Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dunia, menurut perkiraan WHO, 80% orang yang mengalami masalah

gangguan pendengaran tinggal di negara berkembang. Pada tahun 1995 terdapat

120 juta penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta

orang.Pada tahun 2005, WHO memperkirakan terdapat 278 juta orang menderita

gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara.

(Riskesdas, 2014).

Jumlah orang diseluruh dunia dengan semua tingkat gangguan pendengaran

meningkat terutama disebabkan meningkatnya populasi global dan usia harapan

hidup. Persentase prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk

secara umum bervariasi dari minimal 4,2% di Indonesia hingga 9% di Sri Lanka,

13,3% di Thailand dan 16,6% di Nepal. Berdasarkan angka-angka diatas,

terdapat lebih daripada 100 juta orang yang menderita masalah ketulian dan

gangguan pendengaran di kawasan Asia Timur. (Ekawati T 2015)

Menurut WHO, penyakit tidak menular merupakan salah satu jenis

penyakit yang paling berbahaya. Obstruksi paru dan asma merupakan salah satu

dari empat penyakit tidak menular paling mematikan didunia.( Riskesdas, 2013).

International Labour Organization (ILO) tahun 2005 memperkirakan

insiden rata-rata penyakit paru akibat kerja sekitar satu kasus per 1000 pekerja

1
setiap tahun. Data WHO, menunjukan bahwa pada Negara berkembang

setidaknya ada 400 sampai dengan 500 juta orang terserang penyakit pernapasan

dari akut sampai kronis (Sholiah dan Tualeka, 2015:2), Nasional Institute For

Occupational Safety And Health (NIOSH) Memperkirakan bahwa angka kematian

yang terkait dengan penyakit paru akibat kerja sekitar 70% dari total kematian

akibat kerja. .(Riskesdas,2014).

Upaya bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional yang meliputi

aspek keamanan dan aspek kesejahteraan, telah dilaksanakan rangkaian

pembangunan nasional yang terencana, bertahap dan terpadu. Pelaksanaan

pembangunan nasional bagi suatu Negara kepulauan yang terdiri atas 13.677

pulau besar dan kecil dengan 2/3 wilayahnya adalah laut mengharuskan pula

tersedianya tenaga kerja matra laut. Dilain pihak, kepentingan bangsa Indonesia di

laut nusantara adalah pemanfaatan laut nusantara sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Pemanfaatan ini telah terlihat

dengan laju pertumbuhan ekonomi dewasa ini yang memungkinkan

berkembangnya kegiatan eksplorasi kekayaan laut.(Farjiani 2013)

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat antara lain; penangkapan

ikan, lobster, teripang, dan mutiara. Kegiatan tersebut dilakukan dengan

melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh meter di bawah laut,

karena lobster, teripang, dan mutiara banyak terdapat di dasar laut. Penyelaman

ini banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir karena ikan jenis tertentu, lobster,

teripang dan mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi.Penyelaman

pada kedalaman lebih dari 20 meter mempunyai resiko yang cukup besar terhadap

2
keselamatan dan kesehatan penyelam.Oleh karena itu penyelaman harus dilakukan

dengan syarat tertentu dan menggunakan alat selam yang memenuhi standar

(Scuba).Pekerjaan sebagai penyeam tradisional memiiki tingkat resiko yang

sangat tinggi.Resiko pekerjaan dalam penyelaman sangat bervariasi tergantung

pada jenis peneyelam yang dilakukan. Terdapat beberapa jenis peyelaman yang

biasa dilakukan oleh nelayan yakni penyelaman dengan menggunakan kompresor

sebagai suplai udara, penyelaman tahan nafas dan sedikit yang melakukan

penyelaman dengan scuba (Indriani P. 2013).

Sesuai dengan perkembangan jaman, cara kerja nelayanpun berkembang

yang semula hanya bekerja dipermukaan laut, sekarang banyak yang bekerja

didalam laut bahkan sampai pada dasar laut untuk mendapatkan hasil yang lebih

banyak seperti mencari teripang atau kerang mutiara (Tuti Ekawati, 2016)

Kompresor sebagai alat bantu bernapas di dalam air, dipasang selang (warna

kuning) sepanjang 50-75 meter yang disambungkan salah satu ujungnya ke

saluran udara (Output Pipe) kompresor ban tersebut. Diujung satunya dipasang

regulator yang akan membantu nelayan untuk menghirup udara yang berasal dari

selang tersebut melalui mulutnya. Di satu kompresor bisa terpasang sampai 4

buah selang. Selang-selang tersebut selanjutnya diikatkan ke tubuh penyelam,

biasanya di bagian pinggang.Tujuannya adalah agar tidak terbawa arus yang bisa

melepaskan regulator dari mulut penyelam. Akibat ikatan yang erat ke tubuh

penyelam, aliran udara akan terhambat sehingga udara yang dihirup oleh

penyelam sebagian besar berasal dari gelembung-gelembung air yang keluar dari

selang yang terhambat tadi. Jika terjadi sesuatu hal seperti mesin kompresor mati

3
mendadak atau kehabisan bahan bakar, seorang penjaga (Operator) di atas perahu

tidak punya pilihan selain harus segera menarik selang dan penyelamnya ke

permukaan. Pada titik inilah sering terjadi kasus dekompresi dan kecelakaan

penyelaman karena penyelam tidak punya kesempatan untuk melakukan

decompression stop, sebuah istilah penyelaman yang artinya berhenti di

kedalaman tertentu untuk mengeluarkan gas-gas terlarut dari dalam tubuh

penyelam dalam perjalanan menuju permukaan air. Kondisi ini diperburuk dengan

tidak adanya jam tangan atau alat penunjuk kedalaman yang merupakan syarat

standar dalam penyelaman, juga pelatihan yang memadai tentang melakukan

penyelaman yang sehat dan aman, antara lain bagaimana merencanakan

penyelaman dan melakukan stop untuk dekompresi. (Ari Kartono Sad,2013)

Penyelam tradisional merupakan penyelam yang belajar menyelam secara

alami dari keluarga maupun teman-temannya.Mereka tidak terdidik untuk

menyelam dengan baik dan hanya menyelam dengan peralatan sederhana

(Yulianto, et al. 2014).

Para penyelam tradisional ini tidak mengikuti Standar Operational Prosedur

Penyelaman yang tertera pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia No.KEP.56/MEN/III/2009 tentang Penetapan Standar

Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan

Wisata Selam.Kondisi ini diperparah oleh kurangnya perhatian dan dukungan

pemerintah dalam hal mengantisipasi dan mencegah terjadinya risiko menyelam

pada pekerja sektor non formal yang tergolong Underserved Working Population

4
yaitu populasi yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai

(Kementrans, 2012).

Menurut Kemenkes resiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan

dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengenai penyakit dan kecelakaan

yang terjadi pada nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan bahwa

sejumblah nelayan di pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat menderita nyeri

persendian ( 57,5%) dan gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%).

Sedangkan, nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengalami kasus

barotrauma (41,37%) dan kelaianan dekompresi (6,91%) (Kemenkes, 2014).

Puluhan warga kelurahan Pulau Barang Lompo, kecamatan Ujung Tanah,

Makasar, Sulawesi Selatan terserang penyakit lumpuh akibat

menyelam.Kurangnya kesadaran menggunakan alat pengaman saat menyelam

diduga menjadi penyebab kelumpuhan.Berdasarkan data puskesmas setempat,

penyakit yang menyerang warga pulau ini terjadi sejak tahun 2000 yang

lalu.Hingga tahun 2006, warga yang lumpuh mencapai 60 orang dan 13

diantaranya meninggal dunia.Jumlah ini setiap bulan meningkat bahkan tahun ini

tercatat 30 orang dan 2 diantaranya meninggal dunia.Kepala Puskesmas pembantu

Pulau Barang lompo, mengatakan penderita lumpuh kebanyakan nelayan pencari

teripang dan warga yang menderita kelumpuhan akibat menyelam dengan tidak

menggunakan alat selam sesuai standar. Para nelayan ini pada umumnya hanya

memakai selang udara yang disambung ke mesin pemompa udara (kompresor)

sebagai alat bantu pernapasan selama berada di bawah laut. (Rauf, 2016).

5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya di

Desa Boring Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara diperoleh hasil yakni

penyelam yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 72,72% dan sisanya

27,27% yang tidak mengalami gangguan pendengaran (Darryl Virgiawan Tanod,

2007). Studi observasional pada penyelam tradisonal suku Bajo, Kabupaten Bone

Sulawesi Selatan menemukan dari 47 penyelam, terdapat 23 penyelam atau sekitar

49,15% menderita gangguan pendengaran (Thiritz & Kadir dalam Wahyu 2012),

(DinKes, Makassar. 2013)

Dusun saluku merupakan daerah pesisir yang berada di Kecamatan Huamual

Kabupaten Seram Bagian Barat. Kehidupan masyarakat didaerah pesisir tersebut

banyak bergantung pada laut (nelayan), walaupun tidak dipungkiri sebagian kecil

dari masyarakat tersebut masih juga bercocok tanam.

Dari hasi survey data penyakit berdasarkan Pelayanan Kesehatan

(Puskesmas) setempat yang di lakukan peneliti di Dusun saluku Kecamatan

Huamual Kabupaten Seram bagian barat Pada Tahun 2019 yang mengalami

gangguan pada pendengaran sebanyak 2,3%, nyeri pada persendian 2,7%,

pandangan mata kabur sebanyak 10% dan gatal-gatal pada kulit 25%.

Sedangkan pada Tahun 2015-2017 yang mengalami gangguan pada

pernapasan 17,10%, kelelahan pada persendian atau keram pada kaki 20%, nyeri

pada tulang pinggang 24,5% dan pusing sebanyak 30,5%.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap beberapa

penyelam tradisional tentang gangguang kesehatanmenyatakan bahwa terdapat

beberapa keluhan sakit seperti gangguan pada pendengaran, gangguan pada

6
pernapasan dan keluhan pada sistem motorik seperti susah berjalan, keram pada

kaki, hal ini dirasakan sebelum dan sesudah melakukan penyelaman, namun tidak

mendapatkan penanganan serius seperti memeriksa atau berobat ke Puskesmas

dengan alasan, jarak antara rumah ke Puskesmas jauh dan dapat menyita waktu

istirahat mereka, penanganan yang mereka lakukan hanya sebatas membeli obat di

warung terdekat. Jika rasa keluhan sakit yang dirasakan berlanjut barulah mereka

melakukan pemeriksaan atau berobat ke Rumah Sakit atau Puskesmas.(Sumber

data, 2019).

Melihat masalah di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul“Gambaran Gangguan Kesehatan Pada Penyelam Tradisional Di Dusun

saluku Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2019 “

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam peneitian

ini adalah “Gambaran Gangguan Kesehatan Pada Penyelam Tradisional Di Dusun

saluku Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2019

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran gangguan kesehatan pada penyelam tradisional

di Dusun saluku Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat.

7
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran masa kerja dengan gangguan kesehatan pada

penyelam tradisional di dusun saluku kecamtan huamual kabupaten seram

bagian barat.

2. Untuk mengetahui lama kerja penyelaman dengan gangguan kesehatan

pada penyelam tradisional di dusun saluku kecamtan huamual kabupaten

seram bagian barat.

3. Untuk mengetahui riwayat penyakit dengan gangguan kesehatan pada

penyelam tradisional di dusun saluku kecamtan huamual kabupaten seram

bagian barat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan terhadap

berbagai bidang kesehatan, khususnya dalam bidang kesehatan dan keselamatan

kerja serta informasi untuk para nelayan penyelam tradisional didaerah daerah

jauh atau terpencil.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para penyelam khususnya

penyelam tradisional untuk lebih mengetahui gangguang kesehatan serta

kecelakaan yang terjadi serta mengetahui teknik atau cara yang tepat dalam

mencegah serta mengurangi resiko kecelakaan atau gangguang kesehatan akibat

penyelaman.

Anda mungkin juga menyukai