Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang paling tua dikenal oleh manusia
dan memiliki peranan penting sebagai sumber utama gula. Produksi gula di dalam negeri tahun 1998
adalah 1.5 juta ton, dan pada tahun 2002 sebesar 1.8 juta ton (Dewan Gula Nasional, 2003). Pada tahun
2008, Indonesia berhasil meningkatkan produksi tebu hingga mencapai 2.800.946 ton pada luas areal
penanaman tebu nasional 438.957 hektar setelah sebelumnya jumlah produksi hanya sebesar 1.631.918
ton pada luas penanaman 335.725 hektar (Deptan, 2009). Hal tersebut mengindikasikan terbukanya
peluang untuk peningkatan produksi gula.
Pemerintah

telah

mencanangkan

swasembada

gula

pada

2014,

sehingga

program

pengembangan dan peningkatan produktivitas tanaman tebu, termasuk penyediaan bibit dalam skala
besar, cepat, dan bebas patogen menjadi hal yang perlu dilakukan. Salah satu teknologi propagasi yang
banyak dilaporkan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah kultur jaringan tanaman. Prinsip
kultur jaringan (kultur in vitro) adalah bahwa semua bagian tanaman berupa sel, jaringan dan organ
tanaman dapat menjadi tanaman baru apabila ditumbuhkan dalam kondisi yang mendukung.
Propagasi tanaman tebu secara in vitro menggunakan gulungan daun (leaf sheath) dapat
menghemat eksplan karena setiap batang (stalk) diperoleh banyak potongan daun dibandingkan dengan
penggunaan meristem apikal. Namun, penggunaan gulungan daun pada kultur in vitro terlebih dahulu
melalui pembentukan kalus sebelum terjadi organogenesis, sehingga waktu propagasi menjadi lebih
lama. Dengan demikian diperlukan upaya perbaikan metode sehingga mampu mengarahkan
pertumbuhan pada pembentukan plantula langsung tanpa melalui kalus terlebih dahulu. Beberapa hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan perbaikan teknik perbanyakan in vitro melalui penggunaan zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang mempercepat pembentukan organ (akar dan tunas) dan mengurangi
induksi kalus (Hoy et al. 2003; Karim et al. 2002; Roy dan Kabir 2007).
Pada kajian propagasi ini telah dilakukan perbanyakan tanaman tebu secara in vitro
menggunakan gulungan daun sebagai eksplan, yang ditanam pada media yang dilengkapi dengan auksin
(NAA) dan sitokinin (Kinetin) untuk mengetahui kombinasi konsentrasi NAA dan Kinetin yang efektif

menghasilkan bibit tanaman tebu. Dengan demikian diperoleh metode pembiakan in vitro tanaman tebu
yang secara efektif menghasilkan bibit yang seragam, massal dengan waktu propagasi yang singkat.
B. Tujuan dan Kegunaan
Propagasi in vitro tanaman tebu ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi konsentrasi terbaik NAA dan
Kinetin dalam menghasilkan plantula tebu.
Percobaan ini akan menghasilkan metode perbanyakan tanaman tebu secara in vitro yang lebih
efisien dalam penggunaan zat pengatur tumbuh sehingga dapat menjadi acuan bagi praktisi untuk tujuan
mikropropagasi tanaman tebu dalam rangka penyediaan bibit yang berkualitas bagi perkebunan tebu.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A.

Kultur Jaringan
Kultur jaringan tanaman didasarkan pada pendapat bahwa bagian tanaman seperti organ, jaringan atau
sel dapat diisolasi dan dimanipulasi secara in vitro untuk ditumbuhkan kembali menjadi tanaman yang
utuh (Caponetti et al. 2005). kultur jaringan merupakan suatu tehnik mengisolasi bagian tanaman, baik
berupa organ, jaringan, sel ataupun protoplasma dan selanjutnya mengkultur bagian tanaman tersebut
pada media buatan dengan kondisi lingkungan yang steril dan terkendali (Basri 2004). Bagian-bagian
tanaman tersebut dapat beregenerasi sehingga membentuk tanaman lengkap (Slater et al. 2003;
Zulkarnain 2009).
Tanaman tebu umumnya diperbanyak secara vegetatif melalui setek atau menggunakan rooton,
namun teknik perbanyakan tersebut membutuhkan waktu yang lama dan memerlukan banyak bagian
tanaman serta memungkinkan terakumulasinya penyakit pada bibit baru dari generasi ke generasi
berikutnya. Melalui kultur jaringan, akan diperoleh tanaman baru yang bebas patogen, sehingga dapat
menjamin kuantitas dan kualitas produksi (Roy dan Kabir, 2007). Keuntungan lain menggunakan teknik
kultur jaringan yaitu dapat dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat tanaman yang dikehendaki secara dini.
Selain itu, kondisi lingkungan tempat tumbuh individu mini tersebut dapat dikontrol sesuai dengan

keperluan (Haris dan Mathius 1995). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik kultur
jaringan tanaman tebu, yaitu komposisi media tumbuh, bahan eksplan, zat pengatur tumbuh tanaman
yang sesuai, dan kondisi lingkungan kultur.
Keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan antara lain ditentukan oleh pengunaan komposisi
media yang sesuai. Medium Murashige dan Skoog (MS) lebih sesuai dan paling umum digunakan
sebagai media dasar kultur jaringan untuk regenerasi tanaman dari jaringan dan kalus. Selajutnya
pemilihan sumber eksplan berupa organ atau jaringan yang masih meristematik. Menurut Gunawan
(1992), eksplan sebaiknya diambil dari bagian-bagian tanaman yang belum banyak mengalami
perubahan bentuk dan kekhususan fungsi seperti meristem batang dan akar, meristem kambium,
meristem interkaler, meristem daun dan felogen.
Keberhasilan teknik kultur jaringan juga tidak lepas dari kondisi lingkungan kulturnya, yaitu
cahaya, suhu dan kelembaban ruang kultur. Adanya cahaya dalam ruang kultur dapat memperbaiki
pertumbuhan kultur terutama dalam pembentukan klorofil dan pertumbuhan normal. Pengaruh cahaya
dibedakan atas masa periodesitas, kualitas dan intensitas cahaya (Minarsih, 2003). Pengaruh cahaya
dalam kultur in vitro tidak begitu penting artinya. Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang
optimal seringkali memerlukan adanya cahaya, namun tidak demikian dengan proses pembelahan sel.
Pada awal pembelahan sel dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang-kadang
dihambat oleh adanya cahaya (Wattimena et al, 1992).
Kultur jaringan tanaman tebu umumnya dilakukan dengan mengisolasi bagian gulungan daun
termuda dan meristem tunas apikal. Inisiasi dan proliferasi tunas dan akar dalam kultur kalus sangat
ditentukan oleh ZPT (auksin dan sitokinin). Zat pengatur tumbuh mengatur inisiasi dan perkembangan
tunas dan akar, pembelahan dan perkembangan sel (Beyl, 2005). Dalam kultur jaringan dikenal dua
golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting yaitu sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Penambahan
auksin, sitokinin eksogen mengubah level ZPT endogen sel (Gunawan, 1992).
B.
1.

Zat Pengatur Tumbuh


Auksin
Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang berfungsi merangsang pemanjangan batang, pertumbuhan,
diferensiasi, percabangan akar, perkembangan buah, dominansi apikal, fototropisme dan gravitropisme.

Auksin diproduksi dalam tumbuhan pada embrio biji, meristem tunas apikal dan daun-daun muda
(Campbell et al. 2003). Beberapa jenis auksin yang umum digunakan dalam metode in vitro adalah
Indole-3-acetic acid (IAA), Naftalen acetid acid (NAA), Indole buteric acid (IBA), dan 2,4-D. NAA
merupakan auksin sintetik yang tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti IAA. Senyawa tersebut dapat
diberikan pada medium kultur dalam konsentrasi yang rendah, berkisar antara 0,1 2,0 mg/L (Zulkarnain
2.

2009).
Sitokinin
Jenis ZPT lain yang paling sering digunakan dalam kultur in vitro adalah sitokinin seperti Benzil Amino
Purin (BAP), Benzil Adenin (BA), Kinetin dan Zeatin. Sitokinin meningkatkan pembelahan sel dan
menstimulasi inisiasi dan pertumbuhan tunas in vitro. Pada konsentrasi tinggi (1-10 mg/L) sitokinin
menginduksi formasi tunas adventif, tetapi menghambat formasi akar. Sitokinin meningkatkan formasi
tunas aksilar sebaliknya dominan apikal diregulasi oleh auksin (Beyl, 2005). Penambahan 6-benzil amino
purin (BAP) pada media MS sangat bagus untuk insiasi tunas. Pemakaian 0.2 mg/L benzil amino purin
(BAP) dan 0.2 mg/L kinetin dengan menggunakan media dasar MS dilakukan oleh Hendre et al., (1983)
untuk multiplikasi tunas pada tanaman tebu (Naik, 2001). Pada umumnya di dalam suatu percobaan
kultur jaringan dipergunakan terlebih dahulu BAP dan kinetin yang lebih tahan terhadap degradasi
(Wattimena et al., 1992).
Kombinasi antara auksin dan sitokinin dalam media tanam menghasilkan tanaman baru dengan
tahap deferensiasi yang berbeda. Selain kombinasi keduanya, pertumbuhan dan deferensiasi eksplan
juga sangat ditentukan oleh konsentrasi kedua ZPT tersebut (Karim et al. 2002; Hoy et al. 2003; Farid
2003; Roy dan Kabir 2007).
Kultur tebu oleh Roy dan Kabir (2007) diperoleh multiplikasi 25 tunas baru dari kultur folded leaf
dengan penambahan BA (1.5 mg/l) dan NAA (0.5 mg/l). Kultur kalus tanaman tebu oleh Karim et al .
(2002) menemukan bahwa penggunaan NAA dan IAA pada konsentrasi lebih dari 3 mg/l mengakibatkan
penurunan produksi tunas yang berakar, sementara kombinasi konsentrasi NAA 3 mg/l + IBA 1 mg/l
menghasilkan plantula terbanyak.

Kombinasi BAP 1 mg/l + 0.5 mg/l menghasilkan produksi tunas

terbanyak. Penelitian lain menunjukkan hasil (planlet/plantula) yang sangat menjanjikan, dalam waktu
enam bulan dengan subkultur sekali sebulan, diperoleh sekitar 20.000 plantula tebu (Zucchi, et al. 2002).
Biradar et al. (2009) mengembangkan protokol standar untuk organogenesis langsung pada kultur in vitro

tebu menggunakan eksplan tunas apikal. Eksplan yang ditanam pada medium Murashige dan Skoog
(MS) yang mengandung BAP 2.0 mg/l menghasilkan induksi dan multiplikasi tunas tertinggi dan untuk
menginduksi perakaran digunakan 2 mg/l NAA. Tarique et al. (2010) menggunakan eksplan gulungan
daun untuk mendapatkan kultur tebu melalui induksi kalus yang selanjutnya dibiakkan pada medium MS
yang mengandung berbagai kombinasi BAP dan NAA atau IBA untuk menginisiasi dan pertumbuhan
tunas. Konsentrasi 1.0 mg/l BAP + 0.5 mg/l NAA menghasilkan induksi dan multiplikasi tunas terbaik,
sementara untuk perakaran terbaik adalah medium MS yang dilengkapi dengan 5.0 mg/l of NAA.

III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada Januari sampai Juli 2012 di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman jurusan
Budidaya Tanaman Perkebunan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow cabinet (LAFC), kulkas, autoclave, oven, timbangan
analitik, hot plate, microwave, pH meter, botol kultur, erlemeyer, gelas ukur, gelas kimia, cawan petri,
bunsen, pinset, dan pisau silet.
Bahan-bahan yang digunakan adalah gulungan daun tebu yang diperoleh dari tanaman tebu
berumur 6 8 bulan sebagai eksplan, zat-zat kimia sebagai unsur hara makro dan mikro untuk medium
MS (Lampiran 1) B1, NAA, Kinetin, sakarosa, casein hydrolysate, bacto agar, aquadest, alkohol, spritus,
larutan klorin, kertas saring, aluminium foil dan tissue.
C. Metode Pelaksanaan
1. Pembuatan larutan stok
a. Unsur hara makro ditimbang dan dilarutkan satu persatu dengan air steril volume 500 ml. Setelah larut,
volume air ditambah sampai 1000 ml dan diberi label sebagai larutan stok makro dengan konsentrasi
akhir 20 kali.
b. Larutan stok mikro dibuat dengan melarutkan unsur-unsur mikro dalam air steril 1000 ml dengan
konsentrasi akhir 100 kali.
c. Myoinositol, vitamin B1, dan FeSO 4 + NAEDTA masing-masing dilarutkan. Myo inositol dibuat dengan
volume 40 ml konsentrasi 10 kali, vitamin dibuat dengan volume 40 ml konsentrasi 100 kali, dan FeSO 4 +
NAEDTA dibuat dengan volume 40 ml konsentrasi 100 kali.
d. NAA dan Kinetin dilarutkan dengan air steril volume 100 ml dengan kepekatan 1 mg.ml -1 dan
dicampurkan ke dalam media tanam dengan konsentrasi sesuai perlakuan.
2. Pembuatan Medium MS
Media tanam yang digunakan adalah medium MS dibuat menggunakan larutan stok yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Untuk satu liter medium, terdiri dari 50 ml larutan stok makro, 10 ml larutan
stok mikro, 4 ml larutan FeSO 4 + Na2EDTA, masing-masing 4 ml Myoinositol, 1 ml vitamin B1, casein
hidrolisat 2.5 g dan sakarosa 30 gram. Volume dicukupkan 1000 ml setelah semua komponen tercampur
dengan baik dan pH diukur menggunakan pH meter pada kisaran 5.6 5.8. Bacto agar ditambahkan
sebanyak 8.5 gram kemudian dipanaskan sampai mendidih. Larutan selanjutnya dituang ke dalam botol

tanam (25 ml per botol) setelah ditambahkan ZPT dengan konsentrasi sesuai perlakuan. Media tanam
tersebut disterilkan pada suhu 121C, tekanan 76 mmHg selama 20 menit menggunakan autoclave.
3. Persiapan Eksplan dan penanaman
Eksplan yang digunakan adalah bagian gulungan daun terdalam dari tunas tebu, yang diambil 30 cm di
ukur mulai dari ujung batang teratas mengarah ke pertumbuhan daun. Semua helaian daun dipotong
sampai pangkal sarung daun, kemudian dicuci dengan air mengalir dan aquadest steril. Selanjutnya
dilakukan sterilisasi eksplan dalam LAFC dengan mencelupkan batang tebu ke dalam alkohol 70 %,
kemudian dibakar dan seludang daun dilepas dengan bantuan pinset dan pisau silet tajam. Sterilisasi
tersebut dilakukan hingga diperoleh gulugan daun terdalam yang berwarna putih dan dipotong-potong
sepanjang 0.5 1 cm kemudian di tanam pada media sesuai dengan perlakuan. Subkultur dilakukan
pada 30 hari setelah penanaman dan dilakukan sebanyak 3 kali.
4. Perlakuan dan Parameter Pengamatan
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan kombinasi
konsentrasi NAA dan Kinetin. NAA (N) digunakan dengan konsentrasi 1 mg/l -1 media (N1), 1.5 mg.l-1
media (N2) dan 2 mg.l-1 media (N3). Kinetin (K) digunakan dengan konsentrasi 1 mg.l -1 media (K1),
1,5mg.l-1 media (K2) dan 2 mg.l -1 media (K3), sehingga terdapat kombinasi perlakuan sebagai berikut:
N1K1, N1K2, N1K3, N2K1, N2KN2, N2K3, N3K1, N3K2 dan N3K3. Setiap perlakuan diulang sebanyak
empat kali (empat botol) dan setiap botol ditanami dengan 2 eksplan.
Pengukuran dilakukan pada akhir percobaan yang meliputi:
1. Kecepatan berakar: dihitung dari hari pertama eksplan menghasilkan akar sejak penanaman (hari).
2. Kecepatan bertunas: dihitung dari hari pertama eksplan menghasilkan tunas sejak penanaman (hari).
3. Jumlah akar: Jumlah akar plantula tebu dihitung berdasarkan jumlah akar yang terbentuk pada akhir
percobaan.
4. Jumlah daun: jumlah daun plantula tebu dihitung berdasarkan jumlah daun yang terbentuk pada akhir
percobaan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

1. Kecepatan berakar
Hasil analisa sidik ragam mengindikasikan bahwa perlakuan kombinasi NAA dan Kinetin berpengaruh
sangat nyata terhadap kecepatan berakar eksplan tebu (Lampiran 2). Untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilakukan uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT 0,01) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji lanjut Kecepatan Berakar Eksplan Tebu
Rata-rata
NPBNT 0,01
N2K1
1,18b
N2K2
1,15b
N2K3
1,14b
N3K3
1.05b
0,26
N1K3
1,02b
N3K2
0,97b
N3K1
0,91a
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama, berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji BNT
Perlakuan

0,01

Hasil uji BNT menunjukkan bahwa eksplan yang ditanam pada media yang mengandung NAA 2 mg.l -1+
Kinetin 1 mg.l-1 lebih cepat berakar dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
2. Kecepatan bertunas
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan
bertunas eksplan tebu. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut (BNT 0,01). Hasil
pengujian terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji lanjut kecepatan bertunas eksplan tebu


Perlakuan
Rata-rata
NPBNT 0,01
N2K1
1,45c
N2K2
1,40c
N3K3
1,38c
N3K2
1,37c
0,135
N3K1
1,29b
N2K3
1,13b
N1K3
1,10a
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama, berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji BNT

0,01

Hasil uji BNT0,01 (Tabel 2) menunjukkan bahwa eksplan yang ditanam pada media yang
mengandung NAA 1 mg.l-1 + Kinetin 2 mg.l-1 lebih cepat bertunas dan berbeda nyata pada perlakuan
lainnya.
3. Jumlah akar

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi NAA dan Kinetin berpengaruh sangat
nyata terhadap jumlah akar eksplan tebu. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji
lanjut (BNT0,01) dengan hasil tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Uji Lanjut jumlah akar eksplan tebu
Perlakuan
Rata-rata
NPBNT 0,01
N3K1
1,42a
N2K2
1,21a
N2K1
1,20a
N2K3
1,14a
0,262
N1K3
0,90a
N3K2
0.88a
N3K3
0.86b
N1K1
0,00b
N1K2
0,00b
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama, berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji BNT

0,01

Hasil uji BNT0,01 (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan N3K1 (NAA 2 mg.l -1 dan Kinetin 1 mg.l1

) menghasilkan rata-rata akar dan berbeda nyata dengan perlakuan NAA 2 mg.l -1 + kinetin 2 mg.l-1, NAA

1 mg.l-1 + kinetin 1 mg.l-1 dan perlakuan NAA 1 mg.l-1 + kinetin 1,5 mg.l-1 namun berbeda tidak nyata pada
perlakuan lainnya.
4. Jumlah daun
Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan NAA dan Kinetin berpengaruh sangat nyata terhadap
jumlah daun eksplan tebu. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut dengan hasil
pengujian sebagai berikut:
Tabel 4. Uji lanjut jumlah daun eksplan tebu
Perlakuan
Rata-rata
NPBNT 0,01
N3K1
1,62a
N3K2
1,50a
N3K3
1,42a
N2K3
1,23a
N2K1
1,18a
0,912
N2K2
1,12a
N1K3
1,01b
N1K1
0,00b
N1K2
0,00b
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama, berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji BNT 0,01
Hasil uji BNT0,01 menunjukkan bahwa perlakuan N3K1 (NAA 2 mg.l -1 dan Kinetin 1 mg.l-1)
menghasilkan rata-rata akar terbanyak dan berbeda nyata dengan perlakuan NAA 1 mg.l -1 + kinetin 2
mg.l-1, NAA 1 mg.l-1 + kinetin 1 mg.l-1 dan NAA 1 mg.l-1 + kinetin 1.5 mg.l-1 berbeda tidak nyata dengan
perlakuan lainnya.

B. Pembahasan
Auksin dan sitokinin merupakan dua jenis zat pengatur tumbuh tanaman yang seringkali digunakan untuk
menginduksi morfogenetik tanaman dalam kultur in vitro. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa
penggunaan media dengan kombinasi NAA dan Kinetin yang berbeda menyebabkan perbedaan respon
pertumbuhan eksplan tebu. Perlakuan NAA 1 mg.l -1 + Kinetin 1 mg.l-1 dan NAA 1 mg.l-1 dan Kinetin 1,5
mg.l-1 tidak memperlihatkan respon pertumbuhan sampai akhir percobaan, hal ini menunjukkan bahwa
NAA dan kinetin dalam konsentrasi yang rendah tidak berpengaruh pada ekslan tebu, seperti penjelasan
Yunus et al. (2007) yang menyatakan bahwa apabila rasio konsentrasi auksin dengan sitokinin rendah,
maka perlakuan tersebut tidak mampu menumbuhkan akar. Berbeda dengan eksplan yang ditanam pada
media tanam yang mengandung NAA dan kinetin dengan konsentrasi di atas 1 mg.l -1 tumbuh
menghasilkan plantula dengan jumlah akar dan tunas yang berbeda berdasarkan kombinasi konsentrasi
ZPT yang ditambahkan. Hal tersebut membuktikan bahwa respon pertumbuhan eksplan ditentukan oleh
jumlah dan perbandingan NAA dan kinetin dalam media tumbuh.
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan NAA dan kinetin yang berbeda
menghasilkan kultur dan tingkat pertumbuhan yang berbeda. Perlakuan NAA 2 mg.l -1 dan Kinetin 1 mg.l-1
menghasilkan jumlah daun dan akar terbanyak dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain.
Tingginya konsentrasi NAA dalam media tersebut menstimulasi pembentukan akar sehingga diperoleh
jumlah dan kecepatan pembentukan akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Terbentuknya akar, selanjutnya memungkinkan pembentukan tunas yang distimulir oleh sitokinin endogen
yang diproduksi oleh akar. Hal tersebut sesuai penjelasan Campbell (2003) bahwa sitokinin terutama
diproduksi pada bagian akar dan jaringan yang sedang tumbuh aktif dan bergerak ke bagian atas
tanaman mengikuti pergerakan air dan unsur hara.

Tabel 1 menunjukkan bahwa interaksi NAA 2 mg.l-1 dan kinetin 1 mg.l-1 memberikan hasil
terbaik terhadap kecepatan bertunas eksplan tebu dan berbeda nyata dengan interaksi lainnya.
Kecepatan bertunas paling lambat ditunjukkan oleh interaksi NAA 1.5 mg.l -1 dan kinetin 1 mg.l-1.
Hal tersebut menjelaskan fungsi sitokinin terhadap partumbuhan tunas eksplan, sebagaimana
dikemukan oleh Slater et al. (2003) dan Watimena et al. (2003) bahwa jika kadar sitokinin lebih
tinggi daripada auksin maka sel akan berdiferensiasi menjadi meristem pucuk batang. Pada
percobaan sebelumnya, Roy dan Kabir (2007) menemukan hasil serupa, yaitu pertumbuhan
tunas yang optimal dicapai dengan pemberian NAA 0.5 mg.l -1 dan kinetin 5 mg.l-1. Ratio sitokinin
yang tinggi terhadap auksin tersebut menyebabkan pertumbuhan eksplan mengarah pada
pertumbuhan bagian atas tanaman.
Jumlah daun terbanyak dihasilkan oleh interaksi NAA 2 mg.l -1 dan kinetin 1 mg.l-1. Hal ini
disebabkan oleh kecepatan bertunas lebih cepat sehingga jumlah daun yang dihasilkan lebih banyak.
Dengan adanya pertumbuhan tunas awal yang baik, akan merangsang pertumbuhan vegetatif yang baik
untuk pertumbuhan selanjutnya. Jumlah tunas yang banyak akan menghasilkan jumlah daun yang
banyak pula. Selain itu, pertumbuhan dan jumlah akar yang cukup banyak pada perlakuan ini juga
memberikan kontribusi pada pembentukan daun

karena akar merupakan tempat sitokinin endogen

disintesa, sehingga dapat menstimulir pembelahan sel dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan daun, seperti yang di kemukakan Karjadi dan Buchory (2007), pola pertumbuhan
tanaman merupakan hasil interaksi antara auksin dan sitokinin dengan perbandingan tertentu, di
tambahkan oleh Hendaryo (1994) bahwa Ujung akar merupakan tempat penting biosintesis sitokinin.
Sitokinin diproduksi dari akar dan diangkut ke tajuk, sedangkan auksin dihasilkan di kuncup terminal
kemudian diangkut ke bagian bawah tumbuhan. Pada tumbuhan, efek sitokinin sering dipengaruhi oleh
keberadaan auksin, misalnya jumlah akar yang banyak akan menghasilkan sitokinin dalam
banyak.

jumlah

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Penggunaan kombinasi NAA 1 mg.l-1 dan Kinetin 1 mg.l-1 serta NAA 1 mg.l-1 dan Kinetin 1,5
mg.l-1 tidak menginduksi pembentukan kalus dan tidak pula berproliferasi membentuk akar dan
tunas.
2. Kombinasi perlakuan yang menghasilkan akar dan daun terbaik adalah perlakuan N3K1 (NAA 2
mg.l-1 dan Kinetin 1 mg.l-1).
3. Kecepatan bertunas terbaik diperoleh pada perlakuan N1K3 (NAA 1 mg.l-1 dan Kinetin 2 mg/l)
dan berakar terbaik di peroleh pada perlakuan N3K1 (NAA 2 mg.l-1 dan Kinetin 1 mg.l-1).

B. Saran

Untuk menghasilkan bibit tebu melalui kultur jaringan disarankan penggunaan kombinasi NAA 2
mg.l-1 dengan Kinetin 1 mg.l-1 untuk menghasilkan jumlah akar dan daun terbanyak.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Z., 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Tadulako Press, Palu
Behera KK. dan Sahoo S. 2009. Rapid In vitro Micro propagation of Sugarcane (Saccharum officinarum L. cvNayana) Through Callus Culture. Nature and Science, 7 (4): 1 10. (online), (http://www.sciencepub.net),
[diakses 1 Agustus 2011].
Beyl AC. 2005. Getting started with tissue culture, media preparation, sterile technique, and laboratory
equipment. Di dalam Trigiano, N.Robert and Gray, J. Dennis (ed). Plant Development and Biotechnology.
CRC Press. P : 19 38.
Biradar S., Biradar DP., Patil VC., Patil SS. dan Kambar NS. 2009. In vitro plant regeneration using shoot tip
culture in commercial cultivar of sugarcane. Karnataka J. Agric. Sci., 22 (1): 21-24.
Cameiro, L.A., R.F.G. Araujo, G.J.M Brito, M.P.H.P. Fonseca, . Costa, O.J. Crocomo and. E. Mansur, 1999. In
Vitro Regeneration from Leaf
Campbell NA., Reece JB., Mitchell LG., 2003. Biologi Edisi kelima-Jilid II., Erlangga, Jakarta.
Caponetti DJ, Gray JD dan Trigiano NR. 2005. History of plant tissue and cell culture. Di dalam Trigiano, NR
dan Gray JD (ed) Plant Development and Biotechnology. CRC Press. P : 9 15.
Davies JP. 1995. The plant hormones : their nature, occurrence, and functions. Di dalam Davies JP (ed). Plant
hormones : physiology, biochemistry and molecular biology. Kluwer Academic Publishers. p. 1 12.
Deptan.
2009.
Luas
areal,
produksi
dan
http://database.deptan.go.id/bdsp/newdata.asp. [25 Mei 2009].

produktifitas

tebu

nasional.

Dewan Gula Nasional. 2003. Statistik perkembangan gula Indonesia 2002-2003.


Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Deptan. Jakarta.
George, E.F dan P.D Sherington, 1983. Handbook of Plant Propagation by Tissue Culture. Easterm Press Ltd.
England
George, E.F dan P.D Sherington, 1984. Plant propagation by tissue culture. Hand book and directory of
comercial laboratories. Exegetics Ltd, England

Gunawan LW. 1992. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.
Gunawan, L.W.,1988. Tehnik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas
(PAU). Institut Pertanian Bogor, Bogor
Haris N dan Mathius NT. 1995. Teknologi in vitro untuk pengadaan bibit tanaman perkebunan. Warta Pusat
Penelitian Bioteknologi Perkebunan. 1(1):hal 2-9.
Hendaryono, daisy & Arie Wijayani.1994. Teknik Kultur Jaringan.Yogyakarta : Kanisius .
Hoy, J.W., K.P. Bischoff, S.B. Milligan, K.A. Gravois, 2003. Effect of Tissue Culture Explant Source on
Sugarcane Yield Component. Euphytica 129: 237-240.
Karim, M.Z., M.N. Amin, M.A. Hossain, S. Islam, F. Hossin, R. Alam, 2002. Micropropagation of Two Sugarcane
(Saccharum officinarum) Varieties from Callus Culture, Journal of Biological Science 2: 682-685.
Karjadi A.K., Buchory A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Jaringan Meristem Bawang Putih
pada Media B5. Jurnal Hort. 17. 3:217-223.
Martin JR, Golves G, de Armas R, Espinosa R, Vigoa R, Leon A. 1982. La Cana de Azucar en Cuba. Di dalam
Enriquez-Obregon GA, Vazquez-Padron RI, Prieto Samsonov DL (ed). Genetic transformation of
sugarcane by Agrobacterium tumefaciens using antioxidant compound. Biotechnologia Aplicada. 14. P :
169 174
Naik GR. 2001. Sugarcane biotechnology. Science Publisher, Inc. Enfield (NH), USA.
Romadhoni, A,. et all. 2010. Asam Absisat Biosintesa dan Pengangkutan dalam Tanaman serta Fungsi. Fakultas
Pertanian Universitas Riau: Pekanbaru
Roy, P.K. dan M.H. Kabir, 2007. In vitro mass propagation of sugarcane (Saccharum officinarum L.) var. Isd 32
through shoot tips and folder leaves, Biotechnology 6: 588-592.
Santoso, U. & F. Nursandi, 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Sriyanti D.P. dan A.Wijayani, 2002. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius, Yogyakarta.
Tarique HM. , Mannan MA., Bhuiyan MSR., Rahaman MM. 2010. Micropropagation of Sugarcane Through
Leaf Sheath Culture. Int. J. Sustain. Crop Prod. 5(2):13-15.
Vasil, I.K., 1988. Progress in The Regeneration and Genetic Multiplication of Cereal Crops. Bio/Technol, 6:397402
Wagih ME., Adkins SW., Attia K., 2009. Establishment of mature axillary bud culture of sugarcane and
overcoming persistent culture contamination Indian. Journal of Science and Technology, 2 (1) 18-25.
Wardiyati, T., 1998. Kultur Jaringan Tanaman Hortikultura. Lembaga Penelitian Fakultas Pertanian UNIBRAW,
Malang
Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik AN, Syamsudin E, Wiendi AMN dan Ernawati A. 1992. Bioteknologi
tanaman. Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yelnitis, N., Bernawie, syfaruddin. 1996. Perbanyakan kultur lada varietas panninyur secara invitro. Jurnal akta
agrosia 1:53-58
Yunus, A., Samanhudi, dan D. Nofiyanti. 2007. Pengaruh Konsentrasi IBA dan BA terhadap Pertumbuhan
Eksplan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) secara In Vitro. Jurnal Agrosains 9(2): 41-52.
Zucchi, M.I., H. Arizono, V.A. Morais, M.H.P. Fungaro dan M.L.C. Vieira, 2002. Genetic instability of sugarcane
plants derived from meristem cultures. Genetics and Molecular Biology 25: 91-96.
Zulkarnain, H., 2009. Kultur Jaringan Tanaman, Jakarta: Bumi Aksara.

Overekspresi Gen Scrose Transporter (SUT) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum)
untuk peningkatan kandungan sukrosa
01.34 Diposkan oleh aliya seed
Label: penelitian
BAB 1. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir.
Kemerosotan akibat penurunan rendemen gula ini menjadikan Indonesia yang pernah menjadi produsen gula
sekaligus eksportir gula, berubah menjadi importir gula terbesar. Upaya menyelematkan kandungan gula atau
sukrosa dalam batang tebu memerlukan penanganan seoptimal mungkin. Namun usaha meningkatkan mutu
tanaman tebu dengan cara konvensional (persilangan antar tanaman) memerlukan waktu yang lama. Perkembangan
bioteknologi memberikan alternatif lain dalam usaha peningkatan mutu tanaman yaitu dengan transformasi gen.
Keberhasilan teknologi ini sangat mendorong kemajuan rekayasa genetik dalam memodifikasi materi genetik
utamanya dalam memasukkan gen-gen penyandi sifat-sifat unggul dalam suatu organisme.

Penerapan teknik ini telah menghasilkan tanaman kedelai transgenik yang toleran terhadap herbisida (Marveldani et
al., 2007). Transformasi gen menggunakan Agrobacterium tumefaciens berhasil dilakukan pada kalus tebu (Fitranty
et al., 2003) dan pada eksplan padi yang dikaluskan (Toki et al., 2006) namun dilaporkan pada saat pengkulturan,
kalus atau eksplan transforman yang diperoleh dapat mengalami perubahan gen seiring dengan proses
regenerasinya. Perubahan gen ini disebut variasi somaklonal. Kandungan sukrosa pada tanaman tebu telah berhasil
dilakukan dengan memasukkan gen Sucrose Phosphate Synthase (SPS) yang dilakukan Miswar et al. (2007). Selain
SPS yang mampu mengkatalisis pembentukan sukrosa, dapat juga memasukkan gen Sucrose Transporter (SUT).
Metode yang ditempuh adalah overekspresi gen. Dalam tanaman tebu telah diidentifikasi bahwa enzim SPS
merupakan enzim kunci untuk sintesis sukrosa dan SUT adalah protein yang bertindak sebagai translokator sukrosa
dari organ pembuat (source) sukrosa ke organ penyimpan (sink) sukrosa.

Dengan meningkatkan aktivitas sintesis sukrosa dan translokasi sukrosa dengan overekspresi gen SPS dan SUT

diharapkan dapat diciptakan varietas tebu baru dengan produksi gula tinggi. Saat ini tebu transgenik overekspresi
SPS telah didapat dan kedepan akan ditambahkan / overekspresi gen SUT (Sugiharto, 2010).
Di sini Sucrose Transporter (SUT) merupakan protein yang menentukan transport sukrosa dari daun sebagai tempat
asimilasi sukrosa ke tempat jaringan yang memerlukan atau ke tempat organ penyimpanan (sink). Transformasi SUT
dilakukan dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens strain GV3101 dan LBA4404 yang mengandung vektor
pCAMBIA dan promotor CaMV35S. Metode ini diharapkan mampu meningkatkan kandungan sukrosa sehingga
memperoleh tanaman tebu yang memiliki sifat unggul.

Rumusan Masalah
Seberapa besar pengaruh overekspresi gen Sucrose Transporter (SUT) pada tanaman Tebu (Saccharum officinarum
L.) sehingga mampu meningkatkan kandungan sukrosa?
Jenis eksplan apakah yang paling tepat dan efesien untuk bahan tranformasi?

Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
Untuk meningkatkan kandungan sukrosa pada tebu.
Untuk mencari jenis eksplan yang tepat dan efesien untuk bahan transformasi.

Manfaat
Keberhasilan overekspresi dan transformasi gen Sucrose Transporter (SUT) pada tebu dalam penelitian ini dapat
meningkatkan kandungan sukrosa pada tanaman tebu budidaya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Aktifitas Sucrose Transporter (SUT)
Sukrosa transporter memiliki peran sentral, karena mengatur alokasi sukrosa baik intra maupun di tingkat tanaman
secara keseluruhan. Menurut Slameto (2010) dalam disertasinya yang berjudul Kloning dan Karakterisasi Ekspresi
Gen Famili Sucrose Transporter (SUT) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) bahwa SUT merupakan
protein yang menentukan transport sukrosa dari daun sebagai tempat asimilasi sukrosa ke tempat jaringan yang
memerlukan atau ke tempat organ penyimpanan (sink).
Banyak tanaman yang mengandung Sucrose Transporter (SUTs) atau juga dikenal sebagai pembawa sukrosa yaitu
Sucrose Carriers (SUCs), yang mungkin memiliki fungsi yang berbeda dalam floem loading dan unloading atau
translokator sukrosa ke tempat organ penyimpanan (sink).
Menurut Eckardt (2003) peneliti terdahulu telah mentransfer SUT2 ke membran plasma SE dalam tomat (LeSUT2),
pisang (PmSUC3) dan Arabidopsis (AtSUC3), kentang (StSUT2), dan jagung (ZmSUT1).

Meyer et al. (2000) memberikan lebih rinci karakterisasi Arabidopsis protein, yang mereka sebut AtSUC3. Barker et
al. (2000) dalam hipotesisnya menyatakan bahwa LeSUT2 dan AtSUT2/SUC3 berfungsi sebagai sensor sukrosa
dalam sieve element, berdasarkan perbandingan tanaman sukrosa transporter dengan famili yang berkarakter
sensor glukosa dalam ragi.

Bakteri Agrobacterium tumefaciens


Agrobacterium merupakan bakteri tanah anggota famili Rhizobiaceae, gram negatif berbentuk batang (Smith, E. F
dan Townsend, 1907), tidak memiliki endospora dan tubuhnya dikelilingi oleh sedikit flagella (Old dan Primose, 2003).
Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dengan mentransfer DNA ke genom tanaman yang secara
alami hanya menginfeksi tanaman dikotil (De Ia Riva et al., 1998). Namun, telah ditemukan dari beberapa penelitian
terdahulu bahwa Agrobacterium efesien untuk transformasi gen pada tanaman monokotil, angiospermae maupun
gymnospermae (Toki et al., 2006).
A. tumefaciens memiliki kemampuan untuk menstransfer partikular DNA (T-DNA) yang merupakan bagian dari
plasmid Ti (tumor-inducing plasmid) ke dalam inti sel tanaman yang diinfeksi (Binns and Thomashaw, 1988).
Kemampuan menstransfer DNA tersebut disebabkan A. tumefaciens memiliki komponen genetik penting yang terlibat
dalam proses transformasi gen antara lain: kromosom gen virulen (chv), gen virulen (vir), dan T-DNA yang terdapat
dalam plasmid Ti (Rahmawati, 2006). Kromosom gen virulen pada kromosom Agrobacterium dan berfungsi dalam
pelekatan bakteri dengan sel tanaman. Gen vir terdapat dalam plasmid Ti yang mempunyai ukuran 200-800 kbp.
Plasmid Ti ini mengandung beberapa lokus gen vir antara lain Vir A, Vir C, Vir D, Vir F, Vir G, dan Vir H yang dapat
menginduksi terbentuknya tumor. Gen-gen tersebut berperan dalam menginduksi transfer dan integrasi T-DNA. Gen
vir yang dimiliki A. tumefaciens ini peka terhadap senyawa feolik beserta senyawa lainnya seperti glukosa dan
galaktosa yang dikeluarkan tumbuhan dikotil ketika terjadi luka pada permukaan bagian luar tumbuhan (Pardal,
2002).
Adanya transfer dan integrasi T-DNA ke dalam sel tumbuhan menyebabkan terbentuknya penyakit tumor (crawn gall)
dan senyawa-senyawa opine. Senyawa opine yang dihasilkan dari kondensasi antara asam amino dan gula
dikumpulkan dan dikeluarkan oleh sel-sel tumor, lalu dikonsumsi oleh A. tumefaciens sebagai sumber karbon dan
nitrogen (De la Riva et al., 1998).
tumefaciens yang diinfeksikan ke tanaman melepaskan T-DNA yang akan merangsang tanaman untuk mensintesis
protein opine. Berbagai macam opine yang dihasilkan oleh tanaman, di antarnya octopine, nopaline, succinamopine,
atau LL-succinamopine (Datta and Datta, 2002). Berdasarkan jenis senyawa yang disintesis gen-gen opine, A.
tumefaciens dikelompokkan menjadi beberapa strain salah satunya GV3101 dengan tipe kromosom C58 dan jenis
opine yang dihasilkan adalah nopaline (Konz and Schell, 1986).
Penelitian tentang A. tumefaciens menjadi berkembang, sehingga pada tahun 1970 para peneliti berhasil

mengidentifikasi plasmid dari beberapa strain A. tumefaciens dan pada tahun 1977 para peneliti berhasil mentransfer
T-DNA ke dalam genom tanaman, tetapi masih perlu penyempurnaan untuk mendapatkan keberhasilan transformasi
yang lebih baik (Datta and Datta, 2002). Perkembangan ini membuktikan bahwa plasmid Ti telah berhasil digunakan
sebagai vektor untuk memasukkan gen asing ke dalam sel tanaman (Gelvin, 2003).

Transformasi Gen Menggunakan A. tumefaciens pada Tanaman Tebu


Transformasi gen menggunakan A. tumefaciens banyak digunakan pada kalus, baik untuk infeksi maupun seleksi sel
transformannya (Toki et al., 2006). Eksplan transformasi berupa potongan-potongan gulungan daun muda kemudian
diinokulasi pada media kalus. Keuntungan menggunakan gulungan daun muda adalah mudah mendapatkan eksplan
dalam jumlah banyak dibanding tunas apikal. Satu pucuk atau satu gulungan daun muda rata-rata dipotong menjadi
9 eksplan. Kelemahan eksplan dari gulungan daun muda adalah harus melalui fase kalus untuk menjadi tunas.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa propagasi tebu melalui fase kalus menyebabkan tingkat kematian tunasnya
tinggi sehingga sulit diaklimatisasi. Okviandari (2004) melaporkan bahwa planlet transforman yang berasal dari kalus
tebu varietas R579 gagal ditumbuhkan menjadi tunas tebu transgenik, karena mengalami kegagalan regenerasi
menjadi tunas hijau. Regenerasi eksplan transformasi pada tebu yang melalui fase kalus menghasilkan tunas albino
pada varietas PS864 dan PSTG87, dan hijau muda pada varietas R579, sehingga efiisiensi transformasi rendah
(Setyati, 2005).
Penggunaan A. tumefaciens dalam transformasi tanaman lebih menguntungkan dibandingkan dengan metode lain
(Arencibia et al.,1998). Keunggulan penggunaan transformasi melalui A. tumefaciens mempunyai transformasi yang
tinggi, dapat terintegrasi gen asing ke dalam gen inang. Manickavasagam et al. (2004) menyebutkan bahwa
keunggulan dari transformasi menggunakan A. tumefaciens adalah teknis yang mudah, meminimal pembentukan
kembali genom tanaman transforman, dan mempunyai jumlah copy number yang rendah.
Fitranty et al., (2003) telah berhasil melakukan teransformasi gen P5CS menggunakan Agrobacterium pada kalus
tebu. Enrequez-Oberegon et al. (1998) dan Elliot et al. (1998) telah juga berhasil melakukan transformasi gen
menggunakan A. tumefaciens pada kalus tebu. Walaupun demikian progeni (keturunan) yang dihasilkan masih
mengalami beberapa kendala. Salah satunya disebabkan adanya perubahan genom (variasi somaklonal) saat
regenerasi eksplan selama dikultur secara in vito. Adanya variasi somaklonal ini disinyalir terjadi akibat terlalu
lamanya masa prekultur (perkalusan) eksplan. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan periode prekultur jaringan
yang tepat untuk meminimalisir terjadinya variasi somaklonal.
Miswar et al. (2007) telah berhasil melakukan transformasi menggunakan A. tumefaciens strain GV3101 binary
vector dengan plasmid pKYS yang telah disisipkan gen penyandi enzim Sucrose Phosphat Synthase (SPS) di bawah
kontrol promotor CaMV35S. Begitu juga Slameto dalam disertasinya yang berjudul Kloning dan Karakterisasi
Ekspresi Gen Famili Sucrose Transporter (SUT) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.), yang telah

memperoleh cDNA SUT1 dan cDNA SUT2 dengan ukuran penuh (full length).
Keberhasilan transformasi melalui A. tumefaciens dipengaruhi oleh strain, jenis promoter, dan jenis eksplan (Utomo,
2004). Komori et al. (2007) berpendapat bahwa 30% dari 180 publikasi terbaru, menginformasikan penggunaan
pCAMBIA sebagai vektor transformasi. Sedangkan untuk DNA promoter menggunakan CaMV35S, karena jumlah
dan tipe promoter yang mampu mengendalikan ekspresi transgen yang tinggi pada tanaman tebu masih sedikit.
Promoter konstitutif yang mampu mengendalikan ekspresi transgen sampai 10 kali tingkat ekspresi yang dicapai
promoter CaMV35S pada tanaman monokotil adalah actin promoter padi dan Ubi-1 promoter jagung (Rooke et al.,
2000).

Gen GUS
Gen GUS merupakan gen penanda yang mengkode sintesis enzim -Glucoronidase. Gen GUS banyak digunakan
sebagai reporter gene (gen penanda) dalam transformasi pada tanaman. Salah satu sifat gen reporter yang
dikehendaki oleh para peneliti adalah ekspresinya cepat dan mudah dideteksi. Ekspresi gen Gus dapat dideteksi
dengan substrat fluorogenic dan chromogenic. X-gluc (5-bromo-4-chloro-3-indolyl- -D-glucoronidase) adalah
substrat chromogenic yang sangat efisien untuk lokalisasi histokimia aktivitas -glucoronidase dalam jaringan dan
sel, memberikan presipitat biru (spot biru) pada tempat terdapatnya aktivitas enzima tersebut (Ogras and
Gozukirmizi, 1999).
Konstruksi gen GUS mengadung sekuen gen nptII yang menyandi terbentuknya enzim neomicyne
phosphotransferase, sehingga selain sebagai gen penanda, konstruksi gen GUS juga berfungsi sebagai penyeleksi
(Liu et al., 2003). Aktifitas nptII akan menyebabkan eksplan tebu tahan terhadap antibiotik yang tergolong
aminoglikosida seperti genecin dan kanamisin yang terdapat di dalam media seleksi. Eksplan yang berhasil
ditransformasi konstruksi gen GUS ini akan menunjukkan ketahanan terhadap antibiotik tersebut ketika ditanam di
dalam media seleksi (Manickavasagam, 2004).

Kerangka Fikir Penelitian

Gambar 2.5.1 Diagram Alur Kegiatan Penelitian

2.6 Hipotesis
Dengan overekspresi gen Sucrose Transporter (SUT) diharapkan mampu meningkatkan kandungan sukrosa pada
tebu sehingga menghasilkan produksi gula yang berkualitas tinggi.
BAB 3. METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Politeknik Negeri Jember sejak bulan April-September 2010.

Alat dan Bahan


Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: erlenmayer, beaker glass, petridish, tabung reaksi,
micropipet, pH meter, stirer, gelas ukur, microwave, sentrifuge, Polymerase Chain Reaction (PCR), alat kultur
(scalpel, ose, gunting, pinset, bunsen,) laminar air flow, autoclave, shaker inkubator, dan desikator.
Bahan

Eksplan transformasi adalah kalus dan pangkal tunas tebu in vitro hasil dari fase kalus. Tanaman tebu berasal dari
varietas PS158. Gen Sucrose Transporter (SUT) di bawah kontrol promoter Cauliflower Mosaic Virus (CaMV) 35S
yang dikonstruksi pada vektor pCAMBIA dengan promotor CaMV35S. Strain A. tumefaciens yang digunakan adalah
GV3101 dan LBA4404. Media kultur yang digunakan adalah media MS dengan beberapa kondisinya.
Tabel 3.1 Jenis media beserta komposisinya yang digunakan selama penelitian berlangsung.
Media Komposisi Keperluan
MS0 MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar) Media dasar
MS1
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 3 mgl-1 2,4-D, 100 ml-1 air kelapa) Induksi kalus

MS2
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 0,2 ppm BAP, 0,1 ppm IAA) Induksi tunas

MS3
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 0,2 ppm BAP, 0,1 ppm kinetin). Multiplikasi tunas
MS4
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 0,1 ppmBA, 0,2 ppm kinetin, 100 ppm acetosyringone) Ko-kulivasi
MS5
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 0,1 ppm BA,
0,2 ppm kinetin, 500 ppm cefotaxime )
MS + (30 gl-1 sukrosa, 7 gl-1 agar, 0,1 ppm BA, Eliminasi
tumefaciens
MS6
0,2 ppm kinetin, 500 ppm cefotaxime, 25 ppm higromisin )
Seleksi ketahanan antibotika vektor pCAMBIA
YEP
Yeast Extract dan Peptone cair yang berisi antibiotika 50 mgl-1 kanamisin dan 100 mgl-1 rifamfisin Mengkulturkan
A. tumefaciens

Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir (TA) ini adalah metode uji t karena untuk membandingkan
dua macam perlakuan. Adapun dua macam perlakuan tersebut adalah jenis eksplan yang digunakan untuk bahan
transformasi yakni A = kalus dan B = tunas. Dengan menggunakan metode uji t dapat membandingkan dan

memperoleh jenis eksplan yang tepat dan efesien untuk bahan tranformasi.
Hipotesis : H0 : = B atau _ B = d
H1 : B atau _ B 0
Kriteria uji :
t_( hitung)= d/s_d atau t= (|-B|)/S_((-B))
Pelaksanaan Penelitian
Membuat media
Membuatan media inisiasi tebu dengan medium MS1 dan media untuk menumbuhkan tunas MS2, masing-masing
bervolume 1 liter.

Persiapan Eksplan Transformasi


Eksplan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) varietas PS158 dari gulungan daun termuda yang berumur 2-2,5
bulan dari bibit kemudian disterilkan dengan alkhohol 96 % setelah itu dibakar sampai tiga kali. Selanjutnya pucuk
tebu yang telah dibakar dikupas sampai didapatkan spindle leaf yang mendekati titik tumbuh. Satu pucuk dapat
dipotong-potong menjadi 9 eksplan dan setiap botol ditanam 2 eksplan.
Eksplan ditanam media MS1 dalam kondisi gelap dengan suhu 260C. Proses penyimpanan dilakukan selama 4
minggu hingga memperoleh kalus dengan ciri-ciri nodular, kompak dan menunjukkan warna kekuningan dan
digunakan sebagai eksplan untuk transformasi.
Sebagian kalus disubkulturkan ke dalam media MS2 untuk menghasilkan tunas dan ditanam pada kondisi gelap
selama 4 minggu. Bagian basal (pangkal) tunas tanaman ini (0,5 cm) dipisahkan dan digunakan sebagai eksplan
untuk transformasi.

Kultur Agrobacterium tumefaciens


Gen SUT (Sucrose Transporter) yang telah dikonstruksi pada vektor pCAMBIA (Center for the Application of
Molecular Biologi to International Agriculture (CAMBIA), Canberra, Australia, ditransformasikan ke dalam sel
A.tumefaciens strain GV3101 dan LBA4404 melalui heat shock pada 420C selama 90 detik.
Koloni tunggal Agrobacterium yang positif mengandung gen SUT diinokulasi ke dalam larutan starter yakni 3 ml
media Yeast Extract dan Pentone (YEP) cair yang berisi antibiotika 50 mgl-1 kanamisin dan 100 mgl-1 rifamfisin,
kemudian diinkubasi pada suhu 280C di dalam shaker selama 48 jam. Selanjutnya bibit A. tumefaciens diambil 1 ml
dari larutan starter ditambahkan ke dalam media YEP cair 50 ml yang mengandung antibiotika 60 mgl-1 kanamisin
dan 100 mgl-1 rifamfisin. Setelah itu diinkubasi dalam shaker inkubator selama + 8 jam. Sel disentrifuge pada 5.000
rpm, 40C selama 10 menit. Pellet A. tumefaciens yang terbentuk disuspensikan ke dalam media YEP cair dengan
pengaturan OD600 (Optical Density) 0,6 -1,0 nm.

Transformasi Gen SUT menggunakan Agrobacterium- Mediated Transformation pada kalus dan tunas
Eksplan yang dipakai untuk transformasi adalah kalus dan pangkal tunas tebu in vitro. Jumlah kalus yang diinfeksi
adalah 20 kalus, dengan masing-masing kalus memiliki massa kurang-lebih 0,2 gram kemudian dikumpulkan dan
diberi perlakuan pengeringan di atas kertas saring steril di dalam laminar air fow selama 30 menit. Setelah itu
ditempatkan dalam Erlemeyer yang berisi 50 ml media MS cair dan disonifkasi selama 5 menit. Infeksi Agrobacterium
dilakukan dengan cara merendam kalus dalam suspensi Agrobacterium (OD600 akhir disetarakan 0,6) yang
mengandung acetosyringone (100 mgl-1), yang selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 C selama 30 menit. Sebelum
ko-kultivasi, material yang telah terinfeksi dicuci satu kali dengan air steril kemudian dikeringkan dalam laminar air
flow. Ko-kultivasi dilakukan dengan memindahkan kalus yang diinfeksi pada media MS1 ditambah 100 mgl-1
aceosyringone pada kondisi gelap dengan suhu 28 C selama 3 hari.
Pangkal tunas tanaman in vitro berdiameter 3 mm dan tinggi 5 mm yang diisolasi dari tunas tebu in vitro yang
tingginya lebih dari 1,5 cm disimpan di dalam media MS cair di dalam LAFC. Jumlah eksplan yang diinfeksi adalah
50 eksplan, 25 eksplan untuk uji GUS dan 25 eksplan untuk kokultivasi. Kemudian ditiriskan di atas tissue steril
sambil melakukan penusukan sebanyak 4-5 kali menggunakan jarum suntik steril yang berdiameter 1 mm. Tanaman
yang telah dilukai direndam dalam MS cair 50 ml yang mengandung A. tumefaciens dengan kerapatan sel bakteri
(OD(600) infeksi) = 1.0, dan acetosyringone (100 mgl-1). Setelah itu diprekultur di dalam media MS yang diletakkan
dalam shaker dengan kecepatan putaran 150 rpm pada suhu 28 C selama 30 menit. Eksplan terinfeksi dikeringkan
menggunakan kertas filter steril dan diinokulasi pada media MS padat yang mengandung acetosyringone. Kokultivasi dilakukan selama 3 hari di dalam gelap dengan suhu 28 C.

Seleksi Transforman pada medium antibiotik


Tahapan selanjutnya adalah seleksi transforman yaitu untuk mengetahui keberhasilan transformasi dan ketahanan
antibiotika dari transforman. Eksplan putatif terinfeksi dicuci tiga kali dengan 500 mgl-1 cefotaxime dan kemudian
dikeringkan di atas kertas filter steril dalam laminar air fow.
Untuk kalus yang terinfeksi disubkultur pada media MS4 untuk mengeliminasi A. tumefaciens dan diinkubasi pada
kondisi gelap selama satu minggu. Kemudian kultur ditransfer pada media seleksi MS5, serta diinkubasi pada kondisi
yang sama selama 14 hari. Proses seleksi dilakukan sebanyak 5 siklus. Tunas yang diperoleh dari kalus tunggal
ditetapkan sebagai satu klon putative transforman.
Tunas yang terinfeksi dan telah diko-kultivasi disubkultur ke dalam media MS5 pada itensitas cahaya sekitar 2000 lux
selama 16 jam per hari dengan suhu 270C. Proses seleksi dilakukan sebanyak lima siklus, tiap siklus 14 hari.
Setelah melalui 5 siklus, tunas yang tumbuh disubkultur ke media MS0 selama 4 minggu untuk mendukung
pertumbuhan selanjutnya.

Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR)


Analisis PCR dilakukan dengan DNA genom yang telah diisolasi menggunakan TaKaRa Ex Taq polymerase (Takara
Bio Inc) dan satu set primer yang didesain dari sekuen DNA CaMV, nptII (the neomycin phosphotransferase gene)
atau gus. Kondisi reaksi PCR yang digunakan untuk denaturasi, annealing, dan extention berturut-turut adalah pada
98C selama 10 detik, 55C selama 30 detik, 72C selama 1 menit dengan 30 siklus. DNA yang teramplifikasi
kemudian dianalisis dengan elektroforesis pada 1% gel agarosa dan difoto.

Uji Gen GUS


Uji gen GUS dilakukan terhadap eksplan tebu yang sudah dikokultivasi di dalam ruang gelap selama 3 hari sesuai
dengan prosedur histochemical yang disebutkan oleh Jefferson et al. (1987) dengan beberapa modifikasi. Sample
dicuci satu kali dengan larutan buffer 0,1 M potassium phosphate, pH 7,0. Sample diinkubasi dalam larutan buffer
yang berisi 2% metanol, 0,3% Triton X-100, 0,5 mM potassium ferricyanide, 0,5 mM potassium ferrocyanide dan 0,5
mg ml1 5-bromo-4-chloro-3-indolyl--D-glucoronide pada suhu 37C, diletakkan di dalam shaker dengan kecepatan
putaran 85 rpm selama 48 jam. Sampel dicuci dengan etanol 70%. Pengamatan spot atau bercak berwarna biru
karena adanya ekspresi gen GUS dilakukan menggunakan mikroskop.

DAFTAR PUSTAKA

Arencibia, A.D., E.R Carmona., P Tellez., M. Chan., S.M. Yu., L.E. Trujillo. and P. Oramas. 1998. An Efficient Protocol
for Sugarcane (Saccharum spp.L.) Transformation-mediated by Agrobacterium tumefaciens. Trans. Res. 7: 213-222.

Binns A.N. and Thomashow, M.F. 1988. Cell Biology of Aagrobacterium Infection and Transformation of Plants.
Annual Review of Microbiolog. 42: 575-606.

Datta K. and S.K. Datta. 2002. Plant Transformation. In Moleculac Biology: A Partical Approach. Gilmartin, P., and C.
Bowler. 2002 (Eds.) Oxpord University Press. Volume One-Chapter 2: 13-32.

De la Riva G.A., J. Gonzalez-Cabrera, R. Vazquez-Padron, and C. Ayra-Pardo,. 1998. Agrobacterium tumefaciens: a


natural tool for plant transformation. EJB Electronic Journal of Biotechnology 1 (3): 118-133.

Eckardt, Nancy. 2003. The Function of SUT2/SUC3 Sucrose Transporters: The Debate Continues. The Plant Cell
Jurnal, Vol. 14: 1259-1261.

Elliot, A.R., Cambell, J. A., Brettel, R. I.S., and Cristopher, P.L 1998. Agrobacterium-mediated Transformation of
Sugarcane Using GFP as a Screenble Marker. Aust J. Plant Physiol. 25:739-743.

Enriquez-Obregon, G.A., Vazquez-Padron, R.I. Pieto-Samsonov, D.L., Della Riva G.A., Selman-Housein, G. 1998.
Herbicide-resistant Sugarcane (Saccharum officinarum L.) Plants by Agrobacterium-mediated Transformation. Planta.
206: 20-27.

Fitranti, N., Nurilmala, F., Santoso, J., dan Minarsih, H. 2003. Efektivitas Agrobacterium Mentransfer Gen P5CS ke
dalam Kalus Tebu Klon PS 851. Menara Perkebunan 71(1): 16-27.

Gelvin S.B. 2000. Agrobacterium and Plant Genes Involved in T-DNA Transfer and Integration. Annu. Rev. Plant
Physiol. Plant Moll. Biol. 51: 233-256.

Komori, Imayama, Kato, Ishida, Ueki, and Komari. 2007. Current Status Of Binari Vectors and Superbinari Vectors.
Plant Physiology. 145: 1155-1160.

Koncz Cs., and Schell J. 1986. The Promoter of TL-DNA Gene 5 Controls the Tissue-specific Expression of Chimeric
Genes Carried by a Novel Type of Agrobacterium Binary Vector. Mol Gen Genet. 204: 383-396.

Liu D., S.V. Oard, J.H. Oard. 2003. High Transgene Expression Levels In Sugarcane (Sacchanarum Officinarum L.)
Driven by The Rice Ubiquitin Promoter RUBQ2. Palnt Science. 165: 743-750.

Marveldani., M. Barnawi. K. Setiawan., dan S.D. Utomo. 2007. Pengembangan Kedelai Transgenik yang Tahan
Herbisida Amonium-glufosinat dengan Agrobacterium tumefaciens. Jurnal Akta Agrosia Vol. 10 No 1 hlm 49-55.

Manickavasagam, M., Ganapathi, A., Anbazhagan, V.R., Sudhakar, B., Selvaraj, N., Vasudevan, A., dan
Kasthurirengan, S. 2004. Agrobacterium-mediated Genetic Transformation and Development of Herbicide-resistant
Sugarcane (Saccharum species hybrids) Using Axillary Buds. Plant Cell Rep. 23: 134-143.

Miswar, Sugiharto, B., Soedarsono, J., dan Moeljapawiro, S. 2007. Transformasi Gen Sucrose Phosphate Synthase
(SoSPS1) Menggunakan Agrobacterium tumefaciens untuk Meningkatkan Sintesis Sukrosa pada Tanaman Tebu
(Saccharum officinarum L.) Berk. Penel. Hayti. 12: 137-143.

Ogras T.T., and Gozukirmizi N. 1999. Expression And Inheritance of GUS Gene in Transgenic Tobacco Plants. Tr. J.
of Botany. 23: 297-302.

Okviandari. 2004. Transformasi Gen Sucrose Phosphate Synthase pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)
dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Jember. Jember, Indonesia.
pp. 43.

Old, R.W., dan Primose, S.B. 2003. Prinsip-prisip Manipulasi Gen (Pengantar Rekayasa Genetika). Ed. IV. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

Pardal J.S. 2002. Perkembangan Penelitian dan Transformasi.

Rahmawati, S. 2006. Status Perkembngan dan Perbaikan Sifat Genetik Padi Menggunakan Transformasi
Agrobacterium. Jurnal AgroBiogen 2(1): 36-44.

Rooke L., Byrne D., and Salgueiro S. 2000. Marker Gene Expression Driven By The Maize Ubiquitin Promoter In
Transgenic Wheat. Ann.appl. Biol. 136: 167-172.

Setyati S. 2005. Optimasi Transformasi Gen Sucrose Phosphate Synthase pada Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.) dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Jember.
Jember, Indonesia. pp. 39.

Smith, E.F., dan Townsend, C.O. 1907. A. Plant-Tumor of Bacterial Origin. Science 25: 671-3.

Toki, Hara, Ono, Onodera, Tagiri, Oka, dan Tanaka. 2006. Early Infection of Scutellum Tissues with Agrobacterium
allows High-speed Transformation of Rice. The Plant Jurnal 47: 969-976.

Utomo, S.D. 2004. Pengaruh Strain Agrobacterium Terhadap Efisiensi Transformasi Genetik Jagung Genotipe
Hibrida Hill. Ilmu Pertanian 11 (2): 1-10.

Sastrosupadi, Adji. 2000. Rancangan Percobaan Praktis. Kanisius: Yogyakarta.


Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Tarsito: Bandung.

Morfologi tebu

Anda mungkin juga menyukai