Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

PESISIR & KEPULAUAN


“Upaya Pencegahan dan Pengendalian Terhadap Kejadian Kecelakaan
Kerja di Pesisir dan Kepulauan”
Dosen Pengampu: Indah Ade Prianti, SKM., M.PH

Disusun Oleh:
Kelompok II

Kelas Reguler A

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KEANGGOTAAN KELOMPOK II
1. Aisyah Nurul Musyarrafah J1A122004
2. Atriani J1A122011
3. Audrey Wina Keisyiah Rachim J1A122012
4. Dernayun J1A122018
5. Dinda Putri Aprilia J1A122022
6. Fatimah Nur Zaqiyah J1A122026
7. Annisa Almaqhira Syahrani Putri J1A122007
8. Dian Resita J1A122021
9. Galang J1A122031
10. Hajratul Laila J1A122033
11. Intan Tiara J1A122037
12. Kholil fadel adha J1A122042
13. Lala Auliya J1A122043
14. Liberthy Mendila Tappo J1A122044
15. Lutfia Qalbi J1A122046
16. Merlyn Vitaloka Pattinasarany J1A122049
17. Nilda Fadila J1A122055
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah
melimpahkan karunia- Nya kepada saya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Upaya Pencegahan dan
Pengendalian Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja di Pesisir dan
Kepulauan” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Pesisir & Kepulauan” saya berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan mahasiswa mengenai “Upaya Pencegahan
dan Pengendalian Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja di Pesisir dan
Kepulauan”, sehingga mahasiswa memiliki bekal teori yang nantinya akan
sangat bermanfaat dalam melaksanakan praktik di lapangan.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian
saya harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi kita semua.

Kendari, 12 Nov 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia sebagai negara maritim mempunyai garis pantai
terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan
Rusia dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km. Wilayah Laut
dan pesisir Indonesia mencapai ¾ wilayah Indonesia (5,8 juta km2 dari
7.827.087 km2). Hingga saat ini wilayah pesisir memiliki sumberdaya
dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Seiring
dengan perkembangan peradaban dan kegiatan sosial ekonominya,
manusia memanfatkan wilayah pesisir untuk berbagai kepentingan.
Konsekuensi yang muncul adalah masalah penyediaan lahan bagi
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Menurut Sunartono (2011),
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan
(marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan,
penambangan pasir dan transportasi laut.
Sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada pada sektor informal,
misalnya sektor pertanian, industri kecil, nelayan, peternak, perajin
batubata, perajin kayu, penambang batu kapur dan lain sebagainya.
Sebenarnya tidak ada batasan jelas antara sektor informal dan sektor
formal. Sementara ini sektor informal dan formal dibedakan karena
ketiadaan hubungan kerja atau kontrak kerja yang jelas. Pada
umumnya sifat pekerjaan sektor informal hanya berdasarkan perintah
dan perolehan upah. Hubungan yang ada hanya sebatas majikan dan
buruh (tenaga kerja), dengan minimnya perlindungan K3 (Achmadi,
2013).
Kajian terhadap nelayan penyelam tradisional di pulau bungin, NTB
menunjukkan bahwa 57,5% menderita nyeri persendian dan gangguan
pendengaran 11,3% serta menderita kelainan pernafasan berupa sesak
nafas. Penelitian yang dilakukan Dharmawirawan dan Robiana Modjo,
yang menyatakan bahwa bahaya yang dihadapi nelayan antara lain
adalah ombak, lantai licin, duri ikan, terjepit, bahan bakar mesin
kompresor, selang api korosif, tekanan udara pada tabung mesin
kompresor, tuas terlepas, karang, gigitan biota laut, selang tertekuk,
terputus, atau bocor dan tubuh yang tersangkut baling-baling kapal.
Bahaya kesehatan meliputi ergonomi, kebisingan, tekanan ekstrim,
temperatur dingin, temperatur panas, sengatan ikan dan karang
beracun, gas CO, CO2 dan nitrogen. N. Bull et.al [5] menyatakan bahwa
tingkat insiden cedera yang tinggi pada nelayan muda dan selama
bulan musim dingin. Memar dan patah tulang yang paling sering terjadi
mengenai jari-jari dan tangan, sedangkan terjatuh dan kecelakaan yang
berkaitan dengan mesin adalah penyebab paling umum.
Lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja dan 160 juta pekerja
menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja setiap tahunnya. Selain itu,
1,2 juta pekerja juga meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat
kerja (Irpan, Ginanjar, & Fathimah, 2019). FAO juga memperkirakan
sekitar 4 juta kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan
tangkap, 1,3 juta kapal dek, 30 juta nelayan bekerja di atas kapal, dan
2,7 juta kapal yang tidak diperiksa. Diperkirakan angka kematian
mencapai 80 per 100.000 pekerja nelayan dunia per tahun. Jumlah
kematian dapat meningkat setiap harinya akibat kondisi dan berbagai
bahaya alam yang tidak aman (Mandal et al, 2017).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan salah satu
aspek perlindungan tenaga kerja sekaligus melindungi aset
perusahaan. Hal ini tercermin dalam pokok pokok pikiran dan
pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang No.1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja yaitu bahwa setiap tenaga kerja berhak
mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan,
dan setiap orang lainnya yang berada ditempat kerja perlu terjamin
pula keselamatanya serta setiap sumber produksi perlu dipakai dan
dipergunakan secara aman dan efisien, sehingga proses produksi
berjalan dengan lancar.
Pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja bagi para pekerja ini
juga telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003, yang menegaskan
bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 86 ayat 1).
Upaya keselamatan dan kesehatan yang dimaksud untuk
meningkatkan derajat kesehatan pekerja atau buruh dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan pengendalian
bahaya di tempat kerja yang dimaksudkan dalam pasal 86 ayat 2 UU
No. 13 Tahun 2003.
1.2 Latar Belakang
1. Bagaimana potensi kecelakaan kerja di pesisir kepulauan?

2. Apa faktor penyebab kecelakaan kerja di pesisir kepulauan?

3. Apa saja program pencegahan kecelakaan kerja di pesisir


kepulauan?

4. Bagaimana sistem pengendalian kecelakaan kerja di pesisir


kepulauan?

5. Bagaimana peran pemerintah dan institusi terkait dalam


pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja di pesisir
kepulauan?

6. Apa saja tantangan dan hambatan dalam pencegahan dan


pengendalian kecelakaan kerja di pesisir kepulauan?

7. Apa manfaat pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja di


pesisir kepulauan?

1.3Tujuan Pembuatan Makalah

1. Untuk mengetahui potensi kecelakaan kerja di pesisir kepulauan

2. Untuk mengetahui faktor penyebab kecelakaan kerja di pesisir


kepulauan

3. Untuk mengetahui program pencegahan kecelakaan kerja di pesisir


kepulauan

4. Untuk mengetahui sistem pengendalian kecelakaan kerja di pesisir


kepulauan

5. Untuk mengetahui peran pemerintah dan institusi terkait dalam


pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja di pesisir
kepulauan

6. Untuk mengetahui tantangan dan hambatan dalam pencegahan dan


pengendalian kecelakaan kerja di pesisir kepulauan

7. Untuk mengetahui manfaat pencegahan dan pengendalian


kecelakaan kerja di pesisir kepulauan

1.4Manfaat Pembuatan Makalah


1. Bagi Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan bahan acuan materi Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Pesisir & Kepulauan khususnya tentang
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Terhadap Kejadian
Kecelakaan Kerja di Pesisir dan Kepulauan
2. Bagi Masyarakat
Makalah ini dapat menjadi penambah wawasan bagi setiap
lapisan masyarakat tentang Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja di Pesisir dan Kepulauan
3. Bagi Dosen
Kiranya Makalah ini dapat dijadikan pertimbangan untuk
bahan ajar kepada mahasiswa lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Bagaimana Potensi Kecelakaan Kerja di Wilayah Pesisir Kepulauan
Gambar 1: Kecelakaan Kerja pada Nelayan

Wilayah pesisir adalah kawasan yang menjadi perbatasan


antara daratan dan lautan, dan seringkali menjadi pusat aktivitas
ekonomi yang vital. Karakteristik dan dinamika ekonomi di wilayah
pesisir sangat kompleks, dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
mencakup geografi, sumber daya alam, serta interaksi antara manusia
dan lingkungan. Salah satu karakteristik utama wilayah pesisir adalah
keberadaan garis pantai yang memanjang. Keberagaman geografi dan
topografi di wilayah ini memberikan dasar bagi berbagai jenis
ekosistem, termasuk mangrove, hutan bakau, dan ekosistem laut yang
kaya akan keanekaragaman hayati. Geografi yang unik ini menjadi
landasan bagi berbagai kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan
sumber daya alam, seperti perikanan, pariwisata, dan pertanian pesisir
(Latif, 2020).
Wilayah pesisir seringkali kaya akan sumber daya alam yang
menjadi kunci utama dalam dinamika ekonomi. Perikanan, sebagai
salah satu sektor ekonomi utama, mengandalkan sumber daya ikan
yang melimpah di perairan pesisir. Selain itu, hutan bakau
menyediakan kayu bakau dan berfungsi sebagai lindung alam yang
penting. Sumber daya alam lainnya termasuk minyak dan gas bumi,
tambang pasir, dan tanaman hias yang sering ditemukan di wilayah
pesisir (Latif, 2020).
Ekonomi di wilayah pesisir sering kali juga didorong oleh sektor
pariwisata. Pantai yang indah, keanekaragaman hayati laut, dan
keberagaman budaya lokal menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.
Infrastruktur pariwisata, seperti resor, restoran, dan kegiatan rekreasi,
muncul sebagai peluang ekonomi baru. Namun, perlu diperhatikan
bahwa pariwisata yang tidak terkelola dengan baik dapat
mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya local
(Yonvitner, 2016).
Banyaknya sektor yang ada di wilayah pesisir menimbulkan
banyaknya pekerjaan di berbagai sektor yang ada seperti pekerjaan
sebagai nelayan, industry perikanan, pekerja tambang di wilayah
pesisir, kapal transportasi serta sebagai pekerja di industry pariwisata
(Kapal turis, pemandu wisata, dll).
Seperti yang kita ketahui, setiap pekerjaan memiliki potensi
terjadinya kecelakaan kerja, Setiap tempat kerja selalu mengandung
berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga
kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.
Potensi bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan
terjadinya kerugian, kerusakan, cidera, sakit, kecelakaan atau bahkan
dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan
sistem kerja.
Bahaya (hazard) adalah suatu kondisi yang mempunyai
potensial untuk menimbulkan cidera pada manusia, kerusakan pada
peralatan atau struktur, kerugian material, atau menurunkan
kemampuan melaksanakan suatu fungsi tertentu. Berbahaya (danger)
adalah derajat terpapar (relative exposure) kepada suatu bahaya.
Suatu bahaya barangkali ada, tetapi tidak begitu berbahaya karena
telah ditanggulangi (Mahmudi, 2016).
Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
pada pasal 1 menyatakan bahwa tempat kerja ialah tiap ruangan
atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana
tenaga kerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan
suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Termasuk
tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan
sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan
dengan tempat kerja tersebut. Potensi bahaya mempunyai potensi
untuk mengakibatkan kerusakan dan kerugian kepada:
1) Manusia yang bersifat langsung maupun tidak langsung
terhadap pekerjaan;
2) Properti termasuk peralatan kerja dan mesin-mesin;
3) Lingkungan, baik lingkungan di dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan;
4) Kualitas produk barang dan jasa, serta
5) Nama baik perusahaan.

Berikut ini adalah potensi kecelakaan kerja untuk pekerjaan


yang ada di wilayah pesisir:
 Nelayan
Potensi Kecelakaan Kerja: Kapal Terbalik, Kapal Bocor, Kapal
terbakar, badai di laut, dan tenggelam
 Industry Perikanan
Potensi Kecelakaan Kerja: Tangan terpotong dengan mesin
pemotong ikan, Ketulian akibat suara mesin pemotong ikan
yang bising dan Kram akibat terlalu lama bersentuhan
dengan es, dll.
 Pekerja Tambang Di Pesisir
Potensi Kecelakaan Kerja: Kebocoran pipa gas yang berdampak
pada Kesehatan pekerja, Kebakaran, Tertimpa batu besar
(untuk tambang batu di pesisir), dll
 Kapal Transportasi
Potensi Kecelakaan Kerja: Kapal tenggelam, kapal terbakar,
badai di laut, Kapal bocor, Mesin kapal rusak, tabrakan antar
kapal, kapal kandas, dll.
 Industri Pariwisata
Potensi Kecelakaan Kerja: Kapal turis tenggelam, dll.

2.2 Faktor Penyebab kecelakaan kerja di pesisir kepulauan


Penelitian yang dilakukan Dharmawirawan dan Robiana Modjo ,
yang menyatakan bahwa bahaya yang dihadapi nelayan antara lain
adalah ombak, lantai licin, duri ikan, terjepit, bahan bakar mesin
kompresor, selang api korosif, tekanan udara pada tabung mesin
kompresor, tuas terlepas, karang, gigitan biota laut, selang tertekuk,
terputus, atau bocor dan tubuh yang tersangkut baling-baling kapal.
Bahaya kesehatan meliputi ergonomi, kebisingan, tekanan ekstrim,
temperatur dingin, temperatur panas, sengatan ikan dan karang
beracun, gas CO, CO2 dan nitrogen. N. Bullet. menyatakan bahwa
tingkat insiden cedera yang tinggi pada nelayan muda dan selama
bulan musim dingin. Memar dan patah tulang yang paling sering
terjadi mengenai jari-jari dan tangan, sedangkan terjatuh dan
kecelakaan yang berkaitan dengan mesin adalah penyebab paling
umum.
Faktor penyebab kecelakaan menurut H.W. Heinrich (1930)
digolongkan menjadi 2 penyebab yaitu tindakan tidak aman dari
manusia (Unsafe Action), dan kondisi tidak aman (Unsafe Condition)
(Ramli, 2009). Menurut International Labour Organiztion (LO)
menyimpulkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua terbawah
dari 53 negara yang menimbulkan 65.474 kasus kecelakaan kerja.
Tingginya angka kecelakaan kerja merupakan petunjuk tentang lemah
atau kurangnya pengawasan dari berbagai perusahaan untuk
melindungi pekerja dari bahaya (ILO, 2013)
Penyebab kecelakaan pada kapal perikanan, yaitu rendahnya
kesadaran awak kapal tentang keselamatan kerja pada pelayaran dan
kegiatan penangkapan, rendahnya penguasaan kompetensi
keselamatan pelayaran dan penangkapan ikan, kapal tidak dilengkapi
peralatan keselamatan sebagaimana seharusnya. Cuaca buruk seperti
gelombang besar serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan
dalam penggunaan peralatan keselamatan kerja.
Pekerjaan pada kapal penangkap ikan merupakan pekerjaan
yang tergolong membahayakan dibanding pekerjaan lain, maka profesi
pelaut kapal penangkap ikan memiliki karakteristik pekerjaan “3d”
yaitu: membahayakan (dangerous), kotor (dirty) dan sulit (difficult)
(FAO, 2000), dengan ketiga sifat pekerjaan tersebut ditambah faktor
ukuran kapal yang didominasi kapal-kapal berukuran relatif kecil,
berlayar pada perairan gelombang tinggi dengan kondisi cuaca tidak
menentu sehingga dapat meningkatkan tingkat kecelakaan kapal
penangkap ikan.
Keselamatan kapal penangkap ikan merupakan interaksi faktor-
faktor yang kompleks, yakni human factor (nakhoda dan anak buah
kapal), machines (kapal dan peralatan keselamatan) dan enviromental
(cuaca dan skim pengelolaan sumberdaya perikanan). Permasalahan
ke-elamatan atau kecelakaan akan timbul apabila salah satu elemen
dari human factor, machines atau enviromental factor tersebut tidak
berfungsi (Lincoln, 2002).
Menurut IMO (International Maritime Organization) , besarnya
persentase penyebab terjadinya kecelakaan kapal ikan menurut faktor
kesalahan manusia sebesar 43,06%, faktor alam 33,57%, dan faktor
teknis 23,35%. Penyebab kecelakaan pada kapal perikanan, yaitu
rendahnya kesadaran awak kapal tentang keselamatan kerja pada
pelayaran dan kegiatan penangkapan, rendahnya penguasaan
kompetensi keselamatan pelayaran dan penangkapan ikan, kapal tidak
dilengkapi peralatan keselamatan sebagaimana seharusnya, cuaca
buruk seperti gelombang besar dan menderita sakit keras dalam
pelayaran (Suwardjo et al. 2010). Oleh karena itu pengetahuan dan
keterampilan dari awak kapal serta peralatan keselamatan dan
kelayakan dari kapal seharusnya menjadi perhatian bagi awak kapal
perikanan. Pengetahuan dan keterampilan tentang keselamatan kerja
dari awak kapal dapat memperkecil resiko kecelakaan dini maupun
kecelakaan yang telah terjadi, sehingga dapat terhindar dari akibat
fatal yang tidak diinginkan.
Menurut AS/NZS 4360:2004, risiko adalah peluang terjadinya
sesuatu yang akan mempunyai dampak terhadap sasaran, diukur
dengan hukum ebab akibat. Risiko diukur berdasarkan nilai probability
dan onsequences. Konsekuensi atau dampak hanya akan terjadi bila
ada bahaya dan koontak atau exposure antara manusia dengan
peralatan ataupun material yang terlibat dalam suatu interaksi.
Formula yang digunakan dalam melakukan perhitungan risiko adalah :
Risk = Probability x Exposure x Consequences
Menurut Tarwaka (2014) Risiko adalah suatu kemungkinan
terjadinya kecelakaan atau kerugian pada waktu tertentu, yang
dapat menimpa seseorang baik dalam melakukan suatu pekerjaan
maupun tidak. Jenis risiko bahaya yang mungkin terjadi pada saat
melakukan pekerjaan yaitu :
1. Risiko Terjatuh
Terjatuh terjadi ketika pekerja kehilangan keseimbangan.
Terjatuh dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama jatuh dilevel yang
sama, kedua jatuh dileel dibawahnya. Terjatuh bisa diakibatkan
karena tidak adanya pembatas (ralling) yang menahan orang dari
jatuh, dan tidak dilakukan3point contact (1 tangan, 2 kaki bertumpu
pada titik yang kuat).
2. Risiko Terjepit
Risiko terjepit pada saat melakukan pekerjaan bisa terjadi
pada pekerja. Potensi bahaya sangat tinggi karena pada proses
kerja menggunakan teknologi yang canggih seperti mesin. Pekerja
bisa kapan saja terjepit jika dalam melakukan pekerjaan tidak hati-
hati. Pekerja harus konsentrasi dan berhati-hati serta menggunakan
alat pelindung diri saat melakukan pekerjaan agar tidak terjadi
kecelakaan.
3. Risiko Cidera
Cidera merupakan dampak yang ditimbulkan karena
seseorang telah mengalami kecelakaan. Cidera diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu :
a. Cidera ringan, yaitu apabila akibat kecelakaan yang
menyebabkan pekerja tidak mampu melakukan tugas atau
pekerjaan semula
b. Cidera berat apabila akibat kecelakaan menyebabkan pekerjaan
tidak mampu melakukan pekerjaan semula karena mengalami
cidera, seperti luka berat atau luka robek yang tidak dapat
mengakibatkan ketidakmampuan melakukan pekerjaan
c. Meninggal, meninggal apabila kecelakaan yang
mengakibatkan pekerja meninggal dalam waktu 24 jam
terhitung dari waktu terjadinya keelakaan tersebut
4. Risiko Terpeleset
Terpelest diakibatkan oleh terlalu sedikit factor gesekan
antara alas kakidengan lantai kerja sehingga menyebabkan pekerja
kehilangan seseimbangan. Terpeleset dapat menyebabkan lantai
kerja licin, bahan lantai yang terlalu licin, cairan yang sudah
membeku, alas kaki yang tidak memiliki permukaan luas untuk
bergesekan dengan lantai
5. Risiko Tersandung
Terjadi ketika kaki menabrak benda dan pada saat yang
bersamaan, tubuk kita tetap bergerak sehingga kita akan
kehilangan keseimbangan. Tersandung dapat disebabkan karena
kabel, selang, kawat atau benda lain yang melintang diarea pejalan
kaki, laci yang terbuka, pergantian ketinggian yang tidak memiliki
tanda ujungnya, bagian lantai yang hilang, tangga yang rusak atau
ketinggian tangga yang tidak sama.
6. Risiko Tergelincir
Tergelincir dapat terjadi akibat aktivitas kerja kurang haati-
hati. Untuk menghindari atau menegah kecelakaan ini maka pekerja
seharusnyamemakai APD guna meminimalisir risiko tergelincir saat
bekerja ditempat kerja
7. Risiko Terkena Alat Kerja
Risiko terkena alat kerja ini dipicu karena lingkungan yang
tidak aman. Risiko dalam melakukan pekerjaan saat mungkin
terjadi karena dalam melakukan pekerjaan baik berat maupun
ringan membutuhkan alat bantu yaitu berupa alat kerja seperti
mesin yang memproduksi barang. Jika pekerja tidak hati-hati risiko
ini dapat terjadi dan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
keselamatan kerja
8. Risiko Kecelakaan Alam
Risiko keeclakaan alam atau natural dapat berupa banana
alam yang merupakan risiko yang dihadapi oleh siapa saja dan
dapat terjadi setiap saat tanpa bisa diduga waktu, bentuk dan
kekuatannya. Risiko alami ini menjadi salah satu ancaman bisnis
global. Bencana alam yang terjadi dapatterjadi berupa gempa bumi,
tsunami, banjir, badai, dll.

2.3 Program Pencegahan Kecelakaan Kerja di Pesisir Kepulauan

Penerapan Program Pencegahan Kecelakaan Kerja di Pesisir


Kepulauan
1. Safety Management

Safety plan disusun untuk mencakup semua aspek k3 seperti:


kebijakan k3, tanggung jawab k3, Prosedur k3, Semua mendapat
persetujuan dan dukungan dari menejemen tertuang dalam
dokumen tertulis yang ditandatangani oleh seorang pekerja di
pesisir kepulauan
2. Organisasi K3/Safety
Untuk menjalankan fungsi pokok, maka disetiap perusahaan
dibentuk organisasi k3 yang dilengkapi dengan peralatan yang
diperlukan termasuk personil yang kompeten/mampu untuk
melaksanakan tugas yang diembannya. Untuk mendukung
kegiatan tersebut maka telah dibentuk satu divisi khusus untuk
menangani k3. (DIVISI HSE)
3. Promosi K3/Penyuluruhan

Penyampaian berita tentang k3 di pesisir kepulauan untuk


menjadi perhatian setiap pekerjaan atau pun yang masuk dalam
wilayah kerja sehingga maksud dari program dapat dimengerti,
dilaksakan dalam bentuk antara lain:
- Safety Day
- Pemasangan Poster-poster K3
- Safety focus,dll.
4. Pertemuan K3

Pertemuan K3 secara terencana dan rutin, untuk


membahas/mengeveluasisumua permasalahan yang terkait
dengan k3 ditempat kerja. Tujuan pertemuan k3 adalah sebagai
berikut:
-Memastikan semua karyawan telah menerima informasi safety
dengan cepat.
-Menciptakan iklim kerjasama melalui partisipasi dan interaksi
kelompok.
-Memberi perhatian yang sama kepada setiap orang tentang
informasi safety.
-Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan berdiskusi.
• Manfaat/keuntungan pertemuan safety adalah:
-Komunikasi K3 jadi lebih baik
-Kesempatan bagi karyawan untuk mengajukan, membahas &
menyelesaikan permasalahan K3.
-Meningkatkan kemampuan, pemahaman dan kesadaran K3.
-Mempermudah diterima peraturan & prosedur.
5. Toolbox Talk

Dilakukan pada setiap awal shift/gilir kerja ditempat kerja


dinamis untuk membicarakan dan merencanakan kontrol bahaya
kerja yang dapat diidentifikasi terhadap kerjaan yang akan
dilakukan,apa bahayanya, peralatan apa yang harus digunakan dan
bagaimana cara penanganannya bila terjadi bahaya di pesisir
kepulauan.
6. Safety Talk

Dilakukan sekali seminggu dengan alokasi waktu lebih lama


dan topik pembahasan masalah safety yang lebih terancana
dibagian pesisir kepulauan.
7. Rapat Komite K3L
Rapat Infomal Interaktif wakil pihak menegemen dan pekerja
untuk membahas dan mengembangkan strategi, melakukan
pemeriksaan K3L yang ada ditempat kerja, dilaksanakan minimal
per triwulan.
8. Training/Pelatihan K3

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan


karyawan dibidang baik tentunya perikanan serta kelautan , maka
direncanakan melakukan pembinaan K3 dalam bentuk pelatihan
yang terprogram dengan baik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
yang ada, pelatihan dilaksanakan secara internal atau mengikuti
sertakan karyawan pada pelatihan (training, workshop, dan
sebagainya)yang dilakukan instasi terkait. Pelatihan yang
dimaksud tidak saja berkaitan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) pertambangan, tetapi juga menyakut aspek produktifitas kerja.
9. Inspeksi K3

Inspeksi K3 terencana dan terjadwal dengan baik, untuk


mendeteksi kekurangan- kekurangan yang terjadi dilapangan
secara dini sehingga hal-hal yang membahayakan dapat dicegah.
Pengawasan pemakaian alat pelindung diri (APD) seperti
menggunakan pelampung, lengan panjang, Sepatu boot dan topi.
Hal ini atau alat pelindung diri harus selalu dipakai Saat bekerja. jika
hal ini tidak digunakan maka berpotensi menimbulkan bahaya
kecelakaan kerja atau kecelakaan Di pesisir kepulauan. Inpseksi
kondisi tidak aman dan tindakan tidak aman di area kerja.
Program Pencegahan Kecelakaan Kerja di Pesisir Kepulauan:

 Program K3 Safety Awarness

Program K3 menurut Canadian Centre for Occupational


Health and Safety (CCOHS) merupakan rencana tindakan yang pasti
dan dirancang untuk mencegah kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja. Program Safety Awarness bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada pekerja mengenai kesadaran
keselamatan dalam bekerja, sehingga dapat menurunkan resiko
kecelakaan di lingkungan kerja pesisir kepulauan secara efektif dan
meningkatkan moral pekerja serta mengurangi resiko kerugian bagi
Pekerja di pesisir kepulauan. Program PEKA termasuk dalam Safety
Awarness karena PEKA sangat erat kaitannya dengan Safety
Awarness terbukti dari kegiatan PEKA yang memberikan panduan
tentang cara mengobservasi, mengkoreksi secara langsung dengan
berdiskusi, maupun melaporkan secara tertulis tentang tindakan
atau kondisi tidak aman yang ditemukan di area kerja. Hal ini
berdampak pada peningkatan kesadaran pekerja akan pentingnya
bekerja secara aman.
 Campaign aspek HSSE

Campaign aspek HSSE merupakan cara efektif untuk


menyebarkan pesan terkait keselamatan dan kesehatan kerja
kepada pekerja, tujuannya untuk meningkatkan safety knowledge,
kemampuan pekerja dalam menduga /mengidentifikasi bahaya
agar pekerja dapat mengetahui bahaya apa yang ada disekitarnya.
Tool Box Meeting merupakan salah satu bentuk HSSE Campaign,
karena aktifitas didalam Tool Box Meeting yang berisikan tentang
penyampaian langkah kerja yang baik dan aman diikuti dengan
peyampaian potensi bahaya apa saja yang ada di area kerja serta
bagaimana mengendalikannya, diikuti dengan pesan keselamatan
kerja tentang pentingnya penerapan aspek HSSE sehingga dapat
menimalisir terjadinya kecelakaan kerja.
Dalam Campaign aspek HSSE terdapat pembuatan rambu-
rambu, dimana rambu-rambu merupakan sebuah media komunikasi
visual yang berguna untuk menyampaikan informasi bahaya atau
pesan-pesan K3 kepada pekerja namun jika hanya cara ini pekerja
masih ada yang tidak memperhatikan rambu-rambu tersebut.
Safety induction merupakan pengenalan dasar-dasar Keselamatan
kerja dan Kesehatan Kerja (K3) kepada karyawan baru atau visitor
(tamu) pada saat memasuki area PT X namun dalam safety
induction biasanya masih ada visitor yang tidak terlalu
memperhatikan dan menganggap remeh kegiatan tersebut. Maka
dari itu Tool Box Meeting yang paling disoroti pada Campaign
aspek HSSE.
HSSE Management System bertujuan untuk mengelola
bahaya yang berpotensi menimbulkan risiko terhadap keselamatan
dan kesehatan kerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang
tidak diinginkan secara komperehensif, terencana dan terstruktur
dalam suatu kesisteman yang baik. Besarmya potensi ditentukan
oleh kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan insiden dan
keparahan yang diakibatkannya (Ramli, 2010). Didalam audit SMK3,
HIRADC merupakan salah satu persyaratan yang harus ada dalam
menerapkan Sistem Manajemen K3 berdasarkan International
Organization for Standardization (ISO) 45001:2018 klausul 6.1.2
yang mengharuskan organisasi/perusahaan menerapkan SMK3,
HIRADC merupakan elemen penting dalam sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja karena berkaitan langsung
dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya yang
digunakan untuk menentukan objektif dan rencana K3
(Prihatinignsih, 2014).
 Implementasi Job Safety Analysis (JSA)

Job Safety Analysis (JSA) dan sering juga disebut dengan


Job Hazard Analysis (JHA) merupakan salah satu metode yang
digunakan dalam melakukan kajian risiko dalam Sistem
Manajemen Risiko. Manajemen risiko keselamatan dan
kesehatan kerja adalah suatu upaya pencegahan bahaya yang
berpotensi mengakibatan risiko terhadap keselamatan dan
kesehatan pekerja, maka diterapkan pencegahan secara
komperehensif, terencana dan terstruktur dalam suatu
kesisteman yang baik. Manajemen risiko terbagi menjadi
Kualitatif, SemiKuantitatif, dan Kuantitatif dan JSA adalah
metode atau alat bantu yang digunakan pada jenis kajian risiko
kualitatif.
Manfaat awal dari pengembangan JSA akan terlihat
dengan jelas pada tahap persiapan. JSA akan dapat
mengidentifikasi bahaya yang sebelumnya tidak terdeteksi dan
menambah pengetahuan pekerjaan akan bahaya, dampak
bahaya dan cara melakukan kontrol yang tepat. Selain itu, JSA
berfungsi untuk meningkatkan kesadaran karyawan akan
keselamatan dan kesehatan, meningkatkan intensitas dan
kualitas komunikasi antara pekerja dan pengawas. JSA yang baik
juga dapat menjadi dasar terbentuknya kontak rutin antara
pengawas dan pekerja dan secara tidak langsung menjadi media
pengajaran dan pelatihan kerja awal (pre-job training) dan
sebagai panduan singkat untuk pekerjaan yang bersifat non-rutin
(on the job training). Selain manfaat tersebut diatas, secara
khusus JSA dapat digunakan sebagai standar untuk inspeksi dan
membantu menyelesaikan investigasi kecelakaan komprehensif
Untuk mendapatkan hasil laporan JSA yang baik dan
komprehensif, cara dalam membuat JSA, sebagai berikut:
1). Memilih pekerjaan yang akan dianalisis Idealnya, semua
pekerjaan harus dilakukan JSA. Dalam beberapa kasus ada
kendala praktis yang ditimbulkan oleh jumlah waktu dan
upaya yang diperlukan untuk melakukan JSA. Pertimbangan
lain adalah bahwa masing-masing JSA akan memerlukan
revisi setiap kali peralatan, bahan baku, proses, atau
lingkungan berubah. Untuk alasan ini, biasanya perlu untuk
mengidentifikasi pekerjaan mana yang akan dianalisis.
Bahkan jika analisis semua pekerjaan direncanakan, langkah
ini memastikan bahwa pekerjaan yang paling kritis diperiksa
terlebih dahulu.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
menentukan prioritas untuk melakukan JSA meliputi:
a) Frekuensi dan keparahan kecelakaan : pekerjaan yang
mengakibatkan kecelakaan yang sering terjadi atau jarang
terjadi tetapi mengakibatkan cedera serius.

b) Potensi cedera atau penyakit parah : akibat dari kecelakaan,


kondisi berbahaya, atau produk berbahaya berpotensi parah.

c) Pekerjaan yang baru didirikan: karena kurangnya


pengalaman dalam pekerjaan ini, bahaya mungkin tidak
jelas atau diantisipasi.

d) Pekerjaan yang dimodifikasi: bahaya baru dapat dikaitkan


dengan perubahan dalam prosedur pekerjaan.
e) Pekerjaan yang jarang dilakukan: pekerja mungkin
menghadapi risiko lebih besar ketika melakukan pekerjaan
tidak rutin, dan JSA menyediakan sarana untuk meninjau
bahaya

 . Hierarchy of Control

Menurut NIOSH, hierarchy of control tersebut adalah sebagai


berikut :
1. Eliminasi dan Substitusi

Eliminasi dan substitusi, meskipun paling efektif dalam


mengurangi bahaya, juga cenderung paling sulit untuk diterapkan
dalam proses yang ada. Jika prosesnya masih dalam tahap
desain atau pengembangan, penghapusan dan penggantian
bahaya mungkin tidak mahal dan mudah diimplementasikan.
Untuk proses yang ada, perubahan besar dalam peralatan dan
prosedur mungkin diperlukan untuk menghilangkan atau
mengganti bahaya.
2. Kontrol Enjinering

Kontrol Enjinering atau Kontrol Tehnik lebih disukai


daripada peralatan pelindung administrasi dan pribadi (APD)
untuk mengendalikan paparan pekerja yang ada di tempat kerja
karena mereka dirancang untuk menghilangkan bahaya di
sumbernya, sebelum terjadi kontak dengan pekerja. Kontrol
rekayasa yang dirancang dengan baik bisa sangat efektif dalam
melindungi pekerja dan biasanya akan independen dari interaksi
pekerja untuk memberikan perlindungan tingkat tinggi ini. Biaya
awal kontrol teknik dapat lebih tinggi daripada biaya kontrol
administratif atau APD, tetapi dalam jangka panjang, biaya
operasi seringkali lebih rendah, dan dalam beberapa kasus, dapat
memberikan penghematan biaya di area lain dari proses.
3. Kontrol Administrasi dan Alat Pelindung Diri (APD)

Kontrol administratif dan APD sering digunakan dengan


proses yang ada di mana bahaya tidak dikontrol dengan baik.
Kontrol administratif dan program APD mungkin relatif murah
untuk dibangun tetapi, dalam jangka panjang, bisa sangat mahal
untuk dipertahankan. Metode-metode untuk melindungi pekerja ini
juga terbukti kurang efektif daripada tindakan lain, yang
membutuhkan upaya signifikan dari pekerja yang terkena dampak.

2.4 Sistem Pengendalian Kecelakaan Kerja di Pesisir Kepulauan

a. Pengendalian Risiko
Apabila suatu risiko terhadap Kecelakaan kerja dan penyakit
akibat Kerja telah diidentifikasi dan dinilai Maka pengendalian risiko
harus di Implementasikan untuk mengurangi Risiko sampai batas-
batas yang dapat Diterima berdasarkan ketentuan,Peraturan dan
standar yang berlaku.Didalam memperkenalkan suatu Sarana
pengendalian risiko, harus Mempertimbangkan apakah sarana
Pengendalian risiko tersebut dapat Diterapkan dan dapat
memberikan Manfaat kepada masing-masing tempat Kerjanya
Risiko menurut Tarwaka, 2008 ada 6(enam), yaitu :
1. Eliminasi (elimination)
Eliminasi adalah suatu pengendalianRisiko yang bersifat
permanen dan harus Dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan
Prioritas pertama. Eliminasi dapat dicapai dengan
memindahkan objek Kerja atau sistem kerja yang Berhubungan
dengan tempat kerja yang Kehadirannya pada batas yang tidak
Dapat diterima oleh ketentuan, peraturan Atau standar baku K3
atau kadarnya Melampaui Nilai Ambang Batas
(NAB)Diperkenankan. Eliminasi adalah caraPengendalian risiko
yang paling baik,Karena risiko terjadinya kecelakaan
danPenyakit akibat kerja ditiadakan.
2. Substitusi (substitution)
Pengendalian ini dimaksudkan untuk Menggantikan
bahan-bahan da Peralatan yang lebih berbahaya denganYang
kurang berbahaya atau yang lebihAman, sehingga
pemaparannya selaluDalam batas yang masih diterima
3. Rekayasa teknik (engineering control)
Pengendalian atau rekayasa teknikTermasuk merubah
struktur objek kerja Untuk mencegah tenaga kerja terpapar
Kepada potensi bahaya, seperti Pemberian pengaman mesin,
penutup Ban berjalan, pembuatan struktur Pondasi mesin
dengan.
4. isolasi(isolation)
cor beton,Pemberian alat bantu mekanik,Pemberian
absorben suara pada dinding Ruang mesin yang menghasilkan
Kebisingan tinggi.Isolasi merupakan pengendalian risiko dengan
cara memisahkan seseorang dari objek kerja, seperti
menjalankan mesinmesin produksi dari tempat tertutup(control
room).
5. Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi dilakukan dengan
menyediakan suatu sistem kerja Yang dapat mengurangi
kemungkinan Seseorang terpapar potensi bahaya.Metode
pengendalian ini sangat Tergantung dari perilaku pekerjanya dan
Memerlukan pengawasan yang teratur Untuk dipatuhinya
pengendalian Administrasi ini. Metode ini meliputi Rekruitmen
tenaga kerja baru sesuai jenis pekerjaan yang akan
ditangani,Pengaturan waktu kerja dan waktu Istirahat, rotasi
kerja untuk mengurangi Kebosanan dan kejenuhan, penerapan
Prosedur kerja, pengaturan kembali jadwal kerja, training
keahlian danTraining K3.
6. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri (APD) merupakan Sarana
pengendalian yang digunakan Untuk jangka pendek dan bersifat
Sementara jika system pengendalian yang lebih permanen
belum dapat di Implementasikan. APD merupakan pilihan
terakhir dari suatu sistem Pengendalian risiko di tempat kerja
b. Langkah pengendalian
Langkah pengendalian adalah suatu Tindakan yang
dilakukan oleh Karyawan/pekerja untuk mengurangi risiko
kecelakaan kerja dan juga untukMemenuhi prosedur pengendalian
yang diAtur dalam Undang-undang No 1 Tahun 2009 dan
peraturan menteri Nomor : KM 24 Tahun 2009 tentang peraturan
Keselamatan penerbangan sipil (PKPS)333 tentang helikopter
operations. Dari Hasil penelitian dan pengamatan secara Visual
oleh penulis dalam menjawab Rumusan masalah pada poin ke 2
(dua) Menjelaskan beberapa langkah Pengendalian risiko terhadap
keselamatan Kerja dimana pengendalian tersebut telah Di
implementasikan dengan baik oleh Perusahaan berikut antaranya :
1.Inspection Report
2.HLO Checklist
3.Safety Briefing
4.Dangerous Goods
5.Security Check
6.Maintenance (pemeriksaan rutin)
c. Penggunaan APD
Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu perangkat yang
digunakan oleh pekerja demi Melindungi dirinya dari potensi
bahaya serta kecelakaan kerja yang kemungkinan dapat terjadi di
Tempat kerja. Penggunaan APD oleh pekerja saat bekerja
merupakan suatu upaya untuk menghindari Paparan resiko
bahaya di tempat kerja. Walaupun upaya ini berada pada tingkat
pencegahan Terakhir, namun penerapan alat pelindung diri ini
sangat dianjurkan (Tarwaka, 2008).Hasil analisis univariat
sebelum penggunaan APD diperoleh 63,3% responden yang
mengalami Kejadian vulnus / luka. Hal ini menurut peneliti
disebabkan karena kurangnya pengetahuan responden Tentang
pentingnya penggunaan APD. Menurut Notoatmodjo (2012),
individu yang mempunyai Pengetahuan tentang kesehatan kerja
kurang baik akan berisiko mengalami kecelakaan kerja. Hasil
Wawancara penulis dengan responden sebelum penggunaan APD
diperoleh responden merasa tidak Nyaman (risih, panas dan
malas) dalam mengggunakan APD. Menurut Soeripto (2015),
kebanyakan Alat pelindung diri mengakibatkan beberapa perasaan
tidak enak dan menghalangi gerakan atau Tanggapan panca
indera pemakai. Oleh karena itu, umumya tenaga kerja akan
menolak untuk Menggunakan alat pelindung diri padahal
responden tidak mengetahui fungsi dari APD sangatlah Besar
karena dapat mencegah kecelakaan pada waktu
bekerja.Efektifnya penggunaan APD terhadap menurunnya
kejadian vulnus / luka sangat ditentukan oleh Nelayan yang patuh
dalam melakukan pemakaian APD. Hasil analisis bivariat diperoleh
nilai rata-rata Kejadian vulnus /luka pada nelayan sebelum dan
setelah penggunaan APD dalam penelitian ini Menunjukkan
terjadinya penurunan yang cukup signifikan dibuktikan dengan
nilai p value sebesar 0,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2014), yang
Menyimpulkan bahwa penggunaan APD menurunkan kejadian
cedera akibat kerja pada kelompok Pekerja yang memiliki perilaku
tinggi akan mampu membedakan dan mengetahui bahaya
Disekitarnya serta dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan
prosedur yang ada karena mereka Sadar akan resiko yang diterima,
sehingga kecelakaan kerja dapat dihindari. Pekerja yang memiliki
Pengetahuan tinggi akan berusaha menghindari kecelakaan ringan
dengan menggunakan APD Karena mereka sadar bahwa
kecelakaan ringan akan menyebabkan kecelakaan kerja yang lebih
Parah. Sebaliknya pekerja yang memiliki perilaku rendah dalam
penggunaan APD akan cenderung Mengabaikan bahaya
disekitarnya dan tidak melakukan pekerjaan sesuai prosedur
karena Ketidktahuan akan resiko akan diterima (Wibowo,
2015).Kalalo (2016), menjelaskan bahwa pemakaian APD yang
tidak lengkap pada nelayan Berhungungan dengan kejadian cedera
vulnus laceratum karena dengan pemakaian APD pada
Ekstremitas yang lengkap dapat melindungi ekstremitas dari luka
atau vulnus yaitu hilang atau Rusaknya sebagian jaringan tubuh
dalam hal ini kulit, yang salah satunya adalah vulnus laceratum
Merupakan luka yang tepinya tidak rata yang biasanya
desebabkan oleh benda yang permukaannya Tidak rata dan
menimbulkan sobekan dengan kedalaman menembus lapisan
mukosa hingga lapisan Otot, artinya apabila terjadi kontak
langsung dengan benda tanpa ada yang melindungi akan timbul
Luka dan akan besar kemungkinan terjadi luka sobek atau vulnus
laceratum
Menurut peneliti, penggunaan APD merupakan cara yang
paling mudah untuk dilakukan dalam Mengontrol ataupun
mengurangi kejadian vulnus / luka. Selain mudah dilakukan,
penggunaan APD Ini tidak membutuhkan banyak biaya dan
konsentrasi yang tinggi, seperti halnya tindakan antisipasi
Kecelakaan kerja lainnya dan dengan menggunakan APD, nelayan
mampu mengekspresikan perilaku Pekerjaannya dengan mudah.
Keberhasilan penatalaksanaan terhadap kejadian vulnus atau luka
dengan penggunaan APD Dapat meningkatkan kepuasan nelayan
terhadap aktifitas pekerjaannya setiap hari. Hal ini sesuai Dengan
pendapat Patasik (2013), bahwa dengan adanya kesadaran dan
perhatian terhadap kejadian Vulnus / luka yang dirasakan oleh
nelayan maka akan meningkatkan kesadaran nelayan dalam
Menggunakan alat pelindung diri. Berdasarkan hasil penelitian dan
uraian diatas maka penulisBerasumsi bahwa penggunaan alat
pelindung diri (APD) sangat efektif untuk mengurangi kejadian
Vulnus / luka yang dirasakan oleh nelayan keramba.

2.5 Peran Pemerintah dan Institusi Terkait dalam Pencegahan dan


Pengendalian Kecelakaan Kerja di Pesisir Kepulauan
Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah dan
mengendalikan kecelakaan kerja di pesisir kepulauan. Undang-undang
No.1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja telah mengatur
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada semua
tempat kerja yang bertujuan agar tenaga kerja dan orang lain yang
berada pada di tempat kerja terjamin keselamatannya, serta peralatan,
aset dan sumber produksi yang dapat digunakan secara aman dan
efisien agar terhindar dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
mengamanatkan perlindungan bagi tenaga kerja dari terjadinya
kecelakaan kerja. Upaya pencegahan kecelakaan kerja dilakukan
melalui program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Keselamatan
kerja adalah suatu usaha yang dapat mendorong terciptanya keadaan
yang aman dan sehat ditempat kerja, baik tenaga kerja maupun
lingkungan kerja itu sendiri. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan hak dasar para pekerja.
Kebijakan pemerintah dalam perlindungan K3 dituangkan dalam
UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Tujuan pelaksanaan
K3 adalah:
1) Menjamin pekerja dan setiap orang lainnya yang berada di tempat
kerja selalu berada dalam keadaan sehat dan selamat;

2) Sumber-sumber produksi dapat dipakai dan digunakan secara


aman dan efisien;

3) Proses produksi berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Kebijakan pemerintah dalam perlindungan K3 berkaitan dengan


pekerja di mulai dari memasuki wilayah Kawasan perusahaan di jaga
keselamatan kerjanya dengan berbagai prosedur yang telah di
tetapkan dan menggunakan semua alat yang telah di sediakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahum 2003 tentang
ketenagakerjaan yang berbunyi: Pasal 86 Ayat (1) Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja, b. moral dan kesusilaan, c.
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama. Ayat (2) Untuk melindungi keselamatan
pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Ayat (3)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai denganperaturan perundang- undangan yang
berlaku. Dan pada Pasal 87 Ayat (1) Setiap perusahaan wajib
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yangterintegrasi dengan system manajemen perusahaan. Ayat (2)
Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerjasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan dalam Paragraf 5 pasal 86 menyatakan bahwa:
1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan atas:
Kesehatan dan Keselamatan Kerja; Moral dan Kesusilaan dan
Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya K3;

3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)


dilaksanakan seusai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam pasal 87 UU 13 tahun 2002 disebutkan bahwa:

1) Setiap perusahaan wajib menerapkan system manajemen


keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan
sistem manajemen perusahaan;

2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen


keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Implementasi K3 dalam sebuah system manajemen terintegrasi


diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja. No. Per 05/Men/9
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
dan Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 tentang Penerapam
SMK3. Perlindungan K3 dimaksudkan untuk memberi jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja.
Pelaksanaan K3 dapat mencegah risiko kerugian akibat kecelakaan
kerja berupa sakit, cacat hingga meninggal, biaya perawatan serta
biaya perawatan atau penggatian peralatan yang rusak (Kasidi, 2010).
Semua kecelakaan kerja harus dilaporkan pada petugas yang
ditunjuk oleh departemen tenaga kerja. Hukum keselamatan kerja
mengatur tentang daftar pekerjaan yang mengharuskan pemeriksaan
kesehatan pekerja/buruh sebelum bekerja. Pemeriksaan kesehatan
rutin juga harus dilaksanakan. Dan Perusahaan dengan 100
pekerja/buruh atau lebih, yang memiliki resiko tinggi, harus memiliki
manajemen sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang memenuhi
persyaratan. Perwakilan pekerja/buruh harus setuju pada manajemen
sistem keselamatan dan kesehatan kerja; yang juga harus dijelaskan
kepada semua pekerja/buruh, supplier, dan pelanggan. Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus mengawasi pelaksanaan dari
sistem tersebut, serta melakukan pemeriksaan dan evaluasi secara
rutin.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 tahun 1964 tentang
Syarat Kesehatan, Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja
memberikan persyaratan khusus untuk tempat kerja. Langkah-langkah
pencegahan harus diambil untuk menghindari kebakaran, kecelakaan,
keracunan, infeksi penyakit karena pekerjaan, penyebaran debu, gas,
uap panas serta bau yang mengganggu. Kementerian
Ketenagakerjaan telah mengeluarkan peraturan baru mengenai
kesehatan dan keselamatan tempat kerja yang meniadakan peraturan
yang berlaku sebelum peraturan tahun 1964. Peraturan baru ini
memberikan pedoman baru untuk nilai ambang batas kimia dan fisik,
dan juga memberikan pedoman untuk kualitas udara dalam ruangan
untuk menciptakan tempat kerja yang layak. Dan Perusahaan harus
menyediakan cahaya yang cukup, pengaturan suhu dan ventilasi,
kebersihan, penyimpanan dan pembuangan sampah rutin; Perusahaan
harus dibangun secara baik dan dibuat dari material yang tidak mudah
terbakar; pengecatan dinding dan atap secara rutin, minimal 5 tahun
sekali; kamar mandi terpisah bagi laki-laki dan perempuan (setidaknya
1 kamar mandi untuk setiap 15 orang pekerja/buruh); pengaturan yang
higienis bagi setiap personil; makanan dan minuman; asrama bagi
personil (bila memungkinkan); pengaturan posisi kerja dan meja kerja;
dan lampu darurat untuk malam hari di tempat kerja.
Kebijakan pemerintah dalam Peraturan Pemerintah RI No.50
tahun 2012 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) menegaskan adanya system manajemen dalam
pengelolaan Upaya pencegahan kecelakaan kerja. Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur proses dan
sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman. Peraturan
Pemerintah RI No.50 tahun 2012 juga memuat uraian tentang
Pedoman Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terdiri
dari: Kebijakan, Perencanaan K3, Pelaksanaan perencanaan K3,
Pemantauan dan Evaluasi kinerja K3, peninjauan dan peningkatan
kinerja K3 (Ramli, 2010; Tarwaka, 2015).
Sistem pengawasan ketenagakerjaan sudah di atur di dalam
Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan yang
mana mengatur segala sesuatu hal yang berkaitan dengan masalah
antara pekerja/buruh dan Pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1)
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh
pengawas ketenagakerjaan pemerintah, yang ditentukan oleh menteri
atau pejabat pemerintahan lainnya yang ditunjuk mewakili menteri,
yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan
Undang-undang mewajibkan unit pengawasan ketenagakerjaan di
kantor pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan
ketenagakerjaan, baik di tingkat pusat maupun provinsi, dimana
tugasnya terkait pengawasan ketenagakerjaan dilaporkan kepada
menteri yang bersangkutan. Pengawas ketenagakerjaan berkewajiban
untuk merahasiakan semua pekerjaannya yang perlu atau harus
dirahasiakan, dan mampu menahan diri dari penyelewengan
kewenangan.
Permasalahan tentang Kesehatan Kerja juga di atur di dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2019
Tentang Kesehatan Kerja di mana di dalam peraturan pemerintah ini
sangat jelas menekankan tentang bagaimana pekerja/bruh harus
diperhatikan tentang persoalan Kesehatannya, salah satu pasal yang
dapat kita liat yaitu Pasal Pasal 2 Ayat (1) Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Kesehatan Kerja secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan. Ayat (2) Penyelenggaraan Kesehatan Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya: pencegahan
penyakit; peningkatan kesehatan; penanganan penyakit; dan
pemulihan kesehatan. Ayat (3) Upaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan standar Kesehatan Kerja. Ayat (4)
Standar Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diiaksanakan dengan memperhatikan Sistem Kesehatan Nasional dan
kebijakan keselamatan dan Kesehatan Kerja nasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Pasal 3 Ayat (1)
Penyelenggaraan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditujukan kepada setiap orang yang berada di Tempat Kerja.
Ayat (2) Penyelenggaraan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Pengurus atau Pengelola Tempat
Kerja dan Pemberi Kerja di semua Tempat Kerja.
Dari pasal-pasal tersebut dapat kita liat bahwa pemerintah serius
dalam menangani dan memperhatikan para pekerja/buruh agar setiap
pekerja selalu di lindungi dan diperhatikan oleh para penguasa, serta
pemerintah ikut serta dalam bertanggungjawab untuk melindungi
kesehatan dan keselamatan kerja dengan menghasilkan SDM yang
kompeten dalam menciptakan suatu sistem keselamatan dan
kesehatan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja,
kondisi kerja dan lingkungan kerja.

2.6 Manfaat Pencegahan dan Pengendalian Kecelakaan Kerja di Pesisir


Kepulauan
Gambar 2: penggunaan Apd

Daerah pesisir diartikan sebagai daerah daratan yang


berbatasan dengan laut, batas yang masih dipengaruhi oleh pasang
surut, angin laut dan instrusi garam, sedangkan batas Di laut adalah
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan
seperti Sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-
daerah laut yang dipengaruhi Oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan.
Sebagian besar masyarakat pesisir bermata pencaharian di
sektor pemanfaatan Sumberdaya kelautan (marine resource based),
seperti nelayan, pembudidaya ikan, Penambangan pasir dan
trasportasi laut. Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat Pesisir,
khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan
kumuh. Dengan Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif
berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, Maka dalam jangka
panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar
guna Pemenuhan kebutuhan masyarakat Di daratan meliputi daerah-
daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu upaya
pemberian Perlindungan kepada tenaga kerja dan orang lain dari
potensi yang dapat Menimbulkan bahaya dan mengancam kesehatan
pekerja. Bagi Pekerja di pesisir kepulauan yang kebanyakan adalah
nelayan yang Notabene sebagai pekerja di sektor informal, K3 menjadi
sangat penting karena Tingginya faktor risiko kerja yang harus
dihadapi oleh nelayan. Oleh karena itu, Penerapan perilaku
Pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja yang sesuai sangat
dibutuhkan untuk menghindarkan Nelayan dari kecelakaan kerja.
Pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja Secara khusus
bertujuan untuk Mencegah atau mengurangi Kecelakaan dan
akibatnya. Komponen terpenting dalam menjaga Keselamatan jiwa
dan keselamatan Peralatan kerja adalah pengetahuan Tentang
penggunaan perlengkapan Keselamatan kerja bagi Pekerja pesisir.
Utamanya Adalah Nelayan.
Nelayan yang memiliki risiko yang sangat tinggi dengan
Mempertimbangkan ketidak pastian dari alam, nelayan harus tetap
menjaga Keselamatan dan dalam kondisi aman. Nelayan memiliki hak
atas Pengetahuan yang memadai dan hak untuk berhenti bekerja
ketika dalam Bahaya yang akan mengancam keselamatan atau
kesehatan mereka (Saleh, 2018). Salah satu nelayan yang memiliki
risiko tinggi dalam pekerjaannya Yakni nelayan yang melakukan
aktivitas penyelaman tradisional Manfaat dari pencegahan dan
pengendalian kecelakaan kerja adalah
Manfaat pencegahan dan pengendalian kecelakaan kerja di pesisir
kepulauan
 mencegah risiko bahaya terjadinya kecelakaan kerja

 melindungi karyawan

 meningkatkan produktivitas dan efektivitas organisasi

 menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja di pesisir


kepulauaneban kerja, kapasitas kerja, dan lingkungan kerja

Adapun Manfaat lainnya untuk pencegahan dan pengendalian


kesehatan kerja di tempat kerja yakni guna memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan untuk dapat mencegah timbulnya
gangguan kecelakaan dan gangguan kesehatan akibat kerja yang
diakibatkan dari aktivitas pekerjaan, lingkungan kerja dan bahan serta
alat yang digunakan di tempat kerja.
Kecelakaan kerja yang paling banyak terjadi pada pekerja di
pesisir adalah terkena bisa binatang laut, yaitu sebesar 35,71%, selain
itu jenis kecelakaan yang terjadi pada pekerja adalah terpeleset,
tenggelam, kapal karam, kena Jaring, pisau dan engkol mesin.
Menurut Suma’mur [9] ada beberapa ikan dan binatang laut yang
berduri sehingga Melukai nelayan atau mengandung racun berbahaya.
Terkait dengan kecelakaan kerja yang terjadi ada beberapa Upaya
pencegahan kecelakaan yang dapat dilakukan antara lain nelayan
harus pandai berenang, kesehatan fisik Harus baik, tersedia alat
pertolongan pertama pada kecelakaan, perahu lapuk dan tali temali
yang usang tidak lagi Dipergunakan
Risiko dan bahaya yang terdapat pada nelayan harus dapat
diminimalisir Agar tidak menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat
kerja. Manajemen Risiko perlu dilakuan pada aktivitas penyelaman
yang dilakukan oleh nelayan Tradisional. Beberapa tahapan untuk
melakukan manajemen risiko menurut Risk Management Standard
AS/NZS 4360 dalam Ramli (2010), tahapan Untuk melakukan
manajemen risiko antara lain melakukan identifikasi Bahaya, analisa
risiko, evaluasi risiko, melakukan pengendalian risiko dan Menghitung
risiko sisa.
Adapun manfaat atau fungsi Keselamatan dan kesehatan kerja untuk
pekerja antara lain:
 Pekerja mamahami bahaya dan risiko dari pekerjaannya

 Pekerja memahami tindakan pencegahan agar tidak terjadi


kecelakaan

 Pekerja memahami hak dan kewajibannya khususnya dalam


peraturan terkait dengan Keselamatan dan kesehatan kerja

 Pekerja mengetahui bagaimana bertindak dalam keadaan darurat


seperti kebakaran, gempa, kecelakaan, dan sebagainya

 Pekerja mampu berpartisipasi untuk membuat tempat kerjanya


lebih aman

 Pekerja dapat melindungi rekan kerjanya dari risiko kecelakaan


kerja

 Pekerja mampu untuk menghindarkan keluarganya dari penyakit-


penyakit yang mungkin bisa tertular dari tempat kerja

 Pekerja mampu untuk tetap memiliki penghasilan

 Pekerja mampu untuk tetap berkontribusi terhadap perekonomian


keluarganya

Secara umum tujuan Kesehatan & Keselamatan Kerja (K3) adalah


sebagai berikut :
1) Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatan dalam melakukan
pekerjaan Untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi
serta produktivitas Nasional.

2) Menjamin keselamatan dan kesehatan orang lain yang berada di


tempat dan Sekitar pekerjaan itu,

3) Menjamin terpeliharanya sumber produksi dan pendayagunaannya


secara Aman ,efisien dan Efektif.

4) Khusus dari segi kesehatan, mencegah dan membasmi penyakit


akibat ekerjaan

Anda mungkin juga menyukai