Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

KULTUR EMBRIO TANAMAN KEDELAI VARIETAS DERING

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. H. Agus Sugianto

Oleh :

Nama : Hayatun Nufus

Kelas : Agroteknologi 5A

NPM : 21901031004

PRODI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan” ini dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah
Pengantar Antropologi. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Malang, 20 Desember 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu tanaman pangan penting di
Indonesia sebagai salah satu sumber protein nabati. Tingginya kebutuhan kedelai tersebut
mendorong perlu dilakukannya peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Produksi kedelai
dalam negeri belum mencukupi kebutuhan kedelai nasional kebutuhan kedelai nasional,
untuk mengatasi masalah itu pemerintah masih mengimpor. Nilai impor komoditas kedelai
ini dari tahun ketahun terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah produktivitas kedelai
yang masih rendah sehingga harus dilakukan perbaikan terhadap produktivitas tersebut.
Untuk itu diperlukan varietas tanaman yang memiliki produktifitas tinggi dan toleran
terhadap kecaman biotik dan abiotik.

Kultur jaringan merupakan salah satu aplikasi dari perkembangan bioteknologi untuk
menghasilkan tanaman yang memiliki produktivitas tinggi. Kultur jaringan tanaman
merupakan teknik menumbuh kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau
organ dalam kondisi aseptik secara in vitro (Lestari 2008). Beberapa metode kultur jaringan
telah dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman guna perbaikan sifat genetik
tanaman yaitu melalui metode keragaman somaklonal, seleksi in vitro, kultur anter, fusi
protoplas dan kultur embrio (Yunita 2009).

Kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio
dewasa/tua (mature embryo) secara in vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang
viabel. Salah satu manfaat dari kultur embrio adalah penyelamatan embrio F1 hasil
persilangan inter spesies yang diharapkan dapat menghasilkan tanaman amphidiploid normal
dan fertil. Selanjutnya, tanaman hasil persilangan ini dapat diseleksi dan diuji sesuai dengan
sifat yang di butuhkan (Kosmiatin dan Mariska 2005). Selain itu teknik ini juga bermanfaat
untuk menguji viabilitas benih untuk mengatasi hambatan dalam perkecambahan benih dan
meperpendek siklus pemuliaan tanaman dengan dormasi biji yang lama (Pardal et al. 1994;
Wijayanto et al. 2012).

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur in vitro ditentukan oleh


beberapa faktor, antara lain kondisi dan hubungan kekerabatan genotipe yang digunakan
sebagai tetua, umur biji muda (embrio) yang dikulturkan dan formulasi media. Formulasi
media kultur terdiri atas kandungan hara makro, mikro, vitamin asam amino dan
menggunakan ZPT (zat pengatur tumbuh). Komposisi dan konsentrasi ZPT yang
ditambahkan ke dalam media kultur sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan
dan tujuan pengkulturannya. Konsentrasi ZPT optimal yang ditambahkan ke dalam media
tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta kandungan hormon pertumbuhan
endogen yang terdapat pada eksplan tersebut. ZPT yang digunakan untuk perbanyakan secara
in vitro adalah golongan auksin, sitokinin, giberelin, dan retardant (Lestari 2011).
Formulasi media tumbuh untuk kultur embrio masing-masing varietas tanaman
kedelai umumnya berbeda-beda. Hasil penelitian Ilyas et al. (2005) menunjukkan bahwa
kultur respon embrio dari 23 varietas kedelai terhadap formulasi media kultur berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi media yang optimal untuk
kultur embrio muda tanaman kedelai varietas Dering 1.

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan apa pengertian kultur embrio?

2. Jelaskan apa pengertian kedelai?

2. Jelaskan hasil analisis data?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui kultur embrio pada tanaman kedelai varietas daring.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kultur Embrio

Kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio
dewasa/tua (mature embryo) secara in vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang
viabel. Salah satu manfaat dari kultur embrio adalah penyelamatan embrio F1 hasil
persilangan inter spesies yang diharapkan dapat menghasilkan tanaman amphidiploid normal
dan fertil. Selanjutnya, tanaman hasil persilangan ini dapat diseleksi dan diuji sesuai dengan
sifat yang di butuhkan (Kosmiatin dan Mariska 2005). Selain itu teknik ini juga bermanfaat
untuk menguji viabilitas benih untuk mengatasi hambatan dalam perkecambahan benih dan
meperpendek siklus pemuliaan tanaman dengan dormasi biji yang lama (Pardal et al. 1994;
Wijayanto et al. 2012).

2.2 Pengertian Kedelai

Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu tanaman pangan penting di
Indonesia sebagai salah satu sumber protein nabati. Tingginya kebutuhan kedelai tersebut
mendorong perlu dilakukannya peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Produksi kedelai
dalam negeri belum mencukupi kebutuhan kedelai nasional kebutuhan kedelai nasional,
untuk mengatasi masalah itu pemerintah masih mengimpor. Nilai impor komoditas kedelai
ini dari tahun ketahun terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah produktivitas kedelai
yang masih rendah sehingga harus dilakukan perbaikan terhadap produktivitas tersebut.
Untuk itu diperlukan varietas tanaman yang memiliki produktifitas tinggi dan toleran
terhadap kecaman biotik dan abiotik.

2.3 Hasil Analisis Data

Hasil analisis data memperlihatkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BA dan
kinetin menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap waktu muncul tunas, persentase embrio
bertunas, tinggi tunas, jumlah daun dan persen tunas berakar.

2.3.1 Waktu Inisiasi Tunas

Waktu munculnya tunas pada masing-masing perlakuan variatif. Embrio yang


dikulturkan pada media kontrol membutuhkan waktu 21,33 hari untuk berkecambah.
Pemberian BA dan Kinetin secara tunggal dapat menurunkan waktu yang dibutuhkan embrio
untuk berkecambah, akan tetapi pemberian kinetin 0,5 mg/l dapat tunas meningkatkan waktu
induksi tunas dari embrio menjadi 24,55. hari.
Pada Gambar 1 dapat diamati bahwa kombinasi antara BA dan Kinetin dapat
mempercepat terbentuknya tunas. Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan yang dapat
menginduksi munculnya tunas paling cepat. Tunas yang paling cepat muncul pada perlakuan
BA 0,5 mg/l kombinasi dengan kinetin 0,1 mg/l. BA dan Kinetin merupakan zat pengatur
tumbuh yang tergolong ke dalam sitokinin sintetik, yang dalam penggunaannya dipengaruh
oleh zat pengatur tumbuh lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam
tanaman. Sitokinin berperan dalam sitokinesis atau pembelahan sel sehingga memicu
terbentuknya tunas (Karjadi dan Buchory 2007; Lawalata 2011). Kinetin merupakan hormon
golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan (Wetherell 1982) dan jenis sitokinin alami
yang dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah.
Kinetin berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.

2.3.2 Persentase Embrio Bertunas

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada umumnya embrio yang dikulturkan


mampu membentuk tunas. Pada perlakuan kontrol embrio yang menghasilkan tunas hanya
24%. Pemberian BA 0,1 mg/l dan 0,5 mg/l pada kultur embrio, mampu menginduksi
terbentuknya tunas hingga 34 dan 36%, sedangkan pada perlakuan kinetin 0,1 mg/l dan 0,3
mg/l hanya mampu menginduksi tunas hingga 28 dan 30% (Gambar 2).
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah kombinasi dari BA 0,5
mg/l dan kinetin 0,1 mg/l dimana embrio yang mampu membentuk tunas sebesar 94%.
Sitokinin sangat berperan dalam pembentukan tunas lateral dan sitokinin sintetik lebih aktif
dibandingkan sitokinin endogen. Oleh karena itu penambahan sitokinin ke dalam media
induksi tunas lebih efektif dalam konsentrasi tinggi karena memiliki efek yang besar dalam
pembentukan tunas (Lestari 2011). Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa peran
zat pengatur tumbuh sitokinin dalam kegiatan kultur jaringan dapat menstimulir terjadinya
pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung,
menghambat pembentukan akar dan mendorong pembentukan klorofil pada meristem ujung
dan menghambat pembentukan akar.

2.3.3 Tinggi Tunas

Hasil analisis uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan Kinetin
memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tunas. Pada Tabel 2, dapat diamati bahwa
tunas yang dikultur pada media yang mengandung kombinasi BA dan Kinetin memiliki tunas
yang lebih tinggi bila dibandingkan pada tunas yang dikulturkan pada media tanpa zat
pengatur tumbuh atau media yang mengandung satu jenis zat pengatur tumbuh (BA atau
Kinetin).

Perlakuan yang memberikan hasil terbaik untuk parameter tinggi tanaman adalah
perlakuan BA 0,5 mg/l dan K0,1 mg, dimana tinggi tunas yang dihasilkan sebesar 1,8 cm.
Pada perlakuan BA 0,5 mg/l dan Kinetin 0,5 mg/l menunjukkan tinggi tanaman menjadi 0,66
cm. Hal ini menunjukkan peningkatan konsentrasi Kinetin pada perlakuam kombinasi akan
menghambat pertambahan tinggi dari tunas. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman gaharu,
perlakuan kombinasi hormon BA + kinetin, jika konsentrasi hormon ditingkatkan pada
kombinasi BA + kinetin maka rata-rata jumlah daun akan turut berkurang (Hidayat 2009).

2.3.4 Jumlah Daun

Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh
interaksi antara BA dan Kinetin terhadap jumlah daun demikian juga perlakuan faktor
tunggalnya. Berdasarkan uji DNMRT pada taraf 5%, respons eksplan antar perlakuan tertera
pada Tabel 3.
Perlakuan terbaik dalam menghasilkan daun lebih banyak adalah perlakuan kombinasi
BA 0,5 mg/l + Kinetin 0,1 mg/l di mana jumlah daun yang dihasilkan sebanyak 1,88. Jumlah
ini tidak berbeda nyata dengan embrio yang dikulturkan pada perlakuan BA 0,1 dan kinetin
0,5 sebanyak 1,52. Daun yang dihasikan pada perlakuan ini relatif kecil-kecil dan
pertumbuhannya tidak normal.

2.3.5 Persentase Tunas Berakar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kultur mampu menginduksi


pembentukan akar pada tunas in vitro. Pada dasarnya embrio telah memiliki bakal akar, akan
tetapi akar yang terbentuk ada yang normal dan ada yang pertumbuhannya tidak normal.
Pemberian BA 0,1 dan 0,5 ng/l secara tunggal sudah mampu membentuk akar, akan tetapi
jumlahnya masih relatif kecil yaitu 32% dan 36%. Kombinasi antara BA dan kinetin akan
mampu meningkatkan kemampuan embrio untuk membentuk akar. George dan Sherington
(1993) berpendapat bahwa sitokinin kinetin cendrung menginduksi akar yang lebih tinggi.
Hal yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Ilyas (2005) di mana embrio dari beberapa
varietas kedelai yang dikulturkan pada media yang mengandung BA dan Kinetin akan
menginduksi akar yang lebih tinggi.

Gambar 3 menunjukkan perlakuan terbaik untuk induksi perakaran adalah pada


perlakuan kombinasi BA 0,5 mg/l dan kinetin 0,1 mg/l. Pada konsentrasi tersebut mampu
menginduksi akar lebih besar yaitu 82%. Peningkatan konsentrasi kinetin menjadi 0,5 mg/l
menurunkan kemampuan embrio menginduksi akar. Peningkatan kosentrasi zat pengatur
tumbuh kadang kala dapat menghambat pertumbuhan organ. Penambahan zat pengatur
tumbuh pada konsentrasi tertentu pada media biakan mampu menginduksi pembentukan akar,
tetapi bila konsentrasi yang diberikan terlalu tinggi akan menghambat pembentukan akar
tersebut (Yunita dan Lestari 2011 ).
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio
dewasa/tua (mature embryo) secara in vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang
viabel

Formulasi media terbaik untuk kultur embrio muda kedelai varietas Dering 1 adalah
MS yang diperkaya dengan BA 0,5 mg/l dan Kinetin 0,1 mg/l. Perlakuan tersebut
memberikan nilai yang baik untuk waktu insiasi tunas, persentase embrio bertunas, tinggi
tunas, jumlah daun, dan persentase embrio berakar.
DAFTAR PUSTAKA

George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture, Exegetics Ltd.
London.

Hidayat O. 2009. Kajian Penggunaan Hormon IBA, BAP dan kinetin terhadap Pertumbuhan
Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) secara In Vitro.
Sikripsi. IPB. 52 hlm.

Ilyas S. 2005. Kultur embrio sebagai embrio resque pada tanaman kedelai (Glycine max.L.
Merril). Jurnal Komunikasi pertanian. 17(6):44-51

Karjadi AK, Buchory A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Jaringan
Meristem Bawang Putih pada Media B5. Jurnal Hort. 17. 3:217- 223

Kosmiatin M, Mariska I. 2005. Kultur embrio dan penggandaan kromosom hasil persilangan
kacang hijau dan kacang hitam. 10(1):24-34

Lawalata IL. 2011. Pemberian Beberapa Kombinasi ZPT Terhadap Regenerasi Tanaman
Gloxinia (Siningia speciosa) dari Eksplan Batang dan Daun Secara In Vitro. J. Exp.
Life Sci. 1 (2):56-110.

Lestari EG. 2008. Kultur Jaringan. AkaDemia. 60 hlm

Lestari EG. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui
Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68.

Pardal SJ, Watimena GA, Masyudi MF dan Harran S. 1994. Pengaruh umur embrio dan
genotipe terhadap kultur embrio muda kedelai, Zuriat, Jurnal Komunikasi Pemulian
Indonesia, Bandung.

Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang


Press. Malang.

Whetherell. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press.
Semarang

Wijayanto T, Sadimantara GR, Erawan D. 2012. Kemajuan pengembangan teknik immature


embryo culture tanaman kedelai (Glycine max L.). Agriplus 22:189-195

Yunita R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan
tanaman toleran cekaman abiotik. Jurnal Litbang Pertanian 28(4):142- 148

Yunita R, Lestari EG. 2011. Perbanyakan Tanaman Pulai Pandak (Rauwolfia serpentina L.)
dengan Teknik Kultur Jaringan. Jurnal Natur Indonesia 14(1): 68-72.

Anda mungkin juga menyukai