Anda di halaman 1dari 217

MAKALAH

REMEDIASI BADAN AIR DAN PESISIR

“MASALAH LINGKUNGAN DAN PENANGGULANGANNYA”

OLEH:

MUHAMAD RONAL ARGIANTO

E1F119025

PROGRAM STUDI REKAYASA INFRASTRUKTUR & LINGKUNGAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

 Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
Kimia Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai
makalah “Masalah lingkungan pesisir dan penanggulangannya”.

                 Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati
menerima masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,

                Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaledupa, 20 Mei 2020


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN
A. MASALAH LINGKUNGAN PESISIR
B. PENANGGULANGAN MASALAH LINGKUNGAN PESISIR

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya
tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai
tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola
dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Delinom (2007:2) mendefinisikan,

Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana
lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan
sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan
lebar bervariasi.

Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan berbagai pihak.
Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas
yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan ekosistem pesisir sebagai ekosistem
yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami maupun buatan. Penanggulangan atas
permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat mengurangi maupun mencegah kerusakan
yang terjadi. Makalah ini menyajikan permasalahan pesisir yang diakibat oleh faktor alam
maupun manusia beserta penanggulangannya yang tepat atas permasalahan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Permasalahan apa saja yang terdapat di daerah pesisir?


2. Apa saja penyebab permasalahan pesisir?
3. Bagaimana cara menanggulangi permasalahan pesisir yang terjadi?

C. Tujuan

Tujuan makalah ini adalah :

1. Mengetahui permasalahan yang terdapat di daerah pesisir.


2. Mengetahui penyebab dari permasalahan yang terjadi di daerah pesisir.
3. Mengetahui cara menangani permasalahan yang terjadi di daerah pesisir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Daerah Pesisir

            Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat da lat; kea rah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, mauun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggndulan hutan dan
pencemaran (soegiarto, 1976; Dahuri et al 2001).

Menurut Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena
dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemnya daratan an lautan. 

“wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat
mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dank e arah
laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (beatley., 1994).”

Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena dapat
meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Banyaknya
kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat rentan terhadap
kerusakan dan pengrusakan. Menurut Hinrichsen(1997) dalam Idris(2001), “wilayah pesisir
memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga
lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi”. Kerusakan sumber daya alam
saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam. Perilaku manusia saat
ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme dimana cara pandang manusia hanya melihat dari
sudut prinsip etika terhadap manusia saja, baik dari sisi kebutuhannya maupun kepentingannya
yang lebih tinggi dan terkadang sangat khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk
selain manusia dan benda lainnya hanya dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia
atau yang dikenal dengan prinsip instrumentalistik (Susilo 2008:61)

A. Masalah Lingkungan di Pesisir

  Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang mudah terpengaruh
dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan
pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya
merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi
merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta
pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, perairan
pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran. Beberapa penyebab kerusakan pesisir yaitu:
1. Penyebab Kerusakan Pesisir

Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi dua, yaitu: kerusakan
karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik

a. Kerusakan karena Faktor Alam

Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino,
pemanasan, predator, erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara
alami ataupun akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana alam
berupa tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerusakan di daerah
pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada
medium laut. Masalah banjir di Indonesia lebih sering disebabkan oleh manusia. Contoh-contoh
penyebabnya, yaitu: pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak sempat membangun sarana
drainase, adanya bangunan-bangunan liar di sungai, sampah yang dibuang di sungai,
penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu. Masalah erosi yang terjadi
dapat pula disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.

b. Kerusakan Akibat Antropogenik

Perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh etika antroposentrisme. Antroposentrisme ini


merupakan simbol kerakusan manusia yang tidak hanya bersifat individual tetapi dapat bersifat
kolektif. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini
marak dilakukan. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini
manusia telah memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia
mengeksploitasi alam dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa
berpikir panjang terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak akibat aktivitas tersebut dapat
merusak sumber daya alam khususnya dalam hal ini ekosistem pesisir.

Aktivitas manusia pun dapat menimbulkan pencemaran yang mengancam ekosistem.


Pencemaran-pencemaran tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik yang fatal di daerah pesisir.
Miller (2004) dalam Mukhtasor (2007:7),“pencemaran adalah sebarang penambahan pada udara,
air dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia
atau organisme hidup lainnya”. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 dalamMukhtasor (2007:7),
“pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain ke dalam lingkungan  oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya”. Hal ini berarti, pencemaran tidak hanya dapat merusak tatanan ekosistem pesisir
tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia serta dapat mematikan makhluk hidup yang
memanfaatkan sumber daya pesisir yang telah tercemar tersebut. Beberapa contoh kejadian
pencemaran pesisir dan laut dapat dilihat pada lampiran 1 (tabel 1.1).

Berdasarkan sumbernya, kerusakan yang disebabkan oleh antropogenik dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:

 Darat
Daerah-daerah pesisir yang memiliki pencemaran tinggi adalah daerah industri, daerah yang
padat penduduk dan pertanian. UNEP(1995) dalam Idris(2001), “sumber utama pencemaran
pesisir dan lautan berasal dari daratan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu dari kegiatan industri,
kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian”. Kegiatan-kegiatan tersebut telah
menyumbangkan limbah berupa limbah cair dan padat yang menimbulkan dampak serius pada
daerah pesisir dan makhluk hidup sekitarnya.

Kegiatan rumah tangga seringkali menimbulkan limbah domestik berupa limbah cair dan
padat. Limbah cair domestik dapat dibagi dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) limbah cair yang
berasal dari air cucian seperti sabun, deterjen, minyak dan pestisida; (2) limbah cair yang berasal
dari kakus seperti sabun, shampoo, tinja dan air seni.[2] Limbah cair mengandung bahan organik
dan anorganik serta jutaan sel mikroba dan bakteri. Kandungan yang terdapat dalam limbah cair
dapat mengancam kesehatan masyarakat yang menggunakan air yang telah tercemar sehingga
menimbulkan penyakit yang dapat dilihat pada lampiran 1  (tabel 1.2).

Pabrik-pabrik yang berada di sekitar pesisir pun menimbulkan pencemaran berupa limbah
industri. Limbah industri tersebut mengandung unsur yang sangat beracun, seperti basa, logam
berat dan bahan organik yang beracun. Menurut Diposaptono (2001:8-15), pencemaran oleh
industri dapat disebabkan oleh  beberapa faktor, yaitu: perencanaan daerah industri yang tidak
teratur, perencanaan tata kota yang kurang baik, dan tidak tersedianya fasilitas pengolah limbah
pada daerah industri.

Limbah padat berupa sampah kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan sampah ke
laut sering menjadi alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan dinilai tidak
efektif dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan berpengaruh bagi lautan
yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai pengaruh terhadap kehidupan
laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai dan mengurangi keindahan laut
serta menghalangi penetrasi cahaya matahari. Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke
dasar laut dan berpengaruh terhadap komunitas bentos (Mukhtasor 2007:137-142).

 Laut

Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen dan
pembuangan material hasil pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan
pencemaran yang dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari pengerukan
sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan. Material hasil kerukan
biasanya dibuang beberapa kilometer dari pantai sehingga menimbulkan efek pencemaran bagi
kehidupan perairan sekitar. Selain itu, juga dapat menimbulkan turbiditas[3] yang mengancam
bentik[4]. Hal ini berpengaruh bagi kehidupan perairan karena kebanyakan bahan kerukan
diambil dari daerah pelabuhan yang biasanya telah tercemar (Mukhtasor 2007:170-187).

Tumpahan minyak ke laut dapat berasal dari berbagai sumber. Biasanya tumpahan minyak
berasal dari tabrakan kapal tanker, atau dari proses yang disengaja seperti pencucian tangki balas.
Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia pun sering terjadi, misalnya dalam kurun waktu
1997-2001. Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat
membahayakan karena dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun
efek jangka panjang. Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut berupa
perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut. Selain itu,
tumpahan minyak dapat berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang
menggantungkan hidupnya di sektor perikanan dan budi daya (Mukhtasor 2007:234:249).

B. PENANGGULANGAN PERMASALAHAN PESISIR

Penanggulangan kerusakan pesisir dilakukan untuk menangani permasalahan yang terjadi


di daerah pesisir. Kegiatan penanggulangan ini dapat dilakukan dengan mitigasi[5], kegiatan
preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi
(Diposaptono 2001:8-15).

1. Kegiatan Mitigasi

Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani permasalahan di daerah pesisir seperti
penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Kegiatan penanggulangannya
dengan menanam mangrove di wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami atau erosi.
Penanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penghadang gempuran tsunami atau ombak,
sehingga energi gelombang dapat diredam dan akan mengurangi dampak negatif berupa korban
jiwa dan harta benda.

2. Kegiatan Preventif/Pencegahan

Kegiatan preventif/pencegahan adalah kegiatan yang berupa untuk mencegah terjadinya


kerusakan. Kegiatan ini misalnya penerapan AMDAL  yang berupaya mencegah kerusakan
pesisir. Pada masalah limbah domestik dapat dilakukan pengolahan sampah dan Gerakan Bersih
Pantai dan Laut sedangkan limbah pemanfaatan ikan dapat diolah menjadi pakan ikan, terasi.

3. Kegiatan Pemulihan

Kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan keadaan yang telah
mengalami kerusakan. Menurut Diposaptono (2001:8-15), kegiatan pemulihan dapat berupa
restorasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Berdasarkan hasil penelitian Suhardi (2001:2-1),
pendekatan sedimen sel dapat diterapkan di Indonesia dalam menangani masalah erosi (tipe
pantai terbuka) dan akresi (tipe pantai terlindung. Sedangkan pada kasus tumpahan minyak dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode fisika/mekanis (penggunaan boom,
absorben, dan skimmer[7]), metode kimia (penggunaan dispersan), metode biologi
(bioremediation), dan dengan pembakaran.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Daerah pesisir memiliki daya tarik dan potensi ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu,
berbagai pihak berlomba-lomba untuk memanfaatkan dan mengelola daerah pesisir. Maraknya
aktivitas yang dilakukan menjadikan ekosistem pesisir rentan terhadap kerusakan dan perusakan
yang terjadi. Permasalahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam berupa
bencana alam dan faktor antropogenik. Kerusakan yang dilakukan akibat ulah manusia dapat
bersumber dari darat maupun laut. Sumber kerusakan yang berasal dari darat berupa limbah
industri, limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Sedangkan kerusakan yang berasal dari laut
berupa pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil pengerukan serta tumpahan minyak.
Dampak negatif yang ditimbulkan tidak hanya merugikan lingkungan dan biota yang ada tetapi
juga dapat membahayakan manusia itu sendiri. Penanggulangan atas permasalahan pesisir yang
terjadi perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan mitigasi, kegiatan
preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini, maka dapat di berikan saran kepada masyarakat sekitar
khususnya masyarakat pesisi untuk tetap menjaga lingkungannya agar tidak terjadi kerusakan
yang dapat merusak lingkungan dan ekosisten pesisir maupun makhluk hidup di pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
 

Delinom RM & Lubis RF. 2007. Air tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam: Delinom
RM,editor. Sumber daya air di wilayah peisisir & pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta: LIPI
Press. Hal1-25.

Diposaptono Subandono. 2001. Riset teknologi pesisir: kini dan masa datang. Dalam:
Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta:
Graha Sucofindo. Hal1-20.

Idris Irwandi. 2001. Kebijakan pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia. Dalam: Rachmawati
Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha
Sucofindo. Hal1-9.

Manik KES. 2003. Pengelolaan lingkungan hidup. Jakarta: Djambatan. 259hal.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322hal.

Satria Arif. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press. 176hal.
PARTISIPASI MASYARAKAT PESISIR DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM
HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU

Iwang Gumilar

Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas


Padjadjaran Kampus FPIK, Jatinangor UBR 40600 Jawa Barat
Email: iwang_gumilar@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian mengenai aspek sosial budaya masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan
mangrove ini bertujuan untuk menganalisis persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Indramayu karena akar masalah kerusakan
ekosistem hutan mangrove berawal dari perilaku manusia itu sendiri dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada. Metode penelitian secara umum yang digunakan adalah metode studi
kasus. Variabel yang diteliti meliputi persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove. Pengukuran derajat persepsi dan partisipasi diukur menggunakan
metode skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap 10 kriteria
pengelolaan hutan mangrove, 7 kriteria diantaranya, yaitu kerusakan wilayah pesisir karena faktor
alam, kerusakan wilayah pesisir lebih karena perbuatan manusia, kerusakan hutan mangrove
karena abrasi dan kepentingan ekonomi. Mangrove memiliki manfaat penting bagi lingkungan
pesisir, pengelolan hutan mangrove tanggung jawab bersama, perusahaan lokal berpartisipasi
dalam pelestarian lingkungan, dan pemda sudah menjalankan tugas pengelolaan lingkungan
dengan baik; menunjukkan nilai skala Likert berada pada rentang positif. Sementara itu, untuk 3
kriteria lainnya, yaitu mangrove memiliki manfaat penting bagi kegiatan tambak, penegakan
hukum lingkungan dinilai sudah cukup memadai, dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
lingkungan meningkat; responden memiliki persepsi negatif terhadap kriteria tersebut. Indeks
partisipasi masyarakat berada pada rentang 0,50 – 0,60. Nilai rata- rata CRI sebesar 2.48 yang
berada pada rentang cukup bertanggung jawab terhadap upaya pelestarian lingkungannya.

Kata kunci: csr, partisipasi, persepsi, indeks, dan sosial budaya

ABSTRACT

The research on social aspect culture of society in the management eco forest ecosystem is to
analyze perception and public participation in the preservation of forest ecosystem eco in the
coastal indramayu because root of problem damage forest ecosystem eco came from human
behavior itself in the harness natural resources. Method research in general used is method case
study. Variable surveyed covering perception and public participation in the preservation of forest
ecosystem mangrove. Measurement degrees perception and participation measured using methods
scale likert. The result showed that perception respondents against 10 criteria forest management
mangrove, 7 criteria are namely damage coastal region because the nature, damage coastal region
more as the works of men, damage hutan mangrove because abrasion and economic importance.
Mangrove has important benefits for the environment, coastal mangrove forests of pengelolan
shared responsibility, local companies participating in the preservation of the environment, and
local authorities are already
running task management environments well; Likert scale shows the value in the positive range. In
the meantime, to 3 other criteria, that have important benefits for mangrove activity embankment,
environmental law enforcement assessed already quite insufficient, and public participation in the
preservation of the environment is increasing; respondents have a negative perception against these
criteria. Index of public participation was at 0.50 -0.60 range.

Keywords : CSR, participation, perception, index, and socio-cultural

I. PENDAHULUAN masyarakat yang ada di sekitarnya.


Kegiatan manusia, pola pemanfaatan
sumberdaya alam dan pola pembangunan
dituding sebagai faktor penyebab penting
yang terjadinya kerusakan ekosistem hutan
mangrove. Tindakan manusia seperti
membuka lahan untuk tambak yang
melampaui batas daya dukung, maupun
memanfaatkan tanaman mangrove secara
berlebih tanpa melakukan rehabilitasi akan
menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem
hutan mangrove. Pola pemanfaatan lahan
yang bersifat tidak ramah lingkungan juga
akan mengancam keberadaan ekosistem
hutan mangrove. Demikian pula pola
pembangunan yang dijalankan di daerah akan
mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan
mangrove.

Pada saat ini ada indikasi bahwa


kerusakan ekosistem hutan mangrove dan
ancaman kepunahan spesies mangrove di
wilayah pesisir Kabupaten Indramayu
semakin meningkat. Faktor penyebab
kerusakan dan akar masalahnya cukup
kompleks. Namun inti dari semua
permasalahan degradasi hutan mangrove itu
pada hakekatnya bersumber pada manusia
beserta perilakunya, dalam hal ini adalah
Persepsi, dan partisipasi merupakan unsur lingkungan terkait yang mencakup aspek
perilaku manusia yang akan mempengaruhi ekologi, ekonomi dan sosial. Perumusan
bagaimana seorang manusia bertindak. strategi kebijakan itu sendiri memerlukan
sejumlah data dan informasi yang memadai
Guna menjamin fungsi ekosistem
agar menghasilkan arahan kebijakan
hutan mangrove berjalan dengan baik bagi
pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang
lingkungan secara keseluruhan di wilayah
jelas. Dalam konteks sosial budaya
pesisir Kabupaten Indramayu, maka sangat
masyarakat, maka perlu dilakukan studi
diperlukan suatu strategi kebijakan
komprehensif mengenai aspek sosial budaya
pengelolaan ekosistem hutan mangrove
masyarakat yang ada di sekitar hutan
yang efektif yang berlandaskan prinsip-
mangrove di Kabupaten Indramayu.
prinsip pengelolaan lingkungan secara
Komponen sosial budaya yang diteliti
berkelanjutan, yaitu pengelolaan yang
meliputi persepsi dan partisipasi masyarakat.
dilakukan secara terpadu (integral) dan
Studi ini bertujuan untuk menganalisis
menyeluruh (holistik) dari aspek-aspek
persepsi dan

partisipasi masyarakat dalam pelestarian


Persepsi masyarakat yang dikaji dalam
ekosistem hutan mangrove yang ada di
penelitian ini berkaitan dengan pemikiran dan
wilayah pesisir Indramayu. Dengan studi ini
pendapat masyarakat tentang isu dan suatu
diharapkan dapat memberikan bahan
tindakan yang berkaitan dengan upaya
informasi dan masukan bagi perumusan
pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove
strategi dan arah kebijakan pengelolaan
yang ada di wilayah pesisir Indramayu.
ekosistem hutan mangrove berkelanjutan.
2) Partisipasi masyarakat

II. DATA DAN PENDEKATAN Partisipasi masyarakat yang dikaji


dalam penelitian ini berkaitan dengan
Metode penelitian secara umum yang
keikutsertaan masyarakat secara individu,
digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kolektif maupun kelembagaan dalam upaya
studi kasus (case study). Variabel yang
pengelolaan hutan mangrove yang ada di
diteliti dalam penelitian sosial budaya
masyarakat ini yang ada di sekitar hutan
mangrove di Indramayu meliputi persepsi
dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove yang ada di
wilayah pesisir Indramayu.

2.1. Persepsi
1) Persepsi Masyarakat
wilayah pesisir Indramayu. Dalam aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Jumlah
penelitian ini, pengkajian partisipasi dibagi sampel yang diambil sebanyak 35 orang yang
atas dua kategori, yaitu partisipasi tersebar di desa-desa yang ada di wilayah
masyarakat umum yang ada di sekitar hutan pesisir Indramayu mulai dari Sukra hingga
mangrove. Krangkeng.

Secara umum teknik pengumpulan 2.2. Analisis Data


data yang digunakan dalam penelitian aspek Secara umum metode analisis yang
sosial budaya masyarakat ini adalah teknik digunakan dalam penelitian ini adalah metode
observasi lapangan, wawancara dan analisis deskripsi, yaitu metode analisis yang
pengumpulan data sekunder (Pendekatan berusaha menjelaskan kondisi objek kajian
triangulasi). Teknik sampling yang menurut kriteria-kriteria tertentu sehingga
digunakan untuk mengkaji persepsi dan bisa memberikan gambaran yang
partisipasi masyarakat ini adalah teknik sesungguhnya terjadi di tempat penelitian
terpilih (purposive sampling) dimana tersebut. persepsi dan partisipasi masyarakat
sampel ditentukan atau dipilih sesuai dianalisis menggunakan metode deskriptif
dengan kriteria yang ditentukan antara lain kuantitatif.
tokoh masyarakat setempat yang memahami Metode yang digunakan untuk
situasi dan kondisi lingkungan, dan terlibat mengukur persepsi masyarakat adalah
Metode

Skala Likert dan indeks persepsi masyarakat Tingkat partisipasi masyarakat dalam
(IPm). Metode Skala Likert, yaitu metode pengelolaan lingkungan diukur dengan
untuk mengukur luas/dalamnya persepsi, mengunakan indeks partisipasi (IP), yaitu
pendapat dan dari responden. Dalam metode ukuran aggregatif yang disusun untuk
ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, mengukur suatu variabel tertentu dalam hal ini
setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa partisipasi masyarakat. Indeks partisipasi ini
sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan berusaha mengukur tingkat partisipasi
jawaban. Urutan untuk skala Likert masyarakat dari derajat keterlibatan dalam
menggunakan lima angka penilaian, yaitu 1) berbagai aktivitas pengelolaan ekosistem hutan
sangat setuju (SS, bobot 5), 2) setuju (S, mangrove atau kelestarian lingkungan
bobot 4), 3) netral /bstain (A, bobot 3), 4) (F.Stuart Chapin, 1952). Derajat keterlibatan
tidak setuju (TS, bobot 2), dan 5) sangat tidak masyarakat diukur dengan instrumen
setuju (STS, bobot 1). Indeks partisipasi partisipasi dari Arnstein (1969) yang dikenal
masyarakat merupakan ukuran agregat untuk dengan tipologi delapan tangga partisipasi
menilai persepsi masyarakat tentang isu masyarakat (eight rungs on the ladder of
tertentu dengan rentang nilai 0 hingga 1. citizen participation).
III. HASIL DAN DISKUSI 8. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian
3.1. Persepsi Masyarakat lingkungan meningkat
Terdapat sepuluh kriteria pernyataan 9. Perusahaan lokal berpartisipasi
yang digunakan untuk mengukur dan dalam pelestarian lingkungan

persepsi masyarakat terhadap pengelolaan 10. Pemda sudah menjalankan

hutan mangrove di Indramayu sebagai tugas pengelolaan lingkungan dengan

berikut: baik

1. Kerusakan wilayah pesisir karena faktor 1) Persepsi: Kerusakan wilayah pesisir


alam karena faktor alam
2. Kerusakan wilayah pesisir lebih karena Berkaitan dengan kerusakan wilayah
perbuatan manusia
pesisir, seluruh responden menyatakan sangat
3. Kerusakan hutan mangrove karena
setuju (100%, SS; IPm=1) dengan pernyataan
abrasi dan kepentingan ekonomi
bahwa kerusakan wilayah pesisir disebabkan
4. Mangrove memiliki manfaat penting
bagi lingkungan pesisir karena pengaruh faktor fisik alam seperti
5. Mangrove memiliki manfaat penting perubahan arus, gelombang yang
bagi kegiatan tambak
menyebabkan abrasi. Dengan kata lain,
6. Pengelolan hutan mangrove
persepsi masyarakat terhadap isu ini berada
tanggung jawab bersama
pada rentang positif. Pada saat ini secara fisik
7. Penegakan hukum lingkungan
dinilai sudah cukup memadai alam mereka merasakan adanya perubahan

pasang surut dimana ketinggian dan derasnya 2) Persepsi: Kerusakan wilayah pesisir
lebih karena perbuatan manusia
arus dirasakan mulai berubah, musim sering
Kerusakan wilayah pesisir selain
tidak menentu dan gangguan alam lebih
disebabkan karena pengaruh faktor fisik alam
banyak sehingga sering aktivitas mereka
juga dikarenakan faktor perilaku manusia.
menjadi terganggu. Dengan tidak
Responden sebanyak 69% menyatakan sangat
menentunya kondisi fisik alam tersebut telah
setuju (IPm=0,69) dan 31% menyatakan setuju
menyebabkan abrasi pantai semakin
(IPs=0,31) terhadap pernyataan bahwa
meningkat, banyak rumah-rumah nelayan dan
kerusakan wilayah pesisir juga disebabkan
fasilitas sosial lainnya yang ada di pinggir
karena pengaruh perilaku manusia seperti
laut menjadi rusak dan terancam. Rob sering
rendahnya tingkat peminatan masyarakat
terjadi dan membanjiri lingkungan
untuk menanam dan memelihara mangrove,
permukiman dan lokasi tambak mereka.
penebangan liar hutan mangrove yang tidak
Pencemaran air dewasa ini juga telah menjadi
terkendali untuk kepentingan kayu bakar,
isu pokok yang mengancam degradasi
konversi untuk tambak, dan pemanfaatan
lingkungan. Akibatnya banyak kerugian
untuk pembangunan fasilitas publik. Dengan
secara ekonomis yang diderita masyarakat
kata lain, persepsi masyarakat terhadap isu ini
nelayan.
berada pada rentang positif. 3) Persepsi: Kerusakan hutan mangrove
karena abrasi dan kepentingan
ekonomi
Menurut persepsi responden (100%, SS;
IPm=1) kerusakan hutan mangrove di
Indramayu pada saat ini disebakan oleh dua
faktor penting yaitu abrasi pesisir dan adanya
kepentingan ekonomi seperti konversi lahan
tambak yang semakin semarak belakangan
ini karena usaha tambak memberikan peluang
pendapatan lebih baik bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah pesisir. Dengan kata lain,
persepsi masyarakat terhadap isu ini berada
pada rentang positif. Disamping itu,
dorongan kebutuhan hidup/ekonomi mereka
yang semakin meningkat telah mendorong
masyarakat tidak menghiraukan lagi
kelestarian lingkungan. Sebagai contoh untuk
kebutuhan akan bahan bakar mereka mulai
merambah hutan tanaman mangrove karena
harga bahan bakar minyak/bahan bakar yang
semakin mahal dan langka. Kondisi seperti
ini merupakan ancaman bagi keberlanjutan
lingkungan dalam hal ini hutan mangrove.

4) Persepsi: Mangrove memiliki manfaat


penting bagi lingkungan pesisir
Seluruh responden menyatakan sangat
setuju (100%, SS; IPm=1) dengan pernyataan
bahwa mangrove memiliki manfaat penting
bagi lingkungan pesisir seperti manfaat
menahan abrasi, menahan angin, membuat
hijau pemandangan, mengurangi panas /
iklim mikro, sumber kayu bakar dan
sebagainya. Dengan kata lain, persepsi
masyarakat terhadap isu ini berada pada
rentang positif.
Seluruh responden menyatakan perlu adanya tanaman mangrove yang ada di sekitar
tanaman mangrove di sepanjang wilayah tambak. Disamping itu, mereka beranggapan
pesisir. bahwa tanaman mangrove telah
5) Persepsi : Mangrove memiliki manfaat menyebabkan hadirnya sejumlah burung
penting bagi kegiatan tambak yang menjadi ancaman bagi udang atau ikan
Hasil wawancara menunjukkan bahwa
yang ditanam di tambak.
ada sebagian responden yang menyatakan
Pendapat responden tersebut kontradiksi
bahwa hutan mangrove kurang bermanfaat
dengan pragmatisme seorang Cukup
bagi kegiatan usaha tambak. Sebanyak 6%
Rusdianto, penerima Kalpataru dari Menteri
responden menyatakan abstain dan 68%
Lingkungan hidup pada 8 Juni 2008, warga
menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan
masyarakat Desa Pabean Ilir, Kecamatan
bahwa hutan mangrove bermanfaat bagi
Pasekan, Indramayu. Menurutnya, tanaman
kegiatan usaha tambak (IPm=0,26). Dengan
mangrove sangat berguna bagi usaha
kata lain, persepsi masyarakat terhadap isu ini
tambaknya. Ikan-ikan atau udang yang
berada pada rentang negatif. Menurut mereka
ditanam di tambak tidak perlu diberi pakan
mangrove sering menyebabkan pengolahan
intensif, karena tanaman mangrove dan
lahan tambak menjadi lebih susah, banyak
plankton yang ada di lingkungan perairan
serasah di lingkungan kolam, timbul proses
tambak menjadi makanannya. Pendapat
pembusukan karena banyaknya serasah,
tersebut diperkuat oleh pendapat Lear dan
timbul penyakit, dan tempat tinggal burung
Turner (1977) bahwa hutan mangrove
yang dianggap hama untuk udang atau ikan
merupakan daerah yang produktivitasnya
budidaya.
tinggi, karena memperoleh energi berupa zat-
Usaha budidaya tambak dengan
zat makanan yang terbawa ketika pasang
sistem silvofishery di wilayah Indramayu
surut air laut. Hal inilah yang mendorong
belum sepenuhnya dipahami dengan baik
para pembenih ikan untuk melakukan proses
oleh masyarakat. Atas dasar alasan teknis
budidayanya terutama komoditas yang bisa
bahwa serasah daun mangrove dan akarnya
diusahakan pada aerah tersebut, ang salah
sering menyebabkan kegiatan pengolahan
satunya adalah budidaya ikan bandeng dan
lahan tambak, pemeliharaan dan pemanenan
udang. Daun-daun bakau yang telah gugur
tambak, terkendala dan menjadi lebih susah,
dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat
banyak warga masyarakat yang tidak
yang baik bagi bakteri dan jamur. Bakteri dan
menyukai budidaya tambak silvofishery.
jamur sekaligus berfungsi membantu proses
Maunya mereka budidaya tambak secara
pembusukan daun-daun tersebut menjadi
terbuka tanpa ada

detritus. Menurut Arkansoe dalam Kusmana (1996) bahwa detritus ini menjadi makanan
binatang pemakan detritus seperti mangrove disinyalir merupakan ancaman
amphipoda, dan selanjutnya binatang ini akan yang tidak kalah penting bagi pengelolaan
menjadi makanan larva ikan, udang dan hutan mangrove. Responden sebanyak 60%
kepiting. menyatakan sangat tidak setuju; sebanyak
6) Persepsi: Pengelolan hutan mangrove 23% responden menyatakan tidak setuju; dan
tanggungjawab bersama 17% responden menyatakan abstain terhadap
Berkaitan dengan tanggung jawab
pernyataan bahwa penegakan hukum
pengelolaan hutan mangrove, 63% responden
lingkungan dinilai sudah cukup memadai
menyatakan bahwa pengelolaan hutan
(IPm=0). Dengan kata lain, persepsi
mangrove merupakan tanggung jawab
masyarakat terhadap isu ini berada pada
bersama antara pemerintah daerah,
rentang negatif. Responden berpendapat
perusahaan dan masyarakat (IPm=0,63).
penegakan hukum di lapangan sering tidak
Dengan kata lain, persepsi masyarakat
jalan dan proses hukum terhadap pelanggar
terhadap isu ini berada pada rentang positif.
sering tidak tuntas. Masyarakat kecil secara
Responden sebanyak 37% menyatakan tidak
perseorangan umumnya memanfaatkan
setuju terhadap pernyataan bahwa
tanaman mangrove hanya berupa ranting-
pengelolaan hutan mangrove merupakan
ranting yang kecilnya saja dan itupun
tanggung jawab bersama. Menurut mereka
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi
tanggung jawab pengelolaan hutan mangrove
oknum aparat sering menebangi tanaman
terletak pada pemerintah dalam hal ini Perum
mangrove dalam jumlah yang banyak.
Perhutani dan Dinas instansi terkait seperti
Penebangan liar selama ini banyak
dinas lingkungan hidup, dinas perkebunan
terjadi pada saat mangrove sudah tinggi
dan kehutanan serta dinas perikanan dan
sekitar usia 2-3 tahun. Pada saat seperti itu,
kelautan. Responden menyatakan bahwa
pencurian terhadap tanaman mangrove
tidak berhasilnya pengelolaan hutan
semakin meningkat. Mereka membabat
mangrove di wilayah pesisir Kabupaten
tanaman mangrove untuk dijadikan kayu
Indramayu dikarenakan kegiatan penanaman
bakar baik untuk konsumsi sendiri maupun
mangrove umumnya lebih bersifat proyek
untuk dijual tidak terkecuali oknum aparat
sehingga terkesan asal- asalan dalam
atau petugas didalamnya. Disamping itu,
pelaksanaannya.
ketika tanaman mangrove sudah tinggi sering
7) Persepsi: Penegakan hukum lingkungan terbentuk lahan daratan yang tidak
dinilai sudah cukup memadai
berpemilik sehingga banyak orang yang
Adanya oknum aparat yang sering
mengklaim bahwa itu adalah miliknya.
melakukan illegal loging terhadap hutan
Masalah ini juga otomatis menjadi masalah
Pemda.
8) Persepsi: Partisipasi masyarakat dalam menyatakan abstain terhadap pernyataan
pelestarian lingkungan meningkat
bahwa perusahaan lokal (PT. Pertamina)
Masyarakat menyadari bahwa pada
berpartisipasi dalam upaya pelestarian
saat ini partisipasi masyarakat/gotong royong
lingkungan (IPm=0,8). Dengan kata lain,
ada kecenderungan mulai menurun. Hal ini
persepsi masyarakat terhadap isu ini berada
ditunjukkan oleh responden sebanyak 23%
pada rentang positif. PT. Pertamina dianggap
menyatakan sangat tidak setuju; responden
masyarakat sebagai salah perusahaan andalan
sebanyak 71% tidak setuju dan hanya 6%
yang ada di lingkungan mereka, yang
responden menyatakan setuju terhadap
diharapkan memberikan manfaat yang berarti
pernyataan bahwa partisipasi masyarakat
bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan
dalam pelestarian lingkungan meningkat
sekitarnya. Selama ini PT. Pertamina banyak
(IPm=0,06). Dengan kata lain, persepsi
memberikan batuan bagi masyarakat dan
masyarakat terhadap isu ini berada pada
lingkungan berupa benih mangrove,
rentang negatif. Hal ini nampak dari semakin
pembangunan breakwater, permodalan usaha,
berkurangnya warga masyarakat yang ikut
pembinaan pendidikan dan latihan, dsb.
serta dalam setiap kegiatan gotong royong
yang ada di lingkungannya dikarenakan 10) Persepsi: Pemda sudah menjalankan
tugas pengelolaan lingkungan dengan baik
kesibukan masing-masing dalam mencari
Berkaitan dengan pengelolan hutan
nafkah, perubahan tata nilai dari masing-
mangrove, responden mengharapkan agar
masing warga, juga dikarenakan adanya
pemerintah daerah berserta jajarannya dapat
program yang tidak bersifat partisipatif.
lebih baik dalam mengelola hutan mangrove
Masyarakat tidak benar-benar dilibatkan
yang ada di wilayah pesisir sehingga
secara langsung dari mulai perencanaan
kerusakan lingkungan dapat segera di atasi
hingga pengawasannya.
dan manfaat-manfaat lingkungan lebih bisa
9) Persepsi: Perusahaan lokal dirasakan. Responden sebanyak 46%
berpartisipasi dalam pelestarian
lingkungan menyatakan sangat setuju; responden
Perusahaan swasta yang ada di sebanyak 49% menyatakan setuju dan
Kabupaten Indramayu, dalam hal ini PT. sebanyak 5% menyatakan abstain terhadap
Pertamina, dinilai responden memiliki pernyataan bahwa pemda sudah menjalankan
kepedulian yang cukup baik dalam turut serta tugas pengelolaan lingkungan dengan baik
melestariakan lingkungan termasuk hutan (IPm=0,95). Dengan kata lain, persepsi
mangrove. Sebanyak 80% responden masyarakat terhadap isu ini berada pada
menyatakan setuju dan 20% responden rentang positif. Responden menilai kinerja
pemerintah dalam pengelolaan hutan

mangrove selama ini dinilai cukup berhasil yang diindikasikan diantaranya dengan
diperolehnya penghargaan Kalpataru dari memperlihatkan bahwa kriteria atau isu
pemerintah pusat. pokok lingkungan nomor 1,2,3,4,6,9 dan 10
Hasil rekapitulasi data, dari 10 kriteria menunjukkan nilai skala Likert yang berada
yang digunakan untuk mengukur persepsi pada rentang positif. Ini artinya, responden
masyarakat terhadap isu-isu pokok memiliki persepsi positif terhadap isu-isu
lingkungan ekosistem hutan mangrove di dimaksud. Sementara itu, untuk kriteria
Indramayu disajikan pada Gambar 1. Gambar nomor 5,7, dan 8, responden memiliki
tersebut persepsi negative.

Gambar 1. Grafik Pengukuran Persepsi Masyarakat terhadap Isu Lingkungan Ekosistem dan
Pengelolaan Hutan Mangrove di Indramayu Menggunakan Skala Likert.

Selanjutnya menurut responden, Responden juga berpendapat bahwa


penegakan hukum lingkungan dalam partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan
pengelolaan hutan mangrove di Indramayu pelestarian lingkungan khususnya hutan
dinilai masih sangat kurang dan belum mangrove ada kecenderungan mengalami
memuaskan. Penegakan hukum di lapangan penurunan. Masyarakat mulai individualistis
sering tidak berjalan dengan baik dan proses dan mulai kurang perhatian terhadap
hukum terhadap pelanggar sering tidak kerusakan- kerusakan lingkungan termasuk
tuntas. Kondisi seperti ini tidak memberikan didalamnya kerusakan ekosistem hutan
efek jera bagi para pelanggar hukum. Sering mangrove.
kejadian kasus illegal logging terus terulang.

3.2. Partisipasi Masyarakat pengelolaan lingkungan dalam penelitian ini


Tingkat partisipasi masyarakat dalam diukur dengan mengunakan indeks partisipasi
(IP) dari Stuart Chapin (1952). Sementara derajat partisipasi masyarakat sudah tinggi
untuk derajat keterlibatan masyarakat diukur dalam arti posisi partisipasi berada pada
dengan instrumen partisipasi dari Arnstein tahapan 8 tangga partisipasi dimana
(1969) yang dikenal dengan tipologi delapan masyarakat sudah terlibat secara aktif dalam
tangga partisipasi masyarakat (eight rungs on pengawasan kegiatan. Nilai indeks partisipasi
the ladder of citizen participation). Bentuk kurang dari 1 mengandung arti bahwa derajat
partisipasi masyarakat berupa kontribusi partisipasi masyarakat masih rendah.
tenaga, pikiran, waktu dan dana yang Indeks partisipasi masyarakat rata-
dicurahkan dalam perencanaan, pelaksanaan ratanya sebesar 0,59 atau berada pada rentang
dan pengawasan kegiatan pengelolaan/ 0,50 – 0,60. Ini artinya derajat partisipasi
pelestarian lingkungan. masyarakat dalam program rehabilitasi hutan
Di Kabupaten Indramayu kegiatan mangrove masih rendah karena kurang dari 1.
pelestarian lingkungan hutan mangrove Menurut tangga Arnstein (1969) partisipasi
berupa kegiatan penanaman baru dan masyarakat tersebut berada pada tahap
rehabilitasi sudah cukup banyak dilakukan penyampaian informasi dan konsultasi.
tercatat sejak tahun 1995 hingga 2009 paling Arnstein menyebut tingkatan tersebut sebagai
tidak ada sekitar 24 lokasi/desa yang telah tingkat "tokenisme" yaitu suatu tingkat
mendapat rogram rehabilitasi hutan partisipasi dimana masyarakat didengar dan
mangrove yang dilaksanakan oleh BRLKT, diperkenankan berpendapat, tetapi mereka
LH kabupaten Indramayu, Wetland, OISCA, tidak memiliki kemampuan untuk
Himateka IPB, Subdin LH, dan Dinas mendapatkan jaminan bahwa pandangan
Perkebunan dan Kehutanan (BP DAS) dan mereka akan dipertimbangkan oleh
Himapikan UNPAD. pemegang keputusan. Selanjutnya Arnstein
Hasil penelitian mengenai tingkat (1969) menjelaskan, jika partisipasi hanya
partisipasi masyarakat menurut program yang dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil
diberikan stakeholder yang ada di Kabupaten kemungkinannya ada upaya perubahan dalam
Indramayu menunjukkan bahwa indeks masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.
partisipasinya bervariasi menurut stakeholder Secara ideal keterlibatan masyarakat
yang ada dengan kisaran indeks antara 0,50 – baru dikatakan berpartisipasi secara penuh
1,00. Nilai indeks 1 menunjukkan bahwa apabila partisipasi berada pada tahapan
delapan, yaitu pengawasan masyarakat atau
paling tidak pada tahapan kemitraan dan
pendelegasian wewenang. Tiga tangga teratas
tersebut masuk kedalam tingkat "kekuasaan

masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Pada tingkat sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga
ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) digunakan sebagai tujuan. Secara
memiliki mayoritas suara dalam proses diagramatis, sebaran nilai indeks dan derajat
pengambilan keputusan keputusan bahkan partisipasi masyarakat dalam program
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh rehabilitasi hutan mangrove di Indramayu
mengelola suatu obyek kebijaksanaan disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
tertentu. Dalam faktanya di lapangan
Menurut program kegiatan
masih banyak yang memandang
berdasarkan stakeholder yang ada, diketahui
peran serta masyarakat semata-
bahwa tingkat partisipasi masyarakat terjadi
mata sebagai penyampaian informasi (public
pada program
information), penyuluhan, bahkan sekedar
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
alat public relation agar proyek tersebut
sendiri yang termasuk dalam program
dapat berjalan tanpa
musrenbang, dimana nilai indeks
hambatan. Dengan kata lain, partisipasi
partisipasinya (IP) sebesar 1. Ini artinya
masyarakat tidak saja digunakan sebagai
masyarakat terlibat dari mulai penyampaian
informasi, konsultasi hingga pengawasan.

Gambar 2. Sebaran Nilai Indeks Partisipasi Masyarakat Menurut Program Stakeholder di Kabupaten
Indramayu
Gambar 3 . Derajat Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Indramayu (Model
Tangga Partisipasi Arnstein, 1969, dimodifikasi)

Menurut Eirnstein (1969), tiga tangga Program penanaman dan rehabilitasi


teratas, kemitraan, pendelegasian wewenang mangrove yang dilakukan oleh sivitas kedua
dan pengawasan masyarakat, dikategorikan perguruan tinggi yang ada di Jawa Barat,
sebagai tingkat "kekuasaan masyarakat" yaitu Himateka IPB dan Himapikan UNPAD
(citizen power). Masyarakat dalam tingkatan memiliki nilai indeks partisipasi sebesar 0,63.
ini memiliki pengaruh dalam proses Artinya derajat partisipasi masyarakat
pengambilan keputusan. Masyarakat (non terhadap program yang ditawarkan kedua
elite) memiliki mayoritas suara dalam proses perguruan tinggi tersebut berada pada tangga
pengambilan keputusan keputusan bahkan ke-enam, yaitu tahap kemitraan. Dengan kata
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh lain, masyarakat dijadikan mitra yang setara
mengelola suatu obyek kebijaksanaan untuk sama-sama melaksanakan program
tertentu. Namun berdasarkan fakta yang ada tersebut. Tetapi lagi-lagi kemitraan di
program musrenbang belum mencerminkan lapangan masih berada dalam tataran
adanya kemitraan, pendelegasian dan konseptual belum implementatif. Masyarakat
pengawasan masyarakat. Program seolah-olah diposisikan sebagai mitra tetapi
pembangunan yang dikelola melalui dalam faktanya posisi mereka tidak sejajar
mekanisme musrenbang sebagai program dalam proses pengambilan dan pelaksanaan
ideal hingga saat ini masih berupa wacana. keputusan.

Lembaga swadaya masyarakat, Wetland dan OISCA, serta instansi


pemerintah, BRLKT, lingkungan hidup dan lingkungan dinilai sudah cukup memadai, 8)
dinas kehutanan dan perkebunan, nilai indeks partisipasi masyarakat dalam pelestarian
partisipasinya sebesar 0,50. Artinya derajat lingkungan meningkat; responden memiliki
partisipasi masyarakat dalam program persepsi dan negatif terhadap kriteria
penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Dengan kata lain, sebagian besar
yang ditawarkan/diprakarsai oleh responden menyatakan bahwa mangrove
kelembagaan tersebut berada pada tangga ke- tidak memiliki manfaat penting bagi kegiatan
empat, yaitu tahap konsultasi. Dengan kata tambak; penegakan hukum lingkungan dinilai
lain, masyarakat dalam program tersebut masih sangat kurang memadai; dan partisipasi
hanya diajak konsultasi saja. masyarakat dalam pelestarian lingkungan ada
kecenderungan mengalami penurunan.
IV. KESIMPULAN
Secara umum, dari seluruh program
Persepsi dan responden terhadap rehabilitasi hutan mangrove yang pernah
kriteria nomor 1,2,3,4,6,9 dan 10, yaitu 1) dilakukan oleh komponen stakeholder di
kerusakan wilayah pesisir karena faktor alam, Indramayu sejak 1995 hingga 2009, indeks
2) kerusakan wilayah pesisir lebih karena partisipasi masyarakat rata-ratanya sebesar
perbuatan manusia, 3) kerusakan hutan 0,59 atau berada pada rentang 0,50 – 0,60. Ini
mangrove karena abrasi dan kepentingan artinya derajat partisipasi masyarakat dalam
ekonomi, 4) mangrove memiliki manfaat program rehabilitasi hutan mangrove masih
penting bagi lingkungan pesisir, 6) rendah karena kurang dari 1. Menurut tangga
pengelolan hutan mangrove Arnstein partisipasi masyarakat Indramayu
tanggungjawab bersama, dalam upaya pelestarian hutan mangrove
9) perusahaan lokal berpartisipasi dalam berada pada tahap penyampaian informasi
pelestarian lingkungan, 10) pemda sudah dan konsultasi atau tingkat "tokenisme" yaitu
menjalankan tugas pengelolaan lingkungan suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat
dengan baik; menunjukkan bahwa nilai rata- didengar dan diperkenankan berpendapat,
rata skala Likert yang berada pada rentang tetapi mereka tidak memiliki kemampuan
positif. Ini artinya, responden memiliki untuk mendapatkan jaminan bahwa
persepsi dan positif terhadap kriteria tersebut. pandangan mereka akan dipertimbangkan
Sementara itu, untuk kriteria nomor 5.7.dan oleh pemegang keputusan.
8, yaitu 5) mangrove memiliki manfaat
DAFTAR PUSTAKA
penting bagi kegiatan tambak, 7)
Arnstein, 1969. Social Participation.
penegakan hukum Minneapolis, University of Minnesota
Press.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Penyusunan Model
Perencanaan di Zona Penyangga dan Pemanfaatan Kawasan
Sumberdaya Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Indramayu
Jawa Barat. Jakarta.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2008. Laporan Tahunan Dinas


Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. DPK
Indramayu, Indramayu.

F.Stuart Chapin, 1952. Social Participation Scale. Minneapolis,


University of Minnesota Press.

Greenfield, T., 2002. Research Methods for Postgraduates. Oxford


University Press Inc, New York.

Kusmana, C., 1996. Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove.


Jurusan Manajemen Hutan Fahutan IPB. Media Konservasi
Vol V. No 1 April 1996.

Kusmana, C., 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut


Pertanian Bogor. Bogor.

Padmowihardjo, S., 2002. Materi Pokok Programa dan Evaluasi


Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka, Jakarta.
Review / Ulasan Edisi 1 No. 4, Oktober – Desember 2014, p.21-40

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan di Wilayah Pesisir


Bambang Pramudyanto

Widyaiswara Pusdiklat Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kawasan
Puspiptek Serpong, Gd. 210, Jl. Raya Puspiptek Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten

(Diterima 11 November 2014; Diterbitkan 5 Desember 2014)

Abstract: Banyak kota-kota besar di Indonesia yang berada di wilayah pesisir yang mempunyai
potensi yang besar untuk menjadi kota pariwisata, perdagangan dan industri karena letaknya yang
strategis. Namun demikian, kualitas lingkungan pesisir masih kurang diperhatikan, sehingga terjadi
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akhirnya mengancam pengembangan potensi kota
pesisir tersebut. Oleh karena itu, perlu langkah nyata berupa pengelolaan, pengendalian dan
pemantauan lingkungan yang berkesinambungan. Hal ini dikarenakan sumber pencemar dan
kerusakan lingkungan berasal dari kegiatan di daratan dan lautan. Langkah pengelolaan yang harus
dilakukan adalah pengelolaan limbah dan penerapan manajemen terpadu (Integrated Coastal
Management) yang melibatkan semua pihak dan sektor. Langkah pengendalian terhadap terjadinya
pencemaran dan kerusakan pesisir perlu dilakukan dengan melakukan pencegahan, penanggulangan
dan pemulihan kerusakan atau pencemaran yang telah terjadi. Dalam pelaksanaan pengelolaan
pesisir terpadu perlu dibentuk Tim dengan kerangka kelembagaan yang jelas serta melaksanakan 6
(enam) langkah yang dikembangkan oleh PEMSEA (Environmental Management for the Seas of East
Asia).

Keywords: pengendalian, pencemaran, kerusakan, pesisir.


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Corresponding author: Bambang Pramudyanto, E-mail: pramudyanto@gmail.com, Tel./HP: +6281284547635.

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI
2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia 13.466 pulau
dengan garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar
dalam mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang
beragam, seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove,
maupun pariwisata. Sayangnya, sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia pada masa lampau
belum mendapat perhatian serius sebagaimana halnya pembangunan di wilayah daratan. Beberapa
kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi serta pencurian sumberdaya laut oleh pihak
asing yang tidak terkendali. Kemiskinan di wilayah pesisir juga banyak ditemukan.
Jumlah penduduk di wilayah pesisir perkotaan yang makin meningkat, ternyata mengakibatkan
sumberdaya di daratan semakin terbatas, maka wilayah pesisir dan laut beserta sumberdayanya
menjadi alternatif pendukung pembangunan daerah maupun nasional yang strategis di masa
mendatang. Oleh karena itu sangatlah beralasan, jika dalam pembangunan jangka panjang bangsa
Indonesia mengorientasikan kiprah pembangunannya terutama pada wilayah pesisir dan laut.
Komitmen pemerintah dalam bidang ini dapat terlihat dari masih diperlukannya kementerian yang
mengurusi masalah lingkungan hidup serta kelautan, bahkan pada kabinet saat ini ditambah dengan
Menteri Koordinator Maritim.
Saat ini yang masih menjadi keprihatinan kita, beberapa kegiatan pembangunan di kawasan
daratan dan lautan, masih banyak yang memberikan dampak negatif pada lingkungan yang akhirnya
berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir dan laut maupun kelestarian sumberdaya
alam, yaitu berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemanfaatan yang berlebih atas
sumberdaya pesisir dan laut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan yang mungkin timbul harus menjadi bagian dari kebijakan dan langkah
aksi pengelolaan lingkungan pada setiap sektor kegiatan pembangunan.
Disamping permasalahan tersebut di atas, juga terdapat masalah lain, yaitu sistem manajemen
yang belum terpadu. Pengelolaan pesisir saat ini masih banyak dilakukan secara sektoral dan tidak
ada keterpaduan antara pengelolaan daratan dan lautan.
Padahal sumber pencemaran dan kerusakan di wilayah pesisir berasal dari kegiatan yang ada di
daratan dan di lautan. Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pengelolaan di wilayah
pesisir ini harus dilakukan secara terpadu.
Pada naskah ini penulis menyampaikan beberapa contoh kasus kerusakan pesisir antara lain kasus
kerusakan di wilayah pesisir Kota Semarang sebagai bahan kajian, karena Semarang merupakan salah
satu kota pantai di Indonesia yang sangat potensial untuk berkembang menjadi kota wisata, industri
dan perdagangan, namun mengalami permasalahan lingkungan pesisir yang sangat serius.
Penulisan naskah ini sangat berguna bagi pengembangan mata ajar pengelolaan pesisir terpadu
pada diklat teknis Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem Pesisir yang dilaksanakan di
Pusdiklat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun yang dilaksanakan di Pusat
Pengelolaan Ekoregion Jawa, Bali atau lainnya. Pendidikan dan latihan ini ditujukan bagi
pengembangan aparat Badan Lingkungan Hidup Provinsi, kabupaten atau kota terutama bagi daerah
yang ada pantainya.

2. Metoda

Pengumpulan data penulisan naskah ini berdasarkan pada studi pustaka, observasi lapangan serta
wawancara dengan beberapa pihak yang terkait. Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisis
secara deskriptif.
B. Potensi Sumberdaya Pesisir
Dalam Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu dijelaskan bahwa wilayah
pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah
laut itu untuk kabupaten/kota, dan kearah darat batas administrasi kabupaten/kota.

Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu (a)
sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non
renewable resources), (c) energi kelautan serta (d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental
services). Sumberdaya yang dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan
mariculture. Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi, gas
alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut. Sedangkan jasa lingkungan di
wilayah pesisir dan laut antara lain: pariwisata bahari, transportasi laut. Pada waktu lampau
sumberdaya ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, karena kewenangan
pengelolaannya ada di Pemerintah Pusat, sehingga setiap kali Pemerintah Daerah mengajukan
anggaran ke DPRD selalu ditolak atau diberi namun porsinya hanya sedikit. Padahal pengelolaan
pesisir dan laut secara terpadu dapat meningkatkan pendapatan daerah.

Berdasarkan pada data Kementerian Kelautan produksi perikanan Indonesia mencapai 11,06 juta
ton hingga triwulan ketiga 2013 yang disumbangkan oleh sub sektor perikanan tangkap 5,86 juta ton.
PDB sub sektor perikanan juga terus mengalami pertumbuhan yang signifikan selama tahun 2013
dengan rata-rata kenaikan 6,45 %.

Ekosistem hutan mangrove mempunyai kegunaan yang beragam sehingga mempunyai nilai
ekonomis yang sangat tinggi. Ekosistem ini juga mempunyai produktivitas biomassa yang tinggi,
bahkan dapat mencapai 5.000 grCal/m 2/tahun (Lugo & Snedaker, 1974). Kegunaan hutan mangrove
antara lain merupakan spawning ground, nursery ground dan feeding ground bagi berbagai jenis
satwa air maupun satwa darat. Selain itu, dapat digunakan pula sebagai bahan bakar, bahan bangunan,
obat- obatan serta dapat melindungi pesisir dari hempasan ombak, gelombang pasang, badai serta
dapat menahan sedimen dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Data luasan mangrove di Indonesia
sampai tahun 2010 yang dimuat dalam SLHI tahun 2012 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan
Hidup seluas 5.543.012.08 hektar dengan konsisi 56,91 % baik, 10,69 % sedang, 7,20% rusak dan
25,20 % tidak teridentifikasi.

Terumbu karang merupakan kumpulan dari banyak sekali habitat mikro yang saling berhubungan
dengan ribuan spesies tumbuhan maupun tanaman sebagai penyusunnya. Ekosistem terumbu karang
mempunyai nilai yang sangat tiggi, namun sangat rentan. Fungsi terumbu karang antara lain sebagai
breeding nursery dan feeding ground bagi banyak spesies ikan, invertebrata dan reptelia, selain itu
juga dapat menahan ombak dan mencegah terjadinya abrasi. Kawasan terumbu karang juga sangat
baik untuk obyek wisata, obyek penelitian, mariculture, bioteknologi. Data SLHI tahun 2013 Luas
terumbu karang di Indonesia 50.875 km 2 atau 18 % dari total terumbu karang di dunia. Sedangkan
kondisi terumbu karang di Indonesia hasil penelitian Oseanografi LIPI tahun 2012 di 1.133 lokasi
menunjukkan hanya 5,30 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 27,19 % baik, 37, 25 %
cukup baik dan 30,45 % kurang baik.
Lamun adalah tumbuhan berbunga (spermatophyta) yang hidup di laut, berbiji satu (monokotil)
dan terdiri dari tiga bagian utama yaitu daun, rimpang (rhizome) dan akar. Lamun dapat
menyesuaikan diri untuk hidup dan tumbuh pada lingkungan laut dengan kemampuan : hidup pada air
asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam, bertahan terhadap arus dan gelombang melalui
sistem perakaran yang baik, berbiak secara generatif (biji) dalam keadaan terbenam. Luas area padang
lamun di Indonesia data BPS tahun 2013 yang dimuat dalam SLHI tahun 2013 seluas 2.016.728.46
hektar pada tahun 2012. Produktifitas padang lamun sangat tinggi, dapat mencapai lebih dari 5000
grCal/m2/tahun. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang dapat dijumpai dalam skala besar dan
menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu padang lamun (seagrass bed). Keberadaan
lamun di perairan laut dangkal sangat penting, karena : (1) dapat membentuk lingkungan berupa
padang lamun yang menjadi salah satu ekosistem terkaya dan paling produktif, (2) dapat menjaga dan
memelihara stabilitas pantai pesisir dan lingkungan ekosistem estuaria, (3) merupakan sumber
makanan bagi banyak hewan laut seperti duyung, penyu, ikan dan bulu babi, (4) merupakan tempat
berlindung banyak jenis hewan dan tumbuhan dari hewan pemangsa, (5) merupakan komoditas yang
banyak digunakan sebagai pupuk, kertas, pakan ternak dll. Selain bencana alam (badai), kegiatan
manusia (pencemaran dan perusakan) dapat mengancam kelestarian lamun.

Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang khas, karena air tawar dan air laut bertemu
sehingga sumberdaya yang dapat pulih banyak terdapat di wilayah tersebut. Indonesia yang
merupakan negara kepulauan dengan sungai-sungai yang mengalir didaratannya menjadikan wilayah
estuary menjadi banyak dan luas. Mengingat pentingnya wilayah estuary ini, maka wilayah estuary
perlu dilestarikan. Aktivitas yang paling mengancam ekosistem estuary ini adalah aktivitas manusia
terutama penebangan pohon yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi serta pencemaran lingkungan.
Salah satu wilayah estuaria di Indonesia yang telah mengalami kerusakan akibat sedimentasi adalah
Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, namun demikian usaha penyelamatan masih terus diupayakan.

Potensi sumberdaya yang tidak dapat pulih di Indonesia yang paling potensial adalah minyak dan
gas bumi. Sedangkan energi kelautan belum banyak dimanfaatkan, namun usaha ke arah pemanfaatan
energi kelautan telah mulai dilakukan, yaitu yang dikenal dengan ocean thermal energy conversion
(OTEC) antara lain berupa energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari
perbedaan salinitas. Penelitian oleh BPPT telah dilakukan di pantai Baron di Yogyakarta, Bagan
Siapi-api dan Merauke serta akan di kembangkan lagi di pantai utara Pulau Bali. Laut Indonesia
menyimpan kekayaan migas yang cukup tinggi. Dari 40 cekungan yang ada di laut diperkirakan
berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak. Cadangan minyak yang belum terjamah
diperkirakan sebanyak 57,3 milyar barrel terkandung di lepas pantai.

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi untuk pengembangan wisata bahari dan
pelayaran. Namun demikian, masih banyak wisata bahari yang belum dikembangkan secara
professional. Padahal Keanekaragaman flora dan fauna di wilayah pesisir dan laut dapat dijual
sebagai obyek wisata. Potensi wisata bahari yang dapat dikembangkan antara lain: wisata pantai,
menyelam dll. Jasa transportasi laut juga belum dikembangkan secara optimal. Pihak asing masih
menguasi jasa pelayaran di Indonesia.
C. Permasalahan Pesisir
Permasalahan dalam pengelolaan pesisir di Indonesia pada dasarnya adalah masalah menejemen
dan masalah teknis yang bersumber dari daratan dan lautan. Pengelolaan pesisir belum dilaksanakan
secara terpadu, namun masih sektoral. Dalam pelaksanaan program tidak didasarkan pada rencana
strategis pengelolaan pesisir yang disusun dengan melibatkan semua stakeholder atau sudah ada
rencana strategisnya namun pelaksanaan program atau proyeknya tidak berdasarkan pada rencana
strategis yang telah dibuat tersebut. Koordinasi yang belum baik juga merupakan salah satu kendala,
beberapa daerah belum membentuk Tim Teknis Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu, sehingga
koordinator atau leading sector yang menangani pengelolaan pesisir dan laut ini tidak jelas.
Pemahaman atas pengelolaan pesisir secara terpadu oleh aparat pengelola belum merata atau tidak
paham sama sekali.
Masalah menejemen yang lain adalah kurangnya data dan informasi yang valid atau belum adanya
data base management untuk pengelolaan pesisir, adanya ego sectoral, lemahnya penegakan hukum,
rendahnya komitmen, tidak adanya dana yang berkelanjutan, perpindahan staf yang cukup sering,
belum adanya kebersamaan dan keterpaduan antar sektor, belum adanya tata ruang pesisir dan laut,
kerangka hukum untuk pengelolaan pesisir di daerah masih lemah, keterlibatan ilmuwan atau pakar
belum optimal sehingga hasil kajian ilmiah belum dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan
keputusan, serta permasalahan lain yang masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Sering pengelolaan pesisir tidak mendasarkan pada prinsip good environmental
governance, yaitu: (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi, (4) kesetaraan, (5) daya
tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8) pengawasan, (9) efisien dan efektif, (10)
profesionalisme.
Adanya kelemahan menejemen ini, mengakibatkan pengelolaan pesisir sampai batas 12 mill belum
dapat dilakukan secara optimal. Potensi pariwisata, sumberdaya perikanan, mineral dan lain-lainnya
belum digarap secara terpadu untuk menaikkan pendapatan daerah maupun pendapatan masyarakat
pesisir. Dilain pihak, mutu lingkungan pesisir dan laut makin menurun dari tahun ke tahun.
Selain masalah menejemen seperti tersebut di atas, masalah teknis yang muncul adalah
menurunnya kualitas pesisir dan laut yang diakibatkan oleh kegiatan yang ada di daratan dan di
lautan.

1. Bahan Pencemar Lingkungan Wilayah Pesisir


Kita ketahui bahwa laut menerima aliran dari sungai yang mengandung zat pencemar. Selain itu,
beberapa kegiatan sering membuang limbah langsung ke laut bahkan ada yang secara illegal.
Dengan demikian, seakan-akan laut menjadi tempat sampah yang sangat besar. Beberapa bahan
pencemar yang berasosiasi dengan lingkungan laut antara lain sebagai berikut :
a) Patogen
b) Sedimen
c) Limbah padat
d) Panas
e) Material an organic beracun
f) Material organic beracun
g) Minyak
h) Nutrient
i) Bahan radioaktif
j) Oxygen demand materials (al. karbohydrat, protein, dan senyawa organic lainnya)
k) Material asam-basa
l) Material yang merusak estetika

Pada daerah tertentu, suatu bahan pencemar dapat menjadi lebih beresiko dibanding bahan
pencemar lain, sedangkan pada daerah lainnya dapat terjadi hal yang sebaliknya.

2. Sumber Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Pesisir


Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tentang Pengendalian Pencemaran
Dan/Atau Perusakan Laut disebutkan :
“Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak
sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya”.

Dalam perspektif global, pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah
buangan kegiatan atau aktifitas di daratan (land-based pollution), maupun kegiatan atau aktivitas di
lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas
kontaminasi secara fisik dan secara kimiawi.

a) Pencemaran bersumber dari aktivitas di daratan (Land-based pollution)

Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan
laut, antara lain adalah :
a) Penebangan hutan (deforestation)
b) Buangan limbah industri (disposal of industrial wastes)
c) Buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes)
d) Buangan limbah cair domestik (sewege disposal)
e) Buangan limbah padat (solid waste disposal)
f) Konvensi lahan mangrove & lamun (mangrove swamp conversion)
g) Reklamasi di kawasan pesisir (reclamation)

b) Pencemaran bersumber aktivitas di laut (Sea-based pollution)


Sedangkan, kegiatan atau aktivitas di laut yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut
antara lain adalah :
a. Pelayaran (shipping)
b. Dumping di laut (ocean dumping)
c. Pertambangann (mining)
d. Eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation)
e. Budidaya laut (marine culture)
f. Perikanan (fishing)
Sedangkan perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Bentuk
kerusakan lingkungan wilayah pesisir di beberapa daerah antara lain berupa hancurnya terumbu
karang akibat pengeboman, rusaknya hutan bakau akibat penebangan liar dan abrasi pantai (al. di
Marunda DKI Jakarta, Kelurahan Mangunharjo di Semarang) Kegiatan yang berpotensi menimbukan
abrasi antara lain adalah penimbunan atau reklamasi pantai dan pengambilan pasir laut yang tidak
terkendali.
Beberapa contoh kasus kerusakan dan pencemaran pesisir, antara lain terjadi di Indramayu, Tegal
dan Semarang yang telah mengalami abrasi pantai. Kerugian yang diderita Kabupaten Indramayu
akibat abrasi pantai juga cukup besar, antara lain di Kecamatan Indramayu, Balongan dan Juntinyuat.
Sedangkan kasus pencemaran laut juga terjadi di perairan laut Muncar, Banyuwangi. Teluk
Jakartapun sudah mulai tercemar dengan meningkatnya kandungan Amonia dan detergen (angka
MBAS) yang melebihi baku mutu air laut. Begitu pula jumlah sampahnya sudah sampai tahap yang
memprihatinkan, sehingga mengganggu estetika serta kelancaran arus transportasi laut, karena banyak
sampah yang tersangkut pada propeller kapal. Bau-pun menyengat akibat pembusukan sampah yang
berada di pantai. Hasil penelitian Bapedalda Propinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa sampah yang
tidak terangkut dan diperkirakan masuk ke laut melalui sungai, berasal dari lima kecamatan di Jakarta
Utara mencapai 362 m3/tahun, dari waduk 40.001,83 m3/tahun dan sampah sungai 13.818,43
m3/tahun. Gambaran mengenai sumber pencemaran serta kerusakan di wilayah pesisir dan laut yang
berasal dari kegiatan di daratan maupun di lautan adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Jenis kegiatan di daratan atau di lautan yang menjadi


kontributor penurunan kualitas pesisir.
Selain hal tersebut di atas, kegiatan wilayah pesisir juga sangat kompleks sehingga rawan terjadi
konflik kepentingan. Misal pembangunan bendungan raksasa di pantai Jakarta Utara (giant sea wall)
mengakibatkan konflik kepentingan antara pemerintah DKI dan nelayan setempat. Nelayan
menganggap pembangunan bendungan tersebut mengganggu mobilitas nelayan dan jumlah tangkapan
ikan dikhawatirkan menurun. Kompleksitas wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar berikut
dibawah ini.

Gambar 2. Kompleksitas kegiatan wilayah pesisir yang rawan konflik kepentingan.

3. Kasus Kerusakan Pesisir Kota Semarang


Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai dataran rendah dan
dataran tinggi serta pantai. Terdapat dua sungai besar yang melintasi Kota Semarang, yaitu Sungai
Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur. Sungai Banjirkanal Barat merupakan muara Sungai Kali
Garang dan Sungai Kreyo. Kedua sungai ini mengalirkan zat pencemar baik berupa limbah domestik
dan limbah industri dari Kota Semarang maupun Kabupaten Semarang (Kota Ungaran). Kota
Semarang dan Kabupaten Semarang hingga saat ini tidak mempunyai pengolahan air limbah domestik
yang terpadu. Dengan demikian, limbah cair maupun padat dari penduduk di kota dan kabupaten
Semarang langsung masuk ke laut melalui kedua sungai Banjirkanal, sehingga berpotensi
menurunkan kualitas air laut di perairan pesisir Kota Semarang.
Selain masalah pencemaran, kota Semarang juga mengalami kerusakan lingkungan yang cukup
parah, yaitu terjadinya abrasi pantai dan naiknya muka air laut yang akhirnya menenggelamkan
tambak ikan dan perumahan penduduk di daerah Sayung. Daerah Sayung ini berbatasan dengan
Kabupaten Demak, sehingga beberapa daerah di Kabupaten Demak yang berbatasan langsung dengan
kota Semarang juga mengalami abrasi pantai maupun Rob. Naiknya muka air laut (Rob) ini juga
diikuti oleh turunnya permukaan tanah, sehingga pada saat musim hujan beberapa daerah tergenang
air termasuk stasiun kereta api Tawang Semarang. Abrasi pantai yang cukup parah juga terjadi di
Kecamatan Tugu
yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Kerugian nelayan tambak cukup besar, karena tambaknya
tidak dapat berfungsi dengan semestinya. Pendangkalan Pantai Semarang juga menjadi masalah besar
bagi pelabuhan. Agar kapal bisa masuk ke pelabuhan, perairan laut di pelabuhan Tanjung Mas harus
dilakukan pengerukan setiap tahun yang menghabiskan dana milyaran rupiah.

ROB

Stasiun Tawang

Gambar 3. Contoh kerusakan lingkungan di Pesisir Semarang (Rob).

D. Dasar-Dasar Kebijaksanaan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir


Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa sumberdaya alam
agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan harus dapat dinikmati baik oleh
generasi sekarang maupun generasi mendatang. Konsep pembangunan berkelanjutan yang telah
diletakkan sebagai kebijaksanaan pada masa lalu, pada kenyataannya selama ini justru terjadi
pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang
mengganggu kelestarian alam.
Kebijakan Agenda 21 Indonesia, dimana pengelolaan sumber daya alam merupakan agenda
keempat. Tiga sub-agenda dirumuskan dalam agenda ini, yaitu: (1) konservasi keanekaragaman
hayati; (2) pengembangan bioteknologi; dan (3) pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.
Penanganan bagi ketiga aspek tersebut diarahkan pada upaya pelestarian dan perlindungan biologi
pada tingkat genetic, spesies dan ekosistem, serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan
di seluruh Indonesia.
Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia". Selain itu pada Pasal 67
Undang-Undang tersebut menyatakan:“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup". Hal ini berarti antara masyarakat dan pemerintah perlu menjalin hubungan yang
baik dalam melestarikan lingkungan hidup. Dalam pengaturan sumber daya alam, fungsi
pemerintah adalah :
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan
pemanfaatan kembali sumberdaya alam, termasuk sumberdaya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum
lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan,
termasuk sumberdaya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sedangkan mengenai kebijaksanaan nasional lingkungan hidup mengacu pada nilai-nilai dasar
dalam pelestarian lingkungan, yaitu sebagai berikut:

1. Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan,


yaitu pembangunan yang mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan manusia pada
generasi–generasi mendatang. Pembangunan Berkelanjutan didasarkan atas
kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam jangka waktu pendek, menengah dan
panjang dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, dinamisme social dan
pelestarian lingkungan hidup.
2. Fungsi lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan dalam
pembangunan perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung lingkungan sesuai
fungsi lingkungannya. Daya dukung lingkungan menjadi kendala (constraint) dalam
pengambilan keputusan dan prinsip ini perlu dilakukan secara kontinu dan konsekuen.
3. Pemanfaatan sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan antar
generasi. Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan daya
pemulihannya.
4. Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya, setiap warga
negara mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan yang benar, lengkap
dan mutahir.
5. Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan daripada usaha
penanggulangan dan pemulihan.
6. Kualitas lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan perusakan
lingkungan perlu dihindari; bila sampai terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan,
maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan tanggung jawab pada pihak
yang menyebabkan.
7. Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian melalui
pendekatan menejemen yang layak dengan sistem pertanggungjawaban.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan pengelolaan


lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu. Dalam Pasal 2 huruf d. dinyatakan “Perlindungan dan
Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas keterpaduan”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut harus dilakukan
secara terpadu. Keterpaduan ini meliputi keterpaduan antar sektor (permukiman, pariwisata,
perhubungan, perikanan, kehutanan, industri dll.), keterpaduan tugas dan kewajiban serta
keterpaduan antara aspek, yaitu sosial ekonomi, ekologi, teknologi dan kelembagaan (institusi).
Untuk melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan pesisir dan laut, Pemerintah Daerah telah
diberikan kewenangan di wilayah laut. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan kepentingan administrative;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Kewenangan daerah yang tersebut di atas merupakan dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, dengan demikian daerah dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada
diwilayahnya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mill laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah sampai 12 mil, maka kegiatan
pemantauan, pengawasan pengendalian, evaluasi dan pelaporan di wilayah pesisir dapat dilakukan
secara rutin dan berkesinambungan. Pada Pasal 18 Ayat (3) huruf d. Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan Daerah di wilayah laut termasuk penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah. Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan laut, sehingga pemahaman atas konvensi internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting agar tidak terjadi kerancuan
hukum. Adanya wewenang melakukan penegakan hukum di wilayah laut juga dapat mendorong
diadakannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, sehingga langkah penegakan hukum
dapat lebih lancar.

Agenda 21 Indonesia

Permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang telah diuraikan di atas membutuhkan penanganan
yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya yang menyangkut aspek kebersamaan dan
keterpaduan serta kewenangan kelembagaannya, sehingga pengelolaan kawasan pesisir dan laut
diharapkan juga dapat mendorong pengelolaan di wilayah hulu (daratan) yang akhirnya pembangunan
daerah kota/Kabupaten dapat meningkat. Bidang program yang dibahas dalam agenda 21 Indonesia
untuk mengatasi permasalahan pesisir dan laut, meliputi:
A. Perencanaan dan Pengemnbangan Sumberdaya Terpadu Di Daerah Pesisir
B. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Pesisir dan Laut
C. Pemanfaatan Sumberdaya Laut yang Berkesinambungan
D. Pemberdayaan dan Penguatan Masyarakat Pesisir
E. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan
F. Pemeliharaan Keamanan Daerah Ekonomi Eksklusif (ZEE)
G. Pengelolaan Dampak Perubahan Iklim dan Gelombang Pasang.

Dengan dipublikasikannya Agenda 21 Indonesia, maka dokumen tersebut dapat dipakai sebagai
landasan dalam pembuatan perencanaan program maupun dalam implementasi Program Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Laut yang dikemas dalam Program Pantai dan Laut Lestari.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengintegrasikan Agenda 21 Indonesia dalam pengelolaan
lingkungan maupun pembangunan (Djajadiningrat, Surna T., 2001) adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman dan penghayatan terhadap visi dan isi dokumen Agenda 21 Indonesia
menjadi kunci utama proses implementasi dokumen Agenda 21 Indonesia, yang
kemudian diikuti dengan pengkajian kembali rencana jangka pendek dan panjang.
b. Menyadari kompleksitas pengelolaan lingkungan, salah satu kunci keberhasilan
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah
kerjasama yang sangat erat dan koordinasi yang terus menerus dari masing-masing
pengelola lingkungan baik di tingkat pusat, daerah, sektoral dan masyarakat lainnya.
c. Dilihat dari perspektif perencanaan pengelolaan lingkungan, dokumen Agenda 21
Indonesia dapat langsung digunakan pada skala nasional, sektoral, regional dan lokal.
Skala lokal, seperti perumusan dan penyusunan program-program masyarakat dan
organisasi-organisasi non pemerintah lainnya.
d. Penyebarluasan visi dan subtansi yang terkandung di dalam Agenda 21 ke segala lapisan
masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan keseragaman pandangan
yang mengarah pada terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan seperti yang diamanatkan dalam GBHN
e. Upaya pemahaman dan penghayatan dokumen Agenda 21 Indonesia di atas
memberikan masukan yang berharga terhadap perumusan dan penyusunan kebijakan
tentang lingkungan hidup dan pembangunan, sesuai dengan sifat dokumen Agenda 21
Indonesia yang merupakan dokumen yang hidup (living document) yang diharapkan
selalu dapat sesuai dengan perkembangan dinamika pembangunan.

Arahan Agenda 21 Indonesia mengenai tujuan untuk perencanaan dan pengembangan sumberdaya
terpadu di daerah pesisir pada periode 2003 - 2020 adalah sebagai berikut:

1. Meninjau kembali dan meningkatkan pengelolaan terpadu sumberdaya pesisir dan lautan.
2. Meneruskan peningkatan kemampuan kelembagaan untuk pengembangan terpadu
sumberdaya pesisir dan lautan.
3. Mendorong dan mendidik para perencana dan pengambil keputusan dalam pembuatan
dan pemakaian basis informasi yang cocok untuk meningkatkan proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dan membantu pengembangan sumberdaya pesisir dan lautan
yang berkesinambungan.
4. Melanjutkan kerjasama antar daerah dan di tingkat internasional tentang pengelolaan
berkesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan.
E. Analisis Permasalahan
Analisis terhadap permasalahan pesisir, penulis uraikan dalam strategi pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir yang dapat dibagai menjadi strategi pengelolaan dan
strategi pengendalian serta program pemantauan lingkungan pesisir.

1. Strategi Pengelolaan

Strategi pengelolaan disini dimaksudkan untuk mengelola limbah, baik limbah cair, padat dan gas
(emisi gas buang). Dengan adanya pengelolaan limbah yang benar, maka air limbah dan gas buang
dapat memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Suatu kota harus mempunyai instalasi pengolahan
air limbah domestik terpadu, baik limbah padat maupun cair. Dengan demikian, kualitas air laut di
pesisir dapat terjaga.

Limbah yang harus dikelola (waste management),


antara lain: a). Limbah padat domestik (solid
waste)

b). Limbah Cair Domestik


(sewage) c). Limbah industri
(industrial waste)

d). Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Hazardous Waste)

e) Limbah Minyak
f) Limbah Gas dan Debu

Strategi pengelolaan selanjutnya lebih mengarah pada sistem manajemen, yaitu


pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Management).

Beberapa hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan terpadu :

a. Adopsi pendekatan yang sistematis dalam implementasi proyek atau


program pengelolaan pesisir terpadu:
1. Penerapan kerangka pengelolaan lingkungan pesisir dalam pengelolaan sektoral.
2. Penggunaan kombinasi opsi-opsi pengelolaan.
3. Adopsi pendekatan pencegahan.

b. Pelibatan sektor masyarakat umum dalam proses pengelolaan lingkungan pesisir


dan laut terpadu
c. Pengintegrasian informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak tahap awal dari
proses pengelolaanlingkungan pesisir dan laut terpadu
d. Pembentukan mekanisme bagi keterpaduan dan koordinasi
e. Pembentukan mekanisme pendanaan secara berkelanjutan
f. Pengembangan kapasitas pengelolaan lingkungan pesisir dan laut terpadu di
semua tingkatan
g. Pemantauan efektifitas proyek atau program pengelolaan pesisir dan laut terpadu
Proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan (Rokhmin Dahuri,
et.al, 2001.) dapat dilihat pada diagram berikut ini.

ISU DAN
PERMASALAHAN

ASPIRASI LOKAL,
REGIONAL DAN
POTENSI
PENDEFINISIAN NASIONAL
SUMBERDAYA
PERMASALAHAN EKOSISTEM

PELUANG DAN
TUJUANRENCANA
FORMULASI DAN
KENDALA
SASARAN
MEKANISME
UMPAN BALIK
PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN
RENCANA EVALUASI

PEMBANGUNAN WILAYAH
PESISIR BERKELANJUTAN

Gambar 4. Proses perencanaan serta pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu
(Rokhmin Dahuri, et.al, 2001.)
Sedangkan kerangka kerja dan proses pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu
(silklus perencanaan dan implementasi) yang dikembangkan PEMSEA adalah sebagai berikut:

2. INISIASI
Penyusunan profil lingkungan
1. PERSIAPAN Identifikasi dan penentuan prioritas
Penyusunan Tim/kelembagaan
Persiapan ruang dan peralatan
isu/masalah 3. PENGEMBANGAN
Penyusunan Rencana Strategi Pengumpulan data
Mekanisme pengelolaan program
Pengelolaan Pesisir (Renstra) Pengkajian resiko lingkungan
Rencana kerja dan biaya
Penyusunan rencana kerja tahunan Penyusunan Strategic Environmental
Pengaturan sumberdaya manusia
Kajian awal resiko lingkungan; Management Plan (SEMP)
dan pendanaan
keterkaitan antara kegiatan manusia, Rencana aksi yang spesifik menurut
Konsultasi stake holders
proses alamiah dan perubahan isu dan wilayah
Persiapan dan pelatihan
kualitas lingkungan Pengaturan kelembagaan
sumberdaya manusia/staf
Pembangunan konsensus pengguna Opsi-opsi sumber pendanaan
(stakeholders) berkelanjutan
Peningkatan kepedulian dan peran Pemantauan lingkungan
masyarakat Sistim pengelolaan informasi terpadu
Partisipasi stakeholders

Awal Siklus Baru

6. PENYEMPURNAAN DAN
KONSOLIDASI
Pengaturan kelembagaan 4. ADOPSI
Pemantauan dan evaluasi program 5. IMPLEMENTASI Mekanisme organisasi dan
SEMP dan Rencana aksi yang Mekanisme koordinasi dan legislasi
disempurnakan pengelolaan program SEMP dan Rencana aksi
Perencanaan untuk siklus program Program pemantauan lingkungan Mekanisme pendanaan
berikutnya Pelaksanaan rencana aksi

Gambar 5. Kerangka Kerja dan Proses Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut Secara
Terpadu (Silklus Perencanaan dan Implementasi).
Dalam pelaksanaan pengolalaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu, prinsip dasar yang
harus diperhatikan :

1. Wilayah pesisir dan laut adalah suatu sistem sumber daya (resources system) yang unik,
yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola
pembangunannya.
2. Air merupakan faktor kekuatan penyatu utama (the major integrating force) dalam
ekosistem wilayah pesisir.
3. Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan serta dikelola secara terpadu
4. Daerah perbatasan antara laut dan darat hendaknya dijadikan fokus utama dalam setiap
program pengelolaan wilayah pesisir.
5. Batas suatu wilayah pesisir harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan permasalahan
yang hendak dikelola serta bersifat adaptif.
6. Fokus utama dari pengelolaan lingkungan pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi
sumberdaya milik bersama (common property resources)
7. Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus
dikombinasikan dalam satu program pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara
terpadu
8. Semua tingkat pemerintahan dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam
perencanaan dan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.
9. Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah tepat
dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.
10. Evaluasi manfaat ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir dan laut serta partisipasi
masyarakat dalam program pengelolan lingkungan pesisir dan laut.
11. Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan utama dari
pengelolaan sumber daya lingkungan pesisir dan laut.
12. Pengelolaan multiguna sangat tepat digunakan untuk semua sistem sumber daya
lingkungan pesisir dan laut.
13. Pemanfaatan multiguna merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan lingkungan
pesisir dan laut secara berkelanjutan
14. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara tradisional harus ditangani
15. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sangat penting bagi pengelolaan lingkungan
pesisir dan laut secara efektif.

2. Strategi Pengendalian

Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka


pelestarian fungsi lingkungan hidup di wilayah pesisir. Dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dinyatakan:
“Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan”.
Ada beberapa instrumen yang dapat dikembangkan dalam mencegah terjadinya pencemaran dan
kerusakan di wilayah pesisir. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a) kajian lingkungan hidup strategis (KLHS);
b) tata ruang;
c) baku mutu lingkungan hidup;
d) kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e) amdal;
f) UKL-UPL;
g) perizinan;
h) instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i) peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j) anggaran berbasis lingkungan hidup;
k) analisis risiko lingkungan hidup;
l) audit lingkungan hidup; dan
m) instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan tata ruang yang konsisten akan
mengurangi terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam penyusunan strategi pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan, perlu memperhatikan:
- Penerapan baku mutu;
- Pelaksanaan program pengawasan;
- Izin pembuangan limbah ke laut dan
- Penaatan serta penegakan hukum lingkungan.

Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir harus


dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Masing-masing pihak yang
terkait harus memperhatikan instrumen pencegahan yang tersebut di atas, melaksanakan
penanggulangan seperti yang diatur pada Pasal 53 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, yaitu:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan pemulihan lingkungan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dapat dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Program Pemantauan Pesisir

Pemantauan dapat dilaksanakan dengan fokus dan sasaran, antara lain terhadap :
1. Kualitas buangan (effuent/emission) dan lingkungannya (air sungai, laut)
2. Penaatan hukum dan peraturan
3. Dampak dari buangan limbah
4. Abrasi dan akresi di wilayah pantai
5. Penurunan tanah dan kenaikan muka air laut di wilayah pesisir
6. Daya dukung lingkungan
7. Model prediksi perubahan lingkungan

Hasil pemantauan lingkungan pesisir digunakan untuk menyusun Status Mutu Kualitas Pesisir dan
pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan program pada tahun berikutnya.

F. Saran Langkah Tindak Untuk Peningkatan Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran dan


Kerusakan Lingkungan di Wilayah Pesisir

Mengingat di beberapa daerah telah banyak terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan di
wilayah pesisir, maka beberapa langkah nyata yang dapat dilaksanakan untuk memperkecil terjadinya
perusakan dan pencemaran di wilayah pesisir adalah sebagai berikut:
a. Gunakan pendekatan secara sistematis dan bertahap dalam mengembangkan
dan mengimplementasikan program.
b. Gunakan prinsip-prinsip pengelolaan pesisir dan laut terpadu dan prinsip Good
Environmental Governance dalam mengimplementasikan program dan proyek.
c. Laksanakan tahapan-tahapan pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu (tahap 1s/d 6)
dengan menyesuaikan keadaan situasi dan kondisi setempat.
d. Libatkan masyarakat, ilmuwan, pengusaha dan stakeholder lainnya dalam proses
pelaksanaan program.
e. Integrasikan informasi lingkungan, teknologi, ekonomi dan sosial sejak awal dalam suatu
proses pelaksanaan program.
f. Ciptakan mekanisme keuangan yang berkesinambungan untuk mendukung program
pengendalian pencemaran dan kerusakan di pesisir.
g. Kembangkan kemampuan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan program pada
semua tingkat pemerintahan
h. Pantau efektifitas program dan proyek.
i. Gunakan hasil evaluasi pelaksanaan program untuk perbaikan atau penyempurnaan
pelaksanaan program tahun berikutnya (berkesinambungan dan berkelanjutan).
j. Mengikuti atau masuk dalam Program Bangun Praja Lingkungan yang dikelola oleh
Kementerian Lingkungan Hidup.
G. Penutup
Dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir, sudah saatnya Pemerintah
aktif melakukan langkah-langkah yang konkrit mulai dari kegiatan pemantauan kualitas air laut,
pendataan rona awal, penanganan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan di pesisir serta
pengelolaan wilayah pantai. Peningkatan penaatan pada peraturan oleh kegiatan industri yang
membuang limbah langsung ke laut, transportasi laut (kapal), eksploitasi terumbu karang atau pasir
laut sampai kepada langkah penegakan hukumnya perlu segera dilakukan. Valuasi ekonomi perlu
dilakukan agar potensi wilayah pesisir secara ekonomi dapat diketahui degan pasti, sehingga
memudahkan dalam melakukan tuntutan ganti rugi (claim) apabila terjadi pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan.
Penanganan limbah domestik dari kegiatan perkotaan sudah saatnya dikelola dengan baik dan
benar, karena dapat memberikan andil yang cukup besar pada penurunan kualitas air laut. Selain itu,
adanya erosi, limbah kegiatan pertanian dan pencemaran udara terutama Pb dan ammonia harus
segera dikendalikan. Untuk melaksanakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan laut
perlu dibangun suatu komitmen dari semua pihak terutama para pengambil keputusan baik di pusat
maupun daerah serta adanya peningkatan kapasitas kelembagaan di daerah. Pelaksanaan pengelolaan
pesisir dan laut secara terpadu melalui Program Pantai Lestari perlu dilakukan dengan konsisten serta
dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga terwujutnya peningkatan pendapatan dan
pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di wilayah pesisir dapat terlaksana.

Daftar Pustaka

Anonim, 1996. Buku Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan Di Wilayah Pesisir dan
Lautan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta.
Anonim, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonim, 1998. A manual for assessing Progress in Coastal Management, Coastal Resources Center,
University of Rhode Island, USA.
Anonim, 2002. Konsep dan Disain Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Bali Tenggara,
Kerjasama Pemerintah Propinsi Bali dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme on
Partnerships in Environmental Management for Seas of East Asia (PEMSEA), Project
Management Office, Bapedalda Propinsi Bali, Denpasar.
Anonim, 2012. Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2012, Kementerian Lingkungan
Hidup Anonim, 2013. Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2013, Kementerian
Lingkungan Hidup
Bengen, Dietriech G., 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor
Chua, T.E., 1994. Lesssons Learned from Practising Integrated Coastal Management in Southeast
Asia.
Dahuri, Rokhmin (Menteri Kelautan dan Perikanan), 2002. Kebijakan Departemen Kelautan dan
Perikanan Dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan (disampaikan pada acara: Peluncuran
Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut/MCRMP), Jakarta.
Dahuri, Rokhmin, et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Pesisir Terpadu, Departemen Kelautan dan Perikanan
RI.
Olsen, Stephen B. et al. 1998. A manual for Assessing Progresss in
Coastal Management, Coastal Resource Center University of
Rhode Island.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3816);
Satria, Arif, 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat, IPB Press, Bogor.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4480);
Walikotamadya Jakarta Utara, 2000. Profil Kawasan Pantai Teluk
Jakarta yang Berkaitan Dengan Masalah Pencemaran Lingkungan
Pantai (disampaikan dalam: Lokakarya Pantai Bersih Laut Lestari,
Hotel Horison Jakarta)
PENANGGULANGAN YANG TEPAT MENGENAI MASALAH LINGKUNGAN DI
DAERAH PESISIR YANG DIAKIBATKAN OLEH FAKTOR ALAM MAUPUN
MANUSIA

Hari Anggara1

Latar Belakang
Kawasan pesisir dan lautan di Indonesia memiliki kekayaan yang besar namun belum
dimanfaatkan secara optimal. Seperti yang telah diungkapkan bahwa secara umum kawasan
pesisir dan lautan telah dijadikan sebagai lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan seperti: perikanan
budidaya maupun tangkapan, kegiatan konservasi laut (seperti mangrove, terumbu karang,
padang lamun dan biota laut lainnya), perhubungan laut/alur pelayaran, serta dijadikan sebagai
lokasi pariwisata bahari dan pantai. Pengembangan pariwisata yang berbasiskan kegiatan bahari
dan pantai merupakan kegiatan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai kegiatan utama
penggerak ekonomi di kawasan pesisir dan lautan. Namun di lain pihak pengelolaan kawasan
pesisir dan lautan dirasakan masih kurang terlaksana dengan baik. Bahkan masih banyak
dijumpai kegiatan-kegiatan yang dapat merusak keseimbangan ekosistem yang mengakibatkan
timbulnya degradasi habitat wilayah pesisir dan lautan seperti membuang limbah yang
berpotensi mencemari kawasan penting tersebut.
wilayah pesisir pantai memiliki tingkat kepadatan penduduk dan juga pembangunan
industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat ancaman manusia .
Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam
memperlakukan alam. Perilaku manusia saat ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme
dimana cara pandang manusia hanya melihat dari sudut prinsip etika terhadap manusia saja,
baik dari sisi kebutuhannya maupun kepentingannya yang lebih tinggi dan terkadang sangat
khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk selain manusia dan benda lainnya hanya
dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia atau yang dikenal dengan prinsip
instrumentalistik (Susilo 2008:61).
Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi dua, yaitu:
kerusakan karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik. Kerusakan yang

1
Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil
diakibatkan oleh faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan,
predator, erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami ataupun
akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Perilaku manusia banyak
dipengaruhi oleh etika antroposentrisme. Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan
manusia yang tidak hanya bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif. Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini marak dilakukan.
Manusia tidak hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini manusia telah
memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia mengeksploitasi alam
dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir panjang
terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber
daya alam khususnya dalam hal ini ekosistem pesisir.

Aktivitas manusia pun dapat menimbulkan pencemaran yang mengancam ekosistem.


Pencemaran-pencemaran tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik yang fatal di daerah
pesisir. Miller (2004) dalam Mukhtasor (2007:7),“pencemaran adalah sebarang penambahan
pada udara, air dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau
kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya”. Undang- Undang No.23 Tahun 1997 dalam
Mukhtasor (2007:7), “pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat
berfungsi sesuai peruntukannya”. Hal ini berarti, pencemaran tidak hanya dapat merusak tatanan
ekosistem pesisir tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia serta dapat mematikan
makhluk hidup yang memanfaatkan sumber daya pesisir yang telah tercemar tersebut.

Limbah padat berupa sampah kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan
sampah ke laut sering menjadi alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan
dinilai tidak efektif dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan
berpengaruh bagi lautan yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai
pengaruh terhadap kehidupan laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai
dan mengurangi keindahan laut serta menghalangi
penetrasi cahaya matahari. Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke dasar laut dan
berpengaruh terhadap komunitas bentos (Mukhtasor 2007:137-142).

Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen
dan pembuangan material hasil pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan
pencemaran yang dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari
pengerukan sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan.
Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat membahayakan karena
dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun efek jangka panjang.
Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut berupa perubahan karakteristik
populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut. Selain itu, tumpahan minyak dapat
berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di
sektor perikanan dan budi daya (Mukhtasor 2007:234:249).

Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana
lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut,
dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau
dengan lebar bervariasi. Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang
dilakukan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan
lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan
ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami
maupun buatan. Penanggulangan atas permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat
mengurangi maupun mencegah kerusakan yang terjadi. Makalah ini menyajikan bagaimana cara
penanggulangan yang tepat atas permasalahan pesisir yang diakibatkan oleh faktor alam
maupun manusia.

Pembahasan
Penanggulangan kerusakan pesisir dilakukan untuk menangani permasalahan yang terjadi di
daerah pesisir. Kegiatan penanggulangan ini dapat dilakukan dengan mitigasi, kegiatan
preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi
(Diposaptono 2001:8-15).
Kegiatan Mitigasi
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani permasalahan di daerah pesisir seperti
penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Kegiatan
penanggulangannya dengan menanam mangrove di wilayah pesisir yang rentan terhadap
bencana tsunami atau erosi. Penanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penghadang
gempuran tsunami atau ombak, sehingga energi gelombang dapat diredam dan akan
mengurangi dampak negatif berupa korban jiwa dan harta benda.

Selain membangun dam pemecah ombak, salah satu upaya alamiah yang bisa dilakukan
untuk mengatasi masalah abrasi adalah menanam pohon di sepanjang garis pantai. Mangrove
merupakan jenis tanaman dengan sistem perakaran yang kompleks, rapat, dan lebat, sehingga
dapat memerangkap sisa-sisa bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian
daratan. Proses itu juga menyebabkan air laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian
memelihara kehidupan padang lamun (seagrass) dan terumbu karang. Mangrove juga dapat
membentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya sehingga menumbuhkan
perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas batas
pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di wilayah
daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi dan diharapkan
bisa ikut mengatasi buruknya ekosistem di wilayah pantai dan tambak.
Dalam jangka panjang penanaman Mangrove untuk jenis tertentu (misalnya: mangrove
jenis TUMU) juga diharapkan bisa membawa manfaat bagi para pengrajin batik di Indonesia,
yaitu dengan menggunakan daunnya sebagai salah satu bahan pewarna batik. Kerimbuhan hutan
mangrove kemudian mengundang kedatangan satwa untuk berlindung, mencari makan dan
berkembang biak, mulai dari kepiting raksasa, udang, kerang, ikan, biawak, buaya, tawon
sengat, monyet, burung bangau hingga bagi hutan. Selain itu hutan mangrove ini juga nyaman
bagi koloni lebah madu.

Kegiatan Preventif/Pencegahan
Kegiatan preventif/pencegahan adalah kegiatan yang berupa untuk mencegah terjadinya
kerusakan. Kegiatan ini misalnya penerapan AMDAL yang berupaya mencegah kerusakan
pesisir. Pada masalah limbah domestik dapat dilakukan pengolahan sampah dan Gerakan Bersih
Pantai dan Laut sedangkan limbah pemanfaatan ikan dapat diolah menjadi pakan ikan, terasi.
Adapun limbah kulit kerang dapat diolah menjadi kerajinan tangan.
Di bidang teknik sipil limbah tersebut dapat dijadikan bahan campuran dalam pembuatan beton.
Hal ini akan mengurangi masalah limbah kulit kerang yang begitu berlebihan di daerah pesisir.

Berkembangnya pembangunan berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan beton


sebagai bahan bagunan yang banyak digunakan. Pembangunan akan terus berkembang begitu
juga dengan kebutuhann akan beton selanjutnya dimasa yang akan datang. Beton banyak
digunakan pada pembangunan karena mudah dibentuk sesuai dengan keperluan terlebih lagi
bahan pembentuk beton yaitu pasir, batu pecah, semen dan air merupakan bahan yang tidak sulit
untuk didapatkan, perawatannya tidak memerlukan banyak biaya dan memiliki kuat tekan yang
tinggi. Saat ini berbagai cara serta penelitian dilakukan dan terus dikembangkan dengan tujuan
meningkatkan kekuatan beton, salah satunya pada material pembentuk beton itu sendiri. Hal ini
dilakukan dengan cara mensubstitusikan bahan-bahan pengganti, baik sebagai agregat kasar,
agregat halus, semen dan juga bahan tambahan untuk meningkatkan daya rekat dari bahan
pengikat dalam beton. Bahan yang digunakan sebagai bahan pengganti tersebut difokuskan
dengan memanfaatkan material limbah.
Kegiatan Pemulihan
Kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan keadaan yang telah mengalami
kerusakan. Menurut Diposaptono (2001:8-15), kegiatan pemulihan dapat
berupa restorasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Berdasarkan hasil penelitian Suhardi
(2001:2-1), pendekatan sedimen sel dapat diterapkan di Indonesia dalam menangani masalah
erosi (tipe pantai terbuka) dan akresi (tipe pantai terlindung. Sedangkan pada kasus tumpahan
minyak dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode fisika/mekanis (penggunaan
boom, absorben, dan skimmer), metode kimia (penggunaan dispersan), metode biologi
(bioremediation), dan dengan pembakaran.

KESIMPULAN
Daerah pesisir memiliki daya tarik dan potensi ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, berbagai
pihak berlomba-lomba untuk memanfaatkan dan mengelola daerah pesisir. Maraknya aktivitas
yang dilakukan menjadikan ekosistem pesisir rentan terhadap kerusakan dan perusakan yang
terjadi. Permasalahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam berupa bencana
alam dan faktor antropogenik. Kerusakan yang dilakukan akibat ulah manusia dapat bersumber
dari darat maupun laut. Sumber kerusakan yang berasal dari darat berupa limbah industri,
limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Sedangkan kerusakan yang berasal dari laut berupa
pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil pengerukan serta tumpahan minyak.
Dampak negatif yang ditimbulkan tidak hanya merugikan lingkungan dan biota yang ada tetapi
juga dapat membahayakan manusia itu sendiri.
Penanggulangan atas permasalahan pesisir yang terjadi perlu dilakukan. Hal ini dapat
dilakukan dengan kegiatan mitigasi, kegiatan preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan.
Ketiga metode tersebut akan mengurangi dampak atau bahkan mampu menanggulangi masalah
tersebut

DAFTAR PUSTAKA
Delinom RM & Lubis RF. 2007. Air tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam: Delinom
RM,editor. Sumber daya air di wilayah peisisir & pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta:
LIPI Press. Hal1-25.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Diposaptono Subandono. 2001. Riset teknologi pesisir: kini dan masa datang. Dalam:
Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir.
Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-20.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Idris Irwandi. 2001. Kebijakan pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia. Dalam: Rachmawati
Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha
Sucofindo. Hal1-9.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Manik KES. 2003. Pengelolaan lingkungan hidup. Jakarta: Djambatan. 259hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Satria Arif. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press. 176hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Suhardi Idwan. 2001. Pengkajian dan penerapan sedimen sel di Indonesia serta aplikasinya dalam
konservasi dan rehabilitasi pesisir. Dalam: Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi
konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-7.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan-
penanggulangannya/
Susilo RK. 2008. Sosiologi lingkungan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 214hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Manfaat Menanam Mangrove diambil pada 11 mei 2019
http://ucsindonesia.org/news_manfaat_penanaman_mangrove.html
ANALISIS RISIKO LINGKUNGAN LOGAM BERAT CADMIUM (Cd) PADA
SEDIMEN AIR LAUT DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR

Analysis of Environmental Risk of Heavy Metals Cadmium (Cd) in


Sedimentary Seawater in the Coastal City of Makassar

Abdul Wahid Akbar, Anwar Daud, Anwar Mallongi


Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
(abidakbar1991@yahoo.com, anwardaud66@gmail.com, anwar_envi@gmail.com,
085255695589)

ABSTRAK

Logam berat merupakan unsur berbahaya di perairan sehingga pada kawasan pesisir Kota
Makassar perlu dilakukan pemantauan sediman sebagai indikator pencemaran logam berat di
perairan karena sifatnya yang mudah terakumulasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian
observasional dengan pendekatan deskriptif menggunakan rancangan Analisis Risiko Lingkungan
(ARL) dengan tujuan mengetahui konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) dan besar risiko cemaran
logam tersebut pada sedimen wilayah pesisir Kota Makassar. Sampel dalam penelitian ini adalah
sedimen yang di ambil pada di 5 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir Kota Makassar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Cadmium (Cd) pada sedimen air laut di wilayah
pesisir Kota Makassar, pada titik I (0,559 mg/kg), titik II (0,373 mg/kg), titik III (0,187 mg/kg), titik IV
(0,186 mg/kg), dan titik V–VIII tidak terdeteksi (Tt). Sehingga besar risiko lingkungan yang terjadi di
wilayah pesisir Kota Makassar akibat paparan Cadmium, berkisar pada 0,1–1,0 dengan kategori risiko
rendah.

Kata kunci: Analisis risiko, sedimen, perairan, Cadmium

ABSTRACT

Heavy metal is a dangerous element in the waters of the coastal area so in Makassar city
sediman monitoring needs to be done as an indicator of pollution of heavy metals in waters because
of its easy to accumulate. This type of research is research observational with a descriptive approach
using the draft Environmental risk analysis (ARL) with the purpose of knowing the concentration of
heavy metals Cadmium (Cd) and the greater the risk of impurities that metals in sediments of the
coastal area of the city of Makassar. The sample in this research are sediments taken at 5 in the town
bordering the coastal city of Makassar. The results showed that concentrations of Cadmium (Cd) in
sedimentary seawater in the coastal city of Makassar, at that point I (0,559 mg/kg), point II (0,373
mg/kg), point III (0,187 mg/kg), point IV (0,186 mg/kg), and the point of the V% uFFFD VIII not
detected (Tt). So the big risk is the environment that occurs in coastal areas of Makassar city due to
exposure to Cadmium, range in the 0,1-1.0 with low risk category.

Keywords: Risk analysis, sediment, aquatic, Cadmium


PENDAHULUAN
Kontaminasi logam berat terhadap ekosistem perairan telah menjadi masalah dalam kesehatan
lingkungan selama beberapa dekade. Kontaminasi logam berat pada ekosistem perairan secara intensif
berhubungan dengan pelepasan logam berat oleh limbah domestik, industri dan aktivitas manusia
lainnya. Kontaminasi logam berat dapat menyebabkan efek mematikan terhadap organisme laut dan
menyebabkan ketidakseimbangan ekologis dan keanekaragaman organisme laut. 1
Pencemaran perairan ditandai dengan adanya perubahan sifat fisik, kimia dan biologi perairan.
Bahan pencemar berupa logam berat di perairan akan membahayakan kehidupan organisme, maupun
efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Salah satu jenis logam berat yang
memasuki perairan dan bersifat toksik adalah Cadmium (Cd). Cadmium (Cd) merupakan logam berat
yang sangat berbahaya karena tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup dan
dapat terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa
kompleks bersama bahan organik dan anorganik. 2 Gbaruko dan Friday, menyatakan bahwa logam berat
Cadmium (Cd) secara alami merupakan komponen yang terdapat pada lapisan bumi dan dapat
memasuki perairan melalui rangkaian proses geokimia dan aktivitas manusia (antropogenik). 3
Penelitian tersebut sejalan dengan yang dilakukan oleh Zhou dan Shah, yang menyatakan bahwa
aktivitas manusia (antropogenik) merupakan penyebab utama kontaminasi logam berat Cadmium (Cd)
pada lingkungan perairan dan menyebabkan gangguan pada sistem biologis karena dapat terakumulasi
dengan mudah dalam sedimen maupun organisme.4
Pencemaran logam berat Cadmium (Cd) yang terjadi di Indonesia seperti penelitian yang
dilakukan oleh Elisabeth, di sungai Surabaya dimana pencemaran logam berat terjadi pada ikan keting
dan bader yang mencapai 0,5 ppm, yang melebihi ambang batas yang di tetapkan oleh FAO yakni
sebesar 0,1 ppm.5 Hasil penelitian LIPI juga di temukan cemaran pada sedimen di perairan Teluk Buyat
menunjukkan konsentrasi Cadmium (Cd) sebesar 0,14 ppm.6 Ward dan Young, menyatakan bahwa
memang frekuensi penurunan 20 spesies umum, sebagian besar ikan, berhubungan dengan kepekatan
logam pencemar (Cd, Cu, Pb, Mn dan Zn) di dalam sedimen di perairan. 7 Sehingga memungkinkan
cemaran logam berat juga terjadi di kawasan pesisir Kota Makassar dimana pertimbangan berikut ini
bahwa di kawasan pesisir Kota Makassar, penggunaan lahan tepi sebagai kawasan bisnis dan pariwisata
terpadu diperkirakan kawasan pesisir memanjang dari utara hingga ke selatan berpotensi terkena
pencemaran Cadmium (Cd) khususnya kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir kota
Makassar yaitu: Kecamatan Biringkanaya, Ujung Tanah, Tallo, Mariso, dan Tamalate.
Oleh karena itu, untuk mengetahui pencemaran Cadmium (Cd), maka perlu dilakukan pemeriksaan
sediman sebagai indikator pencemaran logam berat untuk mengetahui besarnya risiko lingkungan yang
terjadi akibat paparan logam Cadmium (Cd) di Perairan Kota Makassar khususnya pada lima kecamatan
tersebut di atas.8

BAHAN DAN METODE


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif menggunakan
rancangan Analisis Risiko Lingkungan (ARL). Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir kota
Makassar yaitu: Kecamatan Biringkanaya, Ujung Tanah, Tallo, Mariso, dan Tamalate pada bulan Maret
- April 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah sedimen yang di ambil di lima kecamatan yang
berbatasan langsung dengan pesisir Kota Makassar. Metode yang digunakan adalah metode sampel
sesaat atau Grap Sample pada dua titik berdasarkan kedalaman untuk masing-masing kecamatan yang
ditentukan dengan jarak minimal 0 - 100 meter kearah laut. Sampel untuk masing-masing titik, diambil
pada kedalaman 3 m dan 6 m. Sampel yang telah diambil, kemudian dibawah ke Laboratorium Balai
Teknologi Pertanian Maros dan dilakukan pemeriksaan sedimen dalam berat kering dengan
menggunakan metode Atomic Absorbiton Spectrophotometer (AAS). Data hasil pemeriksaan kemudian
disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL
Konsentrasi logam Cadmium (Cd) paling tinggi (0,559 mg/kg) ada di titik 1 yaitu di Wilayah
Cambaya, namun masih dalam kondisi memenuhi syarat yaitu dibawah 0,99 mg/kg. Konsentrasi logam
Cadmium (Cd) terendah atau tidak terdeteksi ada pada titik V, VI, VII, dan VIII, yaitu di Wilayah
Panambungang, Barombong, Untia, dan Kodingareng (Tabel 1). Pada titik I risiko lingkungan
kandungan logam Cadmium (Cd) pada sedimen air laut di Wilayah Cambaya masih berada pada
kategori risiko rendah dimana nilai HQtitikI = 0,1-1,0. Untuk nilai HQ pada titik II–VII, cara
perhitungannya sama dengan HQ pada titik I (Tabel 2).

PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) pada sedimen air laut yang
dilakukan di wilayah pesisir Kota Makassar, didapatkan bahwa konsentrasi logam berat Cadmium (Cd)
masih berada pada kategori yang ditoleransi oleh lingkungan atau masih memenuhi syarat sesuai
dengan tetapan kontaminan yang ditoleransi dalam sedimen. Adapun beberapa lokasi seperti
Pannambungan, Barombong, Untia dan Kodingareng, konsentrasi
logam berat Cadmium (Cd) adalah 0 atau tidak terdeteksi (Tt). Berdasarkan perhitungan HQ,
didapatkan bahwa dari titik I hingga VIII, nilai HQ berada pada kisaran 0,1–1,0 sehingga secara
keseluruhan, wilayah pesisir Kota Makassar masih berada pada tingkat risiko rendah akibat kandungan
logam berat Cadmium (Cd). Meskipun konsentrasi logam berat yang terdeteksi tidak memberikan
informasi yang cukup berarti pada dampak bahaya logam bagi organisme, ataupun lingkungan dalam
arti bahwa konsentrasi logam Cadmium (Cd) masih pada batas yang diperbolehkan pada sedimen, akan
tetapi informasi tersebut sangat penting dalam mengindentifikasi sumber logam di perairan. 9
Secara deskriptif konsentrasi Cadmium (Cd) terlihat paling tinggi pada Lokasi Cambaya.
Cadmium (Cd) juga terlihat tinggi di Lokasi Kaluku Bodoa dan diikuti Buluo dan Tallo. Tingginya
konsentrasi Cadmium (Cd) di Lokasi Cambaya dikarenakan lokasinya dekat dengan lokasi Paotere yang
merupakan tempat bermuaranya hampir seluruh buangan Kota Makassar dan merupakan lokasi
pelabuhan rakyat. Selain itu aktivitas pengecetan kapal dan minyak tumpahan kapal meningkatkan
input Cadmium (Cd) ke perairan. Sedangkan input Cadmium (Cd) di daerah Kaluku Bodoa, Buloa, dan
Tallo kemungkinan dominan berasal dari aktivitas di daratan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Azhar, dkk, tentang kandungan logam berat pada sedimen di Perairan Wedung Demak dimana
pada penelitiannya menggunakan tiga titik sampling dan pada sampling I diperoleh konsentrasi
Cadmium (Cd) sebesar 0,4694 ppm, sampling ke-II tidak terdeteksi atau dibawah ambang batas AAS
dan pada sampling ke-III diperoleh 0,7257 ppm atau meningkat dari sebelumnya. Azhar menyatakan
bahwa asal Cadmium (Cd) di perairan diduga dari limbah plastik, cat pada perahu nelayan dan
tumpahan solar di laut.11 Penelitian lain yang sejalan dengan ini dilakukan oleh Fachruddin dan Musbir,
di Perairan Kota Makassar dimana titik pengambilan sampelnya ada tiga yaitu muara Sungai Tallo,
Pantai Losari dan Pulau Kayangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Cadmium (Cd)
tertinggi ada di muara Sungai Tallo yaitu 1,65 mg/kg. Berbeda dengan hasil pada penelitian ini bahwa
di dekat muara Sungai Tallo, rata-rata konsentrasi Cadmium (Cd) masih dibawah ambang batas dan
justru tertinggi ada di Cambaya.12
Penelitian konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) di kawasan pesisir Kota Makassar pada
beberapa titik sudah melampaui batas alamiahnya. Namun pada penelitian ini, rendahnya konsentrasi
logam tersebut diduga karena pergerakan air laut yang dinamis yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisika seperti angin, arus, gelombang dan pasang surut sehingga terjadi pengenceran yang terus menerus
yang mengakibatkan rendahnya kandungan logam berat
pada daerah perairan estuari (tidak terdeteksi). Selain hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor fisik
kimia seperti temperatur, kedalaman, salinitas, pH dan DO. 13
Terkait dengan kedalaman, hal ini juga jelas mempengaruhi kandungan logam berat dalam
sedimen, dimana pada penelitian ini sedimen diambil pada kedalaman 3-6 meter dengan asumsi bahwa
pada kedalaman ini, pengaruh pencucian sedimen akibat arus relatif lebih kecil dibandingkan dengan
jarak yang dekat dengan bibir pantai. Hal ini juga disesuaikan dengan kondisi perairan pesisir Kota
Makassar yang tidak lagi dangkal akibat cropping yang dilakukan. Namun, tingkat kedalaman akan
berbanding lurus dengan menurunnya suhu air yang akan berpengaruh terhadap kandungan logam berat
pada sedimen. Darmono, menyatakan bahwa semakin tinggi suhu air, daya toksisitas logam semakin
meningkat, sebaliknya semakin rendah suhu air maka daya toksisitas logam juga menurun. Di samping
itu pada kadar garam yang semakin tinggi, daya toksisitas logam semakin menurun. 14
Kandungan logam yang berada pada suatu lingkungan juga sangat dipengaruhi oleh sumbernya.
Connel dan Miller, berkesimpulan bahwa kedua pencemar baik logam maupun ukuran partikel sedimen
sangat menentukan pengaruhnya terhadap struktur komunitas. Lebih jauh lagi, logam pencemar
menunjukkan pengaruh yang lebih besar terhadap ikan dibandingkan terhadap krustasea (udang,
lobster, dan kepiting). Perkembangan toleransi terhadap logam pada beberapa spesies meningkatkan
kapasitas mereka untuk mengakumulasi logam dengan kepekatan yang relatif tinggi dan dapat
menyebabkan beberapa modifikasi pada struktur komunitas yang berubah setiap waktu dimana kondisi
nilai kandungan logam berat di dalam sedimen selama pengamatan, nilainya jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan yang terdapat pada kolom perairan. Hal ini diduga karena adanya laju proses
pengendapan atau sedimentasi yang dialami logam berat. Sehingga sedimen merupakan tempat proses
akumulasi logam berat di sekitar perairan laut. 7 Sesuai dengan hasil penelitian Mance, bahwa
konsentrasi logam berat di sedimen jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang ada pada kolom
perairan. Leiwakabessy, juga menyatakan bahwa logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat
bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam
berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air. 13
Akumulasi logam berat diperairan juga dipengaruhi oleh hadirnya logam lain yang terlarut
dalam air. Seperti penelitian yang telah dilaporkan oleh Ahsanullah, air yang mengandung Cadmium
dan seng, ternyata akumulasi kedua logam terus meningkat. Apabila Cd dicampur Cu, akumulasi
menjadi terhambat dan akumulasi Cd tetap meningkat. Bila ketiga logam tersebut (Cd, Cu, Zn)
dicampur, ternyata akumulasi Cd dalam jaringan tetap
tidak terpengaruh dan terus meningkat.13 Namun demikian, konsentrasi yang rendah ini tetap harus
diwaspadai karena logam logam berat yang terlarut dalam perairan pada konsentrasi tertentu dapat
berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan
oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari suatu
kelompok dapat menjadikan terputusnya satu mata rantai kehidupan. 10

KESIMPULAN DAN SARAN


Konsentrasi Cadmium (Cd) pada sedimen laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar, pada titik I
(0,559 mg/kg), titik II (0,373 mg/kg), titik III (0,187 mg/kg), titik IV (0,186 mg/kg), dan titik V–VIII
tidak terdeteksi (0 mg/kg). Sehingga besar risiko lingkungan yang terjadi akibat kandungan Cadmium
(Cd) pada sedimen laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar berkisar pada 0,1 – 1,0 dengan kategori risiko
rendah.
Kepada pemerintah diharapkan melakukan upaya pengendalian dan monitoring terhadap
cemaran logam berat pada perairan Kota Makassar. Kepada pihak industri juga diharapkan melakukan
pengontrolan kelayakan limbah buangan pabrik sebelum dialirkan ke lingkungan khususnya dialirkan
ke laut sehingga mengurangi beban pencemaran yang masuk ke perairan atau badan air. Kepada
masyarakat diharapkan tidak membuang limbahnya ke laut agar dapat mengurangi beban cemaran
perairan akibat limbah domestik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anggraini, D. Analisis Kadar Logam Berat Pb, Cd, Cu Dan Zn Pada Air Laut, Sedimen dan
Lokan (Geloina Coaxans) di Perairan Pesisir Dumai, Provinsi Riau [Skripsi]. 2007; [Online].
[Diakses 16 Februari 2014]. http://heavymetals-contens-analystPb,Cu,Cd,Zn an sea
waters.pdf.
2. Apriadi, D. Kandungan Logam Berat Hg, Pb dan Cr Pada Air, Sedimen dan Kerang Hijau
(Perna Viridis L.) di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta [Skripsi]. 2005; [Online].
[Diakses 17 Februari 2014].
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11788/C05ada.pdf.
3. Gbaruko, B.C. and Friday, O.U. Bioaccumulation of Heavy Metals in Some Fauna and
Flora. New York: UI-Press; 2007.
4. Zhou. Biomonitoring: An Appealing Tool for Assessment of Metal Pollution in the
Aquatic Ecosystem. Elsevier. [Online Jurnal]. 2008; 84 (3). [Diakses 20 Februari 2014].
Available at. www.elsevier.com.
5. Elisabeth, R, dkk. Penentuan Kandungan Logam pada Ikan Kembung dengan Metode
Analisis Aktifasi newtron. [Online Jurnal]. 2008; 79 (6). [Diakses pada tanggal 20 Februari
2014]. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/51082429.pdf .
6. Widowati, W. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi; 2008.
7. Connel, D W dan Miller, G J. Kimia Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-press); 2006.
8. Randalele, M. Studi Kandungan Logam Berat Khromium (Cr) pada Sedimen di Perairan
Pantai Losari Kota Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2006.
9. Werorilangi, dkk. Status Pencemaran dan Potensi Bioavailabilitas Logam di Sedimen
Perairan Pantai Kota Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2011.
10. Fachruddin dan Musbir. Konsentrasi Logam Berat Cd dalam Air Laut, Sedimen dan
Daging Kerang Hijau (Perna Viridis) di Perairan Pantai Makassar [Sripsi]. Makassar:
Universitas Hasanuddin; 2010.
11. Madusa, S, S. Analisis Risiko Paparan Kadmium (Cd) pada Masyarakat di Sekitar Sungai
Pangkajene Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep [Tesis]. Makassar: Universitas
Hasanuddin; Makassar; 2012
12. Darmono. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-press); 2001.
13. Munce, G. Threat of Heavy Metalin Aquatic Environment Oceorance Analysis and
Biologycal Relevance. New York: UI-Press; 1990.
14. Palar, H. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT. Rineke Cipta; 2008.
LAMPIRAN
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kandungan Cadmium (Cd) dalam Sedimen Air
Laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar
Lokasi Pengambilan
Kode Titik Konsentrasi (C) Ket.
Sampel
Cambaya C3-6 I 0.559 MS
Kaluku Bodoa K3-6 II 0.373 MS
Buloa B3-6 III 0.187 MS
Tallo T3-6 IV 0.186 MS
Panambungan P3-6 V Tt Tt
Barombong G3-6 VI Tt Tt
Untia U3-6 VII Tt Tt
Kodingareng KD3-6 VIII Tt Tt
Standar Screening Benchmark 0,99 US-EPA
Sumber: Data primer, 2014

Tabel 2. Kategori Bahaya Kandungan Cadmium (Cd) dan Kromium (Cr) dalam
Sedimen Air Laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar
Lokasi Pengambilan Hazard Quetiont (HQ)
Kode Ket.
Sampel untuk Cd
Cambaya C3-6 0.564646 L
Kaluku Bodoa K3-6 0.376768 L
Buloa B3-6 0.188889 L
Tallo T3-6 0.187879 L
Panambungan P3-6 Tt Tt
Barombong G3-6 Tt Tt
Untia U3-6 Tt Tt
Kodingareng KD3-6 Tt Tt
Sumber: Data primer, 2014

8
MAKALAH

REMEDIASI BADAN AIR DAN PESISIR

“BIOINDIKATOR SEBAGAI FITUR MONITORING POLUTAN”

OLEH:

MUHAMAD RONAL ARGIANTO

E1F119025

PROGRAM STUDI REKAYASA INFRASTRUKTUR & LINGKUNGAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

 Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya
tugas Kimia Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes
mengenai makalah “Bioindikator sebagai fitur monitoring polutan”.

                 Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang
telah memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa
makalah saya ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan
senang hati menerima masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,

                Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaledupa, 20 Mei 2020


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BIOINDIKATOR
B. RESPON ORGANISME TERHADAP PENCEMARAN
C. TIPE BIOINDIKATOR
D. KRITERIA MAKHLUK HIDUP TERHADAP INDIKATOR LINGKUNGAN.

BAB II PENUTUP
A. KESIM[PILAN.
B. SARAN.

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak senyawa kimia yang berpotensi berbahaya, yang berasal dari
aktivitas manusia. Dalam konteks ini, banyak ilmuwan yang telah menunjukkan
minat yang semakin besar dalam deteksi, pengetahuan, dan pengendalian agen
lingkungan yang bertanggung jawab atas terjadinya permasalahan kesehatan
manusia dan permasalahan keberlanjutan ekosistem. Pemantauan jenis dan jumlah
zat polutan yang masuk ke lingkungan adalah pekerjaan yang melelahkan dan
menyita energi besar, terutama karena sifatnya yang komplek dan biaya besar
dalam identifikasi bahan kimia. Meskipun sebenarnya banyak metode analitik yang
dapat dilakukan, mengumpulkan sampel yang cukup dan pada waktu yang tepat
terus menjadi kendala besar dalam upaya evaluasi adanya kerusakan lingkungan.
Selain itu, penentuan zat terisolasi melalui analisis kimia tradisional memiliki
aplikasi lingkungan yang terbatas, karena tidak dapat mendeteksi dampak pada
organisme dan tidak menggambarkan interaksi yang mungkin antara zat (aditif,
antagonis atau sinergis) serta ketersediaan hayati (Magalhães & Ferrão-Filho, 2008;
Silva et al., 2003).
Para peneliti telah menyarankan perlunya penerapan teknik biologis untuk
dalam pendekatan ekosistem. Faktor biologis dapat menunjukkan adanya
keseimbangan atau ketidakseimbangan lingkungan yang lebih baik melalui indeks
biotik, yang berasal dari pengamatan spesies-spesies bioindikator (Fontanetti et al.,
2011). Bioindikator memiliki persyaratan khusus yang berkaitan dengan
seperangkat variabel fisik atau kimia yang diketahui sedemikian rupa sehingga
perubahan dalam kehadiran/ketidakhadiran, jumlah, morfologi, fisiologi, atau
perilaku spesies tersebut menunjukkan bahwa variabel fisik atau kimia yang
diberikan berada di luar batas toleransi. Sebagian besar, bioindikator dibatasi
sebagai spesies yang bereaksi terhadap efek antropogenik lingkungan, sedangkan
bioindikator untuk perubahan dan kondisi lingkungan “alami” tidak banyak
digunakan. Namun demikian, definisi umum dari indikator biologis adalah: “spesies
atau kelompok spesies yang dapat mencerminkan keadaan lingkungan abiotik atau
biotik, mewakili dampak perubahan lingkungan pada habitat, komunitas atau
ekosistem, dan indikator keragaman taksa atau seluruh keragaman dalam suatu
area” (Gerhardt, 2009; Magalhães & Ferrão-Filho, 2008).
Di alam terdapat hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada
pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan
mati karena pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan
Planaria merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang
mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami
pencemaran. Sebaliknya, cacing merah (Tubifex) merupakan cacing yang tahan
hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik,
meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaan cacing tersebut
dapat dijadikan indikator adanya pencemaran zat organik. Organisme yang dapat
dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis.
Bioindikator terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia.
Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan limbahnya
ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara kimia pada
limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran. Tetapi tidak
demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara terus menerus.
Di sungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos, mikroinvertebrata,
ganggang, yang dapat dijadikan bioindikator.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Bioindikator
2. Respon Organisme Terhadap Pencemaran
3. Tipe Bioindikator
4. Kriteria Makhluk Hidup Sebagai Indikator Lingkungan

C. Tujuan
Untuk mengetahui penjelasan lebih mengenai Bioindikator yang dapat
berpengaruh terhadap polutan dan juga untuk memenuhi tugas kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bioindikator

Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling


berhubungan, yang keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan
dengan kondisi lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai satu
petunjuk kualitas lingkungan atau uji kuantitatif (Setyono & Sutarto, 2008;
Triadmodjo, 2008). Bioindikator menunjukkan sensitivitas dan/atau toleransi
terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat
penilai kondisi lingkungan (Setiawan, 2008). Bioindikator adalah makhluk yang
diamati penampakannya untuk dipakai sebagai petunjuk tentang keadaan kondisi
lingkungan dan sumber daya pada habitatnya. Selain itu, bioindikator mampu
mencerminkan kualitas suatu lingkungan atau dapat memberikan gambaran situasi
ekologi (Juliantara, 2011). Bioindikator memandang bahwa kelompok organisme
adalah saling terkait, dimana kehadiran, ketidakhadiran, dan/atau tingkah lakunya
sangat erat terkait dengan status lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan
sebagai indikator (Winarni, 2016).

Bioindikator juga berarti organisme maupun anggota komunitas yang


mampu memberikan informasi terkait kondisi lingkungan secara parsial, bagian
kecil, atau keseluruhan. Bioindikator harus mampu memberikan gambaran status
lingkungan dan/atau kondisi biotik; mengindikasikan dampak perubahan habitat,
perubahan komunitas atau pun ekosistem; atau menggambarkan keragaman
kelompok takson, atau keragaman dalam suatu daerah yang diamati. Organisme
dapat memonitor perubahan (biokimia, fisiologi, atau kebiasaan) yang mungkin
mengindikasikan adanya masalah di ekosistemnya. Bioindikator dapat
menunjukkan tentang kumpulan efek dari berbagai pencemar yang berbeda di
ekosistem (Kripa et al., 2013).

B. Respon organisme terhadap pencemaran


Menurut Kuniyoshi dan Braga (2010) organisme dalam habitatnya secara
konstan mendapat pengaruh oleh berbagai polutan. Polutan sangat mungkin
berinteraksi dengan kehidupan organisme mendukung sesuatu yang abnormal dan
hal itu mungkin dari tingkat molekuler sampai konsekuensi serius pada ekosistem.
Bioindikator dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makro
molekul, sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem), sehingga
bentuk indikator meliputi: (1) reaksi biokimia dan fisiologis, (2) abnormalitas
anatomi, morfologi, bioritme dan tingkah laku, (3) perubahan populasi hewan atau
tumbuhan secara kronologis, (4) perubahan pada ekosistem maupun gabungan
ekosistem, (5) perubahan pada struktur ataupun fungsi ekosistem, dan (6)
perubahan bentuk lahan atau landscape (Setiawan, 2008).
Timbulnya variasi dalam suatu populasi tergantung pada sensitifitasnya
terhadap fluktuasi perubahan lingkungan, yakni interaksi antar spesies yang ada.
Setiap spesies akan menunjukkan efek yang berbeda dalam menanggapi suatu
kompetisi, dan biodiversitas yang meningkat pada suatu komunitas akan sangat
mendukung terwujudnya stabilitas komunitas tersebut (Setyono & Sutarto, 2008).
Timbulnya variasi dalam suatu populasi tergantung pada sensitifitasnya terhadap
fluktuasi perubahan lingkungan, yakni interaksi antar spesies yang ada. Setiap
spesies akan menunjukkan efek yang berbeda dalam menanggapi suatu kompetisi
dan biodiversitas yang meningkat pada suatu komunitas akan sangat mendukung
terwujudnya stabilitas komunitas tersebut (Zulkifli & Setiawan, 2011).
Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal
balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik parameter
biologis tersebut diantaranya adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu
organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi, dan penghambatan enzim.
Efektif tidaknya suatu bioindikator yang digunakan ditentukan oleh keterkaitan
antara faktor lingkungan dan parameter biologis.
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap parameter biologis dalam bentuk
hubungan sebab-akibat (kausatif). Bila parameter biologis menjadi indikator maka
harus dipandang kebalikan dari hubungan kausatif. Syarat untuk menetapkan atau
memilih organisme sebagai bioindikator, yaitu: (1) Takson yang tinggi atau lebih
tinggi, harus memilih takson dengan taksonomi jelas, diketahui secara terperinci,
dan mudah untuk diidentifikasi; (2) Status biologi diketahui jelas, peka terhadap
tekanan maupun perubahan lingkungan; (3) Organisme memiliki kelimpahan tinggi
dan mudah disurvei/diamati; (4) Tersebar dalam ruang dan waktu; dan (5) Memiliki
hubungan yang kuat dengan komunitas luas atau tidak memiliki hubungan kuat
dengan komponen tekanan (Hordkinson & Jackson, 2005).

Menurut Holt and Miller (2010) bioindikator mencakup proses biologis,


spesies, atau komunitas dan digunakan untuk menilai kualitas lingkungan dan
bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu. Perubahan lingkungan sering
dikaitkan dengan gangguan antropogenik (misalnya, polusi, perubahan penggunaan
lahan) atau pemicu alami (misalnya, kekeringan dan pembekuan akhir musim
semi), meskipun penyebab stres antropogenik menjadi fokus utama penelitian
bioindikator. Pengembangan secara luas dan penerapan bioindikator telah terjadi
terutama sejak 1960-an. Selama bertahuntahun, pakar telah memperluas repertoar
bioindikator untuk membantu mempelajari semua jenis lingkungan (akuatik dan
terestrial), menggunakan semua kelompok taksonomi utama.
Namun, tidak semua proses biologis, spesies, atau komunitas dapat
berfungsi sebagai bioindikator yang tepat. Faktor fisik, kimia, dan biologis
(misalnya substrat, cahaya, suhu, dan persaingan) umumnya bervariasi di
lingkungan. Seiring waktu, populasi mengembangkan strategi untuk
memaksimalkan pertumbuhan dan reproduksi (fitness) dalam rentang faktor
lingkungan tertentu. Di luar lingkungan individu yang optimal, atau rentang
toleransi, fisiologi dan/atau perilaku dapat terpengaruh secara negatif, mengurangi
fitness secara keseluruhan. Spesies bioindikator secara efektif menunjukkan kondisi
lingkungan karena toleransinya yang moderat terhadap variabilitas lingkungan
(Gambar 2.3). Daya tahan/toleransi berkurang, kemudian dapat mengganggu
dinamika populasi dan mengubah komunitas secara keseluruhan (Gambar 2.3).
Sebaliknya, spesies-spesies langka dengan toleransi sempit sering terlalu sensitif
terhadap perubahan lingkungan, atau terlalu jarang ditemui, untuk mencerminkan
respon biotik secara umum. Demikian juga, spesiesspesies dengan toleransi yang
sangat luas kurang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Penggunaan
bioindikator, tidak hanya terbatas pada satu spesies dengan toleransi lingkungan
yang terbatas. Seluruh komunitas, mencakup berbagai toleransi lingkungan, dapat
berfungsi sebagai bioindikator dan mewakili berbagai sumber data untuk menilai
kondisi lingkungan dalam “biotic index” atau pendekatan “multimetric”.
Selanjutnya, proses biologis pada suatu organisme dapat digunakan sebagai
bioindikator. Sebagai contoh, ikan trout liar yang menghuni aliran air dingin di
bagian barat Amerika Serikat. Sebagian besar individu memiliki toleransi suhu
antara 20-25°C; dengan demikian, sensitivitas suhu mereka dapat digunakan
sebagai bioindikator suhu air. Penggembalaan ternak, pembakaran, dan penebangan
adalah contoh gangguan yang berhubungan dengan manusia yang dapat
meningkatkan suhu air di sungai-sungai ini dan dideteksi oleh ikan-ikan liar di
berbagai skala biologis (Gambar 2.4). Respon langsung adanya perubahan suhu
terjadi pada tingkat sel. Secara khusus, sintesis protein kejut panas (heat shock
proteins/ hsp) meningkat untuk melindungi fungsi seluler yang vital dari stres akibat
suhu. Kita dapat mengukur tingkat hsp untuk mengukur tekanan suhu pada ikan
trout liar dan menilai bagaimana lingkungan telah berubah. Jika tekanan suhu tetap
ada, maka perubahan fisiologis seperti itu biasanya dapat diatasi pada tingkat
individu melalui perubahan perilaku, pelambatan pertumbuhan, dan pengurangan
laju perkembangan. Pada contoh yang paling ekstrim, perubahan suhu yang besar
dan terus-menerus dapat mengurangi jumlah populasi dan bahkan mengarah pada
terjadinya kepunahan lokal, sehingga menyebabkan pergeseran komposisi ke
perikanan air hangat.

C. Tipe Bioindikator
Menurut Setiawan (2008) bioindikator dalam aplikasinya dikelompokkan
dalam tiga kategori yaitu indikator lingkungan, indikator ekologis dan indikator
keanekaragaman hayati. Ketiga indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Indikator lingkungan, merupakan organisme atau kelompok populasi yang peka


akan adanya lingkungan rusak, tercemar atau mengalami perubahan kondisi.
Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5, yaitu sentinels, detektor, eksploiter,
akumulator, dan bioassay organisme.
2. Indikator ekologis, merupakan takson atau kelompok yang peka akan adanya
tekanan terhadap lingkungan, mengindikasikan dampak tekanan terhadap
makhluk hidup dan respon diwakili oleh sampel takson di habitat itu.
3. Indikator keanekaragaman hayati, merupakan kelompok takson atau fungsional
mengindikasikan beberapa ukuran keanekaragaman atau kekayaan jenis,
kekayaan sifat, dan status endemisitas takson di atasnya pada habitat tertentu.
Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok
referensi, kelompok kunci dan kelompok focal.
4.
Berdasarkan fungsinya, menurut Setiawan (2008) bioindikator dapat
dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan
lingkungan, secara kuantitatif jarang).
2. Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang
luas, spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi),
3. Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan
kuantitatif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif
yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di
introduksi).

Berdasarkan status makhluk hidupnya, bioindikator dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu:
1. Fitoindikator. Penerapan fitoindikator memiliki beberapa manfaat, yaitu (a)
menunjukkan
adanya paparan polutan, (b) memudahkan identifikasi racun, (c) menjadi indikator
early warning (peringatan dini) rusaknya lingkungan, (d) menjadi early indicator
(indikator dini) pemulihan lingkungan, dan (e) melengkapi data analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL).
2. Zooindikator a. Keystone species dan endangered species b. Bioindication sensu
lato (secara luas)
Menurut Parmar et al (2016) berdasarkan pengaruh yang dapat dirasakan
organisme, bioindikator dibagi menjadi empat seperti pada Gambar 2.5, dengan
uraian sebagai berikut:
1. Bioindikator Polusi. Bioindikator polusi merupakan spesies yang diketahui
sensitif
terhadap polusi atau mampu mendeteksi adanya polutan.
2. Bioindikator Lingkungan. Bioindikator lingkungan merupakan spesies atau
kelompok
spesies yang merespon secara prediktif terhadap gangguan atau perubahan
lingkungan (misalnya sentinel, detektor, penghisap, akumulator, dan organisme
bioassay). Sistem indikator lingkungan adalah serangkaian indikator yang
bertujuan
untuk mendiagnosis keadaan lingkungan untuk pembuatan kebijakan
lingkungan.
3. Bioindikator Ekologi. Bioindikator ekologi merupakan spesies yang diketahui
sensitif terhadap fragmentasi habitat atau tekanan lainnya. Spesies ini mampu
mendeteksi perubahan dalam di lingkungan alami dan dampaknya. Tanggapan
indikator mewakili komunitas.
4. Bioindikator Keanekaragaman hayati. Kekayaan spesies dari takson indikator
digunakan sebagai indikator untuk kekayaan spesies suatu komunitas. Namun,
definisi tersebut telah diperluas menjadi “parameter keanekaragaman hayati
yang terukur”, termasuk misalnya kekayaan spesies, endemisme, parameter
genetik, parameter khusus populasi, dan parameter lanskap. Berbagai jenis
bioindikator dapat dijelaskan dari perspektif berbeda.

` Menurut tujuan bioindikasi, tiga jenis bioindikator dijelaskan


perbedaannya, yaitu:

1. Indikator kepatuhan. Indikator kepatuhan, misalnya atribut populasi ikan


diukur
pada tingkat populasi, komunitas atau ekosistem, dan difokuskan pada isu-
isu seperti keberlanjutan populasi atau masyarakat secara keseluruhan.
2. Indikator diagnostik. Indikator diagnostik dan peringatan dini diukur pada
tingkat individu atau suborganisme (biomarker).

3. Indikator peringatan dini. Indikator peringatan dini berfokus pada tanggapan


cepat dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Akumulasi bioindikator
(misalnya kerang, lumut) dibedakan dari efek toksik bioindikator, dengan
efek yang dipelajari pada tingkat organisasi biologis yang berbeda.

D. Kriteria Makhluk Hidup Sebagai Indikator Lingkungan


Menurut Odum (1993), pedoman mengenai makhluk yang dapat digunakan
sebagai bioindikator, yaitu:
1. Spesies steno (kisaran toleransinya sempit) lebih baik dipakai sebagai
indikator dibandingkan dengan spesies yang euri (kisaran toleransinya
luas).
2. Spesies yang dewasa lebih baik dipakai sebagai indikator dibandingkan
dengan yang masih muda.
3. Sebelum mempercayai penampakan mahluk sebagai indikator ekologis,
maka
terlebih dahulu harus ada bukti yang cukup bahwa suatu faktor yang
dipermasalahkan memang benar dapat membatasi.

4. Banyak hubungan diantara jenis, populasi, dan seluruh komunitas


seringkali
memberikan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada satu jenis
yang tunggal karena integrasi keadaan yang lebih baik dicerminkan oleh
keseluruhan daripada oleh sebagian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa Bioindikator
adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan, yang
keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi
lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai satu petunjuk kualitas
lingkungan atau uji kuantitatif

B. SARAN
Saran dari uraian di atas yaitu kita harus lebih memahami lagi mengenai
bioindikator sehingga kita dapat lebih memahami untuk menentukan kualitas
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arisandi. P. (2001). Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian
Logam Berat Pesisir. Laporan Penelitian Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya.

Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim,
Germany.

Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.

Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II. Singapore
Science Centre, Singapore.

Sivasothi, N and Ng K. L. Peter. (2002). A Guide To The Mangroves Of Singapore II (Animal


Diversity). Singapore Science Centre, Singapura.
KAJIAN POTENSI MAKROZOOBENTOS
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN
LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DI
KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE
WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA
Mardian Anugrah Hadiputra 1 ,*), Alia Damayanti1)
1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember

*)e-mail: mardi_myung@yahoo.com

ABSTRAK
Aktivitas manusia yang semakin bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan
bertambahnya kuantitas limbah di perairan yang berpotensi membahayakan perkembangan
organisme di perairan tersebut. Makrozoobentos merupakan hewan yang hidup di dasar
perairan dan dijadikan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan karena habitat hidupnya
relatif menetap. Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah bersifat sangat toksik
jika berada sebagai satu-satunya unsur dalam larutan. Di perairan estuari Pantai Timur
Surabaya bermuara empat sungai besar di antaranya Kali Wonokromo dan Kali Wonorejo
dimana sungai-sungai tersebut membawa limbah padat dan cair dari industri maupun rumah
tangga yang akan menumpuk dan mencemari perairan estuari. Penelitian bertujuan
menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang berpotensi sebagai bioindikator
pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi pencemaran logam berat
Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem Mangrove Wonorejo
Pantai Timur Surabaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan 19 jenis spesies
makrozoobentos filum Mollusca (15 kelas Gastropoda dan 4 kelas Bivalvia). Nilai
kandungan Cu pada bentos di masing-masing titik menunjukkan hasil yang tidak merata
sedangkan nilai kandungan Cu pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada
pengambilan data kedua. Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda
alternatif monitoring kualitas lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman
makrozoobentos, dapat diketahui kondisi lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu
sendiri.
Kata kunci: Makrozoobentos, Bioindikator, Logam berat, Tembaga (Cu), Mangrove,
Wonorejo

PENDAHULUAN
Limbah bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas kegiatan manusia sehari-hari
berpotensi membahayakan kehidupan perairan darat maupun laut dan secara khusus dapat
menganggu perkembangan organisme di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang semakin
bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap
perairan semakin meningkat, sehingga suatu ketika dapat melampaui keseimbangan air laut
yang mengakibatkan sistem perairan menjadi tercemar. Makrozoobentos merupakan bagian
dari makroinvertebarata yang hidup di dasar perairan (Trihadiningrum, 2003).
Makrozoobentos dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas di suatu perairan karena
habitat hidupnya yang cenderung relatif menetap. Kelompok makrozoobentos yang relatif
dominan di ekosistem mangrove adalah Mollusca, udang-udangan, serta ikan-ikan khas.
Gastropoda dan Bivalvia merupakan golongan Mollusca yang paling dominan terdapat di
mangrove. Mollusca menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga
apabila terjadi pencemaran
lingkungan maka tubuh Mollusca akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi
penimbunan atau terakumulasi (Nybakken, 1992).
Logam berat yang masuk di dalam suatu perairan akan sangat berbahaya baik efek
secara langsung terhadap biota organisme yang terdapat didalamnya maupun secara tidak
langsung dalam jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Hal tersebut berkaitan dengan
sifat logam berat yang sulit untuk didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam
lingkungan perairan dan secara alami keberadaannya akan sulit untuk terurai (hilang) lalu
terakumulasi di dalam biota/organisme dan akan mengancam kesehatan manusia sebagai
konsumen terakhir yang mengkonsumsi biota/organisme tersebut (Marganof, 2003).
Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif datar dengan
kemiringan 0-3o serta rata-rata ketinggian pasang surut kurang lebih 1,67 meter (Arisandi,
2001). Logam berat merupakan salah satu cemaran yang terdapat di Pantai Timur Surabaya.
Menurut Anwar (1996), wilayah Pantai Timur Surabaya telah tercemar oleh logam berat
tembaga (Cu) serta merkuri (Hg). Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoobentos)
menunjukkan klasifikasi tercemar berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar
ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali
Kenjeran yang termasuk dalam kategori tercemar berat.
Tujuan penelitian adalah menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang
berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi
pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem
Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya.

METODE
Lokasi penelitian berada di wilayah Pantai Timur Surabaya yang difokuskan pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo serta Hutan Mangrove Wonorejo di
muara Kali Jagir Wonokromo. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 titik sampling di
3 stasiun yang berbeda sehingga akan didapatkan total sebanyak 9 analisis sampel dalam
satu kali sampling. Sampling dilakukan 4 kali antara bulan Maret - Mei 2013 sebagai
representatif pengambilan sampel di musim yang berbeda (musim penghujan pada bulan
Maret - pertengahan April dan musim kemarau pada pertengahan April – bulan Mei).
Waktu sampling dilaksanakan dalam rentang waktu ± 2 minggu sekali.
Luas area penelitian berjarak ± 5,75 km (pembulatan menjadi 6 km) dan dibagi ke
dalam 3 stasiun dengan jarak antar stasiun yakni ± 2 km. Dalam satu stasiun dibagi menjadi
3 titik dimana jarak antar satu titik dengan titik lainnya yakni ± 700 m. Stasiun pertama dan
kedua berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo sementara stasiun 3
merupakan daerah muara (estuari percampuran antara air tawar dengan air laut) dengan
jarak pengambilan sampel di muara yakni di bagian tengah muara, 500 m ke arah utara dari
tengah muara, dan 500 m ke arah selatan dari tengah muara.
Sampling dilakukan dengan metode direct random sampling pada sekitar lokasi
penelitian pada saat air dalam keadaan surut. Semua spesies makrozoobentos yang
ditemukan (yang masih hidup) di ambil di bagian jaringannya untuk dianalisis kandungan
logam berat. Sementara itu, cangkang dikumpulkan dalam tempat yang berbeda untuk
digunakan sebagai bahan identifikasi dan pengukuran biometrik (khusus untuk spesies
tertentu). Identifikasi sampel makrozoobentos (Filum Mollusca) menggunakan bantuan
buku-buku identifikasi dari Tan & Ng (2001), Ng & Sivasothi (2002), dan Dharma (2005).
8
2

3
1
7

4
5
9
6

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini mengambil beberapa parameter fisik kimia yang meliputi suhu
(temperatur), oksigen terlarut (DO), pH, kecerahan, kekeruhan, dan COD. Sampling
dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) – muara Hutan Mangrove Sungai Wonorejo
sebanyak 4 kali pengambilan data yakni pengambilan data ke-1 (tanggal 29 Maret 2013),
pengambilan data ke-2 (tanggal 10 April 2013), pengambilan data ke-3 (tanggal 28 - 29 April
2013), serta pengambilan data ke-4 (tanggal 11 Mei 2013) di 9 titik sampling yang telah
ditentukan. Hasil penelitian untuk parameter suhu (temperatur) ditampilkan pada Gambar 2.

34
Data
S
32 Suhu
u 30
h 28 Suhu Data 1
u
26 Suhu Data 2
(
24 Suhu Data 3
O
)C Suhu Data 4

Stasiun
Gambar 2 Grafik ‐ Suhu (temperatur)
Nilai
Titik

Secara umum nilai suhu dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 27 – 31 °C) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan
sehingga berada dalam kisaran suhu lingkungan normal. Suhu memiliki peran yang sangat
penting terhadap kehidupan di dalam air. Meningkatnya laju metabolisme menyebabkan
kebutuhan oksigen meningkat, sementara naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan
oksigen dalam air menurun sehingga menyebabkan organisme air mengalami kesulitan
untuk berespirasi. Hasil penelitian parameter oksigen terlarut (DO) ditampilkan pada
Gambar 3.

5
Data DO
D 4
O 3
2
DO Data 1
(
p 1 DO Data 2
p 0 DO Data 3
m
DO Data 4
)

Stasiun ‐
Titik
Gambar 3 Grafik Nilai DO

Secara umum nilai DO dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan akan
tetapi terdapat satu nilai DO yang jauh di bawah nilai rata-rata yakni pada saat pengambilan
data ke-1 dan ke-2 dimana nilai DO di stasiun III – 500 m selatan yakni 2,45 ppm dan 2,58
ppm. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan
penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara
permukaan air dengan udara.
Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hidrogen (H +) dalam larutan/didefinisikan
sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan
dengan persamaan pH = log 1/H +. Hasil penelitian untuk parameter pH air ditampilkan pada
Gambar 4.

8.5
Data pH
p
8 Air
H 7.5
7 pH Air Data 1
A 6.5
pH Air Data 2
i6
pH Air Data 3
r
pH Air Data 4

Stasiun ‐
Titik4 Grafik Nilai pH Air
Gambar

Secara umum nilai pH air dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 6,8 - 8) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan
sehingga berada dalam kisaran pH netral. Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H +
dan OH- berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen
akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam.
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas
primer dimana kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat
kekeruhan
perairan, sudut datang cahaya matahari, dan intensitas cahaya matahari. Hasil penelitian
untuk parameter kecerahan/penetrasi cahaya ditampilkan pada Gambar 5.

K 30 Data Kecerahan
e 25
c 20
e 1(c5 r 1m0
5 Kecerahan Data 1
a )
0
Kecerahan Data 2
h
a Kecerahan Data 3
n Kecerahan Data 4

Stasiun ‐
Titik 5 Grafik Nilai Kecerahan
Gambar

Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai kecerahan (penetrasi cahaya)
dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan (dalam range nilai antara 10 – 28
cm) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan. Bagi organisme perairan, intensitas
cahaya matahari yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung
kehidupan organisme pada habitatnya.
Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air.
Turbiditas pada ekositem perairan sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus,
tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Hasil penelitian untuk parameter kekeruhan
ditampilkan pada Gambar 6.

K 80
Data Kekeruhan
e 60
k 40
Kekeruhan Data 1
e
2 Kekeruhan Data 2
r
u n Kekeruhan Data 3
h 0 Kekeruhan Data 4
a
0
Stasiun ‐
Titik
Gambar 6 Grafik Nilai Kekeruhan

Secara umum nilai kekeruhan dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang
konstan. Stasiun III – 500 m selatan (muara) merupakan titik sampling yang memiliki nilai
kekeruhan tertinggi dari 9 titik dikarenakan pada saat pengambilan data di lokasi tersebut
dalam keadaan menjelang pasang sehingga banyak substrat sedimen yang ikut larut dalam
pengambilan air sampel uji. Secara umum lokasi sampling di muara memiliki nilai
kekeruhan yang lebih tinggi daripada di daerah aliran sungai (DAS), dikarenakan proses
pasang surut di muara terjadi lebih cepat.
Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total yang
dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa organik baik yang mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit/tidak bisa diuraikan secara biologis. Hasil
penelitian untuk parameter COD ditampilkan pada Gambar 7.

C
Data
70
O 60 COD
D 50
40
( 30 COD Data 1
m 20
g 10 COD Data 2
/ 0 COD Data 3

)l COD Data 4

Stasiun ‐
Titik
Gambar 7 Grafik Nilai COD

Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai COD rata-rata bernilai
tetap/konstan (dalam range nilai antara 10 – 64 mg/l) pada empat kali sampling data yang
telah dilakukan. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh jumlah nilai Oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik itu yang mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
Hasil analisa logam berat tembaga (Cu) pada sedimen dan makrozoobentos yang
telah dilakukan selama 4 kali pengambilan data didapatkan hasil seperti pada Gambar 8 dan
9 ini.

N
Cu pada
i
25.00 Sedimen
20.00
l
a 15.00
i 10.00
Cu sedimen 1
5.00
Cu Sedimen 2
C 0.00
u Cu Sedimen 3
Cu sedimen 4

Stasiun ‐
Titik
Gambar 8 Grafik Nilai Cu Pada Sedimen
N 70 Cu pada Bentos
65
60
i 55
50
l 45
40
35
a 30
25 Cu Bentos 1
i 20
15
10 Cu Bentos 2
5
C 0 Cu Bentos 3
u Cu bentos 4

Stasiun ‐
TitikNilai Cu Pada Makrozoobentos
Gambar 9 Grafik

Dari gambar grafik di atas, tidak dapat menunjukkan gambaran (trend) yang jelas
untuk hasil analisa nilai Cu baik itu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos.
Sebagai salah satu penyebabnya mungkin saja pada saat antar waktu pengambilan kondisi
cuaca sebelum pengambilan data berbeda-beda sehingga analisa hasil yang diharapkan tidak
tercapai. Sebagai contoh, hasil rata-rata nilai Cu di pengambilan data ke-2 lebih tinggi
daripada saat pengambilan data ke-3. Hal tersebut mungkin saja dapat disebabkan pada saat
pengambilan data ke-3 kondisi sungai mendapatkan tambahan debit air dari curah hujan
yang berada daerah hulu sehingga debit air permukaan di Sungai Wonorejo menjadi lebih
tinggi dan kandungan logam berat yang telah masuk ke aliran sungai menjadi tergerus
sehingga hasil pembacaan analisa nilai logam beratnya menjadi lebih kecil.
Dari keempat pengambilan data didapatkan hasil bahwa gambaran nilai akumulasi
Cu di sedimen dan di bentos memiliki nilai tertinggi pada pengambilan ke-2. Hal ini dapat
diartikan bahwa kondisi perairan sungai pada saat waktu tersebut mengalami penurunan
kualitas dibandingkan dengan waktu pengambilan data yang lain jika dikaitkan dengan nilai
akumulasi logam berat Cu di sedimen dan di bentos. Penyebab menurunnya kualitas ini
dimungkinkan antara lain karena adanya tambahan masukan beban pencemar dari wilayah
hulu.
Nilai Cu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos secara umum tidak
dapat mendeskripsikan bahwa salah satu diantara keduanya dapat lebih optimal dalam
mengakumulasi nilai logam berat dalam hal ini adalah tembaga (Cu). Hal tersebut
dikarenakan dari hasil data yang didapat dalam 4 kali sampling menunjukkan bahwa nilai-
nilai logam berat yang diakumulasi oleh sedimen dan bentos relatif sama.
Masing-masing bentos memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi
sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal
tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas
bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah
mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud
adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan
memperkuat dinding tubuh serta mengembangkan alat pelekat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisa hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yakni hasil analisa nilai kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos
yang ditemukan menunjukkan hasil yang tidak merata di masing-masing stasiun titik
pengambilan data. Nilai kandungan logam berat Cu pada sedimen menunjukkan hasil
akumulasi tertinggi pada saat waktu pengambilan data kedua. Ditemukan sebanyak 19
jenis Mollusca makrozoobentos yang terdiri atas 15 jenis spesies Gastropoda dan 4 jenis
spesies Bivalvia. Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif
monitoring kualitas lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman
makrozoobentos (moluska), dapat diketahui kondisi lingkungannya sebagai habitat
makrozoobentos itu sendiri.
Saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, yakni dilakukan
penelitian lanjutan untuk meneliti aspek fisiologi biota (makrozoobentos) dan
sensivitasnya terhadap parameter lingkungan. Selain itu, kebutuhan akan Peraturan
Pemerintah tentang baku mutu sedimen untuk biota indikator air tawar, estuari, dan laut
sudah sangat diperlukan untuk pengelolaan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, D. (1996). Kandungan Logam Berat Cu dan Hg dalam Eritrosit Warga Kenjeran.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.


Arisandi. P. (2001). Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian
Logam Berat Pesisir. Laporan Penelitian Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya.

Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim,
Germany.

Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.

Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II.
Singapore Science Centre, Singapore.

Sivasothi, N and Ng K. L. Peter. (2002). A Guide To The Mangroves Of Singapore II


(Animal Diversity). Singapore Science Centre, Singapura.

Trihadiningrum, Y. (2003). Makroinvertebrata sebagai bioindikator pencemaran badan


air tawar di Indonesia: Siapkah kita?, Jurnal Lingkungan & Pembangunan volume
18(1) hal 45 – 60.
Kandungan Logam Berat Pb pada Air laut dan Tiram Saccostrea glomerata

sebagai Bioindikator Kualitas Perairan


Prigi, Trenggalek, Jawa timur
E. Wulandari 1, E. Y. Herawati 2, D. Arfiati2
1
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Prigi
2
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya
e-mail : era_wulandari@yahoo.co.id

Abstrak

Tiram termasuk spesies macrofauna benthik, merupakan salah satu bioindikator terbaik untuk
mengetahui tingkat kontaminasi logam berat di suatu daerah. Tiram bersifat filter feeder atau
menyerap makanannya termasuk kontaminan logam berat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan logam berat Pb pada air laut dan tiram Saccostrea glomerata dari
perairan Prigi. Metode penelitian survei dengan teknik pengambilan data secara sampling acak
pada 3 stasiun dengan 3 sub stasiun. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan kandungan logam berat Pb pada air laut di Stasiun I sebesar 0,110 ± 0,019 ppm;
Stasiun 2 sebesar 0,211 ± 0,013 ppm dan Stasiun 3 sebesar 0, 0,060 ± 0,013 ppm. Sedangkan
kandungan logam berat Pb pada tiram di Stasiun 1 sebesar 1,457 ± 0,501 ppm; Stasiun 2
sebesar 2,960 ± 0,505 ppm dan Stasiun 3 sebesar 0,517 ± 0,297. Sehingga bisa diketahui
perairan Prigi terkontaminasi logam berat Pb melalui bioindikator tiram S. glomerata.

Kata kunci: logam berat, Pb, tiram S. glomerata, Prigi

Abstract

Oysters, a benthic macrofauna, is the best bioindicator to determine the level of heavy metal
contamination in the certain area. Oyster is a filter feeder, absorbing its food including heavy
metals contaminants. The objective of this study was to determine the content of Pb heavy
metals in the seawater and oysters Saccostrea glomerata from Prigi waters. Methods of data
collection was random sampling at 3 stations with 3 sub-stations then the data collected were
analyzed descriptively. The results showed that Pb content of heavy metals in sea water at the
station 1 was 0.110 ± 0.019 ppm; station 2 was 0.211 ±
0.013 ppm and Station 3 was 0.060 ± 0.013 ppm. The heavy metal content of Pb in oysters at
Station 1 was 1.457 ± 0.501 ppm; Station 2 was 2.960 ± 0.505 ppm and Station 3 was 0.517 ±
0.297. Therefore, it can be known that Prigi waters have contaminated with heavy metal of Pb
through the oyster S. glomerata as bioindicator.

Keywords: heavy metal, Pb, oyster, S. glomerata, Prigi

PENDAHULUAN
Teluk Prigi terletak di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa
Timur, merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk
termasuk sektor perikanan. Tempat ini merupakan salah satu pusat usaha perikanan di pantai
selatan Jawa. Hal ini diantaranya bisa dilihat dari jumlah keterlibatan penduduk lokal dalam
kegiatan yang berhubungan dengan perikanan sebanyak kurang lebih 6.271 kepala keluarga
(Statistik PPN Prigi, 2010) atau sebesar 26,29 % dari jumlah penduduk (Perdes Tasikmadu,
2009). Jika kemudian ditambahkan dengan nelayan
andong atau istilah lokal dalam menyebut nelayan pendatang, jumlah keseluruhan nelayan
yang berusaha di Prigi bisa bertambah sampai 2 %.
Teluk Prigi terkenal dengan pemandangan yang indah, tempat rekreasi, ekowisata (fish
sanctuary), peluang kerja di bidang perikanan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi (PPN
Prigi) serta pariwisata. Namun, ditengarai dalam beberapa tahun terakhir ini Teluk Prigi mulai
terancam kontaminasi logam berat. Pb merupakan salah satu jenis logam berat yang potensial
menjadi bahan kontaminan, karena merupakan senyawa yang bertahan lama di dalam suatu
badan air sebelum akhirnya mengendap atau terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan
kimia perairan (Mukhtasor, 2002).
Logam berat diketahui dapat mengumpul di dalam tubuh organisme, dan tetap tinggal
dalam tubuh dalam jangka waktu lama sebagai racun yang terakumulasi (Fardiaz, 1992; Palar,
1994). Kondisi perairan yang terkontaminasi oleh berbagai macam logam akan berpengaruh
nyata terhadap ekosistem perairan baik perairan darat maupun perairan laut. Timbal (Pb)
merupakan logam yang banyak dimanfaatkan oleh manusia sehingga logam ini juga
menimbulkan dampak kontaminasi terhadap lingkungan.
Tiram termasuk spesies macrofauna benthik, merupakan salah satu bioindikator terbaik
untuk mengetahui tingkat kontaminasi logam berat di suatu daerah. Tiram merupakan biota
yang potensial terkontaminasi logam berat, karena sifatnya yang filter feeder, sehingga biota
ini sering digunakan sebagai hewan uji dalam pemant`auan tingkat akumulasi logam berat pada
organisme laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Pb pada air
laut dan tiram S. glomerata dari perairan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi.

METODE
Metode penelitian survei dengan teknik pengambilan data secara sampling acak pada 3
stasiun dengan 3 sub stasiun dan kemudian data yang didapatkankan dianalisis secara
deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Logam Berat Pb di Air Laut

Perairan PPN Prigi mengandung Pb sebagai berikut: di kolam labuh barat (Stasiun
I) sebesar 0,111 ± 0,019 mg/l, kemudian di lokasi kolam labuh timur (Stasiun II) sebesar 0,211
± 0,0135 mg/l, dan selanjutnya di muara S. Pancer (Stasiun III) sebesar 0,060 ± 0,013 mg/l
(Gambar 1.).
Kandungan tersebut telah mengalami kontaminasi tertinggi dengan peningkatan sebesar
4 kali lipat dari ambang batas maksimum dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb pada perairan pelabuhan adalah sebesar
0,05 mg/l.
Tingginya kandungan Pb di perairan PPN Prigi dapat berasal dari limbah industri di
kawasan pelabuhan serta limbah padat dan cair domestik yang terbawa aliran sungai yang
bermuara di sekitar pelabuhan. Sedangkan kegiatan di laut (marina) salah satunya adalah
buangan sisa bahan bakar kapal motor, cat kapal dan wisata bahari. Kapal motor penangkap
ikan juga menggunakan cat anti korosi yang pada umumnya mengandung Pb (Siaka, 2008).
Dalam menjalankan aktivitasnya kegiatan marina ini menghabiskan bahan bakar solar ± 4.443
ton/tahun, oli ± 103 ton/tahun, bensin ± 1.473 ton/tahun dan minyak tanah 70 ton/tahun
(Statistik PPN Prigi, 2010) serta sebelum berangkat kapal tersebut harus dihidupkan di
pelabuhan ± 1 jam, dengan demikian limbah asap masuk ke perairan pelabuhan. Selain hal
tersebut, knalpot (pembuangan sisa gas hasil proses pembakaran bahan bakar) terletak di
bawah kapal atau dekat dengan permukaan air laut, sehingga gas buangannya langsung
berinteraksi dengan air laut, yang akan menambah kontaminan.
Gambar 1. Kandungan logam berat Pb pada perairan PPN Prigi

Monitoring logam berat Pb pernah dilakukan pada tahun 2007 berdasarkan Laporan
Tim Teknisi Ekologi dan Pengembalian Fungsi Habitat FPIK-UB dalam Susilo (2007),
kandungan logam berat tertinggi di perairan Teluk Prigi adalah Pb sebesar 0,0035-0,0470 mg/l.
Bila dibandingkan dengan keadaan sekarang (tahun 2011), telah terjadi peningkatan
kontaminasi logam berat Pb sebesar 4,5 kali lipat.

Kandungan Logam Berat Pb pada Tiram S. glomerata

Kandungan Pb pada tiram S. glomerata sebagai berikut: di kolam labuh barat (Stasiun I)
sebesar 1,457 ± 0,502 mg/l, kemudian di lokasi kolam labuh timur (Stasiun II) sebesar 2,960 ±
0,505 mg/l, dan selanjutnya di muara S. Pancer (Stasiun III) sebesar 0,517 ± 0,297 mg/l
(Gambar 2.).

Gambar 2. Kandungan logam berat Pb pada tiram S. glomerata

Kandungan tersebut telah mengalami peningkatan sebesar 1,5 kali lipat dari ambang
batas maksimum dari Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.
03725/B/SK/VII/89 yang membatasi kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya
ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 mg/l. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb pada biota laut adalah sebesar 0,008
mg/l.
Kandungan Pb dalam tiram relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dalam air. Hal ini
menunjukkan bahwa Pb yang terdapat dalam air terakumulasi dalam tubuh biota tiram. Hal
yang sama ditemukan oleh Yudha (2008), Rahman (2006), Febrita (2006), Karimah (2002),
Marabessy dan Edward (2002) dan Fajri (2001) dalam penelitian mereka masing- masing
tentang akumulasi logam berat Pb pada biota air laut. Faktor akumulasi pada
setiap jenis biota laut relatif berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat biologis
(jenis, umur dan fisiologis) masing-masing jenis biota, juga disebabkan oleh perbedaan sifat
fisik dan kimia serta aktivitas masing-masing lokasi.
Tiram S. glomerata merupakan biota yang potensial terkontaminasi logam berat, karena
sifatnya yang filter feeder atau menyerap makanannya termasuk kontaminan logam berat.
Organisme yang hidup sedentary atau menetap, tidak bisa menghindar dari kontaminan dan
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam tertentu sehingga dapat
mengakumulasi logam lebih besar dari hewan lainnya (Darmono, 1995).
Kandungan lobam berat tertinggi pada air dan tiram S. glomerata terdapat pada kolam
labuh timur, hal ini diduga disebabkan oleh buangan sisa BBM dan cat kapal yang digunakan
dan sebagian besar diduga mengandung Pb. Juga karena lokasi kolam labuh timur dekat
dengan muara sungai Pancer dimana sumber polutan berupa limbah domestik lebih banyak
masuk ke lokasi tersebut. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Apeti et al.
(2005) bahwa konsentrasi logam berat tertinggi (Cd, Cr, Cu, Pb dan Zn) pada tiram
Crassostrea virginica di Teluk Apalachicola, Florida ditemukan pada lokasi yang mendapat
masukan terbanyak dari aliran sungai, dan konsentrasi logam Pb sebesar 0,75 µg g -1.
Ukuran tiram S. glomerata dengan panjang, lebar dan tinggi yang lebih besar mampu
mengakumulasi logam lebih besar pula. Rata-rata ukuran cangkang tiram yang terbesar
terdapat di kolam labuh timur dengan panjang antara 3,5 – 7 cm, lebar 1,7 – 5,3 cm dan tinggi
1,1 – 3,4 cm. Pada kolam labuh timur tersebut logam berat Pb pada air laut dan tiram S.
glomerata juga tertinggi. Riget et al. (1996) menyebutkan bahwa pada ukuran cangkang
Mytillus edulis ditemukan korelasi positif dengan kemampuan kerang tersebut mengakumulasi
logam berat.

KESIMPULAN
- Kandungan Pb di Perairan Prigi antara 0,060 ± 0,013 mg/l sampai dengan 0,211 ±
0,0135 mg/l melebihi ambang batas maksimum dari Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb
pada perairan pelabuhan adalah sebesar 0,05 mg/l.
- Kandungan Pb pada tiram S. glomerata antara 0,517 ± 0,297 mg/l sampai dengan
2,960 ± 0,505 mg/l, telah melebihi ambang batas maksimum dari Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi
kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah
adalah 2,0 mg/l.

DAFTAR PUSTAKA

Apeti D. A., Robinson L., and Johnson E., 2005. Relationships between Heavy Metal
Concentration in the American Oyster (Crassostrea virginica) and Metal Levels in
the Water Column and Sediment in Apalachicola Bay, Florida. American Journal of
Environmetal Sciences, Vol.1, pp. 179-186.
Darmono., 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.
Fajri N. E., 2001. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan Pb dalam Air Laut,
Sedimen dan Tiram (C. cucullata) di Perairan Pesisir Kec. Pedes, Kab Karawang,
Jawa barat. Tesis. Pascasarjana IPB.
Fardiaz S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 190 hal.
Febrita E., Suwondo dan Dewi U. 2006. Kandungan Logam Berat (Pb dan Cu) pada
Sipetang (Pharus sp) sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Bengkalis. Jurnal
Biogenesis, Vol. 2, pp. 241-46
Karimah, A., Gani A. A. dan Asnawati., 2002. Profil Kandungan Logam Berat
Timbal (Pb) dalam Cangkang Kupang Beras (Tellina versicolor). Laporan
penelitian. Fakultas MIPA. Unversitas Jember.
Marabessy, M. D. dan Edward., 2002. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu
dan Zn dalam beberapa Jenis Kerang dan Ikan di Perairan Raha, P. Muna
Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Perikanan Indonesia. 27-28
Agustus 2002.
MENLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Mukhtasor, 2002. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. PT Pradnya
Paramita.
Jakarta. 322 hal.
Palar, H., 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Rineka Cipta.
Jakarta. 90 hal.
Peraturan Desa (Perdes) Tasikmadu, 2009. Tentang Zonasi Kawasan Pesisir
Desa Tasikmadu. Pemerintah Kabupaten Trenggalek. Jawa Timur. 46 hal.
Rahman, A., 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)
pada beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten
Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae, Vol. 3, pp. 93-101.
Riget F., P. Johansen and Asmund G., 1996. Influence of length on element
concentrations in Blue Mussel (Mytillus edulis). Marine Pollution
Bulletin, Vol. 32, pp. 745-751.
Siaka, I. M., 2008. Korelasi antara kedalaman sedimen di Pelabuhan Benoa
dan konsentrasi logam berat Pb dan Cu. Jurnal Kimia, Vol. 2, pp. 61-70.
Susilo, E., 2007. Daya Adaptasi Dan Jaminan Sosial Masyarakat Dalam
Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Domestik (Dinamika Kelembagaan
Lokal Pengelola Sumberdaya Perikanan Kawasan Pesisir). Laporan Riset
Dasar Program Insentif. Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Statistik PPN Prigi, 2010. Statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. DKP.
Yudha, I. G., 2008. Analisis Kandungan Logam Berat Pada Biota Laut di
Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Laporan Penelitian. Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
BIOSCIENTIAE

Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 1-14


http://bioscientiae.tripod.com

POTENSI MAKROFAUNA TANAH


SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS
TANAH GAMBUT

Eni Maftu’ah1, M. Alwi1, dan Mahrita Willis2

1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kalimantan Selatan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah

ABSTRACT

Peat land has high potency to develop as agriculture land. It is widely


distribute in Kalimantan, Sumatera, Sulawesi and Irian Jaya. One of constrains in
peat land is low in fertility due to low of soil quality. Soil quality of peat land
depends on peat decomposition rate and depth of peat. Soil macrofauna has a role in
decomposition, carbon cycle, nutrient redistribution and soil aggregation. To
become bioindicator of soil quality, soil macrofauna should have some
characteristics such as specific response, sensitive to conditional change and
abundantly found. The study conducted on distinct land use in Basarang and
Kalampang, Central Kalimantan. Samples of soil macrofauna collected by using
hand sortir and pit fall trap methods on rainy season and dry season in 2004.
Result of the study showed that different of land use correlated to population
and diversity of soil macrofauna. Diversity of epigeic macrofauna significantly
correlated with C-organic and C/N ratio, while diversity of endogeic macrofauna
correlated to pH, C-organic and soil water content. Earthworm, ant, and millipida
are soil macrofauna that have a potency as bioindicator of peat soil.

Key words: soil macrofauna, bioindicator, peat land

PENDAHULUAN

Gambut di Indonesia luasnya diperkirakan mencapai 15,4 juta ha, tersebar di


Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan sebagian kecil di Sulawesi (Widjaya-Adhi et
al., 1992). Oleh karena itu, potensi lahan gambut untuk dijadikan usaha pertanian
sangat besar. Lahan gambut berpeluang dijadikan daerah ekstensifikasi pertanian
(Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Salah satu potensi pemanfaatan lahan rawa gambut
untuk usaha pertanian seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat di sekitar daerah
tersebut adalah untuk tanaman pangan yaitu padi dan palawija, juga dapat
digunakan untuk tanaman hortikultura khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
Lahan gambut merupakan lahan yang rapuh (Sarwani dan Noor, 2004).
Karena itu, dalam pengelolaan untuk usaha pertanian diperlukan kehati-hatian agar
tidak terjadi kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Usaha pengembangan
pertanian di lahan gambut menghadapi banyak kendala karena rendahnya kualitas
lahan tersebut. Kendala tersebut diantaranya kesuburan tanah rendah, masalah air
dan subsiden (Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Telah banyak teknologi yang
diterapkan untuk mengatasi kendala tersebut. Meskipun demikian dalam penerapan
teknologi perlu dilakukan pendekatan secara holistik dan partisipatif dengan fokus
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan gambut (Alihamsyah, 2002 dalam
Sarwani dan Noor, 2004). Salah satu sumberdaya lahan gambut adalah keberadaan
organisme dalam tanah yang sangat besar peranannya terhadap perbaikan kualitas
tanah gambut.
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan
ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah
menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan
kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan
sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994). Tingkat
dekomposisi/kematangan gambut serta kedalaman gambut sangat mempengaruhi
kualitas lahan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut tergolong
dalam gambut fibrik (dekompoisi awal), hemik (dekomposisi pertengahan), saprik
(dekomposisi lanjut) (Noor,1996).
Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk
menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilalukan analisa kimia yang biayanya
relatif mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas
tanah dengan biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan
mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti et al. (1991)
mendemonstrasikan bahwa fauna tanah dan mikroorganisme dapat digunakan
sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia.
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap
perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah
(Primack, 1998). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam
kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta,
moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar
peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus
unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa
cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi
perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus.
Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik
(Anderson, 1994).
Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui
perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan
penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah
(Lavelle, 1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman
secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan
terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al.,
1992; Paoletti et al., 1992; Pankhurst, 1994). Mengingat pentingnya peran fauna
tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya
informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah
sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga
tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran
dalam ekosistem. Diharapkan informasi yang didapatkan bisa digunakan sebagai
data pendukung dalam pengelolaan lahan gambut.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari potensi dan memperoleh jenis
makrofauna tanah serta diversitas makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas
tanah gambut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada lahan gambut yang ditanami nanas, karet,


jagung, hortikultura dan lahan terlantar, dengan lokasi kecamatan Basarang dan
Kalampangan, Kalimantan Tengah pada MK/MH 2004.
Pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan dua metoda.
Untuk makrofauna yang aktif pada permukaan tanah digunakan metode pitfall trap,
dan untuk makrofauna yang aktif dalam di dalam tanah diterapkan hand sortir.
Pitfall trap menggunakan cawan jebak yang dibenamkan dalam tanah
dengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan
formalin 4% setinggi 1,5-2 cm dan ditetesi sedikit larutan deterjen, kemudian
dipasang pelindung pada bagian atasnya (atap) untuk melindungi dari hujan.
Perangkap diambil setelah satu minggu dipasang.
Hand sortir dilakukan dengan menggali tanah seluas 25 x 25 cm sampai
kedalaman 30 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran  50 x 50
cm, kemudian dibawa ke laboratorium untuk pengambilan dan penghitungan
makrofauna tanah. Makrofauna kemudian diawetkan dalam formalin 4 % untuk
diidentifikasi dan di hitung.
Pengambilan sampel tanah dan makrofauna tanah pada tiap-tiap petak
dilakukan lima kali pada setiap periode pengamatan. Sampel diambil dalam dua
periode, yaitu saat akhir musim penghujan (Juni s.d. Juli 2004) dan musim kemarau
(Agustus s.d. September 2004). Data yang dikumpulkan meliputi: jenis dan jumlah
makrofauna yang teridentifikasi. Sifat fisik dan kimia tanah meliputi: berat isi tanah
(g/cm3), porositas, kadar air dan tekstur, pH H 2O dan KCl; C-organik (%) dan N
total (%). Suhu tanah digunakan sebagai data pendukung.
Data yang diperoleh dari estimasi populasi makrofauna ditentukan indeks
diversitas dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner. Uji korelasi
dilakukan terhadap parameter kualitas tanah (pH tanah, N-total, C-organik,
porositas, kadar air dan suhu) dengan diversitas dan populasi makrofauna tanah
dominan untuk menentukan potensi makrofauna tanah tertentu sebagai bioindikator
kualitas tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diversitas makrofauna tanah

Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah


pada musim hujan dan kemarau tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura
(Gambar 1a dan b). Hal tersebut disebabkan karena adanya pengelolaan lahan yaitu
pemberian abu, kapur serta pupuk kandang pada penanaman hortikultura, sehingga
memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup organisme tanah. Menurut
Baker (1998), populasi, biomasa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh
praktek penggelolaan lahan dan penggunaannya. Sebaliknya, pada lahan terlantar
karena kualitas lahannya tergolong masih rendah menyebabkan hanya makrofauna
tanah tertentu yang mampu bertahan hidup, sehingga diversitas makrofauna tanah
baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam tanah juga sangat rendah.

Kondisi Lingkungan

Rata-rata suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan gambut relatif sama.
Meskipun demikian pada lahan yang ditanami karet mempunyai suhu tanah terendah
(Gambar 2). Lahan yang ditanami karet tanah hampir seluruhnya tertutup oleh
kanopi, baik oleh tanaman karet maupun tanaman di bawah tegakan karet (rumput-
rumputan). Penutupan kanopi tersebut akan mengurangi evaporasi dan menjaga suhu
tanah.
1.8
1.6

Indeks Diversitas 1.4


1.2
MH
1
MK
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Terlantar HortikulturaJagung Karet Nanas

Lahan
(a)

1.6

1.4

1.2
Indeks Diversitas

1
MH
0.8 MK
0.6

0.4

0.2

0 TerlantarHortikultura Jagung Karet Nanas

Laha
n

(b)

Gambar 1. Indeks Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan (a) dan di dalam
(b) tanah pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK)
33

32

31
Suhu Tanah (oC)

30
MH
29 MK

28

27

26
TerlantarHortikultura Jagung Karet Nanas

Laha
n

Gambar 2. Suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan pada musim hujan (MH)
dan musim kemarau (MK)

Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan kandungan C-organik, lahan yang ditanami nanas dan karet tergolong
tanah bergambut, sedangkan lahan terlantar, yang ditanami jagung dan hortikultura
tergolong gambut dalam. Menurut Widjaya Adhi (1988) tanah bergambut
mempunyai kandungan C-organik 12 – 18% dengan ketebalan gambut kurang dari
50 cm, sedangkan tanah gambut dalam mempunyai kandungan C-organik lebih dari
18 % dengan ketebalan gambut 2 – 3 m. Berat isi tanah tertinggi dijumpai pada
lahan yang ditanami nanas, dan terendah pada lahan yang ditanami hortikultura.
Sebaliknya porositas tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura dan terendah
pada lahan yang ditanami nanas. Hal itu disebabkan karena perbedaan ketebalan dan
tingkat dekomposisi gambut. Selain itu pengolahan tanah pada lahan yang ditanami
hortikultura meningkatkan porositas. pH tertinggi dijumpai pada lahan yang
ditanami nanas, dan terendah pada lahan terlantar. Kandungan C-organik tertinggi
pada lahan yang ditanami jagung, sedangkan N-total tertinggi pada lahan yang
ditanami hortikultura. Tingginya kandungan N pada lahan yang ditanami
hortikultura disebabkan pemberian pupuk kandang dan pupuk anorganik (pupuk N).

Potensi Makrofauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut

Potensi makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah ditunjukkan


dengan besarnya nilai koefisien korelasi. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi
berarti semakin erat hubungan antara makrofauna tanah dengan parameter kualitas
tanah. Hasil analisis korelasi antara makrofauna tanah dengan parameter kualitas
tanah seperti disajikan pada Tabel 2.
Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada musim hujan
menunjukkan hubungan yang nyata dengan C-organik tanah dan rasio C/N tanah,
tetapi pada musim kemarau hubungan tersebut tidak terlihat. Perbedaan ini
disebabkan keberadaan makrofauna yang aktif di permukaan sangat cepat berubah,
baik populasi maupun keanekaragamannya. Makrofauna permukaan tanah terdiri
dari makrofauna yang asli disitu (natric) dan makrofauna yang hanya sesaat
keberadaannya di daerah tersebut (exotic). Sementara itu pada musim kemarau
diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah tidak menunjukkan hubungan
yang nyata dengan kualitas tanah. Hal ini disebabkan pada musim kemarau
makrofauna tanah yang aktif dipermukaan di dominasi oleh makrofauna yang
keberadaanya sesaat (exotic). Umumnya diversitas makrofauna yang aktif
dipermukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah,
seperti dilaporkan oleh Adianto (1992) dan Maftu’ah (2002).
Tabel 1. Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Penggunaan Lahan Gambut

Lahan BI Porositas Kadar air Tekstur pH H2O pH KCl C-organik N total C/N

Musim Hujan
Terlantar 0,35 74,19 306,28 LB 3,19 2,52 41,37 0,67 61,79
Jagung 0,32 76,79 492,34 Liat 3,20 2,53 44,51 0,6 75,86
Hortikultura 0,23 82,50 238,99 Liat 3,89 3,43 35,98 0,77 46,73
Nanas 0,68 59,70 92,69 Liat 4,35 3,35 12,64 0,34 53,14
Karet 0,52 74,98 82,02 Liat 3,66 3,30 12,75 0,43 22,25

Musim Kemarau
Terlantar 0,40 69,70 265,63 LB 3,30 2,62 41,30 0,79 52,37
Jagung 0,32 76,30 355,05 Liat 3,47 2,53 44,57 0,69 64,59
Hortikultura 0,25 80,77 259,16 Liat 3,58 3,43 30,98 0,89 34,81
Nanas 0,69 56,88 58,87 Liat 5,50 3,35 11,61 0,61 19,04
Karet 0,55 72,64 76,21 Liat 5,35 3,30 11,90 0,23 51,74

LB: Lempung berdebu


Tabel 2. Koefisien korelasi antara makrofauna tanah dan parameter kualitas tanah gambut pada musim hujan dan kemarau

Diversitas Makrofauna pH H2O pH KCl C-organik N-total Rasio C/N Suhu Ka


Musim Hujan
 permukaan tanah 0,18 0,17 0,51** 0,15 0,54** 0,09 0,21
 dalam tanah 0,50* 0,61** -0,52** -0,22 -0,39* -0,05 -0,54**
 Populasi semut (Formicidae) 0,33 0,18 -0,17 -0,17 -0,10 0,19 -0,35
 Populasi cacing tanah 0,56** 0,27 -0,54** -0,53** -0,09 0,58** -0,22
 Biomasa cacing tanah 0,57** 0,27 -0,58** -0,56** -0,09 0,58** -0,20
 Populasi milipeda (Polydesmidae) 0,33 0,30 0,20 0,34 -0,06 -0,27 -0,10
Musim Kemarau
 permukaan tanah 0,16 0,16 0,07 0,07 0,06 0,09 0,05
 dalam tanah 0,32 0,38 -0,49* 0,34 -0,72** -0,07 -0,30
 Populasi semut (Formicidae) 0,39* 0,17 -0,35 -0,15 -0,28 -0,39* -0,31
 Populasi cacing tanah 0,54** 0,25 -0,43* 0,07 -0,34 -0,06 -0,39*
 Biomasa cacing tanah 0,55** 0,25 -0,40* 0,63** -0,22 -0,34 -0,22
 Populasi milipeda (Polydesmidae) 0,34 0,01 0,19 0,25 -0,07 0,24 0,69**

* nyata; ** sangat nyata


BIOSCIENTIAE. 2005. 2(1): 1-14

Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun


kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah
gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah.
pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang
aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya
kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna
yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi
gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah.
Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang tidak dapat
memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah
dihancurkan oleh jazad renik tanah (Soepardi, 1983). Karena itu, diversitas
makrofauna tanah berhubungan negatif dengan rasio C/N. Semakin tinggi rasio C/N
tanah semakin rendah diversitas. Bahan organik yang terdekomposisi lebih lama
(rasio C/N kecil) akan meningkatkan populasi makrofauna dalam tanah. Priyadarsini
(1999) menyatakan bahwa fauna tanah umumnya menyukai bahan organik kualitas
tinggi (bahan organik dengan rasio C/N rendah). Hubungan diversitas makrofauna
dengan kadar air tanah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin
rendah diversitas makrofauna. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat dekomposisi
bahan organik pada tanah gambut. Bahan organik dengan kadar air tinggi
merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi lama (belum matang).
Rasmadi dan Kurnain (2004) menyatakan bahwa gambut yang kurang matang
mampu menahan air lebih besar dibandingkan gambut yang telah matang.
Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut
adalah populasi cacing, biomasa cacing, populasi semut dan Polydesmidae
(milipida). Populasi cacing tanah, semut dan milipida berhubungan positif dengan
pH. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral, sehingga meningkatnya pH
gambut meningkatkan populasi cacing tanah. pH ideal untuk cacing tanah adalah 6–
7,2 (Rukmana, 1999). Pada tanah gambut, semakin tinggi kandungan C-organik
semakin rendah populasi cacing tanah. Cacing tanah menyukai bahan organik
kualitas tinggi (C/N rendah). Kualitas bahan organik yang paling menentukan
populasi cacing tanah adalah asam humat dan fulvat (Priyadarshini, 1999). Semakin
tinggi kandungan asam humat dan fulvat, semakin kecil populasi cacing tanah;
bahkan pada kondisi asam humat dan fulvat cukup tinggi cacing tanah bisa tidak
dijumpai sama sekali. Semut juga berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah, dan
mampu hidup pada rentang pH yang lebih besar dibandingkan cacing tanah.
Meskipun demikian, dengan meningkatnya pH tanah gambut populasi semut juga
meningkat. Milipeda berhubungan positif dengan kadar air, pH, C-organik, N total
tanah gambut. Hal ini menjelaskan bahwa milipida mampu hidup pada tanah gambut
dengan bahan organik tinggi. Milipeda membantu dekomposisi bahan organik.
Kelimpahannya sangat tergantung pada keberadaan bahan organik (Maftu’ah, 2002).
Menurut Tian (1992) milipeda berperan besar dalam pelepasan N dari bahan organik
dengan rasio C/N tinggi (bahan organik kualitas rendah).

KESIMPULAN

Populasi dan diversitas makrofauna yang aktif di permukaan dan di dalam


tanah menunjukkan adanya perbedaan pada beberapa penggunaan lahan. Diversitas
makrofauna yang aktif di permukaan mempunyai potensi sebagai indikator C-
organik dan rasio C/N tanah, sedangkan makrofauna yang aktif di dalam tanah
berhubungan pH tanah, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut.
Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut adalah
cacing tanah dan semut (Formicidae) dan millipida (Polydesmidae).

DAFTAR PUSTAKA

Adianto, 1992. Biologi Pertanian. Alumni. Bandung.

Anderson JM. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System:


In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and
Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
Baker GH. 1998. Recognising and responding to the influences
of agriculture and other land use practices on soil
fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
Maftu’ah et al. – Makrofauna sebagai bioindikator kualitas tanah gambut

Crossley Jr. DA, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of


microarthopds in agricultural soil: relations to processes.
Agric. Ecosyst. Environ. 40,37-46
Doran JW & Parkin. 1994. Definning and assessing soil quality, IN J.W. Doran
D.C. Coleman D.F. Bezdick and B.A Stewart (eds). Defining Soil
Quality for Sustainable Enironment. SSSA Special Publication

35. SSSA. Madison pp 3 -21

Maftu’ah E. 2002. Studi Potensi Diversitas Makrofauna Tanah pada


Beberapa Penggunaan Lahan Berkapur di Malang Selatan. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.

Noor M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya, Jakarta. Nurzakiah


S & Jumberi M. 2004. Potensi dan Kendala Pengelolaan Lahan

Gambut untuk Pertanian. Agroscientiae. 11,37-42

Pankhrust CE. 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable


Productivity. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense
and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.

Paoletti MG, Favretta MR, Stinner SB, Purrington FF, & Bater JE.
1991. Invertebrates as bioindicator of soil use. In D.J.
Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and
Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Pimentel D, Stinner BR, & Stinner D. 1992. Agroecosystem
Biodiversity: Matching production and conservation biology. Agric.
Ecosyst. Environ. 40, 3-23.

Primack BR, Supriatna J, Indrawan M. & Kramadibrata P. 1998. Biologi


Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Priyadarshini R. 1999. Estimasi Modal C (C-stock) Masukan Bahan Organik,


Hubungannya dengan Populasi Cacing Tanah pada Sistem Wanatani.
Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Pengelolaan Tanah dan
Air. Universitas Brawijaya.Malang

Rasmadi M. & Kurnain A. 2004. Memahami watak gambut sehubungan


dengan kegiatan reklamasi di lahan gambut tropis. Agroscientiae. 11,
28-36

Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Sarwani M & Noor M. 2004. Pengelolaan Lahan Gambut untuk


Pertanian Berkelanjutan. . Agroscientiae. 11, 1-8.
Suin MN. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor.

Tian G. 1992. Biological Effect on Plant Residues with Contrasting Chemical


Composition on Plant and Soil Under Humid Tropics. PhD thesis
Wageningen Agricultural University. Wageningen.
Widjaya Adhi, IPG. Heryadi & Superdi Arjukusumah. 1988. Penjajagan hara tanah
gambut dalam untuk beberapa tanaman sayuran. Dalam Gambut Tantangan dan
Peluang. Setiadi B (editor). HGI. Hlm 9-12.
Widjaya-Adhi. IPG. Nugroho K. Didi Ardi S. & Syarifuddin K. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa:
Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam Sutjipto P. & Mahuddin S. (editor).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Puslitbangtan,
Badan Litbang Pertanian, Deptan.

Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.


FITOPLANKTON SEBAGAI BIOINDIKATOR SAPROBITAS PERAIRAN DI SITU
BULAKAN KOTA TANGERANG

Sinta Ramadhania Putri Maresi, Priyanti, Etyn Yunita *


Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

*Corresponding author: etyn@uinjkt.ac.id

Abstract

Industry, homes activites, and aquaculture around situ or lake could contaminate and affect the
water quality. This study aimed to determine the diversity of phytoplankton and water pollution
level in Situ Bulakan Kota Tangerang based on saprobite index. The research was conducted on
December 2014 until March 2015 at Situ Bulakan Kota Tangerang. Observations were made based
on 4 points sampling with three repetitions for one day that could represented existing condition.
Sampling sites in this study were at inlet flow, middle, outlet, and alleged utilized areas such as
floating fish net. The result showed 26 species of phytoplankton from four classes, namely 9
species of Cyanophyceae, 4 species of Bacillariophyceae, 11 species of Chlorophyceae, and 2
species of Euglenophyceae with moderate diversity index (H' = 1.77─2.05). Monoraphidium sp. was
a species dominated in Situ Bulakan Kota Tangerang which was found 215 individuals. So it can be
said as saprobite bioindicator. Saprobite index in Situ Bulakan Kota Tangerang showed moderate
to severe contaminated with α-mesosaprobic (0.14).

Keywords : Situ Bulakan, pollution, phytoplankton, bioindicator, saprobite

PENDAHULUAN fungsi situ menjadi daratan di Kota Tangerang


Situ atau danau merupakan salah satu seharusnya perlu dihindari dan dilakukan
ekosistem air tawar yang sifat airnya tenang pemantauan kualitas perairan agar fungsi situ yang
(lentik), terakumulasi dalam suatu tempat, dan awalnya
keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada
daerah pinggir saja (Barus, 2004). Kota
Tangerang memiliki 6 buah situ sebagai daerah
resapan air dan sumber air permukaan, yaitu Situ
Cipondoh (126,17 Ha), Situ Bu- lakan (15 Ha),
Situ Cangkring (6,17 Ha), Situ Gede (5,07 Ha),
Situ Bojong (0,6 Ha), dan Situ Kunciran (0,3 Ha)
(BPLH Kota Ta- ngerang, 2013).
Situ Kunciran dan Situ Bojong merupa- kan
2 buah situ di Kota Tangerang yang selama ini
terinventarisasi ke dalam data Dinas Pekerjaan
Umum, namun kondisi di lapangan tidak
ditemukan perairan lagi akibat perubahan fungsi
situ menjadi daratan. Selain itu, perubahan alih
fungsi situ menjadi daratan juga terjadi di Situ
Bulakan Kota Tangerang yang awalnya memiliki
luas sekitar 30 Ha menjadi 15 Ha. Perubahan
menjadi daerah resapan dan sumber air (Nybakken, 1992). Pengaruh cahaya matahari
permukaan tetap terjaga. dalam proses fotosintesis juga menyebabkan
Salah satu cara untuk pemantauan kualitas fitoplankton berdistribusi secara horizontal
perairan dapat dilakukan penelitian secara (Arinardi et al., 1997).
biologi menggunakan indikator fito- plankton. Fitoplankton yang dijadikan sebagai
Fitoplankton dijadikan sebagai indikator kualitas indikator kualitas perairan berhubungan dengan
perairan karena siklus hidupnya pendek, respon indeks saprobitas perairan. Indeks saprobitas
yang sangat cepat terhadap perubahan perairan diukur menggunakan jenis fitoplankton
lingkungan (Nugroho, 2006), dan merupakan yang ditemukan, karena setiap jenis fitoplankton
produsen primer yang menghasilkan bahan merupakan penyusun dari kelompok saprobik
organik serta oksigen yang bermanfaat bagi tertentu yang akan mempengaruhi nilai saprobitas
kehidupan perairan dengan cara fotosintesis (Indrayani et al., 2014).

Situ Bulakan sebagai situ terbesar kedua di


Kota Tangerang dengan luas 15 Ha meru- pakan
MATERIAL DAN METODE
tempat penampungan air yang diguna- kan untuk Penelitian ini dilakukan pada bulan
mengendalikan banjir. Berdasarkan hasil survei Desember 2014 hingga Maret 2015 dengan
pendahuluan, terlihat bahwa Situ Bulakan Kota pengambilan sampel pada tanggal 14 Januari 2015
Tangerang dimanfaatkan seba- gai sarana rekreasi di Situ Bulakan Kota Tangerang, Kecamatan
yang banyak didatangi pengunjung, selain itu Periuk, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Analisis
banyak terdapat rumah makan yang berada di air dan identifikasi fitoplankton dilakukan di
sepanjang badan perairan. Situ Bulakan Kota Laboratorium Biologi Pusat Sarana Pengen-dalian
Tangerang juga memiliki sistem perairan terbuka Dampak Lingkungan (Pusar-pedal) Ke-menterian
sehingga menyebabkan air yang masuk lebih Lingkungan Hidup.
banyak berasal dari limbah domestik perumahan, Bahan yang digunakan dalam penelitian
industri, dan air hujan. Kegiatan budidaya ini adalah sampel air yang diambil dari Situ
perikanan dengan teknik keramba jaring apung
Bulakan, lugol 1%, aquades, dan kit amoniak
juga ditemukan di sekitar perairan Situ Bulakan
dengan ikan budidaya seperti ikan mujair (NH3-N). Alat yang digunakan dalam peneli-
(Oreochromis mossambicus), ikan nila tian ini adalah mikroskop cahaya (Olympus
(Oreochromis niloticus) dan ikan gabus
BH2-RFCA), spektrofotometer UV-Vis (In-
(Ophiocephalus striatus). Kondisi tersebut sangat
memungkinkan situ tersebut tercemar oleh bahan- ScienPro US–120), digital depth sounder
bahan pencemar (Marganof, 2007). (Hondex PS-Z), conductivity meter (Hach
Sampai saat ini, pemantauan kondisi
sesion5), pH meter (Horiba D-51), GPS
kualitas perairan dan informasi mengenai
keanekaragaman fitoplankton yang digunakan (Garmin), secchi disc, plankton net no. 25,
sebagai bioindikator kualitas dan pencemaran sedgwick rafter counting cell dengan ukuran
perairan di Situ Bulakan Kota Tangerang belum panjang 50 mm, lebar 20 mm, dan tinggi 1
dilakukan. Oleh karena itu, fokus penelitian di
Situ Bulakan Kota Tangerang sebagai situ terbesar mm (memiliki volume 1000 mm3), gelas
kedua setelah Situ Cipondoh perlu dilakukan ukur, pipet tetes, gelas objek, botol sampel
untuk menghindari perubahan alih fungsi situ dan polyethilen ukuran 30 ml, kertas saring,
sebagai upaya penyediaan data awal kondisi
kawasan Situ Bulakan Kota Tangerang untuk kamera digital, counter, dan buku identifikasi
kegiatan monitoring secara berkala. Tujuan fitoplankton.
penelitian ini adalah mengetahui keanekaragaman
fitoplankton dan kondisi saprobitas perairan di Penentuan titik pengambilan sampel
Situ Bulakan Kota Tangerang berdasarkan ditetapkan sebanyak 4 stasiun (aliran inlet, bagian
indikator fitoplankton. tengah, outlet, dan keramba) yang dianggap
mewakili beberapa kondisi yang ada. Teknik
sampling dilakukan secara acak pada masing-
masing stasiun penelitian dan pencuplikan
dilakukan 3 kali pengulangan. Pengambilan
sampel air untuk identifikasi fitoplankton
dilakukan pada satu hari pengamatan yaitu pukul
08.00 - 10.00 WIB.

Gambar 1. Stasiun penelitian di Situ Bulakan Kota Tangerang; A. Aliran inlet; B. Bagian tengah;
C. Aliran outlet; D. Keramba

Sampel air untuk identifikasi fito- Indeks Keanekaragaman (H’)


plankton diambil di permukaan air secara
horizontal dengan kedalaman 0,5 m meng- H’
gunakan plankton net no. 25 yang dilem- parkan
sejauh 3 m ke perairan, lalu bagian talinya ditarik
sehingga didapatkan sampel air yang dipekatkan.
Sampel air yang didapatkan dari masing-masing
stasiun penelitian dengan 3 kali pengulangan
diambil sebanyak 27 ml dan dimasukkan ke dalam
botol sampel ukuran 30 ml yang telah berisi 3 ml
lugol 1% dan diberi label. Metode pengambilan
contoh uji air permu- kaan sesuai dengan SNI No.
6989.57- 2008.
Sampel air dalam botol sampel diambil
menggunakan pipet, kemudian diteteskan ke
dalam bilik pencacah sedgwick rafter counting
cell kapasitas 1 ml dan ditutup menggunakan gelas
objek. Pengamatan fitoplankton dalam sedgwick
rafter counting cell dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan di bawah mikroskop cahaya dengan
perbesaran 10 x 10. Proses pencacahan dilakukan
dengan bantuan alat hitung counter.
Setiap fitoplankton yang berhasil diamati
dibawah mikroskop cahaya lalu diidentifikasi
sampai tingkat jenis meng- gunakan buku
identifikasi fitoplankton dan diidentifikasi
Bellinger dan Sigee (2010), dan Needham dan
Needham (1941).
Analisis data :
Indeks Kelimpahan

N=
Keterangan :
N= jumlah individu fitoplankton per ml C=
jumlah individu fitoplankton yang
dihitung
V1= volume contoh uji yang telah disaring
(5000 ml)
V2= volume benda uji (1 ml)
V3= volume contoh uji yang diambil di
lapangan (100 ml)
Keterangan :
H’= indeks diversitas Shanon-Wiener Pi
= ni/N (proporsi jenis fitoplankton) ln =
jumlah jenis fitoplankton
N = jumlah seluruh jenis fitoplankton
Indeks Keseragaman (E)

Keterangan :
E = Indeks keseragaman jenis H’=
Indeks keanekaragaman jenis
Shannon-Wiener
H’ maks= Nilai keanekaragaman jenis
maksimum (ln S)
S= Jumlah total individu

Indeks Dominansi (D)

Keterangan :
D = Indeks dominasi
Pi = ni/N (proporsi jenis fitoplankton)

Indeks Saprobitas (X)

Keterangan :
A = jumlah organisme divisi Cyanophyta B=
jumlah organisme divisi Euglenophyta C =
jumlah organisme divisi Chrysophyta D =
jumlah organisme divisi Chlorophyta

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil identifikasi fitoplankton dari
sampel air Situ Bulakan Kota Tangerang
ditemukan fitoplankton yang berasal dari
kingdom Monera (divisi Cyanobacteria)
terdiri dari 1 kelas yaitu Cyanophyceae,
sedangkan kingdom Protista mirip tum- buhan
(mikroalga) terdiri dari 3 kelas yaitu
Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan
Euglenophyceae. Fitoplankton yang dite-
mukan diambil dari sampel air 4 stasiun
penelitian dan terdiri dari 26 jenis dengan
jumlah total 613 individu (Tabel 1).
Tabel 1. Fitoplankton yang ditemukan di Situ Bulakan Kota Tangerang

Tabel 1 menunjukkan jenis fito- plankton ton antara 2.000-15.000 ind/ml. Indeks
yang paling banyak ditemukan di perairan Situ kelimpahan fitoplankton terendah terdapat pada
Bulakan Kota Tangerang berasal dari kelas ST1 sebesar 6.600 ind/ml dan ter- tinggi terdapat
Chlorophyceae yaitu 11 jenis. Monoraphidium sp. pada ST3 sebesar 9.817 ind/ml (Tabel 2).
merupakan jenis yang ditemukan di Situ Bulakan Indeks keanekaragaman fitoplankton (H’)
Kota Tangerang dengan jumlah 215 individu dan pada 4 stasiun penelitian bervariasi antara 1,77-
merupakan jumlah individu tertinggi (Tabel 1). 2,05, sedangkan keanekara- gaman rata-rata
Analisis fitoplankton yang dilakukan fitoplankton yaitu 1,95. Berdasarkan hasil indeks
menggunakan indeks biologi pada 4 sta- siun keanekaragaman fitoplankton, diketahui bahwa
penelitian di Situ Bulakan Kota Tangerang yaitu keaneka- ragaman fitoplankton di Perairan Situ
indeks kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), Bulakan Kota Tangerang termasuk ke dalam
indeks kese- ragaman (E), indeks dominansi (D), kategori sedang dengan nilai 1<H’>3. Indeks
dan indeks saprobitas (X). keanekaragaman fito- plankton terendah terdapat
Indeks kelimpahan fitoplankton pada pada ST1 sebesar 1,77 dan tertinggi terdapat pada
4 stasiun penelitian bervariasi antara 6.600-9.817 ST2 sebesar 2,05 (Tabel 2).
ind/ml, sedangkan kelim- pahan rata-rata Indeks keseragaman fitoplankton (E) pada 4
fitoplankton yaitu 7.992 ind/ml. Berdasarkan hasil stasiun penelitian bervariasi antara 0,17-0,29,
indeks kelim- pahan fitoplankton, tingkat kesu- sedangkan keseragaman rata- rata fitoplankton
buran perairan Situ Bulakan Kota Tangerang yaitu 0,21 (Tabel 2). Berdasarkan hasil tersebut,
termasuk ke dalam kategori perairan mesotrofik diketahui bahwa keseragaman fitoplankton di
dengan kelimpahan fitoplank- Perairan Situ Bulakan Kota Tangerang
termasuk ke dalam kategori komunitas tertekan, sebesar 0,61 dan termasuk ke dalam kategori
karena keseragaman populasi pada semua titik dominansi sedang, sedangkan indeks dominansi
sampling memiliki nilai mendekati 0. tertinggi pada ST3 sebesar 0,79 dan termasuk ke dalam
Indeks dominansi fitoplankton (D) pada 4 kategori dominansi tinggi (Tabel 2). Terlihat pada tabel
stasiun penelitian bervariasi antara 0,61-0,79, 1, seluruh stasiun penelitian memiliki jenis
sedangkan dominansi rata-rata fitoplankton yaitu
0,73. Indeks dominansi terendah yaitu pada ST 1
yang lebih mendominasi seperti saprobitas rata-rata fitoplankton yaitu 0,14. Nilai
indeks saprobitas teren- dah yaitu pada ST4
Monora- phidium sp. dan Oscillatoria
sebesar -0,03 yang menunjukkan kualitas air
sp. mengalami pen- cemaran sedang sampai berat atau
α– mesosaprobik dan nilai indeks saprobitas
Indeks saprobitas fitoplankton (X) pada tertinggi yaitu pada ST1 sebesar 0,80 yang
4 stasiun penelitian bervariasi antara 0,03- menunjukkan kualitas air mengalami pen-
0,80 dengan kategori α-mesosap- robik cemaran sedang sampai berat atau β–
sampai β-mesosaprobik, sedangkan indeks mesosaprobik (Tabel 2).

Tabel 2. Indeks Biologi Fitoplankton di Situ Bulakan Kota Tangerang

Indeks Indeks Indeks Indeks


Stasiun Indeks
Keanekaragaman Keseragama Dominansi Sprobitas
Penelitian Kelimpahan
(H') n (E) (D) (X)
ST1 6.600 1,77 0,29 0,61 0,80
ST2 7.950 2,05 0,18 0,76 -0,29
ST3 9.817 2,02 0,17 0,79 0,05
ST4 7.600 1,95 0,20 0,76 -0,03
Rata-rata 7.992 1,95 0,21 0,73 0.14

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Situ Bulakan Kota Tangerang

Parameter ST1 ST2 ST3 ST4


Suhu 29,2 29,35 29,3 28,6
Kecerahan (cm) 9,5 11,5 26 39
Kedalaman (m) 0,9 0,55 0,8 0,6
Salinitas 0,2 0,2 0,2 0,2
TSS 30 28 33,5 16
pH 7,515 6,99 7,37 7,37
DO 1,17 2,82 2,385 2,87
Amoniak 2,36 2,065 2,87 3,03

Pengukuran fisik dan kimia perairan yang


28,60–29,350C. Pengukuran kecerahan diperoleh
dilakukan pada 4 stasiun penelitian di Situ
nilai antara 0,10-0,40 m. Kecerahan terendah yaitu
Bulakan Kota Tangerang yaitu suhu, kecerahan,
pada ST1 sebesar 0,10 m dan tertinggi pada ST4
kedalaman, salinitas, TSS, derajat keasaman (pH),
sebesar 0,40 m (Tabel 3). Pengukuran kedalaman
kandungan oksigen terlarut (DO), dan amoniak
perairan diperoleh nilai antara 0,5-0,9 m (Tabel 3).
(NH3-N) (Tabel 3).
Pengukuran salinitas menunjukkan nilai
Berdasarkan tabel 3, hasil pengu- kuran
yang sama pada setiap stasiun
suhu perairan diperoleh nilai antara
penelitian yaitu 0,2 ‰ atau dapat dikonversi yang paling banyak ditemukan di perairan Situ
menjadi 0,02% (Tabel 3). Pengukuran TSS Bulakan Kota Tangerang dan satu-satunya kelas yang
perairan diperoleh nilai antara 16,00-33,50 mg/L. terdapat pada divisi Chlorophyta. Jumlah spesies dari
Nilai TSS terendah yaitu pada ST4 sebesar 16,00 kelas Chlorophyceae paling beragam dibandingkan
mg/L dan tertinggi pada ST3 sebesar 33,50 mg/L dengan kelas yang lain dengan jumlah mencapai
(Tabel 3). Pengukuran derajat keasaman (pH) 17.000 spesies (Graham & Wilcox, 2000). Chloro-
perairan diperoleh nilai antara 6,99-7,51 (Tabel 3). phyceae umumnya banyak ditemukan di perairan air
Pengukuran kandungan oksigen terlarut (DO) tawar karena sifatnya mudah beradaptasi dan cepat
perairan diperoleh nilai antara 1,17-2,87 mg/L berkembang biak sehingga populasinya banyak
(Tabel 3). Pengukuran amoniak perairan diperoleh ditemukan di perairan. Fitoplankton dari kelas Chloro-
nilai antara 2,06-3,03 mg/L (Tabel 3). phyceae umumnya melimpah di perairan dengan
Chlorophyceae merupakan fitoplank- ton intensitas cahaya yang cukup seperti kolam, situ, dan
danau (Bellinger & Sigee, 2010). al., 2008). Fitoplankton berpotensi men- jadi
Monoraphidium sp. merupakan jenis indikator terbaik dalam pencemaran organik
fitoplankton yang paling banyak ditemu- kan di karena mudah dicuplik dan diiden- tifikasi
perairan Situ Bulakan dan salah satu fitoplankton sehingga dapat menjadi indikator pencemaran
yang digunakan sebagai indikator perairan yang yang baik di suatu perairan.
tercemar. Jenis ini memiliki protective cyste yang Kelimpahan fitoplankton berkaitan dengan
merupakan fase dari organisme uniseluler yang tingkat kesuburan suatu perairan. Kelimpahan
dilin- dungi oleh lapisan tebal sehingga dapat fitoplankton ini dipengaruhi oleh faktor abiotik
bertahan hidup lebih lama pada kondisi yang tidak seperti DO atau kandungan oksigen terlarut (Tabel
menguntungkan tanpa mengam- bil makanan 3). Kandungan DO di perairan yang dapat ditolerir
(Jhon et al., 2002). Monora- phidium sp. banyak oleh organisme akuatik terutama fitoplankton
ditemukan di Situ Bungur Kota Tangerang Selatan adalah tidak kurang dari 5 mg/L (Boyd, 1982).
(339 individu) (Salam, 2010), Situ Babakan Menurut PP No. 82 Tahun 2001, batas minimal
Jakarta Selatan (13.258 individu), Situ Ulin-Salam kandungan DO untuk kategori kelas III
Depok (4.419 individu), dan Situ Aghatis Depok - (perikanan) yaitu 4 mg/L. Kandungan DO perairan
Kampus Universitas Indonesia (20.328 individu Situ Bulakan Kota Tangerang berada dibawah
(Prihantini et nilai ambang batas yang ditetapkan, sehingga
perairan tidak terlalu mendukung untuk kegiatan
perikanan dan mempe- ngaruhi kelimpahan
fitoplankton di dalamnya. Kandungan DO perairan
ber- kaitan dengan suhu (Manik, 2010).
Pengukuran DO di 4 stasiun penelitian tidak
memiliki perbedaan yang signifikan karena suhu
perairan pada masing-masing stasiun penelitian
juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan
(Tabel 3).
Suhu perairan di 4 stasiun penelitian tidak
memiliki perbedaan secara signi- fikan. Hal ini
disebabkan karena pengu- kuran suhu perairan
dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan
yaitu pada pukul 09.00 WIB. Suhu berpengaruh
terhadap distribusi fitoplankton. Kisaran suhu
optimum bagi kehidupan fitoplankton di perairan
adalah 20–300C (Rimper, 2001). Nilai kisaran
suhu pada perairan Situ Bulakan menunjukkan
kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan fito-
plankton.
Indeks keanekaragaman terendah terjadi
pada ST1 yang merupakan tempat aliran air masuk
(inlet). Hal ini disebabkan karena ST1 banyak
tertutupi oleh adanya sampah yang menggenang di
permukaan perairan. Limbah rumah tangga yang
masuk melalui inlet Situ Bulakan Kota Tangerang
seperti plastik, dedaunan, sabun
atau busa detergen sebagai salah satu faktor yang langsung mendapatkan cahaya matahari, sehingga
menyebabkan terhambatnya sinar matahari masuk dapat meningkatkan produktivitas primer perairan.
ke perairan, sehingga proses fotosintesis yang Cahaya merupakan faktor penting karena berdampak
dilakukan oleh fitoplankton menjadi berkurang langsung terhadap distribusi dan jumlah organisme
dan menyebabkan rendahnya keanekaragaman khususnya fito- plankton dalam badan air (Anggoro et
jenis fitoplankton pada stasiun ini. Proses al., 2013).
fotosintesis yang terhambat pada perairan juga Indeks keseragaman (E) menggam- barkan
menyebabkan ragam dan jenis tertentu saja yang tingkat keseimbangan atau kesamaan komposisi jenis
hidup pada stasiun ini. biota perairan (Odum, 1996). Rendahnya nilai indeks
Indeks keanekaragaman tertinggi terjadi keseragaman pada seluruh stasiun pene- litian
pada ST2 merupakan bagian tengah danau yang disebabkan karena kelimpahan fitoplankton yang tidak
merata, sehingga adanya spesies yang lebih apung (KJA). Kegiatan budidaya keramba jaring
mendominasi dalam perairan. Semakin kecil nilai apung mengandung bahan organik dari
indeks keseragaman atau mendekati nol menun- penggunaan pakan buatan yang tidak termakan
jukkan semakin kecil pula keseragaman populasi dan akan menumpuk pada dasar perairan
fitoplankton, artinya penyebaran jumlah individu (Hutabarat, 2000). Limbah orga- nik KJA tersusun
setiap spesies tidak sama dan cenderung suatu atas bahan organik seperti karbon, hidrogen,
spesies tertentu mendominasi populasi tersebut oksigen, nitro- gen, fosfor, sulfur dan mineral
(Nugroho, 2006). lainnya. Limbah organik yang masuk ke dalam
Indeks dominansi fitoplankton (D) perairan dalam bentuk padatan yang terendap,
menggambarkan ada atau tidaknya biota perairan koloid, tersuspensi dan terlarut mempunyai
yang mendominasi (Odum, 1996). Jika indeks potensi yang besar untuk menurunkan kualitas air
dominansi mendekati nilai 1 maka ada salah satu (Panjaitan, 2009).
jenis yang mendo- minasi daripada jenis lain, hal ST1 memiliki indeks saprobitas fitoplankton
ini disebabkan karena komunitas fitoplankton (X) tertinggi karena merupa- kan tempat aliran
mengalami tekanan ekologis berupa stress masuk (inlet) yang mengandung limbah organik
(Nugroho, 2006). dan anorga- nik dari hasil aktivitas pabrik dan
Indeks saprobitas fitoplankton (X) terendah rumah tangga di sekitar perairan Situ Bulakan
terjadi pada ST4 yang berarti terjadi pencemaran Kota Tangerang. Limbah organik secara tidak
yang disebabkan karena adanya kegiatan budidaya langsung dapat meningkatkan kelim- pahan jenis
peri- kanan menggunakan sistem keramba jaring fitoplankton tertentu. Kondisi perairan yang cukup
mengandung unsur hara diperlukan untuk
perkembangan fitoplankton seperti nitrat dan
fosfat yang berasal dari buangan limbah rumah
tangga dan industri (Piirsoo et al., 2008).
Terhambatnya penetrasi cahaya matahari ke
dalam air menyebabkan proses fotosintesis dalam
air akan terganggu dan jumlah oksigen terlarut
dalam air akan berkurang. Penurunan jumlah
kandungan oksigen terlarut dalam air
menyebabkan terganggunya kehidupan organisme
per- airan terutama bagi pertumbuhan fito-
plankton (Manik, 2010).
Jenis fitoplankton yang dapat men-
dominasi suatu perairan dapat dipe-ngaruhi oleh
kondisi lingkungan seperti faktor fisik dan kimia
perairan seperti kecerahan, kedalaman, salinitas,
pH, TSS, dan amo- niak (NH3-N) yang mampu
memberikan perbedaan jenis fitoplankton yang
mendo- minasi pada setiap perairan (Reynold,
1993).
Perairan yang memiliki kecerahan 0,60 m-
0,90 m dianggap cukup baik untuk menunjang
kehidupan ikan dan organisme perairan dan
kecerahan <0,30 m dapat menimbulkan masalah
bagi ketersediaan
oksigen terlarut di perairan (Boyd, 1982). Hasil mengendap di dasar perairan terus terakumulasi dan
pengukuran kecerahan di Situ Bulakan Kota menyebabkan pendangkalan pada bagian dasar.
Tangerang <0,30 m sehing- ga kurang mendukung Perairan yang baik untuk pemeliharaan ikan berkisar
bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme antara 0,75- 1,25 m, karena air pada kedalaman ter-
perairan terutama fitoplankton. sebut masih dipengaruhi oleh sinar mata- hari sehingga
Kedalaman perairan di 4 stasiun penelitian merupakan lapisan yang produktif.
tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Hal Kedalaman perairan juga merupakan faktor
ini terjadi karena penge- rukan dasar perairan situ pembatas kesuburan perairan. Fito- plankton banyak
tidak dilakukan secara menyeluruh, sehingga dijumpai pada kedalaman tidak lebih dari satu meter
bahan-bahan organik dan anorganik yang pada perairan umum (sungai, danau, dan waduk)
karena pada kedalaman satu meter merupakan Nilai TSS terendah pada ST4 terjadi karena
daerah transparansi matahari (euphotic zone) nilai kecerahan pada ST4 lebih tinggi
(Harahap, 2000). Berdasarkan pendapat tersebut, dibandingkan stasiun penelitian yang lain,
kedalaman perairan Situ Bulakan masih layak sementara nilai TSS tertinggi pada ST3 terjadi
sebagai tempat kehidupan organisme perairan karena nilai kecerahan pada ST3 lebih rendah
seperti ikan yang banyak hidup pada tambak- dibandingkan dengan nilai kecerahan pada ST4
tambak disekitar Situ Bulakan dan fitoplankton (Tabel 3). Menurut PP No. 82 tahun 2001
yang cukup banyak ditemukan di Situ Bulakan mengenai baku mutu air kelas III (untuk
Kota Tangerang. perikanan) bahwa TSS memiliki nilai ambang
Salinitas yang terkandung pada air danau batas maksimal 400 mg/L, dalam hal ini TSS
dan sungai terhitung rendah dan dikategorikan perairan Situ Bulakan Kota Tangerang tergolong
sebagai air tawar jika kandungan garam pada air normal karena nilai TSS berada dibawah nilai
sungai dan danau kurang dari 0,05%. Jika ambang batas.
melebihi itu atau sekitar 0,05 % sampai 3% maka Kisaran pH yang sesuai untuk kehidupan
air tersebut dikategorikan sebagai air payau. Jika organisme perairan adalah 6,5-9 (Boyd, 1982).
tingkat salinitasnya diantara 3% sampai 5% air Nilai pH yang terdapat pada masing-masing
tersebut dikategorikan sebagai air saline dan jika stasiun tidak memperlihat perbedaan yang
melebihi 5% maka dikategorikan sebagai brine signifikan dan berada dalam kondisi normal.
(KLH Ketapang, 2013). Hal ini menunjukkan Menurut PP No. 82 tahun 2001, dalam kriteria
bahwa hasil pengukuran salinitas pada setiap baku mutu air kelas III (untuk perikanan) adalah
stasiun penelitian termasuk kategori air tawar. 6-9. Dengan demikian, nilai pH yang terdapat
pada setiap stasiun penelitian dapat disimpulkan
bahwa perairan tersebut tergolong kepada perairan
yang produktif untuk kehidupan organisme
fitoplankton dan berada dibawah ambang batas
yang ditetapkan.
Hasil pengukuran amoniak di setiap stasiun
penelitian tidak memperlihat perbedaan yang
signifikan. Baku mutu kualitas air kelas III (untuk
perikanan) dalam PP No. 82 Tahun 2001
menjelaskan bahwa batas maksimum amoniak
untuk kegiatan perikanan bagi ikan yang peka
≤0,02 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan amoniak pada setiap stasiun penelitian
telah melewati batas maksimum baku mutu.
Kandungan amoniak yang tinggi pada setiap
stasiun, diduga disebabkan oleh adanya akumulasi
dari pemberian pakan dengan teknik sebar pada
areal budidaya ikan di lokasi tersebut sehingga
menyebabkan sisa-sisa buangan hasil metabolisme
yang dihasilkan oleh ikan dalam bentuk feces
menjadi lebih banyak, dan mempengaruhi
tingginya jumlah kadar amoniak di lokasi tersebut.
Selain itu,
pembuangan limbah rumah tangga yang masuk Bacillariophyceae (4 jenis), Chlorophyceae (11 jenis),
melalui inlet juga merupakan faktor yang dan Euglenophyceae (2 jenis) dengan indeks
menyebabkan kandungan amoniak menjadi tinggi. keanekaragaman sedang (H’=1,77-2,05) dan Kondisi
saprobitas perairan di Situ Bulakan Kota Tangerang
berdasarkan indikator fitoplankton yaitu tercemar
KESIMPULAN sedang sampai berat (α- mesosaprobik) dengan nilai
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rata-rata indeks 0,14.
kesimpulan bahwa keanekara- gaman fitoplankton
yang ditemukan sebanyak 26 jenis yang termasuk
ke dalam UCAPAN TERIMA KASIH
4 kelas yaitu Cyanophyceae (9 jenis), Terima kasih kepada Pusat Sarana Pengendalian
Dampak Lingkungan (Pusar- pedal)-Kementerian
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2004).
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang telah
memfasilitasi penelitian serta Kantor Kesatuan Kumpulan SNI (Standar Nasional
Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang- Indonesia) untuk Air dan Air Limbah.
linmas) Kota Tangerang yang telah memberikan
Badan Standarisasi Nasional.
perizinan penelitian dan pengambilan sampel di
Situ Bulakan Kota Tangerang. Jakarta.

Bellinger, E. G., & Sigee, D.C. (2010).


DAFTAR PUSTAKA Freshwater Algae: Identification and
Anggoro, S., P. Soedarsono, dan Suprobo. Use as Bioindicators. John Wiley &
H.D. (2013). Penilaian Pencemaran
Sons Ltd. United Kingdom.
Perairan di Polder Tawang Semarang
ditinjua dari Aspek Saprobitas. BPLH Kota Tangerang. (2013). Laporan
Journal of Management of Aquatic Status Lingkungan Hidup Daerah
Resources 2 (3), 109-118. (SLHD) Kota Tangerang Tahun 2013.
Pemerintah Kota Tangerang.
Arinardi, O.H., Sutomo, A.B., Yusuf S.A.,
Tangerang.
Trimaningsih, Asnaryanti, E. &
Riyono, S.H. (1997). Kisaran Kelim- Boyd, C. E. (1982). Water Quality Mana-
pahan dan Komposisi Plankton gement for Pond Fish Culture.
Predominan di Perairan Kawasan Elsevier Scientific Publishing Com-
Timur Indonesia. Pusat Penelitian pany Amsterdam New York.
dan Pengembangan Oseanologi
Graham, L. E. & Wilcox, L. W. (2000). Algae.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo- Prentice Hall Inc. New Jersey.
nesia. Jakarta. Harahap. (2000). Analisis Kualitas Air
Sungai Kampar dan Identifikasi
Bakteri Patogen di Desa Pongkai
dan Batu Besurat Kecamatan kam-
par kabupaten Kampar. Pusat Pene-
litian Universitas Riau. Pekanbaru.

Hutabarat, S. (2000). Produktivitas


Perairan dan Plankton. Badan
Universitas Diponegoro. Semarang.

Indrayani, N., Anggoro, S., & Suryanto, A.


(2014). Indeks Trofik-Saprobik
Sebagai Indikator Kualitas Air di
Bendung Kembang Kempis Wedung,
Kabupaten Demak. Dipo- negoro
Journal of Maquares Mana- gement
of Aquatic Resources 3 (4),

161-168.
Jhon, D. M., Whitton, B. A., & Brook, A.
J. (2002). The Freshwater Algal
Floral of the British Isles. United
Kingdom: Cambridge University
Press.

Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Keta-


pang. (2013). Laporan
Pemantauan Kualitas Air Sungai
tahun 2013 Kabupaten
Ketapang. Kantor Ling- kungan
Hidup Kabupaten Keta-pang.
Ketapang.
Manik, D. M. (2010). Studi Tentang Ke- naikan Amoniak (NH 3) Dan Sulfat (SO4-2) Pada Air Limpasan
Penge- rukan Pasir Laut serta Pengaruhnya terhadap Kelimpahan Popu-lasi Plankton dan Bentos.
Skripsi. Departemen Kimia Fakultas Mate- matika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Needham, J. G., & Needham, P. R. (1941). A Guide to the Study of Fresh-Water Biology.
Comstock Publishing Company Inc. New York. Nugroho, A. (2006).
Bioindikator Kualitas

Air. Universitas Trisakti. Jakarta. Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


Odum, E. P. (1996). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Panjaitan, P. (2009). Kajian Potensi Pence- maran Keramba Jaring Apung PT. Aquafarm Nusantara di
Ekosis-tem Perairan Danau Toba. Jurnal Visi 17 (3), 290-300.
Piirsoo, K., Peeter, P., Tuvikene, A., & Malle, A. (2008). Temporal and Spatial Patterns of
Phytoplankton in a Temperate Lowland River. Journal of Plankton Research 30 (11), 1.285-
1.295.
Presiden Republik Indonesia. (2001). Pera-turan Pemerintah Republik Indone-sia Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pe-ngendalian Pencemaran
Air. Sekretaris Negara Republik Indone- sia. Jakarta.

Prihantini, N. B., Wardhana, W. Hen- drayanti, D., Widyawan, A., Ariyani, Y., & Rianto, R.
(2008). Biodiversitas Cyanobacteria dari Beberapa Situ/ Danau di Kawasan Jakarta-Depok-
Bogor, Indonesia. Jurnal Makara Sains 12 (1), 44-54.
Reynold, C. S. (1993). Scales of Disturbance and Tehir Role in Plankton Ecology. Hydrobiology
(249), 157-171.
MAKALAH

REMEDIASI BADAN AIR DAN PESISIR

“CONSTRUCTED WETLANDS/LAHAN BASAH BUATAN”

OLEH:

MUHAMAD RONAL ARGIANTO

E1F119025

PROGRAM STUDI REKAYASA INFRASTRUKTUR & LINGKUNGAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

 Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas Kimia
Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai makalah
“Constructed wetlands/lahan basah buatan”.

                 Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati menerima
masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,

                Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaledupa, 20 Mei 2020


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI LAHAN BASAH BUATAN
B. FUNGSI DAN MANFAAT LAHAN BASAH BUATAN
C. SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
D. TIPE SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
E. PRINSIP DASAT PADA SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
F. KOMPONEN-KOMPONEN PADA SISTEM LAHAN BASAH BUATAN.
G. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN TEKNOLOGILAHAN BASAH
BUATAN.

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota besar


sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal berupa perumahan. Hal
tersebut dikhawatirkan dapat memicu peningkatan air limbah domestik. Meningkatnya
jumlah air limbah domestik yang tidak diimbangi dengan peningkatan badan air penerima
baik dari aspek kapasitas maupun kualitasnya, menyebabkan jumlah air limbah yang masuk
ke dalam badan air tersebut dapat melebihi daya tampung Banyaknya limbah rumah tangga
yang dibuang ke badan air tanpa melewati sistem pengolahan limbah berdampak serius
terhadap pencemaran lingkungan perairan (Effendi, 2003).

Teknologi lahan basah buatan untuk mengolah limbah cair sangat potensial sistem
pengolahan limbahnya sederhana, mudah diterapkan dalam skala rumah tangga atau
individual yaitu dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di Indonesia. Metode
pengolahan limbah cair lahan basah buatan ini menggunakan mikroorganisme dan
tumbuhan air (Awalina, 2005). Keberadaan lahan basah buatan dapat memberikan
pengaruh yang baik karena proses pengolahan limbah yang terjadi mencontoh proses
penjernihan air yang terjadi di lahan basah atau rawa (wetlands).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sistem lahan basah buatan ?
2. Sebutkan tipe sistem lahan basah buatan ?
3. Apa prinsip dasar pada sistem lahan basah buatan ?
4. Apa saja komponen dari sistem lahan basah buatan?
5. Sebutkan keunggulan dan kelemahan teknologi lahan basah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari sistem lahan basah buatan.
2. Mengetahui apa saja tipe dari sistem lahan basah buatan.
3. Mengetahui prinsip dasar sistem lahan basah buatan.
4. Mengetahui apa saja komponen sistem lahan basah buatan.
5. Mengetahui keunggulan dan kelemahan teknologi lahan basah. 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Lahan Basah Buatan

Lahan basah, berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan menjadi tiga


kelompok utama, yaitu : lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan
basah buatan. Diantara ketiga kelompok utama lahan basah tersebut, lahan basah buatan
mungkin bisa dianggap sebagai satu-satunya kelompok lahan basah yang memiliki posisi
paling dilematis, karena di satu sisi pembangunan lahan basah buatan memang perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, sementara di sisi lain
pembangunan lahan basah buatan dianggap menjadi penyebab berkurangnya atau bahkan
hilangnya dungsi dan nilai manfaat lahan basah alami (Puspita, dkk. 2005).

Lahan basah buatan (human-made wetlands) adalah suatu ekosistem lahan basah
yang terbentuk akibat intervensi manusia, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Lahan
basah buatan yang pembentukannya disengaja, biasanya dibuat untuk memenuhi berbagai
kepentingan tertentu; misalnya untuk meningkatkan produksi lahan pertanian dan
perikanan, pembangkit tenaga listrik, sumber air, atau untuk mengolah air limbah (Puspita,
dkk. 2005).

Pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan sistem constructed wetland (lahan
basah buatan). Constructed wetland adalah salah satu teknologi pengolahan air limbah
dengan konsep natural treatment, dengan menggunakan kolam dangkal yang didalamnya
terdapat beberapa macam substrat seperti tanah atau kerikil dan tanaman air. Sistem tersebut
memanfaatkan simbiosis mikroorganisme tanah dengan akar tumbuhan yang mengeluarkan
oksigen. (Tanggahu dan Warmadewanthi, 2001).

B. Fungsi dan Manfaat Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland)

Sistem lahan basah buatan (constructed wetland) pada dasarnya berfungsi untuk
memperbaiki kualitas air limbah agar mutu hasil olahannya memenuhi baku mutu yang
telah ditetapkan dan tidak mencemari badan air penerima. Constructed wetland sampai saat
ini diyakini sebagai cara paling ekonomis untuk mengolah air limbah. Contructed wetland
sangat cocok diterapkan pada negara berkembang (terutama daerah tropis yang iklimnya
hangat), karena pengoperasian constructed wetland ini tidak membutuhkan biaya investasi
dan biaya pengoperasian yang tinggi, serta tidak memerlukan tenaga operator khusus untuk
mengoperasikannya. Selain itu ketersediaan tanah yang relatif luas dan harga tanah yang
tidak terlalu mahal di negara-negara berkembang (dibandingkan dengan harga instalasi
pengolahan limbah modern) juga menyebabkan kolam ini cocok dikembangkan di negara
berkembang (Puspita, dkk. 2005).
Air olahan dari sistem lahan basah buatan ini pada tahap selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian. Air olahan ini sangat baik bagi keperluan
irigasi karena didalamnya terkandung nitrogen, fosfor, dan natrium yang bermanfaat
sebagai nutrien bagi tanaman. Endapan tanah organik yang terkumpul di bagian dasar kolam
juga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah pertanian. Selain itu biogas yang
dihasilkan pada kolam anaerobik juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi (Puspita,
dkk. 2005).

C. Sistem Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland)

Instalasi pengolahan limbah cair biologis atau constructed wetland merupakan


instalasi pengolahan limbah cair buatan yang dirancang dan dibuat berupa kolam atau
saluran yang ditanami oleh tumbuhan-tumbuhan air dan proses penjernihan limbah cair
dilakukan secara biologis dengan bantuan mikroorganisme, proses fisika dan kimia.
Instalasi ini dirancang seperti proses penjernihan limbah cair yang ada di alam, tetapi
dengan lingkungan yang dapat dikendalikan. Instalasi pengolahan limbah cair buatan ini
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan instalasi pengolahan limbah cair
alami ( natural wetlands) yaitu lokasi bisa dipilih sesuai dengan keinginan, ukuran lebih
fleksibel, pola aliran serta waktu tinggal bisa diatur (Jimmy , 2015).

Prinsip kerja instalasi pengolahan limbah cair buatan ini meniru atau hampir sama
dengan prinsip instalasi pengolahan limbah cair alami, tetapi perbedaannya adalah bisa
dibuat di tempat-tempat yang dikehendaki, instalasi pengolahan limbah cair buatan ini
semakin popular dan mampu mengolah berbagai limbah cair seperti limbah cair domestik,
limbah cair pemotongan hewan, limbah cair pabrik kertas, limbah cair pabrik gula, limbah
cair peternakan dan berbagai limbah cair lainnya (Kurniadie, 2011).

D. Tipe Sistem Lahan Basah Buatan

Instalasi pengolahan limbah cair atau constructed wetland diklasifikasikan berdasarkan


berbagai macam parameter, tetapi yang paling penting adalah berdasarkan tipe aliran yaitu
aliran permukaan (free water surface flow) dan aliran bawah permukaan (subsurface water
flow).

1. Free Water Surface Flow (FWS)

Instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan atau free water
surface constructed wetland (FWS) terdiri dari kolam atau saluran dengan menggunakan
tanah atau medium untuk mendukung perakaran tumbuhan (jika ada) dan air. Sistem FWS
ini sangant mirip dengan kondisi wetland secara alami (natural wetland) dan umumnya
merupakan kolam yang ditanami berbagai jenis tanaman gulma air (Kurniadie, 2011).

Masalah dari instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan
ataufree water surface flow ini adalah areal lahan yang diperlukan lebih luas, banyak
nyamuk, estetika kurang baik serta dapat menimbulkan bau. Berdasarkan jenis dari gulma
air, instalasi pengolahan limbah cair free surface dibagi kedalam beberapa sistem, yaitu:
a. Sistem dengan menggunakan gulma air yang terapung bebas seperti gulma air
Elchornia crassibes, Pistia stratiotes, Lemna spp., Spirodela polyrhiza,Wolfia spp.

b. Sistem dengan menggunakan gulma air terapung dengan akar yang menempel pada
tanah seperti gulma air Nymphaea spp., Nuphar luteadan Nelumbo nucifera.

c. Sistem dengan menggunakan gulma air submerged seperti Myriophyllum

spicatum, Potamogeton pectinatus.

Instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan ini banyak dibuat di
negara-negara tropis, karena jenis gulma air ini tidak tahan pada cuaca dingin seperti
negara-negara sub tropis serta tingkat pertumbuhan akan berkurang pada temperatur
dibawah 10℃. Instalasi ini banyak digunakan untuk mengolah limbah cair industry
pertanian, peternakan, industry telstil, industry logam serta pestisida (Vymazal, 2011).

2. Subsurface Flow System

Instalasi pengolahan limbah cair dengan menggunakan aliran subsurface flow


system diklasifikasikan menurut arah dari aliran baik arah horizontal (HSF) dan arah
vertical (VFS).

a. Horizontal Subsurface Flow (HSF)

Instalasi pengolahan limbah cair tipe horizontal atau constructed wetland with a
horizontal subsurface flow (HF atau HSF) merupakan instalasi pengolahan limbah cair
dimana limbah cair dimasukkan ke dalam inflow dan mengalir secara lambat melalui media
yang porous secara horizontal menuju saluran outflow. Bahan-bahan organik pencemar
didegradasi secara aerob dan anaerob oleh bakteri yang menempel pada bagian akar dan
rhizome dari tumbuhan gulma air emergent dan permukaan media tumbuh.Oksigen yang
diperlukan untuk degradasi aerobik diberikan secra langsung dari atmosphere secara difusi
atau keluarnya oksigen dari akar dan rhizome pada bagian rhizosphere (Kurniadie, 2011).

b. Vertical Flow System (VFS)

Instalasi pengolahan limbah cair dengan menggunakan aliran vertikal atau vertical
flow system (VF) terdiri dari tanah yang digali berupa kolam dan dilapisi lapisan kedap air
berupa bahan terpal atau tanah liat dan diisi oleh batuan. Limbah cair akan mengalir secara
gradual turun ke lapisan bagian bawah dan akan ditampung pada bak outflow. Pada sistem
pengolahan limbah cair tipe vertikal ini jumlah oksigen yang berdifusi dari udara lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah oksigen yang ditransfer dari udara melalui saluran air
aerenchyma yang dimiliki oleh gulma air emergent. Dengan merembesnya air limbah secara
perlahan ke bawah reaktor maka kolom air pada permukaan filter bed akan kosong, hal ini
memperbesar kemungkinan terjadinya kontak oksigen dengan populasi mikroba pada
Rhizosfer. Fungsi dari gulma air emergent adalah untuk menjaga supaya konduktivitas
hidraulik bisa terjaga, sehingga filter bed tidak mudah mampet. Proses utama penjernihan
limbah cair pada instalasi pengolahan limbah cair tipe vertikal adalah sama dengan pada
instalasi pengolahan limbah cair horizontal, tetapi filter bed pada sistem vertikal lebih
bersifat aerob dibandingkan dengan sistem horizontal, sehingga proses nitrifikasi dan
penurunan BOD lebih cepat, tetapi proses penurunan suspended solid lebih baik pada sistem
pengolahan limbah cair tipe horizontal. Perbedaan sistem aliran dari kedua sistem Lahan
Basah tersebut dapat dilihat secara rinci pada gambar 2.2.berikut ini :

Proses eliminasi bahan organik dan unsur hara pencemar pada instalasi ini terjadi
melalui proses (Kurniadie, 2011):

a. Adsorpsi dari koloid-koloid oleh media atau substrat

b. Pengikatan kapasitas kation dan anion pada mineral liat dan oksida Fe

c. Transformasi dari nutrisi/unsur hara bahan organik pencemar oleh mikroorganisme

d. Penghisapan oleh tanaman

Platzer dan Mauch dalam Kurniadie (2011) mengatakan bahwa instalasi pengolah
limbah cair subsurface water flow system dengan aliran vertikal dibuat dengan tujuan untuk
meningkatkan efesiensi penurunan parameter limbah serta bahan yang diperlukan lebih
sedikit dibandingkan dengan instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran horizontal. Instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran vertikal mempunyai efesiensi pembersih lebih tinggi terhadap NH4N dan
COD dibandingkan dengan instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran horizontal.

E. Prinsip Dasar pada Sistem Lahan Basah Buatan

Proses pengolahan limbah pada Lahan Basah Buatan dapat terjadi secara fisik, kimia
maupun biologi. Proses secara fisik yang terjadi adalah proses sedimantasi, filtrasi, adsorpsi
oleh media tanah yang ada. Menurut Wood dalam Tangahu & Warmadewanthi (2001),
dengan adanya proses secara fisik ini hanya dapat mengurangi konsentrasi COD & BOD
solid maupun TSS, sedangkan COD & BOD terlarut dapat dihilangkan dengan proses
gabungan kimia dan biologi melalui aktivitas mikroorganisme maupun tanaman. Hal
tersebut dinyatakan juga oleh Haberl dan Langergraber (2002), bahwa proses eliminasi
polutan dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia dan biologi yang cukup
komplek yang terdapat dalam asosiasi antara media, tumbuhan makrophyta dan
mikroorganisme, yaitu :

• Pengendapan untuk zat padatan tersuspensi

• Filtrasi dan pretipitasi kimia pada media


• Transformasi kimia

• Adsorpsi dan pertukaran ion dalam permukaan tanaman maupun media

• Transformasi dan penurunan polutan maupun nutrient oleh mikroorganisme


maupun tanaman

• Mengurangi mikroorganisme pathogen

Mekanisme penyerapan polutan pada Lahan Basah Buatan, menurut USDA and
ITRC dalam Halverson (2004) menyebutkan bahwa secara umum melalui proses
abiotik (Fisik dan kimia) atau biotik (mikrobia dan tanaman) dan gabungan dari
kedua proses tersebut. Proses pengolahan awal (primer) secara abiotik, antara lain
melalui :

• Settling & sedimentasi, efektif untuk menghilangkan partikulat dan padatan


tersuspensi.

• Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang terjadi pada tanaman,
substrat, sediment maupun air limbah, yang berkaitan erat dengan waktu retensi air
limbah.

• Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3 dalam Lahan Basah
Buatan.

• Photodegradasi/oxidasi, degradasi (penurunan) berbagai unsur polutan yang


berkaitan dengan adanya sinar matahari.

• Volatilisasi, penurunan polutan akibat menguap dalam bentuk gas.

Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan oleh tanaman juga
merupakan bentuk pengurangan polutan seperti halnya pada proses abiotik.
Beberapa proses pengurangan polutan yang dilakukan oleh mikrobia dan tanaman
dalam Lahan Basah, antara lain sebagai berikut :

1. Biodegradasi secara Aerobik/anaerobik, merupakan proses metabolisme


mikroorganisme yang efektif menghilangkan bahan organik dalam Lahan Basah. Dalam
proses ini, tanaman mengeluarkan senyawa organik dan enzim melalui akar (disebut
eksudat akar) sehingga daerah rhizodfer merupakan lingkungan yang sangat baik untuk
tempat tumbuhnya mikroba. Mikroba di daerah rhizosfer akan mempercepat biodegradasi
kontaminan.

2. Phyto-akumulasi, proses pengambilan dan akumulasi bahan anorganik oleh


tanaman. Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrient
dan air. Massa kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian trubus dan daun
tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah yang mengandung logam
berat.
3. Phyto-stabilisasi, merupakan bentuk kemampuan sebagian tanaman untuk
memisahkan bahan anorganik pada akar tanaman. Dalam proses stabilisasi, berbagai
senyawa yang dihasilkan oleh tanaman dapat mengimobilisasi kontaminan. Sehingga
diubah menjadi senyawa yang stabil. Tanaman juga mencegah migrasi polutan secara
mekanis dengan mengurangi run off, erosi permukaan, dan aliran bawah tanah

4. Phyto-degradasi, tanaman dapat menghasilkan enzim yang dapat memecah bahan


organik maupun anorganik dari polutan sebelum diserap, selama proses transpirasi.Dalam
proses metabolisme, tanaman dapat merombak kontaminan di dalam jaringan tanaman
menjadi molekul yang tidak bersifat toksik

5. Rhizo-degradasi dinamakan pula fitostimulasi atau biodegradasi rhizosfer dimana


akar tanaman dapat melakukan penyerapan bahan polutan dari hasil degradasi bahan
organik yang dilakukan oleh mikrobia. Mikrobia berkembang pada rhizosfer sebagai akibat
suplai oksigen dan enzim oleh akar tanaman tumbuhan itu sendiri.

6. Phyto-volatilisasi / evapotranspirasi, penyerapan dan transpirasi, dalam proses ini,


tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan organic melalui akar, diangkut ke
bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui
daun. Proses penurunan polutan dalam bentuk bahan organik tinggi, merupakan nutrient
bagi tanaman. Melalui proses dekomposisi bahan organik oleh jaringan akar tanaman akan
memberikan sumbangan yang besar terhadap penyediaan C, N, dan energi bagi kehidupan
mikrobia ( Jimmy,2015).

F. Komponen-komponen Sistem Lahan Basah Buatan

Menurut Puspita, et.al (2005), faktor-faktor yang beperan dalam proses pengolahan limbah
pada lahan basah buatan adalah sebagai berikut:

1. Mikroorganisme

Mikroorganisme pada lahan basah buatan biasanya melekat pada permukaan perakaran dan
substrat/media membentuk biofilm.Mikroorganisme berperan sangat penting dalam sistem
lahan basah buatan karena mikroorganisme melaksanakan penguraian bahan-bahan organik
baik secara aerobik maupun anaerobik. Mikroorganisme juga berperan dalam proses
nitrifikasi dan denitrifikasi.

2. Tanaman

Tanaman adalah komponen terpenting yang berfungsi sebagai pendaur ulang bahan
pencemar dalam air limbah untuk menjadi biomassa yang bernilai ekonomis dan menyuplai
oksigen ke dasar air atau ke dalam substrat yang berkondisi anaerobik. Tanaman
menggunakan energi matahari untuk menggerakan reaksi biokimia di dalam selnya,
sehingga manusia tidak perlu lagi memasok energi listrik dalam proses pembersihan air
limbah (Khiatuddin, 2003). Tanaman pada lahan basah buatan berperan:

a. Penyedia oksigen bagi proses penguraian zat pencemar


b. Media tumbuh dan berkembangnya mokroorganisme

c. Penahan laju aliran sehingga memudahkan proses sedimentasi padatan, membantu


proses filtrasi (terutama bagian perakaran tanaman) dan mencegah erosi.

d. Penyerap nutrient dan bahan-bahan pencemar lainnya

e. Pencegah pertumbuhan virus dan bakteri pathogen dengan mengeluarkan zat-zat


tertentu semacam antibiotik.

Tanaman air yang biasa digunakan di dalam lahan basah buatan dan telah terbukti
mempunyai kemampuan baik dalam proses pengolahan air limbah/air tercemar dapat
dikelompokkan menjadi:

a. Tanaman yang mencuat ke permukaan air (emergent aquatic macrophyte),


merupakan tanaman air yang berakar dibawah air dan berdaun di atas air.

b. Tanaman yang mengambang dalam air (submergent aquatic macrophyte),


merupakan tanaman air yang keseluruhannya berada di dalam air.

c. Tanaman yang mengapung di permukaan air (floating plant), merupakan tanaman


yang mempunyai akar di dalam air dengan daun di atas air.

3. Substrat/media

Substrat/media berperan sebagai tempat menempelnya mikroorganisme sehingga


memperluas permukaan sistem lahan basah buatan. Selain itu, substrat juga berperan untuk
menyokong tumbuhan air, membantu proses filtrasi (terutama pada lahan basah buatan
beraliran bawah permukaan/subsurface flow) dan menampung sedimen. Jenis substrat
sangat mempengaruhi waktu detensi, oleh karena itu pemilihan substrat yang tepat sangat
menentukan keberhasilan sistem dalam mengolah air limbah. Menurut Kurniadie (2011)
substrat/media tumbuh tanaman merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam
instalasi penjernih limbah cair. Hal ini disebabkan karena proses biologi, kimia dan fisika
dalam penjernihan limbah cair terjadi pada substrat yang ditanami dengan berbagai macam
tumbuhan gulma air emergent. Jenis substrat yang digunakan sangat berpengaruh pada
efisiensi pembersih dari instalasi pengolahan limbah cair.Sebelumnya banyak instalasi
pengolahan limbah cair yang menggunakan tanah sebagai substrat (media tumbuh) tetapi
banyak menimbulkan masalah terutama adanya aliran permukaan, pertumbuhan gulma air
emergent yang kurang baik serta efisiensi pembersih yang kurang baik. Beberapa fungsi
dari media tumbuh atau substrat adalah sebagai berikut (Kurniadie, 2011) :

a. Media tumbuh gulma air emergent merupakan tempat menempel mikroorganisme


anaerob (dan atau anoxic juka terdapat nitrat) untuk dekomposisi bahan organik
pencemar.

b. Mempengaruhu retention time (waktu tinggal).


c. Memberikan kesempatan bagi mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan
pencemar pada limbah cair.

d. Tersedianya oksigen yang kesemuanya akan berpengaruh pada efisiensi pembersih


dari instalasi pengolahan limbah cair.

4. Kolam air

Kolom air dalam lahan basah buatan berperan penting, karena apabila kolom air
terlalu dalam akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan basah buatan.

G. Keunggulan dan Kelemahan Teknologi Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland)

1. Keunggulan Teknologi Lahan Basah Buatan

Keunggulan teknologi lahan basah dibandingkan dengan fasilitas pembersih air yang
berteknologi konvensional adalah (Khiatuddin, 2003) :

a. Biaya pembangunan dan operasional relatif lebih murah.

b. Mudah dioperasikan dan dirawat, sehingga tidak membutuhkan karyawan

yang berkeahlian tinggi.

c. Menyediakan fasilitas pembersih air limbah yang efektif dan dapat diandalkan.

d. Relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar sebagai

akibat fluktuasi hidrologis dan jumlah bahan pencemar yang memasuki

sistem.

e. Dapat menghilangkan senyawa beracun (termasuk logam berat) yang tidak

dapat dibersihkan oleh fasilitas konvensional.

f. Bahan pencemar di dalam air dapat di daur ulang untuk menjadi biomassa

yang bernilai ekonomis.

g. Cocok dikembangkan di permukiman kecil dimana harga tanah relatif murah

dan air limbah berasal dari rumah tangga.

h. Menyumbangkan keuntungan yang tidak langsung bagi lingkungan seperti

kawasan hijau, habitat satwa liar, kawasan rekreasi dan pendidikan.

2. Kelemahan Teknologi Lahan Basah Buatan


Namun demikian teknologi lahan basah juga memiliki beberapa kelemahan jika

dibandingkan dengan fasilitas pembersih air limbah yang menggunakan teknologi

konvensional. Kelemahannya adalah :

a. Memerlukan areal tanah yang luas untuk dapat menghasilkan air yang relatif

bersih.

b. Kriteria desain dan operasi masih belum jelas.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari isi makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Sistem lahan basah buatan (constructed wetland) adalah salah satu teknologi
pengolahan air limbah dengan konsep natural treatment.

2. Tipe sistem lahan basah buatan ada 2 yaitu : tipe aliran permukaan (free water
surface flow) dan tipe lairan bawah permukaan (subsurface water flow).

3. Prinsip dasar pada sistem lahan basah buatan yaitu proses pengolahan limbah pada
lahan basah buatan dengan proses secara fisika, kimia maupun biologi.

4. Komponen sistem lahan basah buatan yaitu mikroorganisme, tanaman, susbstrat atau
media, dan kolam air.

B. Saran

Adapun saran untuk makalah ini adalah diharapkan makalah tentang sistem lahan
basah buatan atau constructed wetland ini dapat berguna dalam menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan teutama di bidang Teknik Lingkungan yang memang akan sering
berhubungan dengan bioremediasi atau bioteknologi lingkungan. 
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Haberl, R., and Langergraber, H., 2002, Constructed wetlands: a chance to solve

wastewater problems in developing countries. Wat. Sci. Technol. 40:11–17.

Halverson, Nancy V., 2004, Review of Constructed Subsurface Flow vs. Surface

Flow Wetlands, U.S. Department of Energy, Springfield, USA.

Jimmy P, 2015. Efektifitas Sistem Lahan Basah Buatan Sebagai Alternatif Pengolahan
Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias Iris Pseudoacorus. Universitas Maritim
Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.

Khiatuddin, M., 2003, Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa

Buatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Kurniadie, Denny. 2011.Teknologi Pengoloahan Air limbah Cair secara Biologis. Widya
Padjajaran.

Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah Buatan


di Indonesia. Wetlands International -Indonesia Programme. Bogor.

Tangahu, B.V. dan Warmadewanthi, I.D.A.A., 2001, Pengelolaan Limbah Rumah

Tangga Dengan Memanfaatkan Tanaman Cattail (Typha angustifolia)

dalam Sistem Constructed Wetland, Purifikasi, Volume 2 Nomor 3, ITS – Surabaya.

Vymazal, J. 2010. Constructed Wetlands for Wastewater Treatment, Journal Water 2010, 2,
530-549, ISSN 2073-4441
LAHAN BASAH BUATAN SEBAGAI PENGOLAH
LIMBAH CAIR DAN PENYEDIA AIR NON-
KONSUMSI

Siti Qomariyah1, Sobriyah2, Koosdaryani3, dan Adi Yusuf


Muttaqien4
1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: siti.qomariyah@ft.uns.ac.id

2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: sobriyah@ft.uns.ac.id

3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: koosdaryani@gmail.com

4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: adiyusuf2013@gmail.com

ABSTRAK
Pencemaran air telah menjadi issu global terutama di kota-kota besar. Instalasi pengolah air
limbah konvensional membutuhkan biaya tinggi. Lahan basah buatan yang lebih fleksibel
dan ekonomis mulai banyak diterapkan sebagai teknologi hijau untuk mengolah limbah
cair. Tulisan ini menguraikan tipe dan komponen lahan basah buatan dan menyajikan hasil
uji eksperimen pengolahan limbah cair jenis greywater. Lahan basah buatan dalam studi ini
menggunakan media filter pasir dan kerikil serta tanaman air jenis Cyperus papyrus.
Pengolahan greywater terhadap parameter TSS, pH, BOD, COD, Minyak & Lemak, dan
Deterjen menghasilkan prosentase penyisihan berkisar antara 95,47% – 99,89%. Besaran
konsentrasi polutan di oulet, yang merupakan hasil pengolahan greywater, memenuhi
standar baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 5 tahun 2014, dan Peraturan
Pemerintah no. 82 tahun 2001 kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman dan atau
peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kata kunci: lahan basah buatan, greywater, penyediaan air, teknologi hijau

1. PENDAHULUAN

Isu global yang sedang berkembang terkait masalah air adalah pencemaran air, kekurangan air, dan
degradasi sumber-sumber air. Hal tersebut menjadi problem serius akibat akumulasi aktifitas manusia
yang cenderung merusak lingkungan dan meningkatnya jumlah penduduk terutama di negara-negara
berkembang (Vymazal, 2010; Wu et al., 2015). Di banyak negara berkembang, 90% limbah cairnya
dibuang langsung ke sungai, danau, atau laut tanpa diolah terlebih dahulu (UN Habitat, 2008). Di
Indonesia, sungai-sungai telah mengalami pencemaran. Pada tahun 2015, hampir 68% kualitas air sungai
di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat (KLHK, 2016). Penyumbang terbesar (60%)
pencemaran air pada sistim sumber-sumber air (air permukaan dan air tanah) di kota- kota di Indonesia
adalah akibat limbah domestik, karena limbah (jenis greywater) langsung dibuang ke selokan tanpa
pengolahan (treatment) terlebih dahulu sebelum masuk ke sungai-sungai atau badan air (Hendrawan et
al., 2013). Hal tersebut diperkuat oleh WWAP (2012) yang menyatakan bahwa limbah domestik
penduduk kota merupakan sumber pencemaran yang signifikan. Untuk limbah dometik jenis blackwater
(limbah kakus), TWB (2013) melaporkan bahwa di Indonesia rumah-rumah penduduk kota dan area
bisnis telah menggunakan septicktank untuk pengolahannya. Meskipun sudah ada kriteria desain
septicktank, namun tidak adanya ‘enforcement’ terhadap pembuatan septicktank yang memenuhi syarat
standar teknis, maka septicktank berpotensi tidak optimal (retal/pecah). Hal tersebut mengakibatkan
cairan dalam septicktank merembes dan mencemari air tanah. Mengingat air sungai dan air tanah
merupakan sumber air bersih yang dikonsumsi mayoritas masyarakat, maka pencemaran sumber air
tersebut membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dengan sistim terpusat (centralized) telah dibangun di 12 kota di
Indonesia (Medan, Prapat, Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Banjarmasin, Surakarta, Bali,
Balikpapan, Tangerang, dan Batam), namun ke 12 IPAL tersebut baru melayani 10% dari penduduk
Indonesia (Hendrawan et al., 2013). IPAL sistim terpusat atau sistim konvensional tersebut berbiaya
tinggi karena membutuhkan biaya besar dalam pengadaan lahan, pembangunan kolam-kolam aerasi,
pengolah lumpur, rotasi-biologi, pengadaan mesin-mesin mekanik, biaya operasional, biaya energy,
memerlukan operator terlatih, biaya sistim perpipaan, dan membutuhkan perencanaan dan
pembangunan yang relatif lama. Sistim konvensional dan terpusat tersebut sangat mahal bagi negara
berkembang yang selama ini pembangunannya mengandalkan bantuan/hutang dari luar negeri.

Di negara berkembang, fasilitas pengolahan limbah hanya dapat berkelanjutan dengan kriteria biaya
ekonomis dan menggunakan teknologi tepat guna; dan sistim Lahan Basah Buatan atau Constructed
Wetland System (CWs) merupakan teknologi pengolahan limbah yang memenuhi kriteria tersebut
(Kivaisi, 2001). CWs berbiaya relatif rendah dan berwawasan lingkungan yang berdasarkan pada konsep
lahan basah alami (Kadlec dan Wallace, 2009). Mengingat praktek pembuangan limbah domestik di
Indonesia mayoritas sudah memisahkan antara blackwater dan greywater, maka pengolahan greywater
berpotensi untuk dapat dilakukan di rumah-rumah tinggal, apartemen, maupun di kawasan
bisnis/perkantoran. Pengolahan dan pemanfaatan kembali greywater dengan menerapkan CWs sebagai
bagian dari konsep ekologi sanitasi (ecosan) masih merupakan konsep baru, namun hal tersebut sudah
diterapkan di negara-negara maju (Hoffmann et al., 2011). Di Indonesia, penerapan CWs tersebut belum
banyak dilakukan. Tulisan ini menguraikan tipe dan komponen CWs dan menyajikan hasil uji eksperimen
pengolahan greywater yang telah dilakukan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Greywater
Greywater adalah limbah cair dari semua aktifitas rumah / bangunan selain dari toilet (kakus).
Karaktersitik greywater dipengaruhi oleh gaya hidup penghuni rumah seperti budaya memasak/makanan,
volume penggunaan air, dan jenis bahan-bahan pembersih rumah tangga yang digunakan (Erickson et al.,
2002). Berdasar riview Pidou, M. et al (2007) terhadap 64 pengolahan greywater di negara-negara maju,
pemanfaatan hasil olahan greywater adalah untuk penyiraman tanaman, penggelontoran toilet,
pembersihan di luar rumah, laundry, dan infiltrasi.

Lahan basah buatan (constructed wetlands = CWs)

CWs merupakan sistim enjinering pengolahan limbah cair yang menirukan proses alam dalam
memperbaiki kualitas air dengan menyisihkan polutan yang terkandung di dalam air limbah melalui
proses fisik (penyaringan dan sedimentasi), proses biologi (pertumbuhan mikroba dan tanaman air), dan
proses mekanik (Kadleck dan Knight, 1996). Proses dinamis yang terjadi di dalam CWs melibatkan
beberapa unsur antara lain: air, media filter atau substrate (pasir, kerikil, atau media filtrasi lainnya),
tanaman air (macrophyte), litter (daun atau batang tanaman yang gugur), dan beragam mikroorganisme
(Kadlec dan Wallace, 2009). Dengan demikian, CWs merupakan sistim yang komplek dan sulit dipahami
karena proses fisik, biologi, mekanik dan bahkan kimia terjadi secara aktif dan masing-masing komponen
saling mempengaruhi, maka CWs selama ini disebut sebagai “black boxes” (Langergraber et al., 2013).
Kelebihan teknologi CWs dibanding teknologi lainnya adalah mengolah greywater sekaligus
menciptakan estetika lingkungan, yang dikenal dengan istilah ecosan (ekologi sanitasi), dimana teknologi
ini menggunakan tanaman air sebagai salah satu media pengolahan limbah (Hoffmann et al., 2011).
Dalam beberapa literature, istilah lain dari constructed wetland (CW) antara lain: man-made, engineered,
artificial, atau treatment.

Sistim CWs pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan Jerman: Dr. K. Seidel - pada dekade 1960
(Vymazal, J., 2008). Hingga saat ini sistim CWs telah diterapkan di beberapa negara maju antara lain
Denmark (Brix dan Arias, 2007), Jerman (Hoffmann et al., 2011), dan beberapa negara maju lainnya
(Vymazal, J., 2010). Sistim CWs belum diterapkan secara persuasif di negara-negara berkembang
(khususnya di negara beriklim tropis dan sub-tropis) dimana pengendalian polusi dan pelestarian
lingkungan hidup belum banyak mendapat perhatian. Namun, di negara- negara berkembang seperti
Mesir (Elzein et al., 2016), Mexico (Merino et al., 2015), dan China (Wu et al., 2015), beberapa
penelitian dan penerapan CWs sudah mulai dipublikasikan. Di Indonesia, penerapan sistim CWs untuk
pengolahan greywater belum banyak diketahui.
Komponen CWs

Komponen CWs terdiri dari air, media lolos air (substrate), tanaman air, dan mikroorganisme yang
tumbuh di dalam lahan basah. Komponen air menghubungkan semua fungsi di dalam lahan basah, dan
efisiensi pengolahan limbah di CWs tergantung pada sifat-sifat air (limbah cair) yang bersangkutan.
Komponen media lolos air yang digunakan biasanya substrate alami seperti pasir, kerikil, atau pecahan
batu. Substrate tersebut disyaratkan bersih, keras, durabel, dan tidak berubah bentuk untuk menjaga
permeabilitas tanah dalam jangka panjang (USEPA, 2000). Fungsi substrate antara lain sebagai media
tumbuh bagi tanaman air, mensuport transformasi biologi dan kimia, memfasilitasi pergerakan aliran
limbah, menjadi media pertumbuhan microorganisme dengan membentuk biofilm di permukaan
substrate, membantu menyisihkan partikel halus melalui sedimentasi, adsorbsi, dan filtrasi (Kadlec and
Wallace, 2009). Lapisan media bertindak sebagai filter mekanik dan filter biologi. Filter mekanik
menyaring polutan suspended dan microbial solid, sedangkan polutan organik diserap oleh biofilm.
Melalui proses biologi, semua kandungan organik dihancurkan oleh mikroorganisme yang tumbuh pada
permukaan partikel tanah/pasir dan akar- akar tanaman air (Hoffmann et al., 2011). Komponen tanaman
air merupakan komponen utama dalam ekosistim lahan basah di alam, termasuk lahan basah buatan
(Vymazal, 2011). Karena keberadaan tanaman air tersebut, sistim lahan basah (CWs) disebut dengan
green technology. Meskipun tanaman air merupakan komponen utama di dalam ekosistim lahan basah,
pengolahan limbah mencakup beragam proses fisik, kimia, biologi, dan proses diantara tanaman-media
substrate-mikroorganisme.
Tanaman yang digunakan dalam CWs adalah tanaman yang terdapat di perairan atau lahan basah seperti di
bantaran sungai atau rawa. Terdapat 4 kelompok tanaman air berdasarkan bentuk atau lokasi pertumbuhannya,
yaitu: emergent plants, floating leaved plants, submerged plants, and free floating plants. Tanaman emergent
tumbuh pada tanah yang jenuh air. Sebagian dari batang tanaman berada diatas tanah dan terendam air, sisanya
di udara bebas. Tanaman floating leaved mempunyai akar di tanah yang submerged, semua batangnya berada di
dalam air. Tanaman submerged tumbuh dengan batang & daun di dalam air. Tanaman free floating tidak berakar di
media tanah. (Kadlec and Wallace, 2009). Berdasarkan Vymaxal (2011), tanaman tipe emerged yang paling sering
digunakan dalam CWs tipe sub-surface flow adalah Phragmites australis (di Europe, Canada, Australia, Asia, dan
Africa), kemudian tanaman jenis Typha (di America Utara, Australia, East Asia, dan Africa. Menurut Hoffmann et al.
(2011), jenis tanaman air yang bisa digunakan di daerah beriklim hangat seperti Asia, Afrika, Amerika Selatan
antara lain jenis Papyrus (Cyperus papyrus), Umbrella (Cyperus albostriatur), Dwarf papyrus (Cyperus haspens),
Small bamboo, Typa latifolia, Canna lily, Calla lily, dan jenis Vetifer. Dari jenis tanaman air tersebut yang bersifat
tanaman dekoratif adalah Cyperus papyrus, Bamboo, dan Canna lily, Calla lily.

Tipe lahan basah buatan

Terdapat dua macam tipe lahan basah, yaitu: Free Water Surface (FWS) atau Surface Flow (SF), dan
SubSurface Flow (SSF). Pada sistim SF, aliran air berada di atas permukaan tanah. Pada sistim SSF,
permukaan air berada di bawah muka tanah. Berdasarkan arah aliran limbah, terdapat dua tipe SSF, yaitu
arah horizontal dan arah vertikal (Kadlec dan Wallace, 2009) seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Tipe Surface Flow (Kadlec & Wallace, 2009)

(a) (b)
Gambar 2. (a) Tipe Horizontal SubSurface Flow; (b) Tipe Vertical SubSurface Flow (Morel & Diener, 2006)

Polutan dan proses penyisihannya di dalam CWs


Beberapa parameter polutan dan proses penyisihannya di dalam CWs disajikan pada tabel berikut
(Hoffmann et al., 2011).

Tabel 1. Polutan dan proses penyisihannya dalam


CWs Polutan Proses Penyisihan
Suspended solid (TSS)  Filtrasi, dekomposisi oleh bakteri sepanjang masa retensi

 Penyisihan material organik oleh proses sedimentasi atau filtrasi


Material organik
(diukur sebagai
COD/BOD) kemudian menjadi BOD terlaut

 Organik terlarut terperangkap pada biofilm dan disisihkan melalui


proses degradasi dengan adanya bakteri (biofilm di akar-akar tanaman,
batang, dan partikel pasir, dll.)
Nitrogen  Nitrifikasi dan denitrifikasi pada biofilm, dan diserap oleh
tanaman (pengaruhnya terbatas)
Phosporus  Retensi/adsorpsi di tanah dan penyisiran tanaman (pengaruhnya
terbatas)
Pathogen  Filtrasi, adsorpsi, dimakan oleh protozoa, mati dalam masa
retensi, degradasi oleh ultra violet
Logam berat  Sedimentasi dan adsorpsi
Kontaminan organik lain  Adsorpsi oleh biofilm, dekomposisi dalam masa retensi
Sumber: Hoffmann et al., 2011

Desain luas permukaan CWs

Desain luas permukaan CWs yang berdasarkan pendekatan empirik (rules of thumb), yaitu luas
permukaan (m2 luas) per m3 limbah dan dinyatakan dengan per person equivalent (PE) antara lain
terdapat pada beberapa sumber sebagai berikut:
Tabel 2. Parameter desain luas permukaan CWs (m2/PE) berdasar pendekatan
empirik
CWs
Sumber CWs
Horizontal Keterangan
Vertika
l
Brix and Arias (2005) < 3,2 Guide di Denmark
UN-Habitat (2008) 1-2 0,8-1,5 -
Hoffman et al., (2011) 3 1, Iklim sedang >
2 20oC Iklim dingin
8 < 10oC
4
Luas permukaan CWs yang dihitung berdasar simple first-order decay models yang mengacu pada persamaan yang
digunakan dalam desain limbah domestik (wastewater: greywater+blackwater) pada sub-surface flow (SSF)
diturunkan oleh Kadlec and Knight (1996) sebagai Persamaan 1).

As = x ln (1)

dengan As = luas area wetlands (m2), Q = rerata debit aliran limbah (m3/hr), C i = influen BOD5 (mg/l), Ce
= target efluen BOD5 (mg/l), C* = konsentrasi polutan acuan BOD=3,5 + 0,053 C i dan k = konstanta laju
pada tahap pertama (m/hr).

Pre-Tretament

Sebelum greywater diolah di dalam CW, pre-treatment diperlukan untuk mengendapkan suspended solid
atau partikel-partikel besar seperti seperti sobekan kertas tisu, remahan sisa makanan, dan lain-lain. Pre-
treatment dilakukan untuk menghindari adanya penyumbatan karena penggumpalan (clogging) partikel-
partikel kasar tersebut dan dapat dilakukan secara mekanik dengan menggunakan screen, atau saringan
dari pasir, atau grease trap (Hoffmann et al., 2011).

Penyisihan Pathogen dalam CWs


Penyisihan semua unsur polutan telah dilakukan di negara-negara maju, namun di negara berkembang
masih mengutamakan penyisihan pada unsur pathogen -yang biasa diindikasikan dengan tingkat bakteri
coli-, kandungan organik, dan nutrient (Kivaisi, 2001). Penyisihan bakteri coli mencapai lebih besar dari
99% merupakan criteria desain CWs yang diinginkan (Kadlec dan Knight, 1996). Penyisihan pathogen,
unsure organik, dan nutrient dari limbah domestik merupakan kebutuhan mendasar bagi terciptanya sistim
sanitasi kota yang bersih dan lingkungan hidup yang aman bagi kesehatan masyarakat (Langergraber
2013).

3. METODE PENELITIAN

Penelitian di lakukan di Kota Surakarta selama bulan Juli sampai dengan Desember 2015. Sampling
greywater dari rumah tunggal dan perumahan dilakukan dengan metode pengambilan contoh air limbah
berdasar SNI 6989.59 – 2008. Uji kualitas sampel greywater dilakukan di laboratorium untuk mengetahui
karakteristik limbah greywater rumah tangga tersebut.

Penelitian eksperimental pengolahan greywater dilakukan di halaman percobaan rumah tunggal di


Kalurahan Manahan, Surakarta. Sistim lahan basah buatan dibuat dengan menggunakan CWs tipe
horizontal subsurface flow dengan dimensi 1.7m x 0.7m x 0.7m (panjang x lebar x tinggi). Bak reaktor
CWs tersebut dibuat dari material galvanum. Media substrates terdiri dari material pasir dan kerikil
dengan kedalaman media 50cm. Media kerikil dengan diameter 1-3cm diatur sepanjang 20 cm pada zona
inlet dan outlet. Media pasir dengan diameter ≤ dari 0,5 cm dengan permeability 5.48 x 10 -5 cm/detik
mengisi zona pertumbuhan tanaman air sepanjang 130 cm. Tanaman air yang digunakan adalah jenis
Cyperus papyrus yang ditanam dengan interval 25 cm. Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor CWs, pasir
dan kerikil serta akar-akar tanaman dicuci untuk menghilangkan unsur-unsur bawaan dari lokasi asal.
Proses pertumbuhan tanaman dan penyesuain di lingkungan baru (di dalam CWs) dilakukan hingga
tanaman tumbuh ± 60cm. Proses aklimatisasi tanaman terhadap greywater di dalam bak CWs dilakukan
dengan mengalirkan greywater dengan konsentrasi yang bertahap, dari 25% hingga 100% selama empat
minggu. Sebelum dialirkan ke dalam bak CWs, greywater yang berasal dari rumah tunggal secara
mekanik dimasukkan ke dalam tanki sedimentasi. Dengan masa tinggal limbah di dalam bak CWs
(hydraulic retention time) selama satu hari, dua hari, dan tiga hari, sampling dilakukan terhadap influen
(aliran masuk ke CWs) dan effluen (aliran keluar dari CWs). Kualitas sampel-sampel greywater tersebut
kemudian di uji di laboratoruim UPT FMIPA UNS Surakarta dan Laboratorium Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan & Pengendalian Penyakit (BBTKL&PP) Yoyakarta. Parameter uji meliputi
Temperatur, Total Suspended Solid (TSS), pH, Minyak dan Lemak, Biochemical Oxygen Demand
(BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Deterjen. Kualitas hasil olahan greywater berdasar uji
laboratorium dibandingkan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI nomor 5 tahun 2014 tentang
Baku Mutu Air Limbah, dan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas greywater yang berasal dari dua perumahan dan satu rumah tunggal di Kota Surakarta dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Parameter greywater pada perumahan dan rumah tunggal di Surakarta
Baku Mutu Baku Mutu Perum. Perum. Rumah di
Parameter Sat *PM LH **PP kls IV Fajar Indah Nilagraha Manahan
o
Temperatur C - 26,1 26,1 26,00
TSS mg/l 100 775,0 45,0 7.435,00
pH - 6-9 5-9 6,6 6,5 8,92
Minyak/lemak mg/l 10 4,8 2,6 8,60
BOD mg/l 100 12 120,0 40,2 4.089,00
COD mg/l - 100 325,7 112,8 11.686,00
Keterangan:
*Peraturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI nomor 5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah,

**Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(kelas IV).

Tabel diatas menunjukkan bahwa greywater di Perumahan Fajar Indah dan rumah tunggal di Kalurahan
Manahan mengandung polutan TSS dan BOD yang melebihi standar baku mutu PerMen. LH no.5 tahun
2014. Konsentrasi BOD yang rendah di Perumahan Nilagraha disebabkan titik sampling berada cukup
jauh dari outlet perumahan. Berdasar Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001, kandungan COD di tiga
lokasi tersebut melebihi batas baku mutu
air Kelas IV (lebih besar dari 100 mg/l), dengan demikian limbah greywater tersebut tidak dapat
digunakan langsung sebagai air untuk mengairi tanaman. Kualitas ke tiga sampel greywater tersebut
sesuai dengan hasil pemantauan kualitas air sungai-sungai di Kota Surakarta yang dilakukan oleh Badan
Lingkungan Hidup Kota Surakarta yang menghasilkan bahwa air sungai-sungai di dalam Kota Surakarta
mengalami pencemaran (BLH, 2015).

Kinerja sistim pengolahan greywater dengan CWs tipe horizontal dan prosentase penyisihan polutan
dapat dilihat pada tabel berikut. Uji laboratorium dilakukan terhadap sampel greywater di inlet (sebelum
diolah) dan di outlet (setelah diolah) dalam CWs dengan HRT (hydraulic retention time) selama 1 hari, 2
hari, 3 hari.

Tabel 4. Parameter greywater di inlet & di outlet dengan HRT 1, 2, dan 3 hari
Mutu
Parameter Sat Mutu Penyisiha Outle Penyisiha Outle Penyisiha
PM LH PP kls Inlet
n t2 n t3 n
IV Outl % hari % hari %
et 1
hari
TSS mg/l 100 280,00 0,00 100,00 5,00 98,21 5,00 98,21
Ph - 6-9 5-9 6,29 6,23 6,12 6,25
BOD mg/l 100 12 68,90 2,79 95,95 1,85 97,31 1,42 97,93
COD mg/l - 100 527,93 19,17 96,36 14,17 97,32 3,83 99,27
NH3-N mg/l - - 11,13 0,11 99,01 0,11 99,01 0,02 99,82

Hasil pengolahan greywater tersebut diatas menunjukkan bahwa sebelum diolah, parameter TSS melebihi
baku mutu. Setelah diolah selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari, penyisihan TSS berturut-turut dapat mencapai
100%, 98,21%, dan 98,21%. TSS di outlet yang jauh dibawah 100 mg/l menunjukkan CWs tersebut
sangat efisien menyisihkan material suspended solid. Penyisihan BOD, COD, dan amoniak (NH3-N)
dapat mencapai lebih dari 95%. Konsentrasi BOD dan COD di outlet memenuhi standar baku mutu dan
masuk kriteria sebagai air yang dapat digunakan untuk mengairi tanaman; bahkan, masuk kriteria air
kelas II (BOD < 3mg/l dan COD < 25mg/l), yaitu air untuk kebutuhan mengairi tanaman, sarana dan
prasarana rekreasi air, budidaya ikan, dan peternakan.

Mengacu pada hasil yang tidak jauh berbeda antara HRT 1 hari, 2 hari, dan 3 hari tersebut di atas,
pengujian selanjutnya menggunakan HRT selama 1 hari dengan tenggang waktu istirahat selama kurang
lebih 12 hari. Hal tersebut diperlukan untuk membersihkan media dari bekas limbah sebelumnya. Hasil
pengujian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Parameter greywater sebelum di olah & setelah diolah dengan HRT 1
hari

Mut Mutu
Parameter Uji ke-1 Uji ke-2 Uji ke-3
u PP
3&4 15 & 16 26 & 27
PM kls
Sat Nov’15 Nov’15 Nov’15
LH IV
Inlet Outlet % Inlet Outlet % Inlet Outlet %
o
Temp. C - - 26,90 27,20 23,20 24,20 26,40 26,30
TSS mg/l 100 461,00 2,00 99,56 238,00 2,00 99,16 222,00 10,00 95,47
Ph - 6-9 5-9 5,17 6,89 6,10 6,50 5,29 6,82
BOD mg/l 100 12 496,00 9,49 98,08 850,20 17,20 97,98 528,70 2,19 99,58
COD mg/l - 100 1254,00 26,64 97,87 1862,50 37,20 98,00 1252,00 6,10 99,51
Deterjen mg/l 76,41 0,11 99,86
M&Lemak mg/l 10 - 2,20 3,60 4,80 2,60

Hasil uji laboratorium di atas menunjukkan bahwa penyisihan parameter TSS dapat maksimal, mencapai
95.47% hingga 99.56% dengan rata-rata penyisihan of 98.06%. TSS di outlet tinggal 2-10 mg/liter yang
jauh berada dibawah ambang batas 100 mg/l (Per.Men.LH), bahkan dibawah 30 mg/liter berdasar standar
yang disyaratkan untuk air tanaman oleh US Environmental Protection Agency [US EPA, 2000). Untuk
parameter pH, semua percobaan sesuai kriteria baku mutu, yaitu antara 6-9. Penyisihan parameter BOD
dapat maksimal, mencapai 97.98% hingga 99.58% dengan rata-rata penyisihan of 98.55%. Kandungan
BOD di outlet pada uji pertama 9,49mg/l dan uji ketiga 2,19 mg/l, besaran ini memenuhi standar mutu
Per.Men LH dan PP untuk kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman. Namun, pada uji ke dua,
meskipun penyisihan mencapai 97,98%, besaran di outlet sebesar 17,20 mg/l. Besaran ini lebih besar dari
yang disyaratkan untuk mengairi tanaman berdasar PP kelas IV, namun masih masuk standar US
Environmental Protection Agency (US EPA, 2000). Untuk parameter COD, penyisihan mencapai 97,98%
hingga 99,51% dengan rata-rata penyisihan mencapai 98,46%. Konsentrasi COD di outlet untuk semua
pengujian berada jauh dibawah 100mg/l (mutu air kelas IV), bahkan dibawah 50mg/l (mutu air kelas III),
maka efluen tersebut dapat digunakan untuk mengairi tanaman dan atau peruntukan lain yang
mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut seperti air untuk bersih-bersih di outdoor
atau untuk penggelontoran toilet. Penyisihan kandungan deterjen mencapai 99,86%. Dengan demikian,
deterjen yang selalu digunakan dalam kegiatan mencuci dapat dinetralisir melalui sistim lahan basah
buatan. Untuk parameter minyak & lemak, terjadi peningkatan pada sampel pertama dan penurunan pada
sampel lainnya. Berdasar PP no. 82 tahun 2001, ambang batas minyak & lemak dan deterjen tidak
disyaratkan untuk air kelas IV. Air untuk tanaman merupakan pengeluaran terbesar dalam penyediaan
kebutuhan air; dan air bagi tanaman tidak membutuhkan kualitas air setinggi kualitas untuk air baku
untuk kebutuhan air minum (WHO, 2015). Dengan demikian, hasil olahan greywater dengan sistim CWs
dapat mengurangi kebutuhan pasokan air bagi rumah tinggal maupun area komunal yang membutuhkan
suplei air untuk tanaman/berkebun atau kebutuhan lain di out-door.

Tanaman air Cyperus papyrus yang digunakan dalam bak CWs hingga akhir penelitian mencapai
ketinggian kurang lebih 100cm seperti ditunjukkan pada Gambar 3a berikut. Tanaman tersebut termasuk
tanaman dekoratif sehingga menciptakan green-view bagi lingkungannya. Hal tersebut merupakan salah
satu kelebihan dari sistim pengolahan limbah dengan CWs dibandingkan dengan teknologi pengolahan
limbah lainnya. Contoh penerapan CWs di rumah tinggal di Nepal dan di kawasan komunal di Kuching,
Malaysia dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.

(a) (b) (c)


Gambar 3: (a) CWs dalam studi ini; (b) CWs di kawasan komunal di Kuching, Malaysia (Morel and
Diener, 2006);
(c) CWs di rumah tinggal di Nepal (Morel and Diener, 2006).

5. KESIMPULAN

Lahan Basah Buatan atau Constructed Wetlands (CWs) dengan media filter pasir dan kerikil serta
tanaman air jenis Cyperus papyrus mampu mengolah limbah greywater rumah tangga (parameter TSS,
pH, BOD, COD, Minyak & Lemak, dan Deterjen) dengan prosentase penyisihan berkisar antara 95,47%–
99,89%. Besaran konsentrasi polutan di oulet, yang merupakan hasil pengolahan greywater, memenuhi
standar baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 4 tahun 2014, dan Peraturan Pemerintah no.
82 tahun 2001 kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut seperti untuk bersih- bersih di outdoor dan atau untuk
penggelontoran toilet. Air hasil pengolahan greywater tersebut jika dibuang ke saluran-saluran dapat
menetralisir pencemaran air tanah dan air permukaan (sungai). Penggunaan tanaman air di dalam sistim
Lahan Basah Buatan memberikan green space di rumah-rumah tunggal atau green public view di lahan-
lahan komunal. Konsep Lahan Basah Buatan tidak hanya mengatasi problem pencemaran lingkungan,
melainkan juga menyediakan sumber air non-konsumsi dan menciptakan kawasan hijau ramah
lingkungan. Dibanding teknologi konvensional, sistim Lahan Basah Buatan lebih ekonomis, fleksibel, dan
operasionalnya mudah.
REFERENSI
BLH - Badan Lingkungan Hidup. (2015). Pemantauan Kualitas air Sungai di Kota Surakarta. BLH Kota Surakarta.

Brix, H. and Arias, C.A. (2005). “The use of vertical flow constructed wetlands for on-site treatment of
domestic
wastewater: new Danish Guidelines”. Ecological Engineering. 25. 491-500.

Brix, H. and Arias, C.A. (2007). “Twenty years experiences with constructed wetland system in Denmark
– what
did we learn?”. Water Science & Technology. Vol. 56, No. 3, 63-69.

Eriksson, E., Karina A., Mogen H., Anna L. (2002). “Characteristic of grey wastewater”. Urban Water 4,
85-104.
Elzein, Z., Abdou, A., Elgawad, A. (2016). “Constructed wetlands as asustainable wastewater treatment
method in communities”. Procedia Environmental Sciences. 34, 605-617
Hoffman, H., Platzer, M., Winker, M., and Muench, E. (2011). Technology review of constructed wetlands.

Deutsche Geselischatft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.


Hendrawan, D., Widanarko, S., Moersisik, S., Triweko, RW. (2013). “Evaluation of centralizrd
WWTP and the need of communal WWTP in supporting community-based sanitation in
Indonesia”. European Scientific Journal. Vol.9, No.17, e-ISSN 1857-7431.
KLHK-Kementrian Lingkungan Hidup dan Kelautan. (2016). “Air sungai di Indonesia tercemar
berat”. Litbang
Kompas. http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/05. Diakses 1 September 2016.
Kadleck, RH and Wallace, SD. (2009). Treament Wetlands 2nd Edition. CRC Press, Taylor & Francis
Group. Kadlec, RH and Knight, RL. (1996). Treatment Wetlands. Lewis Publisher, New York.

Kivaisi, A. 2001. The Potential of Constructed Wetlands for Wastewater Treatment and Reuse in
Developing Country. Ecology Engineering. 16 (4): 545-560
Langergraber, G. (2013). “Are constructed treatment wetlands sustainable sanitation
solutions?” Water Science & Technology. Vol 67, 2133-2140.
Morel, A and Diener, S. (2006). Greywater Management in Low and Middle Income Countries: Review of
different treatment systems for households and neighbourhoods. Sandec Report No 14/6. Swiss
Federal Institute of Aquatic Science and Technology. Dubendorf. Switzerland.

Merino-Solis, M., Villegas, E., De Anda, J., dan Lopez, A. (2015). "The effect of hydraulic
retention time on the
performance of an ecological wastewater treatment system”. Water. 7, 1149-1163.
Pidou, M., Memon, FA, Stephenson, T., Jeffersen, B., Jeffrey, P. (2007). “Greywater recycling: treatment
options and applications”. Proceeding of the Institution of Civil Engineering Sustainability. Vol
160. Issue ES3. Hal 119-131.

TWB (The World Bank). 2013. East Asia Pacific Region Urban Sanitatin Review: Indonesia Country Study.

Australian Aid.
UN-HABITAT (2008). Constructed Wetlands Manual. United Nation Human Settlement
Programme. ISBN Number: Vol.978-92-1-131963-7. www.unhabitat.org Diakses
September 2015.
US EPA (2000). Constructed Wetlands Treatment of Municipal Wastewaters. EPA. 625/R-99/010. United
States.

Vymazal, J. (2008). “Constructed wetlands for treatment: a Riview”. Proceedings of Taal: The
12th World Lake Conference: 965-980.
Vymazal, J. (2010). Constructed Wetlands for Wasterwater Treatment, Water, 2, 530-549.
Vymazal, J. (2011). “Plants used in constructed wetlands with horizontal subsurface flow: a
review”.
Hydrobiologia, 674, 133-156..

Wu, H., Zhang, J., Ngo, HH, Guo, W., Hu, Z., Liang, S., Fan, J., and Liu, H. (2015). “A review
on the sustainability of constructed wetlands for waste water treatment: design and
operation”. Bioresources Technology. 175. 594-601.
WWAP (Word Water Assessment Programme). (2012). Managing Water under Uncertainty and Risk.
UNESCO –

Report 4. Paris.
WHO – regional office for South-East Asia. (2004). Minimum Water Quantity Needs for
Domestic Uses. Technical Note 9. www.who-int/water_sanitation_health. Diakses
September 2015.
EFEK MORFOLOGI PENYISIHAN POLUTAN PADA AIR
TERPRODUKSI DENGAN SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
TERHADAP TANAMAN TYPHA LATIFOLIA

Sondang Ita Aprilya1, David Andrio2, dan Shinta Elystia2


1
Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan, 2Dosen Program Studi Teknik
Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Riau
Kampus Binawidya Jl. HR. Soebrantas KM. 12,5 Pekanbaru Kode Pos 28293 e-
mail: sondangitaa94@gmail.com

ABSTRACT

Produced water has a complex composition and more than 40% is discharged
into the environment. Constructed wetlands is one of the water produced
treatment systems that use vegetation, media, and microorganisms for
pollutants removal. The objectives of this research were to determine the effect
of pollutants removal for Typha Latifolia morfology. Subsurface constructed
wetlands is used in this study. The reactor is made with gravel, sand, and soil
medium and uses Typha Latifolia as a plant. This research consist of detention
time 1,3,5,7,9 day. The experimental result shows that 9 days of detention time,
Typha Latifolia has average growth rate 31 cm and weight gain was 0,6 kg.

Keywords: Constructed wetland, Subsurface flow, Typha latifolia

PENDAHULUAN organik dan anorganik. Kuantitas air


Indonesia merupakan negara terproduksi juga menjadi problema
yang memiliki potensi sumber daya dalam pengolahannya. Lebih dari 80%
alam yang sangat melimpah seperti total volume limbah yang dihasilkan
minyak bumi yang berperan penting industri minyak merupakan air
dalam menopang perekonomian nasional terproduksi (Hayes, 2010).
(Husna, 2014). Keberadaan minyak Lahan basah buatan merupakan
bumi akan mendasari terjadinya sistem pengolahan air limbah yang
kegiatan eksploitasi dan akan didesain secara terencana atau terkontrol
menghasilkan limbah dalam bentuk dengan menggunakan proses alami dan
padat, cair dan gas. Salah satu limbah melibatkan vegetasi, media, dan
minyak bumi yang berpotensi mikroorganisme (Vymazal dan
mencemari lingkungan adalah air Kropvelova, 2008). Mekanisme
terproduksi (produced water). Air penyisihan polutan pada lahan basah
terproduksi merupakan air produk buatan dapat dilakukan melalui proses
sampingan yang terbawa ke atas pada abiotik (fisika dan kimia), proses biotik
saat pengambilan minyak dan gas bumi (mikrooorganisme dan tanaman) atau
(PERMEN LH No.19 Tahun 2010). gabungan dari kedua proses tersebut
Air terproduksi memiliki (ITRC, 2003)
komposisi yang kompleks dan dapat
diklasifikasikan menjadi senyawa
Berdasarkan jenis alirannya,
lahan basah buatan dibedakan menjadi sebagai salah satu teknologi dalam
lahan basah buatan tipe aliran bawah pengolahan air terproduksi (Ji dkk,
permukaan (ABP) dan aliran permukaan 2002).
(AP). Lahan basah buatan dengan sistem
ABP terdiri dari kolam dengan substrat METODOLOGI PENELITIAN
berpori seperti batu atau kerikil dengan Bahan Dan Alat
tujuan limbah didesain melewati media.
Lahan basah buatan tipe AP adalah Bahan yang digunakan dalam
kolam yang berisi tanah atau media penelitian ini adalah air terproduksi,
lainnya untuk mendukung akar tanaman tanaman Typha latifolia, kerikil ukuran 8
(jika diperlukan) dan air dengan mm, pasir kasar ukuran 2 mm dan tanah.
kedalaman yang relatif dangkal Alat yang digunakam dalam penelitian
(Vymazal dan Kropvelova, 2008). ini adalah reaktor yang terdiri dari
Typha latifolia sangat cocok sebuah bak berbahan plastik berdimensi
untuk pengolahan dengan sistem lahan P x L x T = 50 cm x 36 cm x 31 cm.
basah buatan. Phragmites spp dan Reaktor yang digunakan
Typha spp adalah tanaman rawa yang sebanyak 2 unit masing-masing
mampu menyerap nutrien secara efektif. menggunakan waktu detensi 1,3,5,7 dan
Tanaman ini memiliki biomassa yang 9 hari. Tipe lahan basah buatan pada
tersimpan didalam daun, batang dan akar reaktor A dan B masing-masing adalah
(Wang dkk, 2010). Berdasarkan hal ini, jenis aliran ABP dan kontrol. Reaktor
lahan basah buatan dapat digunakan dipasang dengan
memasukkan kerikil setebal 5 cm, lalu
dilanjutkan dengan pasir setebal 5 cm
dan tanah setebal 20 cm.

Gambar 1. Instalasi Reaktor ABP

HASIL DAN PEMBAHASAN tanaman 1,5 gr/cm2. Setelah dilakukan


Aklimatisasi Typha Latifolia penanaman Typha latifolia, tahap
berikutnya adalah aklimatisasi dengan
Setelah unit lahan basah buatan tujuan untuk menstabilkan dan
siap, dilakukan penanaman Typha menyesuaikan
latifolia dengan kerapatan
keadaan tanaman pada lingkungan
reaktor sebelum memulai penelitian dilihat dari proses pertumbuhan tanaman
utama. yang cepat, kandungan nutrisi yang
Untuk mencegah terjadinya tinggi pada jaringan tanaman, dan
shock loading, maka dilakukan kemampuan tanaman untuk tumbuh
pentahapan pengisian air limbah dengan tinggi dengan tegak. Kondisi ini terlihat
komposisi awal berupa 100% air bersih. pada tanaman Typha latifolia yang
Selanjutnya pada hari kedua digunakan, dimana pada tahap
ditambahkan air limbah dengan aklimatisasi hari ke-4 sudah mulai
komposisisi 20% air limbah dan 80% air tumbuh tunas.
bersih selama 1 hari. Hal ini dilakukan Pertumbuhan Typha latifolia
terus sampai hari keenam dimana berlangsung sangat cepat, dimana pada
komposisi menjadi 100% air limbah. akhir tahap penelitian tanaman tersebut
Pada hari ketujuh, reaktor dialiri air tumbuh sangat tinggi dan tegak. Selain
bersih selama 2 jam, kemudian itu, terdapat penambahan berat tanaman
dilanjutkan dengan penelitian utama Typha latifolia yaitu 0,6 kg pada reaktor
(Evasari, 2012). ABP. Namun pada penelitian ini tidak
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
Morfologi Typha Latifolia mengetahui kandungan nutrisi yang
terdapat pada bagian tanaman.
Menurut Vymazal dkk.,
(1998), proses plant uptake dapat

Tabel 1. Data Morfologi Typha Latifolia pada Reaktor ABP

Jumlah Jumlah Tinggi Tanaman Lebar Daun


Waktu
Batang Daun (cm) (cm)
aklimatisasi 20 5 84 0,4
Hari Pertama 24 6 88 0,4
Hari ke-3 29 6 93 0,4
Hari ke-5 34 6 100 0,4
Hari ke-7 34 7 110 0,4
Hari ke-9 36 7 115 0,4

KESIMPULAN SARAN
1. Pada akhir tahap penelitian rata- Saran pada penelitian selanjutnya agar
rata pertambahan tinggi tanaman dapat dilakukan penelitian lebih lanjut
Typha latifolia adalah 31 cm. untuk mengetahui kandungan nutrisi
2. Terdapat penambahan berat yang terdapat pada bagian tanaman.
tanaman Typha latifolia yaitu 0,6
kg selama penelitian.
Jenis Waktu Detensi
Aliran Aklimatisasi 1 Hari 3 Hari 5 Hari 7 Hari 9 Hari

Aliran
Bawah
Permukaa
n (ABP)

Gambar 2. Pertumbuhan Typha Latifolia Selama Penelitian


DAFTAR PUSTAKA
EPA. 1993. Subsurface Flow Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Constructed Wetlands for Hidup Nomor
Wastewater Treatment. United 19 Tahun 2010 Tentang Baku
States of America (USA): Mutu Air Limbah Bagi Usaha
Environmental dan/atau Kegiatan Minyak dan
Protection Agency (EPA). Gas serta Panas Bumi.
Evasari, J. 2012. Pemanfaatan Lahan Vymazal, J & Kropfelova, L. 2008.
Basah Buatan dengan Wastewater Treatment in
Menggunakan Tanaman Typha
Latifolia untuk Mengelola Constructed Wetland with
Limbah Cair Domestik (Studi Horizontal Sub-Surface Flow.
Kasus: Limbah Cair Fakultas Environmental
Teknik Universitas
Indonesia). Skripsi. Pollution, Volume 14.
Universitas Indonesia.
Depok. Wang, L.K., Tay, J.H., Lee Tay,
Hayes, 2010. Produced Water S.T., & Hung, Y.T. 2010.
Management: Challenges and Environmental
Solutions. E&P Center Gas Bioengineering.Humana
Technology Institute. Press. Volume 11. New
Husna, C.A. 2014. Kontribusi Dana
Bagi Hasil Minyak dan Gas York
Bumi Terhadap Anggaran
Pendapatan Belanja
Kabupaten (APBK) Aceh
Utara Kaitannya dengan
Kemiskinan. Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 3 Nomor 2.
ITRC. 2003. Technical and Regulatory
Guidance
Document for Constructed
Treatment Wetlands. The
Interstate Technology &
Regulatory Council
Wetlands Team.
Ji, G.D., Sun, T.H., Zhou, Q.X., Sui, X.,
Chang, S.J., & Li, P.J.
2002. Constructed
Subsurface Flow Wetland for
Treating Heavy Oil- Produced
Water of the Liaohe Oilfield in
China. Ecological
Engineering, 18,
459-465.
PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN LAHAN
BASAH BUATAN MENGGUNAKAN RUMPUT PAYUNG
(CYPERUS ALTERNIOFOLIUS)

Devianasari A. dan Rudy Laksmono


Progdi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Email : rlwidayatno@yahoo.com

ABSTRAK
Air limbah yang tidak terolah merupakan salah satu penyebab pencemaran. sistem
pengolahan air limbah (IPAL) yang sederhana dapat digunakan untuk mengolah air limbah
dengan konsentrasi bahan pencemaran yang tidak terlalu besar. Penelitian pengolahan limbah
domestik ini menggunakan tanaman rumput payung. Penelitian ini bertujuan mengetahui
tingkat efisiensi penurunan kadar Biochemical oxygen demand (BOD), TSS dan pH yang
terkandung dalam limbah domestik setelah melalui Constructed Wetland. Pengaruh dan
potensi tanaman telah dipelajari melalui pengamatan efisiensi pengolahan air limbah dan efek
air limbah terhadap kualitas air hasil pengolahan serta pertumbuhan tanaman. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa dengan menggunakan tanaman rumput payung dalam sistem
lahan basah buatan dapat menyisihkan kandungan pencemar dalam air limbah dengan waktu
sampling 1 sampai dengan 5 hari, efisiensi penyisihan BOD 44,4% - 90,5% , TSS 18,2 % - 90,2 %
dan pH 5,6 – 7,9. Pengolahan air limbah dengan sistem lahan basah buatan memberikan
beberapa keuntungan. Selain penerapannya sangat mudah dan ramah lingkungan, pengolahan
air limbah dngan sistem ini akan menghasilkan air pengolah dengan kualitas yang sesuai
dengan baku mutu air limbah domestik.

Kata kunci : Pengolahan air limbah, Tanaman

ABSTRACT

The untreated wastewater is one of the cause of contamination the simple treatment
system of wastewater ( IPAL ) can be used to treat the wastewater with the medium
concentrate of the contamination material. This domestic waste treatment research use
cyperus alternifolius as the sample of object. This research is conducted to determine the
decereasing efficiency level of Biochemical oxygen demand ( BOD ) , TSS and pH content of the
domestic waste after being trated in the constructed wetland. The influence and the potential
of the plant have been learnt through the analysis of the wastewater treatment efficiency and
the effect of the wastewater to the quality of the treatment outcome water and the growth of
the plant. The result of the experiment shows that by using cyperus alternifolius in the
constructed wetland system can eliminated the contamination content of the wastewater in
one up to BOD 44,4 % - 90,5 % , TSS 18,2 % - 90,2 % and pH 5,6 – 7,9. The treatment of the
wastewater using constructed wetland provide some aadvantages. It is not only easy to be
applied and safe for the enviroment, but also provide the water treatment with standard
quality of the domestic wastewater from the wastewater treatment of this system.

Key words : Wastewater treatment, plant


PENDAHULUAN (Constructed wetland) yang diharapkan
Volume air limbah domestik dapat menurunkan BOD, TSS dan pH air
meningkat 5 juta m3 pertahun, dengan limbah domestik. Menurut penelitian yang
peningkatan kandungan rata-rata 50% dilakukakan oleh Supradata bahwa tanaman
(Yusuf, 2008). Peningkatan volume air rumput payung (Cyperus alternifolius)
limbah ini menyebabkan menurunnya dapat meremoval air limbah domestik
kualitas badan air yang selama ini dijadikan dengan baik
sumber air penduduk.
Banyaknya air limbah yang tidak TINJAUAN PUSTAKA
terolah merupakan salah satu penyebab
Air limbah domestik adalah cairan
pencemaran, karena kandungan zat
buangan dari rumah tangga, industri
pencemar yang terkandung pada air limbah
maupun tempat – tempat umum lain yang
domestik melebihi baku mutu dan tidak
mengandung bahan yang dapat
sesuai dengan Keputusan Menteri
membahayakan kehidupan manusia maupun
Lingkungan Hidup No. 112 tahun 2003
makhluk hidup lain serta mengganggu
tentang baku mutu air limbah domestik.
kelestarian lingkungan. Menurut Peraturan
Salah satu alternatif sistem pengolahan
Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001
air limbah tersebut adalah Sistem Lahan
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Basah Buatan (Constructed Wetlands). Ada
Pengendalian Pencemaran Air, pada ayat 14
2 (dua) jenis Lahan Basah Buatan, yaitu
disebutkan bahwa Air Limbah adalah sisa
jenis aliran permukaan (SurfaceFlow) dan
dari suatu usaha dan atau kegiatan yang
aliran bawah permukaan (Sub Surface
berwujud cair.Secara prinsip air limbah
Flow). Namun mengingat bahwa jenis
domestik terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
aliran permukaan (Surface Flow) dapat
air limbah yang terdiri dari air buangan
meningkatkan populasi nyamuk disekitar
tubuh manusia yaitu tinja dan urine (black
lokasi IPAL, maka aliran bawah permukaan
water) dan air limbah yang berasal dari
(Sub Surface Flow) lebih layak digunakan
buangan dapur dan kamar mandi (gray
sebagai alternatif sistem pengolahan air
water), yang sebagian besar merupakan
limbah domestik di Indonesia. Prinsip kerja
bahan organic.
sistem pengolahan limbah tersebut dengan
memanfaatkan tumbuhan air. 1. Karakteristik Limbah Domestik
Berdasarkan morfologi dari tanaman Karakteristik air limbah dapat diukur
rumput payung (Cyperus alternifolius) dengan melihat sifat-sifatnya yang
sangat cocok untuk pengolahan dengan meliputi sifat fisik, kimia, dan
sistem Constructed Wetland. Tanaman biologi.
rumut payung (Cyprus alternifolius) a. Sifat Fisik
memiliki sistem perakaran yang banyak
Parameter pengolahan, meliputi;
yang dapat menyerap zat organik di bagan
temperatur, total solid, warna, bau
air. Sedangkan tumbuhan sangat banyak
dan kekeruhan.
dan tumbuh subur di sekitar Surabaya
Penelitian dilakukan untuk mengetahui b. Sifat Kimia
kemampuan tanaman rumput payung Parameter pengolahan, meliputi;
(Cyperus alternifolius) dalam sistem lahan senyawa organik, anorganik dan gas.
basah buatan c. Sifat Biologi
Parameter pengolahan, meliputi;
kandungan mikroba, tumbuhan
dan hewan yang dapat hidup
a. Lahan Basah Alamiah (Natural
didalamnya.
Wetland)
Menurut El khobar,dkk yang ditulis Sistem ini umumnya merupakan suatu
dalam Sugiharto (2009) komposisi tipikal sistem pengolahan limbah dalam area
dari air limbah domestik, antara lain yang sudah ada secara alami, contohnya
daerah rawa. Kehidupan biota dalam
Tabel 1. Komposisi Air Limbah Domestik Lahan Basah Alamiah sangat beragam.
Konsentrasi Tipikal b. Lahan Basah Buatan (Constructed
Parameter
(mg/ l) (mg/ l) Wetland)
Total Solid 300 – 1.200 700 Sistem Pengolahan direncanakan,
Settleable Solid 50 – 200 100
untuk debit limbah, beban organik,
Suspended Solid 100 - 400 220
Dissolved Solid 250 – 850 500 kedalaman media, jenis tanaman,
BOD5 100 – 400 250 dll, sehingga kualitas air limbah yang
COD 200 – 1.000 500 keluar dari sistem tersebut dapat
N total ( N ) 15 – 90 40
N organic 5 – 40 25
dikontrol atau diatur sesuai dengan
Amoniak 10-50 25 yang dikehendaki oleh pembuatnya.
Nitrit 10 – 50 25 Secara umum sistem pengolahan
Phospor total (P) 5 - 20 12 limbah dengan Lahan Basah Buatan
P organic 1–5 2
(Constructed Wetland) ada 2 (dua)
P anorganik 5 – 15 10
pH 7 – 7,5 7 tipe, yaitu sistem aliran permukaan
Calsium 30 – 50 40 (Surface Flow Constructed Wetland)
Chlorida 30 – 85 50 atau FWS (Free Water System) dan
Sulfat 20 – 60 15
sistem aliran bawah permukaan
Sumber : El khobar dalam Sugiharto (2009)
(Sub-Surface Flow Constructed
Wetland) atau sering dikenal dengan
2. Lahan Basah Buatan (Constructed sistem SSF-Wetlands. (Supradata,
Wetland ) 2005)
Sistem Lahan Basah Buatan
(Constructed Wetlands) merupakan 3. Sistem Aliran Bawah Permukaan
proses pengolahan limbah yang meniru
atau aplikasi dari proses penjernihan air (SSF – Wetland)
yang terjadi dilahan basah atau rawa Sistem Aliran Bawah Permukaan (Sub
(Wetlands), dimana tumbuhan air Surface Flow - Wetlands) merupakan
(Hydrophita) yang tumbuh didaerah sistem pengolahan limbah yang relatif
tersebut memegang peranan penting masih baru, namun telah banyak diteliti
dalam proses pemulihan kualitas air dan dikembangkan oleh banyak negara
limbah secara alamiah (self dengan berbagai alasan. Menurut
purification). Tangahu & Warmadewanthi (2001),
bahwa pengolahan air limbah dengan
Pada prinsipnya Sistem Lahan Basah sistem tersebut lebih dianjurkan karena
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori beberapa alasan sebagai berikut :
dan secara skematis dapat digambarkan a. Dapat mengolah limbah
sebagai berikut : domestik, pertanian dan sebagian
limbah industri termasuk logam
berat.
b. Efisiensi pengolahan tinggi (80 Proses penurunan polutan dalam bentuk
%). bahan organik tinggi, merupakan
c. Biaya pengoperasian dan nutrient bagi tanaman. Melalui proses
pemeliharaan murah dan tidak dekomposisi bahan organik oleh jaringan
membutuhkan ketrampilan yang akar tanaman akan memberikan
tinggi. sumbangan yang besar terhadap
penyediaan C, N, dan energi bagi
4. Prinsip Dasar pada Lahan Basah kehidupan mikrobia.
Buatan Aliran Bawah Permukaan Menurut Tangahu dan
(Sub Surface Flow – Wetland) Warmadewanthi dalam Supradata, (2005),
Proses pengolahan limbah pada Lahan menyebutkan bahwa jumlah oksigen yang
Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan dilepaskan oleh tanaman Hydrophyta
(SSF-Wetlands) dapat terjadi secara sebesar 12 g O2/m2/hari, dengan sistem
fisik, kimia maupun biologi. Proses perakaran tiap batangnya mempunyai 10
secara fisik yang terjadi adalah proses akar adventif, dimana tiap akar adventif
sedimantasi, filtrasi, adsorpsi oleh media berisi 600 akar lateral. Sedangkan menurut
tanah yang ada. Dengan adanya proses Hindarko (2003), menyebutkan bahwa
secara fisik ini hanya dapat mengurangi berdasarkan pengalaman, kadar oksigen
konsentrasi COD & BOD solid maupun yang dipasok melalui daun, batang maupun
TSS, sedangkan COD & BOD terlarut akar tanaman yang terdapat dalam SSF-
dapat dihilangkan dengan proses Wetlands rata-rata sebesar 20 g O2/m2/hari.
gabungan kimia dan biologi melalui Pada gambar berikut ini dapat dilihat secara
aktivitas mikroorganisme maupun rinci bahwa system perakaran tanaman air
tanaman. (Menurut Wood dalam (Rhizosfer) yang menghasilkan oksigen
Tangahu & Warmadewanthi, 2001). Hal akan membentuk zona aerob dan yang jauh
tersebut dinyatakan juga oleh (Haberl dari sistem perkaran tersebut akan
dan Langergraber 2002), bahwa proses membentuk zona anaerob.
eliminasi polutan dalam air limbah
terjadi melalui proses secara fisik, kimia METODE PENELITIAN
dan biologi yang cukup komplek yang
terdapat dalam asosiasi antara media, 1. Bahan
tumbuhan makrophyta dan
Limbah yang digunakan dalam
mikroorganisme, antara lain :
penelitian ini adalah air limbah domestik
a. Pengendapan untuk zat padatan dari Kantin Pusat UPN “ Vetaran”
tersuspensi Jatim.
b. Filtrasi dan pretipitasi kimia pada
media 2. Media Lahan Basah
c. Transformasi kimia Sebagai media lahan basah digunakan
d. Adsorpsi dan pertukaran ion tanah, pasir dan kerikil.
dalam permukaan tanaman
maupun media 3. Tanaman
e. Transformasi dan penurunan
Tanaman yang digunakan adalah
polutan maupun nutrient oleh
mikroorganisme maupun jenis tanaman Rumput Payung (Cyperus
tanaman Alternifolius). Jenis Tanaman Rumput
f. Mengurangi mikroorganisme Payung (Cyperus Alternifolius)
pathogen
mempunyai daya tahan yang cukup kuat Efisiensi Penyisihan BOD dengan
dan tidak mudah mati serta mempunyai Media Tanaman Air
akar serabut yang sangat lebat sehingga
penyerapan terhadap bahan pencemar Data hasil penelitian penenyisihan
terhadap unsur hara yang dibutuhkan konsentrasi BOD pada air limbah domestik
relative besar. setelah melalui bak reaktor dengan variasi
umur tanaman dan waktu sampling adalah
4. Constructed Wetland sebagai berikut :
Konstruksi bak ini yaitu dengan
ukuran 60cm x 30cm x 30cm. Tabel 3. Efisiensi Penyisihan BOD Dengan
Variasi Waktu Sampling (hari) dan
5. Metode Umur Tanaman (minggu)
Penelitian ini dilakukan di luar Waktu Sampling (Hari)
ruangan, karena membutuhkan sinar Umur 1 2 3 4 5
tanaman
matahari dan ketersediaan oksigen yang % % % % %
cukup. Proses aklimatisasikan selama Kontrol 3,5 18,1 39,6 51,1 57,7
1 minggu 44,4 57,4 56,8 55,8 68,3
14 hari agar tanaman meyerap beban 2 minggu 65,2 67 47,3 64,3 79,5
organik terlalu berlebihan. Tiap bak reaktor 3 minggu 69,6 59,7 55,4 78,4 82,5
terdapat tanaman dengan variabel umur 4 minggu 72 77,8 76,5 82,6 83
tanaman 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, 4 5 minggu 73,4 77,3 87 89,4 90,5
minggu dan 5 minggu. Setiap hari dianalisa Sumber : Hasil Analisa Penelitian
BOD, pH, dan TSS selama 5 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari Tabel 4.1 diatas penurunan BOD


tertinggi terjadi pada bak reaktor umur
Karakteristik air limbah yang sebelum tanaman 5 minggu dengan waktu sampling
diolah yaitu : 5 hari sebesar 90,5%. Sedangkan prosentase
terendah terjadi pada bak reaktor tanpa
Tabel 2. Karakteristik limbah domestik
tanaman yaitu 3,5%. Menurut Supradata
Limbah (2005), Bahwa Penurunan konsentrasi
Parameter Baku mutu bahan organik karena adanya mekanisme
domestik
BOD 451,6 mg/l aktivitas mikroorganisme dan tanaman,
pH 5,6 melalui proses oksidasi bakteri aerob yang
TSS 430 mg/l tumuh disekitar rhizosphere tanaman.
Prosentase rata–rata penurunan konsentrasi
Berdasarkan data yang tertera bahwa BOD pada bak reaktor umur tanaman 1
kualitas air limbah domestik harus minggu adalah 56,72%, umur tanaman
dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke 2 minggu
badan air, karena konsentrasi tersebut adalah 63,86%, untuk umur tanaman 3
masih di atas baku mutu yang di minggu adalah 69,82%, umur tanaman
perbolehkan sesuai dengan surat keputusan 4 minggu adalah 76,96%, dan umur
Menteri Negara Lingkungan Hidup no 112 tanaman 5 minggu adalah 81,98%.
th 2003. Pada waktu sampling 2 hari terjadi
kenaikan penurunan BOD sebesar 77,9
% dan pada hari ke 3 pada umur tanaman 2
dan 3 minggu mengalami penurunan
efisiensi penyisihan BOD sebesar 47,3%
dan 55,4% dan meningkat lagi pada waktu
sampling 4
hari menjadi 64,3% dan 78,4%. Hal yang
constructed wetland pada air limbah
menyebabkan penurunan kandungan limbah
menjadi tersebut yaitu salah satu faktornya rumah tangga mencapai 47,4% dan
adalah ketersedian oksigen untuk proses tanaman air yang digunakan adalah
biologis. Jika oksigen dalam akar tercukupi
typha angustifolia pada waktu
maka mikroorganisme maka
mikroorganisme yang berperan penguraikan sampling
limbah juga semakin besar. Menurut Wood
dalam Aditya (2010), saat air limbah 3 hari. Jika dibandingkan dengan penelitian
melewati partikel tanah dalam waktu sebelumnya, pada penelitian kali ini
detensi tertentu, memberi kesempatan mendapatkan hasil efisiensi penyisihan
partikel solid mengendap. Dengan adanya BOD yaitu, antara 40% - 90% dengan
proses pengendapan ini, maka akan waktu sampling 1 samapai 5 hari dan
mengurangi kebutuhan oksigen pada tanaman air yang digunakan adalah cyperus
pengolahan biologis berikutnya. alternifolius.
Pengolahan Secara aerob berlangsung
di dalam zona akar dan di bagian atas Efisiensi Penyisihan TSS dengan Media
sedimen, sedangkan pengolahan secara Tanaman Air
anaerob berlangsung pada bagian bawah Data hasil penelitian penurunan
sedimen atau terkadang berlangsung di
konsentrasi TSS pada sampel air limbah
dalam air apabila suplai oksigen telah habis
terpakai. Semakin banyak dan dalam domestik setelah melalui bak reaktor
jaringan akar dalam tanah, semakin luas dengan umur tanaman dan waktu sampling
zona rhizosphere yang tercipta, sehingga adalah sebagai berikut :
kemampuan rawa untuk mendukung
organisme mikro semakin meningkat Tabel 4. Efisiensi Penyisihan TSS Dengan
(Khiatuddin dalam aditya, 2010). Menurut Variasi Waktu Sampling (hari) dan
Edy (2002), udara tanah menempati bagian
Umur Tanaman ( minggu )
pori-pori makro antara agregat sekunder
tanah. Udara tanah tersebut sangat penting Waktu Sampling (Hari)
artinya bagi pernafasan akar tanaman dan Umur
1 2 3 4 5
Tanaman
kegiatan jasad hidup dalam tanah. Terutama % % % % %
jasad hidup dalam tanah yang aerobik Kontrol 18,2 36,4 45,5 63,6 72,7
1 minggu 68,2 72,7 81,8 81,8 81,8
sangat membutuhkan oksigen untuk 2 minggu 18,2 45,2 54,5 81,8 90,9
menunjang aktivitasnya menguraikan bahan 3 minggu 41,7 50 50 75 83,3
organik. Secara umum efektivitas 4 minggu 21,4 50 57,1 71,4 85,7
pengolahan air limbah dengan sistem lahan 5 minggu 33,3 50 66,7 83,3 83,3
basah buatan yang dilengkapi dengan Sumber : Hasil Analisa Penelitian
pertumbuhan tanaman terbukti cukup
tinggi.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Berdasarkan data Tabel 4.2 maka
oleh Aditya (2010) didapatkan efisiensi
penyisihan BOD dengan menggunakan didapat efisiensi penyisihan TSS
sistem tertinggi sebesar 90,9% pada bak
reaktor umur tanaman 2 minggu
dengan waktu sampling 5 hari.
Sedangkan prosentase terendah terjadi
di bak reaktor kontrol tanpa tanaman,
yaitu sebesar 18,2%. Hal ini
dikarenakan perbedaan porositas media
yang dibentuk oleh sistem perakaran
tanaman dalam reaktor (Supradata,
2005). Penurunan kandungan TSS di
dalam air limbah domestik yang melalui
proses lahan basah buatan (Constructed
Wetland) berupa bak reaktor, lebih
besar penurunannya dengan
adanya tanaman sebagai penyerap lebih maksimal yaitu, antara 81,8% - 90,9%
kandungan TSS di limbah . Prosentase dengan waktu detensi 1 sampai 5 hari dan
rata – rata penurunan konsentrasi TSS tanaman air yang digunakan adalah cyperus
alternifolius.
pada bak reaktor umur tanaman 1 Mekanisme penurunan kandungan
minggu adalah 77,2%, umur tanaman TSS pada lahan basah ini terjadi melalui
2 proses fisik seperti sedimentasi dan
minggu adalah 58,1%, umur tanaman 3 filtrasi. Proses sedimentasi terjadi
minggu adalah 60%, umur tanaman 4 dikarenakan air limbah harus melewati
minggu adalah 57,1%, dan umur tanaman 5 jaringan akar tanaman yang cukup
minggu adalah 63,3%. Penurunan
kandungan TSS adanya proses sedimentasi panjang sehingga partikel-partikel yang
dan filtrasi dalam lapisan media tanam pada melewati media dan zona akar dapat
teknologi rawa buatan ( constructed mengendap (Wood dalam Aditya 2010).
wetland ).
Dengan waktu detensi yang lebih
Pada bak reaktor umur tanaman 1
minggu dengan waktu sampling 5 hari panjang maka padatan mempunyai
efisiensi penyisihan TSS sebesar 81,8%. kesempatan lebih besar mengendap.
Bak reaktor umur tanaman 5 minggu Penghilangan padatan dengan filtrasi
dengan waktu sampling 5 hari efisiensi
penyisihan TSS sebesar 83,3%. Hal ini terjadi karena air limbah melewati
disebabakan sistem perakaran di reaktor media yang berpori sehingga padatan
tidak selalu dapat menghambat laju partikel tertahan dalam pori-pori media.
solid yang dibawa pola aliran limbah,
sehingga partikel padatan masih lolos. Struktur akar tanaman, misalnya
Sistem perakaran tanaman dalam reaktor Phragmites juga menyediakan jalur
tidak tumbuh secara merata pada masing- infiltrasi melalui lapisan atas media
masing reaktor, sehingga pola aliran limbah
tidak membentuk aliran sumbat yang sama sehingga memastikan bahwa
untuk masing- masing reaktor. (Supradata, permukaan media filter tidak
2005) mengalami clogging.
Pada hari ke 5 media tanam pada
masing–masing reaktor mengalami
penurunan dari 17 cm menjadi 13,5 cm
sehingga unsur hara yang terkandung di Efisiensi Kondisi pH dengan Media
dalam air limbah diserap melalui pori– pori Tanaman Air
akar tanaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Aditya Pada tanaman rumput payung,
(2010) didapatkan efisiensi penyisihan TSS didapatkan hasil pengukuran pH yang
dengan menggunakan sistem lahan basah ditabelkan sebagai berikut :
(constructed wetland) pada air limbah
rumah tangga mencapai 50% dan tanaman Tabel 5. Pengaruh Waktu Sampling (hari) dan
air yang digunakan adalah typha Variasi Umur Tanaman (minggu)
angustifolia pada waktu sampling 3 hari. terhadap pH.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Supradata (2005) didapatkan efisiensi Umur Waktu Sampling (Hari)
Tanaman 1 2 3 4 5
penyisihan TSS sebesar 57,1% pada waktu
Kontrol 7,1 7,2 7,2 7,2 7,2
sampling 1 hari. Hasil penelitian didapatkan 1 minggu 6,4 6,7 7,4 7,1 7,1
efisiensi penyisihan TSS 2 minggu 6,5 6,6 7,7 7,3 7,2
3 minggu 6,9 7,2 7,2 7,2 7,2
4 minggu 7,9 7,8 7,6 7,4 7,3
5 minggu 6,8 6,9 7,5 7,5 7,1
Sumber : Hasil Analisa Penelitian

Proses penguraian oleh tanaman yang


dibantu mikroorganisme pada daerah akar
berpengaruh pada tingkat keasaman atau
kebasaan pada proses
pengolahan air limbah domestik hari ke 2. Peningkatan pH yang terjadi pada
menggunakan media tanaman air. Untuk percobaan ini lebih tinggi jika dibandingkan
menghindari peningkatan derajat keasaman dengan percobaan yang dilakukan
pada proses pengolahan, selain melakukan sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya
pengamatan pada efisiensi penyisihan bahan perbedaan kemampuan tanaman dalam
organik pada air limbah dilakukan menyerap zat organik yang ada pada air
pengontrolan pada proses pengolahan ini. limbah. Sebagaimana diketahui bahwa pada
Berdasarkan Tabel 4.3 didapatkan data pH 6 – 9, kehidupan mikroorganisme dalam
pengaruh waktu tinggal terhadap perubahan suatu tanah dapat berlangsung secara
pH pada media tanaman lahan basah, pH normal, baik kehidupan hewan maupun
mengalami penurunan pada pengolahan air biota-biota lainnya dalam tanah, dan pH
limbah domestik dengan menggunakan juga mempengaruhi kemampuan
tanaman rumput payung. Pada umur mikroorganisme dalam mengatur fungsi
selular, transport membrane dan
tanaman 1 minggu terjadi penurunan dari
kesetimpangan reaksi katalis, kebanyakan
hari ke 1 sampai dengan hari ke 3 . Hal ini bakteri tumbuh dengan baik pada pH
di pengaruhi oleh kemampuan tanaman sedikit basa (Cookson dalam Wibowo,
dalam menyerap bahan organik yang ada 2011). karena kondisi tersebut proses-
pada air limbah. Sedangkan pada hari ke 4 proses kimia dan mikrobiologis yang
dan ke 5 terjadi kenaikan nilai pH. Hal ini menghasilkan senyawa yang berbahaya bagi
di karenakan kemampuan tanaman dalam kehidupan biota serta kelestarian
lingkungan tidak terjadi. Dengan demikian,
penyerap bahan orgaik mengalami
maka pH air limbah domestik yang telah
penurunan. Begitupun pada umur tanaman memenuhi syarat aman dilepas ke
1 minggu, 2 minggu, 4 minggu, dan 5 lingkungan.
minggu juga terjadi penurunan pH.
Nilai pH yang terus meningkat setiap KESIMPULAN
kali dilakukan pengukuran pada media
tanam diakibatkan adanya proses Dari hasil penelitian dan pembahasan
penguraian senyawa organik, antara lain: yang telah diuraikan dapat disimpulkan
mo bahwa :
a. Pengolahan air limbah domestik
Bahan organik + O2 asam organik + CO2 + dengan sistem lahan basah
(constructed wetland) merupakan
NH3 + H2O
salah satu alternatif dalam proses
NH3 + H2O NH4OH pengolahan air limbah. Karena
proses pengoperasian dan
NH4OH NH 4+ + OH- perawatannya mudah tanpa
mengurangi kualitas effluent yang
NH 4+ + H O2 mo 4 H+ + H O2 + energi dihasilkan.
2 NO2 + O2 NO 3- + energi b. Tanaman air jenis rumput payung
(Cyperus Alternifolius) memiliki
Hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan Pratiwi (2010), dengan kinerja yang cukup baik dalam
menggunakan 2 jenis tanaman yaitu kayu pengolahan air limbah domestik
apu dan teratai mampu menaikkan pH dari dengan sistem lahan basah buatan
6,5 menjadi 7,5 pada hari ke 2 . Sedangkan (Constructed Wetland) dengan
pada penelitian kali ini dengan didapat penyisihan BOD terbaik
menggunakan tanaman rumput payung pH
dari 6,4 menjadi 7,7 pada
sebesar 90,5% pada umur tanaman 5 Lukito A. Marianto, 2004, Merawat dan
minggu dan waktu sampling 5 hari, Menata Tanaman Air, Penerbit
didapat penyisihan TSS terbaik sebesar Agro Media Pustaka, Jakarta.
90,9% pada umur tanaman 2 minggu
waktu sampling 2 hari, didapat
penyisihan pH terbaik pada umur Pratiwi, Yuliniar, 2010 Pengolahan Air
tanaman 5 minggu dari pH awal 6,4 Limbah Domestik Dengan Sistem
menjadi 7,1 dalam waktu Media Tanaman Air (Watewater
sampling 5 hari. Garden). Program Studi Teknil
Lingkungan FTSP UPN “ Jatim”
Veteran
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Wahyu , 2010, Potensi Pengaruh Purwati,dkk. 2007. Potensi Dan Pengaruh
Tanaman Pada Pengolahan Air Tanaman Pada Pengolahan Air
Limbah Domestik Dengan Sistem Limbah Pulp Dan Kertas Dengan
Constructed Wetland. Jurnal ilmiah Sistem Lahan Basah. Jurnal berita
Teknik Lingkungan Vol.2 No.2 Selulosa, Vol. 42 (2). Hal. 45 –
53.
Edy, S 2002 ”Pengolahan Air Limbah
Domestik Supradata. 2005. Penngolahan Limbah
Domestik Menggunakan
Tanaman Hias Cyperus
Menggunakan Medium Tanah alternifolius, L. Dalam Sistem
Dalam Sistem Lahan Basah” Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Tesis Magister Ilmu Lingkungan Permukaan (SSF- Wetlands).
Jurusan Teknik Lingkungan FTSP
Universitas Diponegoro, ITS.
Semarang
Tangahu, B.V. dan Warmadewanthi,
I.D.A.A., 2001, Pengelolaan
El khobar, dkk , 2009, Karakteristik Limbah Rumah Tangga Dengan
Limbah Cair Domestik dan Sistem Memanfaatkan Tanaman Cattail
Penanganannya (Typha angustifolia) dalam Sistem
Constructed Wetland. Jurusan
Teknik Lingkungan FTSP ITS.
Haberl, R., and Langergraber, H., 2002,
Constructed wetlands: a chance to Wardani, D. 2004. Kemampuan Kayu Apu
solve wastewater problems in (Pestisia stratiotes L) Dalam
developing countries. Wat. Sci. Penurunan Konsentrasi BOD dan
Technol. 40:11–17. COD Pada Air Limbah Domestik
Rumah Susun Penjaringan Sari
Hindarko, S., 2003, Mengolah Air Limbah : Rungkut Surabaya. Jurusan Teknik
Supaya Tidak Mencemari Orang Lingkungan UPN ”Veteran” Jatim
Lain, Penerbit ESHA, Jakarta. Wibowo, Hari, 2011 , Pengolahan Air
Limbah Pencuncian Rump
Khiatuddin, M., 2003, Melestarikan Sumber
Daya Air Dengan Teknologi Rawa
Buatan.Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Remediasi Merkuri (Hg) pada Air Limbah Tambang Emas Rakyat dengan Metode Lahan Basah Buatan
Terpadu

Remediation of Mercury (Hg) in Tailing of Artisanal Gold Mines using


Integrated Constructed Wetland Method

HANIES AMBARSARI1* DAN AULIA QISTHI2


1*Balai Teknologi Pengolahan Air dan Limbah (BTPAL) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung 820 Geostech, Kawasan
Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten 15314

2
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
hanies.ambarsari@bppt.go.id

ABSTRACT

An integrated constructed wetland method was applied in this environmental remediation study to reduce the
levels of mercury (Hg) in gold mine tailing with Phragmites australis and microbes in the compost. Wastewater
which was used in this study consisted of original gold mine tailing wastewater that was contaminated by mercury
up to 27 ppb and artificial wastewater consisting of various doses of mercury in 30 ppb, 60 ppb and 90 ppb levels.
The results showed that the efficiency levels of mercury after treatment reached 99.6% in both the original
wastewater as well as 30 ppb wastewater of mercury, while the efficiency levels for wastewater of 60 ppb and 90
ppb levels of mercury reached 99.8%. This study also showed that the highest accumulation of mercury was found
in the roots, with the total accumulation of mercury in Phragmites australis was 3.502mg/kg, 5.102 mg/kg and
12.066 mg/kg in artificial wastewater at 30 ppb, 60 ppb and 90 ppb levels, respectively. The highest accumulation
of mercury in the roots, compared with those at different parts of the plant, can be used as the proof that the
microbes from the compost present at the roots are involved in the mercury accumulation process by the plant.

Keywords: constructed wetland, mercury (Hg), artisanal gold mine, tailing

ABSTRAK
Suatu metode lahan basah buatan terpadu diterapkan pada penelitian remediasi lingkungan dengan
menggunakan tanaman Phragmites australis dan mikroba pada kompos untuk mengurangi konsentrasi
merkuri (Hg) pada air limbah. Air limbah yang digunakan pada penelitian terdiri dari limbah asli tambang
emas rakyat Pongkor dengan konsentrasi 27 ppb dan limbah buatan dengan konsentrasi 30 ppb, 60 ppb
dan 90 ppb. Hasil penelitian menunjukkan tingkat efisiensi penurunan konsentrasi Hg yang dihasilkan
adalah sebesar 99,8% pada air limbah buatan dengan konsentrasi 60 ppb dan 90 ppb, serta sebesar 99,6%
pada air limbah asli dan air limbah buatan konsentrasi 30 ppb. Tingkat akumulasi Hg tertinggi ditemukan
di bagian akar tanaman dengan konsentrasi Hg total pada bagian akar, batang dan daun tanaman
Phragmites australis adalah sebesar 3,502 mg/kg, 5,102 mg/kg dan 12,066 mg/kg pada air limbah buatan
konsentrasi 30 ppb, 60 ppb dan 90 ppb. Lebih tingginya tingkat akumulasi Hg di bagian akar,
dibandingkan dengan bagian lain dari tanaman, dapat menjadi suatu tanda bukti bahwa mikroba dari
kompos yang menempel pada bagian akar tanaman itu juga ikut berperan dalam proses penyerapan Hg
oleh tanaman.

Kata kunci: lahan basah buatan, merkuri (Hg), tambang emas rakyat, tailing

1. PENDAHULUAN yang dihasilkan dari pertambangan adalah material


residu dari proses produksi yang disebut dengan
Salah satu dampak kerusakan lingkungan tailing(1,2). Limbah tailing yang merupakan ampas dari
sisa pengolahan bahan galian pertambangan unsur tersebut adalah tembaga, timah, seng, nikel,
memiliki potensi yang cukup besar dalam besi dan juga Hg(3,4,5).
meningkatkan zat pencemar pada lingkungan. Limbah buangan hasil dari pertambangan
Pada operasi pertambangan emas dan perak tersebut akan menuju badan air terakhir yakni air
berlangsung, sering sekali terdapat beberapa laut. Bioakumulasi senyawa organik Hg dalam
unsur-unsur lain yang hadir dan terlarut dalam air limbah tambang emas dapat ikut terbawa
eksploitasi pertambangan, hingga ke dalam perairan. Hal ini dapat
menyebabkan terakumulasinya senyawa organik
Hg pada tubuh ikan laut, yang dapat
memungkinkan Hg masuk pada rantai makanan,
dan dapat menganggu baik lingkungan maupun
kesehatan manusia(6). Oleh karena itu pengolahan
dalam mengurangi
konsentrasi Hg pada badan air menjadi hal tanaman Phragmites australis.

Tabel 1. Kebutuhan HgCl2 pada penelitian


Konsentrasi Limbah HgCl2
0,03 ppm 0,001 gram
0,06 ppm 0,002 gram
0,09 ppm 0,003 gram
dengan prioritas yang cukup tinggi(7).
Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
pengelolaan agar dapat meminimalisasi potensi Gambar 1. Disain lahan basah buatan
pencemaran Hg pada lingkungan. Metode yang
dapat diterapkan salah satunya adalah melalui 2. BAHAN DAN METODE
metode lahan basah buatan (constructed Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan pada
wetland). Lahan basah buatan adalah salah satu tanaman Phragmites australis, Thypa latifolia dan
cara pengolahan limbah dengan menggunakan Scirpus spp, diketahui bahwa ketiga
prinsip penjernihan air pada lahan basah yang
memanfaatkan tanaman pada prosesnya. Sistem
penjernihan air di lahan basah ini memiliki
prinsip self purification, yaitu tidak ada bahan
kimia yang ditambahkan selama proses
berlangsung(8). Lahan basah buatan terbukti
efektif dalam meningkatkan kualitas air dan
mengurangi konsentrasi pencemar di
dalamnya(9,10).
Sistem lahan basah buatan (constructed
wetlands) dapat terbukti secara efektif dalam
menghilangkan padatan yang tersuspensi, polutan
organik, dan nutrien dari air limbah(11). Menurut
United States Environmental Protection Agency
(US EPA), sistem lahan basah buatan ini pun
dapat mengurangi kandungan organik dalam
limbah hingga 90%(12). Selain itu, sistem lahan
basah buatan ini pun dapat menghemat energi,
biaya pembangunan dan operasional yang lebih
murah, dan dapat membentuk ekosistem baru,
dan memberi nilai estetika pada suatu tempat (13).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui efisiensi pengolahan air limbah
tailing tambang emas dengan menggunakan
remediasi metode lahan basah buatan terpadu
antara tanaman dengan mikroba pada daerah
akarnya (rizosfer). Penelitian ini melakukan
pendekatan kuantitatif dalam rangka
menganalisis tingkat efisiensi penurunan
konsentrasi Hg yang dapat dilakukan oleh
tanaman tersebut berhasil dapat menurunkan pada masing-masing tambang adalah 30 liter.
konsentrasi Hg pada air limbah dengan Pembuatan air limbah buatan dilakukan
akumulasi penyerapan konsentrasi Hg terbesar dengan 3 variasi berdasarkan karakteristik air
dilakukan oleh tanaman Phragmites limbah tailing tambang Pongkor yang telah
australis(14,15). Penelitian lahan basah buatan dilakukan sampling terlebih dahulu. Berdasarkan
dengan menggunakan tanaman Pharagmites data yang diperoleh diketahui bahwa konsentrasi
australis dapat menggunakan pilihan media Hg terendah pada air limbah tailing tambang
kerikil sebagai media tanaman dengan ukuran emas rakyat adalah 0,027 ppm dan Hg tertinggi
diameter kerikil 5-25 mm dengan minimal adalah sebesar 0,083 ppm. Berdasarkan data
ketinggian media adalah 15 cm, yang dapat tersebut, maka variasi air limbah buatan
digunakan dengan media tanah lempung atau ditetapkan sebesar 0,03 ppm, 0,06 ppm dan 0,09
dengan pencampuran pasir dan kerikil.(12) ppm (Tabel 1). Pembuatan air limbah buatan ini
Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa dilakukan dengan melakukan pencampuran
tahap yakni, perancangan lahan basah buatan, sebanyak jumlah milligram Hg yang hendak
pengambilan sampel, pembuatan air limbah dituju dengan 1 liter air, dan kemudian di aduk
buatan dan pengujian karakteristik air limbah. dengan mesin pengaduk. Selanjutnya air limbah
Perancangan lahan basah buatan pada buatan sudah dapat langsung digunakan.
penelitian ini mengacu pada kriteria disain
berdasarkan teori yang telah dibahas di 2.1. Proses Penelitian
berbagai buku tentang lahan basah buatan
(constructed wetlands) (Gambar 1)(16,17). Proses penelitian ini dilakukan secara
Pengambilan sampel air limbah dilakukan bersamaan terdiri dari 3 proses, yakni penurunan
di tambang emas rakyat Kecamatan Nanggung, konsentrasi Hg dengan limbah asli, limbah
Pongkor Jawa Barat. Pengambilan sampel air buatan serta adanya uji positif dan negatif.
limbah dilakukan pada saluran effluent Penelitian ini diawali dengan melakukan
pembuangan mesin gelundung tambang emas penanaman tanaman pada media tanaman dan
rakyat, dengan melakukan pengujian pH dan reaktor yang disediakan. Selanjutnya adalah
suhu in-situ. Metode pengambilan air limbah mengalirkan air limbah ke dalam reaktor yang
dilakukan berdasarkan SNI 6989.59:2008. telah diberi label. Percobaan dilakukan selama 7
Pengambilan sampel air limbah yang diangkut hari, dan dengan waktu detensi yang ditetapkan
selama 1 hari maka pada hari di mana air limbah
dimasukkan dikategorikan menjadi hari ke-0 dan Pengujian karakteristik air limbah yang digunakan
pengecekan Hg dilakukan pada hari ke-1, 2, 3, 4, pada penelitian ini adalah pengujian konsentrasi Hg,
5 dan berlaku kelipatannya. pH dan suhu. Pengujian seluruh parameter dilakukan
Penelitian dengan limbah buatan memiliki 3 setiap hari. Perubahan nilai akumulasi Hg pada
konsentrasi variasi Hg di dalamnya yakni 0,03 Phragmites australis terdapat pada bagian akar, batang
ppm, 0,06 ppm dan 0,09 ppm (Tabel 1). dan daun. Oleh karena itu untuk melihat tingkat
Selanjutnya ketiga konsentrasi tersebut efisiensi penurunan konsentrasi Hg yang telah diserap
dimasukkan ke dalam 6 reaktor yang berbeda- oleh tanaman, maka perlu dilakukan pengukuran nilai
beda, tetapi dengan perlakuan dan jumlah akumulasi Hg pada tanaman Phragmites australis
tanaman yang sama. Ketiga limbah buatan yang dilakukan sebelum dan sesudah tanaman ditanam
dilakukan dengan running duplo (dua ulangan) pada lahan basah buatan.
secara bersamaan. Terdapat tiga reaktor lainnya Pada penelitian ini terdapat limbah sintetis yang
yang berisi limbah asli, serta kontrol positif dan dibandingkan dengan perlakuan lahan basah buatan
kontrol negatif. Reaktor pada kontrol positif dan (constructed wetland) antara limbah sintetis dengan
kontrol negatif akan diisi dengan limbah buatan limbah asli. Pada pembuatan limbah buatan sintetis
0,06 ppm Hg. digunakan Hg klorida (HgCl2) untuk membentuk
Penelitian ini dilakukan dengan konsentrasi larutan yang diinginkan. Perhitungan ini
menggunakan tanaman Phragmites australis dan dapat dilakukan dengan cara menggunakan
media tanamannya adalah tanah merah, kompos perbandingan massa 1 molekul senyawa Hg klorida
dan kerikil. Sedangkan penelitian dengan limbah Mr 271,496 dengan massa atom relatif Hg di dalam
asli dilakukan dengan limbah asli yang berasal Hg klorida (HgCl2), yakni 200,59. Maka perhitungan
dari tambang emas rakyat yang kemudian untuk mendapatkan konsentrasi 1 ppm Hg pada 30
dimasukkan ke dalam reaktor dengan tanaman liter air adalah sebagai berikut :

Massa HgCl2 untuk kualitas 0,03 ppm


Phragmites australis. Limbah tersebut juga
mendapatkan perlakukan yang sama seperti pada
perlakuan air limbah buatan. 2.2. Analisis Data
Data yang telah diperoleh lalu dianalisis dan perbedaan penurunan konsentrasi Hg dalam
dibuat tabel serta grafiknya untuk mengetahui masing-masing sistem yang mendapatkan
perlakuan berbeda.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Kinerja dan Efektivitas Lahan Basah
Buatan
Lahan basah buatan yang digunakan pada
penelitian ini memiliki sistem batch dengan tipe
aliran free water surface dan menggunakan
tanaman rawa Phragmites australis. Lahan basah
buatan penelitian diletakkan pada kondisi yang
cukup stabil di dalam Rumah Kaca Balai
Teknologi Lingkungan BPPT. Gambar 2 adalah
lahan basah buatan penelitian skala batch yang
sudah dilakukan.

Gambar 2. Lahan basah buatan untuk penelitian Pada

sistem yang menggunakan sistem


bacth, material yang masuk ke dalam sistem
hanya dilakukan sebanyak 1 kali pada saat awal
perlakuan/penelitian. Jika lahan basah buatan
penelitian diletakkan di area yang terbuka,
peluang kesalahan pada sistem dapat meningkat,
seperti adanya penambahan volume air pada
reaktor saat kondisi hujan atau adanya
penambahan material tidak diinginkan ke dalam
reaktor yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Untuk meminimalisir hal tersebut, maka lahan
basah buatan penelitian diletakkan di dalam area
rumah kaca.
Suhu udara, kelembapan udara serta
intensitas cahaya yang relatif konstan juga
merupakan salah satu keunggulan penanaman
yang dilakukan di dalam rumah kaca. Intensitas
cahaya matahari yang berlebihan merupakan
kondisi lingkungan yang tidak dikehendaki oleh
tanaman, dikarenakan adanya ekses radiasi sinar
ultra violet dan sinar infra merah, juga karena
jenis dan karakteristik Phragmites australis yang
senang dengan intensitas cahaya sedang(18). Selain
itu, dengan adanya rumah kaca, kondisi suhu
udara bagi tanaman dan sistem pada penelitian
menjadi lebih stabil, terutama pada tingkat
penguapan air limbah yang mengandung Hg
karena logam Hg tersebut memilki sifat yang
tidak stabil(7). Keunggulan lain rumah kaca bagi
kinerja dan efektivitas sistem lahan basah buatan
penelitian ini adalah dapat melindungi tanaman
dari gangguan hama
penyakit, serta meminimalkan gangguan fisik
3.2. Penurunan Konsentrasi Hg
bagi tumbuhan baik oleh hewan maupun
Hasil penelitian menunjukkan sistem lahan
kecepatan angin yang dapat merobohkan tanaman
basah buatan yang digunakan berhasil melakukan
dan mengganggu sistem kerja lahan basah buatan
penurunan konsentrasi Hg dengan baik pada air
secara keseluruhan.
limbah sintetis dan limbah asli. Pada limbah
Lahan basah buatan pada penelitian ini
dengan konsentrasi buatan 0,03 ppm, 0,06 ppm
menggunakan sistem batch. Simulasi prediksi
dan reaktor kontrol negatif, penghilangan
limbah Hg sangat sulit dilakukan, dan estimasi
konsentrasi Hg didapatkan pada hari ke-4
Hg dapat dilakukan pada percobaan eksperimen
penelitian. Sedangkan pada konsentrasi buatan
dengan menggunakan sistem batch(19). Tipe aliran
0,09 ppm dan reaktor kontrol positif
lahan basah buatan yang digunakan
penghilangan total Hg didapatkan pada hari ke-5.
menggunakan tipe free water surface. Hal ini
Pada sistem dengan limbah asli, penghilangan
dikarenakan kondisi penelitian dilakukan sesuai
konsentrasi Hg didapatkan pada hari penelitian
dengan kondisi aslinya yakni pada keadaan free
ke-3. Tabel 3 menunjukkan tingkat efisiensi
water surface.
akumulatif Hg pada sistem lahan basah buatan
yang sudah dilakukan.

Tabel 2. Konsentrasi Hg yang dipakai dalam penelitian


Hari ke- 0,03 ppm 0,06 ppm 0.09 ppm Kontrol Positif Kontrol Negatif Limbah Asli
0 84% 93% 72% 46% 94% 84%
1 88% 97% 84% 47% 97% 91%
2 98% 98% 91% 77% 98% 100%
3 100% 100% 96% 98% 100% 100%
4 100% 100% 100% 100% 100% 100%
5 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Tabel 3. Tingkat Efisiensi Konsentrasi Hg


Hari ke- 0,03 ppm 0,06 ppm 0.09 ppm Kontrol Positif Kontrol Negatif Limbah Asli
0 84% 93% 72% 46% 94% 84%
1 88% 97% 84% 47% 97% 91%
2 98% 98% 91% 77% 98% 100%
3 100% 100% 96% 98% 100% 100%
4 100% 100% 100% 100% 100% 100%
5 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Proses pengangkutan Hg pada umumnya


3.3. Parameter Kontrol: pH
memakan waktu yang relatif singkat(7). Terlihat
dari penghilangan konsentrasi Hg pada beberapa Nilai pH merupakan salah satu parameter
variasi konsentrasi air limbah dalam rentang 3-5 kontrol yang ditinjau pada penelitian ini. Nilai pH
hari. Terdapat beberapa faktor yang dapat atau derajat keasaman memainkan peranan
mempengaruhi proses penghilangan konsentrasi penting dalam pertumbuhan mikroorganisme dan
Hg pada air limbah, yakni (1) proses penyerapan proses fotosintesis tanaman(19). Berdasarkan
logam berat pada tanaman, (2) proses penguapan Gambar 3 dapat terlihat adanya perubahan pH
dan (3) proses pembentukan senyawa kimia baru pada air limbah selama penelitian berlangsung.
oleh metal pada tanah. Penyisihan Hg yang Pada hari ke-0 masing-masing air limbah
dilakukan pada penelitian ini dapat dikatakan memiliki pH diatas 6,8. Namun setelah hari ke-1
berhasil sesuai acuan dengan Baku Mutu nilai pH air limbah terus menurun menjadi lebih
Lingkungan Keputusan Menteri Lingkungan asam hingga puncak penurunan terjadi pada hari
Hidup Nomor 202 Tahun 2004 Tentang Baku ke-3 penelitian. Pada hari ke-4 secara umum
Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan Atau Kegiatan seluruh pH pada air limbah cenderung naik
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga. diikuti hingga hari ke-5 penelitian. Derajat
keasaman atau pH dapat menggambarkan tingkat
kontaminan pada air limbah tersebut.
3.4. Akumulasi Hg pada Tanah
Perhitungan akumulasi Hg pada tanah dikarenakan tujuan dari penelitian adalah melihat
menjadi sebuah hal yang penting untuk dianalisa penurunan konsentrasi Hg pada variasi
dalam melakukan perhitungan penurunan konsentrasi limbah yang diberikan pada sistem
konsentrasi Hg pada sistem lahan basah buatan. lahan basah buatan (constructed wetland).
Ketika air limbah dialirkan pada sistem lahan Sedangkan pada penelitian tidak diberlakukan
basah buatan (constructed wetland) maka air adanya perbedaan luasan area permukaan tanah
tersebut akan langsung memiliki kontak dengan pada sistem, dikarenakan seluruh sistem lahan
media lahan basah buatan (constructed wetland). basah buatan menggunakan ukuran dan jenis
Komposisi mineral pada media lahan basah reaktor yang sama, serta tidak adanya variasi pH
buatan (constructed wetland) akan memiliki larutan dan konsentrasi padatan yang berbeda
pengaruh dalam dinamika proses penyerapan Hg sebab seluruh larutan dan padatan dalam sistem
di dalam lahan basah buatan(7) dan akan lahan basah buatan (constructed wetland) berada
mempengaruhi tingkat akumulasi adsopsi Hg dan diproses dalam kondisi yang sama. Data pada
dalam tanah(20). Walaupun lahan basah buatan Tabel 4 adalah hasil penelitian total akumulasi
yang digunakan pada penelitian ini Hg pada tanah akibat variasi konsentrasi limbah
memperhitungkan ketersediaan bahan dan Hg di dalam air.
material, namun melakukan selektifiktas pada
material menjadi penting dalam rangka upaya
maksimal untuk menurunkan konsentrasi
kontaminan dalam air.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
El-Agroudy(7), terdapat 4 hal yang dapat
mempengaruhi total akumulasi penyerapan Hg
pada permukaan tanah sistem lahan basah buatan
(constructed wetland), yaitu (1) konsentrasi
limbah Hg yang diberikan, (2) luasan area
permukaan tanah, (3) pH larutan dan (4)
Konsentrasi padatan dalam (mg/L). Pada
penelitian ini penyerapan total akumulasi total Gambar 3. Grafik Perbandingan pH dan waktu
Hg dalam tanah hanya akan ditinjau melalui
variasi konsentrasi limbah Hg yang diberikan, hal
ini

Tabel 4. Total Akumulasi Hg Pada Tanah

Nama Satuan Jumlah


Limbah Sintetis 0,03 ppm ppm 0.021
Limbah Sintetis 0,06 ppm ppm 0.027
Limbah Sintetis 0,09 ppm ppm 0.082
Kontrol Positif (0,06 ppm) ppm 0.030
Kontrol Negatif (0,06 ppm) ppm 0.030
Limbah Asli (0,027 ppm) ppm 0.016

Tabel 5. Perbandingan akumulasi Hg pada air dan tanah


Nama Satuan Tanah Air Persentase (%)
Limbah Sintetis 0,03 ppm ppm 0.021 0.033 64%
Limbah Sintetis 0,06 ppm ppm 0.027 0.063 43%
Limbah Sintetis 0,09 ppm ppm 0.082 0.087 94%
Kontrol Positif (0,06 ppm) ppm 0.030 0.061 48%
Kontrol Negatif (0,06 ppm) ppm 0.030 0.064 47%
Gambar 4. Grafik perbandingan penurunan konsentrasi Hg limbah asli dan limbah sintetis

Tabel 6. Data akumulasi Hg (Hg) pada tanaman

Rasio
Perlakuan Satuan Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Total Hg pada
Akar/Tajuk tanaman (ppm)

Akar Batang Daun

0,03 ppm ppm 1,57 1,54 0,39 0,82 3,50


0,06 ppm ppm 3,65 1,01 0,46 2,48 5,12
0,09 ppm ppm 8,76 2,77 0,53 2,65 12,07
Kontrol Positif ppm 3,94 4,32 1,48 1,54 9,75
Limbah Asli ppm 3,86 0,35 0,30 5,88 4,51

Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat terlihat konsentrasi limbah Hg yang diberikan, maka total
bahwa pada limbah konsentrasi Hg buatan akumulasi penyerapan Hg pada tanah pun akan
dengan konsentrasi 0,03 pppm, total akumulasi meningkat.
Hg pada media lahan basah buatan (constructed Berdasarkan Tabel 5 diketahui penyisihan Hg
wetland) adalah sebesar 0,021 ppm, sedangkan yang terdapat pada permukaan tanah jika
untuk limbah dengan konsentrasi Hg buatan 0,06 dibandingkan dengan karakteristik awal pada air
ppm, total akumulasi Hg pada tanah adalah limbah buatan 0,03 ppm Hg mencapai 64%. Hal
sebesar 0,027 ppm dan pada limbah buatan ini pun diikuti dengan air limbah buatan
dengan konsentrasi Hg 0,09 ppm total akumulasi konsentrasi 0,06 ppm Hg dan 0,09 ppm Hg yakni
Hg pada tanah adalah 0,082 ppm. Pada limbah 43% dan 94%. Pada limbah buatan dengan
asli dengan konsentrasi 0,027 ppm diketahui total konsentrasi 0,06 ppm kontrol positif dan kontrol
akumulasi Hg pada tanah adalah sebesar 0,016 negatif masing-masing mengalami penyisihan Hg
ppm. Berdasarkan data pada Tabel 4 tersebut dari konsentrasi awal adalah sebesar 48% dan
juga dapat terlihat adanya penyerapan konsentrasi 47%. Tingginya persentase akumulasi Hg pada
Hg yang berasal dari air limbah yang cukup tanah hal ini dikarenakan terjadinya reaksi antara
tinggi di dalam tanah. HgCl2 dengan H2O yang dapat terlihat pada
Data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi reaksi persamaan berikut :
konsentrasi Hg pada air limbah yang diberikan
pada suatu sistem lahan basah buatan HgCl2 + H2O  Hg(OH)Cl + H+(aq) + Cl-
(constructed wetland), maka jumlah akumulasi
(aq)
penyerapan Hg pada permukaan tanah akan
semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan Senyawa Hg(OH)Cl merupakan produk yang
penelitian yang telah dilakukan oleh El-Agroudy dihasilkan dari pencampuran reaksi antara HgCl 2
pada tahun 1999(7), dimana seiring besarnya dengan H2O. Senyawa Hg(OH)Cl tersebut
memiliki massa molar 253,05 gram/mol. Jika
dibandingkan dengan massa molar Hg0 adalah area utama dalam
200,59 gram/mol maka Hg(OH)Cl memiliki
massa yang lebih berat dibandingkan massa Hg 0.
Melalui gaya gravitasi yang terjadi, maka
Hg(OH)Cl tersebut dapat dengan mudah jatuh
pada media lahan basah buatan (constructed
wetland) dan terakumulasi pada tanah.
Pada limbah asli diketahui perbandingan
total akumulasi Hg di tanah adalah 59,62% dari
konsentrasi Hg awal yang terdapat pada air
limbah. Karakteristik Hg yang dihasilkan oleh air
limbah tailing pertambangan emas rakyat adalah
Hg0 dengan massa molar adalah sebesar 200,59
gram/mol.
Jika molar massa Hg(OH)Cl dan Hg0
dibandingkan pula dengan molar massa H2O (air)
sebesar 18,02 gram/mol maka adanya penurunan
senyawa Hg(OH)Cl dan Hg0 dengan gaya
gravitasi dapat mungkin terjadi, hingga total
akumulasi Hg di tanah menjadi lebih dominan
dan tinggi dibandingkan di air.
Hal yang sama terjadi pula pada keadaan asli
di lokasi tambang emas rakyat di Pongkor, Jawa
Barat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh sebelumnya diketahui bahwa konsentrasi
konsentrasi Hg (Hg) air limbah tailing memiliki
kisaran antara 0,004 - 0,39 ppm sedangkan pada
sedimen tailing diketahui konsentrasi konsentrasi
Hg memiliki rentang 22,67 - 598 ppm(21). Hal
tersebut dapat memperlihatkan bahwa Hg dengan
karakteristik logam berat dapat sangat mudah
terakumulasi dalam padatan berupa lumpur dan
tanah dikarenakan massa molar unsur yang besar.

3.5. Akumulasi Hg pada Tanaman Phragmites


australis
Tanaman air dilaporkan dapat digunakan
sebagai katalis alami dalam menyerap dan
mengakumulasi logam berat dari air limbah yang
terkontaminasi. Tanaman Phragmites australis
merupakan tanaman yang paling sering
digunakan dalam membantu melakukan
pengolahan air limbah pada lahan basah
buatan(22). Data hasil penelitian pada Tabel 6
menunjukkan bahwa tingkat akumulasi Hg pada
akar tanaman memiliki konsentrasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi Hg pada
batang dan daun di dalam tanaman. Telah banyak
sumber dan literatur yang mengemukakan
tentang tingkat penyerapan dan akumulasi logam
berat pada tanaman air. Hasil yang ditunjukkan
pada tanaman air Phragmites australis
menunjukkan tingginya konsentrasi konsentrasi
logam pada akar, dengan rendahnya konsentrasi
konsentrasi logam pada bagian tajuk tanaman(23).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bonanno dan Giudice(24) yang menunjukkan
bahwa organ tumbuhan bagian bawah merupakan
akumulasi penyerapan logam Cd, Cr, Cu, faktor dalam menentukan penyerapan logam pada
Hg, Mn, Ni, Pb dan Zn. Namun tingkat zona perakaran dan akar/tajuk pada tingkat yang
absorpsi organik dan inorganik logam berat bervariasi(28,29).
Hg oleh tanaman dari tanah lebih rendah Lebih tingginya tingkat reduksi Hg di bagian
dibandingkan dengan tingkat absorpsi perakaran tanaman kemungkinan juga bisa
logam berat lain(25). Hal ini bisa dikarenakan disebabkan karena kinerja mikroba yang
adanya barier saat perpindahan translokasi terkandung di media tanah dan kompos dalam
Hg dari akar tanaman menuju batang dan sistem Lahan Basah Terpadu yang dipakai dalam
daun(15). Pada umumnya logam akan diserap penelitian ini. Diketahui dari berbagai hasil
melalui akar lalu naik menuju tajuk penelitian sebelumnya, ternyata bakteria rizosfer
tanaman(16), namun berdasarkan penelitian yang berada di perakaran tanaman mempunyai
oleh Baldanatoni dan teman-temannya, sifat mampu mereduksi Hg pula, selain logam-
terdapat beberapa variasi kasus terkait logam berat lainnya(29). Beberapa jenis mikroba
absorpsi dan akumulasi logam berat pada yang mampu mendegradasi Hg diketahui
akar dan tajuk tanaman(26). mempunyai enzim Hg reduktase, misalnya
Berdasarkan data Tabel 6 yang telah Pseudomonas putida,
dipaparkan, dapat terlihat pula pada air Geobacter
limbah dengan 0,03 ppm Hg total Hg yang metallireducens, Shewanella putrefaciens,
diserap dan terakumulasi pada tanaman Desulfovibrio desulfuricans, dan D. vulgaris(30).
adalah sebesar 3,50 ppm, sedangkan pada Beberapa genus Rhizobium juga diketahui
konsentrasi air limbah 0,06 ppm total Hg mempunyai peranan dalam proses bioremediasi
yang diserap dan terakumulasi pada logam pada lahan-lahan tercemar karena mereka
tanaman adalah sebesar 5,12 ppm dan pada mempunyai enzim metalothionin(31,32).
konsentrasi 0,09 ppm Hg adalah 18,05 ppm.
Hal ini memperlihatakan bahwa konsentrasi 4. KESIMPULAN
penyisihan Hg bergantung pada tingkat
kontaminasi Hg tersebut(27). Semakin tinggi Berdasarkan hasil kajian pustaka dan
konsentrasi Hg yang terdapat dalam air, penelitian yang telah dilakukan maka dapat
maka semakin tinggi jumlah Hg yang dapat disimpulkan bahwa konsentrasi Hg pada air
diserap oleh tanaman(27,28). Faktor genetik limbah tailing tambang emas rakyat di Pongkor
dan jenis tumbuhan dapat menjadi salah satu Jawa Barat adalah berkisar antara 0,027 ppm (27
ppb) – 0,082 ppm (82 ppb). Penurunan derajat
keasaman (pH) berbanding lurus dengan dan 8,76 ppm pada air limbah buatan Hg dengan
penurunan konsentrasi Hg (Hg) pada air limbah konsentrasi 0,03 ppm, 0,06 ppm dan 0,09 ppm. Hal
Massa molar senyawa Hg(OH)Cl sebesar 253,05 ini disebabkan karena adanya populasi mikroba
gram/mol dan massa molar Hg0 sebesar 200,59 pada bagian perakaran yang bersentuhan langsung
gram/mol yang lebih besar dibandingkan dengan dengan media tanah dan kompos yang dipakai
massa molar H2O 18,02gram/mol, dalam sistem lahan basah pada penelitian ini,
menyebabkan senyawa Hg(OH)Cl dan Hg0 sehingga mikroba tersebut ikut berperan membantu
mudah terendapkan ke sedimen tanah atau tanaman dalam mereduksi Hg di bagian
lumpur dengan gaya gravitasi. Semakin besar perakarannya. Semakin tinggi konsentrasi Hg pada
kontak luas area antara permukaan tanah dengan air limbah maka semakin tinggi tingkat akumulasi
air limbah, maka penghilangan Hg pada tanaman Phragmites australis. Total Hg
konsentrasi Hg dalam air limbah akan semakin pada tanaman berturut-turut adalah sebesar 3,50
cepat ppm, 5,12 ppm dan 12,07 ppm pada air limbah
Dari hasil penelitian terbukti bahwa sistem buatan Hg dengan konsentrasi 0,03 ppm, 0,06 ppm
lahan basah buatan dengan tanaman Phragmites dan 0,09 ppm.
australis terbukti dapat menyerap Hg pada air
limbah Hg dengan tingkat efisiensi mencapai
99,8% pada air limbah buatan konsentrasi 0,06 PERSANTUNAN
ppm dan 0,09 ppm.Serta pada limbah asli dan
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
limbah buatan konsentrasi 0,03 ppm dengan
ditujukan kepada pimpinan BPPT, khususnya
tingkat efisiensi mencapai 99,6%. Tingkat
Kepala Balai Teknologi Pengolahan Air dan
akumulasi Hg pada tanaman Phragmites
Limbah (BTPAL)-TPSA, yang telah memberikan
australis lebih tinggi ditemukan di bagian akar
izin untuk menggunakan fasilitas laboratorium
dibandingkan dengan bagian batang dan daun
mikrobiologi dan laboratorium proses selama
dengan konsentrasi Hg ditemukan di akar
penelitian ini dilakukan. Terima kasih juga
berturut-turut adalah sebesar 1,57 ppm, 3,65 ppm
diucapkan kepada semua rekan kerja, terutama
yang terlibat dalam laboratorium mikrobiologi,
DAFTAR PUSTAKA
laboratorium fitoteknologi dan laboratorium
analitik, atas segala bantuan dan kerjasamanya 1. Halimah, (2003), Pencemaran Hg dan Strategi
selama penelitian ini. Penanganan Penambangan Emas Tanpa Izin
(PETI) di Pongkor, Jawa Barat. Skripsi S1,
Universitas Indonesia.
2. Lottermoser-Marchand, M.M. (2010), Metal And
Metalloid Removal In Constructed Wetlands,
With Emphasis On The Importance Of Plants And
Standardized Measurements: A Review,
Environmental Pollution, 3447-3461.
3. Diaz, E., (2000), Mercury Pollution at Gold Mining
Sites in the Amazon Environment, Doctoral
Thesis, University of Idaho.
4. Corral, M.D., (2009), Gold Mining: Formation and
Resource Estimation. Economics and
Environmental Impact, New York, Nova Science
Publishers, Inc.
5. Odumo, B.O., Carbonell, G., Angeyo, H.K., Patel,
J.P., (2014), Impact Of Gold Mining Associated
With Mercury Contamination In Soil, Biota
Sediments And Tailing In Kenya, New York,
Springer Publisher.
6. WHO, (2013), Mercury and Health. Available
from WHO: http://www.who.int/, (viewed on
June 13, 2015).
7. El-Agroudy, A.A., (1999). Investigation of
Constructed Wetlands Capability to Remove
Mercury from Contaminated Waters. Montreal,
Canada.
8. Hammer, M.J., (1986). Waste Water Technology,
3rd Edition, New York, Prentice Hall International.
9. Antoinette, M., (2014). Penyisihan Konsentrasi
Krom Hexavalen pada Air Limpasan Hujan
Pertambangan Nikel dengan Metode Lahan
Basah Buatan (Constructed Wetlands)
Menggunakan Thypa latifolia, Skripsi S1,
Universitas Indonesia.
10. Zahra, F.A., (2015), Pengolahan Air Limbah
Domestik (Grey Water) Komunal dengan Lahan
Basah Buatan Sistem Aliran Bawah Permukaan
dengan Kombinasi Tanaman Canna indica dan
Pontederia Sp. serta Media Serbuk Arang, Skripsi
S1, Universitas Indonesia.
11. Vyamazal, J., (2008), Constructed Wetlands For
Wastewater Treatment: A Review, Proceeding of
Taal 2007: The 12th World Lake Conference, 958-
980.
12. USEPA, (1999), Manual Constructed Wetlands
Treatment of Municipal Wastewaters, Ohio:
USEPA.
13. Kent, (2001), Applied Wetlands Science and Technology, Boca Raton: CRC Press.
14. Kamal, M., Ghaly, A., Mahmoud, N., Cote, R., (2004) Phytoaccumulation Of Heavy Metals By Aquatic Plants,
Environment International, 1029-1039.
15. Afrous, A., Mashouri, M., Liaghat, A., Pazira, E., Sedghi, H., (2011), Mercury And Arsenic Accumulation By Three
Species Of Aquatic Plants In Dezful, Iran, African Journal of Agricultural Research, 5391-5397.
16. Kandasamy, J.V., (2009), Constructed Wetlands, New York: Nova Science Publisher, Inc.
17. Katima, J.H.Y.L.G., (2013), Treatment Of Acid Mine Drainage Using Constructed Wetlands In Tropical
Environment: A Tanzania Case Report. Journal of Agricultural Science and Technology, 439- 446.
18. Hickman, J., (1993), The Jepson Manual: Higher Plants of California, Barkeley, CA: University of California Press.
19. Essington, M.E., (2015), Soil and Water Chemistry, Boca Raton: CRC Press.
20. Yong, A.M., (1992), Principles of Contaminant Transport in Soils, New York: Elsevier.
21. Juhaeti, N.H., (2009), Tumbuhan Akumulator Untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Hg dan Sianida
Penambangan Emas, Bogor: LIPI Press.
22. Vyamazal, J., Kropfelova, L., (2008), Wastewater Treatment In Constructed Wetlands With Horizontal Sub-
Surface Flow, Dordrecht, The Netherlands.
23. Windham, L., Weis, J., Weis, P., (2003), Uptake And Distribution Of Metals In Two Dominant Salt Marsh
Macrophytes, Spartine Alternifola (Cordgrass) And Phragmites Australis (Common Reed), Estuarine, Coastland,
And Shelf Sciences, 63-72.
24. Bonanno, G., Giudice, R., (2010), Heavy Metal Bioaccumulation By The Organs Of Phragmatis australis
(Common Reed) And Their Potential Use As Contamination Indicators, Ecological Indicators, 639-645.
25. Lodenius, M., (1980), Environmental Mobilization of Mercury and Cadmium, Helsinki: Department of
Environmental Conversation, University of Helsinki.
26. Baldanatoni, D., Alfani, A., Tommasi, P.D., Bartoli, G., Santo, A.V., (2004), Assessment Of Macro And
Microelement Accumulation Capability Of Two Aquatic Plants, Environmental Pollution, 149-156.
27. Skinner, K., Wright, N., Porter-Goff, E., (2007), Mercury Uptake And Accumulation By Four Species Aquatic
Plants, Environmental Pollution, 234-237.
28. Rahmansyah, M., Hidayati, N., Juhaeti, T., (2009), Tumbuhan Akumulator untuk Fitoremediasi Lingkungan
Tercemar Hg dan Sianida Penambangan Emas, Bogor: LIPI Press.
29. Hidayati, N., Juhaeti, T., Syarif, F., (2009), Mercury and Cyanide Contamination in Gold Mine Environment
and Possible Solution of Cleaning Up by Using Phytoextraction, Bogor: LIPI Press, 88-94.
30. Prasetyawati, E.T., (2009), Bakteri Rhizosfer Sebagai Pereduksi Hg dan Agensia Hayati, UPN Press ISBN
978-979-3100-95-1.
31. Widyati, E., (2008), Peranan Mikroba Tanah Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (Roles Of
Soil Microbes In Ex- Mining Land Rehabilitation), Info HUTAN Vol. 5 (2), 151-160.
32. Khan, A.G., Kuek, C., Chaudry, T.M., Khoo, C.S., Hayes, W.J., (2000), Role Of Plants, Mycorrhizae And
Phytochelators In Heavy Metal Contaminated Land Remediation, Chemosphere 21, 197-207.
MAKALAH

REMEDIASI BADAN AIR DAN PESISIR

“BIOAKUMULATOR”

OLEH:

MUHAMAD RONAL ARGIANTO

E1F119025

PROGRAM STUDI REKAYASA INFRASTRUKTUR & LINGKUNGAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

 Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas Kimia
Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai makalah
“Bioakumulator”.

                 Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati menerima
masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,

                Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaledupa, 20 Mei 2020


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah yang cukup serius untuk lingkungan
dewasa ini. Perkembangan berbagai macam industri saat ini selain memberikan dampak positif juga
memberikan pengaruh negatif yaitu dihasilkan bahan pencemar dalam jumlah yang tidak sedikit
setiap kali proses. Jenis bahan pencemar yang dibuang ke lingkungan merupakan dihasilkan residu
sisa pengolahan, sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut. Penggunaan bahan kimia selain
mahal juga menimbulkan resiko pencemaran baru, sehingga diperlukan suatu alternatif cara
pengolahan yang lebih murah dan juga ramah lingkungan. Salah satu cara pengelolaan limbah
dilakukan dengan menggunakan agen biologi yang disebut bioremediasi (Mangkoedihardjo, 2005).
Pencemaran oleh logam-logam berat dalam perairan juga sangat penting diperhatikan, karena
bersifat toksik untuk manusia dan hewan. Beberapa sumber pencemaran logam berat yang limbah
produknya dibuang ke perairan antara lain keausan geologis, industri logam, industri bahan
tambang, pemakaian logam, pemakaian senyawa-senyawa logam, ekskresi manusia atau hewan, dan
sampah padat

Faktor yang menyebabkan sukar hilangnya limbah logam dalam air adalah tidak dapat terurainya
logam berat secara biologis seperti halnya pencemar-pencemar organik nonplastik. Selain itu
logam berat cenderung mengendap di dasar perairan yaitu dengan membentuk persekutuan bersama
senyawa organik (Damin Sumardjo, 2009).

Kemampuan menyerap logam per satuan berat kering eceng gondok lebih tinggi pada umur
muda dari pada umur tua (Kirbky dan Mengel, 1987). Tumbuhan eceng gondok berpotensi sebagai
agen pembersih perairan dari limbah logam dan menurunkan tingkat toksisitas yang terdapat pada
limbah tersebut (Kirbky dan Mangel, 1987).

B. Rumusan Masalah.

Untuk mengetahui respon eceng gondok sebagai bioakumulator terhadap logam Pb dan Cd
menggunakan metode Inductively Couple Plasma (ICP).

C. Tujuan

Untuk mengetahuai lebih mengenai bioakumulator organisme berupa eceng gondok sehingga
menjadi bahan yang ramah lingkungan dengan mendegradasi logam-logam berat.
BAB II PEMBAHASAN
Bioakumulator adalah kemampuan organisme untuk menyerap logam – logam berat seperti
Cd, Cu, dan sebagainya yang kemudian mendegradasinya menjadi bahan ramah lingkungan.

Pemilihan batang eceng gondok ini dikarenakan secara morfologi bagian tanaman yang
digunakan memiliki rongga yang diduga dapat menjadi tempat pengendapan logam-logam berat
seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik (Al-Ayubi, 2008).

Logam berat kadmium bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy
metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi bagi kesehatan manusia (Palar, 2004), sehingga perlu
dilakukan studi untuk mengetahui apakah batang eceng gondok itu menyerap logam atau tidak,
terutama logam Pb dan Cd di sungai Pegangsaan Dua.

Batang eceng gondok diambil dari sungai Pegangsaan Dua, mengingat keberadaan industri
otomotif yang beroperasi di samping sungai, sehingga diduga hasil limbah produksi dibuang ke
aliran sungai Pegangsaan Dua.

Hasil determinasi sampel tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang diperoleh dari
beberapa titik di Sungai Pegangsaan Dua menunjukkan kebenaran identitas tanaman yang
merupakan anggota suku Pontederiaceae.

Pemeriksaan logam dilakukan dengan metode Inductively Couple Plasma (ICP). Pemilihan
metode ini dilakukan berdasarkan kemampuannya untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi
semua elemen logam dengan pengecualian Argon. Inductively Couple Plasma (ICP) cocok untuk
semua konsentrasi tidak memerlukan sampel yang banyak, batas deteksi umumnya rendah untuk
elemen dengan jumlah 1 - 100 g / L .

Keuntungan terbesar memanfaatkan metode Inductively Couple Plasma (ICP) ketika


melakukan analisis kuantitatif adalah analisis multielemental dapat dicapai dan cukup cepat
(Boonen, 1996).

Tanaman eceng gondok yang digunakan sebagai kontrol diambil di Balitro karena eceng
gondok tersebut dibudidayakan bukan tumbuhan liar sehingga diharapkan tidak tercemar logam Pb
dan Cd. Hasil penelitian ternyata eceng gondok kontrol mengandung logam berat Pb dan sedikit
sekali mengandung logam berat Cd , hal ini diduga karena letak lokasi budidaya tanaman eceng
gondok berada dipinggir jalan, sehingga masih dapat tercemar polutan yang berasal dari gas hasil
sisa pembakaran kendaraan bermotor dan partikel logam berat seperti timah hitam (Pb) (Fergsson,
1990).

Hasil uji batang eceng gondok pada titik 1 ternyata terdapat logam Pb sebesar 0,5002 mg/L
dan Cd sebesar 0,0560 mg/L . Hasil yang besar ini dikarenakan lokasi titik 1 merupakan lokasi
terdekat dengan muara pembuangan limbah industri sehingga masih terdapatnya sisa cemaran yang
berasal dari hasil pengolahan limbah industri. Pada titik 2, kadar logam Pb dan Cd berkurang
menjadi 0,0215 mg/L dan 0,0328 mg/L, hal ini dapat terjadi karena letak pengambilan eceng
gondok yang sudah jauh dari muara pembuangan limbah produksi. Sementara pada titik 3, kadar
logam Pb pada sampel batang eceng gondok sebesar 1,293 mg/L.
Tingginya kadar logam Pb pada titik 3 dikarenakan lokasi tersebut berada dekat dengan
jalan raya dan pemukiman waga yang mungkin bahan pencemar (polutan) berasal dari gas
kendaraan bermotor, industri rumahan dan limbah dari masyarakat sekitar yang diduga ikut serta
dalam pencemaran aliran sungai. Pada titik yang sama, kadar logam Cd tidak mengalami
peningkatan bahkan kadar logam yang didapat cenderung turun menjadi 0,0143 mg/L.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Tanaman eceng gondok (Eichhornia Crassipes) dapat berfungsi sebagai bioakumulator


dengan menyerap logam Pb dan Cd pada Sungai Pegangsaan Dua. Sehingga logam berat yang
terdapat pada organisme eceng gondok tersebut dapat di manfaatkan sebagai bahan yang ramah
lingkungan

B. Saran

Dari pembahasan di atas, maka dapat di berikan saran untuk lebih merawat tanaman-
tanaman atau organisme lain yang terdapat logam berat sehingga dapat di manfaatkan sebagai
bahan yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ayubi, 2008. Study Keseimbangan Adsorpsi Merkuri (II) pada Biomassa Daun Eceng Gondok
(Eichornia crassipes). Skripsi Jurusan Kimia Fakultas SAINTEK. Universitas Islam Negri Malang.
Malang.

Azizah R., Pariani S. dan Wijoyo S., 1998. Kualitas Sungai Kalimas dalam Analisis Penegakan
Hukum Lingkungan dan Pengaturannya Terhadap Kesehatan Penduduk di Kotamadya Surabaya,
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1,2,11,23.

Budavari, S., 2001. The Merck Index an Encyclopedia of Chemical Drug and Biologicals, 13 th
Ed., New Jersey, Merck & Co. Inc., Pp. 2545, 5415.

Fergusson, J.E. 1990. The Heavy Element Chemistry, Environmental Impact And Health Effect.
Fergusson Press: Oxford.

Kirkby dan K. Mengel. 1987. Principles of Land Nutrition. Swithzerland: International Potash
Institute.
POTENSI Acrostichum aureum L.
(PTERIDACEAE) SEBAGAI BIOAKUMULATOR
LOGAM BERAT MANGAN (Mn) DAN TEMBAGA
(Cu)
Meirina Orchidanti Sanubari1*, Agung Sedayu1, Mieke Miarsyah2
1
Prodi Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia. 2Prodi Pendidikan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Negeri Jakarta, Indonesia

*Email: meirinasanubari@gmail.com

ABSTraCT
Acrostichum aureum L. is a fern from family Pteridaceae, commonly called as swamp fern or mangrove fern
and usually found in mangrove, swamp or brackish area. It noted that heavy metal concentration was found in
Acrostichum aureum, but distinction measure in each organs was unknown. This study was conducted to acquire
information about heavy metal concentration in Acrostichum aureum, the differential expression of Mn and Cu
concentration in each organs, and examine the potential of Acrostichum aureum as Mn and Cu bioaccumulator.
Acrostichum aureum and sediment sample taken from Muara Angke Wildlife Reserve, North Jakarta which
contaminated by heavy metal Mn and Cu. As a proponent data, Acrostichum aureum and sediment sample also
taken from Gunung Kapur Ciseeng that assumpted as uncontaminated area. The methods used was descriptive
with purposive sampling technique. The result showed that Acrostichum aureum was bioaccumulator for Mn
with BCF average value 1.06. Organs with the highest Mn and Cu concentration was root. U-Mann Whitney test
result showed that Mn and Cu concentration in each lower organs significantly different to the upper organs.

Keywords: Acrostichum aureum, bioaccumulation, heavy metal, Mn, Cu

PENDAHULUAN
Logam berat telah menjadi perhatian di bidang lingkungan karena keberadaannya di lingkungan
dapat berbahaya bagi manusia (Nazir, et al., 2011). Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar
berbahaya yaitu karena logam berat tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme dan terakumulasi di
lingkungan. Untuk mengurangi dampak jangka panjang dari cemaran logam di lingkungan seperti di atas, perlu
dilakukan upaya pengembalian fungsi lahan pada lingkungan terkontaminasi.
Salah satu tumbuhan yang diduga berpotensi mengakumulasi logam berat adalah Acrostichum aureum.
Menurut Sharma dan Irudayaraj (2010), Acrostichum aureum memiliki potensi sebagai fitoremediator potensial
pada lahan basah terpolusi logam berat. Acrostichum aureum merupakan tumbuhan lokal yang biasa ditemukan
di habitat estuari yang tercemar. Dalam penelitian sebelumnya, Acrostichum aureum tercatat memiliki
konsentrasi Mn pada daun lebih tinggi dibanding pada tangkai daun (Badarudeen et al., 2014) dan konsentrasi
Cu tinggi pada musim postmonsoon (setelah musim hujan) (Prasannakumari et al., 2014), namun belum
diketahui potensi bioakumulasinya dan pada organ mana Mn dan Cu terakumulasi paling tinggi. Pada
penelitian ini, kami ingin mengetahui organ Acrostichum aureum yang paling banyak terakumulasi logam
Mn dan Cu yang tinggi.
1
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara (sebagai
kawasan tercemar) dan Gunung Kapur Ciseeng, Bogor (sebagai kawasan terduga tidak tercemar). Sampel
diambil dengan teknik purposive sampling. Sampel akar, tangkai daun, dan daun diambil dari Acrostichum
aureum dewasa atau individu yang telah memiliki sporangium kecoklatan pada daun fertilnya, terdapat pada
area terbuka dan terendam air. Sampel akar yang diambil adalah akar yang terbenam seluruhnya di dalam
sedimen, sedangkan untuk sampel tangkai daun dan daun yang diambil adalah pada daun steril. Sebagai data
lingkungan dilakukan juga pengukuran logam berat pada sedimen pada kedua lokasi.
Kandungan logam Mn dan Cu dianalisa dengan menggunakan Atom Absorbance Spectrofotometry
(AAS) Shimadzu AA 7000. Untuk mengetahui perbedaan kadar logam berat pada tiap organ, dilakukan
pengujian statistik menggunakan uji post-hoc U-Mann Whitney dengan software SPSS v.16 untuk masing-
masing pasangan organ. Kemampuan bioakumulasi dianalisis dengan menggunakan rumus Biological
Accumulation Coefficient (BAC), Biological Transfer Coefficient (BTC), dan Bio-concentration Factor
(BCF) sebagai berikut:
BAC = Logam berat daun (mg/kg)/Logam herat sedimen
(mg/kg) BTC = Logam berat daun (mg/kg)/Logam berat
akar (mg/kg) BCF = Logam berat akar (mg/kg)/Logam berat
sedimen (mg/kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN kADAR loGAM MN DAN CU pADA AcRosTIChUM AUREUM DI KEDUA lokASI


Berdasarkan hasil pengujian kadar logam Mn dan Cu pada Acrostichum aureum Suaka Margasatwa
Muara Angke (SMMA) dan Gunung Kapur Ciseeng (GKC), kandungan logam pada sedimen Suaka Margasatwa
Muara Angke memiliki kadar relatif lebih tinggi dibanding sedimen Gunung Kapur Ciseeng dengan nilai Mn
210.01 mg/ kg dan Cu 64.76 mg/kg. Sedangkan pada sedimen dari Gunung Kapur Ciseeng, kandungan logam
yang terdeteksi memiliki nilai lebih kecil yaitu Mn sebesar 130.74 mg/kg dan Cu sebesar 16.32 mg/kg.
Perbandingan kadar logam Mn dan Cu pada kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Rata-rata Kadar Logam pada A. aureum


dan Sedimen di SMMA dan GKC

Sampel Mn (mg/kg) Cu (mg/kg)


SMMA A.aureum 24.3699 11.1054
Sedimen 210.0127 64.7659
GKC A.aureum 21.1812 8.4319
Sedimen 130.7427 16.3216
Baku Mutu* Sedimen 30 16
*USEPA Sediment Quality Guidelines (1999)

Kadar kedua logam pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke jauh melampaui standar baku
mutu sedimen USEPA. Ini membuktikan bahwa kawasan Muara Angke merupakan kawasan yang tercemar.
Kadar logam Mn pada kawasan Gunung Kapur Ciseeng juga melampaui standar baku mutu sedimen USEPA,
sedangkan kadar logam Cu pada kawasan ini masih berkisar pada nilai standar tersebut, yaitu 16.32 mg/kg.
Kadar logam Mn yang melampaui standar baku mutu USEPA ini dapat disebabkan oleh perubahan
bentuk Mn pada perairan. Dalam kondisi aerob, Mn dalam perairan terdapat dalam bentuk MnO2. Sedangkan
dalam air yang kekurangan oksigen atau pada dasar perairan, MnO2 tereduksi menjadi Mn2-. Oleh karena itu
pada suatu sumber air, sering ditemukan Mn dalam konsentrasi tinggi (Achmad, 2004). Mn dengan konsentrasi
tinggi ini dapat mengendap pada dasar perairan dan mengakibatkan tingginya konsentrasi Mn pada
sedimen.
Tabel 2. Kadar Logam Mn dan Cu pada A. aureum di SMMA

Kadar pada sampel (mg/kg) Rata-rata


Organ Logam
1 2 3 4 5 6
Akar Mn 635.23 323.31 178.98 74.91 284.44 60.31 259.53
Cu 11.55 15.63 12.95 85.09 31.20 17.46 28.98
Tangkai daun Mn 7.63 2.98 8.60 3.20 2.31 2.98 4.61
Cu 18.83 16.73 7.93 17.42 17.31 18.68 16.15
Daun Mn 27.18 23.44 35.30 17.40 23.73 25.04 25.34
Cu 4.80 7.01 4.95 6.84 9.47 7.734 6.80

Kadar logam yang ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan kedua logam pada
sedimen di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke lebih tinggi dibanding di kawasan Gunung Kapur
Ciseeng. Hal ini disebabkan oleh kawasan Muara Angke yang berada di Teluk Jakarta merupakan badan air
terakhir yang menampung limbah dari industri-industri dan pembuangan sampah yang ada di Jakarta dan
sekitarnya yang membuang limbah secara langsung maupun tidak langsung ke 13 sungai yang bermuara ke
kawasan ini. Ketiga belas sungai tersebut yaitu: Kali Mookervaart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan Kali Grogol,
Kali Krukut, Kali Baru Barat, Sungai Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali
Jati Keramat dan Kali Cakung. Sungai-sungai tersebut melalui daerah pemukiman dan industri yang cukup
padat di sekitar Jakarta. (Rochyatun & Rozak, 2007).

Tabel 3. Nilai BCF, BAC dan BTC A. aureum

BCF BAC BTC


Sampel
Mn Cu Mn Cu Mn Cu
1 3.03 0.16 0.13 0.06 0.04 0.41
2 0.63 0.22 0.04 0.10 0.07 0.45
3 1.25 0.14 0.25 0.05 0.20 0.36
4 0.30 0.93 0.07 0.07 0.23 0.07
5 1.02 0.97 0.08 0.07 0.08 0.29
6 0.17 0.32 0.07 0.29 0.41 0.42
Rata-rata 1.07 0.46 0.10 0.11 0.17 0.33

Sedangkan, kandungan kedua logam di Gunung Kapur Ciseeng relatif lebih kecil karena kegiatan
manusia di kawasan ini cenderung lebih sedikit dan tidak mendapat akumulasi cemaran dari aliran sungai
dibandingkan dengan kegiatan manusia di Muara Angke. Meski Gunung Kapur Ciseeng merupakan objek
wisata lokal yang banyak dikunjungi wisatawan dan juga berpotensi tercemar, namun cemaran di kawasan
ini hanya berasal dari sampah domestik.

PERBEDAAN kADAR loGAM MN DAN CU pADA oRGAN AcRosTIChUM AUREUM


Berdasarkan hasil pengukuran kandungan logam berat Mn pada masing-masing organ Acrostichum
aureum, didapat kadar tertinggi pada akar dengan nilai 635.23 mg/kg dan kadar terendah berada pada
tangkai daun dengan
nilai 2.37 mg/kg. Sedangkan untuk kadar tertinggi logam berat Cu terdapat pada akar dengan nilai 85.09 mg/kg
dan yang terendah terdapat pada daun dengan nilai 4.80 mg/kg (Tabel 2). tertinggi berturut-turut adalah
akar, tangkai daun, kemudian daun. Pola yang sama tercatat pada penelitian Badarudeen et al (2014), di mana
daun Acrostichum aureum menyimpan logam Mn lebih banyak dibandingkan tangkai daun dengan kandungan
rata-rata Mn pada daun Acrostichum aureum sebesar 906.5 mg/kg dan pada tangkai daun sebesar 246.5
mg/kg dan logam Cu pada daun Acrostichum aureum memiliki rata-rata sebesar 39.5 mg/kg dan pada
tangkai daun sebesar 159 mg/kg.
Bioakumulasi logam Mn dan Cu pada Acrostichum aureum juga lebih tinggi pada akar dibanding pada
daun. Ini membuktikan bahwa translokasi logam dari akar ke daun menjadi faktor pembatas untuk
terkonsentrasinya logam ini pada daun. Hasil menunjukkan kadar Cu pada daun memiliki nilai terendah pada
penelitian ini. Ini membuktikan bahwa distribusi Cu sedikit berbeda dengan Mn. Oleh Chaney dan Giordano,
logam Mn diklasifikasikan sebagai salah satu logam yang mudah ditranslokasi dari akar ke daun tumbuhan,
sedangkan Cu merupakan salah satu logam yang lebih sulit ditranslokasi (Alloway, 1995 dalam Zitka et al.,
2013).
Potensi Acrostichum aureum sebagai bioakumulator logam Mn dan Cu

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Bio-Concentration Factor (BCF) didapat bahwa BCF tertinggi
untuk logam Mn sebesar 3.03 dan untuk logam Cu sebesar 0.96. Biological Accumulation Coefficient (BAC)
untuk logam Mn yang tertinggi sebesar 0.24 dan untuk logam Cu sebesar 0.28. Sedangkan Biological Transfer
Coefficient (BTC) yang tertinggi untuk logam Mn sebesar 0.41 dan untuk logam Cu sebesar 0.45. Potensi
akumulasi Acrostichum aureum dapat diketahui dengan nilai BCF, BAC dan BTC seperti pada Tabel 3.
Berdasarkan penggolongan akumulator oleh Zayed et al. (1998), diketahui Acrostichum aureum merupakan
bioakumulator untuk logam Mn dengan nilai BCF tertinggi sebesar 3.03, dan rata-rata nilai BCF >1 yaitu
sebesar 1.0681. Sedangkan nilai BAC dan BTC < 1 pada logam Mn menunjukkan bahwa logam ini tidak
terkonsentrasi di daun dengan baik karena tidak tertranslokasi dengan baik pula.
Berdasarkan kriteria Fitter dan Hay (1991), mekanisme akumulasi Mn pada Acrostichum aureum
lebih mendekati mekanisme ameliorasi dengan pendekatan lokalisasi pada akar. Hal ini dapat dilihat dari
terkonsentrasinya logam Mn dalam jumlah besar pada akar dibanding pada akar dibanding pada organ lain
dan belum diketahuinya mekanisme adaptasi lain Acrostichum aureum terhadap Mn. Mekanisme lain dapat
diketahui dengan studi lanjutan mengenai reaksi fisiologis dan biokimia seperti kelasi dan mekanisme
toleransi lainnya.
Data untuk logam Cu menunjukkan bahwa Acrostichum aureum bukan bioakumulator untuk logam ini
karena baik nilai BCF, BAC, maupun BTC Acrostichum aureum untuk Cu < 1. Hal ini mendukung teori
bahwa logam Cu merupakan salah satu logam yang sulit ditranslokasi tumbuhan dari akar ke organ tumbuhan
lain yang lebih tinggi (Alloway dalam Zitka et al., 2013).
Sampai saat ini hiperakumulasi oleh paku yang tertinggi dilakukan oleh Pteris vittata, yang dapat
bertahan hidup dan mengakumulasi arsenik (As) dengan kadar sekitar 3280 – 23000 mg/kg. P. vittata dapat
tumbuh pada sedimen dengan kadar arsenik sebesar 1500 mg/kg, sedangkan tumbuhan lain umumnya
tidak dapat bertahan pada kadar sedimen 50 mg/kg (Ma et al., 2001). Tumbuhan paku lain yang tercatat
dapat mengakumulasi logam di antaranya Pteris cretica, Azolla pinnata, dan Equisetum sp. (Mehltreter,
2010).
Dibandingkan dengan kemampuan hiperakumulator P. vittata untuk logam As, Acrostichum aureum
hanya memiliki kemampuan sebagai bioakumulator (bukan hiperakumulator) untuk logam Mn. Namun
demikian, Acrostichum aureum tetap dapat dimanfaatkan untuk mengakumulasi cemaran logam Mn pada
kawasan perairan
dengan logam Mn yang relatif tinggi seperti di sekitar kawasan industri, pabrik tekstil, elektronik, dan galvanis.

KESIMPULAN
Acrostichum aureum merupakan bioakumulator untuk logam Mn namun bukan bioakumulator untuk logam Cu,
sehingga potensinya dapat dimanfaatkan dalam pengendalian cemaran logam Mn di lingkungan perairan.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Badarudeen, A., K. Sajan, R. Srinivas, K. Maya dan D. Padmalal. 2014. Environmental Significance of Heavy Metals in
Leaves and Stems of Kerala Mangroves, SW Coast of India. Indian J Mar Sci. 43(6) 1021-1029.
Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ma, L.Q., K.M. Komar, C. Tu dan W.A. Zhang. 2001. A Fern That Hyperaccumulates Arsenic. Nature 411: 409-
579.
Mehltreter, K., L.R. Walker, J.M. Sharpe (ed). 2010. Fern Ecology. Cambrigde University Press.
Nazir, A., R.N. Malik, M. Ajaib, Nasrullah K. dan M.F. Siddiqui. 2011. Hyperaccumulators of Heavy Metals of
Industrial Areas of Islamabad and Rawalpindi. Pak. J. Bot. 43(4) 1925-1933.
Prasanakumari, A.A., Gangadevi T. dan Jayaraman P.R. 2014. Absorption Potensial for Heavy Metals by Selected
Ferns Associated with Neyyar River (Kerala), South India. Intl. J. Env. Sci. 5(2): 270-276.
Rochyatun, E., dan A. Rozak. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta.
Makara Sains.11(1):28-36.
Sharma, C.L., dan V. Irudayaraj. 2010. Studies on Heavy Metal (Arsenic) Tolerance in a Mangrove Fern
Acrostichum aureum L. (Pteridaceae). J. of Basic App. Biol., 4(3):143-152.
USEPA. 1999. US Environmental Protection Agency: Screening Level Ecological Risk Assessment Protocol for
Hazardous Waste Combustion Facilities. Appendix E: Toxicity Reference Values. Vol. 3.
Zayed, A., Gowthaman, S. dan N. Terry. 1998. Phytoaccumulation of Trace Elements by Wetland Plants:
Duckweed. J. Environ. Qual., 27: 715- 721.
Zitka, O., Krystofova, O., Hynek, D., Sobrova, P., Kaiser, J., Sochor, J., Zehnalek, J., Babula, P., Ferrol, N., Kizek,
R. dan V. Adam 2013. Metal Transporters in Plants. In: d. K. Gupta, C. F. J & J. M. Palma,
eds. Heavy Metal Stress in Plants. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 1:19-42.


Azotobacter sebagai Bioakumulator Merkuri

Kusnul Khotimah dan Enny Zulaika


Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: enny@bio.its.ac.id

antropogenik dan kegiatan industri yang menggunakan


merkuri [1]. Toksisitas merkuri tergantung dari struktur
Abstrak— Merkuri merupakan logam berat kimianya, rute masuknya dalam tubuh dan lamanya
paling toksik dibandingkan dengan logam berat pemaparan [2]. Merkuri dalam bentuk ion (Hg2+) akan
lainnya. Beberapa bakteri ada yang resisten terakumulasi di ginjal dan metil merkuri (CH3Hg) akan
merkuri. Salah satu genus bakteri resisten merkuri terakumulasi di otak [3]. Kasus keracunan merkuri
dan mampu mengakumulasi merkuri yaitu pertama kali dilaporkan di Minamata Jepang pada
Azotobacter. Azotobacter merupakan bakteri tahun1956 yang kemudian dinamakan
pemfiksasi nitrogen bebas non simbiotik yang “Minamata Disease” dengan gejala kerusakan otak,
melimpah di daerah rhizosfer lahan pertanian dan gangguan
merupakan bakteri penghasil EPS yang dapat bicara, dan hilangnya keseimbangan [4].
berfungsi sebagai pengkhelat logam. Penelitian ini Toksisitas logam berat merkuri dapat dikurangi
bertujuan untuk mendapatkan isolat Azotobacter oleh aktivitas bakteri. Beberapa bakteri mampu hidup
pada lingkungan yang tercemar merkuri disebut bakteri
yang resisten terhadap merkuri HgCl 2, dan
resisten merkuri (BRM). Bakteri resisten merkuri
mengukur kemampuan bioakumulasinya terhadap
biasanya memiliki gen resisten merkuri yang disebut
HgCl2. Isolasi bakteri Azotobacter dilakukan gen mer operon [5]. Umumnya struktur mer operon
dengan media selektif Azotobacter. uji resistensi terdiri dari gen metaloregulator (merR), gen transport
HgCl2 dilakukan dengan streak agar miring dan merkuri (merT, merP, merC, merF), gen merkuri
kemampuan bioakumulasi diukur dengan metode reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB) [6].
serapan atom serta uji viabilitas menggunakan
metode pour plate. Analisis beda nyata dengan
ANOVA pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji beda
nyata terkecil (BNT). Tiga isolat Azotobacter dari
lahan eco urban farming ITS resisten terhadap
HgCl2 sampai 20 mg/L yaitu A5, A6, dan A9.
Efisiensi bioakumulasi yang tertinggi pada
pemaparan HgCl2 5 mg/L yaitu isolat A5 (89%) dan
A9 (87%).

Kata Kunci—Azotobacter, Bioakumulator,


Merkuri, Uji resistensi.

I. PENDAHULUAN
ERKURI merupakan salah satu logam berat
M paling toksik dan keberadaannya
lingkungan dapat terakumulasi pada berbagai
di

tingkat trofik rantai makanan. Pencemaran merkuri di


lingkungan telah menjadi masalah dunia karena tingkat
kontaminasinya di lingkungan semakin lama
semakin meningkat akibat aktivitas
pupuk organik atau kompos [13]. Salah satu bakteri
Gen merA mengkode merkuri reduktase yang yang berperan dalam meningkatkan hara nitrogen
berfungsi untuk mereduksi Hg2+ menjadi Hg0 volatil dalam kompos adalah Azotobacter [14]. Isolasi bakteri
dan merB mengkode organomerkuri liase yang Azotobacter di lahan eco urban farming ITS, selain
berfungsi untuk memutus ikatan C- Hg. Bakteri didapatkan bakteri Azotobacter sebagai biofertilizer
resisten merkuri dibagi menjadi 2 tipe yaitu (1) bakteri juga dapat digunakan sebagai agen bioremediasi
resisten merkuri spektrum sempit adalah bakteri yang lingkungan tercemar merkuri. Oleh karena itu perlu
hanya resisten terhadap merkuri anorganik dan (2) dilakukan isolasi bakteri Azotobacter untuk mengetahui
bakteri resisten merkuri spektrum luas adalah bakteri tingkat resistensi dan mengukur kemampuan
yang resisten terhadap merkuri anorganik dan mekuri bioakumulasinya terhadap merkuri HgCl2.
organik [7]. Berdasarkan penelitian Zulaika, dkk.,
Genus Bacillus, Staphylococcus, dan Azotobacter II. METODOLOGI
merupakan bakteri resisten merkuri pada 11 mg/L
HgCl2 [8]. Azotobacter adalah bakteri non simbiotik A. Waktu dan Tempat Penelitian
yang mampu memfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga bulan
[9], dan banyak ditemukan di rhizosfer lahan pertanian Juni 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan
[10]. Disamping itu bakteri Azotobacter juga Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA-ITS. Analisis
merupakan bakteri resisten merkuri dan dapat bioakumulasi logam merkuri dilakukan di
berperan sebagai bioakumulator merkuri [11]. Laboratorium Penelitian dan Konsultasi Industri
Berdasarkan penelitian [12], Azotobacter yang telah Surabaya.
diisolasi dari tanah pertanian, mampu resisten sampai B. Isolasi Azotobacter
dengan konsentrasi 100 nmol HgCl 2 dan mampu
mereduksi 2,6 mg HgCl2 dalam 200 ml media Nutrient Isolsi Azotobacter dilakukan dengan cara sampel
Broth (NB) yang mengandung HgCl2 3,3 mg. tanah dari lahan eco urban farming ITS diambil secara
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), komposit, ditimbang sebanyak 10 gram, dimasukkan ke
mempunyai lahan eco urban farming yang ditanami dalam 90 ml akuades steril. Dilakukan pengenceran 10 -
1
sayuran organik dan pupuk yang digunakan adalah sampai dengan 10-7

[15]. Masing-masing pengenceran, diambil sebanyak III. HASIL DAN PEMBAHASAN


0,1 ml, ditumbuhkan pada media selektif Azotobacter
A. Isolasi Azotobacter
agar yang mengandung 0,1 mg/L HgCl2 dengan metode
spread plate. [16]. Inkubasi dilakukan pada suhu Hasil isolasi Azotobacter menghasilkan 10 isolat
ruang selama 24 jam. Koloni yang tumbuh diamati dengan kode A1a, A1b, A2, A3, A5, A6, A7, A8, A9,
karakteristiknya dan dibandingkan dengan kontrol dan A10. Isolat yang telah dipurifikasi kemudian
positif yaitu Azotobacter chroococcum. Koloni dilanjutkan dengan pengamatan karakteristik morfologi
Azotobacter chroococcum mempunyai ciri putih basah koloni, pewarnaan Gram dan pewarnaan cysta.
dan berubah menjadi coklat setelah 3-5 hari inkubasi
Tabel 1.
[15]. Koloni yang diduga Azotobacter chroococcum
dimurnikan dengan metode 16 goresan pada media Karakteristik morfologi koloni isolat Azotobacter
Nutrient Agar. Selanjutnya dilakukan pengamatan
kemurnian sel dengan metode pewarnaan methylen Pengamatan

blue dan untuk memastikan bahwa isolat tersebut IsolatBentukElevasiTepiWarna koloni kolonimuda Warna
Ukuran
Azotobacter, dilakukan pewarnaan Gram dan koloni tua
(> 1 bln)
koloniBentuk sel

pewarnaan kista.
C. Uji Resistensi Terhadap HgCl2
Uji resistensi dilakukan dengan menumbuhkan isolat
Azotobacter yang didapat dari hasil isolasi pada media
selektif Azotobacter slant agar [11], yang mengandung
HgCl2 berbagai konsentrasi mulai dari konsentrasi 0.5
mg/L dan seterusnya sampai konsentrasi yang mampu
ditoleransi isolat Azotobacter. Inkubasi dilakukan
selama 24 jam pada suhu ruang, koloni yang tumbuh
merupakan isolat yang resisten terhadap HgCl 2. Isolat
yang digunakan adalah isolat yang paling resisten
terhadap HgCl2.
pewarnaan Gram menunjukkan bahwa semua isolat resistensi yang lebih tinggi dari konsentrasi merkuri
adalah bakteri Gram (-), dan hasil pewarnaan cysta dihabitatnya. Menurut Manampiring dan Keppel, suatu
terlihat ukuran sel menjadi lebih kecil atau lebih bakteri dikatakan resisten merkuri apabila bakteri
pendek dengan dinding cysta yang tebal. tersebut dapat bertahan pada konsentrasi merkuri 0,01
ppm [19]. Hasil uji resistensi menunjukkan resistensi
isolat Azotobacter terhadap HgCl2 bervariasi seperti
pada Tabel 2.

Tabel 2.

Resistensi Azotobacter terhadap HgCl2.

Gambar. 1. Cysta Azotobacter A9 Isolat Pertumbuhan isolat Azotobacter pada media

B. Uji Resistensi Terhadap HgCl2 yang mengandung HgCl2 (mg/L)

Uji resistensi dilakukan untuk mengetahui tingkat 0,55101520


resistensi isolat Azotobacter dan untuk mengetahui A1a +++ +++ ++ - -
range finding test perlakuan selanjutnya yaitu uji A1b +++ +++ - - -
bioakumulasi Hg2+. Hasil pengukuran sampel tanah A2 +++ +++ - - -
lahan eco urban farming ITS, konsentrasi kandungan A3 +++ +++ - - -
A5 +++ +++ +++ +++ ++
Hg adalah 0,004 mg/L dan sampel air di sekitar lahan A6 +++ +++ +++ +++ ++
eco urban farming ITS adalah 0,002 mg/L. Isolat A7 +++ +++ +++ +++ -
Azotobacter yang diisolasi menunjukkan sifat A8 +++ +++ - - -

Krem
A1a Irregular Flat Undulate Coklat 1 cm Basil pendek A9 +++ +++ +++ + +
Slimy (berair)
A1bCircularConvexEntireKrem bening Krem A10 +++ +++ +++ ++ -
2 mmBasil pendek
Slimy (berair) kecoklata
n Ket : +++ (baik), ++ (cukup baik), + (kurang baik).

A2 Circular Convex Entire Krem kecoklatan Coklat muda 2 mm Coccus

Krem bening
Circular Pulvinate Entire Kuning; pusat
A3 3 mm Basil pendek
koloni: orange
Slimy (berair)

Kuning
A5 Circular Convex Undulate Putih susu 3 mm Basil pendek Berdasarkan pada tabel 2, semua isolat Azotobacter mampu
kecoklatan

3 mm Basil pendek
tumbuh dengan baik pada konsentrasi 0,5 dan 5 mg/L
Krem
A6 Circular Convex Erose Putih susu HgCl2 kecuali isolat A1a yang yang mampu tumbuh
kecoklatan cukup baik pada
konsentrasi 5 mg/L HgCl2. Pada konsentrasi 10 mg/L
A7 Circular Convex Erose Putih susu Krem 2 mm Basil pendek

A8 Circular Flat Entire Tranparan Transparan 2 mm Basil pendek HgCl2,


Krem
A9 Irregular Flat Undulate Putih susu 3 mm Basil pendek hanya isolat A5, A6, A7, A9, dan A10 yang mampu
kekuningan tumbuh
A10 Irregular Raised Erose Putih susu Krem 5 mm Basil pendek
dengan baik. Pada konsentrasi 15 mg/L terdapat 3
HgCl2 isolat
Pewarnaan cysta dilakukan untuk memastikan bahwa (A5, A6, A7) mampu tumbuh baik, dan pada
isolat yang didapatkan adalah Azotobacter. konsentrasi 20 mg/L HgCl2 hanya 2 isolat yang mampu
Pembentukan cysta diinduksi dengan cara tumbuh cukup baik yaitu A5, dan A6.
menumbuhkan isolat Azotobacter pada media Burk’s Isolat Azotobacter yang berhasil diisolasi
dengan butanol sebagai sumber karbon selama 7 hari menunjukkan tingkat resistensi terhadap merkuri yang
[17]. Keberadaan cysta merupakan karakter kunci pada berbeda-beda. Perbedaan tingkat resistensi terhadap
genus Azotobacter. Menurut Madigan, dkk., merkuri HgCl2 disebabkan oleh susunan gen mer
Azotobacter dapat membentuk struktur istirahat operon yang berbeda disetiap isolat. Komponen gen
(resting cell) yang disebut cysta dimana sel dikelilingi mer operon pada setiap spesies adalah tidak sama,
oleh dinding sel yang tebal [18]. Hasil terdapat variasi komposisi gen-gen
penyusunnya [20]. Selain itu, perbedaan kemampuan resistensi juga dipengaruhi oleh perbedaan tingkat
ekspresi gen mer operon antara spesies bakteri satu dengan spesies bakteri yang lain [21].
Isolat yang digunakan pada uji bioakumulasi adalah isolat yang paling resisten dengan morfologi koloni
yang mempunyai perbedaan menyolok, isolat tersebut adalah A1a, A5, dan A9. Pemilihan ketiga isolat
tersebut didasarkan pada perbedaan karakteristik morfologi koloni tua dan tingkat resistensinya terhadap
HgCl2 diatas 10 mg/L. Isolat A1a mempuyai warna koloni coklat, resisten pada 10 mg/L HgCl 2, A5 kuning
kecoklatan dan A9 krem kekuningan yang resisten terhadap HgCl 2 20 mg/L. Data uji biaokumulasi tidak
ditampilkan.

IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Sepuluh isolat Azotobacter resisten merkuri yang diisolasi dari lahan eco urban farming ITS yaitu A1a,
A1b, A2, A3, A5, A6, A7, A8, A9, dan A10. Semua isolat resisten 0,5 dan 5 mg/L HgCl 2, dan hanya 3
isolat yang resisten sampai dengan konsentrasi 20 mg/L yaitu isolat A5, A6, dan A9.

UCAPAN TERIMA KASIH


“ K.K mengucapkan terima kasih kepada ibu N. Dwianita Kuswyasari, S.Si., M.Si, dan ibu Wirdhatul
Muslihatin, S.Si., M.Si, selaku dosen penguji, atas kritik, saran dan masukannya demi kesempurnaan tugas
akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada ayahanda dan
ibunda, adik-adik serta keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Penelitian ini juga tidak lepas dari bantuan
dan dukungan teman-teman seperjuangan angkatan 2010, dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebut satu
persatu.

DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Keramati, M. Hoodaji, and A. Tahmourespour, “Multi-Metal Resistance Study of Bacteria Highly
Resistant to Mercury Isolated from Dental Clinic Effluent,” African Journal of Microbiology
Research, Vol. 3 (2011) 831–837.
[2] Inswiasri, “Paradigma Kejadian Penyakit Pajanan Merkuri,“ Jurnal Ekologi Kesehatan,Vol. 7 (2008)
775–785.
[3] E. Hodgson, “Texbook of Modern Toxicology,” 3rd Ed. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc (2004)
ch. 5.
[4] N. Hachiya, “The History And The Present Of Minamata Disease,” Japan Medical Association
Journal, Vol 49 (2006) 112-118.
[5] N.L. Brown, Y.C. Shih, C. Leang, K.J. Glendinning, J.L. Hobman, and
J.R. Wilson, “Mercury Transport and Resistance,” Biochemical Society Transactions, Vol 30 (2002)
715-718.

[6] A.M.A. Nascimento, and E. Chartone-Souza, “Operon mer : Bacterial Resistance To Mercury And
Potential For Bioremidiation Of Contaminated Environments,” Genetics and Molecular Research,
Vol. 2 (2003) 92-101.
[7] H.R. Dash and S. Das,” Bioremediation of Mercury and The Importance of Bacterial mer Genes,”
International Biodeterioration and Biodegradation, Vol. 75 (2012) 207-213.
[8] E. Zulaika, A. Luqman, T. Arindah, dan U. Sholikah, “Bakteri Resisten Logam Berat yang Berpotensi
Sebagai Biosorben dan Bioakumulator,” Seminar Nasional Waste Management for Sustainable
Urban Development, Feb. 21 (2012) Teknik Lingkungan, FTSP-ITS Surabaya Indonesia.
[9] I.G. Rojas, A.B.T. Geraldo, and N.M. Sarmiento, “Optimising Carbon and Nitrogen Sources for
Azotobacter chroococcum Growth,” African Journal of Biotechnology, Vol. 10 (2011) 2951-2958.
[10] Z. Mazinani, M. Aminafshar, A. Asgharzadeh, and M. Chamani, “Effect of Azotobacter Population
On Physico-Chemical Characteristics of Some Soil Sample In Iran, “Annals of Biological Research,
Vol. 3 (2012) 3120-3125.
[11] E. Zulaika, “Eksplorasi Bakteri Resisten Merkuri (BRM) Endogenik Kalimas Surabaya Sebagai
Kandidatus Agensia Pencemaran Merkuri, “ Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya (2013).
[12] S. Ray, R. Gatchhui, K. Pahan, J. Chaudhury, and A. Mandal, “Detoxification or Mercury and
Organomercurials by Nitrogen-Fixing Soil Bacteria, “Journal Bioscience, Vol. 14 (1989) 173-182.
[13] www.digilib.its.ac.id
[14] Z.H. Hasibuan, T. Sabrina, dan M.B. Sembiring, “Potensi Bakteri Azotobacter dan Hijauan Mucuna
bracteata Dalam Meningkatkan Hara Nitrogen Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit, “Jurnal
Agroekoteknologi, Vol. 1 (2012) 237-253.
[15] R. Saraswati, E. Husen, dan R.D.M. Simanungkalit, “Metode Analisis Biologi Tanah, “Jawa Barat :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2007) ch 2.
[16] J.P. Harley, and L.M. Prescott, “Laboratory Exercises in Microbiology,” 5th Ed. USA : The McGraw-
Hill Companies (2002).
[17] M. Stella, and M. Suhaimi, “Selection of Suitable Growth Medium For Free-Living Diazotrophs
Isolated From Compost,” Journal Tropical Agricultural and Food Science, Vol. 38 (2010) 211-219.
[18] M.T. Madigan, J.M Martinko, D.A. Stahl, and D.P Clark, “Brock Biology of Microorganisms,” 13th
Ed. USA : Pearson Education, Inc. (2012).
[19] A.E. manampiring, dan B.J.Keppel, “Studi Populai Bakteri Resisten Merkuri Di Daerah Aliran
Sungai Tondano, Kelurahan Ketang Baru, Manado,” Jurnal Ilmiah Sains, Vol. 11 (2011) 26-30.
[20] M. Narita, K. Chiba, H. Nishizawa, H. Ishii, C.C. Huang, Z. Kawabata,
S. Silver, and G. Endo, “Diversity of Mercury Resistance Determinants Among Bacillus Strains
Isolated From Sediment of Minamata Bay,” FEMS Microbiology Letters, Vol. 223 (2003) 73-82.

[21] L. Ranjard, A. Richaume, L. Jocteur-Monrozier, and S. Nazaret, “Response of Soil Bacteria to Hg(II)
in Relation to Soil Characteristics and Cell Location,” FEMS Microbiology, Vol. 24 (1997) 321-331.
RESPON BIOAKUMULATOR ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) TERHADAP LOGAM
BERAT Pb dan Cd DI SUNGAI PEGANGSAAN DUA MENGGUNAKAN ME- TODE INDUCTIVELY
COUPLED PLASMA (ICP)

Sri Teguh Rahayu, Ester Yani Verawati, Muchrip Triana *)


*)
Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta 2014

ABSTRAK

Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu tanaman liar Indonesia yang dianggap sebagai
gulma. Keberadaannya dapat mengganggu ekosistem yang ada di sungai, tetapi eceng gondok terbukti
da- pat menyerap logam Pb dan Fe, diyakini juga bahwa eceng gondok dapat menyerap logam-logam lain
seperti Hg, Zn, Cu dan Cd yang termasuk pada golongan logam berat bersama Pb dan Fe. Selain sebagai
penyerap logam berat, eceng gondok dapat juga menyerap residu pestisida. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, untuk mengetahui respon bioakumulator terhadap logam Pb dan Cd di sungai
Pegang- saan Dua dengan metode Inductively Coupled Plasma (ICP). Sampel tumbuhan eceng gondok
yang dianal- isis respon bioakumulatornya adalah organ batang. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat
diketahui bahwa tumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes), mampu mengakumulasi logam berat Cd
dan Pb. Organ yang paling berpotensi dalam menyerap Cd dan Pb adalah organ batang dengan rata-rata
titik 1 Cd : 0,056 ppm dan Pb : 0,5002 ppm, kemudian rata-rata titik 2 Cd : 0,0328 ppm dan Pb : 0,0215
ppm, dan rata

-rata titik 3 Cd : 0,0143 ppm dan Pb : 1,293 ppm.

Kata Kunci : Respon Bioakumulator, Eceng Gondok (Eichhornia crassipes), Logam Berat Pb and Cd, In-
ductively Coupled Plasma (ICP).

ABSTRACT

Eichhornia crassipes is one of Indonesia's wild plant considered a weed. It is presence can disrupt ecosys-
tems in the river, but is proven to absorb Pb and Fe, believed also that Eceng Gondok Eichhornia crassipes
can absorb other metals such as Hg, Zn, Cu and Cd were included in the group with heavy metals of Pb
and Fe. In addition to heavy metal sequestration, Eichhornia crassipes can also absorb pesticide residues.
This research is descriptive, to determine bioaccumulator response of Pb and Cd in Pegangsaan Two river
by Inductively Coupled Plasma (ICP) method. Bioaccumulator response of Eichhornia crassipes were ana-
lyzed from the stem. Based on the results of the study also showed that the Eichhornia crassipes plants
are able to accumulate heavy metals of Pb and Cd. The organs most potential to absorb Cd and Pb are
stem organ with average point 1 Cd : 0,056 ppm and Pb : 0,5002 ppm, then the average point 2 Cd :
0,0328 ppm and Pb : 0,0215 ppm , and the average point 3 Cd : 0.0143 ppm and Pb : 1,293 ppm .
Keywords: Bioaccumulator Response, Eichhornia crassipes, Heavy Metal of Pb and Cd, Inductively Cou-
pled Plasma (ICP).

PENDAHULUAN Faktor yang menyebabkan sukar hi- langnya


Seiring dengan kemajuan teknologi in- dustri, limbah logam dalam air adalah tidak dapat
semakin berkembang produk yang diha- silkan, terurainya logam berat secara biologis seperti
sehingga dapat dirasakan peningkatan manfaat bagi halnya pencemar-pencemar organik nonplastik.
Selain itu logam berat cenderung mengendap di
kehidupan manusia. Pengaruh lain perkembangan
dasar perairan yaitu dengan membentuk
tersebut adalah adanya hasil samping produk yang
persekutuan bersama senyawa organik (Damin
dihasilkan berupa limbah industri yang dialirkan ke
Sumardjo, 2009).
perairan bebas misal- nya sungai. Apabila hasil
buangan tersebut ti- dak diolah dengan benar dan Salah satu jenis tumbuhan air yang da- pat
sempurna, akan memberikan dampak yang kurang digunakan sebagai biomonitoring adanya
menguntung- kan bagi lingkungan sekitar, sehingga pencemaran logam berat adalah eceng gon- dok.
akan muncul masalah pencemaran lingkungan. Be- Tumbuhan eceng gondok berpotensi sebagai
berapa jenis zat yang biasa terdapat dalam hasil bahan pembersih perairan dari lim- bah logam
buangan industri adalah logam berat timbal (Pb), dan menurunkan tingkat tok- sisitas yang
kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) (Azizah, 1998). terdapat pada limbah tersebut. Eceng gondok
Ketiga logam berat tersebut mempunyai sifat dapat menurunkan kadar BOD (Biochemical
karsinogenik yang bersifat kumulatif sehingga dapat Oxygen Demand) par- tikel suspensi secara
tertimbun dalam tubuh manusia apabila kadarnya biokimiawi (berlangsung agak lambat), dan
melebihi batas maksimum yang diper- syaratkan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr,
(Budavari, 2001). Pb, Hg, Cu, Ca, Fe, Mn, Zn dengan baik. Ke-
mampuan menyerap logam per satuan berat
Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi kering eceng gondok lebih tinggi pada umur
yang telah merubah lingkungan dari ben- tuk asal muda dari pada umur tua (Kirbky dan Mengel,
menjadi keadaan yang lebih buruk. Pergeseran 1987). Tumbuhan eceng gondok berpotensi
bentuk tatanan dari bentuk asal pada kondisi yang sebagai agen pembersih perairan dari limbah
buruk ini dapat terjadi sebagai aki- bat masukan dari logam dan menurunkan tingkat toksisitas yang
bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahkan polutan terdapat pada limbah tersebut (Kirbky dan
tersebut pada umumnya mempunyai sifat racun Mangel, 1987).
(toksik) yang berbahaya bagi organisme hidup.
Toksisitas atau daya racun dari polutan itulah yang Daerah Pegangsaan dua merupakan daerah
kemudian menjadi pemicu terjadinya pencemaran industri yang berada di lingkungan padat
(Palar, 1994). penduduk. Proses produksi yang ber- dekatan
dengan lingkungan penduduk dan dekat dengan
sungai Pegangsaan Dua dikha- watirkan akan
Pencemaran oleh logam-logam berat dalam
mengakibatkan terjadinya pencemaran di sungai
perairan juga sangat penting diperhatikan, karena
Pegangsaan Dua. Tanaman eceng gondok yang
bersifat toksik untuk manusia dan hewan. Beberapa
terdapat di sungai tersebut dapat dijadikan
sumber pencemaran logam berat yang limbah
sebagai bio- monitoring, apakah sungai tersebut
produknya dibuang ke perairan antara lain keausan
tercemari oleh logam atau tidak.
geologis, industri logam, industri bahan tambang,
pemakaian logam, pemakaian senyawa-senyawa
logam, ekskresi manusia atau hewan, dan sampah
padat.
Dalam penelitian ini akan dilakukan menggunakan metode Inductively Coupled
analisis kandungan logam berat (Pb dan Plasma Atomic Emission Spectrometry (ICP-
Cd) yang terkandung dalam eceng gondok AES). Inductively Coupled Plasma Atomic
Emission Spectrometry (ICP-AES) Plasma 40 2. Bahan pembanding
merupakan alat analisis unsur- unsur
Batang eceng gondok (kontrol negatif) dari
logam dalam suatu bahan. Bahan yang Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
dapat dianalisis menggunaka ICP- AES (Balittro), Jalan Tentara Pelajar No. 3 Kampus
Plasma 40 harus berwujud larutan yang Penelitian Pertanian Cimanggu Bo- gor 16111,
Jawa Barat dan telah didetermi- nasi di Lembaga
homogen (Nugroho, 2006). Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat
Konservasi Tumbuhan–Kebun Raya Bogor, Jalan
Penelitian ini bertujuan untuk men- Ir. H. Juanda No. 13, Bo- gor, Jawa Barat.
getahui kemampuan eceng gondok (Eichhornia
crassipes) sebagai bioakumu- lator dalam
menyerap logam berat Pb dan Cd di sungai 3. Reagen
Pegangsaan Dua. Akuades bebas ion, asam nitrat pekat, dan
asam klorida pekat yang diperoleh dari Labo-
MATERI DAN METODE ratorium Instrumen Analis Kimia Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Jakarta yang berada di
A. ALAT Jalan Percetakan Negara No. 23 B Jakarta Pusat -
10560.
Alat pengukur ICP (Inductively
Coupled Plasma) (IRIS Intrepid II®), bas- kom,
C. CARA KERJA
krustang, eksikator, oven, hot plate, mortir dan
1. Persiapan Simplisia
stamper, timbangan analitik (Sartorius
BSA124S-CW®), kaca arloji, beaker glass 250 Sampel batang tanaman eceng gondok
mL (Pyrex®), gelas ukur 10 mL(Pyrex®), gelas diambil pada bulan Juli 2013 dengan usia yang
ukur 5 mL (Pyrex®), labu volumetrik 25 mL sama dan belum berbunga ketika musim kering
pada 3 titik berbeda dengan jarak 10- 15 meter
(Pyrex®), labu volu- metrik 5 mL (Pyrex®),
yaitu titik 1 berada di tepi dekat aliran limbah
corong, kui kosong dan tutup, kertas perkamen, pabrik, titik 2 berada di tepi sungai tengah pabrik,
batang pen- gaduk, pipet volume 1 mL (Pyrex dan titik 3 di tepi sete- lah pabrik dekat dengan
®
), pipet volume 2 mL (Pyrex ®), pipet tetes. jalan raya. Panjang eceng gondok yang dipilih
antara 15-25 cm.
B. BAHAN Sampel tumbuhan yang telah diambil dari
lokasi pengamatan dicuci untuk menghilang- kan
1. Bahan Uji
kotoran yang melekat pada organ tumbu- han.
Sampel batang eceng gondok (Eichhornia Sampel yang telah dibersihkan dipanas- kan pada
crassies) yang diambil di Sun- gai Pegangsaan oven pada suhu 80°C selama 48 jam.
Dua dan telah didetermi- nasi di Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indo- nesia (LIPI), Pusat Setelah kering, sampel dihaluskan hingga
Konservasi Tumbuhan– Kebun Raya Bogor, menjadi serbuk, kemudian ditimbang seban- yak
Jalan Ir. H. Juanda No. 13, Bogor, Jawa Barat. 2-4 gram, dan dimasukkan dalam furnace oven
pada suhu 450°C selama 12 jam sampai menjadi
abu yang berwarna putih (Kholidiyah, 2010).
2. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia asam nitrat pekat dan mulut beaker di tutup
dengan kaca arloji, kemudian beaker glass
Pemeriksaan karakteristik batang eceng dipanaskan di atas hot plate selama 30 menit
gondok meliputi pemeriksaan organoleptis dan dalam lemari asam hingga larutan asam
penetapan susut pengeringan. menguap dan mengering. 1 ml asam nitrat pekat
diteteskan ke dalam beaker glass, ke- mudian
3. Destruksi beaker glass didinginkan. Setelah din- gin,
aquades ditambahkan sedikit demi sedikit dan
Abu sampel yang diperoleh dari susut larutan dipindahkan ke dalam labu volu- metrik
pengeringan didestruksi secara kimia. Abu sampel 25 mL menggunakan corong kaca yang dilapisi
dimasukkan ke dalam beaker glass ke- mudian kertas saring dan ditetesi aquades sam- pai
ditambahkan 9 ml asam klorida pekat dan 3 ml volume larutan tepat 25 mL. Kandungan Pb dan
Cd yang terdapat dalam larutan terse- but dianalisa Dipipet 0.75 mL untuk labu ke-3, ditam-
menggunakan alat Inductively Couple Plasma bahkan asam nitrat pekat sebanyak 2 mL dan
(ICP) (Sanni, 2009).
akuades sampai volume mencapai 5 mL
Dipipet 1 mL untuk labu ke-4, ditam- bahkan
4. Pembuatan Larutan Standar Baku asam nitrat pekat sebanyak 2 ml dan akuades
Inductively Couple Plasma (ICP) sampai volume mencapai 5 mL.
Dipipet 1.25 mL untuk labu ke-5, ditam-
Disiapkan labu volumetrik 5 ml sebanyak 7
bahkan asam nitrat pekat sebanyak 2 ml dan
buah.
akuades sampai volume mencapai 5 mL.
Dibuat larutan blangko dengan 2 ml asam Dipipet 1.5 mL untuk labu ke-6, ditam-
nitrat pekat dan ditambahkan akuades sam- pai bahkan asam nitrat pekat sebanyak 2 mL dan
volume mencapai 5 mL akuades sampai volume mencapai 5 mL.
Dibuat larutan standar baku (Multielement
10 ppm) ke masing-masing labu volu- metrik 5 5. Prosedur kerja Inductively Couple
ml dengan volume yang berbeda- beda :
Plasma – Atomic Emission Spectrome-
Dipipet 0.25 mL untuk labu ke-1, ditam-
bahkan asam nitrat pekat sebanyak 2 mL dan try (ICP-AES) Plasma 40
akuades sampai volume mencapai 5 mL. Katup gas argon dibuka dengan te- kanan
Dipipet 0.5 mL untuk labu ke-2, ditam- minimal 60 psi. Tunggu mini- mal 30
bahkan asam nitrat pekat sebanyak 2 mL dan menit sebelum menyalakan plasma.
akuades sampai volume mencapai 5 mL. Blower dihidupkan, dan dibuka tutup-
nya serta tutup merah pada bagian atas
ICP.
Sipper probe dimasukkan ke dalam
larutan HNO3 5%.

Setelah 30 menit gas argon dibuka,


plasma dinyalakan.
Dipilih panjang gelombang yang se- suai
untuk analisa kandungan Pb dan Cd
dalam sistem.
Kurva standar dibuat dengan mema-
sukkan sipper probe ke dalam sampel
standar yang berisi unsur-unsur yang
akan dianalisa (Standar Multi Element 10
ppm).
Sipper probe pada larutan HNO3 5%
dipindahkan beberapa saat.

Kemudian dimasukkan sipper probe ke


dalam larutan sampel yang akan dianalisa
Pb dan Cd secara berurutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 32.29 (Tabel 1).
HASIL Sedangkan hasil pengujian kadar abu
Dari hasil pengujian susut pengeringan batang menunjukkan nilai batang eceng gondok kontrol
eceng gondok kontrol memiliki nilai se- besar sebesar 4.37%, pada titik satu sebesar 5.37%,
42.60%, pada titik satu memiliki nilai se- besar pada titik dua sebesar 6.31%, dan pada titik tiga
29.16%, pada titik dua memiliki nilai se- besar sebesar 13.11 % (Tabel 2).
44.46%, dan pada titik tiga memiliki nilai sebesar
Hasil pengujian kadar logam Pb dan Cd ppm; pada pada titik dua memiliki nilai Pb
menggunakan ICP, eceng gondok kontrol memiliki 0,0215 ppm dan Cd 0,0328 ppm; dan pada titik
nilai Pb 0,2879 ppm dan Cd 0,0094 ppm; pada titik tiga memiliki nilai Pb 1,293 ppm dan Cd 0,0143
satu memiliki nilai Pb 0,5002 ppm dan Cd 0,056 ppm (Tabel 3).

Tabel 1. Pemeriksaan Susut Pengeringan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

Kode Sampel Susut Pengeringan


Kontrol 42.60%
Titik I 29.16%
Titik II 44.46%
Titik III 32.29%

Tabel 2. Pemeriksaan Kadar Abu Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

Kode Sampel Kadar Abu


Kontrol 4.37%
Titik I 5.37%
Titik II 6.31%
Titik III 13.11%

Tabel 3. Pemeriksaan Logam Pb dan Cd pada Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

Kandungan Rata-rata Logam Berat Cadmium (Cd) dan


Logam Plumbum (Pb)
Standar baku
berat terde-
EPA (ppm) Titik 1 Titik 2 Titik 3
teksi Kontrol (ppm)
(ppm) (ppm) (ppm)

Kadmium
0,07 ppm 0,056 0,0328 0,0143 0,0094
(Cd)

Pembahasan kesehatan manusia (Palar, 2004), sehingga perlu


dilakukan studi untuk mengeta- hui apakah batang
eceng gondok itu menyerap logam atau tidak,
terutama logam Pb dan Cd di sungai Pegangsaan
Penelitian ini merupakan studi pendahu-
Dua.
luan untuk mengetahui respon eceng gondok
sebagai bioakumulator terhadap logam Pb dan Cd Batang eceng gondok diambil dari sun- gai
menggunakan metode Inductively Couple Plasma Pegangsaan Dua, mengingat keberadaan industri
(ICP). Pemilihan batang eceng gondok ini otomotif yang beroperasi di samping sungai,
dikarenakan secara morfologi bagian tana- man sehingga diduga hasil limbah produksi dibuang ke
yang digunakan memiliki rongga yang diduga aliran sungai Pegangsaan Dua.
dapat menjadi tempat pengendapan logam-logam
Hasil determinasi sampel tanaman eceng
berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn
gondok (Eichhornia crassipes) yang diperoleh dari
dengan baik (Al-Ayubi, 2008).
beberapa titik di Sungai Pegangsaan Dua
Logam berat kadmium bergabung ber- sama menunjukkan kebenaran identitas tanaman yang
timbal dan merkuri sebagai the big three heavy merupakan anggota suku Pontederiaceae.
metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi bagi
Pemeriksaan logam dilakukan dengan
metode Inductively Couple Plasma (ICP). Pemilihan
metode ini dilakukan berdasarkan kemampu- annya Tanaman eceng gondok yang digunakan
untuk mengidentifikasi dan mengkuanti- fikasi sebagai kontrol diambil di Balitro karena eceng
semua elemen logam dengan pengec- ualian Argon. gondok tersebut dibudidayakan bukan tumbuhan
Inductively Couple Plasma (ICP) cocok untuk liar sehingga diharapkan tidak ter- cemar logam
semua konsentrasi tidak memerlu- kan sampel yang Pb dan Cd. Hasil penelitian tern- yata eceng
banyak, batas deteksi umum- nya rendah untuk gondok kontrol mengandung logam berat Pb dan
elemen dengan jumlah 1 - 100 g / L . sedikit sekali mengand- ung logam berat Cd , hal
ini diduga karena letak lokasi budidaya tanaman
Keuntungan terbesar memanfaatkan me- eceng gondok berada dipinggir jalan, sehingga
tode Inductively Couple Plasma (ICP) ketika masih dapat tercemar polutan yang berasal dari
melakukan analisis kuantitatif adalah analisis gas hasil sisa pembakaran kendaraan bermotor dan
multielemental dapat dicapai dan cukup cepat partikel logam berat seperti timah hitam (Pb)
(Boonen, 1996). (Fergsson, 1990).
Hasil uji batang eceng gondok pada titik 1
ternyata terdapat logam Pb sebesar 0,5002 mg/L
dan Cd sebesar 0,0560 mg/L . Hasil yang besar ini
dikarenakan lokasi titik 1 me- rupakan lokasi
terdekat dengan muara pem- buangan limbah
industri sehingga masih ter- dapatnya sisa
cemaran yang berasal dari hasil pengolahan
limbah industri. Pada titik 2, ka- dar logam Pb dan
Cd berkurang menjadi 0,0215 mg/L dan 0,0328
mg/L, hal ini dapat terjadi karena letak
pengambilan eceng gon- dok yang sudah jauh dari
muara pembuangan limbah produksi. Sementara
pada titik 3, ka- dar logam Pb pada sampel batang
eceng gon- dok sebesar 1,293 mg/L.
Tingginya kadar logam Pb pada titik 3
dikarenakan lokasi tersebut berada dekat den- gan
jalan raya dan pemukiman waga yang mungkin
bahan pencemar (polutan) berasal dari gas
kendaraan bermotor, industri rumahan dan limbah
dari masyarakat sekitar yang diduga ikut serta
dalam pencemaran aliran sungai. Pada titik yang
sama, kadar logam Cd tidak mengalami
peningkatan bahkan kadar logam yang didapat
cenderung turun menjadi 0,0143 mg/L.

KESIMPULAN
Tanaman eceng gondok (Eichhornia
Crassipes) dapat berfungsi sebagai bioakumu-
lator dengan menyerap logam Pb dan Cd pada
Sungai Pegangsaan Dua.
DAFTAR PUSTAKA

Al Ayubi, 2008. Study Keseimbangan Ad- sorpsi


Merkuri (II) pada Biomassa Daun Eceng Gondok
(Eichornia crassipes). Skripsi Jurusan Kimia Fakultas
SAINTEK. Universitas Islam Negri Malang. Malang.
Azizah R., Pariani S. dan Wijoyo S., 1998.
Kualitas Sungai Kalimas dalam Anal- isis Penegakan
Hukum

Lingkungan dan Pengaturannya Terhadap


Kesehatan Penduduk di Kotamadya Surabaya,
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya,
hal. 1,2,11,23.

Budavari, S., 2001. The Merck Index an Encyclopedia


of Chemical Drug and Biologi- cals, 13 th Ed., New
Jersey, Merck & Co. Inc., Pp. 2545, 5415.

Fergusson, J.E. 1990. The Heavy Element


Chemistry, Environmental Impact And Health Effect.
Fergusson Press: Oxford.

Kirkby dan K. Mengel. 1987. Principles of Land


Nutrition. Swithzerland: International Potash
Institute.

Kholidiyah, Noviana. 2010. Respon Biologis


Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia cras- sipes)
Sebagai Biomonitoring Pencemaran Logam Berat
Cadmium (Cd) dan Plumbum (Pb) Pada Sungai
Pembuangan Lumpur Lap- indo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Siduarjo.

Maria, Sanni. 2009. Penentuan Kadar Logam Besi (Fe)


dalam Tepung Gandum dengan cara Destruksi basah dan
kering dengan AAS sesuai SNI. Skripsi. Medan.
Potensi Chlorella sp. sebagai Bioakumulator Logam
Berat Kadmium
Ryan Widi Anggar Kusuma dan Enny Zulaika
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: ennyzulaika@bio.its.ac.id

Abstrak— Kadmium adalah logam beracun yang bersifat hidup di media terpapar Cd2+ 11,24 mg/L [5]. Paparan
toksik dan dapat membahayakan makhluk hidup serta ekosistem Cd2+ 5 µmol/L menghambat 50% pertumbuhan
perairan. Chlorella sp. memiliki kapasitas tinggi untuk mengikat
logam berat seperti kadmium. Penelitian ini bertujuan untuk
Chlorella vulgaris [6]. Pada mikroalga Isochrysis
mengetahui kemampuan hidup Chlorella sp., daya resistensi di galbana mampu mengakumulasi 0,02 mg/g Cd2+ dari 1
media terpapar logam Cd, serta kemampuan bioakumulasi mg Cd [7]. Pada Planothidium lanceolatum mampu
terhadap logam Cd. Tahap pertama pemeliharan kultur Chlorella mengakumulasi Cd2+ 3,1 mg/L [7], sehingga mikroalga
sp. dengan subkultur setiap 48 jam. Penentuan kurva berpotensi sebagai bioakumulator logam kadmium
pertumbuhan Chlorella sp. dengan mengukur densitas (OD)
menggunakan spektrofotometer setiap 2 jam selama 24 jam.
termasuk Chlorella sp. Penelitian ini akan menguji
Selanjutnya Uji resistensi logam Cd dilakukan dengan kisaran
konsentrasi CdCl2 0-50 mg/L selama 24, 48, dan 72 jam. Uji
bioakumulasi logam Cd oleh Chlorella sp. berdasarkan hasil uji
resistensi (range finding test), yaitu 0, 5, 10, dan 15 mg/L Cd
selama 24, 48, dan 72 jam. Data dianalisis secara deksritif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Chlorella sp.
resisten terhadap logam berat Cd hingga konsentrasi 15 mg/L.

Kata Kunci—Chlorella sp., mg/L, Logam Cd, Resistensi.

I. PENDAHULUAN
ENINGKATNYA berbagai aktivitas manusia
M seperti kegiatan
pertambangan,
industri,
teknologi
komunikasi dan transportasi akan menyebabkan
berbagai dampak termasuk dampak yang merugikan.
Salah satu dampak yang merugikan bagi lingkungan
dan manusia adalah pencemaran lingkungan oleh
logam berat di perairan [1]. Kadmium (Cd)
merupakan logam berat yang sangat
toksik yang mungkin dapat terpapar di perairan [2].
Penghilangan logam berat dari limbah industri
sangat penting bagi masyarakat sebagai upaya untuk
mendaur ulang dan menghilangkan logam dari
lingkungan, namun remediasi logam dengan metode
fisika-kimia masih mahal dan tidak ramah lingkungan
[3]. Teknik bioremoval logam berat dengan
memanfaatkan fitoplankton atau mikroalga merupakan
salah satu alternatif teknik bioremediasi di lingkungan
perairan [4].
Beberapa penelitian tentang mikroorganisme
khususnya mikroalga sebagai agen bioremediasi telah
banyak dikembangkan. Pada strain Chlorella mampu
apakah kultur Chlorella sp. dari BBAP Situbondo (batu dan selang aerasi) dicuci menggunakan air
mampu resisten terhadap logam Cd. mengalir dan detergen, ditiriskan sampai kering.
Sel Chlorella sp. berbentuk bulat atau bulat telur Selanjutnya alat non- gelas direndam dalam larutan
dan umumnya merupakan alga bersel tunggal kaporit 20 ppm (selama 24 jam). Selanjutnya dibilas
(unicellular), meskipun kadang-kadang dijumpai dengan air tawar dan dikering anginkan [9].
berkelompok. Diameter selnya berkisar antara 2-8 Sterilisasi untuk alat gelas (pipet tetes, erlenmeyer,
µm, berwarna hijau, dan dinding selnya keras yang gelas beaker, gelas ukur, wadah kaca) dicuci dengan
terdiri dari selulosa dan pektin, serta mempunyai air mengalir dan detergen kemudian dikering anginkan.
protoplasma yang berbentuk cawan. Chlorella sp. Selanjutnya alat gelas diautoklaf dengan suhu 121 o C
dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada dan tekanan 1 atm selama 30 menit [9].
pengamatan seakan-akan tidak bergerak [8]. C. Persiapan Media Untuk Kultivasi Chlorella sp.
Media untuk kultur Chlorella sp. menggunakan air
II. METODOLOGI tawar (pH netral) yang disaring dengan filter bag dan
ditampung dalam wadah yang bersih dan tahan panas.
A. Waktu dan Tempat Penelitian Selanjutnya air tawar tersebut dipanaskan sampai
Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2013 - mendidih (100o C) selama
Maret 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan 5 menit, didinginkan dan disaring menggunakan kertas
Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA ITS. Analisis saring Whatman no. 1, filtrat ditampung ke dalam
logam kadmium dilakukan di Laboratorium Balai wadah kaca volume 250 ml [9].
Penelitian dan Konsultasi Industri Surabaya. Nutrisi kultur Chlorella sp. adalah pupuk Aqua-
Walne dan vitamin (Tabel 1). Semua bahan nutrisi
B. Sterilisasi Alat dilarutkan ke dalam akuades 1 L kemudian dipanaskan
Sterilisasi alat untuk mensterilisasi semua peralatan dengan suhu 60oC selama 15 menit, selanjutnya
dari kontaminasi mikroorganisme lain. Alat non-gelas diautoklaf dengan suhu 120oC selama 30 menit [9].
Tabel 1.
mg/L. Kultur yang dipapar CdCl2 diletakkan di atas
Komposisi pupuk aqua-Walne dan vitamin Rotary shaker 100 rpm, diinkubasi pada suhu ruang
serta

Komposisi Jumlah Komposisi Jumlah pencahayaan 12 jam menggunakan lampu TL 40 watt


[7].
Aqua-Walne Vitamin Pengamatan jumlah kepadatan sel hidup dilakukan
NaNO3 100 gr B1 100 mg setelah kultur berumur 24 jam menggunakan
Na2EDTA 45 gr B12 5 mg haemacytometer dan mikroskop (Gambar 1.).
Haemacytometer dibersihkan 1 ml kultur mikroalga
H3BO3 33,6 gr Chlorella sp. diteteskan di bidang pengamatan
haemacytometer, penetesan harus hati-hati supaya
NaH2PO4 20 gr
tidak terjadi gelembung udara di bawah gelas penutup
FeCl2 1,3 gr [8].
MnCl2 0,36 gr
[9]
D. Pembuatan Larutan Stok CdCl2
Larutan stok digunakan untuk persediaan larutan
CdCl2 sebagai bahan baku untuk pemaparan logam Cd.
Larutan stok CdCl2 1000 mg/L dibuat dengan cara
melarutkan 500 mg CdCl2 ke dalam akuades steril
dalam labu ukur volume
500 ml. Penyimpanan larutan stok CdCl2 dilakukan
pada suhu ruang. Untuk setiap perlakuan pemaparan
CdCl2 dihitung menggunakan persamaan (1), yaitu:

C1 x V1 = C2 x
V2 (1) Gambar 1. Area perhitungan haemacytometer [8].
Keterangan:

C1 : Konsentrasi yang diinginkan (mg/L)

V1 : Volume larutan yang diinginkan (kultur Chlorella sp.) C2 : E. Kultivasi Chlorella sp. Untuk Perlakuan
Konsentrasi larutan stok (mg/L) Biakan Chlorella sp. diperoleh dari Balai Besar
V2 : Volume konsentrasi larutan stok kadmium yang ditambahkan ke V1 Penelitian Air Payau (BBAP) Situbondo dengan
kepadatan awal (100×104) sel/ml. Stok kultur
Chlorella sp. dibuat dengan mencampurkan 100 ml Chlorella sp. di area pengamatan yang berjumlah 5
biakan Chlorella sp. dan air tawar atau disebut kamar R, dihitung jumlahnya dengan
menggunakan hand tally counter baik yang mati
400 ml ke dalam erlenmeyer volume 500 ml, kemudian
ataupun hidup. Jika sudah didapatkan jumlah
ditambahkan pupuk aqua-Walne dan vitamin masing-
mikroalga maka untuk mengetahui jumlah mikroalga
masing 1 ml. Selanjutnya diletakkan di atas Rotary
per 1 ml dengan menggunakan rumus persamaan yang
shaker 100 rpm, diinkubasi pada suhu ruang serta
disajikan pada persamaan (2) [11], yaitu :
pencahayaan 12 jam menggunakan lampu TL 40 watt
[7]. Setiap 48 jam dilakukan sub kultur untuk
kontinyuitas kultivasi Chlorella sp [4]. Jumlah sel/ml = [(A+B+C+D+E) / 5] x 4.106]
(2)
F. Kurva Pertumbuhan Chlorella sp.
Keterangan :
Kurva pertumbuhan untuk menentukan umur
perlakuan Chlorella sp. Pertumbuhan sel Chlorella sp. A, B, C, D, E :jumlah sel yang dihitung menggunakan hand tally
counter tiap kamar R
diamati dengan cara mengukur optical density (OD)
pada 600 nm menggunakan spektrofotometer. 5 :jumlah kotak yang diamati dalam kamar R
Pengukuran dilakukan setiap 2 jam sekali dimulai dari 6
jam ke - 0 sampai jam ke - 4.10 :volume setiap kotak pengamatan haemacytometer

24. Umur inokulum ditentukan pada titik tengah (µ)


fase eksponensial [4]. Resistensi Chlorella sp. dihitung dengan persamaan
G. Uji Resistensi Chlorella sp. (3), yaitu :
Uji resistensi dilakukan untuk mencari range finding [(a / b) x 100%)]
test untuk menentukan konsentrasi maksimal yang (3)
dapat ditolerir oleh Chlorella sp. Uji resistensi Keterangan :
Chlorella sp. dilakukan pada wadah kaca volume 100
ml, inokulum didapatkan dari hasil kultivasi. Media A : jumlah sel yang hidup
kultur Chlorella sp. untuk uji resistensi mengandung B : jumlah sel total (hidup & mati)
Konsentrasi yang mampu ditoleransi jika jumlah sel hidup > 50%
pupuk aqua-Walne, vitamin, dan logam CdCl 2 berbagai
konsentrasi dimulai dengan 0 mg/L sebagai kontrol;
2,5; 5; 7,5; 10 mg/L [10] kemudian
konsentrasi ditingkatkan 12,5; 15 mg/L, 25 mg/L III. HASIL DAN DISKUSI
dan 50
A. Kultivasi Chlorella sp.
Kultivasi Chlorella sp. dilakukan untuk
pemeliharaan kultur biakan yang berasal dari BBAP
Situbondo. Menurut [4], pemeliharaan stok kultur
Chlorella sp. dengan melakukan subkultur setiap 48
jam. Keberhasilan pemeliharaan stok kultur Chlorella
sp. ditandai dengan kultur yang berwarna hijau
sedangkan kultur yang mati ditandai dengan kultur
yang memudar dan menjadi jernih (Gambar 2).
A B
C
Gambar 2. Stok kultur Chlorella sp. (A. hidup, B. mati, C konsentrasi 5 mg/L sampai dengan 50 mg/L. Hasil uji
Chlorella sp. mati yang menggumpal di dasar tabung kultur) resistensi Chlorella sp. yang dipapar dengan logam Cd
(Dokumentasi Pribadi, 2014). konsentrasi 0–50 mg/L bervariasi dari 44% - 100%
(Gambar 4).

Sel induk Chlorella sp. dalam kisaran waktu 15


menit akan berubah menjadi sporangium yang berisi 2-
4 autospora [12], selanjutnya lapisan dinding sel induk
sporangium pecah dan 2-4 autospora dilepas, autospora
kemudian akan membentuk sel vegetatif baru [13].
B. Kurva Pertumbuhan
Pengamatan kurva pertumbuhan digunakan untuk
menentukan umur perlakuan. Pertumbuhan Chlorella
sp. diamati dengan mengukur kekeruhan (optical
density) menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 600 nm. Kurva pertumbuhan Chlorella sp.
dari jam ke – 0 sampai dengan jam ke – 24 ditampilkan
pada (Gambar 3).

Gambar 3. Kurva pertumbuhan Chlorella sp.

Kultur Chlorella sp. mencapai fase eksponensial


pada jam ke – 4 sampai dengan jam ke – 12.
Berdasarkan gambar 4.3 di atas, umur inokulum
perlakuan yang digunakan untuk uji resistensi dan
bioakumulasi adalah 8 jam setelah kultur.
Kurva pertumbuhan Chlorella sp. diawali dengan
fase adaptasi, dilanjutkan fase eksponensial, stasioner,
dan diakhiri dengan fase kematian. Fase eksponensial
ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sangat
cepat melalui pembelahan sel dan apabila dihitung
secara matematis membentuk fungsi logaritmik [11].

C. Uji Resistensi Chlorella sp.


Uji resistensi dilakukan untuk mencari range finding
test yang fungsinya untuk menentukan konsentrasi
maksimal yang dapat ditolerir oleh Chlorella sp. Uji
resistensi Chlorella sp. terhadap logam Cd dimulai dari
Gambar 4. Hasil uji resistensi Chlorella sp. pada pemaparan logam
CdCl2 dari 0 jam sampai 5 jam.

Pada konsentrasi 0 mg/L CdCl2, persentase sel hidup


mencapai 100 % dari jam ke – 0 sampai dengan jam ke
– 5. Selanjutnya pemaparan konsentrasi CdCl 2 5 mg/L,
10 mg/L dan 15 mg/L terjadi penurunan jumlah sel
hidup Chlorella sp. hingga akhir pengamatan jam ke –
5. Hasil uji logam CdCl2 sampai 15 mg/L
menunjukkan persentase jumlah sel hidup di atas 50%,
sehingga konsentrasi maksimal yang dapat ditolerir
oleh Chlorella sp. supaya tetap hidup dan
memungkinkan untuk digunakan sebagai agen
bioremediasi adalah konsentrasi 15 mg/L CdCl 2.
Range finding test yang akan diujikan adalah 0, 5, 10
& 15 mg/L CdCl2.
Menurut Arunakumara dan Zhang, Cd merupakan
logam berat yang dapat terakumulasi di dalam sel
mikroalga, bersifat fitotoksik kuat, menghambat
pertumbuhan dan bahkan dapat menyebabkan
kematian [14]. Secara umum efek logam berat
terhadap sel mikroalga adalah menghambat aktivitas
enzim, misal enzim yang tersusun oleh asam amino
cysteine gugus sulfuhidrilnya akan tergantikan oleh
ion logam Cd2+, sehingga enzim tersebut kehilangan
aktivitasnya. Selain itu ion logam Cd 2+ juga dapat
mengacaukan reaksi redoks di dalam sel. Radikal
bebas di dalam sel ROS (reactive oxygen species) yang
dapat direduksi oleh enzim antioksidan menjadi tidak
tereduksi sehingga enzim antiokasidan akan menghikat
ion logam Cd2+.
Menurut Carfagna, dkk., logam Cd mempunyai
muatan ion positif sehingga ion Cd2+ akan berikatan
dengan protein atau enzim di dalam sel yang
bermuatan negatif [15]. Salah satu senyawa di dalam
sel adalah protein atau enzim, jika ion logam berat Cd
terikat dengan enzim atau protein maka hal tersebut
akan menggangu fungsi enzim atau protein. Mikroalga
mempunyai mekanisme menanggulangi toksisitas
logam berat di dalam sel termasuk logam Cd dengan
cara sistem pertahanan menggunakan antioksidan,
enzimatik dan non-enzimatik, yang dirancang untuk
mengontrol konsentrasi radikal bebas (ROS). Protein
termasuk enzim yang mengandung asam amino cystein
merupakan salah satu bentuk pertahanan mikroalga
terhadap logam berat termasuk Cd. Protein cystein
berperan sebagai donor dan akseptor elektron. Cystein
merupakan protein yang berfungsi mengikat radikal
bebas (ROS), namun kehadiran ion logam Cd2+
menyebabkan cystein harus mengikat (ROS) dan ion
logam Cd2+ bersamaan. Kehadiran ion logam Cd 2+
dalam jumlah berlebihan di dalam sitoplasma sel
Chlorella sp. menyebabkan keseimbangan
(homeostasis) Chlorella sp. terganggu.
Hal ini menunjukan adanya hubungan antara induksi logam Cd terhadap produksi GSH yang
mengandung tripeptia cysteine untuk mengikat logam berat yang masuk ke dalam sitoplasma sel
Chlorella sp. Jika jumlah logam Cd yang diikat grup sufuhidril cystein berlebih akan menyebabkan sel
terganggu dan akhirnya mati dengan bentuk tidak utuh, pecah (lisis), dan berwarna pudar (bening) tidak
mengandung kloroplas seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

A B
Gambar 5. Bentuk sel Chlorella sp. yang dipapar logam CdCl2 (A. Hidup, B. Mati) (Dokumentasi pribadi, 2014).

IV. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian Potensi Chlorella sp. Sebagai Bioakumulator Logam Berat Kadmium adalah :
1. Mikroalga Chlorella sp. resisten terhadap logam Cd2+ sampai dengan konsentrasi 15 mg/L.
2. Mikroalga Chlorella sp. berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen bioremediasi logam berat kadmium di
IPAL yang mengandung logam kadmium.
3. Data bioakumulasi logam kadmium oleh Chlorella sp. tidak ditampilkan

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis Ryan Widi mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada Dr. Enny Zulaika yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dalam penyusunan jurnal POMITS”. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan Tursiops truncatus yang telah
membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Ahuja, S. 2009. “Overview, in Satinder Ahuja edition, Handbook of Water Quality and Purity 1st edition”. Academic Press. New York.
[2] Cotton, F.A. & Wilkinson, G. 1995. “Kimia Anorganik Dasar”. UI Press. Jakarta.
[3] Hashim, S.O., Delgado,O., Hatti, K.R., Mulaa, F.J. & Mattiasson, B. 2004. “Starch Hydrolyzing Bacillus halodurans Isolated From A Kenyan
Soda Lake”. Biotechnology. 26 (8): 23–828.
[4] Monteiro, C.M., Castro, P.M.L. & Malcata, F.X. 2010. “Cadmium Removal by Two Strain of Desmodesmus pleiomorphus Cells”. Water Air
Soil Pollution. 208: 17-27.
[5] Matsunaga, T., Takeyama, H.N.T. & Yamazawa, A. 1999. “Screening of Marine Microalgae for Bioremediation of Cadmium Polluted
Seawater”. Journal Biotechnology. 70: 33–38.
[6] Ouyang, H., Kong, X, He, W., Qin, N., He, Q., Wang, Y. Wang, R. & Xu, F. 2012. “Effects of Five Heavy Metals at Sub-Lethal Concentrations
on The Growth and Photosynthesis of Chlorella vulgaris”. Chinnese Science Bulletin. 57 (25): 3363-3370.
[7] Sbihi, K., Cherifi O., Gharmali A.E., Oudra, B. & Aziz. 2012. “Accumulation and Toxicological Effects of Cadmium, Copper And Zinc on The
Growth and Photosynthesis of The Freshwater Diatom
Planothidium lanceolatum (Brébisson) Lange-Bertalot: A laboratory study”. Journal Material Environmental Science. 3 (3) 497-506.

[8] Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Jakarta.
[9] Cahyaningsih, S., Muchtar, A.N.M., Purnomo, S.J., Pujiati, Kusumaningrum, I., Haryono, A. Slamet., Y;ulaeni, F., Ramadhan, F. & Bagus.
2006. Petunjuk Teknis Produksi Pakan Alami. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai
Budidaya Air Payau Situbondo.
[10] Edris, G., Alhamed, Y. & Alzahrani, A. 2012. “Cadmium and Lead Biosorption by Chlorella vulgaris”. Sixteenth International Water
Technology Conference. Turkey. 16: 1-11.
[11] Suminto. 2005. Budidaya Pakan Alami Mikroalgae dan Rotifer. Universitas Diponegoro. Semarang.
[12] Klochkova, T.A. & Kim, G.H. 2005. “Ornamented Resting Spores of a Green Alga, Chlorella sp., Collected from the Stone Standing
Buddha Statue at Jungwon Miruksazi in Korea”. Algae. 20 (4): 295- 298.
[13] Manisha, S.C.A. 2007. “Growth, Survival and Reproduction in Chlorella vulgaris and Chlorella variegata with Respect to Culture Age and
Under Different Chemical Factors”. Folia Microbiology. 52 (4), 399-406.
[14] Arunakumara, K. K. I. U. & Zhang, X. 2008. “Heavy Metal Bioaccumulation and Toxicity with Special Reference to Microalgae”. Journal
Ocean University Chinesse. 1 (7): 25-30.
[15] Carfagna, S., Lanza, N., Salbitani, G., Basile, A., Sorbo, S. & Vincenza, V. 2013. “Physiological and Morphological responses of Lead or
Cadmium exposed Chlorella sorokiana 211-8K (Clorophyceae)”. SpringerPlus. 2: 147.

Anda mungkin juga menyukai