Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman kedelai (Glycine max) merupakan komoditas tanaman pangan

penting di Indonesia yang kaya akan protein dan digunakan untuk memenuhi

kebutuhan gizi masyarakat. Kebutuhan akan kedelai semakin meningkat seiring

berjalannya waktu dan pertumbuhan jumlah penduduk yang juga semakin

meningkat. Kurun waktu 2010-2014 kebutuhan kedelai mencapai kurang lebih

2.300.000 ton biji kering tetapi kemampuan produksi dalam negeri hanya

mencapai 851.286 ton. Hal ini menunjukkan bahwa baru 37,01% dari kebutuhan

total yang dapat dipenuhi (ATAP, 2011 dikutip Direktorat Jenderal Tanaman

Pangan Kementerian Pertanian, 2013). Dengan demikian kebutuhan kedelai dalam

negeri harus dipenuhi melalui impor. Hingga saat ini sekitar 60% dari

kebutuhannya masih dipenuhi oleh impor. Pada tahun 2014 pemerintah

menargetkan swasembada kedelai, seharusnya produksi kedelai nasional

menghasilkan sekitar 2,8 juta ton. Apabila produktivitas sekarang 1,3 ton/ha dapat

ditingkatkan menjadi 1,5 ton/ha, maka diupayakan luas tanam/ panen mencapai 2

juta ha. Berdasarkan kondisi dan angka luas tanam/panen tersebut, maka

diperlukan jumlah benih yang banyak yaitu sekitar 90.000 ton (Balai Penelitian

Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Departemen Pertanian, 2012).

Perencanaan yang matang dalam meningkatkan hasil dan mutu benih

kedelai perlu untuk dilakukan, hal ini agar ketersediaan benih kedelai dapat
2

memenuhi permintaan dan kebutuhan benih. Benih bermutu merupakan salah satu

faktor yang memegang peranan penting dalam budidaya. Permasalahan dalam

pengadaan benih kedelai bermutu diantaranya adalah sangat pendeknya

kemampuan daya simpan, yaitu daya tumbuh benih hanya tahan selama 3 bulan

(Ruliansyah, 2011).

Ruliansyah (2011) menyatakan bahwa berdasarkan keadaan di lapangan

dapat diketahui bahwa banyak benih kedelai yang dijual di toko-toko penyalur

benih merupakan benih yang telah melewati masa simpan lebih dari 3 bulan dan

disimpan pada kondisi tempat yang tidak baik sehingga menyebabkan penurunan

kualitas benih. Penurunan kualitas tersebut mengakibatkan perkecambahan yang

kurang baik ketika ditanam di lapangan. Hal yang sama diutarakan oleh Ilyas,

dkk. (2003), benih kedelai merupakan benih yang cepat mengalami deteriorasi

baik penurunan viabilitas dan vigor, terutama bila disimpan pada kondisi yang

kurang optimum.

Mutu perkecambahan benih yang rendah disebabkan oleh menurunnya

vigor dan viabilitas benih kedelai. Perlu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan

perlakuan invigorisasi benih. Invigorasi merupakan perlakuan untuk

meningkatkan vigor benih yang ditunjukkan dengan peningkatan atau perbaikan

performansi benih baik secara fisiologis maupun biokemis, yang dilakukan

dengan berbagai perlakuan benih pasca panen atau pratanam (Ilyas, 2001 dikutip

Ruliansyah, 2011).

Perlakuan invigorasi telah banyak dilakukan untuk meningkatkan vigor

benih yang efeknya dapat terlihat sampai fase vegetatif bahkan dapat juga
3

meningkatkan hasil (Farooq et al., 2006 dikutip Sucahyono, dkk., 2013). Menurut

Khan et al. (1990) dikutip Koes dan Ramlan (2010), untuk memperbaiki

perkecambahan benih dapat dilakukan dengan banyak cara yaitu presoaking,

matriconditioning, wetting and drying, humidifying, osmoconditioning, aerasi

oksigen, dan pregermination. Salah satu teknik invigorasi untuk mengatasi

permasalahan benih kedelai adalah matriconditioning. Matriconditioning adalah

perlakuan hidrasi terkontrol yang dikendalikan oleh media padat lembab dengan

potensial matriks rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan (Khan et al.,

1990 dikutip Koes dan Ramlah, 2011). Matriconditioning merupakan teknik

conditioning yang mudah dilakukan dan efektif. Hasil penelitian dari Koes dan

Ramlan (2010) mengemukakan, bahwa benih jagung baik dari lot benih yang baru

maupun yang sudah disimpan selama 6 bulan, diberi perlakuan matriconditioning

dengan abu sekam, serbuk gergaji, dan jerami padi memperlihatkan viabilitas dan

vigor yang lebih tinggi dibanding kontrol. Selain itu Rachmawati (2009)

menyatakan bahwa matriconditioning yang ditambah dengan bakterisida sintetik

ataupun nabati pada benih padi dapat meningkatkan mutu fisiologis dan patologis

benih serta memperlihatkan peningkatan pada peubah vigor benih.

Agens hayati khususnya mikroba tanah banyak perannya terhadap

pertumbuhan tanaman. Diantaranya memiliki potensi melindungi tanaman selama

siklus hidupnya, bahkan mampu menghasilkan hormon tumbuh (Silva et al.,

2004), memfiksasi N (Bai et al., 2003), melarutkan P (Faccini et al., 2004)

sehingga memberi manfaat ganda bagi tanaman. Bukan hanya meningkatkan

pertumbuhan (biofertilizer), beberapa jenis mikroorganisme tertentu pun


4

dilaporkan mampu untuk mengendalikan berbagai patogen tanaman (biopesticide)

(Sutariati, 2009).

Teknologi invigorasi benih dapat diintegrasikan dengan agens hayati.

Integrasi dengan matriconditioning disebut biomatriconditioning. Penggunaan

matriconditioning dengan agens hayati mampu melindungi benih yang ditanam

dari cendawan tular benih dan tular tanah (Ahmad, et al., 2005; Wahid et al.,

2008; Snapp et al., 2008; Moradi dan Younesi, 2009 dikutip Sutariati, dkk.,

2011). Metode seed conditioning dengan penambahan atau tanpa penambahan

agens hayati terbukti efektif dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas

et al., 2002 dikutip Sutariati, 2009). Oleh sebab itu untuk menjawab permasalah

benih kedelai dalam penelitian ini diintegrasikan antara matriconditioning yang

memakai media arang sekam dengan penambahan agens hayati Trichoderma,

Azotobacter, dan Rhizobium.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai

berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh antara tingkat vigor benih dengan kombinasi

perlakuan matriconditioning dan penambahan agens hayati dalam

meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai terdeteriorasi?

2. Apakah ada kombinasi perlakuan terbaik antara tingkat vigor benih dengan

perlakuan matriconditioning dan penambahan agens hayati dalam

meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai terdeteriorasi?


5

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh antara tingkat

vigor dengan kombinasi pelakuan matriconditioning dan penambahan agens

hayati dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai terdeteriorasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode perlakuan pratanam

benih kedelai terbaik yang mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih

kedelai melalui penggunaan teknik invigorasi benih dengan kombinasi perlakuan

matriconditioning dan agens hayati.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

teknologi benih, khususnya dalam produksi benih kedelai. Dari segi praktis

diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani dan penangkar benih

mengenai usaha meningkatkan mutu benih kedelai dengan perlakuan benih

pratanam yaitu integrasi matriconditioning bermedia arang sekam dengan agens

hayati.

1.5 Kerangka Pemikiran

Salah satu faktor yang memegang peranan penting dan penentu

keberhasilan dalam budidaya tanaman adalah penggunaan benih bermutu.

Penggunaan benih yang bermutu rendah akan merugikan, menghasilkan

persentase munculnya bibit yang rendah, tidak tahan terhadap cekaman


6

lingkungan, peka terhadap penyakit, dan memberi pengaruh negatif terhadap hasil

dan mutu tanaman (Sutariati, dkk., 2010).

Suplai benih bermutu untuk musim tanam berikutnya mengharuskan

adanya penyimpanan benih, namun penyimpanan yang salah dapat mempercepat

kemunduran benih (Ruliansyah, 2011). Salah satu karakteristik benih kedelai

adalah mudah rusak atau cepat sekali mengalami deteriorasi, terutama bila

disimpan pada kondisi simpan kurang optimum (Ilyas, dkk., 2003).

Banyak cara atau perlakuan yang dilakukan untuk memperbaiki

perkecambahan benih yang hubungannya dengan mutu benih, diantaranya melalui

perlakuan priming, presoaking, matriconditioning, wetting and drying,

humidifying, osmoconditioning, aerasi oksigen, dan pregermination (Koes dan

Ramlah, 2011). Namun cara yang biasanya digunakan adalah matriconditioning

dan osmoconditioning (Ruliyansyah, 2011). Priming merupakan teknik invigorasi

yang mengontrol proses hidrasi-dehidrasi benih untuk berlangsungnya proses-

proses metabolik menjelang perkecambahan. Osmoconditioning merupakan

perlakuan conditioning dengan memakai media imbibisi berpotensial osmotik

rendah seperti larutan PEG, KNO3, atau larutan garam (Khan et al., 1992).

Menurut Koes dan Ramlan (2010) matriconditioning merupakan teknik

conditioning yang mudah dilakukan dan efektif.

Matriconditioning adalah perlakuan hidrasi terkontrol yang dikendalikan

oleh media padat lembab dengan potensial matriks rendah dan potensial osmotik

yang dapat diabaikan (Koes dan Ramlah, 2011). Banyak hasil penelitian sudah

membuktikan bahwa matriconditioning mampu meningkatkan viabilitas dan vigor


7

benih yang lebih baik dibanding perlakuan hidrasi lainnya. Terbukti perlakuan

matriconditioning diketahui dapat mengatasi permasalahan hambatan mekanis

pada perkecambahan benih cabai (Ilyas, 2006 dikutip Sutariati dan La, 2012).

Kemudian meningkatkan viabilitas dan vigor benih kacang-kacangan dan sayuran,

selain itu perlakuan matriconditioning ini mampu untuk menurunkan atau

mempersingkat waktu perkecambahan, meningkatkan daya perkecambahan, dan

meningkatkan daya tumbuh serta produksi di lapangan (Khan et al., 1990 dikutip

Koes dan Ramlah 2010).

Hasil penelitian Astuti (2009) disimpulkan bahwa matriconditioning

efektif untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih dengan tolak ukur daya

berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh relatif. Terutama pada benih

yang matriconditioningnya diberi tambahan minyak cengkeh 0.1% atau Benlox

0.1%. Rachmawati (2009) menyatakan 11 perlakuan matriconditioning yang

ditambah bakterisida baik sintetik ataupun nabati (Agrept 0.2% atau minyak serai

wangi 1%) mampu untuk meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih padi.

Matriconditioning yang ditambah bakterisida sintetik (Agrept 0.2%) ataupun

nabati (minyak serai wangi 1%) memperlihatkan peningkatan pada peubah vigor

benih. Hasil penelitian lainnya, matriconditioning dengan menggunakan media

abu sekam, serbuk gergaji, dan jerami padi dengan penggunaan benih jagung

varietas Bima % dan MAL-01 yang masing-masing dari lot benih baru dan yang

sudah disimpan selama 6 bulan terbukti memiliki rata-rata viabilitas dan vigor

tang lebih tinggi dibanding kontrol (Koes dan Ramlah, 2010).


8

Agens hayati khususnya mikroba tanah banyak perannya terhadap

pertumbuhan tanaman. Diantaranya mikroba memiliki potensi melindungi

tanaman selama siklus hidupnya, bahkan mampu menghasilkan hormon tumbuh

(Silva et al., 2004), memfiksasi N (Bai et al., 2003), melarutkan P (Faccini et al.,

2004) sehingga memberi manfaat ganda bagi tanaman. Bukan hanya

meningkatkan pertumbuhan (biofertilizer), beberapa jenis mikroorganisme

tertentu pun dilaporkan mampu untuk mengendalikan berbagai patogen tanaman

(biopesticide) (Sutariati, 2009), diantaranya Trichoderma, Azotobacter, dan

Rhizobium.

Trichoderma merupakan jamur yang berperan dalam pemecahan kitin dan

dapat merusak dinding sel jamur patogen (Wijaya, 2002). Selain itu dapat

meningkatkan vigor dan viabilitas benih dan bibit karena baik benih maupun bibit

tidak terindikasi mengalami kerusakan atau kontaminasi patogen (Baharudin dan

Rubiyo, 2013). Beberapa penelitian tentang efektifitas Trichoderma menyatakan

respons dari aplikasi T. harzianum menunjukkan peningkatan persentase

perkecambahan, tinggi tanaman, dan bobot kering serta waktu perkecambahan

yang lebih singkat pada tanaman sayuran (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986,

Paulitz et al., 1986 dikutip Nurahmi dkk., 2012).

Kemudian Azotobacter merupakan bakteri yang menghasilkan senyawa

thiamin, riblovaflavin, pridoksin, sianokobalamin, nikotin, asam pentotenat, asam

indol asetat, dan giberelin yang berperan dalam perkecambahan benih (Rao,

1982). Shende et al. (1977) menambahkan, Azotobacter sebagai pengendali hayati


9

terhadap penyakit tanaman karena mampu menghasilkan senyawa anti antibiotik,

antifungi, dan membantu perkecambahan benih.

Bakteri lainnya adalah Rhizobium yang dapat membentuk bintil akar pada

tanaman kedelai, efektif dalam menambat N2 udara (Purwanti, 1997 dikutip

Sopacua, 2014), mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan

menghasilkan zat tumbuh (Hoflich et al., 1995 dikutip Hanum, 2010), perbaikan

serapan hara (Biswas et al., 2000 dikutip Hanum, 2010), selain itu simbiosis

dengan rhizobium akan menghasilkan IAA (Antoun et al., 1998 dikutip Hanum,

2010). Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan penggunaan

mikroorganisme pada aplikasi benih sebelum tanam secara nyata dapat

meningkatkan produksi cabai (Thakuria et al., 2004 dikutip Sutariati, 2009).

Maka dari itu diintegrasikanlah matriconditioning dengan penambahahan

mikroba atau agens hayati. Integrasi matriconditioning ini dengan agens hayati

disebut biomatriconditioning. Beberapa hasil penelitian sebelumnya

mengemukakan bahwa aplikasi rizobakteri (bakteri didaerah perakaran) yang

diintegrasikan dengan seed conditioning (matriconditioning) terbukti dapat

meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas et al., 2002). Menurut Baharudin

dan Rubiyo (2013), teknik matriconditioning dengan penambahan agens hayati

juga dapat mengurangi serangan jamur patogen terbawa benih dan tentunya

memacu pertumbuhan tanaman.

Hasil penelitian Sutariati (2012) pada benih cabai dengan perlakuan

matriconditioning abu arang sekam yang ditambah Bacillus polymixa BG25

(Biomatric BG25 + MA) dan matriconditioning serbuk gergaji yang ditambah


10

Bacillus polymixa BG25 (Biomatric BG25 + MS) memperlihatkan daya

berkecambah yang lebih tinggi yaitu 82% dan 81% dibandingkan kontrol yang

hanya 41%. Kecepatan tumbuh relatifnya pun yaitu 10,30% dan 10,73% berbeda

nyata dengan kontrol 5.59%. Selain itu secara nyata dapat meningkatkan indeks

vigor benih cabai, yaitu 48% dan 46% dibanding kontrol 26%.

Hasil penelitian lainnya dari Sutariati (2009), untuk benih kedelai terlihat

bahwa baik dengan perlakuan tunggal yaitu matriconditioning saja dan

matriconditioning yang diintegrasikan dengan agens hayati secara nyata

meningkatkan daya berkecambah (DB), dari antara berbagai perlakuan yang

dilakukan, matriconditioning dengan abu arang sekam atau matriconditioning abu

arang sekam yang diintegrasikan dengan agens hayati Setaria liquefacien SG01

(Biomatric SG01 + matric abu sekam) memberikan hasil persentase daya

berkecambah sebesar 90-95% berbeda nyata dengan kontrol 66,67%. Selain itu

efektif untuk menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 50%

perkecambahan kedelai (T50) yaitu 1,51 hari dibanding kontrol dengan hasil 2,06

hari. Kemudian dari data yang ada, rata-rata tampak terjadi peningkatan pada

perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan agens hayati dibanding

kontrol pada tolak ukur kecepatan tumbuh relatif (KCT-R), keserempakan tumbuh

(KST), dan indeks vigor (IV).

Kemudian hasil penelitian dari Sucahyono (2013) yaitu matriconditioning

dengan media arang sekam dan penambahan agens hayati Rhizobium pada benih

kedelai hitam dengan perbandingan benih : arang sekam : air adalah 9 : 6 : 7

(b/b/v). Kemudian ditambahkan agens hayati dalam bentuk pupuk hayati yang
11

dilarutkan dihitung berdasarkan bobot benih yang diberi perlakuan

matriconditioning dengan dosis 6.25 g/kg benih dicampur dan diinkubasikan pada

suhu ruang selama 12 jam. Dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai

hitam. Terbukti dari daya berkecambah benih dengan perlakuan matriconditioning

(91.75%) dan perlakuan matriconditioning + pupuk hayati (91.43%) nyata lebih

baik dibandingkan kontrol (82.75%). Peningkatan daya berkecambah yang hampir

mencapai 10% dibandingkan kontrol. Tidak hanya sebatas pada viabilitas, tetapi

juga pada vigor benih. Kecepatan tumbuh benih dengan perlakuan

matriconditioning (29.36% etmal-1) dan perlakuan matriconditioning + pupuk

hayati (28.23% etmal-1) nyata lebih baik dibandingkan kontrol (20.82% etmal-1).

Penelitian matriconditioning dengan penambahan agens hayati ini

merupakan solusi untuk peningkatan viabilitas dan vigor benih kedelai yang

mengalami deteriorasi.

1.6 Hipotesis

Penelitian ini berhipotesis bahwa :

1. Terdapat pengaruh antara tingkat vigor benih dengan kombinasi perlakuan

matriconditioning dan penambahan agens hayati dalam meningkatkan

viabilitas dan vigor benih kedelai terdeteriorasi.

2. Ada kombinasi perlakuan terbaik antara tingkat vigor benih dengan perlakuan

matriconditioning dan penambahan agens hayati dalam meningkatkan

viabilitas dan vigor benih kedelai terdeteriorasi.


12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tanaman Kedelai (Glycine Max L.)

Glycine max L. merupakan kedelai yang dibudidayakan (Ricker dan

Morse, 1948 dikutip Hidajat, 1985). G. max merupakan sub genus soja. G. soja

yang merupakan kedelai liar dengan ciri tanaman semusim yang merambat, daun

bertangkai tiga, daun kecil dan sempit, bunga berwarna ungu, biji berukuran kecil

dan keras, berbentuk agak bundar, serta berwarna hitam atau coklat tua

(Hymowitz, 1970 dikutip Hidajat, 1985). G. Max diperkirakan berasal dari G. soja

(Hidajat, 1985).

Menurut Hidajat (1985) kedelai merupakan tanaman semusim, berupa

semak rendah dan berdaun lebat. Tinggi tanaman berkisar antara 10 sampai 200

cm, jumlah cabang kedelai bergantung pada kultivar dan lingkungan hidupnya.

Daun pertama yang keluar dari buku sebelah atas kotiledon berupa daun tunggal,

bentuknya sederhana yang terletak bersebrangan. Selanjutnya daun yang terbentuk

adalah daun bertiga atau empat dengan letak berselingan.

Pertumbuhan batang dibedakan dalam tiga tipe yaitu tipe diterminat, tipe

inditerminat, dan tipe semi-diterminat. Bunga kedelai tumbuh berkelompok dan

bergantung pada tipe tumbuh, pada tiap ketiak daun terdapat 5 – 35 bunga. Polong

matang berisi 1 – 5 biji (Hidayat, 1977 dikutip Hidajat, 1985). Batang polong dan

daun biasanya ditumbuhi bulu berwarna abu-abu atau coklat, namun ada juga
13

tanaman yang tidak berbulu (Hidajat, 1985). Klasifikasi Glycine Max (L). Merill

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Famili : Leguminoseae

Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merr.

(Adisarwanto, 2005)

Benih kedelai bentuknya bermacam-macam bergantung dari kultivar,

dapat berbentuk bulat, agak gepeng, atau bulat telur, namun sebagian besar

kultivar berbentuk bulat telur. Bobot dan besar dari benih kedelai beragam, bobot

100 butir bervariasi antara 5-30 gram. Umumnya kultivar kedelai yang ditanam di

Indonesia bobot 100 bijinya 7-14 gram. Kelompok bobot 100 butir kedelai adalah

sebagai berikut: (a) kedelai berbenih kecil dengan bobot 100 butir antara 7-10

gram, (b) kedelai berbenih sedang dengan bobot 100 butir antara 11-13 gram, (c)

kedelai berbenih besar dengan bobot 100 butir lebih dari 13 gram (Carlson, 1973).

Benih kedelai terdiri dari 2 bagian yaitu testa (kulit benih) dan embrio

(janin). Testa berfungsi untuk melindungi embrio. Pada testa terdapat hilum

(pusar) yang berwarna hitam, coklat, atau putih. Pada ujung hilum terdapat lubang

kecil (mikrofil) yang terbentuk saat pembentukan benih (Carlson, 1973). Testa

terdiri atas 3 lapisan sel yaitu epidermis, hipodermis, dan parenkima (Hidajat,
14

1985). Warna kulit benih dapat bervariasi yaitu kuning, hijau, coklat, hitam, atau

campuran warna-warna yang disebabkan oleh pigmen antosianin dalam sel,

klorofil dalam plastida, dan berbagai kombinasi hasil uraian pigmen-pigmen

dalam lapisan palisade dari epidermis (Carlson, 1973). Embrio terdiri dari 2

kotiledon, plumula, dan poros hipokotil sebagai batang untuk bakal akar.

Kotiledon dapat berwarna kuning atau hijau, merupakan bagian yang terbesar

berisi cadangan makanan yang hampir seluruhnya terdiri dari lemak dan protein

yang berguna bagi pertumbuhan awal tanaman. Plumula terdiri dari 2 daun

sederhana dan titik tumbuh, sedangkan poros hipokotil yang merupakan bagian

embrio yang berada di bawah kotiledon (Hidajat, 1985).

Benih kedelai yang ditempatkan pada kondisi yang lembab akan memiliki

berat menjadi dua kali lipat karena akan menyerap cukup banyak air. Namun, ada

genotipa kedelai liar yang memiliki biji keras merupakan benih kedelai yang

lambat dalam meyerap air. Umumnya kedelai liar yang lamban dalam menyerap

air disebabkan tebalnya kulit biji. Selain itu, terdapat dugaan bahwa garis cerah

(light line) yang terdapat pada lapisan epidermis genotipa kedelai liar tersebut

merupakan penyebab dari sifat biji keras (Hatfield dan Egli, 1974; Howell, 1963).

Pada kondisi yang cukup lembab, bakal akar akan tumbuh keluar setelah

satu atau dua hari melalui belahan kulit benih di sekitar mikrofil. Bakal akar

tumbuh cepat ke dalam tanah, kotiledon terangkat ke permukaan tanah disebabkan

pertumbuhan cepat dari hipikotil. Lekukan pada bagian atas hipokotil mencapai

permukaan tanah terlebih dahulu dan menarik kotiledon keatas keluar dari dalam

tanah dengan menanggalkan kulit benih, perkecambahan ini bersifat epigeis.


15

Setelah kotiledon keluar dari tanah, maka kedua lembar daun primer terbuka 2-3

hari kemudian. Selanjutnya pertumbuhan awal dari tanaman muda adalah

pembentukan daun bertangkai tiga dan terbentuknya akar-akar cabang, tanaman

muda ini ada setelah 4-5 hari setelah benih ditanam. Suhu tanah optimum untuk

perkecambahan ialah 25-30OC, apabila di atas 40OC benih kedelai tidak akan

berkecambah (Hatfield dan Egli, 1974; Howell, 1963).

2.2 Viabilitas Benih

Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang ditunjukkan dengan

performa pertumbuhan atau perkecambahan atau gejala metabolismenya dalam

kondisi optimum (Ilyas, 2012). Viabilitas benih menunjukkan daya hidup benih,

aktif secara metabolis, dan memiliki enzim untuk mengatalisis reaksi metabolis

yang dibutuhkan untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah. Viabel

ataupun nonviabel suatu benih tergantung pada kemampuan benih untuk

berkecambah dan menghasilkan kecambah normal (Copeland dan McDonald,

1985).

Perkecambahan adalah munculnya radikula melalui testa, hal ini menurut

seed physiologist. Sedangkan menurut seed analyst, perkecambahan merupakan

berkembangnya struktur esensial embrio yang menunjukkan kemampuan

menghasilkan tanaman normal pada kondisi favorable (optimum) (Ilyas, 2012).

Dua perbedaan dasar di kedua konsep pengecambahan: (1) struktur yang

diperlukan untuk membentuk pengecambahan dan (2) kemampuan benih untuk


16

menghasilkan tanaman normal di bawah kondisi yang menguntungkan (Copeland

dan McDonald, 1985).

Ilyas (2012) menyatakan tolak ukur untuk viabilitas adalah daya

berkecambah (germination capacity). Sutopo (2002) menyatakan, daya

berkecambah dapat memberikan informasi tentang kemampuan benih untuk

tumbuh normal menjadi tanaman yang dapat berproduksi wajar dalam keadaan

biofisik lapangan yang serba optimum. Parameter yang digunakan yaitu

persentase kecambah normal berdasarkan penilaian terhadap struktur tumbuh

embrio secara langsung ataupun secara tidak langsung dengan cara hanya melihat

gejala metabolisme benih yang berkaitan dengan kehidupan benih. Persentase

perkecambahan adalah persentase kecambah normal yang dihasilkan oleh benih

murni pada kondisi yang menguntungkan dalam jangka waktu yang sudah

ditetapkan.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar hasil persentase yang didapat

pada uji daya berkecambah di laboratorium memiliki korelasi positif dengan

kenyataan di lapangan adalah sebagai berikut: (a) laboratorium perlu memiliki

kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi perkecambahan benih dan

terstandarisasi, (b) pada saat kecambah mencapai suatu fase perkembangan

barulah dilakukan pengamatan dan penilaiaan agar dapat dibedakan antara

kecambah normal dan kecambah abnormal, dan (c) lama pengujian harus dalam

jangka waktu yang telah ditentukan, serta (d) pertumbuhan dan perkembangan

kecambah diperhatikan dengan seksama sehingga didapat penilaian kecambah


17

yang memiliki kemampuan tumbuh menjadi tanaman normal dan kuat pada

keadaan yang menguntungkan di lapangan (Sutopo, 2002).

Sutopo (2002) menyatakan, hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan

pada uji viabilitas benih khususnya uji perkecambahan adalah: (a) alat

pengecambah benih yang dapat diatur untuk untuk memiliki kondisi lingkungan

optimum untuk perkecambahan, (b) kondisi yang serba optimum, diantaranya:

memiliki kelembaban relatif ruang penyimpanan harus antara 90-95%, variasi

temperatur tidak lebih dari 1OC pada setiap periode 24 jam, cahaya yang baik

berasal dari sumber cahaya putih (fluorescent) untuk membantu mempelancar

perkecambahan. Cahaya putih lebih efektif dari cahaya harian atau cahaya pijar.

Pada benih yang memerlukan cahaya dalam perkecambahannya butuh penerangan

sekurang-kurangnya 8 jam setiap 24 jam dan memerlukan intensitas cahaya rata-

rata 750-1250 lux. Benih yang tidak mengalami dormansi hanya membutuhkan

250 lux, dan (c) Kemampuan evaluasi kecambah normal, abnormal, atau mati,

serta (d) substrat perkecambahan baik kertas, pasir, dan tanah. Pada medium tanah

dipilih yang tidak menggumpal dan steril, apabila menggunakan tanah liat harus

dicampur dengan pasir.

2.3 Vigor Benih

Internasional Seed Testing Association (ISTA) mendefinisikan vigor

sebagai jumlah total properti-properti benih yang menentukan tingkat potensial

atas aktivitas dan kinerja benih atau bibit selama pengecambahan dan munculnya

bibit (Perry, 1978 dikutip Copeland dan McDonald, 1985). Aspek-aspek dari
18

kinerja benih tersebut diantaranya: (1) proses biokimia dan reaksi selama

pengecambahan seperti reaksi enzim dan aktivitas respirasi, (2) tingkat dan

keseragaman pengecambahan benih dan pertumbuhan bibit, (3) tingkat dan

keseragaman munculnya bibit dan pertumbuhan dalam satu bidang lahan, dan (4)

kemampuan munculnya kecambah di bawah kondisi lingkungan yang tidak

menguntungkan (Copeland dan McDonald, 1985).

Dapat juga dikatakan vigor benih merupakan sifat-sifat benih yang

menentukan potensi pemunculan kecambah yang cepat, seragam, dan normal pada

keadaan lapang yang bervariasi (Ilyas, 2012). Informasi daya kecambah benih

yang ditentukan di laboratorium adalah pada kondisi optimum, sedangkan

kenyataan di lapangan jarang sekali didapati kondisi optimum. Justru keadaan

lapangan mengarah pada kondisi suboptimum yang menjadi kelemahan untuk

perkembangan benih yang ditujukkan dengan turunnya persentase perkecambahan

dan lemahnya pertumbuhan selanjutnya (Sutopo, 2002). Solusi dari beberapa

kekurangan dalam uji daya berkecambah yang kaitannya dalam mutu fisiologis

benih sudah dikembangkan yaitu uji vigor benih (Ilyas, 2012). Uji vigor ini untuk

mendapatkan informasi yang lebih teliti (Heydecker, 1972). Idealnya semua benih

harus memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi sehingga dapat ditanam dalam

kondisi lapang yang bermacam-macam dan tetap tumbuh sehat, kuat, serta

berproduksi tinggi dengan kualitas baik.

Vigor benih diperlihatkan dari dua informasi tentang viabilitas yaitu

kekuatan tumbuh dan daya simpan benih, kedua penilaian ini sebagai indikator

kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman normal meskipun pada kondisi
19

biofisik lapangan produksi suboptimum atau sesudah benih melampaui suatu

periode simpan yang lama. Tanaman dengan tingkat vigor yang tinggi dapat

dilihat dari performansi fenotipik kecambah atau bibitnya, yang selanjutnya dapat

menjadi landasan pokok untuk ketahanan terhadap berbagai unsur tidak

menguntungkan yang menimpa tanaman (Sutopo, 2002). Vigor benih dipengaruhi

oleh berbagai faktor yaitu lingkungan tumbuh di lapang yaitu tempat benih

diproduksi, proses dan cara benih dikeringkan, dibersihkan, disortir, dan dikemas

diunit pengolahan benih (seed processing), cara dan kondisi tempat penyimpanan

benih (Ilyas, 2012).

Vigor dibagi menjadi dua, yaitu vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor

genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda. Vigor fisiologi

adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama, dapat dilihat

dari indikasi tumbuh akar, plumula atau koleoptilnya, ketahanan terhadap

serangan penyakit, dan warna kotiledon dalam efeknya terhadap tetrazolium test.

Vigor benih mencerminkan vigor kecambah, vigor bibit, dan vigor tanaman.

Vigor benih harus berkorelasi dengan tingkat produksi, artinya dari benih yang

bervigor tinggi akan dapat dicapai tingkat produksi yang tinggi (Sadjad, 1977).

Ciri benih yang bervigor tinggi adalah: (a) tahan disimpan lama, (b) tahan

terhadap serangan hama dan penyakit, (c) tumbuh dengan cepat dan merata, (d)

walaupun dalam keadaan tumbuh suboptimal mampu menghasilkan tanaman

dewasa yang normal dan berproduksi baik (Sutopo, 2002).

Sutopo (2002) menyatakan, sulit dan mahalnya untuk mengamati seluruh

lingkaran hidup tanaman maka umumnya uji vigor hanya sampai pada tahapan
20

bibit. Maka dari itu digunakan kaidah korelasi, contohnya dengan mengukur

kecepatan berkecambah sebagai parameter vigor, karena diketahui ada korelasi

antara kecepatan berkecambah dengan tinggi atau rendahnya produksi tanaman.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan rendahnya vigor benih adalah sebagai

berikut: (a) Genetis, ada beberapa kultivar tertentu yang lebih peka terhadap

kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau tidak mampu tumbuh cepat

dibanding kultivar lain. (b) Fisiologis, kondisi ini disebabkan oleh immaturity atau

saat benih dipanen kurang matang dan deteriorasi selama penyimpanan. (c)

Morfologis, perbedaan ukuran benih untuk beberapa kultivar mempengaruhi

kekuatan tumbuh. Biasanya benih yang berukuran kecil menghasilkan bibit yang

kurang memiliki kekuatan tumbuh dibandingkan dengan benih yang besar. (d)

Sitologis, kemunduran benih yang disebabkan antara lain oleh aberasi kromosom.

(e) Mekanis, biasanya saat panen, prosesing, atau penyimpanan terjadi kerusakan

mekanis yang mengakibatkan rendahnya vigor pada benih. (f) Mikroba, seperti

cendawan atau bakteri terbawa benih akan berbahaya pada kondisi penyimpanan

dan lingkungan tumbuh yang memungkinkan berkembangnya patogen. Hal ini

mengakibatkan penurunan vigor benih yang signifikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat vigor benih meliputi konstitusi

genetik benih; lingkungan dan nutrisi tanaman inang; tahap kematangan pada

panen; ukuran benih, berat, dan spesifik gravitasi; kerusakan dan penuaan; serta

patogen (Copeland dan McDonald, 1985).


21

2.4 Hubungan Viabilitas Benih dengan Vigor Benih

Steinbauer (1958) dikutip Sutopo, 2002 memberikan konsep mengenai

daya kecambah benih, viabilitas benih, dan vigor benih dalam suatu hubungan.

Periode hidup benih dibagi menjadi 3 bagian, mulai dari antesis sampai mati

(Gambar 1). Pada periode I daya kecambah benih sudah maksimum (garis 3), hal

yang sama ditunjukkan oleh viabilitas benih (garis 1). Sedangkan vigor benih baru

mencapai maksimum pada akhir periode I (garis 2). Saat itulah dinamakan masak

fisiologis. Selama periode II garis vigor dan daya berkecambah berimpit, garis

viabilitas menurun secara lurus dengan waktu. Pada periode III keadaan viabilitas

sudah rendah dan dalam waktu pendek daya berkecambah serta vigor juga

menurun.

Gambar 1. Hubungan antara kekuatan tumbuh, viabilitas benih, dan daya


kecambah benih pada berbagai laju kemunduran benih menurut
Kaidah Steinbauer (Sadjad, 1994 dikutip Sutopo, 2002).

Namun kenyataannya pengaruh lingkungan dapat menyebabkan garis-

garis teoritis tersebut menjadi bervariasi. Adakalanya periode II tidak ditemui

karena benih langsung memasuki periode III yang kritis. Kemunduran benih ini
22

merupakan proses yang tak dapat balik dari kualitas suatu benih. Panen,

pengeringan, pengolahan, dan penyimpanan yang baik merupakan usaha-usaha

untuk menghambat proses deteriorasi benih. Dengan penyimpanan yang baik

maka periode II dapat diperpanjang yaitu dengan memperlambat terjadinya

kemunduran fisiologis dari benih yang sudah mencapai vigor maksimum pada

saat masak fisiologis (Sutopo, 2002).

2.5 Invigorasi Benih (Matriconditioning Benih)

Invigorasi benih merupakan perlakuan pratanam atau sebelum tanam

terhadap benih untuk memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan kecambah

(Arief dan Koes, 2010). Khan et al. (1992) menyatakan bahwa invigorasi benih

pratanam (priming atau conditioning) dapat memperbaiki keadaan fisiologis dan

biokimia benih melalui perbaikan metabolik, kemunduran, waktu untuk

berkecambah, dan potensi untuk berkecambah. Tujuan dari invigorasi benih

adalah memperbaiki pertumbuhan dan tegakan tanaman terutama di bawah

kondisi lapang yang merugikan (Alvarado dan Bradford, 1988). Beberapa

perlakuan invigorasi benih juga digunakan untuk menyeragamkan pertumbuhan

dan meningkatkan laju pertumbuhan kecambah (Arief dan Koes, 2010). Invigorasi

benih pratanam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu osmoconditioning,

priming, moisturizing, hardening, humidification, solid matrix priming,

matriconditioning dan hydropriming. Namun cara yang umum digunakan adalah

matriconditioning dan osmoconditioning (Ruliyansyah, 2011).


23

Priming merupakan teknik invigorasi yang mengontrol proses hidrasi-

dehidrasi benih untuk berlangsungnya proses-proses metabolik menjelang

perkecambahan. Merupakan teknologi sederhana yang dapat diterapkan ditingkat

petani (Ruliyansyah, 2011). Dari beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa

perlakuan priming dapat meningkatkan resistensi terhadap penyakit pada beberapa

tanaman dan pada tanaman lainnya dapat mengatasi defisiensi beberapa unsur

hara mikro (Harris et al., 2004). Pada perlakuan priming, peristiwa fisiologis dan

biokimia pada benih berperan saat suspensi perkecambahan oleh potensial

osmotik yang rendah dan potensial matriks yang sesuai dari media yang

terimbibisi. Keseimbangan potensial air antara benih dan media osmotik dapat

menggunakan bahan berupa larutan garam (osmoconditioning) atau campuran

bahan organik padatan dan air (matriconditioning). Penggunaan kombinasi bahan

padatan, benih, dan air untuk mengatur air, oksigen, dan suhu, berpengaruh

terhadap proses perkecambahan (Khan, 1992).

Osmoconditioning merupakan perlakuan conditioning dengan memakai

media imbibisi berpotensial osmotik rendah seperti larutan PEG, KNO 3, atau

larutan garam (Khan et al., 1992). Osmoconditioning ini sudah dicoba pada

beberapa benih seperti benih tomat, cabai, dan kedelai dan menunjukkan

keberhasilan (Suryawati dkk., 2000). Benih tomat yang diberi laturan PEG

terbukti meningkat perkecambahan benihnya (Liu et al., 1996). Hal yang sama

didapat oleh Lanteri et al. (1994) yang menggunakan larutan PEG -1.1, -1.3, dan -

1.5 MPa yang setara dengan konsentrasi PEG ± 30% (Mexal et al., 1975) pada

priming benih tomat dan cabe. Michel dan Kaufman (1973), menyatakan larutan
24

PEG juga digunakan sebagai media simulasi di laboratorium untuk kondisi

cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG yang setara dengan

tekanan osmotik 0.4 dan 0.6 MPa.

Matriconditioning merupakan perlakuan hidrasi benih terkontrol dengan

media lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks untuk memperbaiki

pertumbuhan bibit (Khan et al., 1992). Perlakuan matriconditioning dapat

diintegrasikan dengan hormon untuk meningkatkan perkecambahan, pestida,

biopestisida, dan mikroba yang menguntungkan untuk melawan penyakit benih

dan bibit selama awal penanaman, atau dapat memperbaiki status unsur hara,

pertumbuhanm dan hasil tanaman. Perlakuan matriconditioning ini terbukti efektif

pada berbagai jenis benih. Hasil penelitian dari aplikasi matriconditioning

menggunakan media padat lembab dengan atau tanpa asam giberelat pada benih

cabai dan kacang panjang akan memperbaiki mutu benih (Ilyas, 2012). Bahkan

pertumbuhan tanaman dan/atau hasil yang diperoleh lebih baik dibandingkan

dengan osmoconditioning (Ilyas 1994; Shalahuddin dan Ilyas 1995; Yunitasari

dan Ilyas 1995; Ilyas dan Suartini 1997 dikutip Ilyas, 2012). Selain itu

matriconditioning memakai serbuk gergaji dan abu gosok dapat meningkatkan

viabilitas dan vigor benih kedelai setelah disimpan selama 24 minggu (Hartini,

1997). Masih pada benih kedelai penelitian yang dilakukan oleh Ilyas et al.

(2003), matriconditioning memakai bubuk arang sekam yang diintegrasikan

dengan inokulan Bradyrhizobium japonicum dan Azospririllum lipoferum selama

12 jam terbukti meningkatkan pertumbuhan tanaman berikut dengan hasilnya,

selain itu menghemat pemakaian pupuk N.


25

Menurut Khan et al. (1990) dikutip Koes dan Ramlah (2010), syarat media

yang digunanakan untuk matriconditioning adalah: (a) memiliki potensial matriks

yang tinggi dan potensial osmotik yang dapat diabaikan, (b) kelarutan dalam air

rendah dan dapat utuh selama proses matriconditioning, (c) merupakan bahan

kimia inert dan tidak beracun, (d) memiliki kapasitas daya pegang air yang cukup

tinggi, (e) memiliki kemampuan aerasi yang tinggi, mampu untuk kering dan

bebas dari serbuk, (f) memiliki permukaan yang cukup luas, (g) kerapatan ruang

yang besar dan kerapatan isi yang rendah, (h) mampu menempel pada permukaan

benih. Bahan-bahan yang berkarakteristik seperti syarat tersebut diantaranya

adalah kalsium silikat, Micro-Cel E, dan Zonolit vermikulit. Bahan-bahan tersebut

dapat diperoleh dari serbuk gergaji, pasir, abu sekam padi, abu sekam, dan

cacahan halus jerami padi.

Matriconditioning yang diintegrasikan dengan agens hayati seperti bakteri

dan fungi disebut biomatriconditioning. Teknologi biomatriconditioning dapat

meningkatkan viabilitas dan vigor benih sebelum tanam dan melindungi benih

dari cendawan tular benih dan tular tanah (Moradi dan Younesi, 2009 dikutip

Sutariati dkk., 2011). Teknik matriconditioning dengan penambahan agens hayati

juga dapat mengurangi serangan jamur patogen terbawa benih dan tentunya

memacu pertumbuhan tanaman (Baharudin dan Rubiyo, 2013).

2.6 Agens Hayati

Agens hayati (mikroba tanah) banyak perannya terhadap pertumbuhan

tanaman dan hal ini telah banyak dirasakan (Sucahyono, dkk., 2013). Selain itu
26

mikroba memiliki potensi melindungi tanaman selama siklus hidupnya, bahkan

mampu menghasilkan hormon tumbuh (Silva et al., 2004), memfiksasi N (Bai et

al., 2003), melarutkan P (Faccini et al., 2004) sehingga memberi manfaat ganda

bagi tanaman. Bukan hanya meningkatkan pertumbuhan (biofertilizer), beberapa

jenis mikroorganisme tertentu pun dilaporkan mampu untuk mengendalikan

berbagai patogen tanaman (biopesticide) (Sutariati, 2009). Mekanisme interaksi

antara agens hayati dengan tanaman dapat berperan aktif dalam memacu hormon

pertumbuhan tanaman dan menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan

mensekresikan hormon tumbuh IAA dan sitokinin (Paul, 2007).

Spesies Trichoderma adalah cendawan yang hidup bebas dan umumnya

ditemui di ekosistem tanah dan akar. Memiliki kemampuan menghasilkan

antibiotik, menjadi parasit bagi cendawan patogen dan mikroorganisme lain

penyebab penyakit tanaman (Harman et al., 2004). Beberapa strain Trichoderma

dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan dan produktivitas

tanaman (Harman et al., 2006). Cendawan ini dikenal dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman dan berperan sebagai pengendalian hayati dalam tanah

(Chang et al., 1986;. Yedidia et al., 2001, Adams et al., 2007 dikutip Nurahmi

dkk., 2012). Selain itu diketahui Trichoderma pada konsentrasi rendah dapat

berperan sebagai auksin (Nurahmi dkk., 2012). Konsentrasi auksin yang rendah

dapat memicu radikula pada benih (Srivastava, 2002).

Trichoderma merupakan jamur yang menghasilkan kitinase (Ulhoa et al.,

1991 dan Zimand et al., 1994 dikutip Baharudin dan Rubiyo, 2013). Kitinase

merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri (Tsujibo et
27

al., 1992 dikutip Baharudin dan Rubiyo, 2013) dan berperan dalam pemecahan

kitin yang dapat merusak dinding sel jamur patogen (Wijaya, 2002). Komponen

dinding sel jamur patogen adalah enzim ekstraseluler kitin (homopolimer ikatan

β-1,4 dari N-asetilglukosamin) (Yanai et al., 1994). Kitinase yang dihasilkan

Trichoderma dapat mengkatalis dan menghidrolisis ikatan β-1,4, homopolimer N-

asetilglukosamin menjadi monomer N-asetilglukosamin. Enzim kitinase bersifat

enzim ekstraseluler yaitu enzim yang dihasilkan di dalam sel namun dikeluarkan

ke media tumbuh (Wijaya, 2002).

Infeksi jamur patogen dapat merusak pericarp dan membran,

berkurangnya rasio embrio dan endosperma, serta kandungan pati pada saat

imbibisi yang efeknya merusak vigor benih (Wann, 1980; Styer dan Cantliffe,

1983; Parera dan Cantliffe, 1991; Wilson dan Mohan, 1998 dikutip Baharudin dan

Rubiyo, 2013). Aplikasi Trichoderma yang digabungkan dengan

matriconditioning dapat meningkatkan viabilitas dan vigor pada benih kakao

hibrida (Baharudin et al., 2008). Meningkatnya vigor dan viabilitas benih dan

bibit karena baik benih maupun bibit tidak terindikasi mengalami kerusakan atau

kontaminasi patogen (Baharudin dan Rubiyo, 2013).

Beberapa penelitian tentang efektifitas Trichoderma menyatakan bahwa

respons dari aplikasi T. harzianum adalah meningkatnya persentase

perkecambahan, tinggi tanaman, dan bobot kering serta waktu perkecambahan

yang lebih singkat pada tanaman sayuran (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986,

Paulitz et al., 1986 dikutip Nurahmi dkk., 2012) dan lebih awal berbunga serta
28

meningkatkan jumlah kumpulan bunga pada Vinca minor L, dan petunia (Petunia

hybrid Vilm) (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986; Nurahmi dkk., 2012).

Azotobacter merupakan genus bakteri pemfiksasi N nonsimbiosis aerob.

Bakteri pemfiksasi N mengubah N2 menjadi NH4+. Asosiasi antara pemfiksasi N

nonsimbiotis dengan tanaman berguna untuk memberikan unsur N terhadap

tanaman (Widiastuti dkk., 2010). Azotobacter mampu memfiksasi N berkisar 2-15

mg N/g sumber karbon, sebagian besar bakteri Azotobacter dapat mengoksidasi

sekitar 1.000 kg bahan organik untuk memfiksasi N sebanyak 30 kg N/ha (Rao,

1982 dikutip Widiastuti, 2010). Spesies Azotobacter menghasilkan polisakarida

ekstraseluler seperti alginat dan polimer. Alginat pada Azotobacter sp. berguna

untuk melindungi nitrogenase, sehingga meningkatkan fiksasi N (Sabra et al.,

2000).

Azotobacter memiliki kelebihan dibanding dengan bakteri penambat N

nonsimbiotik lainnya karena mampu mensintesis hormon IAA, sintesis IAA pada

bakteri melalui jalur asam indol piruvat. IAA yang disekresikan bakteri akan

memacu pertumbuhan akar dengan menstimulasi pemanjangan atau pembelahan

sel, secara tidak langsung mempengaruhi ACC deaminase. ACC deaminase yang

dihasilkan bakteri tersebut dapat mencegah produksi etilen pada tingkat yang

menghambat pertumbuhan tanaman (Patten dan Glick, 2002). Konsentrasi IAA

berpengaruh pada kemampuan bakteri meningkatkan jumlah benih yang

berkecambah, selain itu IAA dapat meningkatkan biomasa basah akar,

peningkatan perakaran merupakan penanda adanya pengaruh bakteri pemacu

pertumbuhan (Widiastuti, 2010). Tingginya pemanjangan akar primer dan


29

perbanyakan akar lateral, sangat menguntungkan khususnya untuk tanaman muda

karena akar ini dapat meningkatkan serapan hara, air, dan merupakan pendukung

tegaknya tanaman (Patten dan Glick, 2002).

Rao (1982), menyatakan spesies Azotobacter menghasilkan senyawa

thiamin, riblovaflavin, pridoksin, sianokobalamin, nikotin, asam pentotenat, asam

indol asetat, dan giberelin yang berperan dalam perkecambahan benih. Shende et

al. (1977) menambahkan, Azotobacter sebagai pengendali hayati terhadap

penyakit tanaman karena mampu menghasilkan senyawa anti antibiotik, antifungi,

dan membantu perkecambahan benih.

Rhizobium merupakan bakteri yang mampu menyediakan hara untuk

tanaman bersimbiosis dengan tanaman legum dengan menginfeksi akar tanaman

dan membentuk bintil akar di dalamnya, kemudian memfiksasi nitrogen atmosfer.

Rhizobium berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman khususnya dengan

ketersediaan nitrogen bagi tanaman inangnya (Sutanto, 2002). Bakteri Rhizobium

bermanfaat secara langsung dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan

tanaman dengan menghasilkan zat tumbuh (Hoflich et al., 1995 dikutip Hanum,

2010), perbaikan serapan hara (Biswas et al., 2000 dikutip Hanum, 2010), selain

itu simbiosis dengan rhizobium akan menghasilkan IAA (Antoun et al., 1998

dikutip Hanum, 2010).

Pada proses pertumbuhannya kedelai sangat memerlukan nitrogen dalam

jumlah yang cukup, nitrogen diserap tanaman melalui sistem perakaran dan dapat

diserap melalui fiksasi N2 yang dilakukan oleh Rhizobium (Adisarwanto dan

Wudianto, 2008). Nitrogen sangat dibutuhkan tanaman dalam pembentukan


30

senyawa asam amino dalam sintesis protein guna penyusunan protoplasma sel

selama pertumbuhan tanaman. Selain itu nitrogen adalah penyusun senyawa

penting seperti purin, pirimidin, pirifin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

tanaman (Copeland, 1976 dikutip Sopacua, 2014).

Inokulasi Rhizobium yang membentuk bintil akar pada tanaman kedelai

efektif dalam menambat N2 udara (Purwanti, 1997 dikutip Sopacua, 2014).

Rhizobium dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman

dengan cara merubah status secara fisiologis dan morfologis dari akar yang

diinokulasi (Noel et al., 1996; Yanni et al., 1997; Biswas, 2000 dikutip Sopacua,

2014), seperti perpanjangan akar (Arshad dan Frankenberger, 1993; Kumar dan

Narula, 1999 dikutip Anas dan Nigsih, 2004) dan perkembangan akar lateral,

sehingga bermanfaat dalam memperbaiki serapan hara (Sopacua, 2014).


31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih dan Lahan

Ciparanje, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor, Kabupaten

Sumedang, Jawa Barat. Penelitian ini akan dimulai pada bulan April 2015 sampai

dengan Juli 2015.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah benih kedelai

varietas Anjasmoro dengan kualitas benih vigor sedang yaitu berdaya kecambah

72%, kedelai varietas Anjasmoro dengan kualitas vigor rendah yaitu berdaya

kecambah 50% , arang sekam, larutan agens hayati Trichoderma, Azotobacter,

Rhizobium, air. Alat yang digunakan berupa alat pengujian mutu patologis

(kesehatan) seperti kertas saring, cawan petri, alkohol, pinset, dan bunsen dan

LAF. Kemudian peralatan untuk matriconditioning yaitu oven, wadah tempat

mencampur dan merendam benih dan timbangan analitik. Alat-alat pengujian

daya berkecambah, indeks vigor, kecepatan tumbuh, seperti kertas merang,

plastik, tali pelastik. Peralatan untuk uji keserempakan tumbuh yaitu baki

penanaman, dan emrat. Kemudian peralatan untuk uji jumlah nodul, berat kering

akar dan vigor tanaman adalah polybag, sekop, ember pelastik, emrat, oven dan

kertas label.
32

3.3 Rancangan Penelitian

3.3.1 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada percoban di laboratorium

yaitu uji viabilitas dan vigor dengan metode uji kertas digulung plastik

(UKDP). Selain itu menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

pada percobaan di lahan yaitu uji viabilitas dan vigor dengan penanaman

dalam baki tanam dan dalam polybag. Terdiri atas sepuluh kombinasi

perlakuan yaitu antara tingkat kualitas benih yang memiliki tingkat vigor

berbeda dengan kombinasi perlakuan matriconditioning dan agens hayati.

Dilakukan 3 kali ulangan. Setiap perlakuan terdiri dari 3 plot. Sehingga

jumlah seluruhnya didapat 10 x 3 x 3 = 90 plot percobaan.

3.3.2 Rancangan Perlakuan

Rancangan perlakuan yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

A = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Tanpa pemberian


matriconditioning dan agens hayati (kontol).
B = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Matriconditioning
arang sekam.
C = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Biomatriconditioning
arang sekam dengan Trichoderma.
D = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Biomatriconditioning
arang sekam dengan Azotobacter.
E = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Biomatriconditioning
arang sekam dengan Rhizobium.
F = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Tanpa pemberian
matriconditioning dan agens hayati (kontol).
G = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Matriconditioning
arang sekam.
H = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Biomatriconditioning
arang sekam dengan Trichoderma.
33

I = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Biomatriconditioning


arang sekam dengan Azotobacter.
J = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Biomatriconditioning
arang sekam dengan Rhizobium.

Perbandingan benih, arang sekam, dan air atau larutan agens hayati adalah

9:6:7 (b/b/v) yang direndam selama 12 jam (Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan, 2013). Maka dari itu setiap perlakuan memakai 90 gram benih

kedelai, 60 gram arang sekam, dan 70 ml air atau larutan agens hayati.

3.3.3 Rancangan Respon

Pengamatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi

data utama dan data penunjang:

A. Data Utama

1. Daya Berkecambah (DB)

Daya berkecambah merupakan kemampuan benih untuk tumbuh

menjadi tanaman normal yang mampu untuk berproduksi normal pada

keadaan yang optimum (Sadjad, 1993 dikutip Kinayungan, 2009).

Daya berkecambah ini dihitung dalam persen (%). Pengamatan

dilakukan pada hitungan pertama, yaitu 5 hari sampai hitungan

terakhir, yaitu 8 hari setelah tanam. Menurut Sutopo (2002), daya

berkecambah dapat dihitung dengan rumus berikut :

∑ kecambah normal yang dihasilkan


DB ( % )= x 100 %
∑contoh benih yang diuji
34

2. Indeks Vigor (IV)

Indeks Vigor merupakan nilai dari perkecambahan benih yang

dihitung berdasarkan jumlah benih yang berkecambah normal pada

hitungan pertama (5 HST), dengan satuan persen (%). Indeks Vigor

dapat dihitung dengan rumus berikut (Maguire 1962) :

IV ( % )=
∑ benih berkecambah
+…+
∑ benih berkecambah
Hari pertama berkecambah Hari teraktir berkecambah

3. Kecepatan Tumbuh (KCT)

Kecepatan tumbuh dihitung selama periode perkecambahan pada

kondisi optimum yaitu melalui pertambahan kecambah setiap hari

(Sadjad, dkk., 1999). Pengamatan ini dilakukan setiap hari dari 5

sampai 8 hari setelah tanam Kecepatan tumbuh dihitung dalam satuan

persen per etmal (% / etmal).


tn
N
KCT (% / etmal) = ∑
0 t

Keterangan :
N : Persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
t : Waktu pengamatan (1 etmal = 24 jam)
tn : Waktu akhir pegamatan

4. Keserempakan Tumbuh (KST)

Keserempakan tumbuh merupakan tolak ukur parameter vigor

kekuatan tumbuh yang unitnya berupa persentase kecambah yang

tumbuh kuat dengan memperlihatkan keserempakan pada media

pengujian. Dihitung berdasarkan persentase kecambah normal kuat

yang tumbuh secara serempak pada suatu hari perhitungan, yang


35

ditentukan sekitar tengah waktu perhitungan I dan II pada uji daya

berkecambah (DB) (Sadjad, dkk., 1999).

∑ Kecambah normal kuat pada hari ke 6


KST(%) = x 100 %
Total benih yang ditanam

5. Jumlah Nodula Efektif

Nodula dapat diamati pada bagian akar tanaman pada 30 HST. Akar

tanaman kedelai diteliti untuk mengetahui banyaknya jumlah nodula

yang efektif. Nodula yang efektif apabila ditekan akan berwarna

merah muda.

6. Bobot Kering Akar

Akar dipisahkan dari tajuk tanaman dan dibersihkan dari tanah atau

kotoran. Kemudian dikeringkan dengan cara dioven pada suhu 70-

80OC selama 24 jam dan ditimbang. Pengamatan dilakukan pada

tanaman hasil uji jumlah nodula efektif.

7. Vigor Tanaman

Vigor tanaman dapat diamati pada 30 HST, dilihat dari jumlah

tanaman yang tumbuh kuat.

B. Data Penunjang

1. Kesehatan (Mutu Patologis) Benih Kedelai

Berguna untuk melihat efek penghambatan agens hayati terhadap

patogen yang menginfeksi dan mengkontaminasi benih kedelai

(Sutariati, 2009). Tingkat kontaminasi benih (KB) dihiting setiap hari

dengan melihat jumlah pemunculan patogen pada benih dengan rumus:


36

n
KB= ×100 %
N

Keterangan :
n = jumlah benih terinfeksi patogen
N= jumlah total benih yang diamati

3.3.4 Rancangan Analisis

Analisis data percobaan di laboratorium akan dilakukan

berdasarkan model linear aditif Rancangan Acak Lengkap sebagai berikut

(Gaspersz, 2006) :

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :
µ : nilai tengah populasi (population mean)
τi : pengaruh aditif (koefisien regresi parsial) dari perlakuan
ke-i
εij : galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j
dengan εij ~ N (0, σ2)
i : 1, 2, ...
j : 1, 2, ...

Berdasarkan model liniar di atas, maka disusun analisis sidik

ragam rancangan acak lengkap seperti Tabel 1.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Fhit F-tabel
(SK) (DB) (JK) (KT)
Perlakuan KTP / F(α, db-P,
t-1 = 9 JKP KTP
(P) KTG db-G)
Galat (G) t(r-1) = 20 JKG KTG
Total rt – 1 = 29 JKT
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Sumber : Gaspersz, 2006
37

Selain itu analisis data percobaan di lahan akan dilakukan

berdasarkan model linear aditif Rancangan Acak Kelompok (RAK)

sebagai berikut (Gaspersz, 2006) :

Yij = µ + τi + βj + εij

Keterangan :
Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j
µ : nilai tengah populasi (population mean)
τi : pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
βj : pengaruh aditif dari perlakuan ke-j
εij : pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada
kelompok ke-j
i : 1, 2, ...
j : 1, 2, ...

Berdasarkan model liniar di atas, maka disusun analisis sidik

ragam rancangan acak lengkap seperti Tabel 1.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Fhit F-tabel
(SK) (DB) (JK) (KT)
Kelompok KTK / F(α, db-K,
r-1 = 2 JKK KTK
(K) KTG db-G)
Perlakuan KTP / F(α, db-P,
t-1 = 9 JKP KTP
(P) KTG db-G)
(r-1) (t-1)
Galat (G) JKG KTG
= 18
Total rt – 1 = 29 JKT
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Sumber : Gaspersz, 2006

Apabila terdapat perbedaan yang nyata, pengujian dilanjutkan

dengan Uji Scott Knott pada taraf nyata 5% (Gaspersz, 2006).

3.4 Pelaksanaan Percobaan


38

3.4.1 Uji Pendahuluan (Pengujian Daya Kecambah Benih sebelum

diberikan aplikasi matriconditioning)

Benih kedelai yang akan digunakan diuji terlebih dahulu daya

kecambahnya dengan cara uji kertas digulung plastik (UKDP), yaitu

menumbuhkan masing-masing 50 benih kedelai varietas Anjasmoro yang

memiliki tingkat vigor yang berbeda dengan 4 ulangan di atas kertas

merang dalam keadaan lembab dan dilakukan perhitungan pertama pada 5

HST kemudian pada 8 HST. Hitungan kecambah normal pada hari ke-5

dan ke-8 dijumlahkan, dan menghasilkan persentase daya berkecambah.

3.4.2 Persiapan larutan Agens Hayati Trichoderma, Azotobacter,

Rhizobium

Larutan agens hayati Trichoderma, Azotobacter, Rhizobium yang

masing-masing diperlukan sebanyak 700 ml (70 ml untuk setiap

perlakuan) didapat dari Laboratorium Mikrobiologi Tanah Universitas

Padjadjaran, yang sudah siap untuk diaplikasikan.

3.4.3 Persiapan Bahan Matriconditioning

Arang sekam sebagai bahan matriconditioning sebelumnya digerus

dan diayak dengan ayakan berukuran 0.5 mm. Kemudian ditimbang

menggunakan timbangan analitik sebanyak 60 gram untuk setiap

perlakuan.

3.4.4 Perlakuan Benih dengan Matriconditioning dan Agens Hayati


39

Bahan matriconditioning arang sekam yang sudah dihaluskan dan

ditimbang di campur dengan benih dan air. Pencampuran benih, serbuk

arang sekam , air atau larutan agen hayati dilakukan dengan nisbah

perbandingan 9:6:7 (b/b/v) selama 12 jam (Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, 2013). Pada perlakuan kontrol, benih

sebanyak 90 gram tidak dicampur dengan arang sekam dan air atau

larutan agen hayati (perlakuan A dan F). Pada perlakuan

matriconditioning, benih sebanyak 90 gram dicampur dengan arang sekam

sebanyak 60 gram dan air saja sebanyak 70 ml (perlakuan B dan G). Pada

perlakuan biomatriconditioning, benih sebanyak 90 gram dicampur dengan

arang sekam sebanyak 60 gram dan air diganti dengan larutan agen hayati

sebanyak 70 ml (perlakuan B sampai E dan G sampai J). Perendaman

dalam media matriconditioning ini dilakukan pada suhu kamar.

3.4.5 Pengujian Kesehatan (Mutu Patologis) Benih Kedelai

Kemudian setelah itu, sebanyak 25 benih dari setiap perlakuan

dibersihkan dan dikering-anginkan dalam laminar air flow cabinet untuk

pengujian kesehatan. Pengujian ini untuk melihat efek penghambatan

agens hayati terhadap patogen yang menginfeksi dan mengkontaminasi

benih kedelai (Sutariati 2009). Dilakukan dengan cara menaruh 25 benih

kedelai pada masing-masing perlakuan di kertas saring lembab dalam

cawan petri yang berdiameter 9 cm.


40

3.4.6 Pengujian Vigor dan Viabilitas Benih dengan Uji Kertas

digulung Plastik (UKDP)

Setelah di uji mutu patologisnya, benih yang telah diberi perlakuan

kemudian di kecambahkan dengan cara uji kertas digulung plastik

(UKDP). Sebanyak 50 benih untuk setiap perlakuan dikecambahkan dalam

kertas merang, dengan 3 kali ulangan. Dihitung mulai dari hitungan

pertama yaitu 5 HST sampai hitungan terakhir 8 HST. Pengaruh perlakuan

benih terhadap viabilitas dan vigor benih yang diuji dievaluasi dengan

mengamati daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh.

3.4.7 Penanaman di Baki Tanam

Benih yang telah diberi perlakuan kemudian dikecambahkan dalam

bak plastik berukuran 20x15x10 (panjang x lebar x tinggi) berisi tanah

sebagai media perkecambahan. Setiap perlakuan ditanam 25 benih, dengan

3 ulangan. Pengaruh perlakuan benih terhadap viabilitas dan vigor benih

yang diuji dievaluasi dengan mengamati keserempakan tumbuh.

3.4.8 Pemupukan Dasar untuk Penanaman di Lahan dengan

Menggunakan Polybag

Saat awal tanam dilakukan pemupukan dasar dengan Urea, SP-36,

dan KCl. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kedelai yaitu Urea 25 sebanyak

kg/ha, SP-36 sebanyak 100 kg/ha, dan KCl sebanyak 50 kg/ha (Balittanah,

2008) setelah dikonversikan kebutuhan pupuk per tanaman untuk Urea


41

sebanyak 0,2 gram/tanaman, SP-36 sebanyak 0,8 gram/tanaman, KCl

sebanyak 0,4 gram/tanaman. Pemupukan diberikan pada lubang tanah

yang telah dilubangi sedalam 5 cm. Penutupan lubang tanah dilakukan

kembali dengan tanah setebal 5 cm.

3.4.9 Penanaman di Lahan dengan Menggunakan Polybag

Benih yang telah diberi perlakuan ditanam dalam polybag yang

berisi tanah. Setiap perlakuan terdiri dari 3 polybag yang berisi 3 benih,

dengan 3 ulangan. Pengaruh perlakuan benih terhadap viabilitas dan vigor

benih yang diuji dievaluasi dengan mengamati vigor tanaman, jumlah

nodula efektif dan bobot kering akar.

3.4.10 Pemeliharaan Tanaman Kedelai

Satu minggu setelah penanaman di lahan dalam polybag apabila

ada benih kedelai yang tidak tumbuh atau mati dilakukan kegiatan

penyulaman. Kemudian penyiraman dilakukan 3 kali dalam 1 minggu

karena tanaman kedelai sangat membutuhkan air saat perkecambahan (0-5

hari setelah tanam) dan saat stadium awal vegetatif (15-20 hari). Selain itu

dilakukan penyiangan gulma sebanyak dua kali yaitu saat berumur 14-20

hari setelah tanam dan saat tanaman berumur 20-30 hari setelah tanam.

Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma dengan tangan atau kored.

Pemeliharaan selanjutnya yaitu pengendalian hama dan penyakit dengan

cara mekanik.
42

DAFTAR PUSTAKA

Adams, P., De-Leij F.A., and Lynch J.M. 2007. Trichoderma harzianum Rifai
1295-22.

Adisarwanto, T., 2005. Kedelai. Jakarta : Penebar Swadaya.

Adisarwanto, T dan Wudianto, R. 2008. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di


Lahan Sawah Kering-Pasang Surut, Penerbit Penebar Swadaya: Jakarta.

Alvarado and Bradford. 1988. Physiologi of Development and Germination.


Plenum Press. New York. 367p.

Anas, I dan Ningsih, R. D. 2004. Tanggap Tanaman Kedelai terhadap Inokulasi


Rhizobium dan Asam Indol Asetat (IAA) pada Ultisol Darmaga. (Online).
(http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123 456789/35507/1/ 2.5.pdf)

Antoun, H., C. J. Beauchamp., N. Goussard., R. Chabot., R. Lalande. 1998.


Potential of Rhizobium and Bradyrhizobium species as plant growth
promoting rhizobacteria on non legumes: Effect on radishes (Raphanus
sativus L.). Plant and Soil. 204 :57-67.

Arief R. dan Koes F. 2010. Invigorasi Benih. Prosiding Pekan Serealia Nasional.
Hal: 473-477

Astuti, D. 2009. Pengaruh Matriconditioning Plus Minyak Cengkeh terhadap


Viabilitas, Vigor, dan Kesehatan Benih Padi (Oryza sativa) yang Terinfeksi
Alternaria padwickii (Ganguly) M. B. Ellis. Skripsi. Departemen Agronomi
dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. 41 hal

Baharudin, S. Ilyas, M. R. Suhartanto, dan A. Purwantara. 2008. Pengaruh Lama


Penyimpanan dan Perlakuan Benih terhadap Peningkatan Vigor Benih
Kakao Hibrida. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
13 (1): 73-84.

Baharudin dan Rubiyo. 2013. Pengaruh Perlakuan Benih dan Media Tanam
Terhadap Peningkatan Vigor Bibit Kakao Hibrida. Buletin RISTRI 4 (1):
27-28.

Bai Y, Zhou X, Smith DL. 2003. Enhanced soybean plant growth resulting from
coinoculation of Bacillus spp. Strains with Bradyrhizobium japonicum.
Crop Sci 43:1774-1781.
43

Baker, R., Y. Elad and I. Chet. 1984. The Controlled Experiment in The Scientific
Method With Special Emphasis on Biological Control. Phytopathology. 74:
1019-1021.

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Departemen Pertanian. 2012.
Balitkabi Mendorong Sulawesi Selatan Menjadi Produsen Benih Kedelai.
Tersedia Online di
http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id/kilas-litbang/978-balitkabi-
mendorong-sulawesi-selatan-menjadi-produsen-benih-kedelai.pdf. Diakses
pada 13 Januari 2015.

Balittanah. 2008. Rekomendasi Pemupukan Tanaman Kedelai Pada Berbagai Tipe


Penggunaan Lahan. Tersedia di
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/lainnya/
rekomendasi%20kedelai%20terbaru.pdf. Diakses pada 26 Maret 2015.

Benhamou N, Gagne S, Le Quere D, Dehbi L. 2000. Bacterial-mediated induced


resistance in cucumber: beneficial effect of the endophytic bacterium
Serratia plymuthica on the protection against infection by Pythium ultimum.
Phytopathology 90:45-56.

Biswas, J. C., J. K. Ladha., and F. B. Dazzo. 2000. Rhizobia inoculation improves


nutrient uptake and growth of lowland rice. Soil Sci. Soc. Am. J. 64: 1644-
1650.

BPTP Yogyakarta. 2014. Budidaya Kedelai Anjasmoro di Lahan Kering. Tersedia


dihttp://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?
option=com_content&view=article&id=902:budidaya-
kering&catid=14:alsin. Diakses pada 26 Maret 2015.

Carlson, J.B. 1973. Morphology (In Soybean : Improvement, Production and


Uses. B.E. Caldwell et al. Eds) Am. Soc. Agr. No. 16/Agron. Madison,
Wisconsin. p. 17-95.

Chang, Y.C., R. Baker, O. Kleifeld and I. Chet. 1986. Increased Growth of Plants
in Presence of The Biological Control Agent Trichoderma harzianum. Plant
Dis. 70:145-148.

Copeland, L.O., McDonald, M. B., 1985.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman


teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2013. Jakarta

Faccini G, Garzon S, Martines M, Varela A. 2004.Evaluation of the effects of a


dual inoculum of phosphatesolubilizing bacteria and Azotobacter
44

chroococcum, in creolo potato (Papa “Criolla”) (Solanum phureya) var


‘Yema de Huevo’. http:\www.ag.auburn.edu/argentina/pd
fmanuscripts/faccini.pdf (13 januari 2015).

Farooq, M., S.M.A. Basra, A. Wahid. 2006a. Priming of field-sown rice enhances
germination, seedling establishment, allometry and yield. Plant Growth
Regul. 49:285-294 dalam Sucahyono, D., dkk. 2013. Pengaruh Perlakuan
Invigorasi pada Benih Kedelai Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih,
Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 - 132
(2013).

Gaspersz, Vincent. 2006. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan Edisi 1


Cetakan ke 3. Bandung : PT. Tarsito.

Hanum, C. 2010. Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai Yang Diasosiasikan Dengan


Rhizobium Pada Zona Iklim Kering E (Klasifikasi Oldeman). Bionatura-
Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. Vol. 12, No. 3 :176 – 183.

Harman, G. E., Petzoldt R., Comis A., Chen J. 2004. Interaction Between
Trichoderma harzianum Strain T-22 and Maize Inbred Line Mo17 and
Effects of These Interactions on Disease Caused by Phytium Ultimum and
Colletotrichum Graminicola. Phytopathology. 94: 147–153.

Harman, G. E. 2006. Overview of Mechanisms and Uses of Trichoderma


spp.Phytopathology. 96: 190–194.

Harris, D., A. Rashid, P.A. Hollington, L. Jasi, and C. Riches. 2004. Prospects of
improving maize yields with "on-farm seed priming". p. 180–185. In N.P.
Rajbhandari, J.J. Ranson, K. Adhikari, and A.F.E. Palmer (ed.) Sustainable
maize production systems for Nepal. NARC and CIMMYT, Kathmandu,
Nepal.

Hartini, R. 1997. Pengaruh Kondisi Simpan dan Perlakuan Invigorasi Pasca


Penyimpanan terhadap Viabilitas dan Vigor benih Kedelai (Glycine max
(L.) Merill) pada Beberapa Periode Simpan. Skripsi. Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hatfield, J.L. and D.B. Egli. 1974. Effect of temperature and rate of hypocotyl
elongation and field emergence, Crop. Sci 14 : 423-6.

Heydecker. W. 1972. Vigour in Viability of Seeds. Chapter 8. Chapman and Hall


Ltd. Hlm. 448.

Hidayat. O.O. 1977. The inheritance and association of seedsize, fruiting period
and bacterial pustule in soybean. (Glycine max. (L) Merill. Thesis. Miss.
State. Unpublished.
45

Hoflich, G., W. Wiche, C. H. Bucholz. 1995. Rhizosphere colonization of


different crops with growth promoting Peudomonas and Rhizobium bacteria.
Mikrobiol. Res. 150: 139-147.

Howell, R.W. 1963. Physiology of the soybean. In The Soybean, A.G. Worman
Ed. Academic Press, N.Y. London, p. 75-124.

Hymowitz, T. 1970. On the domestication of the soybean. Econ. Bot. 23 : 408-21.

Ilyas S. 2001. Mutu Benih, Makalah dalam Studium Generale Fakultas Pertanian
Universitas Tanjungpura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Ilyas S, Sutariati GAK, Suwarno FC, Sudarsono. 2002. Matriconditioning


improved quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. Seed
Technol. 24:65-75.

Ilyas, S., M. Surahman, R. Saraswati, L. Gunarto, dan T. Adisarwanto. 2003.


Peningkatan Mutu Benih dan Produktivitas Kedelai dengan Teknik
Invigorasi Benih Menggunakan Matriconditioning dan Inokulan Mikroba.
Laporan Hasil Penelitian. PAATP Badan Penelian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian. Tersedia Online di
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/5980. Diakses pada 13 Januari
2015.

Ilyas, S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed


quality. Bul. Agron. 34: 124-132.

Ilyas, Satriyas. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih. Teori dan Hasil-Hasil Penelitian.
Bogor : IPB Pres.

Khan, A. A., H. Miura, J. Prusinski, dan S. Ilyas. 1990. Matriconditioning of Seed


to Improve Emergence. Proceeding of the Symposium on Stand
Establishment of Horticultural Crops. Minnesota. p 19-40.

Khan, A.A., J.D. Maguire, G.S. Abawi dan S. Illas, 1992. Matriconditioning of
vegetable seed to improve stand esta-blishment in early field planting. J.
Amer. Soc. Hort. Sci., 117: 41–7.

Khan, A.A. 1992. Preplant Physiological Seed Conditioning. p. 131-181. In


Janick (Ed.). Hort. Rev Wiley Sons Inc. Newyork.

Koes, F. dan Ramlah, A. 2010. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Terhadap


Viabilitas dan Vigor Benih Jagung. Seminar Nasional Serealia. Hal 548-
555.
46

Lanteri, S., F. Saracco, H.L. Kraak and R. J. Bino. 1994. The effects of priming
on nuclear replication activity and germination of pepper and tomato seeds.
Seed Science Research 4:81-87.

Liu, Y, R.J Bino, W. J. Van der Burg. Groot and Hillhorst. 1996. Effect of
osmotic priming on dormancy and storability of tomato seed. Seeds Science
Research.

Maguire JD. 1962. Speed of germination - aid in selection and evaluation for
seedling emergence and vigor. Crop Science 2: 176-177

Michel, B. E and Kaufmann. 1973. The Osmotic Potential of PEG 6000. Plant
Physiology. 51 :914-916.

Mexal, J., J. T. Fisher, J. Osteryoung and C. P. Patrick reid. 1975. Oxygen


availability in PEG solutions and its implications in plant water relations.
Plant Physiol. 55:20-24.

Moradi A dan O Younesi. 2009. Effects of osmo- and hydro-priming on seed


parameters of grain sorghum (Sorghum Bicolor L.). Australian Journal Of
Basic and Applied Sciences 3(3):1696-1700.

Nurahni, E., Susanna, dan Rina S. 2012. Pengaruh Trichoderma Terhadap


Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Kakao, Tomat, dan Kedelai. J. Floratek 7:
57 - 65

Paul, E. A. 2007. Soil Microbiology, Ecology and Biochemistry. 3rd Edition.


United State of America : Elsivier.

Patten, C.L. and B.R. Glick. 2002. Role of Pseudomonas putida indol acetic acid
in development of the host plant root system. Appl. Environ. Microbiol.
68:3795-3801.

Paulitz, T., M. Windham and R. Baker. 1986. Effect of Peat : Vermiculate Mixes
Containing Trichoderma harzianum on Increased Growth Response of
Radish. J. Am. Soc. Nat. Sci. 111: 810-814.

Purwanti, S. 1997. Usaha Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Hasil Benih


Kacang Hijau (Vigna radiata (L.) Willczek) Dengan Inokulasi Rhizobium
dan Pupuk TSP.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian. 2013. Invigorasi, Alternatif Atasi Penurunan
Mutu Benih Kedelai. Tersedia online di
http://pangan.litbang.pertanian.go.id/berita-99-invigorasi-alternatif-atasi-
penurunan-mutu-benih-kedelai.html. Diakses pada 31 Oktober 2014.
47

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2015. Deskripsi Kedelai


Varietas Anjasmoro. Tersedia online di
http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=varietas/varietas_detail&
komoditas=05025&id=Anjasmoro&pg=1&varietas=1. Diakses pada 18
Maret 2015.

Rachmawati, A. Y. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus Bakterisida


Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri
(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan
Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal.

Rao, S. 1982. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing Co. New
Delhi.

Ricker, P.L. and W.J. Morse. 1948. The correct botanical namr for the soybean. J.
Amer. Soc. Agron. 40 : 190-1.

Ruliansyah, A. 2011. Peningkatan Performansi Benih Kacangan dengan


Perlakuan Invigorasi. J. Perkebunan & Lahan Tropika Vol 1:13-18.

Sabra, A., P. Zeng, H. Lonsdorf, and W.D. Deckwer. 2000. Effect of oxygen on
formation and structure of Azotobacter vinelandii alginate and its role in
producing nitrogenase. Appl. Environ. Microbiol 66:4037-4044.

Sadjad, Sjamsoe’oed. 1977. Penyimpanan Benih-Benih Tanaman Pangan. Latihan


Pola Bertanam di LP3, IRRI. Bogor, hlm. 2-3.

Sadjad, S, E. Murniati, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari
Komparatif Ke Simulatif. PT Grasindo. Jakarta.185 hal.

Shende, S.T., R.G. Apte, and T. Singh. 1977. Influence of Azotobacter on


germination of rice and cotton seeds. Curr. Sci. 46:675-679.

Silva HSA, Romeiro RSR, Macagnan D, Vieira BAH, Pereira MCB, Mounteer A.
2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants: non-
specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control 29:288-
295.

Sopacua, R. A. B. 2014. Pengaruh Inokulasi Bakteri Rhizobium Japanicum


Terhadap Pertumbuhan Kacang Kedelai (Glycine Max L). Biopendix, 1
(1) :48-53.

Srivastava, L. M. 2002. Plant Growth and Development, Hormones and


Environment. Academic Press, Orlando.
48

Sucahyono, D., dkk. 2013. Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih Kedelai
Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan
Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 – 132.

Suryawati, A. dan Abdul. W.R. 2000. Studi Awal Pengaruhi Invigorasi Benih
Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kedelai Varietas Wilis dan
Argomulyo dalam Mengatasi Cekaman Kekeringan. Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Benih BDP, Faperta, IPB. hal.105-110.

Sutariati, G. A. K. 2009. Conditioning Benih Dengan Rizobakteri Untuk


Peningkatkan Mutu Fisiologis dan Patologis Benih Cabai Pratanam. Warta-
Wiptek Vol 17:7-16.

Sutariati, G. A. K. 2009. Peningkatan Mutu Benih Kedelai Melalui Aplikasi


Teknik Invigorasi Benih Plus Agens Hayati. Warta WIPTEK Vol 17(2):57-
65.

Sutariati, G. A. K. dan La, O. S. 2012. Perlakuan Benih dengan Rizobakteri


Meningkatkan Mutu Benih dan Hasil Cabai (Capsicum annuum L.). J.
Agron. Indonesia 40(2):125-131.

Sutariati, G. A. K., Khaeruni, A., dan Guyasa, M. 2011. Analisis Pertumbuhan


Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Varietas Numbu dan Kawali pada
Berbagai Perlakuan Biomatriconditioning Benih. Jurnal Agroteknos
1(2):57-64.

Sutariati, G.A.K., Khaeruni, A., dan Madiki, A. 2011. Bio-Matriconditioning


Benih Dengan Rizobakteri untuk Meningkatkan Mutu Fisiologis Benih
Sorgum (Sorghum bicolor L.). Jurnal Agroteknos 1(1):21-26.

Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC, Khan MR. 2004.
Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in
acidic soils of Assam. Curr Sci 86:978-985.

Tsujibo, H, Y. Yoshida, K. Miyamoto, T. Hasegawa, and Y. Inamori. 1992.


Purification and properties of two types of chitinases produced by
Alkalophilic actinomycete. Bisci. Biotech. Biochem. 56: 1304-1305.

Ulhoa, J. Cirano, and J. F. Peberdy. 1991. Regulation of chitinase synthesis in


Trichoderma harzianum. Journal Gen Mikrobiol. 137: 2163-2170.

Widiastuti, H., Siswanto, dan Suharyanto. 2010. Karakterisasi dan Seleksi


Beberapa Isolat Azotobacter sp. untuk Meningkatkan Perkecambahan Benih
dan Pertumbuhan Tanaman. Buletin Plasma Nutfah Vol.16 No.2 :160-167.
49

Wijaya, S. K. S. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan


Trichoderma harzianum isolation of chitinase from Scleroderma columnare
and Trichoderma harzianum). Fakultas MIPA universitas Jember. Jurnal
Ilmu Dasar 3 (1): 30-35

Yanai, K., Kojima, N. Takaya, H. Horiuchi, and A. Ohta. 1994. Isolation and
characterization of twon chitin synthase genes from Aspergillus nidulans.
Biosci. Biotech. Biochem. 58: 1828-1835.

Yedidia, I., A. K. Srivastva, Y. Kapulnik and I. Chet. 2001. Effect of Trichoderma


harzianum on Microelement Concentrations and Increased Growth of
Cucumber Plants. Plant Soil, 235: 235-242.

Zimans, G., L. Valinsky, Y. Elad, I. Chet, and S. Manulis. 1994. Use of the RAPD
procedure for the identification of Trichoderma strains. Mycol. Res. 98 :
531-534.
50

LAMPIRAN

Lampiran 1. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro

Nama Varietas : Anjasmoro

Kategori : Varietas unggul nasional (released

variety)

SK : 537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal

22 Oktober tahun 2001

Tahun : 2001

Tetua : Seleksi massa dari populasi galur

murni MANSURIA

Potensi Hasil : 2.25-2.03 ton/ha

Pemulia : Takashi Sanbuichi, Nagaaki

Sekiya, Jamaluddin M, Susanto,

Darman M.Arsyad, Muchlish Adie

Nama galur : MANSURIA 395-49-4

Warna hipokotil : Ungu

Warna epikotil : Ungu

Warna daun : Hijau

Warna bulu : Putih

Warna bunga : Ungu

Warna polong masak : Coklat muda

Warna kulit biji : Kuning


51

Warna hilum : Kuning kecoklatan

Tipe pertumbuhan : Determinate

Bentuk daun : Oval

Ukuran daun : Lebar

Perkecambahan : 78-76%

Tinggi tanaman : 64-68 cm

Jumlah cabang : 2.9-5.6

Jumlah buku pada batang utama : 12.9-14.8

Umur berbunga : 35.7-39.4 hari

Umur masak : 82.5-92.5 hari

Berat 100 biji : 14.8-15.3 gram

Kandungan protein : 41.78-42.05%

Kandungan lemak : 17.12-18.60%

Ketahanan terhadap kerebahan : Tahan

Ketahanan terhadap karat daun : Sedang

Ketahanan terhadap pecah polong : Tahan

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2015


52

Lampiran 2. Tata Letak Pot Percobaan di Laboratorium

H I E B C I G D C D
(I) (III) (III) (II) (III) (I) (III) (III) (II) (II)

A A G J H C F A F I
(II) (III) (II) (III) (III) (I) (I) (I) (II) (II)

J B E H E G D J F B
(II) (III) (II) (II) (I) (I) (I) (I) (III) (I)

Keterangan :
A = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Tanpa G= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
pemberian matriconditioning dan agens hayati (kontol). Matriconditioning arang sekam.
B= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + H = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Matriconditioning arang sekam. Biomatriconditioning arang sekam dengan
C= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Trichoderma.
Biomatriconditioning arang sekam dengan I= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Trichoderma. Biomatriconditioning arang sekam dengan Azotobacter.
D = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + J= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang sekam dengan Azotobacter. Biomatriconditioning arang sekam dengan Rhizobium.
E= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + (I) = Ulangan 1
Biomatriconditioning arang sekam dengan Rhizobium. (II) = Ulangan 2
F= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Tanpa (III)= Ulangan 3
pemberian matriconditioning dan agens hayati (kontol).
53

Lampiran 3. Tata Letak Pot Percobaan di Lahan

Keterangan :
Ulangan Ulangan Ulangan A = Benih kedelai bervigor
1 2 3 sedang (DB 72%) + Tanpa
pemberian matriconditioning
dan agens hayati (kontol).
E D H B= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
Matriconditioning arang
C H F sekam.
C= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
J A G Biomatriconditioning arang
sekam dengan Trichoderma.
D = Benih kedelai bervigor
F E I sedang (DB 72%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Azotobacter.
A F E
E= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
A
Biomatriconditioning arang
B J
sekam dengan Rhizobium.
F= Benih kedelai bervigor
B D
rendah (DB 50%) + Tanpa
H
pemberian matriconditioning
dan agens hayati (kontol).
I C J
G= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
D G B Matriconditioning arang
sekam.
H= Benih kedelai bervigor
G I C rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Trichoderma.
I= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Azotobacter.
J= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Rhizobium.
54

Lampiran 4. Perhitungan Dosis Pupuk NPK

Kebutuhan pupuk untuk tanaman kedelai yaitu Urea 25 kg/ha, SP-36 100

kg/ha, dan KCl 50 kg/ha (Balittanah, 2008) dengan jarak tanam 40 x 20 cm

(BPTP Yogyakarta, 2014).

Jumlah populasi/ha = luas 1 ha/jarak tanam


2
10.000 m
= 2
(0.4 x 0.2 m )
= 125.000 tanaman/ha

Kebutuhan pupuk untuk kedelai :

dosis anjuran
Dosis pupuk/tanaman =
( populasi/ha)

1. Urea untuk dosis 25 kg urea/ha


25.000 gram
Kebutuhan urea/tanaman = = 0.2
125.000
gram/tanaman

2. SP-36 untuk dosis 100 kg


100.000 gram
Kebutuhan SP-36/lubang tanam = = 0,8 gram/tanaman
125.000

3. KCl untuk dosis 50 kg/ha


50.000 gram
Kebutuhan KCl/ lubang tanam = = 0,4 gram/tanaman
125.000
55

Anda mungkin juga menyukai