BAB I
PENDAHULUAN
penting di Indonesia yang kaya akan protein dan digunakan untuk memenuhi
2.300.000 ton biji kering tetapi kemampuan produksi dalam negeri hanya
mencapai 851.286 ton. Hal ini menunjukkan bahwa baru 37,01% dari kebutuhan
total yang dapat dipenuhi (ATAP, 2011 dikutip Direktorat Jenderal Tanaman
negeri harus dipenuhi melalui impor. Hingga saat ini sekitar 60% dari
menghasilkan sekitar 2,8 juta ton. Apabila produktivitas sekarang 1,3 ton/ha dapat
ditingkatkan menjadi 1,5 ton/ha, maka diupayakan luas tanam/ panen mencapai 2
juta ha. Berdasarkan kondisi dan angka luas tanam/panen tersebut, maka
diperlukan jumlah benih yang banyak yaitu sekitar 90.000 ton (Balai Penelitian
kedelai perlu untuk dilakukan, hal ini agar ketersediaan benih kedelai dapat
2
memenuhi permintaan dan kebutuhan benih. Benih bermutu merupakan salah satu
kemampuan daya simpan, yaitu daya tumbuh benih hanya tahan selama 3 bulan
(Ruliansyah, 2011).
dapat diketahui bahwa banyak benih kedelai yang dijual di toko-toko penyalur
benih merupakan benih yang telah melewati masa simpan lebih dari 3 bulan dan
disimpan pada kondisi tempat yang tidak baik sehingga menyebabkan penurunan
kurang baik ketika ditanam di lapangan. Hal yang sama diutarakan oleh Ilyas,
dkk. (2003), benih kedelai merupakan benih yang cepat mengalami deteriorasi
baik penurunan viabilitas dan vigor, terutama bila disimpan pada kondisi yang
kurang optimum.
vigor dan viabilitas benih kedelai. Perlu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan
dengan berbagai perlakuan benih pasca panen atau pratanam (Ilyas, 2001 dikutip
Ruliansyah, 2011).
benih yang efeknya dapat terlihat sampai fase vegetatif bahkan dapat juga
3
meningkatkan hasil (Farooq et al., 2006 dikutip Sucahyono, dkk., 2013). Menurut
Khan et al. (1990) dikutip Koes dan Ramlan (2010), untuk memperbaiki
perlakuan hidrasi terkontrol yang dikendalikan oleh media padat lembab dengan
potensial matriks rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan (Khan et al.,
conditioning yang mudah dilakukan dan efektif. Hasil penelitian dari Koes dan
Ramlan (2010) mengemukakan, bahwa benih jagung baik dari lot benih yang baru
dengan abu sekam, serbuk gergaji, dan jerami padi memperlihatkan viabilitas dan
vigor yang lebih tinggi dibanding kontrol. Selain itu Rachmawati (2009)
ataupun nabati pada benih padi dapat meningkatkan mutu fisiologis dan patologis
(Sutariati, 2009).
dari cendawan tular benih dan tular tanah (Ahmad, et al., 2005; Wahid et al.,
2008; Snapp et al., 2008; Moradi dan Younesi, 2009 dikutip Sutariati, dkk.,
agens hayati terbukti efektif dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas
et al., 2002 dikutip Sutariati, 2009). Oleh sebab itu untuk menjawab permasalah
berikut:
2. Apakah ada kombinasi perlakuan terbaik antara tingkat vigor benih dengan
benih kedelai terbaik yang mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih
teknologi benih, khususnya dalam produksi benih kedelai. Dari segi praktis
hayati.
lingkungan, peka terhadap penyakit, dan memberi pengaruh negatif terhadap hasil
adalah mudah rusak atau cepat sekali mengalami deteriorasi, terutama bila
rendah seperti larutan PEG, KNO3, atau larutan garam (Khan et al., 1992).
oleh media padat lembab dengan potensial matriks rendah dan potensial osmotik
yang dapat diabaikan (Koes dan Ramlah, 2011). Banyak hasil penelitian sudah
benih yang lebih baik dibanding perlakuan hidrasi lainnya. Terbukti perlakuan
pada perkecambahan benih cabai (Ilyas, 2006 dikutip Sutariati dan La, 2012).
meningkatkan daya tumbuh serta produksi di lapangan (Khan et al., 1990 dikutip
efektif untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih dengan tolak ukur daya
berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh relatif. Terutama pada benih
ditambah bakterisida baik sintetik ataupun nabati (Agrept 0.2% atau minyak serai
wangi 1%) mampu untuk meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih padi.
nabati (minyak serai wangi 1%) memperlihatkan peningkatan pada peubah vigor
abu sekam, serbuk gergaji, dan jerami padi dengan penggunaan benih jagung
varietas Bima % dan MAL-01 yang masing-masing dari lot benih baru dan yang
sudah disimpan selama 6 bulan terbukti memiliki rata-rata viabilitas dan vigor
(Silva et al., 2004), memfiksasi N (Bai et al., 2003), melarutkan P (Faccini et al.,
Rhizobium.
dapat merusak dinding sel jamur patogen (Wijaya, 2002). Selain itu dapat
meningkatkan vigor dan viabilitas benih dan bibit karena baik benih maupun bibit
yang lebih singkat pada tanaman sayuran (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986,
indol asetat, dan giberelin yang berperan dalam perkecambahan benih (Rao,
Bakteri lainnya adalah Rhizobium yang dapat membentuk bintil akar pada
menghasilkan zat tumbuh (Hoflich et al., 1995 dikutip Hanum, 2010), perbaikan
serapan hara (Biswas et al., 2000 dikutip Hanum, 2010), selain itu simbiosis
dengan rhizobium akan menghasilkan IAA (Antoun et al., 1998 dikutip Hanum,
mikroba atau agens hayati. Integrasi matriconditioning ini dengan agens hayati
meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas et al., 2002). Menurut Baharudin
juga dapat mengurangi serangan jamur patogen terbawa benih dan tentunya
berkecambah yang lebih tinggi yaitu 82% dan 81% dibandingkan kontrol yang
hanya 41%. Kecepatan tumbuh relatifnya pun yaitu 10,30% dan 10,73% berbeda
nyata dengan kontrol 5.59%. Selain itu secara nyata dapat meningkatkan indeks
vigor benih cabai, yaitu 48% dan 46% dibanding kontrol 26%.
Hasil penelitian lainnya dari Sutariati (2009), untuk benih kedelai terlihat
arang sekam yang diintegrasikan dengan agens hayati Setaria liquefacien SG01
berkecambah sebesar 90-95% berbeda nyata dengan kontrol 66,67%. Selain itu
perkecambahan kedelai (T50) yaitu 1,51 hari dibanding kontrol dengan hasil 2,06
hari. Kemudian dari data yang ada, rata-rata tampak terjadi peningkatan pada
kontrol pada tolak ukur kecepatan tumbuh relatif (KCT-R), keserempakan tumbuh
dengan media arang sekam dan penambahan agens hayati Rhizobium pada benih
(b/b/v). Kemudian ditambahkan agens hayati dalam bentuk pupuk hayati yang
11
matriconditioning dengan dosis 6.25 g/kg benih dicampur dan diinkubasikan pada
suhu ruang selama 12 jam. Dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai
mencapai 10% dibandingkan kontrol. Tidak hanya sebatas pada viabilitas, tetapi
hayati (28.23% etmal-1) nyata lebih baik dibandingkan kontrol (20.82% etmal-1).
merupakan solusi untuk peningkatan viabilitas dan vigor benih kedelai yang
mengalami deteriorasi.
1.6 Hipotesis
2. Ada kombinasi perlakuan terbaik antara tingkat vigor benih dengan perlakuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Morse, 1948 dikutip Hidajat, 1985). G. max merupakan sub genus soja. G. soja
yang merupakan kedelai liar dengan ciri tanaman semusim yang merambat, daun
bertangkai tiga, daun kecil dan sempit, bunga berwarna ungu, biji berukuran kecil
dan keras, berbentuk agak bundar, serta berwarna hitam atau coklat tua
(Hymowitz, 1970 dikutip Hidajat, 1985). G. Max diperkirakan berasal dari G. soja
(Hidajat, 1985).
semak rendah dan berdaun lebat. Tinggi tanaman berkisar antara 10 sampai 200
cm, jumlah cabang kedelai bergantung pada kultivar dan lingkungan hidupnya.
Daun pertama yang keluar dari buku sebelah atas kotiledon berupa daun tunggal,
Pertumbuhan batang dibedakan dalam tiga tipe yaitu tipe diterminat, tipe
bergantung pada tipe tumbuh, pada tiap ketiak daun terdapat 5 – 35 bunga. Polong
matang berisi 1 – 5 biji (Hidayat, 1977 dikutip Hidajat, 1985). Batang polong dan
daun biasanya ditumbuhi bulu berwarna abu-abu atau coklat, namun ada juga
13
tanaman yang tidak berbulu (Hidajat, 1985). Klasifikasi Glycine Max (L). Merill
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminoseae
Genus : Glycine
(Adisarwanto, 2005)
dapat berbentuk bulat, agak gepeng, atau bulat telur, namun sebagian besar
kultivar berbentuk bulat telur. Bobot dan besar dari benih kedelai beragam, bobot
100 butir bervariasi antara 5-30 gram. Umumnya kultivar kedelai yang ditanam di
Indonesia bobot 100 bijinya 7-14 gram. Kelompok bobot 100 butir kedelai adalah
sebagai berikut: (a) kedelai berbenih kecil dengan bobot 100 butir antara 7-10
gram, (b) kedelai berbenih sedang dengan bobot 100 butir antara 11-13 gram, (c)
kedelai berbenih besar dengan bobot 100 butir lebih dari 13 gram (Carlson, 1973).
Benih kedelai terdiri dari 2 bagian yaitu testa (kulit benih) dan embrio
(janin). Testa berfungsi untuk melindungi embrio. Pada testa terdapat hilum
(pusar) yang berwarna hitam, coklat, atau putih. Pada ujung hilum terdapat lubang
kecil (mikrofil) yang terbentuk saat pembentukan benih (Carlson, 1973). Testa
terdiri atas 3 lapisan sel yaitu epidermis, hipodermis, dan parenkima (Hidajat,
14
1985). Warna kulit benih dapat bervariasi yaitu kuning, hijau, coklat, hitam, atau
dalam lapisan palisade dari epidermis (Carlson, 1973). Embrio terdiri dari 2
kotiledon, plumula, dan poros hipokotil sebagai batang untuk bakal akar.
Kotiledon dapat berwarna kuning atau hijau, merupakan bagian yang terbesar
berisi cadangan makanan yang hampir seluruhnya terdiri dari lemak dan protein
yang berguna bagi pertumbuhan awal tanaman. Plumula terdiri dari 2 daun
sederhana dan titik tumbuh, sedangkan poros hipokotil yang merupakan bagian
Benih kedelai yang ditempatkan pada kondisi yang lembab akan memiliki
berat menjadi dua kali lipat karena akan menyerap cukup banyak air. Namun, ada
genotipa kedelai liar yang memiliki biji keras merupakan benih kedelai yang
lambat dalam meyerap air. Umumnya kedelai liar yang lamban dalam menyerap
air disebabkan tebalnya kulit biji. Selain itu, terdapat dugaan bahwa garis cerah
(light line) yang terdapat pada lapisan epidermis genotipa kedelai liar tersebut
merupakan penyebab dari sifat biji keras (Hatfield dan Egli, 1974; Howell, 1963).
Pada kondisi yang cukup lembab, bakal akar akan tumbuh keluar setelah
satu atau dua hari melalui belahan kulit benih di sekitar mikrofil. Bakal akar
pertumbuhan cepat dari hipikotil. Lekukan pada bagian atas hipokotil mencapai
permukaan tanah terlebih dahulu dan menarik kotiledon keatas keluar dari dalam
Setelah kotiledon keluar dari tanah, maka kedua lembar daun primer terbuka 2-3
muda ini ada setelah 4-5 hari setelah benih ditanam. Suhu tanah optimum untuk
perkecambahan ialah 25-30OC, apabila di atas 40OC benih kedelai tidak akan
kondisi optimum (Ilyas, 2012). Viabilitas benih menunjukkan daya hidup benih,
aktif secara metabolis, dan memiliki enzim untuk mengatalisis reaksi metabolis
1985).
tumbuh normal menjadi tanaman yang dapat berproduksi wajar dalam keadaan
embrio secara langsung ataupun secara tidak langsung dengan cara hanya melihat
murni pada kondisi yang menguntungkan dalam jangka waktu yang sudah
ditetapkan.
kecambah normal dan kecambah abnormal, dan (c) lama pengujian harus dalam
jangka waktu yang telah ditentukan, serta (d) pertumbuhan dan perkembangan
yang memiliki kemampuan tumbuh menjadi tanaman normal dan kuat pada
pada uji viabilitas benih khususnya uji perkecambahan adalah: (a) alat
pengecambah benih yang dapat diatur untuk untuk memiliki kondisi lingkungan
temperatur tidak lebih dari 1OC pada setiap periode 24 jam, cahaya yang baik
perkecambahan. Cahaya putih lebih efektif dari cahaya harian atau cahaya pijar.
rata 750-1250 lux. Benih yang tidak mengalami dormansi hanya membutuhkan
250 lux, dan (c) Kemampuan evaluasi kecambah normal, abnormal, atau mati,
serta (d) substrat perkecambahan baik kertas, pasir, dan tanah. Pada medium tanah
dipilih yang tidak menggumpal dan steril, apabila menggunakan tanah liat harus
atas aktivitas dan kinerja benih atau bibit selama pengecambahan dan munculnya
bibit (Perry, 1978 dikutip Copeland dan McDonald, 1985). Aspek-aspek dari
18
kinerja benih tersebut diantaranya: (1) proses biokimia dan reaksi selama
pengecambahan seperti reaksi enzim dan aktivitas respirasi, (2) tingkat dan
keseragaman munculnya bibit dan pertumbuhan dalam satu bidang lahan, dan (4)
menentukan potensi pemunculan kecambah yang cepat, seragam, dan normal pada
keadaan lapang yang bervariasi (Ilyas, 2012). Informasi daya kecambah benih
kekurangan dalam uji daya berkecambah yang kaitannya dalam mutu fisiologis
benih sudah dikembangkan yaitu uji vigor benih (Ilyas, 2012). Uji vigor ini untuk
mendapatkan informasi yang lebih teliti (Heydecker, 1972). Idealnya semua benih
harus memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi sehingga dapat ditanam dalam
kondisi lapang yang bermacam-macam dan tetap tumbuh sehat, kuat, serta
kekuatan tumbuh dan daya simpan benih, kedua penilaian ini sebagai indikator
kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman normal meskipun pada kondisi
19
periode simpan yang lama. Tanaman dengan tingkat vigor yang tinggi dapat
dilihat dari performansi fenotipik kecambah atau bibitnya, yang selanjutnya dapat
oleh berbagai faktor yaitu lingkungan tumbuh di lapang yaitu tempat benih
diproduksi, proses dan cara benih dikeringkan, dibersihkan, disortir, dan dikemas
diunit pengolahan benih (seed processing), cara dan kondisi tempat penyimpanan
Vigor dibagi menjadi dua, yaitu vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor
genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda. Vigor fisiologi
adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama, dapat dilihat
serangan penyakit, dan warna kotiledon dalam efeknya terhadap tetrazolium test.
Vigor benih mencerminkan vigor kecambah, vigor bibit, dan vigor tanaman.
Vigor benih harus berkorelasi dengan tingkat produksi, artinya dari benih yang
bervigor tinggi akan dapat dicapai tingkat produksi yang tinggi (Sadjad, 1977).
Ciri benih yang bervigor tinggi adalah: (a) tahan disimpan lama, (b) tahan
terhadap serangan hama dan penyakit, (c) tumbuh dengan cepat dan merata, (d)
lingkaran hidup tanaman maka umumnya uji vigor hanya sampai pada tahapan
20
bibit. Maka dari itu digunakan kaidah korelasi, contohnya dengan mengukur
Beberapa hal yang dapat menyebabkan rendahnya vigor benih adalah sebagai
berikut: (a) Genetis, ada beberapa kultivar tertentu yang lebih peka terhadap
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau tidak mampu tumbuh cepat
dibanding kultivar lain. (b) Fisiologis, kondisi ini disebabkan oleh immaturity atau
saat benih dipanen kurang matang dan deteriorasi selama penyimpanan. (c)
kekuatan tumbuh. Biasanya benih yang berukuran kecil menghasilkan bibit yang
kurang memiliki kekuatan tumbuh dibandingkan dengan benih yang besar. (d)
Sitologis, kemunduran benih yang disebabkan antara lain oleh aberasi kromosom.
(e) Mekanis, biasanya saat panen, prosesing, atau penyimpanan terjadi kerusakan
mekanis yang mengakibatkan rendahnya vigor pada benih. (f) Mikroba, seperti
cendawan atau bakteri terbawa benih akan berbahaya pada kondisi penyimpanan
genetik benih; lingkungan dan nutrisi tanaman inang; tahap kematangan pada
panen; ukuran benih, berat, dan spesifik gravitasi; kerusakan dan penuaan; serta
daya kecambah benih, viabilitas benih, dan vigor benih dalam suatu hubungan.
Periode hidup benih dibagi menjadi 3 bagian, mulai dari antesis sampai mati
(Gambar 1). Pada periode I daya kecambah benih sudah maksimum (garis 3), hal
yang sama ditunjukkan oleh viabilitas benih (garis 1). Sedangkan vigor benih baru
mencapai maksimum pada akhir periode I (garis 2). Saat itulah dinamakan masak
fisiologis. Selama periode II garis vigor dan daya berkecambah berimpit, garis
viabilitas menurun secara lurus dengan waktu. Pada periode III keadaan viabilitas
sudah rendah dan dalam waktu pendek daya berkecambah serta vigor juga
menurun.
karena benih langsung memasuki periode III yang kritis. Kemunduran benih ini
22
merupakan proses yang tak dapat balik dari kualitas suatu benih. Panen,
kemunduran fisiologis dari benih yang sudah mencapai vigor maksimum pada
(Arief dan Koes, 2010). Khan et al. (1992) menyatakan bahwa invigorasi benih
dan meningkatkan laju pertumbuhan kecambah (Arief dan Koes, 2010). Invigorasi
tanaman dan pada tanaman lainnya dapat mengatasi defisiensi beberapa unsur
hara mikro (Harris et al., 2004). Pada perlakuan priming, peristiwa fisiologis dan
osmotik yang rendah dan potensial matriks yang sesuai dari media yang
terimbibisi. Keseimbangan potensial air antara benih dan media osmotik dapat
padatan, benih, dan air untuk mengatur air, oksigen, dan suhu, berpengaruh
media imbibisi berpotensial osmotik rendah seperti larutan PEG, KNO 3, atau
larutan garam (Khan et al., 1992). Osmoconditioning ini sudah dicoba pada
beberapa benih seperti benih tomat, cabai, dan kedelai dan menunjukkan
keberhasilan (Suryawati dkk., 2000). Benih tomat yang diberi laturan PEG
terbukti meningkat perkecambahan benihnya (Liu et al., 1996). Hal yang sama
didapat oleh Lanteri et al. (1994) yang menggunakan larutan PEG -1.1, -1.3, dan -
1.5 MPa yang setara dengan konsentrasi PEG ± 30% (Mexal et al., 1975) pada
priming benih tomat dan cabe. Michel dan Kaufman (1973), menyatakan larutan
24
dan bibit selama awal penanaman, atau dapat memperbaiki status unsur hara,
menggunakan media padat lembab dengan atau tanpa asam giberelat pada benih
cabai dan kacang panjang akan memperbaiki mutu benih (Ilyas, 2012). Bahkan
dan Ilyas 1995; Ilyas dan Suartini 1997 dikutip Ilyas, 2012). Selain itu
viabilitas dan vigor benih kedelai setelah disimpan selama 24 minggu (Hartini,
1997). Masih pada benih kedelai penelitian yang dilakukan oleh Ilyas et al.
Menurut Khan et al. (1990) dikutip Koes dan Ramlah (2010), syarat media
yang tinggi dan potensial osmotik yang dapat diabaikan, (b) kelarutan dalam air
rendah dan dapat utuh selama proses matriconditioning, (c) merupakan bahan
kimia inert dan tidak beracun, (d) memiliki kapasitas daya pegang air yang cukup
tinggi, (e) memiliki kemampuan aerasi yang tinggi, mampu untuk kering dan
bebas dari serbuk, (f) memiliki permukaan yang cukup luas, (g) kerapatan ruang
yang besar dan kerapatan isi yang rendah, (h) mampu menempel pada permukaan
dapat diperoleh dari serbuk gergaji, pasir, abu sekam padi, abu sekam, dan
meningkatkan viabilitas dan vigor benih sebelum tanam dan melindungi benih
dari cendawan tular benih dan tular tanah (Moradi dan Younesi, 2009 dikutip
juga dapat mengurangi serangan jamur patogen terbawa benih dan tentunya
tanaman dan hal ini telah banyak dirasakan (Sucahyono, dkk., 2013). Selain itu
26
al., 2003), melarutkan P (Faccini et al., 2004) sehingga memberi manfaat ganda
antara agens hayati dengan tanaman dapat berperan aktif dalam memacu hormon
(Chang et al., 1986;. Yedidia et al., 2001, Adams et al., 2007 dikutip Nurahmi
dkk., 2012). Selain itu diketahui Trichoderma pada konsentrasi rendah dapat
berperan sebagai auksin (Nurahmi dkk., 2012). Konsentrasi auksin yang rendah
1991 dan Zimand et al., 1994 dikutip Baharudin dan Rubiyo, 2013). Kitinase
merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri (Tsujibo et
27
al., 1992 dikutip Baharudin dan Rubiyo, 2013) dan berperan dalam pemecahan
kitin yang dapat merusak dinding sel jamur patogen (Wijaya, 2002). Komponen
dinding sel jamur patogen adalah enzim ekstraseluler kitin (homopolimer ikatan
enzim ekstraseluler yaitu enzim yang dihasilkan di dalam sel namun dikeluarkan
berkurangnya rasio embrio dan endosperma, serta kandungan pati pada saat
imbibisi yang efeknya merusak vigor benih (Wann, 1980; Styer dan Cantliffe,
1983; Parera dan Cantliffe, 1991; Wilson dan Mohan, 1998 dikutip Baharudin dan
hibrida (Baharudin et al., 2008). Meningkatnya vigor dan viabilitas benih dan
bibit karena baik benih maupun bibit tidak terindikasi mengalami kerusakan atau
yang lebih singkat pada tanaman sayuran (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986,
Paulitz et al., 1986 dikutip Nurahmi dkk., 2012) dan lebih awal berbunga serta
28
meningkatkan jumlah kumpulan bunga pada Vinca minor L, dan petunia (Petunia
hybrid Vilm) (Baker et al., 1984; Chang et al., 1986; Nurahmi dkk., 2012).
ekstraseluler seperti alginat dan polimer. Alginat pada Azotobacter sp. berguna
2000).
nonsimbiotik lainnya karena mampu mensintesis hormon IAA, sintesis IAA pada
bakteri melalui jalur asam indol piruvat. IAA yang disekresikan bakteri akan
sel, secara tidak langsung mempengaruhi ACC deaminase. ACC deaminase yang
dihasilkan bakteri tersebut dapat mencegah produksi etilen pada tingkat yang
karena akar ini dapat meningkatkan serapan hara, air, dan merupakan pendukung
indol asetat, dan giberelin yang berperan dalam perkecambahan benih. Shende et
tanaman dengan menghasilkan zat tumbuh (Hoflich et al., 1995 dikutip Hanum,
2010), perbaikan serapan hara (Biswas et al., 2000 dikutip Hanum, 2010), selain
itu simbiosis dengan rhizobium akan menghasilkan IAA (Antoun et al., 1998
jumlah yang cukup, nitrogen diserap tanaman melalui sistem perakaran dan dapat
senyawa asam amino dalam sintesis protein guna penyusunan protoplasma sel
dengan cara merubah status secara fisiologis dan morfologis dari akar yang
diinokulasi (Noel et al., 1996; Yanni et al., 1997; Biswas, 2000 dikutip Sopacua,
2014), seperti perpanjangan akar (Arshad dan Frankenberger, 1993; Kumar dan
Narula, 1999 dikutip Anas dan Nigsih, 2004) dan perkembangan akar lateral,
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Sumedang, Jawa Barat. Penelitian ini akan dimulai pada bulan April 2015 sampai
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah benih kedelai
varietas Anjasmoro dengan kualitas benih vigor sedang yaitu berdaya kecambah
72%, kedelai varietas Anjasmoro dengan kualitas vigor rendah yaitu berdaya
Rhizobium, air. Alat yang digunakan berupa alat pengujian mutu patologis
(kesehatan) seperti kertas saring, cawan petri, alkohol, pinset, dan bunsen dan
plastik, tali pelastik. Peralatan untuk uji keserempakan tumbuh yaitu baki
penanaman, dan emrat. Kemudian peralatan untuk uji jumlah nodul, berat kering
akar dan vigor tanaman adalah polybag, sekop, ember pelastik, emrat, oven dan
kertas label.
32
yaitu uji viabilitas dan vigor dengan metode uji kertas digulung plastik
pada percobaan di lahan yaitu uji viabilitas dan vigor dengan penanaman
dalam baki tanam dan dalam polybag. Terdiri atas sepuluh kombinasi
perlakuan yaitu antara tingkat kualitas benih yang memiliki tingkat vigor
Perbandingan benih, arang sekam, dan air atau larutan agens hayati adalah
9:6:7 (b/b/v) yang direndam selama 12 jam (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, 2013). Maka dari itu setiap perlakuan memakai 90 gram benih
kedelai, 60 gram arang sekam, dan 70 ml air atau larutan agens hayati.
A. Data Utama
IV ( % )=
∑ benih berkecambah
+…+
∑ benih berkecambah
Hari pertama berkecambah Hari teraktir berkecambah
Keterangan :
N : Persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
t : Waktu pengamatan (1 etmal = 24 jam)
tn : Waktu akhir pegamatan
Nodula dapat diamati pada bagian akar tanaman pada 30 HST. Akar
merah muda.
Akar dipisahkan dari tajuk tanaman dan dibersihkan dari tanah atau
7. Vigor Tanaman
B. Data Penunjang
n
KB= ×100 %
N
Keterangan :
n = jumlah benih terinfeksi patogen
N= jumlah total benih yang diamati
(Gaspersz, 2006) :
Yij = µ + τi + εij
Keterangan :
µ : nilai tengah populasi (population mean)
τi : pengaruh aditif (koefisien regresi parsial) dari perlakuan
ke-i
εij : galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j
dengan εij ~ N (0, σ2)
i : 1, 2, ...
j : 1, 2, ...
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j
µ : nilai tengah populasi (population mean)
τi : pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
βj : pengaruh aditif dari perlakuan ke-j
εij : pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada
kelompok ke-j
i : 1, 2, ...
j : 1, 2, ...
HST kemudian pada 8 HST. Hitungan kecambah normal pada hari ke-5
Rhizobium
perlakuan.
arang sekam , air atau larutan agen hayati dilakukan dengan nisbah
sebanyak 90 gram tidak dicampur dengan arang sekam dan air atau
sebanyak 60 gram dan air saja sebanyak 70 ml (perlakuan B dan G). Pada
arang sekam sebanyak 60 gram dan air diganti dengan larutan agen hayati
benih terhadap viabilitas dan vigor benih yang diuji dievaluasi dengan
Menggunakan Polybag
dan KCl. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kedelai yaitu Urea 25 sebanyak
kg/ha, SP-36 sebanyak 100 kg/ha, dan KCl sebanyak 50 kg/ha (Balittanah,
berisi tanah. Setiap perlakuan terdiri dari 3 polybag yang berisi 3 benih,
ada benih kedelai yang tidak tumbuh atau mati dilakukan kegiatan
hari setelah tanam) dan saat stadium awal vegetatif (15-20 hari). Selain itu
dilakukan penyiangan gulma sebanyak dua kali yaitu saat berumur 14-20
hari setelah tanam dan saat tanaman berumur 20-30 hari setelah tanam.
cara mekanik.
42
DAFTAR PUSTAKA
Adams, P., De-Leij F.A., and Lynch J.M. 2007. Trichoderma harzianum Rifai
1295-22.
Arief R. dan Koes F. 2010. Invigorasi Benih. Prosiding Pekan Serealia Nasional.
Hal: 473-477
Baharudin dan Rubiyo. 2013. Pengaruh Perlakuan Benih dan Media Tanam
Terhadap Peningkatan Vigor Bibit Kakao Hibrida. Buletin RISTRI 4 (1):
27-28.
Bai Y, Zhou X, Smith DL. 2003. Enhanced soybean plant growth resulting from
coinoculation of Bacillus spp. Strains with Bradyrhizobium japonicum.
Crop Sci 43:1774-1781.
43
Baker, R., Y. Elad and I. Chet. 1984. The Controlled Experiment in The Scientific
Method With Special Emphasis on Biological Control. Phytopathology. 74:
1019-1021.
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Departemen Pertanian. 2012.
Balitkabi Mendorong Sulawesi Selatan Menjadi Produsen Benih Kedelai.
Tersedia Online di
http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id/kilas-litbang/978-balitkabi-
mendorong-sulawesi-selatan-menjadi-produsen-benih-kedelai.pdf. Diakses
pada 13 Januari 2015.
Chang, Y.C., R. Baker, O. Kleifeld and I. Chet. 1986. Increased Growth of Plants
in Presence of The Biological Control Agent Trichoderma harzianum. Plant
Dis. 70:145-148.
Farooq, M., S.M.A. Basra, A. Wahid. 2006a. Priming of field-sown rice enhances
germination, seedling establishment, allometry and yield. Plant Growth
Regul. 49:285-294 dalam Sucahyono, D., dkk. 2013. Pengaruh Perlakuan
Invigorasi pada Benih Kedelai Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih,
Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 - 132
(2013).
Harman, G. E., Petzoldt R., Comis A., Chen J. 2004. Interaction Between
Trichoderma harzianum Strain T-22 and Maize Inbred Line Mo17 and
Effects of These Interactions on Disease Caused by Phytium Ultimum and
Colletotrichum Graminicola. Phytopathology. 94: 147–153.
Harris, D., A. Rashid, P.A. Hollington, L. Jasi, and C. Riches. 2004. Prospects of
improving maize yields with "on-farm seed priming". p. 180–185. In N.P.
Rajbhandari, J.J. Ranson, K. Adhikari, and A.F.E. Palmer (ed.) Sustainable
maize production systems for Nepal. NARC and CIMMYT, Kathmandu,
Nepal.
Hatfield, J.L. and D.B. Egli. 1974. Effect of temperature and rate of hypocotyl
elongation and field emergence, Crop. Sci 14 : 423-6.
Hidayat. O.O. 1977. The inheritance and association of seedsize, fruiting period
and bacterial pustule in soybean. (Glycine max. (L) Merill. Thesis. Miss.
State. Unpublished.
45
Howell, R.W. 1963. Physiology of the soybean. In The Soybean, A.G. Worman
Ed. Academic Press, N.Y. London, p. 75-124.
Ilyas S. 2001. Mutu Benih, Makalah dalam Studium Generale Fakultas Pertanian
Universitas Tanjungpura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Ilyas, Satriyas. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih. Teori dan Hasil-Hasil Penelitian.
Bogor : IPB Pres.
Khan, A.A., J.D. Maguire, G.S. Abawi dan S. Illas, 1992. Matriconditioning of
vegetable seed to improve stand esta-blishment in early field planting. J.
Amer. Soc. Hort. Sci., 117: 41–7.
Lanteri, S., F. Saracco, H.L. Kraak and R. J. Bino. 1994. The effects of priming
on nuclear replication activity and germination of pepper and tomato seeds.
Seed Science Research 4:81-87.
Liu, Y, R.J Bino, W. J. Van der Burg. Groot and Hillhorst. 1996. Effect of
osmotic priming on dormancy and storability of tomato seed. Seeds Science
Research.
Maguire JD. 1962. Speed of germination - aid in selection and evaluation for
seedling emergence and vigor. Crop Science 2: 176-177
Michel, B. E and Kaufmann. 1973. The Osmotic Potential of PEG 6000. Plant
Physiology. 51 :914-916.
Patten, C.L. and B.R. Glick. 2002. Role of Pseudomonas putida indol acetic acid
in development of the host plant root system. Appl. Environ. Microbiol.
68:3795-3801.
Paulitz, T., M. Windham and R. Baker. 1986. Effect of Peat : Vermiculate Mixes
Containing Trichoderma harzianum on Increased Growth Response of
Radish. J. Am. Soc. Nat. Sci. 111: 810-814.
Rao, S. 1982. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing Co. New
Delhi.
Ricker, P.L. and W.J. Morse. 1948. The correct botanical namr for the soybean. J.
Amer. Soc. Agron. 40 : 190-1.
Sabra, A., P. Zeng, H. Lonsdorf, and W.D. Deckwer. 2000. Effect of oxygen on
formation and structure of Azotobacter vinelandii alginate and its role in
producing nitrogenase. Appl. Environ. Microbiol 66:4037-4044.
Sadjad, S, E. Murniati, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari
Komparatif Ke Simulatif. PT Grasindo. Jakarta.185 hal.
Silva HSA, Romeiro RSR, Macagnan D, Vieira BAH, Pereira MCB, Mounteer A.
2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants: non-
specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control 29:288-
295.
Sucahyono, D., dkk. 2013. Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih Kedelai
Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan
Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 – 132.
Suryawati, A. dan Abdul. W.R. 2000. Studi Awal Pengaruhi Invigorasi Benih
Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kedelai Varietas Wilis dan
Argomulyo dalam Mengatasi Cekaman Kekeringan. Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Benih BDP, Faperta, IPB. hal.105-110.
Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC, Khan MR. 2004.
Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in
acidic soils of Assam. Curr Sci 86:978-985.
Yanai, K., Kojima, N. Takaya, H. Horiuchi, and A. Ohta. 1994. Isolation and
characterization of twon chitin synthase genes from Aspergillus nidulans.
Biosci. Biotech. Biochem. 58: 1828-1835.
Zimans, G., L. Valinsky, Y. Elad, I. Chet, and S. Manulis. 1994. Use of the RAPD
procedure for the identification of Trichoderma strains. Mycol. Res. 98 :
531-534.
50
LAMPIRAN
variety)
SK : 537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal
Tahun : 2001
murni MANSURIA
Perkecambahan : 78-76%
H I E B C I G D C D
(I) (III) (III) (II) (III) (I) (III) (III) (II) (II)
A A G J H C F A F I
(II) (III) (II) (III) (III) (I) (I) (I) (II) (II)
J B E H E G D J F B
(II) (III) (II) (II) (I) (I) (I) (I) (III) (I)
Keterangan :
A = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Tanpa G= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
pemberian matriconditioning dan agens hayati (kontol). Matriconditioning arang sekam.
B= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + H = Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Matriconditioning arang sekam. Biomatriconditioning arang sekam dengan
C= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + Trichoderma.
Biomatriconditioning arang sekam dengan I= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Trichoderma. Biomatriconditioning arang sekam dengan Azotobacter.
D = Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + J= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang sekam dengan Azotobacter. Biomatriconditioning arang sekam dengan Rhizobium.
E= Benih kedelai bervigor sedang (DB 72%) + (I) = Ulangan 1
Biomatriconditioning arang sekam dengan Rhizobium. (II) = Ulangan 2
F= Benih kedelai bervigor rendah (DB 50%) + Tanpa (III)= Ulangan 3
pemberian matriconditioning dan agens hayati (kontol).
53
Keterangan :
Ulangan Ulangan Ulangan A = Benih kedelai bervigor
1 2 3 sedang (DB 72%) + Tanpa
pemberian matriconditioning
dan agens hayati (kontol).
E D H B= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
Matriconditioning arang
C H F sekam.
C= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
J A G Biomatriconditioning arang
sekam dengan Trichoderma.
D = Benih kedelai bervigor
F E I sedang (DB 72%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Azotobacter.
A F E
E= Benih kedelai bervigor
sedang (DB 72%) +
A
Biomatriconditioning arang
B J
sekam dengan Rhizobium.
F= Benih kedelai bervigor
B D
rendah (DB 50%) + Tanpa
H
pemberian matriconditioning
dan agens hayati (kontol).
I C J
G= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
D G B Matriconditioning arang
sekam.
H= Benih kedelai bervigor
G I C rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Trichoderma.
I= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Azotobacter.
J= Benih kedelai bervigor
rendah (DB 50%) +
Biomatriconditioning arang
sekam dengan Rhizobium.
54
Kebutuhan pupuk untuk tanaman kedelai yaitu Urea 25 kg/ha, SP-36 100
dosis anjuran
Dosis pupuk/tanaman =
( populasi/ha)