswamy, 1994). Ada beberapa kelas dari zat pengatur tumbuh
tanaman, yaitu auksin, sitokinin, gibereilin, etilen dan asam absisat. Auksin dan sitokinin
sejauh ini adalah zat pengatur tumbuh yang paling penting untuk regulasi pertumbuhan dan
morfogenesis (Machakova dkk., 2008).
Menurut Gupta dkk. (2010), auksin adalah salah satu ZPT yang menyebabkan
pemanjangan sel, dominasi apikal dan inisiasi akar. Konsentrasi dan keseimbangan dari
kombinasi auksin dan sitokinin akan mempengaruhi regenerasi organ dari sel yang
dikulturkan. Kedua ZPT tersebut meregulasi metabolisme sekunder pada sel yang dikulturkan
secara in vitro dengan mengontrol diferensiasi sel. Pengaruh auksin dan sitokinin akan
berbeda untuk tiap spesies dan tiap produk (Saito dan Mizukami, 2002).
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D)
dan Naphtalene-acetic-acid (NAA) merupakan golongan auksin sintetis yang sifatnya stabil
karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dihasilkan sel ataupun oleh pemanasan
saat proses sterilisasi medium. Zat pengatur tumbuh 2,4-D sering digunakan untuk
menginduksi pembentukan kalus embriogenik dan merupakan ZPT paling efektif dalam
memacu pembentukan kalus. Konsentrasi 2,4-D yang biasa digunakan untuk tanaman dikotil
adalah 0,001 2 mg/l (George dan Sherrington, 1984). Zat pengatur tumbuh 2,4-D pada
konsentrasi rendah akan menginduksi pembentukan kalus, namun pada konsentrasi tinggi
akan menyebabkan mutasi karena 2,4-D bersifat herbisida (Goldsworty dan Mina, 1991).
Indole-3-butyric acid (IBA) bersifat termolabil dan dapat rusak selama pemanasan, meskipun
sifatnya lebih stabil dari Indole-acetic acid (IAA) (Machakova dkk., 2008).
Sitokinin berfungsi untuk menstimulasi pembelahan sel, proliferasi kalus,
pembentukan tunas, memacu proliferasi meristem ujung, menghambat pertumbuhan akar
serta mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Santoso dan Nursandi, 2002). Benzylamino-purine (BAP) merupakan salah satu golongan sitokinin yang mempunyai sifat lebih
stabil, lebih murah dan lebih tersedia. Hormon ini dapat mendorong pembentukan kalus
sekaligus merangsang munculnya tunas dari kalus yang terbentuk (Herawan dan Ismail,
2009). Kinetin (N6-furfuryladenine) adalah zat pengatur tumbuh sitokinin yang memiliki
kemampuan untuk menginduksi pembelahan sel. Kinetin sering digunakan pada kultur sel
dan jaringan tanaman untuk menginduksi pembentukan kalus (jika dikombinasikan bersama
auksin) dan untuk menumbuhkan tunas dari kalus (dengan konsentrasi auksin yang lebih
rendah) (Duszka dkk., 2009).
Dengan semakin berkembangnya usaha di bidang pertanian maka kebutuhan
bibit semakin meningkat. Melalui perbanyakan konvensional sangat sulit untuk
memenuhi kebutuhan bibit yang sangat banyak dengan waktu relatif cepat. Dengan
demikian, teknologi kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi

pilihan yang sangat menjanjikan untuk pe-menuhan kebutuhan bibit tanaman yang
akan dieksploitasi secara luas. Namun demikian, ada faktor terten-tu yang harus
diantisipasi, yaitu pe-nyimpangan genetik yang dapat ter-jadi karena metode in vitro.
Untuk itu, perlu dimengerti mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang
menyebabkannya sehing-ga mutasi dapat dihindarkan.
Berdasarkan pengalaman pada spesies tanaman tertentu, yaitu suatu for-mulasi
media sangat baik untuk memacu pertunasan pada tahap awal sampai subkultur
keenam, namun pada subkultur berikutnya menjadi tidak baik (semua biakan
menghitam, layu, dan mati). Hal tersebut terjadi karena terdapat komponen organik
tertentu yang tidak baik digunakan pada jaringan yang sudah mengalami periode
kultur in vitro lama.
Formulasi me-dia baru yang lebih sederhana kom-ponen organiknya dicoba dan
biak-an mengalami penyembuhan serta tumbuh normal kembali. Dari contoh
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memecahkan sistem regenerasi
tanaman tidak mudah. Banyak hal yang harus dipelajari dan dikuasai seperti
mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat persistensi, daya aktivitas
dari berbagai komponen organik dan anorganik penyusun media tumbuh serta faktor
lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro.
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan tanaman
secara klonal untuk perbanyakan masal. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur
jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah
banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock) sehingga
dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari, 2008). Untuk
mendapatkan hasil yang optimum maka penggunaan media dasar dan zat pengatur
tumbuh yang tepat merupakan faktor yang penting (Purnamaningsih dan Lestari,
1998). Kombinasi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan
meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis.
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui
dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Jalur embriogenesis
somatik di masa mendatang lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari
satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan dapat lebih banyak dibandingkan
melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit asal
biji.
Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan sitokinin dan auksin. Auksin
mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan
tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi
pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan
pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987). Untuk memacu
pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin
diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi.
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995; Gaba, 2005). Perannya antara lain
mengatur kecepatan pertumbuhan dari masingmasing jaringan dan mengintegrasikan
bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman.

Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur
kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al.,
2004; George, 1993; Dodds dan Roberts, 1982). Dalam proses pembentukan organ
seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang
ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang diproduksi
oleh jaringan tanaman (Winata, 1987).
Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi faktor
pemicu dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Untuk memacu
pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin
eksogen (Poonsapaya et al., 1989).
Kombinasi antara sitokinin dengan auksin dapat memacu morfogenesis dalam
pembentukan tunas (Flick et al., 1993). Pada tanaman inggu, pembentukan tunas
adventif dari batang dapat diperoleh dengan menggunakan media MS + BA 1,5 mg/l +
2.4-D 0,3 mg/l (Lestari dan Husni, 1997). Tunas adventif pada tanaman daun dewa
diperoleh dari kalus yang diinisiasi menggunakan media MS + 2.4-D 0,1 mg/l + BA 0,1
mg/l + kinetin 2 mg/l kemudian dipindah ke media tanpa zat pengatur tumbuh. Zat
pengatur tumbuh 2.4-D berperan sebagai inisiasi kalus, dengan adanya BA maka
pembentukan tunas adventif menjadi lebih aktif (Flick et al., 1993). Jenis zat pengatur
tumbuh yang berbeda dari golongan yang sama seperti kinetin, zeatin dan 2-iP kadang
dibutuhkan untuk memacu morfogenesis yang lebih optimal (Gaba, 2005).
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada
tujuan atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh BA
(benzyl adenin) paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena
mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan kinetin (Zaer dan Mapes, l982).
BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi lebih efektif karena BA
mempunyai gugus benzil (George dan Sherington, l984). Flick et al. (1993) menyatakan
bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BA
dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA lebih efektif untuk produksi tunas
in vitro. Pada banyak jenis tanaman zat pengatur tumbuh 2-iP merupakan sitokinin
yang mempunyai daya aktivitas lebih lemah dibandingkan dengan sitokinin lainnya
sehingga jarang digunakan. Pada tanaman nilam penggunaan 2-iP menghasilkan tunas
yang lemah dan kurus (Seswita et al., 1996).
Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan thidiazuron (TDZ) dapat pula
meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas. Lu (1993) menyatakan bahwa
thidiazuron dapat menginduksi pembentukan tunas adventif dan proliferasi tunas
aksilar. Diduga thidiazuron mendorong terjadinya perubahan sitokinin ribonukleotida
menjadi ribonukleosida yang secara biologis lebih aktif (Capella et al. dalam Lu, l993).
Thidiazuron merupakan senyawa organik yang banyak digunakan dalam perbanyakan
in vitro karena aktivitasnya menyerupai sitokinin (Pierik, l987; Singha dan Bathia,
l988).Thidiazuron berpotensi memacu frekuensi regenerasi pada kacang tanah (Arachis
hipogaea) secara in vitro, dan memacu pembentukan tunas adventif pada beberapa
jenis tumbuhan (Huetterman dan Prece, 1993) karena dapat menginduksi proses
pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk

primordia tunas (George dan Sherington, 1984). Senyawa organik tersebut merupakan
derivat urea yang tidak mengandung rantai purin yang umumnya dimiliki oleh
sitokinin.
Kombinasi BA dengan thidiazuron untuk meningkatkan kemampuan proliferasi
tunas antara lain pada tanaman Pyrus communis (Singha dan Bhatia, 1988), tunas apel
(Van Niewkerk et al., 1986), Sukun (Supriati et al., 2005). Thidiazuron dalam
konsentrasi yang rendah 1 M lebih efektif dalam pembentukan tunas adventif
(Sankhla et al., 1996). Contoh lain tanaman yang memberikan respon lebih baik bila
ditumbuhkan pada media dengan penambahan thidiazuron antara lain pada tanaman
kencur (Lestari dan Hutami, 2005), thidiazuron 0,1 mg/l yang ditambahkan pada media
MS + BA 1, 3, dan 5 mg/l, mampu meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas,
demikian pula pada tanaman pisang. Tidak semua tanaman memberikan respon
proliferasi tunas yang optimal dengan adanya thidiazuron contohnya pada tanaman
belimbing Dewi tidak diperoleh adanya peningkatan jumlah tunas, thidiazuron yang
ditambahkan cenderung meningkatkan tinggi tunas dan jumlah daun. Komposisi
media terbaik untuk multiplikasi tunas pada belimbing Dewiadalah media MS + zeatin
2 mg/l + IAA 0,5 mg/l (Supriati et al., 2006).
Penggunaan Sitokinin untuk Memacu Multiplikasi Tunas pada Beberapa
Tanaman Pembentukan tunas in vitro sangat menentukan keberhasilan produksi bibit
yang cepat dan banyak. Semakin banyak tunas yang terbentuk akan berkorelasi positif
dengan bibit yang dapat dihasilkan melalui kultur jaringan. Dengan demikian untuk
memacu faktor multiplikasi tunas yang tinggi diperlukan penambahan zat pengatur
tumbuh sitokinin. Tunas ganda (tunas majemuk) yang terbentuk secara langsung lebih
stabil secara genetik dibandingkan dengan tunas tidak langsung.
Penggandaan tunas pada tanaman berkayu atau tanaman tahunan seperti
gaharu, cendana, belimbing, sukun, dan melinjo pada umumnya memerlukan zat
pengatur tumbuh dalam konsentrasi yang lebih tinggi berkisar antara 5-10 mg/l, untuk
meningkatkan kemampuan proliferasi tunas dan kadang perlu ditambahkan
thidiazuron atau auksin seperti IAA dalam konsentrasi yang rendah (0,1-0,3 mg/l).
Sebaliknya pada tanaman herba seperti mentha, seruni, dan rami, diperlukan sitokinin
seperti BA atau kinetin konsentrasi yang rendah, yaitu berkisar 0,1-1 mg/l. Faktor
multiplikasi pada tanaman nilam yang tinggi dapat diperoleh tanpa menggunakan
sitokinin (Seswita et al., 1996). Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media
dapat memacu proliferasi tunas karena adanya pengaruh sinergisme antara zat
pengatur tumbuh tersebut (Thorpe, 1987; Davies, 1995). Contohnya pada tanaman obat
langka pulasari (Alyxia stellata) kombinasi BA dan NAA menghasilkan tunas lebih
banyak (Lestari dan Mariska, 1992), tanaman krisan menggunakan kombinasi BA 1
mg/l + GA3 mg/l diperoleh faktor multiplikasi tunas tertinggi (Karim et al., 2003), dan
tanaman tangguh menggunakan kinetin 3 mg/l + IAA 10 mg/l (Lestari et al., 1999).
Perakaran dengan kualitas yang baik sangat menentukan keberhasilan dalam
tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi media yang tepat sangat menentukan kualitas
akar. Pembentukan akar dari tunas in vitro pada tanaman tertentu sangat cepat
contohnya pada tembakau, mentimun, nilam, dan beberapa kultur lainnya. Akar
tersebut dapat dihasilkan pada media yang sama untuk pertunasan. Namun pada

tanaman tertentu pembentukan akarnya sangat sulit sehingga diperlukan media


tumbuh baru yang mengandung auksin. Pada tunas in vitro pule pandak, lada, vanili,
dan lain-lain dapat menghasilkan akar dengan menggunakan IBA atau IAA. Pada
tanaman inggu, penggunaan IAA 1 mg/l menghasilkan akar terbanyak dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman tangguh menggunakan media MS + NAA 1
mg/l dapat dihasilkan akar (Lestari et al., 1999).
Pembentukan tunas dalam kultur jaringan dapat terbentuk secara langsung dan
tidak langsung. Tunas adventif yang terbentuk dari kalus umumnya disebut sebagai
regenerasi tidak langsung. Pembentukan tunas adventif dari kalus padi indica
dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga formulasi media untuk masing-masing
varietas tidak sama. Alam et al. (1998) menggunakan media MS + kinetin 2 mg/l + NAA
0,1 mg/l untuk padi indica kultivar Vaidehi. Purnamaningsih (2003) menggunakan
media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk pembentukan tunas dari kalus padi
varietas Rojolele (Javanica), pada padi varietas Bengawan Solo dan Cisadane
menggunakan media MS +BA 3 mg/l + IAA 0,1 m/l + zeatin 0,1 mg/l. Pada tanaman
pule pandak (Rauwolvia serpentina), pembentukan tunas dari eksplan kalus dapat
diperoleh menggunakan media MS + BA 1 mg/l + zeatin 0,5 mg/l + maltosa 3% (Yunita
dan Lestari, 2008).
Konsentrasi dan zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan tergantung pada
tahapan dalam perkembangan pembentukan embrio somatik. Tahapan dalam proses
embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan,
perkecambahan, pembentukan kotiledon, dan bibit somatik. Pada tiap tahapan
membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin yang berbeda. Pada tanaman cendana
menggunakan media MS + 3,44 M IBA + 0,44 M BA (Alam et al., 1998) pada
tanaman pepaya untuk induksi kalus embriogenik adalah media MS + 2.4-D 20 mg/l
dan untuk memproduksi embrio somatik dan bibit somatik adalah media MS + BA 0,4
mg/l + kinetin 0,1 mg/l (Hutami et al., 2001).
Pada tahap pembentukan embrio fase globular dan hati sering digunakan zat
pengatur tumbuh sitokinin seperti benzyl adenin atau yang mempunyai peran fisiologis
yang sama, yaitu thidiazuron (Husni et al., l997) atau 2.4-D dan NAA apabila embrio
somatik melalui fase kalus. Pada tahap pendewasaan, konsentrasi sitokinin diturunkan
dan untuk tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3 (Mariska et al. 2001a,
2001b). embentukan embriosomatik pada tanaman cendana dari eksplan embrio
somatik dewasa menggunakan media MS + BA 1 mg/l, sedangkan dari eksplan embrio
somatik muda menggunakan media MS + BA 2 mg/l. Perkecambahan embrio somatik
membentuk tunas menggunakan media MS + GA3 5 mg/l (Sukmadjaja,
2005).

Kalus adalah proliferasi masa jaringan yang belum terdiferensiasi. Masa sel ini
terbentuk di seluruh permukaan irisan eksplan sehingga semakin luas permukaan
irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk (Hendaryono
dan Wijayani, 1994). Senyawa 2,4- D merupakan salah satu jenis auksin yang sangat
efektif untuk menginduksi pembentukan kalus, walaupun auksin yang berperan utama
tetapi sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus sehingga kombinasi auksin
dan sitokinin sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus (Abidin, 1982).

Penampakan kalus pada semua perlakuan pada awalnya berwarna putih remah
(friable), kemudian pada awal pertengahan minggu ketiga kalus yang terbentuk
semakin banyak dan warnanya berubah menjadi coklat muda dengan struktur
kompak. Pada akhir minggu ketujuh kalus mulai berubah warna menjadi coklat tua
dan akhirnya kehitaman. Hal ini disebabkan senyawa fenol di jaringan mulai
terbentuk, sehingga kalus harus segera disubkultur. Kalus pada media perlakuan
mengalami pertambahan volume karena terjadi pembesaran sel. Pada umumnya
ukuran kalus menjadi dua kali ukuran semula, yang ditunjukkan dengan peningkatan
berat basah kalus akhir menjadi dua kali berat basah kalus awal. Pemberian kombinasi
zat pengatur tumbuh antara auksin dan sitokinin dimaksudkan untuk merangsang
pembesaran, proliferasi sel dan pertumbuhan kalus dari eksplan yang ditanam.
Kalus pada media perlakuan mempunyai susunan sel yang kompak, rapat,
padat, dan sulit dipisah-pisahkan. Pada permukaan bawah eksplan yang tumbuh
menjadi kalus terlihat kondisi jaringan yang berair. Kondisi ini disebabkan bagian
jaringan yang ada di permukaan bawah langsung bersentuhan dengan media dan
berperan sebagai area penyerapan media. Warna kalus pada awal perlakuan semula
berwarna coklat sampai coklat kehitaman kemudian pada awal minggu pertama
terbentuk kalus baru yang berwarna kuning bening kemudian warna kalus ini akan
berubah menjadi kecoklatan seiring dengan pertumbuhan kalus yang semakin tua.
Kondisi warna kalus yang bervariasi menurut Hendaryono dan Wijayani (1994)
disebabkan oleh adanya pigmentasi, pengaruh cahaya, dan bagian tanaman yang
dijadikan sebagai sumber eksplan. Eksplan yang cenderung berwarna kecoklatan
disebabkan oleh kondisi eksplan yang secara internal mempunyai kandungan fenol
tinggi. Fenol akan teroksidasi menjadi kuinon fenolik oleh pengaruh cahaya. Hal ini
disebabkan karena 2,4-D efektif untuk memacu pembentukan kalus karena
aktivitasnya yang kuat untuk memacu proses dediferensiasi sel, menekan organogenesis
serta memacu pertumbuhan kalus (Lestari dan Mariska,
1997).
Warna kalus yang hijau disebabkan peningkatan konsentrasi sitokinin yang
tinggi. Sitokinin yang ditambahkan dalam media mampu menghambat perombakan
butir-butir klorofil karena sitokinin mampu mengaktifkan proses metabolisme dan
sintesis protein (Wattimena, 1991). Hal ini ditunjukkan dengan data yang diperoleh
pada perlakuan dengan pemberian sitokinin yang tinggi didapatkan warna kalus yang
berwarna hijau Pada awal masa inkubasi, laju pertumbuhan kalus tidak mengalami
peningkatan yang berarti kemudian mencapai optimum pada masa inkubasi 4-5
minggu. Laju pertumbuhan kalus dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur komposisi
media tumbuh yang digunakan, salah satunya dengan penambahan zat pengatur
tumbuh.
Penggunaan auksin 2,4-D dapat memacu pertumbuhan kalus, sedangkan
penambahan sitokinin dalam media sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
pembelahan sel, karena sitokinin berperan dalam pembentukan benang gelendong pada
tahap metafase (Gunawan dkk., 1992) sehingga pemberian kombinasi antara auksin
dan sitokinin dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan laju
pertumbuhan kalus. Penambahan 2,4-D dalam media ternyata efektif untuk

meningkatkan laju pertumbuhan kalus. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang


ditambahkan semakin meningkatkan laju pertumbuhan kalus. Auksin berupa 2,4-D
dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air,
menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein,
meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel (Abidin, 1982).
Plastisitas dan pengembangan dinding sel didorong oleh pemberian auksin,
karena auksin mengeluarkan H+ ke dalam dinding sel dan H+ ini menyebabkan pH
dinding sel menurun sehingga terjadi pelonggaran struktur
dinding (berarti peningkatan plastisitas) dan terjadi pertumbuhan. Menurut Lakitan
(1996) pelonggaran dinding sel terjadi karena pH yang rendah mengaktifkan enzim
yang mematahkan ikatanikatan antara polisakarida pembatas pada dinding sel
kemudian sel akan tumbuh lebih cepat karena adanya kenaikan tekanan turgor.
Pertumbuhan juga membutuhkan pembentukan senyawa bahan baku dinding
sel. Pembuatan komponenkomponen dinding sel dan penyusunan kembali ke dalam
suatu matriks dinding sel yang utuh juga dipengaruhi oleh 2,4-D dengan jalan
mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam pembuatan komponen dinding sel
(Wattimena, 1991). Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Salisbury dan
Ross (1995) zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dapat bersifat aktif, jika tiga
bagian utama dalam sistem respon terpenuhi yaitu zat pengatur tumbuh harus ada
dalam jumlah yang cukup di sel yang tepat, zat pengatur tumbuh harus dikenali dan
diikat erat oleh protein penerima dalam jaringan sasaran dan protein penerima
tersebut harus menyebabkan perubahan metabolik yang mengarah pada penguatan
isyarat sehingga dapat menimbulkan respon.
Kinetin berfungsi mendorong pembelahan sel dan sintesis protein. Pemberian
kinetin menyebabkan perubahan metabolisme sehingga terjadi penimbunan asam
amino, fosfat dan gula di tempat-tempat pemberian sitokinin, hal ini menyebabkan
pertumbuhan sel. Selain itu kinetin mempunyai struktur mirip adenin yang terdapat
pada DNA dan RNA yang berperan dalam sintesis protein. Menurut Abidin (1982) zat
pengatur tumbuh mempunyai peranan besar terhadap sintesis protein, pada proses pra
transkripsi zat tumbuh terutama auksin mampu membebaskan DNA dari protein
komplek sehingga bisa terjadi proses transkripsi. Selain itu, menurut Wattimena (1991)
zat pengatur tumbuh juga berinteraksi dengan molekul-molekul RNA mempengaruhi
sintesis protein pada proses translasi.
Perbedaan laju pertumbuhan kalus selain dipengaruhi oleh peningkatan
kecepatan pembelahan sel karena pengaruh pemberian 2,4- D dan kinetin juga
dipengaruhi oleh kondisi genetis, umur jaringan dan jenis tanaman serta faktor
lingkungan yang meliputi cahaya, kandungan O2, suhu dan kelembaban udara
(Gunawan dkk., 1992). Walaupun untuk semua perlakuan digunakan daun kedua
tetapi keadaan tiap sel penyusunnya tidaklah sama. Menurut Lakitan (1996) setiap sel
mempunyai kepekaan tersendiri terhadap zat tumbuh yang diberikan, selain itu waktu
pembelahan sel untuk memperbanyak diri tidak sama karena siklus selnya berbedabeda. Hal ini mungkin disebabkan karena sel anakan hasil pembelahan sebelumnya
mempunyai ukuran yang berbeda sehingga siklus selnya juga berbeda. Menurut
Reksoatmodjo (1993) apabila hasil pembelahan menghasilkan dua buah sel anakan

yang tidak sama besar, maka siklus sel pada tahap G1 bagi sel anakan yang ukurannya
kecil berlangsung lebih lama daripada sel anakan yang ukurannya besar.
Perbedaan laju pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kemampuan jaringan
untuk menyerap zatzat hara yang tersedia, hal ini banyak dipengaruhi oleh aerasi dan
tekstur kalus. Kalus yang terlalu padat dan kompak mempunyai kemampuan
menyerap zat hara lebih rendah daripada tekstur kalus yang tidak terlalu padat.
Pertumbuhan berkaitan dengan pertambahan volume dan jumlah sel,
pembentukan protoplasma baru, pertambahan berat dan selanjutnya terjadi
peningkatan berat keringnya (Gunawan dkk., 1992). Menurut Sitompul dan Guritno
(1995) pengeringan bertujuan untuk menghentikan aktivitas metabolisme dari bahan
tersebut. Berbeda dengan pengukuran berat basah yang masih dipengaruhi oleh
lingkungan dalam akitivitas metabolisme. Sehingga berat kering kalus lebih stabil
dibandingkan berat basah kalusnya. Peningkatan berat kering kalus disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas metabolisme sel penyusun kalus. Zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan memberikan hasil yang berbeda-beda. Penambahan 2,4-D memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada semua tingkat konsentrasi yang diujikan untuk
peningkatan kandungan saponin kalus T. paniculatum (Tabel 5.).
Penambahan 2,4-D efektif untuk meningkatkan produksi saponin kalus T.
paniculatum. Penambahan 2,4-D pada konsentrasi yang rendah ternyata sudah dapat
meningkatkan kadar saponin. Semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang ditambahkan
dalam media, kadar saponin yang dihasilkan juga semakin meningkat. Penambahan
kinetin tanpa 2,4-D dalam media hanya efektif pada konsentrasi 1,5 mg/l untuk
meningkatkan produksi saponin (Tabel 5.). Hal ini diduga karena kandungan sitokinin
endogen tanaman T. paniculatum sangat rendah, sehingga diperlukan penambahan
kinetin dengan konsentrasi yang tinggi untuk meningkatkan kadar saponin kalus.
Menurut Salisbury dan Ross (1995) efek utama zat pengatur tumbuh adalah
untuk mengatur proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Efek utama ini
sering diikuti oleh sejumlah respon sekunder lainnya yang tergantung pada keadaan
fisiologis sel sasarannya. Penguatan efek utama memegang peranan penting untuk
dapat menimbulkan suatu respon fisiologis sehingga penguatan efek utama harus
terjadi karena sitokinin endogen terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah (0,010,1 M). Pemberian zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi produksi metabolit
sekunder, hal ini disebabkan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dapat
menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tumbuhan melalui pengaturan kerja
enzim. ZPT akan menginduksi sintesis enzim yang ekspresinya tergantung sintesis RNA
dan protein. Peningkatan jumlah enzim yang terlibat dalam metabolit sekunder juga
akan meningkatkan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan.
Menurut Wattimena (1991) enzim memegang peranan penting dalam setiap
proses metabolisme maka setiap proses yang dapat mengatur sintesis, aktivasi,
perombakan dan inaktivasi dari enzim mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
proses fisiologi dan biokimia tanaman. Zat pengatur tumbuh berperan dalam
pengikatan membran protein yang berpotensi untuk aktivitas enzim. Hasil pengikatan
ini mengaktifkan enzim tersebut dan mengubah substrat menjadi beberapa produk

baru. Produk baru yang terbentuk ini menyebabkan serentetan reaksi-reaksi sekunder
salah satunya adalah pembentukan metabolit sekunder (Wattimena, 1991).
Zat pengatur tumbuh (2,4-D dan kinetin) terikat pada membran protein
penerima di membran plasma sel. Kompleks ikatan ini mengaktifkan enzim fosfolipase
C (PLC). Enzim PLC ini menghidrolisis fosfatidil inositol 4,5- bifosfat (P1P2)
menghasilkan inositol 1,4,5- trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). IP3 bergerak
menuju vakuola sehingga menyebabkan terlepasnya Ca2+ simpanan masuk ke dalam
sitosol. Meningkatnya konsentrasi Ca2+ di sitosol menyebabkan empat buah Ca2+
bergabung membentuk kompleks dengan kalmodulin tidak aktif menjadi kalmodulin
aktif, hal ini mengaktifkan beberapa enzim yang berperan dalam sintesis saponin
seperti enzim kinase, skualen sintetase dan enzim NAD+ kinase. Sedangkan DAG yang
tidak larut dalam air berfungsi dalam membran plasma. DAG mengaktifkan enzim
pada membran yaitu protein kinase c (PKC). Enzim ini menggunakan ATP untuk
memfosforilasi beberapa enzim tertentu yang mengatur pada tahap-tahap metabolisme
(Salisbury dan Ross, 1995).
Pengendalian beberapa enzim tertentu sesudah terjadi penerimaan hormon awal
dapat mempengaruhi ekspresi gen yang dapat menyebabkan serangkaian proses-proses
metabolisme. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan bergabung dengan sejumlah
protein penerima kemudian kompleks ZPT-protein penerima bergerak masuk ke dalam
inti mempengaruhi aktivitas gen. Aktivitas gen dimulai dengan proses transkripsi DNA
menjadi mRNA, yang diikuti oleh translasi mRNA. Selanjutnya, mRNA meninggalkan
inti menuju sitosol. Di sitosol, mRNA ditranslasikan di ribosom. Translasi mRNA
menyebabkan terbentuknya enzim-enzim baru dan mengaktifkan enzim-enzim tertentu
yang mengarah pada proses pertumbuhan dan perkembangan serta sintesis senyawa
metabolit sekunder melalui pengaturan kerja enzim (Salisbury dan Ross, 1995).
Keberhasilan kultur in vitro ditentukan oleh media dan macam tanaman. Media
mempunyai 2 fungsi utama, yaitu untuk menyuplai nutrisi dan untuk mengarahkan
pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh [10]. Media yang digunakan pada
penelitian ini adalah Media Woody Plant Medium (WPM). Media WPM merupakan
media dengan konsentrasi ion yang rendah dibandingkan dengan media MS. Media ini
konsisten dengan media untuk tanaman berkayu [11].
Kombinasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium
merupakan faktor utama penentu keberhasilan kultur in vitro. Zat pengatur tumbuh
(ZPT) yang sering digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus adalah auksin.
Diatara golongan auksin yang umum digunakan pada media kultur jaringan adalah
2,4-D dan IAA. Dibanding dengan golongan auksin IAA, 2,4-D memiliki sifat lebih
stabil karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel tanaman
ataupun oleh pemanasan pada proses sterilisasi [12].
Pemberian sitokinin dalam kultur kalus berperan penting dalam memicu
pembelahan dan pemanjangan sel sehingga dapat mempercepat perkembangan dan
pertumbuhan kalus. Salah satu golongan sitokinin yang sering digunakan dalam
metode kultur jaringan adalah BAP, hal ini dikarenakan sifat BAP yang stabil, mudah
diperoleh dan lebih efektif dibandingkan kinetin [13]. Pemberian ZPT tersebut pada sel

maupun kalus dapat mempengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder tertentu.


[14].
Kalus merupakan proliferasi massa sel yang belum terdiferensiasi dan terdiri
dari sel yang tidak teratur. Kultur kalus merupakan kultur sekumpulan sel yang tidak
terorganisir yang berasal dari berbagai jaringan tumbuhan [20]. Kultur kalus
digunakan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan
dalam lingkungan terkendali. Pembentukan kalus adalah menginduksi dari bagian
tanaman tertentu dengan memberikan zat pengatur tumbuh [21]. ZPT yang banyak
digunakan untuk induksi kalus adalah kombinasi auksin dan sitokinin. Pemberian ZPT
ini berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman [17].
Pemilihan ZPT merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
pembentukan kalus tanaman yang dikulturkan. 2,4-D merupakan ZPT yang paling
sering digunakan pada kultur kalus karena aktivitasnya yang kuat untuk memacu
proses dediferensiasi sel, menekan oragonogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus.
Apabila dibandingkan dengan auksin lainnya seperti IAA, 2,4-D menunjukan aktivitas
yang lebih kuat. Aktivitas 2-4-D yang kuat dan optimal ini disebabkan karena gugus
karboksil yang dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen [19]. Selanjutnya
sitokinin BAP umum digunakan dalam proses regenerasi kultur in vitro karena zat
pengatur tumbuh ini berfungsi dalam pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif
dari kalus [22].
Pertumbuhan dan morfogenesis in vitro dipengaruhi oleh adanya interaksi dan
perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media dan
hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh sel tanaman secara endogen oleh sel-sel
yang dikultur [23]. Penambahan auksin dan sitokinin eksogen ini mengubah
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen sel [20]. Efektifitas zat pengatur tumbuh
auksin maupun sitoknin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam
jaringan tanaman. Kebanyakan hormon endogen di tanaman berada pada jaringan
meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh seperti ujung-ujung tunas dan akar [22].
Salah satu indikator adanya pertumbuhan dalam kultur in vitro adalah
munculnya kalus pada eksplan. Pada penelitian ini, kalus pertama kali terbentuk pada
sayatan eksplan yang kontak dengan media. Diawali dengan pembengkakan pada
eksplan kemudian sayatan eksplan bergelombang (swelling). Kalus yang dihasilkan
melalui kultur secara in vitro terbentuk karena adanya perlukaan pada jaringan dan
respon terhadap hormon (ZPT). Munculnya kalus pada bagian yang terluka diduga
karena adanya rangsangan dari jaringan pada eksplan untuk menutupi lukanya. Hal
ini sesuai pendapat dari [23], mengemukakan bahwa pembelahan sel yang mengarah
pada terbentuknya kalus terjadi dari adanya respon terhadap luka dan suplai hormon
alamiah atau buatan dari luar ke dalam eksplan.
Pada Gambar 1. menunjukkan bahwa kalus terinduksi pada beberapa perlakuan.
Beberapa dari perlakuan tidak dapat menghasilkan kalus. Kalus yang tidak
muncul ini dimungkinkan karena kombinasi ZPT pada media belum mampu
menginduksi kalus, dengan kata lain eksplan mempunyai kandungan sitokinin dan
auksin endogen yang rendah, sehingga masih membutuhkan tambahan sitokinin
eksogen yang lebih banyak pada media kultur. Terhambatnya pembentukan kalus

dikarenakan hormon endogen dan eksogen yang terdapat pada eksplan tidak dapat
merangsang pertumbuhan kalus dengan cepat. Kehabisan hara dan air juga dapat
terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media menguapkan air
dari masa ke masa. Selain kehabisan unsur hara, kalus juga mengeluarkan
persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang akhirnya akan menghambat
pertumbuhan kalus itu sendiri [24].
Indikator pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro berupa warna dan tekstur
kalus menggambarkan penampilan visual kalus sehingga dapat diketahui kalus yang
masih memiliki selsel yang aktif membelah atau telah mati. Jaringan kalus yang
dihasilkan dari suatu eksplan biasanya memunculkan warna yang berbeda-beda.
Kualitas kalus yang baik sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder yaitu
mempunyai ciriciri warna dan tekstur yang sesuai dengan metabolit sekunder yang
diinginkan.
Tekstur kalus merupakan salah satu penanda yang dipergunakan untuk menilai
pertumbuhan suatu kalus. Kalus yang baik untuk digunakan sebagai bahan penghasil
metabolit sekunder yaitu memiliki tekstur kompak (non friable). Tekstur kalus yang
kompak dianggap baik karena dapat mengakumulasi metabolit sekunder lebih banyak.
Warna kalus kecoklatan terdapat pada hampir semua perlakuan yang terbentuk kalus.
Warna kecoklatan pada kalus (browning) ini akibat adanya metabolisme senyawa fenol
bersifat berlebihan, yang sering terangsang akibat proses sterilisasi eksplan [24].
Peristiwa pencoklatan tersebut sesungguhnya merupakan suatu peristiwa alamiah dan
proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik seperti
pengupasan, dan pemotongan. Gejala pencoklatan merupakan tanda-tanda terjadinya
kemunduran fisiologis eksplan [21].
Namun dari hasil pengamatan eksplan daun C. inophyllum Linn memiliki daya
tahan terhadap browning yang tinggi, dapat terlihat dari kalus yang terus berkembang
walaupun eksplan berwarna coklat. Hal ini dikarenakan kalus dari daun C. inophyllum
Linn. mempunyai kandungan metabolit sekunder berupa senyawa pyranocoumarin.
Senyawa ini terisolasi dari genus Calophyllum yang termasuk ke dalam golongan
turunan senyawa fenol [7].
Hasil pada Gambar 3. menunjukkan bahwa semua perlakuan yang terbentuk
kalus dominan membentuk kalus bertekstur kompak. Terbentuknya kalus yang
bertekstur kompak menurut [24] dipacu oleh adanya hormon auksin endogen yang
diproduksi secara internal oleh eksplan yang telah tumbuh membentuk kalus tersebut.
Pemberian zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi produksi metabolit sekunder,
hal ini disebabkan ZPT yang ditambahkan dapat menyebabkan perubahan fisiologi
dan biokimia tumbuhan melalui pengaturan kerja enzim. ZPT berperan dalam
pengikatan membran protein yang berpotensi untuk aktivitas enzim. Hasil pengikatan
ini mengaktifkan enzim tersebut dan mengubah substrat menjadi beberapa produk
baru. Produk baru yang terbentuk ini menyebabkan serentetan reaksi-reaksi sekunder
salah satunya adalah pembentukan metabolit sekunder [14].
Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan kultur in vitro ditentukan oleh
beberapa faktor. Respon pertumbuhan dalam kultur in vitro merupakan hasil interaksi
antara kondisi fisiologis bahan yang dikulturkan dengan faktor-faktor lingkungan.

Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap proliferasi tunas maupun pembentukan


akar, serta aklimatisasi planlet ke lingkungan eksternal (Yusnita, 2003:46-47).
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan
jaringan yang dibiakkan. Menurut Gunawan (1995: 68) arah pertumbuhan dan
perkembangan atau regenerasi suatu eksplan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
komposisi media dan Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan (jenis ZPT dan
konsentrasinya), bagian tanaman yang dijadikan eksplan dan lingkungan tumbuhnya.
Benzil adenin (BA) merupakan salah satu dari ZPT golongan sitokinin sintetik
yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT lainnya. BA memiliki daya rangsang
yang lebih lama dan tidak mudah dirombak oleh sistem enzim dalam tanaman. BA
dapat merangsang pembentukan akar dan pembentukan tunas. Penggunaan BA dengan
konsentrasi tinggi dan masa yang panjang sering menyebabkan regenerant sulit
berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal (Gunawan, 1995: 67).
2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) merupakan salah satu ZPT dari
golongan auksin. Pemakaian 2,4-D biasanya digunakan dalam jumlah kecil dan dalam
waktu yang singkat karena auksin jenis ini merupakan auksin kuat dan tidak dapat
diuraikan dalam tubuh tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994: 18-21). 2,4-D
mempunyai sifat fitotoksisitas yang tinggi sehingga dapat bersifat herbisida. Bagian
tanaman yang umum digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang
tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih
tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif lebih bersih, mengandung lebih
sedikit kontaminan (Yusnita, 2003: 47). Penelitian Gati dan Husni (1994: 52-53)
menggunakan eksplan batang inggu dengan media MS yang ditambahkan 2,4-D 0.3
ppm + BA dalam berbagai konsentrasi (0,1, 0,5, 1,0 dan 1,5 ppm). Penambahan
senyawa 2,4-D 0,3 ppm + BA dari konsentrasi terkecil hingga konsentrasi terbesar
dapat meningkatkan induksi tunas adventif rata-rata sebanyak 0 - 13 setelah berumur
10 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terbentuk akar pada masing-masing
eksplan yang ditanam pada media MS dengan berbagai konsentrasi BA. Hal ini
diduga terjadi karena adanya penambahan sitokinin pada media kultur Hal ini
membuktikan bahwa aktifitas sitokinin dapat menghambat pembentukan dan
menghalangi pertumbuhanakar. Selain itu, sitokinin berfungsi menghambat pengaruh
auksin untuk inisiasi akar pada kultur in vitro (George dan Sherrington, 1984: 271). Hal
ini didukung oleh pernyataan Gunawan (1995: 69) bahwa pemberian BA dalam
konsentrasi tinggi dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan eksplan sulit untuk
berakar. Hasil penelitian Husni dkk. menunjukkan bahwa pertumbuhan tunas pada
media dengan penambahan BA dari konsentrasi 0,5 sampai 1,0 ppm mengalami
peningkatan jumlah tunas, tetapi mengalami penurunan jumlah pada konsentrasi 1,5
dan 2,0 ppm. Hal tersebut berarti bahwa konsentrasi BA yang optimal untuk
meningkatkan jumlah tunas inggu yaitu BA 1,0 ppm.
Sitokinin dalam hal ini BA berperan memicu terjadinya sintesis RNA dan
protein pada berbagai jaringan yang selanjutnya dapat mendorong terjadinya
pembelahan sel. BA juga dapat memicu jaringan untuk menyerap air di sekitarnya
sehingga sintesis protein dan pembelahan sel dapat berjalan dengan baik (Utami, 1998:

6-7). Pemberian sitokinin ke dalam media kultur in vitro berperan dalam menginduksi
pertumbuhan dan perkembangan eksplan (Smith, 1992: 723). BA 2,0 ppm
menghasilkan panjang tunas dengan kisaran 0,8 sampai 1,5 cm pada setiap potongan
eksplan.
Hasil penelitian Husni dkk. menunjukkan bahwa pertumbuhan tunas pada
media dengan penambahan BA dari konsentrasi 0,5 sampai 1,0 ppm mengalami
peningkatan panjang tunas, tetapi mengalami penurunan panjang pada konsentrasi 1,5
dan 2,0 ppm. Hal tersebut berarti bahwa konsentrasi BA yang optimal untuk
meningkatkan panjang tunas inggu yaitu BA 1,0 ppm.Penelitian yang dilakukan oleh
Kristina (2009: 60-64) juga melaporkan hal yang serupa dengan hasil penelitian ini.
Auksin yang terkandung di dalam eksplan merangsang pemanjangan sel-sel pucuk
(Gunawan, 1992: 46-47). Pemanjangan sel terjadi karena adanya proses pembelahan
dan pembesaran sel-sel baru yang terjadi pada meristem ujung sehingga eksplan yang
ditanam bertambah tinggi (Gardner dan Franklin, 1991), sedangkan sitokinin dapat
menghambat terjadinya pemanjangan sel apabila konsentrasinya lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi auksin (Klerk, 2006).

Anda mungkin juga menyukai