OLEH:
E1F119025
FAKULTAS TEKNIK
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
Kimia Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai
makalah “Masalah lingkungan pesisir dan penanggulangannya”.
Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati
menerima masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. MASALAH LINGKUNGAN PESISIR
B. PENANGGULANGAN MASALAH LINGKUNGAN PESISIR
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya
tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai
tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola
dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Delinom (2007:2) mendefinisikan,
Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana
lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan
sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan
lebar bervariasi.
Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan berbagai pihak.
Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas
yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan ekosistem pesisir sebagai ekosistem
yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami maupun buatan. Penanggulangan atas
permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat mengurangi maupun mencegah kerusakan
yang terjadi. Makalah ini menyajikan permasalahan pesisir yang diakibat oleh faktor alam
maupun manusia beserta penanggulangannya yang tepat atas permasalahan yang dihadapi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat da lat; kea rah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, mauun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggndulan hutan dan
pencemaran (soegiarto, 1976; Dahuri et al 2001).
Menurut Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena
dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemnya daratan an lautan.
“wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat
mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dank e arah
laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (beatley., 1994).”
Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena dapat
meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Banyaknya
kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat rentan terhadap
kerusakan dan pengrusakan. Menurut Hinrichsen(1997) dalam Idris(2001), “wilayah pesisir
memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga
lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi”. Kerusakan sumber daya alam
saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam. Perilaku manusia saat
ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme dimana cara pandang manusia hanya melihat dari
sudut prinsip etika terhadap manusia saja, baik dari sisi kebutuhannya maupun kepentingannya
yang lebih tinggi dan terkadang sangat khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk
selain manusia dan benda lainnya hanya dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia
atau yang dikenal dengan prinsip instrumentalistik (Susilo 2008:61)
Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang mudah terpengaruh
dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan
pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya
merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi
merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta
pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, perairan
pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran. Beberapa penyebab kerusakan pesisir yaitu:
1. Penyebab Kerusakan Pesisir
Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi dua, yaitu: kerusakan
karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik
Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino,
pemanasan, predator, erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara
alami ataupun akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana alam
berupa tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerusakan di daerah
pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada
medium laut. Masalah banjir di Indonesia lebih sering disebabkan oleh manusia. Contoh-contoh
penyebabnya, yaitu: pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak sempat membangun sarana
drainase, adanya bangunan-bangunan liar di sungai, sampah yang dibuang di sungai,
penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu. Masalah erosi yang terjadi
dapat pula disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.
Berdasarkan sumbernya, kerusakan yang disebabkan oleh antropogenik dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
Darat
Daerah-daerah pesisir yang memiliki pencemaran tinggi adalah daerah industri, daerah yang
padat penduduk dan pertanian. UNEP(1995) dalam Idris(2001), “sumber utama pencemaran
pesisir dan lautan berasal dari daratan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu dari kegiatan industri,
kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian”. Kegiatan-kegiatan tersebut telah
menyumbangkan limbah berupa limbah cair dan padat yang menimbulkan dampak serius pada
daerah pesisir dan makhluk hidup sekitarnya.
Kegiatan rumah tangga seringkali menimbulkan limbah domestik berupa limbah cair dan
padat. Limbah cair domestik dapat dibagi dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) limbah cair yang
berasal dari air cucian seperti sabun, deterjen, minyak dan pestisida; (2) limbah cair yang berasal
dari kakus seperti sabun, shampoo, tinja dan air seni.[2] Limbah cair mengandung bahan organik
dan anorganik serta jutaan sel mikroba dan bakteri. Kandungan yang terdapat dalam limbah cair
dapat mengancam kesehatan masyarakat yang menggunakan air yang telah tercemar sehingga
menimbulkan penyakit yang dapat dilihat pada lampiran 1 (tabel 1.2).
Pabrik-pabrik yang berada di sekitar pesisir pun menimbulkan pencemaran berupa limbah
industri. Limbah industri tersebut mengandung unsur yang sangat beracun, seperti basa, logam
berat dan bahan organik yang beracun. Menurut Diposaptono (2001:8-15), pencemaran oleh
industri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perencanaan daerah industri yang tidak
teratur, perencanaan tata kota yang kurang baik, dan tidak tersedianya fasilitas pengolah limbah
pada daerah industri.
Limbah padat berupa sampah kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan sampah ke
laut sering menjadi alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan dinilai tidak
efektif dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan berpengaruh bagi lautan
yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai pengaruh terhadap kehidupan
laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai dan mengurangi keindahan laut
serta menghalangi penetrasi cahaya matahari. Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke
dasar laut dan berpengaruh terhadap komunitas bentos (Mukhtasor 2007:137-142).
Laut
Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen dan
pembuangan material hasil pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan
pencemaran yang dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari pengerukan
sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan. Material hasil kerukan
biasanya dibuang beberapa kilometer dari pantai sehingga menimbulkan efek pencemaran bagi
kehidupan perairan sekitar. Selain itu, juga dapat menimbulkan turbiditas[3] yang mengancam
bentik[4]. Hal ini berpengaruh bagi kehidupan perairan karena kebanyakan bahan kerukan
diambil dari daerah pelabuhan yang biasanya telah tercemar (Mukhtasor 2007:170-187).
Tumpahan minyak ke laut dapat berasal dari berbagai sumber. Biasanya tumpahan minyak
berasal dari tabrakan kapal tanker, atau dari proses yang disengaja seperti pencucian tangki balas.
Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia pun sering terjadi, misalnya dalam kurun waktu
1997-2001. Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat
membahayakan karena dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun
efek jangka panjang. Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut berupa
perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut. Selain itu,
tumpahan minyak dapat berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang
menggantungkan hidupnya di sektor perikanan dan budi daya (Mukhtasor 2007:234:249).
1. Kegiatan Mitigasi
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani permasalahan di daerah pesisir seperti
penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Kegiatan penanggulangannya
dengan menanam mangrove di wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami atau erosi.
Penanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penghadang gempuran tsunami atau ombak,
sehingga energi gelombang dapat diredam dan akan mengurangi dampak negatif berupa korban
jiwa dan harta benda.
2. Kegiatan Preventif/Pencegahan
3. Kegiatan Pemulihan
Kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan keadaan yang telah
mengalami kerusakan. Menurut Diposaptono (2001:8-15), kegiatan pemulihan dapat berupa
restorasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Berdasarkan hasil penelitian Suhardi (2001:2-1),
pendekatan sedimen sel dapat diterapkan di Indonesia dalam menangani masalah erosi (tipe
pantai terbuka) dan akresi (tipe pantai terlindung. Sedangkan pada kasus tumpahan minyak dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode fisika/mekanis (penggunaan boom,
absorben, dan skimmer[7]), metode kimia (penggunaan dispersan), metode biologi
(bioremediation), dan dengan pembakaran.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Daerah pesisir memiliki daya tarik dan potensi ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu,
berbagai pihak berlomba-lomba untuk memanfaatkan dan mengelola daerah pesisir. Maraknya
aktivitas yang dilakukan menjadikan ekosistem pesisir rentan terhadap kerusakan dan perusakan
yang terjadi. Permasalahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam berupa
bencana alam dan faktor antropogenik. Kerusakan yang dilakukan akibat ulah manusia dapat
bersumber dari darat maupun laut. Sumber kerusakan yang berasal dari darat berupa limbah
industri, limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Sedangkan kerusakan yang berasal dari laut
berupa pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil pengerukan serta tumpahan minyak.
Dampak negatif yang ditimbulkan tidak hanya merugikan lingkungan dan biota yang ada tetapi
juga dapat membahayakan manusia itu sendiri. Penanggulangan atas permasalahan pesisir yang
terjadi perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan mitigasi, kegiatan
preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini, maka dapat di berikan saran kepada masyarakat sekitar
khususnya masyarakat pesisi untuk tetap menjaga lingkungannya agar tidak terjadi kerusakan
yang dapat merusak lingkungan dan ekosisten pesisir maupun makhluk hidup di pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
Delinom RM & Lubis RF. 2007. Air tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam: Delinom
RM,editor. Sumber daya air di wilayah peisisir & pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta: LIPI
Press. Hal1-25.
Diposaptono Subandono. 2001. Riset teknologi pesisir: kini dan masa datang. Dalam:
Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta:
Graha Sucofindo. Hal1-20.
Idris Irwandi. 2001. Kebijakan pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia. Dalam: Rachmawati
Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha
Sucofindo. Hal1-9.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322hal.
Satria Arif. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press. 176hal.
PARTISIPASI MASYARAKAT PESISIR DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM
HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU
Iwang Gumilar
ABSTRAK
Penelitian mengenai aspek sosial budaya masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan
mangrove ini bertujuan untuk menganalisis persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Indramayu karena akar masalah kerusakan
ekosistem hutan mangrove berawal dari perilaku manusia itu sendiri dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada. Metode penelitian secara umum yang digunakan adalah metode studi
kasus. Variabel yang diteliti meliputi persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove. Pengukuran derajat persepsi dan partisipasi diukur menggunakan
metode skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap 10 kriteria
pengelolaan hutan mangrove, 7 kriteria diantaranya, yaitu kerusakan wilayah pesisir karena faktor
alam, kerusakan wilayah pesisir lebih karena perbuatan manusia, kerusakan hutan mangrove
karena abrasi dan kepentingan ekonomi. Mangrove memiliki manfaat penting bagi lingkungan
pesisir, pengelolan hutan mangrove tanggung jawab bersama, perusahaan lokal berpartisipasi
dalam pelestarian lingkungan, dan pemda sudah menjalankan tugas pengelolaan lingkungan
dengan baik; menunjukkan nilai skala Likert berada pada rentang positif. Sementara itu, untuk 3
kriteria lainnya, yaitu mangrove memiliki manfaat penting bagi kegiatan tambak, penegakan
hukum lingkungan dinilai sudah cukup memadai, dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
lingkungan meningkat; responden memiliki persepsi negatif terhadap kriteria tersebut. Indeks
partisipasi masyarakat berada pada rentang 0,50 – 0,60. Nilai rata- rata CRI sebesar 2.48 yang
berada pada rentang cukup bertanggung jawab terhadap upaya pelestarian lingkungannya.
ABSTRACT
The research on social aspect culture of society in the management eco forest ecosystem is to
analyze perception and public participation in the preservation of forest ecosystem eco in the
coastal indramayu because root of problem damage forest ecosystem eco came from human
behavior itself in the harness natural resources. Method research in general used is method case
study. Variable surveyed covering perception and public participation in the preservation of forest
ecosystem mangrove. Measurement degrees perception and participation measured using methods
scale likert. The result showed that perception respondents against 10 criteria forest management
mangrove, 7 criteria are namely damage coastal region because the nature, damage coastal region
more as the works of men, damage hutan mangrove because abrasion and economic importance.
Mangrove has important benefits for the environment, coastal mangrove forests of pengelolan
shared responsibility, local companies participating in the preservation of the environment, and
local authorities are already
running task management environments well; Likert scale shows the value in the positive range. In
the meantime, to 3 other criteria, that have important benefits for mangrove activity embankment,
environmental law enforcement assessed already quite insufficient, and public participation in the
preservation of the environment is increasing; respondents have a negative perception against these
criteria. Index of public participation was at 0.50 -0.60 range.
2.1. Persepsi
1) Persepsi Masyarakat
wilayah pesisir Indramayu. Dalam aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Jumlah
penelitian ini, pengkajian partisipasi dibagi sampel yang diambil sebanyak 35 orang yang
atas dua kategori, yaitu partisipasi tersebar di desa-desa yang ada di wilayah
masyarakat umum yang ada di sekitar hutan pesisir Indramayu mulai dari Sukra hingga
mangrove. Krangkeng.
Skala Likert dan indeks persepsi masyarakat Tingkat partisipasi masyarakat dalam
(IPm). Metode Skala Likert, yaitu metode pengelolaan lingkungan diukur dengan
untuk mengukur luas/dalamnya persepsi, mengunakan indeks partisipasi (IP), yaitu
pendapat dan dari responden. Dalam metode ukuran aggregatif yang disusun untuk
ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, mengukur suatu variabel tertentu dalam hal ini
setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa partisipasi masyarakat. Indeks partisipasi ini
sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan berusaha mengukur tingkat partisipasi
jawaban. Urutan untuk skala Likert masyarakat dari derajat keterlibatan dalam
menggunakan lima angka penilaian, yaitu 1) berbagai aktivitas pengelolaan ekosistem hutan
sangat setuju (SS, bobot 5), 2) setuju (S, mangrove atau kelestarian lingkungan
bobot 4), 3) netral /bstain (A, bobot 3), 4) (F.Stuart Chapin, 1952). Derajat keterlibatan
tidak setuju (TS, bobot 2), dan 5) sangat tidak masyarakat diukur dengan instrumen
setuju (STS, bobot 1). Indeks partisipasi partisipasi dari Arnstein (1969) yang dikenal
masyarakat merupakan ukuran agregat untuk dengan tipologi delapan tangga partisipasi
menilai persepsi masyarakat tentang isu masyarakat (eight rungs on the ladder of
tertentu dengan rentang nilai 0 hingga 1. citizen participation).
III. HASIL DAN DISKUSI 8. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian
3.1. Persepsi Masyarakat lingkungan meningkat
Terdapat sepuluh kriteria pernyataan 9. Perusahaan lokal berpartisipasi
yang digunakan untuk mengukur dan dalam pelestarian lingkungan
berikut: baik
pasang surut dimana ketinggian dan derasnya 2) Persepsi: Kerusakan wilayah pesisir
lebih karena perbuatan manusia
arus dirasakan mulai berubah, musim sering
Kerusakan wilayah pesisir selain
tidak menentu dan gangguan alam lebih
disebabkan karena pengaruh faktor fisik alam
banyak sehingga sering aktivitas mereka
juga dikarenakan faktor perilaku manusia.
menjadi terganggu. Dengan tidak
Responden sebanyak 69% menyatakan sangat
menentunya kondisi fisik alam tersebut telah
setuju (IPm=0,69) dan 31% menyatakan setuju
menyebabkan abrasi pantai semakin
(IPs=0,31) terhadap pernyataan bahwa
meningkat, banyak rumah-rumah nelayan dan
kerusakan wilayah pesisir juga disebabkan
fasilitas sosial lainnya yang ada di pinggir
karena pengaruh perilaku manusia seperti
laut menjadi rusak dan terancam. Rob sering
rendahnya tingkat peminatan masyarakat
terjadi dan membanjiri lingkungan
untuk menanam dan memelihara mangrove,
permukiman dan lokasi tambak mereka.
penebangan liar hutan mangrove yang tidak
Pencemaran air dewasa ini juga telah menjadi
terkendali untuk kepentingan kayu bakar,
isu pokok yang mengancam degradasi
konversi untuk tambak, dan pemanfaatan
lingkungan. Akibatnya banyak kerugian
untuk pembangunan fasilitas publik. Dengan
secara ekonomis yang diderita masyarakat
kata lain, persepsi masyarakat terhadap isu ini
nelayan.
berada pada rentang positif. 3) Persepsi: Kerusakan hutan mangrove
karena abrasi dan kepentingan
ekonomi
Menurut persepsi responden (100%, SS;
IPm=1) kerusakan hutan mangrove di
Indramayu pada saat ini disebakan oleh dua
faktor penting yaitu abrasi pesisir dan adanya
kepentingan ekonomi seperti konversi lahan
tambak yang semakin semarak belakangan
ini karena usaha tambak memberikan peluang
pendapatan lebih baik bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah pesisir. Dengan kata lain,
persepsi masyarakat terhadap isu ini berada
pada rentang positif. Disamping itu,
dorongan kebutuhan hidup/ekonomi mereka
yang semakin meningkat telah mendorong
masyarakat tidak menghiraukan lagi
kelestarian lingkungan. Sebagai contoh untuk
kebutuhan akan bahan bakar mereka mulai
merambah hutan tanaman mangrove karena
harga bahan bakar minyak/bahan bakar yang
semakin mahal dan langka. Kondisi seperti
ini merupakan ancaman bagi keberlanjutan
lingkungan dalam hal ini hutan mangrove.
detritus. Menurut Arkansoe dalam Kusmana (1996) bahwa detritus ini menjadi makanan
binatang pemakan detritus seperti mangrove disinyalir merupakan ancaman
amphipoda, dan selanjutnya binatang ini akan yang tidak kalah penting bagi pengelolaan
menjadi makanan larva ikan, udang dan hutan mangrove. Responden sebanyak 60%
kepiting. menyatakan sangat tidak setuju; sebanyak
6) Persepsi: Pengelolan hutan mangrove 23% responden menyatakan tidak setuju; dan
tanggungjawab bersama 17% responden menyatakan abstain terhadap
Berkaitan dengan tanggung jawab
pernyataan bahwa penegakan hukum
pengelolaan hutan mangrove, 63% responden
lingkungan dinilai sudah cukup memadai
menyatakan bahwa pengelolaan hutan
(IPm=0). Dengan kata lain, persepsi
mangrove merupakan tanggung jawab
masyarakat terhadap isu ini berada pada
bersama antara pemerintah daerah,
rentang negatif. Responden berpendapat
perusahaan dan masyarakat (IPm=0,63).
penegakan hukum di lapangan sering tidak
Dengan kata lain, persepsi masyarakat
jalan dan proses hukum terhadap pelanggar
terhadap isu ini berada pada rentang positif.
sering tidak tuntas. Masyarakat kecil secara
Responden sebanyak 37% menyatakan tidak
perseorangan umumnya memanfaatkan
setuju terhadap pernyataan bahwa
tanaman mangrove hanya berupa ranting-
pengelolaan hutan mangrove merupakan
ranting yang kecilnya saja dan itupun
tanggung jawab bersama. Menurut mereka
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi
tanggung jawab pengelolaan hutan mangrove
oknum aparat sering menebangi tanaman
terletak pada pemerintah dalam hal ini Perum
mangrove dalam jumlah yang banyak.
Perhutani dan Dinas instansi terkait seperti
Penebangan liar selama ini banyak
dinas lingkungan hidup, dinas perkebunan
terjadi pada saat mangrove sudah tinggi
dan kehutanan serta dinas perikanan dan
sekitar usia 2-3 tahun. Pada saat seperti itu,
kelautan. Responden menyatakan bahwa
pencurian terhadap tanaman mangrove
tidak berhasilnya pengelolaan hutan
semakin meningkat. Mereka membabat
mangrove di wilayah pesisir Kabupaten
tanaman mangrove untuk dijadikan kayu
Indramayu dikarenakan kegiatan penanaman
bakar baik untuk konsumsi sendiri maupun
mangrove umumnya lebih bersifat proyek
untuk dijual tidak terkecuali oknum aparat
sehingga terkesan asal- asalan dalam
atau petugas didalamnya. Disamping itu,
pelaksanaannya.
ketika tanaman mangrove sudah tinggi sering
7) Persepsi: Penegakan hukum lingkungan terbentuk lahan daratan yang tidak
dinilai sudah cukup memadai
berpemilik sehingga banyak orang yang
Adanya oknum aparat yang sering
mengklaim bahwa itu adalah miliknya.
melakukan illegal loging terhadap hutan
Masalah ini juga otomatis menjadi masalah
Pemda.
8) Persepsi: Partisipasi masyarakat dalam menyatakan abstain terhadap pernyataan
pelestarian lingkungan meningkat
bahwa perusahaan lokal (PT. Pertamina)
Masyarakat menyadari bahwa pada
berpartisipasi dalam upaya pelestarian
saat ini partisipasi masyarakat/gotong royong
lingkungan (IPm=0,8). Dengan kata lain,
ada kecenderungan mulai menurun. Hal ini
persepsi masyarakat terhadap isu ini berada
ditunjukkan oleh responden sebanyak 23%
pada rentang positif. PT. Pertamina dianggap
menyatakan sangat tidak setuju; responden
masyarakat sebagai salah perusahaan andalan
sebanyak 71% tidak setuju dan hanya 6%
yang ada di lingkungan mereka, yang
responden menyatakan setuju terhadap
diharapkan memberikan manfaat yang berarti
pernyataan bahwa partisipasi masyarakat
bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan
dalam pelestarian lingkungan meningkat
sekitarnya. Selama ini PT. Pertamina banyak
(IPm=0,06). Dengan kata lain, persepsi
memberikan batuan bagi masyarakat dan
masyarakat terhadap isu ini berada pada
lingkungan berupa benih mangrove,
rentang negatif. Hal ini nampak dari semakin
pembangunan breakwater, permodalan usaha,
berkurangnya warga masyarakat yang ikut
pembinaan pendidikan dan latihan, dsb.
serta dalam setiap kegiatan gotong royong
yang ada di lingkungannya dikarenakan 10) Persepsi: Pemda sudah menjalankan
tugas pengelolaan lingkungan dengan baik
kesibukan masing-masing dalam mencari
Berkaitan dengan pengelolan hutan
nafkah, perubahan tata nilai dari masing-
mangrove, responden mengharapkan agar
masing warga, juga dikarenakan adanya
pemerintah daerah berserta jajarannya dapat
program yang tidak bersifat partisipatif.
lebih baik dalam mengelola hutan mangrove
Masyarakat tidak benar-benar dilibatkan
yang ada di wilayah pesisir sehingga
secara langsung dari mulai perencanaan
kerusakan lingkungan dapat segera di atasi
hingga pengawasannya.
dan manfaat-manfaat lingkungan lebih bisa
9) Persepsi: Perusahaan lokal dirasakan. Responden sebanyak 46%
berpartisipasi dalam pelestarian
lingkungan menyatakan sangat setuju; responden
Perusahaan swasta yang ada di sebanyak 49% menyatakan setuju dan
Kabupaten Indramayu, dalam hal ini PT. sebanyak 5% menyatakan abstain terhadap
Pertamina, dinilai responden memiliki pernyataan bahwa pemda sudah menjalankan
kepedulian yang cukup baik dalam turut serta tugas pengelolaan lingkungan dengan baik
melestariakan lingkungan termasuk hutan (IPm=0,95). Dengan kata lain, persepsi
mangrove. Sebanyak 80% responden masyarakat terhadap isu ini berada pada
menyatakan setuju dan 20% responden rentang positif. Responden menilai kinerja
pemerintah dalam pengelolaan hutan
mangrove selama ini dinilai cukup berhasil yang diindikasikan diantaranya dengan
diperolehnya penghargaan Kalpataru dari memperlihatkan bahwa kriteria atau isu
pemerintah pusat. pokok lingkungan nomor 1,2,3,4,6,9 dan 10
Hasil rekapitulasi data, dari 10 kriteria menunjukkan nilai skala Likert yang berada
yang digunakan untuk mengukur persepsi pada rentang positif. Ini artinya, responden
masyarakat terhadap isu-isu pokok memiliki persepsi positif terhadap isu-isu
lingkungan ekosistem hutan mangrove di dimaksud. Sementara itu, untuk kriteria
Indramayu disajikan pada Gambar 1. Gambar nomor 5,7, dan 8, responden memiliki
tersebut persepsi negative.
Gambar 1. Grafik Pengukuran Persepsi Masyarakat terhadap Isu Lingkungan Ekosistem dan
Pengelolaan Hutan Mangrove di Indramayu Menggunakan Skala Likert.
masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Pada tingkat sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga
ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) digunakan sebagai tujuan. Secara
memiliki mayoritas suara dalam proses diagramatis, sebaran nilai indeks dan derajat
pengambilan keputusan keputusan bahkan partisipasi masyarakat dalam program
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh rehabilitasi hutan mangrove di Indramayu
mengelola suatu obyek kebijaksanaan disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
tertentu. Dalam faktanya di lapangan
Menurut program kegiatan
masih banyak yang memandang
berdasarkan stakeholder yang ada, diketahui
peran serta masyarakat semata-
bahwa tingkat partisipasi masyarakat terjadi
mata sebagai penyampaian informasi (public
pada program
information), penyuluhan, bahkan sekedar
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
alat public relation agar proyek tersebut
sendiri yang termasuk dalam program
dapat berjalan tanpa
musrenbang, dimana nilai indeks
hambatan. Dengan kata lain, partisipasi
partisipasinya (IP) sebesar 1. Ini artinya
masyarakat tidak saja digunakan sebagai
masyarakat terlibat dari mulai penyampaian
informasi, konsultasi hingga pengawasan.
Gambar 2. Sebaran Nilai Indeks Partisipasi Masyarakat Menurut Program Stakeholder di Kabupaten
Indramayu
Gambar 3 . Derajat Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Indramayu (Model
Tangga Partisipasi Arnstein, 1969, dimodifikasi)
Widyaiswara Pusdiklat Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kawasan
Puspiptek Serpong, Gd. 210, Jl. Raya Puspiptek Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
Abstract: Banyak kota-kota besar di Indonesia yang berada di wilayah pesisir yang mempunyai
potensi yang besar untuk menjadi kota pariwisata, perdagangan dan industri karena letaknya yang
strategis. Namun demikian, kualitas lingkungan pesisir masih kurang diperhatikan, sehingga terjadi
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akhirnya mengancam pengembangan potensi kota
pesisir tersebut. Oleh karena itu, perlu langkah nyata berupa pengelolaan, pengendalian dan
pemantauan lingkungan yang berkesinambungan. Hal ini dikarenakan sumber pencemar dan
kerusakan lingkungan berasal dari kegiatan di daratan dan lautan. Langkah pengelolaan yang harus
dilakukan adalah pengelolaan limbah dan penerapan manajemen terpadu (Integrated Coastal
Management) yang melibatkan semua pihak dan sektor. Langkah pengendalian terhadap terjadinya
pencemaran dan kerusakan pesisir perlu dilakukan dengan melakukan pencegahan, penanggulangan
dan pemulihan kerusakan atau pencemaran yang telah terjadi. Dalam pelaksanaan pengelolaan
pesisir terpadu perlu dibentuk Tim dengan kerangka kelembagaan yang jelas serta melaksanakan 6
(enam) langkah yang dikembangkan oleh PEMSEA (Environmental Management for the Seas of East
Asia).
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI
2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia 13.466 pulau
dengan garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar
dalam mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang
beragam, seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove,
maupun pariwisata. Sayangnya, sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia pada masa lampau
belum mendapat perhatian serius sebagaimana halnya pembangunan di wilayah daratan. Beberapa
kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi serta pencurian sumberdaya laut oleh pihak
asing yang tidak terkendali. Kemiskinan di wilayah pesisir juga banyak ditemukan.
Jumlah penduduk di wilayah pesisir perkotaan yang makin meningkat, ternyata mengakibatkan
sumberdaya di daratan semakin terbatas, maka wilayah pesisir dan laut beserta sumberdayanya
menjadi alternatif pendukung pembangunan daerah maupun nasional yang strategis di masa
mendatang. Oleh karena itu sangatlah beralasan, jika dalam pembangunan jangka panjang bangsa
Indonesia mengorientasikan kiprah pembangunannya terutama pada wilayah pesisir dan laut.
Komitmen pemerintah dalam bidang ini dapat terlihat dari masih diperlukannya kementerian yang
mengurusi masalah lingkungan hidup serta kelautan, bahkan pada kabinet saat ini ditambah dengan
Menteri Koordinator Maritim.
Saat ini yang masih menjadi keprihatinan kita, beberapa kegiatan pembangunan di kawasan
daratan dan lautan, masih banyak yang memberikan dampak negatif pada lingkungan yang akhirnya
berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir dan laut maupun kelestarian sumberdaya
alam, yaitu berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemanfaatan yang berlebih atas
sumberdaya pesisir dan laut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan yang mungkin timbul harus menjadi bagian dari kebijakan dan langkah
aksi pengelolaan lingkungan pada setiap sektor kegiatan pembangunan.
Disamping permasalahan tersebut di atas, juga terdapat masalah lain, yaitu sistem manajemen
yang belum terpadu. Pengelolaan pesisir saat ini masih banyak dilakukan secara sektoral dan tidak
ada keterpaduan antara pengelolaan daratan dan lautan.
Padahal sumber pencemaran dan kerusakan di wilayah pesisir berasal dari kegiatan yang ada di
daratan dan di lautan. Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pengelolaan di wilayah
pesisir ini harus dilakukan secara terpadu.
Pada naskah ini penulis menyampaikan beberapa contoh kasus kerusakan pesisir antara lain kasus
kerusakan di wilayah pesisir Kota Semarang sebagai bahan kajian, karena Semarang merupakan salah
satu kota pantai di Indonesia yang sangat potensial untuk berkembang menjadi kota wisata, industri
dan perdagangan, namun mengalami permasalahan lingkungan pesisir yang sangat serius.
Penulisan naskah ini sangat berguna bagi pengembangan mata ajar pengelolaan pesisir terpadu
pada diklat teknis Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem Pesisir yang dilaksanakan di
Pusdiklat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun yang dilaksanakan di Pusat
Pengelolaan Ekoregion Jawa, Bali atau lainnya. Pendidikan dan latihan ini ditujukan bagi
pengembangan aparat Badan Lingkungan Hidup Provinsi, kabupaten atau kota terutama bagi daerah
yang ada pantainya.
2. Metoda
Pengumpulan data penulisan naskah ini berdasarkan pada studi pustaka, observasi lapangan serta
wawancara dengan beberapa pihak yang terkait. Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisis
secara deskriptif.
B. Potensi Sumberdaya Pesisir
Dalam Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu dijelaskan bahwa wilayah
pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah
laut itu untuk kabupaten/kota, dan kearah darat batas administrasi kabupaten/kota.
Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu (a)
sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non
renewable resources), (c) energi kelautan serta (d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental
services). Sumberdaya yang dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan
mariculture. Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi, gas
alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut. Sedangkan jasa lingkungan di
wilayah pesisir dan laut antara lain: pariwisata bahari, transportasi laut. Pada waktu lampau
sumberdaya ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, karena kewenangan
pengelolaannya ada di Pemerintah Pusat, sehingga setiap kali Pemerintah Daerah mengajukan
anggaran ke DPRD selalu ditolak atau diberi namun porsinya hanya sedikit. Padahal pengelolaan
pesisir dan laut secara terpadu dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Berdasarkan pada data Kementerian Kelautan produksi perikanan Indonesia mencapai 11,06 juta
ton hingga triwulan ketiga 2013 yang disumbangkan oleh sub sektor perikanan tangkap 5,86 juta ton.
PDB sub sektor perikanan juga terus mengalami pertumbuhan yang signifikan selama tahun 2013
dengan rata-rata kenaikan 6,45 %.
Ekosistem hutan mangrove mempunyai kegunaan yang beragam sehingga mempunyai nilai
ekonomis yang sangat tinggi. Ekosistem ini juga mempunyai produktivitas biomassa yang tinggi,
bahkan dapat mencapai 5.000 grCal/m 2/tahun (Lugo & Snedaker, 1974). Kegunaan hutan mangrove
antara lain merupakan spawning ground, nursery ground dan feeding ground bagi berbagai jenis
satwa air maupun satwa darat. Selain itu, dapat digunakan pula sebagai bahan bakar, bahan bangunan,
obat- obatan serta dapat melindungi pesisir dari hempasan ombak, gelombang pasang, badai serta
dapat menahan sedimen dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Data luasan mangrove di Indonesia
sampai tahun 2010 yang dimuat dalam SLHI tahun 2012 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan
Hidup seluas 5.543.012.08 hektar dengan konsisi 56,91 % baik, 10,69 % sedang, 7,20% rusak dan
25,20 % tidak teridentifikasi.
Terumbu karang merupakan kumpulan dari banyak sekali habitat mikro yang saling berhubungan
dengan ribuan spesies tumbuhan maupun tanaman sebagai penyusunnya. Ekosistem terumbu karang
mempunyai nilai yang sangat tiggi, namun sangat rentan. Fungsi terumbu karang antara lain sebagai
breeding nursery dan feeding ground bagi banyak spesies ikan, invertebrata dan reptelia, selain itu
juga dapat menahan ombak dan mencegah terjadinya abrasi. Kawasan terumbu karang juga sangat
baik untuk obyek wisata, obyek penelitian, mariculture, bioteknologi. Data SLHI tahun 2013 Luas
terumbu karang di Indonesia 50.875 km 2 atau 18 % dari total terumbu karang di dunia. Sedangkan
kondisi terumbu karang di Indonesia hasil penelitian Oseanografi LIPI tahun 2012 di 1.133 lokasi
menunjukkan hanya 5,30 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 27,19 % baik, 37, 25 %
cukup baik dan 30,45 % kurang baik.
Lamun adalah tumbuhan berbunga (spermatophyta) yang hidup di laut, berbiji satu (monokotil)
dan terdiri dari tiga bagian utama yaitu daun, rimpang (rhizome) dan akar. Lamun dapat
menyesuaikan diri untuk hidup dan tumbuh pada lingkungan laut dengan kemampuan : hidup pada air
asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam, bertahan terhadap arus dan gelombang melalui
sistem perakaran yang baik, berbiak secara generatif (biji) dalam keadaan terbenam. Luas area padang
lamun di Indonesia data BPS tahun 2013 yang dimuat dalam SLHI tahun 2013 seluas 2.016.728.46
hektar pada tahun 2012. Produktifitas padang lamun sangat tinggi, dapat mencapai lebih dari 5000
grCal/m2/tahun. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang dapat dijumpai dalam skala besar dan
menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu padang lamun (seagrass bed). Keberadaan
lamun di perairan laut dangkal sangat penting, karena : (1) dapat membentuk lingkungan berupa
padang lamun yang menjadi salah satu ekosistem terkaya dan paling produktif, (2) dapat menjaga dan
memelihara stabilitas pantai pesisir dan lingkungan ekosistem estuaria, (3) merupakan sumber
makanan bagi banyak hewan laut seperti duyung, penyu, ikan dan bulu babi, (4) merupakan tempat
berlindung banyak jenis hewan dan tumbuhan dari hewan pemangsa, (5) merupakan komoditas yang
banyak digunakan sebagai pupuk, kertas, pakan ternak dll. Selain bencana alam (badai), kegiatan
manusia (pencemaran dan perusakan) dapat mengancam kelestarian lamun.
Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang khas, karena air tawar dan air laut bertemu
sehingga sumberdaya yang dapat pulih banyak terdapat di wilayah tersebut. Indonesia yang
merupakan negara kepulauan dengan sungai-sungai yang mengalir didaratannya menjadikan wilayah
estuary menjadi banyak dan luas. Mengingat pentingnya wilayah estuary ini, maka wilayah estuary
perlu dilestarikan. Aktivitas yang paling mengancam ekosistem estuary ini adalah aktivitas manusia
terutama penebangan pohon yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi serta pencemaran lingkungan.
Salah satu wilayah estuaria di Indonesia yang telah mengalami kerusakan akibat sedimentasi adalah
Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, namun demikian usaha penyelamatan masih terus diupayakan.
Potensi sumberdaya yang tidak dapat pulih di Indonesia yang paling potensial adalah minyak dan
gas bumi. Sedangkan energi kelautan belum banyak dimanfaatkan, namun usaha ke arah pemanfaatan
energi kelautan telah mulai dilakukan, yaitu yang dikenal dengan ocean thermal energy conversion
(OTEC) antara lain berupa energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari
perbedaan salinitas. Penelitian oleh BPPT telah dilakukan di pantai Baron di Yogyakarta, Bagan
Siapi-api dan Merauke serta akan di kembangkan lagi di pantai utara Pulau Bali. Laut Indonesia
menyimpan kekayaan migas yang cukup tinggi. Dari 40 cekungan yang ada di laut diperkirakan
berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak. Cadangan minyak yang belum terjamah
diperkirakan sebanyak 57,3 milyar barrel terkandung di lepas pantai.
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi untuk pengembangan wisata bahari dan
pelayaran. Namun demikian, masih banyak wisata bahari yang belum dikembangkan secara
professional. Padahal Keanekaragaman flora dan fauna di wilayah pesisir dan laut dapat dijual
sebagai obyek wisata. Potensi wisata bahari yang dapat dikembangkan antara lain: wisata pantai,
menyelam dll. Jasa transportasi laut juga belum dikembangkan secara optimal. Pihak asing masih
menguasi jasa pelayaran di Indonesia.
C. Permasalahan Pesisir
Permasalahan dalam pengelolaan pesisir di Indonesia pada dasarnya adalah masalah menejemen
dan masalah teknis yang bersumber dari daratan dan lautan. Pengelolaan pesisir belum dilaksanakan
secara terpadu, namun masih sektoral. Dalam pelaksanaan program tidak didasarkan pada rencana
strategis pengelolaan pesisir yang disusun dengan melibatkan semua stakeholder atau sudah ada
rencana strategisnya namun pelaksanaan program atau proyeknya tidak berdasarkan pada rencana
strategis yang telah dibuat tersebut. Koordinasi yang belum baik juga merupakan salah satu kendala,
beberapa daerah belum membentuk Tim Teknis Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu, sehingga
koordinator atau leading sector yang menangani pengelolaan pesisir dan laut ini tidak jelas.
Pemahaman atas pengelolaan pesisir secara terpadu oleh aparat pengelola belum merata atau tidak
paham sama sekali.
Masalah menejemen yang lain adalah kurangnya data dan informasi yang valid atau belum adanya
data base management untuk pengelolaan pesisir, adanya ego sectoral, lemahnya penegakan hukum,
rendahnya komitmen, tidak adanya dana yang berkelanjutan, perpindahan staf yang cukup sering,
belum adanya kebersamaan dan keterpaduan antar sektor, belum adanya tata ruang pesisir dan laut,
kerangka hukum untuk pengelolaan pesisir di daerah masih lemah, keterlibatan ilmuwan atau pakar
belum optimal sehingga hasil kajian ilmiah belum dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan
keputusan, serta permasalahan lain yang masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Sering pengelolaan pesisir tidak mendasarkan pada prinsip good environmental
governance, yaitu: (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi, (4) kesetaraan, (5) daya
tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8) pengawasan, (9) efisien dan efektif, (10)
profesionalisme.
Adanya kelemahan menejemen ini, mengakibatkan pengelolaan pesisir sampai batas 12 mill belum
dapat dilakukan secara optimal. Potensi pariwisata, sumberdaya perikanan, mineral dan lain-lainnya
belum digarap secara terpadu untuk menaikkan pendapatan daerah maupun pendapatan masyarakat
pesisir. Dilain pihak, mutu lingkungan pesisir dan laut makin menurun dari tahun ke tahun.
Selain masalah menejemen seperti tersebut di atas, masalah teknis yang muncul adalah
menurunnya kualitas pesisir dan laut yang diakibatkan oleh kegiatan yang ada di daratan dan di
lautan.
Pada daerah tertentu, suatu bahan pencemar dapat menjadi lebih beresiko dibanding bahan
pencemar lain, sedangkan pada daerah lainnya dapat terjadi hal yang sebaliknya.
Dalam perspektif global, pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah
buangan kegiatan atau aktifitas di daratan (land-based pollution), maupun kegiatan atau aktivitas di
lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas
kontaminasi secara fisik dan secara kimiawi.
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan
laut, antara lain adalah :
a) Penebangan hutan (deforestation)
b) Buangan limbah industri (disposal of industrial wastes)
c) Buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes)
d) Buangan limbah cair domestik (sewege disposal)
e) Buangan limbah padat (solid waste disposal)
f) Konvensi lahan mangrove & lamun (mangrove swamp conversion)
g) Reklamasi di kawasan pesisir (reclamation)
ROB
Stasiun Tawang
Sedangkan mengenai kebijaksanaan nasional lingkungan hidup mengacu pada nilai-nilai dasar
dalam pelestarian lingkungan, yaitu sebagai berikut:
Kewenangan daerah yang tersebut di atas merupakan dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, dengan demikian daerah dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada
diwilayahnya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mill laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah sampai 12 mil, maka kegiatan
pemantauan, pengawasan pengendalian, evaluasi dan pelaporan di wilayah pesisir dapat dilakukan
secara rutin dan berkesinambungan. Pada Pasal 18 Ayat (3) huruf d. Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan Daerah di wilayah laut termasuk penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah. Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan laut, sehingga pemahaman atas konvensi internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting agar tidak terjadi kerancuan
hukum. Adanya wewenang melakukan penegakan hukum di wilayah laut juga dapat mendorong
diadakannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, sehingga langkah penegakan hukum
dapat lebih lancar.
Agenda 21 Indonesia
Permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang telah diuraikan di atas membutuhkan penanganan
yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya yang menyangkut aspek kebersamaan dan
keterpaduan serta kewenangan kelembagaannya, sehingga pengelolaan kawasan pesisir dan laut
diharapkan juga dapat mendorong pengelolaan di wilayah hulu (daratan) yang akhirnya pembangunan
daerah kota/Kabupaten dapat meningkat. Bidang program yang dibahas dalam agenda 21 Indonesia
untuk mengatasi permasalahan pesisir dan laut, meliputi:
A. Perencanaan dan Pengemnbangan Sumberdaya Terpadu Di Daerah Pesisir
B. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Pesisir dan Laut
C. Pemanfaatan Sumberdaya Laut yang Berkesinambungan
D. Pemberdayaan dan Penguatan Masyarakat Pesisir
E. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan
F. Pemeliharaan Keamanan Daerah Ekonomi Eksklusif (ZEE)
G. Pengelolaan Dampak Perubahan Iklim dan Gelombang Pasang.
Dengan dipublikasikannya Agenda 21 Indonesia, maka dokumen tersebut dapat dipakai sebagai
landasan dalam pembuatan perencanaan program maupun dalam implementasi Program Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Laut yang dikemas dalam Program Pantai dan Laut Lestari.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengintegrasikan Agenda 21 Indonesia dalam pengelolaan
lingkungan maupun pembangunan (Djajadiningrat, Surna T., 2001) adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman dan penghayatan terhadap visi dan isi dokumen Agenda 21 Indonesia
menjadi kunci utama proses implementasi dokumen Agenda 21 Indonesia, yang
kemudian diikuti dengan pengkajian kembali rencana jangka pendek dan panjang.
b. Menyadari kompleksitas pengelolaan lingkungan, salah satu kunci keberhasilan
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah
kerjasama yang sangat erat dan koordinasi yang terus menerus dari masing-masing
pengelola lingkungan baik di tingkat pusat, daerah, sektoral dan masyarakat lainnya.
c. Dilihat dari perspektif perencanaan pengelolaan lingkungan, dokumen Agenda 21
Indonesia dapat langsung digunakan pada skala nasional, sektoral, regional dan lokal.
Skala lokal, seperti perumusan dan penyusunan program-program masyarakat dan
organisasi-organisasi non pemerintah lainnya.
d. Penyebarluasan visi dan subtansi yang terkandung di dalam Agenda 21 ke segala lapisan
masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan keseragaman pandangan
yang mengarah pada terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan seperti yang diamanatkan dalam GBHN
e. Upaya pemahaman dan penghayatan dokumen Agenda 21 Indonesia di atas
memberikan masukan yang berharga terhadap perumusan dan penyusunan kebijakan
tentang lingkungan hidup dan pembangunan, sesuai dengan sifat dokumen Agenda 21
Indonesia yang merupakan dokumen yang hidup (living document) yang diharapkan
selalu dapat sesuai dengan perkembangan dinamika pembangunan.
Arahan Agenda 21 Indonesia mengenai tujuan untuk perencanaan dan pengembangan sumberdaya
terpadu di daerah pesisir pada periode 2003 - 2020 adalah sebagai berikut:
1. Meninjau kembali dan meningkatkan pengelolaan terpadu sumberdaya pesisir dan lautan.
2. Meneruskan peningkatan kemampuan kelembagaan untuk pengembangan terpadu
sumberdaya pesisir dan lautan.
3. Mendorong dan mendidik para perencana dan pengambil keputusan dalam pembuatan
dan pemakaian basis informasi yang cocok untuk meningkatkan proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dan membantu pengembangan sumberdaya pesisir dan lautan
yang berkesinambungan.
4. Melanjutkan kerjasama antar daerah dan di tingkat internasional tentang pengelolaan
berkesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan.
E. Analisis Permasalahan
Analisis terhadap permasalahan pesisir, penulis uraikan dalam strategi pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir yang dapat dibagai menjadi strategi pengelolaan dan
strategi pengendalian serta program pemantauan lingkungan pesisir.
1. Strategi Pengelolaan
Strategi pengelolaan disini dimaksudkan untuk mengelola limbah, baik limbah cair, padat dan gas
(emisi gas buang). Dengan adanya pengelolaan limbah yang benar, maka air limbah dan gas buang
dapat memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Suatu kota harus mempunyai instalasi pengolahan
air limbah domestik terpadu, baik limbah padat maupun cair. Dengan demikian, kualitas air laut di
pesisir dapat terjaga.
e) Limbah Minyak
f) Limbah Gas dan Debu
ISU DAN
PERMASALAHAN
ASPIRASI LOKAL,
REGIONAL DAN
POTENSI
PENDEFINISIAN NASIONAL
SUMBERDAYA
PERMASALAHAN EKOSISTEM
PELUANG DAN
TUJUANRENCANA
FORMULASI DAN
KENDALA
SASARAN
MEKANISME
UMPAN BALIK
PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN
RENCANA EVALUASI
PEMBANGUNAN WILAYAH
PESISIR BERKELANJUTAN
Gambar 4. Proses perencanaan serta pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu
(Rokhmin Dahuri, et.al, 2001.)
Sedangkan kerangka kerja dan proses pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu
(silklus perencanaan dan implementasi) yang dikembangkan PEMSEA adalah sebagai berikut:
2. INISIASI
Penyusunan profil lingkungan
1. PERSIAPAN Identifikasi dan penentuan prioritas
Penyusunan Tim/kelembagaan
Persiapan ruang dan peralatan
isu/masalah 3. PENGEMBANGAN
Penyusunan Rencana Strategi Pengumpulan data
Mekanisme pengelolaan program
Pengelolaan Pesisir (Renstra) Pengkajian resiko lingkungan
Rencana kerja dan biaya
Penyusunan rencana kerja tahunan Penyusunan Strategic Environmental
Pengaturan sumberdaya manusia
Kajian awal resiko lingkungan; Management Plan (SEMP)
dan pendanaan
keterkaitan antara kegiatan manusia, Rencana aksi yang spesifik menurut
Konsultasi stake holders
proses alamiah dan perubahan isu dan wilayah
Persiapan dan pelatihan
kualitas lingkungan Pengaturan kelembagaan
sumberdaya manusia/staf
Pembangunan konsensus pengguna Opsi-opsi sumber pendanaan
(stakeholders) berkelanjutan
Peningkatan kepedulian dan peran Pemantauan lingkungan
masyarakat Sistim pengelolaan informasi terpadu
Partisipasi stakeholders
6. PENYEMPURNAAN DAN
KONSOLIDASI
Pengaturan kelembagaan 4. ADOPSI
Pemantauan dan evaluasi program 5. IMPLEMENTASI Mekanisme organisasi dan
SEMP dan Rencana aksi yang Mekanisme koordinasi dan legislasi
disempurnakan pengelolaan program SEMP dan Rencana aksi
Perencanaan untuk siklus program Program pemantauan lingkungan Mekanisme pendanaan
berikutnya Pelaksanaan rencana aksi
Gambar 5. Kerangka Kerja dan Proses Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut Secara
Terpadu (Silklus Perencanaan dan Implementasi).
Dalam pelaksanaan pengolalaan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu, prinsip dasar yang
harus diperhatikan :
1. Wilayah pesisir dan laut adalah suatu sistem sumber daya (resources system) yang unik,
yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola
pembangunannya.
2. Air merupakan faktor kekuatan penyatu utama (the major integrating force) dalam
ekosistem wilayah pesisir.
3. Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan serta dikelola secara terpadu
4. Daerah perbatasan antara laut dan darat hendaknya dijadikan fokus utama dalam setiap
program pengelolaan wilayah pesisir.
5. Batas suatu wilayah pesisir harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan permasalahan
yang hendak dikelola serta bersifat adaptif.
6. Fokus utama dari pengelolaan lingkungan pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi
sumberdaya milik bersama (common property resources)
7. Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus
dikombinasikan dalam satu program pengelolaan lingkungan pesisir dan laut secara
terpadu
8. Semua tingkat pemerintahan dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam
perencanaan dan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.
9. Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah tepat
dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.
10. Evaluasi manfaat ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir dan laut serta partisipasi
masyarakat dalam program pengelolan lingkungan pesisir dan laut.
11. Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan utama dari
pengelolaan sumber daya lingkungan pesisir dan laut.
12. Pengelolaan multiguna sangat tepat digunakan untuk semua sistem sumber daya
lingkungan pesisir dan laut.
13. Pemanfaatan multiguna merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan lingkungan
pesisir dan laut secara berkelanjutan
14. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara tradisional harus ditangani
15. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sangat penting bagi pengelolaan lingkungan
pesisir dan laut secara efektif.
2. Strategi Pengendalian
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan”.
Ada beberapa instrumen yang dapat dikembangkan dalam mencegah terjadinya pencemaran dan
kerusakan di wilayah pesisir. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a) kajian lingkungan hidup strategis (KLHS);
b) tata ruang;
c) baku mutu lingkungan hidup;
d) kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e) amdal;
f) UKL-UPL;
g) perizinan;
h) instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i) peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j) anggaran berbasis lingkungan hidup;
k) analisis risiko lingkungan hidup;
l) audit lingkungan hidup; dan
m) instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan tata ruang yang konsisten akan
mengurangi terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam penyusunan strategi pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan, perlu memperhatikan:
- Penerapan baku mutu;
- Pelaksanaan program pengawasan;
- Izin pembuangan limbah ke laut dan
- Penaatan serta penegakan hukum lingkungan.
Sedangkan pemulihan lingkungan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dapat dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Program Pemantauan Pesisir
Pemantauan dapat dilaksanakan dengan fokus dan sasaran, antara lain terhadap :
1. Kualitas buangan (effuent/emission) dan lingkungannya (air sungai, laut)
2. Penaatan hukum dan peraturan
3. Dampak dari buangan limbah
4. Abrasi dan akresi di wilayah pantai
5. Penurunan tanah dan kenaikan muka air laut di wilayah pesisir
6. Daya dukung lingkungan
7. Model prediksi perubahan lingkungan
Hasil pemantauan lingkungan pesisir digunakan untuk menyusun Status Mutu Kualitas Pesisir dan
pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan program pada tahun berikutnya.
Mengingat di beberapa daerah telah banyak terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan di
wilayah pesisir, maka beberapa langkah nyata yang dapat dilaksanakan untuk memperkecil terjadinya
perusakan dan pencemaran di wilayah pesisir adalah sebagai berikut:
a. Gunakan pendekatan secara sistematis dan bertahap dalam mengembangkan
dan mengimplementasikan program.
b. Gunakan prinsip-prinsip pengelolaan pesisir dan laut terpadu dan prinsip Good
Environmental Governance dalam mengimplementasikan program dan proyek.
c. Laksanakan tahapan-tahapan pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu (tahap 1s/d 6)
dengan menyesuaikan keadaan situasi dan kondisi setempat.
d. Libatkan masyarakat, ilmuwan, pengusaha dan stakeholder lainnya dalam proses
pelaksanaan program.
e. Integrasikan informasi lingkungan, teknologi, ekonomi dan sosial sejak awal dalam suatu
proses pelaksanaan program.
f. Ciptakan mekanisme keuangan yang berkesinambungan untuk mendukung program
pengendalian pencemaran dan kerusakan di pesisir.
g. Kembangkan kemampuan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan program pada
semua tingkat pemerintahan
h. Pantau efektifitas program dan proyek.
i. Gunakan hasil evaluasi pelaksanaan program untuk perbaikan atau penyempurnaan
pelaksanaan program tahun berikutnya (berkesinambungan dan berkelanjutan).
j. Mengikuti atau masuk dalam Program Bangun Praja Lingkungan yang dikelola oleh
Kementerian Lingkungan Hidup.
G. Penutup
Dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir, sudah saatnya Pemerintah
aktif melakukan langkah-langkah yang konkrit mulai dari kegiatan pemantauan kualitas air laut,
pendataan rona awal, penanganan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan di pesisir serta
pengelolaan wilayah pantai. Peningkatan penaatan pada peraturan oleh kegiatan industri yang
membuang limbah langsung ke laut, transportasi laut (kapal), eksploitasi terumbu karang atau pasir
laut sampai kepada langkah penegakan hukumnya perlu segera dilakukan. Valuasi ekonomi perlu
dilakukan agar potensi wilayah pesisir secara ekonomi dapat diketahui degan pasti, sehingga
memudahkan dalam melakukan tuntutan ganti rugi (claim) apabila terjadi pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan.
Penanganan limbah domestik dari kegiatan perkotaan sudah saatnya dikelola dengan baik dan
benar, karena dapat memberikan andil yang cukup besar pada penurunan kualitas air laut. Selain itu,
adanya erosi, limbah kegiatan pertanian dan pencemaran udara terutama Pb dan ammonia harus
segera dikendalikan. Untuk melaksanakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan laut
perlu dibangun suatu komitmen dari semua pihak terutama para pengambil keputusan baik di pusat
maupun daerah serta adanya peningkatan kapasitas kelembagaan di daerah. Pelaksanaan pengelolaan
pesisir dan laut secara terpadu melalui Program Pantai Lestari perlu dilakukan dengan konsisten serta
dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga terwujutnya peningkatan pendapatan dan
pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di wilayah pesisir dapat terlaksana.
Daftar Pustaka
Anonim, 1996. Buku Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan Di Wilayah Pesisir dan
Lautan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta.
Anonim, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonim, 1998. A manual for assessing Progress in Coastal Management, Coastal Resources Center,
University of Rhode Island, USA.
Anonim, 2002. Konsep dan Disain Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Bali Tenggara,
Kerjasama Pemerintah Propinsi Bali dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme on
Partnerships in Environmental Management for Seas of East Asia (PEMSEA), Project
Management Office, Bapedalda Propinsi Bali, Denpasar.
Anonim, 2012. Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2012, Kementerian Lingkungan
Hidup Anonim, 2013. Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2013, Kementerian
Lingkungan Hidup
Bengen, Dietriech G., 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor
Chua, T.E., 1994. Lesssons Learned from Practising Integrated Coastal Management in Southeast
Asia.
Dahuri, Rokhmin (Menteri Kelautan dan Perikanan), 2002. Kebijakan Departemen Kelautan dan
Perikanan Dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan (disampaikan pada acara: Peluncuran
Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut/MCRMP), Jakarta.
Dahuri, Rokhmin, et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Pesisir Terpadu, Departemen Kelautan dan Perikanan
RI.
Olsen, Stephen B. et al. 1998. A manual for Assessing Progresss in
Coastal Management, Coastal Resource Center University of
Rhode Island.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3816);
Satria, Arif, 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat, IPB Press, Bogor.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4480);
Walikotamadya Jakarta Utara, 2000. Profil Kawasan Pantai Teluk
Jakarta yang Berkaitan Dengan Masalah Pencemaran Lingkungan
Pantai (disampaikan dalam: Lokakarya Pantai Bersih Laut Lestari,
Hotel Horison Jakarta)
PENANGGULANGAN YANG TEPAT MENGENAI MASALAH LINGKUNGAN DI
DAERAH PESISIR YANG DIAKIBATKAN OLEH FAKTOR ALAM MAUPUN
MANUSIA
Hari Anggara1
Latar Belakang
Kawasan pesisir dan lautan di Indonesia memiliki kekayaan yang besar namun belum
dimanfaatkan secara optimal. Seperti yang telah diungkapkan bahwa secara umum kawasan
pesisir dan lautan telah dijadikan sebagai lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan seperti: perikanan
budidaya maupun tangkapan, kegiatan konservasi laut (seperti mangrove, terumbu karang,
padang lamun dan biota laut lainnya), perhubungan laut/alur pelayaran, serta dijadikan sebagai
lokasi pariwisata bahari dan pantai. Pengembangan pariwisata yang berbasiskan kegiatan bahari
dan pantai merupakan kegiatan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai kegiatan utama
penggerak ekonomi di kawasan pesisir dan lautan. Namun di lain pihak pengelolaan kawasan
pesisir dan lautan dirasakan masih kurang terlaksana dengan baik. Bahkan masih banyak
dijumpai kegiatan-kegiatan yang dapat merusak keseimbangan ekosistem yang mengakibatkan
timbulnya degradasi habitat wilayah pesisir dan lautan seperti membuang limbah yang
berpotensi mencemari kawasan penting tersebut.
wilayah pesisir pantai memiliki tingkat kepadatan penduduk dan juga pembangunan
industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat ancaman manusia .
Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam
memperlakukan alam. Perilaku manusia saat ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme
dimana cara pandang manusia hanya melihat dari sudut prinsip etika terhadap manusia saja,
baik dari sisi kebutuhannya maupun kepentingannya yang lebih tinggi dan terkadang sangat
khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk selain manusia dan benda lainnya hanya
dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia atau yang dikenal dengan prinsip
instrumentalistik (Susilo 2008:61).
Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi dua, yaitu:
kerusakan karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik. Kerusakan yang
1
Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil
diakibatkan oleh faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan,
predator, erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami ataupun
akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Perilaku manusia banyak
dipengaruhi oleh etika antroposentrisme. Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan
manusia yang tidak hanya bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif. Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini marak dilakukan.
Manusia tidak hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini manusia telah
memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia mengeksploitasi alam
dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir panjang
terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber
daya alam khususnya dalam hal ini ekosistem pesisir.
Limbah padat berupa sampah kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan
sampah ke laut sering menjadi alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan
dinilai tidak efektif dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan
berpengaruh bagi lautan yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai
pengaruh terhadap kehidupan laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai
dan mengurangi keindahan laut serta menghalangi
penetrasi cahaya matahari. Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke dasar laut dan
berpengaruh terhadap komunitas bentos (Mukhtasor 2007:137-142).
Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen
dan pembuangan material hasil pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan
pencemaran yang dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari
pengerukan sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan.
Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat membahayakan karena
dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun efek jangka panjang.
Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut berupa perubahan karakteristik
populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut. Selain itu, tumpahan minyak dapat
berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di
sektor perikanan dan budi daya (Mukhtasor 2007:234:249).
Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana
lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut,
dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau
dengan lebar bervariasi. Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang
dilakukan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan
lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan
ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami
maupun buatan. Penanggulangan atas permasalahan tersebut secara bijak dan tepat dapat
mengurangi maupun mencegah kerusakan yang terjadi. Makalah ini menyajikan bagaimana cara
penanggulangan yang tepat atas permasalahan pesisir yang diakibatkan oleh faktor alam
maupun manusia.
Pembahasan
Penanggulangan kerusakan pesisir dilakukan untuk menangani permasalahan yang terjadi di
daerah pesisir. Kegiatan penanggulangan ini dapat dilakukan dengan mitigasi, kegiatan
preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi
(Diposaptono 2001:8-15).
Kegiatan Mitigasi
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani permasalahan di daerah pesisir seperti
penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Kegiatan
penanggulangannya dengan menanam mangrove di wilayah pesisir yang rentan terhadap
bencana tsunami atau erosi. Penanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penghadang
gempuran tsunami atau ombak, sehingga energi gelombang dapat diredam dan akan
mengurangi dampak negatif berupa korban jiwa dan harta benda.
Selain membangun dam pemecah ombak, salah satu upaya alamiah yang bisa dilakukan
untuk mengatasi masalah abrasi adalah menanam pohon di sepanjang garis pantai. Mangrove
merupakan jenis tanaman dengan sistem perakaran yang kompleks, rapat, dan lebat, sehingga
dapat memerangkap sisa-sisa bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian
daratan. Proses itu juga menyebabkan air laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian
memelihara kehidupan padang lamun (seagrass) dan terumbu karang. Mangrove juga dapat
membentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya sehingga menumbuhkan
perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas batas
pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di wilayah
daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi dan diharapkan
bisa ikut mengatasi buruknya ekosistem di wilayah pantai dan tambak.
Dalam jangka panjang penanaman Mangrove untuk jenis tertentu (misalnya: mangrove
jenis TUMU) juga diharapkan bisa membawa manfaat bagi para pengrajin batik di Indonesia,
yaitu dengan menggunakan daunnya sebagai salah satu bahan pewarna batik. Kerimbuhan hutan
mangrove kemudian mengundang kedatangan satwa untuk berlindung, mencari makan dan
berkembang biak, mulai dari kepiting raksasa, udang, kerang, ikan, biawak, buaya, tawon
sengat, monyet, burung bangau hingga bagi hutan. Selain itu hutan mangrove ini juga nyaman
bagi koloni lebah madu.
Kegiatan Preventif/Pencegahan
Kegiatan preventif/pencegahan adalah kegiatan yang berupa untuk mencegah terjadinya
kerusakan. Kegiatan ini misalnya penerapan AMDAL yang berupaya mencegah kerusakan
pesisir. Pada masalah limbah domestik dapat dilakukan pengolahan sampah dan Gerakan Bersih
Pantai dan Laut sedangkan limbah pemanfaatan ikan dapat diolah menjadi pakan ikan, terasi.
Adapun limbah kulit kerang dapat diolah menjadi kerajinan tangan.
Di bidang teknik sipil limbah tersebut dapat dijadikan bahan campuran dalam pembuatan beton.
Hal ini akan mengurangi masalah limbah kulit kerang yang begitu berlebihan di daerah pesisir.
KESIMPULAN
Daerah pesisir memiliki daya tarik dan potensi ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, berbagai
pihak berlomba-lomba untuk memanfaatkan dan mengelola daerah pesisir. Maraknya aktivitas
yang dilakukan menjadikan ekosistem pesisir rentan terhadap kerusakan dan perusakan yang
terjadi. Permasalahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam berupa bencana
alam dan faktor antropogenik. Kerusakan yang dilakukan akibat ulah manusia dapat bersumber
dari darat maupun laut. Sumber kerusakan yang berasal dari darat berupa limbah industri,
limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Sedangkan kerusakan yang berasal dari laut berupa
pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil pengerukan serta tumpahan minyak.
Dampak negatif yang ditimbulkan tidak hanya merugikan lingkungan dan biota yang ada tetapi
juga dapat membahayakan manusia itu sendiri.
Penanggulangan atas permasalahan pesisir yang terjadi perlu dilakukan. Hal ini dapat
dilakukan dengan kegiatan mitigasi, kegiatan preventif/pencegahan dan kegiatan pemulihan.
Ketiga metode tersebut akan mengurangi dampak atau bahkan mampu menanggulangi masalah
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Delinom RM & Lubis RF. 2007. Air tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam: Delinom
RM,editor. Sumber daya air di wilayah peisisir & pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta:
LIPI Press. Hal1-25.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Diposaptono Subandono. 2001. Riset teknologi pesisir: kini dan masa datang. Dalam:
Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir.
Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-20.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Idris Irwandi. 2001. Kebijakan pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia. Dalam: Rachmawati
Rita,editor. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha
Sucofindo. Hal1-9.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Manik KES. 2003. Pengelolaan lingkungan hidup. Jakarta: Djambatan. 259hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Satria Arif. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press. 176hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Suhardi Idwan. 2001. Pengkajian dan penerapan sedimen sel di Indonesia serta aplikasinya dalam
konservasi dan rehabilitasi pesisir. Dalam: Rachmawati Rita,editor. Prosiding forum teknologi
konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-7.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan-
penanggulangannya/
Susilo RK. 2008. Sosiologi lingkungan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 214hal.
https://femyaap.wordpress.com/2011/05/22/permasalahan-pesisir-dan- penanggulangannya/
Manfaat Menanam Mangrove diambil pada 11 mei 2019
http://ucsindonesia.org/news_manfaat_penanaman_mangrove.html
ANALISIS RISIKO LINGKUNGAN LOGAM BERAT CADMIUM (Cd) PADA
SEDIMEN AIR LAUT DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR
ABSTRAK
Logam berat merupakan unsur berbahaya di perairan sehingga pada kawasan pesisir Kota
Makassar perlu dilakukan pemantauan sediman sebagai indikator pencemaran logam berat di
perairan karena sifatnya yang mudah terakumulasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian
observasional dengan pendekatan deskriptif menggunakan rancangan Analisis Risiko Lingkungan
(ARL) dengan tujuan mengetahui konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) dan besar risiko cemaran
logam tersebut pada sedimen wilayah pesisir Kota Makassar. Sampel dalam penelitian ini adalah
sedimen yang di ambil pada di 5 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir Kota Makassar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Cadmium (Cd) pada sedimen air laut di wilayah
pesisir Kota Makassar, pada titik I (0,559 mg/kg), titik II (0,373 mg/kg), titik III (0,187 mg/kg), titik IV
(0,186 mg/kg), dan titik V–VIII tidak terdeteksi (Tt). Sehingga besar risiko lingkungan yang terjadi di
wilayah pesisir Kota Makassar akibat paparan Cadmium, berkisar pada 0,1–1,0 dengan kategori risiko
rendah.
ABSTRACT
Heavy metal is a dangerous element in the waters of the coastal area so in Makassar city
sediman monitoring needs to be done as an indicator of pollution of heavy metals in waters because
of its easy to accumulate. This type of research is research observational with a descriptive approach
using the draft Environmental risk analysis (ARL) with the purpose of knowing the concentration of
heavy metals Cadmium (Cd) and the greater the risk of impurities that metals in sediments of the
coastal area of the city of Makassar. The sample in this research are sediments taken at 5 in the town
bordering the coastal city of Makassar. The results showed that concentrations of Cadmium (Cd) in
sedimentary seawater in the coastal city of Makassar, at that point I (0,559 mg/kg), point II (0,373
mg/kg), point III (0,187 mg/kg), point IV (0,186 mg/kg), and the point of the V% uFFFD VIII not
detected (Tt). So the big risk is the environment that occurs in coastal areas of Makassar city due to
exposure to Cadmium, range in the 0,1-1.0 with low risk category.
HASIL
Konsentrasi logam Cadmium (Cd) paling tinggi (0,559 mg/kg) ada di titik 1 yaitu di Wilayah
Cambaya, namun masih dalam kondisi memenuhi syarat yaitu dibawah 0,99 mg/kg. Konsentrasi logam
Cadmium (Cd) terendah atau tidak terdeteksi ada pada titik V, VI, VII, dan VIII, yaitu di Wilayah
Panambungang, Barombong, Untia, dan Kodingareng (Tabel 1). Pada titik I risiko lingkungan
kandungan logam Cadmium (Cd) pada sedimen air laut di Wilayah Cambaya masih berada pada
kategori risiko rendah dimana nilai HQtitikI = 0,1-1,0. Untuk nilai HQ pada titik II–VII, cara
perhitungannya sama dengan HQ pada titik I (Tabel 2).
PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) pada sedimen air laut yang
dilakukan di wilayah pesisir Kota Makassar, didapatkan bahwa konsentrasi logam berat Cadmium (Cd)
masih berada pada kategori yang ditoleransi oleh lingkungan atau masih memenuhi syarat sesuai
dengan tetapan kontaminan yang ditoleransi dalam sedimen. Adapun beberapa lokasi seperti
Pannambungan, Barombong, Untia dan Kodingareng, konsentrasi
logam berat Cadmium (Cd) adalah 0 atau tidak terdeteksi (Tt). Berdasarkan perhitungan HQ,
didapatkan bahwa dari titik I hingga VIII, nilai HQ berada pada kisaran 0,1–1,0 sehingga secara
keseluruhan, wilayah pesisir Kota Makassar masih berada pada tingkat risiko rendah akibat kandungan
logam berat Cadmium (Cd). Meskipun konsentrasi logam berat yang terdeteksi tidak memberikan
informasi yang cukup berarti pada dampak bahaya logam bagi organisme, ataupun lingkungan dalam
arti bahwa konsentrasi logam Cadmium (Cd) masih pada batas yang diperbolehkan pada sedimen, akan
tetapi informasi tersebut sangat penting dalam mengindentifikasi sumber logam di perairan. 9
Secara deskriptif konsentrasi Cadmium (Cd) terlihat paling tinggi pada Lokasi Cambaya.
Cadmium (Cd) juga terlihat tinggi di Lokasi Kaluku Bodoa dan diikuti Buluo dan Tallo. Tingginya
konsentrasi Cadmium (Cd) di Lokasi Cambaya dikarenakan lokasinya dekat dengan lokasi Paotere yang
merupakan tempat bermuaranya hampir seluruh buangan Kota Makassar dan merupakan lokasi
pelabuhan rakyat. Selain itu aktivitas pengecetan kapal dan minyak tumpahan kapal meningkatkan
input Cadmium (Cd) ke perairan. Sedangkan input Cadmium (Cd) di daerah Kaluku Bodoa, Buloa, dan
Tallo kemungkinan dominan berasal dari aktivitas di daratan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Azhar, dkk, tentang kandungan logam berat pada sedimen di Perairan Wedung Demak dimana
pada penelitiannya menggunakan tiga titik sampling dan pada sampling I diperoleh konsentrasi
Cadmium (Cd) sebesar 0,4694 ppm, sampling ke-II tidak terdeteksi atau dibawah ambang batas AAS
dan pada sampling ke-III diperoleh 0,7257 ppm atau meningkat dari sebelumnya. Azhar menyatakan
bahwa asal Cadmium (Cd) di perairan diduga dari limbah plastik, cat pada perahu nelayan dan
tumpahan solar di laut.11 Penelitian lain yang sejalan dengan ini dilakukan oleh Fachruddin dan Musbir,
di Perairan Kota Makassar dimana titik pengambilan sampelnya ada tiga yaitu muara Sungai Tallo,
Pantai Losari dan Pulau Kayangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Cadmium (Cd)
tertinggi ada di muara Sungai Tallo yaitu 1,65 mg/kg. Berbeda dengan hasil pada penelitian ini bahwa
di dekat muara Sungai Tallo, rata-rata konsentrasi Cadmium (Cd) masih dibawah ambang batas dan
justru tertinggi ada di Cambaya.12
Penelitian konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) di kawasan pesisir Kota Makassar pada
beberapa titik sudah melampaui batas alamiahnya. Namun pada penelitian ini, rendahnya konsentrasi
logam tersebut diduga karena pergerakan air laut yang dinamis yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisika seperti angin, arus, gelombang dan pasang surut sehingga terjadi pengenceran yang terus menerus
yang mengakibatkan rendahnya kandungan logam berat
pada daerah perairan estuari (tidak terdeteksi). Selain hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor fisik
kimia seperti temperatur, kedalaman, salinitas, pH dan DO. 13
Terkait dengan kedalaman, hal ini juga jelas mempengaruhi kandungan logam berat dalam
sedimen, dimana pada penelitian ini sedimen diambil pada kedalaman 3-6 meter dengan asumsi bahwa
pada kedalaman ini, pengaruh pencucian sedimen akibat arus relatif lebih kecil dibandingkan dengan
jarak yang dekat dengan bibir pantai. Hal ini juga disesuaikan dengan kondisi perairan pesisir Kota
Makassar yang tidak lagi dangkal akibat cropping yang dilakukan. Namun, tingkat kedalaman akan
berbanding lurus dengan menurunnya suhu air yang akan berpengaruh terhadap kandungan logam berat
pada sedimen. Darmono, menyatakan bahwa semakin tinggi suhu air, daya toksisitas logam semakin
meningkat, sebaliknya semakin rendah suhu air maka daya toksisitas logam juga menurun. Di samping
itu pada kadar garam yang semakin tinggi, daya toksisitas logam semakin menurun. 14
Kandungan logam yang berada pada suatu lingkungan juga sangat dipengaruhi oleh sumbernya.
Connel dan Miller, berkesimpulan bahwa kedua pencemar baik logam maupun ukuran partikel sedimen
sangat menentukan pengaruhnya terhadap struktur komunitas. Lebih jauh lagi, logam pencemar
menunjukkan pengaruh yang lebih besar terhadap ikan dibandingkan terhadap krustasea (udang,
lobster, dan kepiting). Perkembangan toleransi terhadap logam pada beberapa spesies meningkatkan
kapasitas mereka untuk mengakumulasi logam dengan kepekatan yang relatif tinggi dan dapat
menyebabkan beberapa modifikasi pada struktur komunitas yang berubah setiap waktu dimana kondisi
nilai kandungan logam berat di dalam sedimen selama pengamatan, nilainya jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan yang terdapat pada kolom perairan. Hal ini diduga karena adanya laju proses
pengendapan atau sedimentasi yang dialami logam berat. Sehingga sedimen merupakan tempat proses
akumulasi logam berat di sekitar perairan laut. 7 Sesuai dengan hasil penelitian Mance, bahwa
konsentrasi logam berat di sedimen jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang ada pada kolom
perairan. Leiwakabessy, juga menyatakan bahwa logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat
bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam
berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air. 13
Akumulasi logam berat diperairan juga dipengaruhi oleh hadirnya logam lain yang terlarut
dalam air. Seperti penelitian yang telah dilaporkan oleh Ahsanullah, air yang mengandung Cadmium
dan seng, ternyata akumulasi kedua logam terus meningkat. Apabila Cd dicampur Cu, akumulasi
menjadi terhambat dan akumulasi Cd tetap meningkat. Bila ketiga logam tersebut (Cd, Cu, Zn)
dicampur, ternyata akumulasi Cd dalam jaringan tetap
tidak terpengaruh dan terus meningkat.13 Namun demikian, konsentrasi yang rendah ini tetap harus
diwaspadai karena logam logam berat yang terlarut dalam perairan pada konsentrasi tertentu dapat
berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan
oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari suatu
kelompok dapat menjadikan terputusnya satu mata rantai kehidupan. 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggraini, D. Analisis Kadar Logam Berat Pb, Cd, Cu Dan Zn Pada Air Laut, Sedimen dan
Lokan (Geloina Coaxans) di Perairan Pesisir Dumai, Provinsi Riau [Skripsi]. 2007; [Online].
[Diakses 16 Februari 2014]. http://heavymetals-contens-analystPb,Cu,Cd,Zn an sea
waters.pdf.
2. Apriadi, D. Kandungan Logam Berat Hg, Pb dan Cr Pada Air, Sedimen dan Kerang Hijau
(Perna Viridis L.) di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta [Skripsi]. 2005; [Online].
[Diakses 17 Februari 2014].
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11788/C05ada.pdf.
3. Gbaruko, B.C. and Friday, O.U. Bioaccumulation of Heavy Metals in Some Fauna and
Flora. New York: UI-Press; 2007.
4. Zhou. Biomonitoring: An Appealing Tool for Assessment of Metal Pollution in the
Aquatic Ecosystem. Elsevier. [Online Jurnal]. 2008; 84 (3). [Diakses 20 Februari 2014].
Available at. www.elsevier.com.
5. Elisabeth, R, dkk. Penentuan Kandungan Logam pada Ikan Kembung dengan Metode
Analisis Aktifasi newtron. [Online Jurnal]. 2008; 79 (6). [Diakses pada tanggal 20 Februari
2014]. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/51082429.pdf .
6. Widowati, W. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi; 2008.
7. Connel, D W dan Miller, G J. Kimia Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-press); 2006.
8. Randalele, M. Studi Kandungan Logam Berat Khromium (Cr) pada Sedimen di Perairan
Pantai Losari Kota Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2006.
9. Werorilangi, dkk. Status Pencemaran dan Potensi Bioavailabilitas Logam di Sedimen
Perairan Pantai Kota Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2011.
10. Fachruddin dan Musbir. Konsentrasi Logam Berat Cd dalam Air Laut, Sedimen dan
Daging Kerang Hijau (Perna Viridis) di Perairan Pantai Makassar [Sripsi]. Makassar:
Universitas Hasanuddin; 2010.
11. Madusa, S, S. Analisis Risiko Paparan Kadmium (Cd) pada Masyarakat di Sekitar Sungai
Pangkajene Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep [Tesis]. Makassar: Universitas
Hasanuddin; Makassar; 2012
12. Darmono. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-press); 2001.
13. Munce, G. Threat of Heavy Metalin Aquatic Environment Oceorance Analysis and
Biologycal Relevance. New York: UI-Press; 1990.
14. Palar, H. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT. Rineke Cipta; 2008.
LAMPIRAN
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kandungan Cadmium (Cd) dalam Sedimen Air
Laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar
Lokasi Pengambilan
Kode Titik Konsentrasi (C) Ket.
Sampel
Cambaya C3-6 I 0.559 MS
Kaluku Bodoa K3-6 II 0.373 MS
Buloa B3-6 III 0.187 MS
Tallo T3-6 IV 0.186 MS
Panambungan P3-6 V Tt Tt
Barombong G3-6 VI Tt Tt
Untia U3-6 VII Tt Tt
Kodingareng KD3-6 VIII Tt Tt
Standar Screening Benchmark 0,99 US-EPA
Sumber: Data primer, 2014
Tabel 2. Kategori Bahaya Kandungan Cadmium (Cd) dan Kromium (Cr) dalam
Sedimen Air Laut di Wilayah Pesisir Kota Makassar
Lokasi Pengambilan Hazard Quetiont (HQ)
Kode Ket.
Sampel untuk Cd
Cambaya C3-6 0.564646 L
Kaluku Bodoa K3-6 0.376768 L
Buloa B3-6 0.188889 L
Tallo T3-6 0.187879 L
Panambungan P3-6 Tt Tt
Barombong G3-6 Tt Tt
Untia U3-6 Tt Tt
Kodingareng KD3-6 Tt Tt
Sumber: Data primer, 2014
8
MAKALAH
OLEH:
E1F119025
FAKULTAS TEKNIK
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya
tugas Kimia Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes
mengenai makalah “Bioindikator sebagai fitur monitoring polutan”.
Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang
telah memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa
makalah saya ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan
senang hati menerima masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BIOINDIKATOR
B. RESPON ORGANISME TERHADAP PENCEMARAN
C. TIPE BIOINDIKATOR
D. KRITERIA MAKHLUK HIDUP TERHADAP INDIKATOR LINGKUNGAN.
BAB II PENUTUP
A. KESIM[PILAN.
B. SARAN.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak senyawa kimia yang berpotensi berbahaya, yang berasal dari
aktivitas manusia. Dalam konteks ini, banyak ilmuwan yang telah menunjukkan
minat yang semakin besar dalam deteksi, pengetahuan, dan pengendalian agen
lingkungan yang bertanggung jawab atas terjadinya permasalahan kesehatan
manusia dan permasalahan keberlanjutan ekosistem. Pemantauan jenis dan jumlah
zat polutan yang masuk ke lingkungan adalah pekerjaan yang melelahkan dan
menyita energi besar, terutama karena sifatnya yang komplek dan biaya besar
dalam identifikasi bahan kimia. Meskipun sebenarnya banyak metode analitik yang
dapat dilakukan, mengumpulkan sampel yang cukup dan pada waktu yang tepat
terus menjadi kendala besar dalam upaya evaluasi adanya kerusakan lingkungan.
Selain itu, penentuan zat terisolasi melalui analisis kimia tradisional memiliki
aplikasi lingkungan yang terbatas, karena tidak dapat mendeteksi dampak pada
organisme dan tidak menggambarkan interaksi yang mungkin antara zat (aditif,
antagonis atau sinergis) serta ketersediaan hayati (Magalhães & Ferrão-Filho, 2008;
Silva et al., 2003).
Para peneliti telah menyarankan perlunya penerapan teknik biologis untuk
dalam pendekatan ekosistem. Faktor biologis dapat menunjukkan adanya
keseimbangan atau ketidakseimbangan lingkungan yang lebih baik melalui indeks
biotik, yang berasal dari pengamatan spesies-spesies bioindikator (Fontanetti et al.,
2011). Bioindikator memiliki persyaratan khusus yang berkaitan dengan
seperangkat variabel fisik atau kimia yang diketahui sedemikian rupa sehingga
perubahan dalam kehadiran/ketidakhadiran, jumlah, morfologi, fisiologi, atau
perilaku spesies tersebut menunjukkan bahwa variabel fisik atau kimia yang
diberikan berada di luar batas toleransi. Sebagian besar, bioindikator dibatasi
sebagai spesies yang bereaksi terhadap efek antropogenik lingkungan, sedangkan
bioindikator untuk perubahan dan kondisi lingkungan “alami” tidak banyak
digunakan. Namun demikian, definisi umum dari indikator biologis adalah: “spesies
atau kelompok spesies yang dapat mencerminkan keadaan lingkungan abiotik atau
biotik, mewakili dampak perubahan lingkungan pada habitat, komunitas atau
ekosistem, dan indikator keragaman taksa atau seluruh keragaman dalam suatu
area” (Gerhardt, 2009; Magalhães & Ferrão-Filho, 2008).
Di alam terdapat hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada
pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan
mati karena pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan
Planaria merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang
mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami
pencemaran. Sebaliknya, cacing merah (Tubifex) merupakan cacing yang tahan
hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik,
meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaan cacing tersebut
dapat dijadikan indikator adanya pencemaran zat organik. Organisme yang dapat
dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis.
Bioindikator terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia.
Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan limbahnya
ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara kimia pada
limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran. Tetapi tidak
demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara terus menerus.
Di sungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos, mikroinvertebrata,
ganggang, yang dapat dijadikan bioindikator.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Bioindikator
2. Respon Organisme Terhadap Pencemaran
3. Tipe Bioindikator
4. Kriteria Makhluk Hidup Sebagai Indikator Lingkungan
C. Tujuan
Untuk mengetahui penjelasan lebih mengenai Bioindikator yang dapat
berpengaruh terhadap polutan dan juga untuk memenuhi tugas kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bioindikator
C. Tipe Bioindikator
Menurut Setiawan (2008) bioindikator dalam aplikasinya dikelompokkan
dalam tiga kategori yaitu indikator lingkungan, indikator ekologis dan indikator
keanekaragaman hayati. Ketiga indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:
B. SARAN
Saran dari uraian di atas yaitu kita harus lebih memahami lagi mengenai
bioindikator sehingga kita dapat lebih memahami untuk menentukan kualitas
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arisandi. P. (2001). Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian
Logam Berat Pesisir. Laporan Penelitian Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya.
Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim,
Germany.
Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II. Singapore
Science Centre, Singapore.
*)e-mail: mardi_myung@yahoo.com
ABSTRAK
Aktivitas manusia yang semakin bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan
bertambahnya kuantitas limbah di perairan yang berpotensi membahayakan perkembangan
organisme di perairan tersebut. Makrozoobentos merupakan hewan yang hidup di dasar
perairan dan dijadikan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan karena habitat hidupnya
relatif menetap. Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah bersifat sangat toksik
jika berada sebagai satu-satunya unsur dalam larutan. Di perairan estuari Pantai Timur
Surabaya bermuara empat sungai besar di antaranya Kali Wonokromo dan Kali Wonorejo
dimana sungai-sungai tersebut membawa limbah padat dan cair dari industri maupun rumah
tangga yang akan menumpuk dan mencemari perairan estuari. Penelitian bertujuan
menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang berpotensi sebagai bioindikator
pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi pencemaran logam berat
Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem Mangrove Wonorejo
Pantai Timur Surabaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan 19 jenis spesies
makrozoobentos filum Mollusca (15 kelas Gastropoda dan 4 kelas Bivalvia). Nilai
kandungan Cu pada bentos di masing-masing titik menunjukkan hasil yang tidak merata
sedangkan nilai kandungan Cu pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada
pengambilan data kedua. Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda
alternatif monitoring kualitas lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman
makrozoobentos, dapat diketahui kondisi lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu
sendiri.
Kata kunci: Makrozoobentos, Bioindikator, Logam berat, Tembaga (Cu), Mangrove,
Wonorejo
PENDAHULUAN
Limbah bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas kegiatan manusia sehari-hari
berpotensi membahayakan kehidupan perairan darat maupun laut dan secara khusus dapat
menganggu perkembangan organisme di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang semakin
bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap
perairan semakin meningkat, sehingga suatu ketika dapat melampaui keseimbangan air laut
yang mengakibatkan sistem perairan menjadi tercemar. Makrozoobentos merupakan bagian
dari makroinvertebarata yang hidup di dasar perairan (Trihadiningrum, 2003).
Makrozoobentos dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas di suatu perairan karena
habitat hidupnya yang cenderung relatif menetap. Kelompok makrozoobentos yang relatif
dominan di ekosistem mangrove adalah Mollusca, udang-udangan, serta ikan-ikan khas.
Gastropoda dan Bivalvia merupakan golongan Mollusca yang paling dominan terdapat di
mangrove. Mollusca menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga
apabila terjadi pencemaran
lingkungan maka tubuh Mollusca akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi
penimbunan atau terakumulasi (Nybakken, 1992).
Logam berat yang masuk di dalam suatu perairan akan sangat berbahaya baik efek
secara langsung terhadap biota organisme yang terdapat didalamnya maupun secara tidak
langsung dalam jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Hal tersebut berkaitan dengan
sifat logam berat yang sulit untuk didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam
lingkungan perairan dan secara alami keberadaannya akan sulit untuk terurai (hilang) lalu
terakumulasi di dalam biota/organisme dan akan mengancam kesehatan manusia sebagai
konsumen terakhir yang mengkonsumsi biota/organisme tersebut (Marganof, 2003).
Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif datar dengan
kemiringan 0-3o serta rata-rata ketinggian pasang surut kurang lebih 1,67 meter (Arisandi,
2001). Logam berat merupakan salah satu cemaran yang terdapat di Pantai Timur Surabaya.
Menurut Anwar (1996), wilayah Pantai Timur Surabaya telah tercemar oleh logam berat
tembaga (Cu) serta merkuri (Hg). Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoobentos)
menunjukkan klasifikasi tercemar berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar
ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali
Kenjeran yang termasuk dalam kategori tercemar berat.
Tujuan penelitian adalah menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang
berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi
pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem
Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya.
METODE
Lokasi penelitian berada di wilayah Pantai Timur Surabaya yang difokuskan pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo serta Hutan Mangrove Wonorejo di
muara Kali Jagir Wonokromo. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 titik sampling di
3 stasiun yang berbeda sehingga akan didapatkan total sebanyak 9 analisis sampel dalam
satu kali sampling. Sampling dilakukan 4 kali antara bulan Maret - Mei 2013 sebagai
representatif pengambilan sampel di musim yang berbeda (musim penghujan pada bulan
Maret - pertengahan April dan musim kemarau pada pertengahan April – bulan Mei).
Waktu sampling dilaksanakan dalam rentang waktu ± 2 minggu sekali.
Luas area penelitian berjarak ± 5,75 km (pembulatan menjadi 6 km) dan dibagi ke
dalam 3 stasiun dengan jarak antar stasiun yakni ± 2 km. Dalam satu stasiun dibagi menjadi
3 titik dimana jarak antar satu titik dengan titik lainnya yakni ± 700 m. Stasiun pertama dan
kedua berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo sementara stasiun 3
merupakan daerah muara (estuari percampuran antara air tawar dengan air laut) dengan
jarak pengambilan sampel di muara yakni di bagian tengah muara, 500 m ke arah utara dari
tengah muara, dan 500 m ke arah selatan dari tengah muara.
Sampling dilakukan dengan metode direct random sampling pada sekitar lokasi
penelitian pada saat air dalam keadaan surut. Semua spesies makrozoobentos yang
ditemukan (yang masih hidup) di ambil di bagian jaringannya untuk dianalisis kandungan
logam berat. Sementara itu, cangkang dikumpulkan dalam tempat yang berbeda untuk
digunakan sebagai bahan identifikasi dan pengukuran biometrik (khusus untuk spesies
tertentu). Identifikasi sampel makrozoobentos (Filum Mollusca) menggunakan bantuan
buku-buku identifikasi dari Tan & Ng (2001), Ng & Sivasothi (2002), dan Dharma (2005).
8
2
3
1
7
4
5
9
6
34
Data
S
32 Suhu
u 30
h 28 Suhu Data 1
u
26 Suhu Data 2
(
24 Suhu Data 3
O
)C Suhu Data 4
Stasiun
Gambar 2 Grafik ‐ Suhu (temperatur)
Nilai
Titik
Secara umum nilai suhu dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 27 – 31 °C) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan
sehingga berada dalam kisaran suhu lingkungan normal. Suhu memiliki peran yang sangat
penting terhadap kehidupan di dalam air. Meningkatnya laju metabolisme menyebabkan
kebutuhan oksigen meningkat, sementara naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan
oksigen dalam air menurun sehingga menyebabkan organisme air mengalami kesulitan
untuk berespirasi. Hasil penelitian parameter oksigen terlarut (DO) ditampilkan pada
Gambar 3.
5
Data DO
D 4
O 3
2
DO Data 1
(
p 1 DO Data 2
p 0 DO Data 3
m
DO Data 4
)
Stasiun ‐
Titik
Gambar 3 Grafik Nilai DO
Secara umum nilai DO dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan akan
tetapi terdapat satu nilai DO yang jauh di bawah nilai rata-rata yakni pada saat pengambilan
data ke-1 dan ke-2 dimana nilai DO di stasiun III – 500 m selatan yakni 2,45 ppm dan 2,58
ppm. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan
penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara
permukaan air dengan udara.
Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hidrogen (H +) dalam larutan/didefinisikan
sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan
dengan persamaan pH = log 1/H +. Hasil penelitian untuk parameter pH air ditampilkan pada
Gambar 4.
8.5
Data pH
p
8 Air
H 7.5
7 pH Air Data 1
A 6.5
pH Air Data 2
i6
pH Air Data 3
r
pH Air Data 4
Stasiun ‐
Titik4 Grafik Nilai pH Air
Gambar
Secara umum nilai pH air dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 6,8 - 8) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan
sehingga berada dalam kisaran pH netral. Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H +
dan OH- berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen
akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam.
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas
primer dimana kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat
kekeruhan
perairan, sudut datang cahaya matahari, dan intensitas cahaya matahari. Hasil penelitian
untuk parameter kecerahan/penetrasi cahaya ditampilkan pada Gambar 5.
K 30 Data Kecerahan
e 25
c 20
e 1(c5 r 1m0
5 Kecerahan Data 1
a )
0
Kecerahan Data 2
h
a Kecerahan Data 3
n Kecerahan Data 4
Stasiun ‐
Titik 5 Grafik Nilai Kecerahan
Gambar
Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai kecerahan (penetrasi cahaya)
dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan (dalam range nilai antara 10 – 28
cm) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan. Bagi organisme perairan, intensitas
cahaya matahari yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung
kehidupan organisme pada habitatnya.
Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air.
Turbiditas pada ekositem perairan sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus,
tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Hasil penelitian untuk parameter kekeruhan
ditampilkan pada Gambar 6.
K 80
Data Kekeruhan
e 60
k 40
Kekeruhan Data 1
e
2 Kekeruhan Data 2
r
u n Kekeruhan Data 3
h 0 Kekeruhan Data 4
a
0
Stasiun ‐
Titik
Gambar 6 Grafik Nilai Kekeruhan
Secara umum nilai kekeruhan dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang
konstan. Stasiun III – 500 m selatan (muara) merupakan titik sampling yang memiliki nilai
kekeruhan tertinggi dari 9 titik dikarenakan pada saat pengambilan data di lokasi tersebut
dalam keadaan menjelang pasang sehingga banyak substrat sedimen yang ikut larut dalam
pengambilan air sampel uji. Secara umum lokasi sampling di muara memiliki nilai
kekeruhan yang lebih tinggi daripada di daerah aliran sungai (DAS), dikarenakan proses
pasang surut di muara terjadi lebih cepat.
Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total yang
dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa organik baik yang mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit/tidak bisa diuraikan secara biologis. Hasil
penelitian untuk parameter COD ditampilkan pada Gambar 7.
C
Data
70
O 60 COD
D 50
40
( 30 COD Data 1
m 20
g 10 COD Data 2
/ 0 COD Data 3
)l COD Data 4
Stasiun ‐
Titik
Gambar 7 Grafik Nilai COD
Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai COD rata-rata bernilai
tetap/konstan (dalam range nilai antara 10 – 64 mg/l) pada empat kali sampling data yang
telah dilakukan. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh jumlah nilai Oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik itu yang mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
Hasil analisa logam berat tembaga (Cu) pada sedimen dan makrozoobentos yang
telah dilakukan selama 4 kali pengambilan data didapatkan hasil seperti pada Gambar 8 dan
9 ini.
N
Cu pada
i
25.00 Sedimen
20.00
l
a 15.00
i 10.00
Cu sedimen 1
5.00
Cu Sedimen 2
C 0.00
u Cu Sedimen 3
Cu sedimen 4
Stasiun ‐
Titik
Gambar 8 Grafik Nilai Cu Pada Sedimen
N 70 Cu pada Bentos
65
60
i 55
50
l 45
40
35
a 30
25 Cu Bentos 1
i 20
15
10 Cu Bentos 2
5
C 0 Cu Bentos 3
u Cu bentos 4
Stasiun ‐
TitikNilai Cu Pada Makrozoobentos
Gambar 9 Grafik
Dari gambar grafik di atas, tidak dapat menunjukkan gambaran (trend) yang jelas
untuk hasil analisa nilai Cu baik itu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos.
Sebagai salah satu penyebabnya mungkin saja pada saat antar waktu pengambilan kondisi
cuaca sebelum pengambilan data berbeda-beda sehingga analisa hasil yang diharapkan tidak
tercapai. Sebagai contoh, hasil rata-rata nilai Cu di pengambilan data ke-2 lebih tinggi
daripada saat pengambilan data ke-3. Hal tersebut mungkin saja dapat disebabkan pada saat
pengambilan data ke-3 kondisi sungai mendapatkan tambahan debit air dari curah hujan
yang berada daerah hulu sehingga debit air permukaan di Sungai Wonorejo menjadi lebih
tinggi dan kandungan logam berat yang telah masuk ke aliran sungai menjadi tergerus
sehingga hasil pembacaan analisa nilai logam beratnya menjadi lebih kecil.
Dari keempat pengambilan data didapatkan hasil bahwa gambaran nilai akumulasi
Cu di sedimen dan di bentos memiliki nilai tertinggi pada pengambilan ke-2. Hal ini dapat
diartikan bahwa kondisi perairan sungai pada saat waktu tersebut mengalami penurunan
kualitas dibandingkan dengan waktu pengambilan data yang lain jika dikaitkan dengan nilai
akumulasi logam berat Cu di sedimen dan di bentos. Penyebab menurunnya kualitas ini
dimungkinkan antara lain karena adanya tambahan masukan beban pencemar dari wilayah
hulu.
Nilai Cu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos secara umum tidak
dapat mendeskripsikan bahwa salah satu diantara keduanya dapat lebih optimal dalam
mengakumulasi nilai logam berat dalam hal ini adalah tembaga (Cu). Hal tersebut
dikarenakan dari hasil data yang didapat dalam 4 kali sampling menunjukkan bahwa nilai-
nilai logam berat yang diakumulasi oleh sedimen dan bentos relatif sama.
Masing-masing bentos memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi
sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal
tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas
bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah
mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud
adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan
memperkuat dinding tubuh serta mengembangkan alat pelekat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisa hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yakni hasil analisa nilai kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos
yang ditemukan menunjukkan hasil yang tidak merata di masing-masing stasiun titik
pengambilan data. Nilai kandungan logam berat Cu pada sedimen menunjukkan hasil
akumulasi tertinggi pada saat waktu pengambilan data kedua. Ditemukan sebanyak 19
jenis Mollusca makrozoobentos yang terdiri atas 15 jenis spesies Gastropoda dan 4 jenis
spesies Bivalvia. Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif
monitoring kualitas lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman
makrozoobentos (moluska), dapat diketahui kondisi lingkungannya sebagai habitat
makrozoobentos itu sendiri.
Saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, yakni dilakukan
penelitian lanjutan untuk meneliti aspek fisiologi biota (makrozoobentos) dan
sensivitasnya terhadap parameter lingkungan. Selain itu, kebutuhan akan Peraturan
Pemerintah tentang baku mutu sedimen untuk biota indikator air tawar, estuari, dan laut
sudah sangat diperlukan untuk pengelolaan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, D. (1996). Kandungan Logam Berat Cu dan Hg dalam Eritrosit Warga Kenjeran.
Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim,
Germany.
Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II.
Singapore Science Centre, Singapore.
Abstrak
Tiram termasuk spesies macrofauna benthik, merupakan salah satu bioindikator terbaik untuk
mengetahui tingkat kontaminasi logam berat di suatu daerah. Tiram bersifat filter feeder atau
menyerap makanannya termasuk kontaminan logam berat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan logam berat Pb pada air laut dan tiram Saccostrea glomerata dari
perairan Prigi. Metode penelitian survei dengan teknik pengambilan data secara sampling acak
pada 3 stasiun dengan 3 sub stasiun. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan kandungan logam berat Pb pada air laut di Stasiun I sebesar 0,110 ± 0,019 ppm;
Stasiun 2 sebesar 0,211 ± 0,013 ppm dan Stasiun 3 sebesar 0, 0,060 ± 0,013 ppm. Sedangkan
kandungan logam berat Pb pada tiram di Stasiun 1 sebesar 1,457 ± 0,501 ppm; Stasiun 2
sebesar 2,960 ± 0,505 ppm dan Stasiun 3 sebesar 0,517 ± 0,297. Sehingga bisa diketahui
perairan Prigi terkontaminasi logam berat Pb melalui bioindikator tiram S. glomerata.
Abstract
Oysters, a benthic macrofauna, is the best bioindicator to determine the level of heavy metal
contamination in the certain area. Oyster is a filter feeder, absorbing its food including heavy
metals contaminants. The objective of this study was to determine the content of Pb heavy
metals in the seawater and oysters Saccostrea glomerata from Prigi waters. Methods of data
collection was random sampling at 3 stations with 3 sub-stations then the data collected were
analyzed descriptively. The results showed that Pb content of heavy metals in sea water at the
station 1 was 0.110 ± 0.019 ppm; station 2 was 0.211 ±
0.013 ppm and Station 3 was 0.060 ± 0.013 ppm. The heavy metal content of Pb in oysters at
Station 1 was 1.457 ± 0.501 ppm; Station 2 was 2.960 ± 0.505 ppm and Station 3 was 0.517 ±
0.297. Therefore, it can be known that Prigi waters have contaminated with heavy metal of Pb
through the oyster S. glomerata as bioindicator.
PENDAHULUAN
Teluk Prigi terletak di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa
Timur, merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk
termasuk sektor perikanan. Tempat ini merupakan salah satu pusat usaha perikanan di pantai
selatan Jawa. Hal ini diantaranya bisa dilihat dari jumlah keterlibatan penduduk lokal dalam
kegiatan yang berhubungan dengan perikanan sebanyak kurang lebih 6.271 kepala keluarga
(Statistik PPN Prigi, 2010) atau sebesar 26,29 % dari jumlah penduduk (Perdes Tasikmadu,
2009). Jika kemudian ditambahkan dengan nelayan
andong atau istilah lokal dalam menyebut nelayan pendatang, jumlah keseluruhan nelayan
yang berusaha di Prigi bisa bertambah sampai 2 %.
Teluk Prigi terkenal dengan pemandangan yang indah, tempat rekreasi, ekowisata (fish
sanctuary), peluang kerja di bidang perikanan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi (PPN
Prigi) serta pariwisata. Namun, ditengarai dalam beberapa tahun terakhir ini Teluk Prigi mulai
terancam kontaminasi logam berat. Pb merupakan salah satu jenis logam berat yang potensial
menjadi bahan kontaminan, karena merupakan senyawa yang bertahan lama di dalam suatu
badan air sebelum akhirnya mengendap atau terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan
kimia perairan (Mukhtasor, 2002).
Logam berat diketahui dapat mengumpul di dalam tubuh organisme, dan tetap tinggal
dalam tubuh dalam jangka waktu lama sebagai racun yang terakumulasi (Fardiaz, 1992; Palar,
1994). Kondisi perairan yang terkontaminasi oleh berbagai macam logam akan berpengaruh
nyata terhadap ekosistem perairan baik perairan darat maupun perairan laut. Timbal (Pb)
merupakan logam yang banyak dimanfaatkan oleh manusia sehingga logam ini juga
menimbulkan dampak kontaminasi terhadap lingkungan.
Tiram termasuk spesies macrofauna benthik, merupakan salah satu bioindikator terbaik
untuk mengetahui tingkat kontaminasi logam berat di suatu daerah. Tiram merupakan biota
yang potensial terkontaminasi logam berat, karena sifatnya yang filter feeder, sehingga biota
ini sering digunakan sebagai hewan uji dalam pemant`auan tingkat akumulasi logam berat pada
organisme laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Pb pada air
laut dan tiram S. glomerata dari perairan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi.
METODE
Metode penelitian survei dengan teknik pengambilan data secara sampling acak pada 3
stasiun dengan 3 sub stasiun dan kemudian data yang didapatkankan dianalisis secara
deskriptif.
Perairan PPN Prigi mengandung Pb sebagai berikut: di kolam labuh barat (Stasiun
I) sebesar 0,111 ± 0,019 mg/l, kemudian di lokasi kolam labuh timur (Stasiun II) sebesar 0,211
± 0,0135 mg/l, dan selanjutnya di muara S. Pancer (Stasiun III) sebesar 0,060 ± 0,013 mg/l
(Gambar 1.).
Kandungan tersebut telah mengalami kontaminasi tertinggi dengan peningkatan sebesar
4 kali lipat dari ambang batas maksimum dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb pada perairan pelabuhan adalah sebesar
0,05 mg/l.
Tingginya kandungan Pb di perairan PPN Prigi dapat berasal dari limbah industri di
kawasan pelabuhan serta limbah padat dan cair domestik yang terbawa aliran sungai yang
bermuara di sekitar pelabuhan. Sedangkan kegiatan di laut (marina) salah satunya adalah
buangan sisa bahan bakar kapal motor, cat kapal dan wisata bahari. Kapal motor penangkap
ikan juga menggunakan cat anti korosi yang pada umumnya mengandung Pb (Siaka, 2008).
Dalam menjalankan aktivitasnya kegiatan marina ini menghabiskan bahan bakar solar ± 4.443
ton/tahun, oli ± 103 ton/tahun, bensin ± 1.473 ton/tahun dan minyak tanah 70 ton/tahun
(Statistik PPN Prigi, 2010) serta sebelum berangkat kapal tersebut harus dihidupkan di
pelabuhan ± 1 jam, dengan demikian limbah asap masuk ke perairan pelabuhan. Selain hal
tersebut, knalpot (pembuangan sisa gas hasil proses pembakaran bahan bakar) terletak di
bawah kapal atau dekat dengan permukaan air laut, sehingga gas buangannya langsung
berinteraksi dengan air laut, yang akan menambah kontaminan.
Gambar 1. Kandungan logam berat Pb pada perairan PPN Prigi
Monitoring logam berat Pb pernah dilakukan pada tahun 2007 berdasarkan Laporan
Tim Teknisi Ekologi dan Pengembalian Fungsi Habitat FPIK-UB dalam Susilo (2007),
kandungan logam berat tertinggi di perairan Teluk Prigi adalah Pb sebesar 0,0035-0,0470 mg/l.
Bila dibandingkan dengan keadaan sekarang (tahun 2011), telah terjadi peningkatan
kontaminasi logam berat Pb sebesar 4,5 kali lipat.
Kandungan Pb pada tiram S. glomerata sebagai berikut: di kolam labuh barat (Stasiun I)
sebesar 1,457 ± 0,502 mg/l, kemudian di lokasi kolam labuh timur (Stasiun II) sebesar 2,960 ±
0,505 mg/l, dan selanjutnya di muara S. Pancer (Stasiun III) sebesar 0,517 ± 0,297 mg/l
(Gambar 2.).
Kandungan tersebut telah mengalami peningkatan sebesar 1,5 kali lipat dari ambang
batas maksimum dari Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.
03725/B/SK/VII/89 yang membatasi kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya
ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 mg/l. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb pada biota laut adalah sebesar 0,008
mg/l.
Kandungan Pb dalam tiram relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dalam air. Hal ini
menunjukkan bahwa Pb yang terdapat dalam air terakumulasi dalam tubuh biota tiram. Hal
yang sama ditemukan oleh Yudha (2008), Rahman (2006), Febrita (2006), Karimah (2002),
Marabessy dan Edward (2002) dan Fajri (2001) dalam penelitian mereka masing- masing
tentang akumulasi logam berat Pb pada biota air laut. Faktor akumulasi pada
setiap jenis biota laut relatif berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat biologis
(jenis, umur dan fisiologis) masing-masing jenis biota, juga disebabkan oleh perbedaan sifat
fisik dan kimia serta aktivitas masing-masing lokasi.
Tiram S. glomerata merupakan biota yang potensial terkontaminasi logam berat, karena
sifatnya yang filter feeder atau menyerap makanannya termasuk kontaminan logam berat.
Organisme yang hidup sedentary atau menetap, tidak bisa menghindar dari kontaminan dan
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam tertentu sehingga dapat
mengakumulasi logam lebih besar dari hewan lainnya (Darmono, 1995).
Kandungan lobam berat tertinggi pada air dan tiram S. glomerata terdapat pada kolam
labuh timur, hal ini diduga disebabkan oleh buangan sisa BBM dan cat kapal yang digunakan
dan sebagian besar diduga mengandung Pb. Juga karena lokasi kolam labuh timur dekat
dengan muara sungai Pancer dimana sumber polutan berupa limbah domestik lebih banyak
masuk ke lokasi tersebut. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Apeti et al.
(2005) bahwa konsentrasi logam berat tertinggi (Cd, Cr, Cu, Pb dan Zn) pada tiram
Crassostrea virginica di Teluk Apalachicola, Florida ditemukan pada lokasi yang mendapat
masukan terbanyak dari aliran sungai, dan konsentrasi logam Pb sebesar 0,75 µg g -1.
Ukuran tiram S. glomerata dengan panjang, lebar dan tinggi yang lebih besar mampu
mengakumulasi logam lebih besar pula. Rata-rata ukuran cangkang tiram yang terbesar
terdapat di kolam labuh timur dengan panjang antara 3,5 – 7 cm, lebar 1,7 – 5,3 cm dan tinggi
1,1 – 3,4 cm. Pada kolam labuh timur tersebut logam berat Pb pada air laut dan tiram S.
glomerata juga tertinggi. Riget et al. (1996) menyebutkan bahwa pada ukuran cangkang
Mytillus edulis ditemukan korelasi positif dengan kemampuan kerang tersebut mengakumulasi
logam berat.
KESIMPULAN
- Kandungan Pb di Perairan Prigi antara 0,060 ± 0,013 mg/l sampai dengan 0,211 ±
0,0135 mg/l melebihi ambang batas maksimum dari Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang telah di ralat pada Nomor 179 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dimana baku mutu air laut untuk kandungan Pb
pada perairan pelabuhan adalah sebesar 0,05 mg/l.
- Kandungan Pb pada tiram S. glomerata antara 0,517 ± 0,297 mg/l sampai dengan
2,960 ± 0,505 mg/l, telah melebihi ambang batas maksimum dari Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi
kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah
adalah 2,0 mg/l.
DAFTAR PUSTAKA
Apeti D. A., Robinson L., and Johnson E., 2005. Relationships between Heavy Metal
Concentration in the American Oyster (Crassostrea virginica) and Metal Levels in
the Water Column and Sediment in Apalachicola Bay, Florida. American Journal of
Environmetal Sciences, Vol.1, pp. 179-186.
Darmono., 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.
Fajri N. E., 2001. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan Pb dalam Air Laut,
Sedimen dan Tiram (C. cucullata) di Perairan Pesisir Kec. Pedes, Kab Karawang,
Jawa barat. Tesis. Pascasarjana IPB.
Fardiaz S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 190 hal.
Febrita E., Suwondo dan Dewi U. 2006. Kandungan Logam Berat (Pb dan Cu) pada
Sipetang (Pharus sp) sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Bengkalis. Jurnal
Biogenesis, Vol. 2, pp. 241-46
Karimah, A., Gani A. A. dan Asnawati., 2002. Profil Kandungan Logam Berat
Timbal (Pb) dalam Cangkang Kupang Beras (Tellina versicolor). Laporan
penelitian. Fakultas MIPA. Unversitas Jember.
Marabessy, M. D. dan Edward., 2002. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu
dan Zn dalam beberapa Jenis Kerang dan Ikan di Perairan Raha, P. Muna
Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Perikanan Indonesia. 27-28
Agustus 2002.
MENLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Mukhtasor, 2002. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. PT Pradnya
Paramita.
Jakarta. 322 hal.
Palar, H., 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Rineka Cipta.
Jakarta. 90 hal.
Peraturan Desa (Perdes) Tasikmadu, 2009. Tentang Zonasi Kawasan Pesisir
Desa Tasikmadu. Pemerintah Kabupaten Trenggalek. Jawa Timur. 46 hal.
Rahman, A., 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)
pada beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten
Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae, Vol. 3, pp. 93-101.
Riget F., P. Johansen and Asmund G., 1996. Influence of length on element
concentrations in Blue Mussel (Mytillus edulis). Marine Pollution
Bulletin, Vol. 32, pp. 745-751.
Siaka, I. M., 2008. Korelasi antara kedalaman sedimen di Pelabuhan Benoa
dan konsentrasi logam berat Pb dan Cu. Jurnal Kimia, Vol. 2, pp. 61-70.
Susilo, E., 2007. Daya Adaptasi Dan Jaminan Sosial Masyarakat Dalam
Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Domestik (Dinamika Kelembagaan
Lokal Pengelola Sumberdaya Perikanan Kawasan Pesisir). Laporan Riset
Dasar Program Insentif. Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Statistik PPN Prigi, 2010. Statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. DKP.
Yudha, I. G., 2008. Analisis Kandungan Logam Berat Pada Biota Laut di
Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Laporan Penelitian. Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
BIOSCIENTIAE
1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kalimantan Selatan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Kondisi Lingkungan
Rata-rata suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan gambut relatif sama.
Meskipun demikian pada lahan yang ditanami karet mempunyai suhu tanah terendah
(Gambar 2). Lahan yang ditanami karet tanah hampir seluruhnya tertutup oleh
kanopi, baik oleh tanaman karet maupun tanaman di bawah tegakan karet (rumput-
rumputan). Penutupan kanopi tersebut akan mengurangi evaporasi dan menjaga suhu
tanah.
1.8
1.6
Lahan
(a)
1.6
1.4
1.2
Indeks Diversitas
1
MH
0.8 MK
0.6
0.4
0.2
Laha
n
(b)
Gambar 1. Indeks Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan (a) dan di dalam
(b) tanah pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK)
33
32
31
Suhu Tanah (oC)
30
MH
29 MK
28
27
26
TerlantarHortikultura Jagung Karet Nanas
Laha
n
Gambar 2. Suhu tanah pada beberapa penggunaan lahan pada musim hujan (MH)
dan musim kemarau (MK)
Sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan kandungan C-organik, lahan yang ditanami nanas dan karet tergolong
tanah bergambut, sedangkan lahan terlantar, yang ditanami jagung dan hortikultura
tergolong gambut dalam. Menurut Widjaya Adhi (1988) tanah bergambut
mempunyai kandungan C-organik 12 – 18% dengan ketebalan gambut kurang dari
50 cm, sedangkan tanah gambut dalam mempunyai kandungan C-organik lebih dari
18 % dengan ketebalan gambut 2 – 3 m. Berat isi tanah tertinggi dijumpai pada
lahan yang ditanami nanas, dan terendah pada lahan yang ditanami hortikultura.
Sebaliknya porositas tertinggi pada lahan yang ditanami hortikultura dan terendah
pada lahan yang ditanami nanas. Hal itu disebabkan karena perbedaan ketebalan dan
tingkat dekomposisi gambut. Selain itu pengolahan tanah pada lahan yang ditanami
hortikultura meningkatkan porositas. pH tertinggi dijumpai pada lahan yang
ditanami nanas, dan terendah pada lahan terlantar. Kandungan C-organik tertinggi
pada lahan yang ditanami jagung, sedangkan N-total tertinggi pada lahan yang
ditanami hortikultura. Tingginya kandungan N pada lahan yang ditanami
hortikultura disebabkan pemberian pupuk kandang dan pupuk anorganik (pupuk N).
Lahan BI Porositas Kadar air Tekstur pH H2O pH KCl C-organik N total C/N
Musim Hujan
Terlantar 0,35 74,19 306,28 LB 3,19 2,52 41,37 0,67 61,79
Jagung 0,32 76,79 492,34 Liat 3,20 2,53 44,51 0,6 75,86
Hortikultura 0,23 82,50 238,99 Liat 3,89 3,43 35,98 0,77 46,73
Nanas 0,68 59,70 92,69 Liat 4,35 3,35 12,64 0,34 53,14
Karet 0,52 74,98 82,02 Liat 3,66 3,30 12,75 0,43 22,25
Musim Kemarau
Terlantar 0,40 69,70 265,63 LB 3,30 2,62 41,30 0,79 52,37
Jagung 0,32 76,30 355,05 Liat 3,47 2,53 44,57 0,69 64,59
Hortikultura 0,25 80,77 259,16 Liat 3,58 3,43 30,98 0,89 34,81
Nanas 0,69 56,88 58,87 Liat 5,50 3,35 11,61 0,61 19,04
Karet 0,55 72,64 76,21 Liat 5,35 3,30 11,90 0,23 51,74
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Paoletti MG, Favretta MR, Stinner SB, Purrington FF, & Bater JE.
1991. Invertebrates as bioindicator of soil use. In D.J.
Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and
Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Pimentel D, Stinner BR, & Stinner D. 1992. Agroecosystem
Biodiversity: Matching production and conservation biology. Agric.
Ecosyst. Environ. 40, 3-23.
Abstract
Industry, homes activites, and aquaculture around situ or lake could contaminate and affect the
water quality. This study aimed to determine the diversity of phytoplankton and water pollution
level in Situ Bulakan Kota Tangerang based on saprobite index. The research was conducted on
December 2014 until March 2015 at Situ Bulakan Kota Tangerang. Observations were made based
on 4 points sampling with three repetitions for one day that could represented existing condition.
Sampling sites in this study were at inlet flow, middle, outlet, and alleged utilized areas such as
floating fish net. The result showed 26 species of phytoplankton from four classes, namely 9
species of Cyanophyceae, 4 species of Bacillariophyceae, 11 species of Chlorophyceae, and 2
species of Euglenophyceae with moderate diversity index (H' = 1.77─2.05). Monoraphidium sp. was
a species dominated in Situ Bulakan Kota Tangerang which was found 215 individuals. So it can be
said as saprobite bioindicator. Saprobite index in Situ Bulakan Kota Tangerang showed moderate
to severe contaminated with α-mesosaprobic (0.14).
Gambar 1. Stasiun penelitian di Situ Bulakan Kota Tangerang; A. Aliran inlet; B. Bagian tengah;
C. Aliran outlet; D. Keramba
N=
Keterangan :
N= jumlah individu fitoplankton per ml C=
jumlah individu fitoplankton yang
dihitung
V1= volume contoh uji yang telah disaring
(5000 ml)
V2= volume benda uji (1 ml)
V3= volume contoh uji yang diambil di
lapangan (100 ml)
Keterangan :
H’= indeks diversitas Shanon-Wiener Pi
= ni/N (proporsi jenis fitoplankton) ln =
jumlah jenis fitoplankton
N = jumlah seluruh jenis fitoplankton
Indeks Keseragaman (E)
Keterangan :
E = Indeks keseragaman jenis H’=
Indeks keanekaragaman jenis
Shannon-Wiener
H’ maks= Nilai keanekaragaman jenis
maksimum (ln S)
S= Jumlah total individu
Keterangan :
D = Indeks dominasi
Pi = ni/N (proporsi jenis fitoplankton)
Keterangan :
A = jumlah organisme divisi Cyanophyta B=
jumlah organisme divisi Euglenophyta C =
jumlah organisme divisi Chrysophyta D =
jumlah organisme divisi Chlorophyta
Tabel 1 menunjukkan jenis fito- plankton ton antara 2.000-15.000 ind/ml. Indeks
yang paling banyak ditemukan di perairan Situ kelimpahan fitoplankton terendah terdapat pada
Bulakan Kota Tangerang berasal dari kelas ST1 sebesar 6.600 ind/ml dan ter- tinggi terdapat
Chlorophyceae yaitu 11 jenis. Monoraphidium sp. pada ST3 sebesar 9.817 ind/ml (Tabel 2).
merupakan jenis yang ditemukan di Situ Bulakan Indeks keanekaragaman fitoplankton (H’)
Kota Tangerang dengan jumlah 215 individu dan pada 4 stasiun penelitian bervariasi antara 1,77-
merupakan jumlah individu tertinggi (Tabel 1). 2,05, sedangkan keanekara- gaman rata-rata
Analisis fitoplankton yang dilakukan fitoplankton yaitu 1,95. Berdasarkan hasil indeks
menggunakan indeks biologi pada 4 sta- siun keanekaragaman fitoplankton, diketahui bahwa
penelitian di Situ Bulakan Kota Tangerang yaitu keaneka- ragaman fitoplankton di Perairan Situ
indeks kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), Bulakan Kota Tangerang termasuk ke dalam
indeks kese- ragaman (E), indeks dominansi (D), kategori sedang dengan nilai 1<H’>3. Indeks
dan indeks saprobitas (X). keanekaragaman fito- plankton terendah terdapat
Indeks kelimpahan fitoplankton pada pada ST1 sebesar 1,77 dan tertinggi terdapat pada
4 stasiun penelitian bervariasi antara 6.600-9.817 ST2 sebesar 2,05 (Tabel 2).
ind/ml, sedangkan kelim- pahan rata-rata Indeks keseragaman fitoplankton (E) pada 4
fitoplankton yaitu 7.992 ind/ml. Berdasarkan hasil stasiun penelitian bervariasi antara 0,17-0,29,
indeks kelim- pahan fitoplankton, tingkat kesu- sedangkan keseragaman rata- rata fitoplankton
buran perairan Situ Bulakan Kota Tangerang yaitu 0,21 (Tabel 2). Berdasarkan hasil tersebut,
termasuk ke dalam kategori perairan mesotrofik diketahui bahwa keseragaman fitoplankton di
dengan kelimpahan fitoplank- Perairan Situ Bulakan Kota Tangerang
termasuk ke dalam kategori komunitas tertekan, sebesar 0,61 dan termasuk ke dalam kategori
karena keseragaman populasi pada semua titik dominansi sedang, sedangkan indeks dominansi
sampling memiliki nilai mendekati 0. tertinggi pada ST3 sebesar 0,79 dan termasuk ke dalam
Indeks dominansi fitoplankton (D) pada 4 kategori dominansi tinggi (Tabel 2). Terlihat pada tabel
stasiun penelitian bervariasi antara 0,61-0,79, 1, seluruh stasiun penelitian memiliki jenis
sedangkan dominansi rata-rata fitoplankton yaitu
0,73. Indeks dominansi terendah yaitu pada ST 1
yang lebih mendominasi seperti saprobitas rata-rata fitoplankton yaitu 0,14. Nilai
indeks saprobitas teren- dah yaitu pada ST4
Monora- phidium sp. dan Oscillatoria
sebesar -0,03 yang menunjukkan kualitas air
sp. mengalami pen- cemaran sedang sampai berat atau
α– mesosaprobik dan nilai indeks saprobitas
Indeks saprobitas fitoplankton (X) pada tertinggi yaitu pada ST1 sebesar 0,80 yang
4 stasiun penelitian bervariasi antara 0,03- menunjukkan kualitas air mengalami pen-
0,80 dengan kategori α-mesosap- robik cemaran sedang sampai berat atau β–
sampai β-mesosaprobik, sedangkan indeks mesosaprobik (Tabel 2).
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Situ Bulakan Kota Tangerang
161-168.
Jhon, D. M., Whitton, B. A., & Brook, A.
J. (2002). The Freshwater Algal
Floral of the British Isles. United
Kingdom: Cambridge University
Press.
Panjaitan, P. (2009). Kajian Potensi Pence- maran Keramba Jaring Apung PT. Aquafarm Nusantara di
Ekosis-tem Perairan Danau Toba. Jurnal Visi 17 (3), 290-300.
Piirsoo, K., Peeter, P., Tuvikene, A., & Malle, A. (2008). Temporal and Spatial Patterns of
Phytoplankton in a Temperate Lowland River. Journal of Plankton Research 30 (11), 1.285-
1.295.
Presiden Republik Indonesia. (2001). Pera-turan Pemerintah Republik Indone-sia Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pe-ngendalian Pencemaran
Air. Sekretaris Negara Republik Indone- sia. Jakarta.
Prihantini, N. B., Wardhana, W. Hen- drayanti, D., Widyawan, A., Ariyani, Y., & Rianto, R.
(2008). Biodiversitas Cyanobacteria dari Beberapa Situ/ Danau di Kawasan Jakarta-Depok-
Bogor, Indonesia. Jurnal Makara Sains 12 (1), 44-54.
Reynold, C. S. (1993). Scales of Disturbance and Tehir Role in Plankton Ecology. Hydrobiology
(249), 157-171.
MAKALAH
OLEH:
E1F119025
FAKULTAS TEKNIK
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas Kimia
Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai makalah
“Constructed wetlands/lahan basah buatan”.
Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati menerima
masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI LAHAN BASAH BUATAN
B. FUNGSI DAN MANFAAT LAHAN BASAH BUATAN
C. SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
D. TIPE SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
E. PRINSIP DASAT PADA SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
F. KOMPONEN-KOMPONEN PADA SISTEM LAHAN BASAH BUATAN.
G. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN TEKNOLOGILAHAN BASAH
BUATAN.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi lahan basah buatan untuk mengolah limbah cair sangat potensial sistem
pengolahan limbahnya sederhana, mudah diterapkan dalam skala rumah tangga atau
individual yaitu dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di Indonesia. Metode
pengolahan limbah cair lahan basah buatan ini menggunakan mikroorganisme dan
tumbuhan air (Awalina, 2005). Keberadaan lahan basah buatan dapat memberikan
pengaruh yang baik karena proses pengolahan limbah yang terjadi mencontoh proses
penjernihan air yang terjadi di lahan basah atau rawa (wetlands).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sistem lahan basah buatan ?
2. Sebutkan tipe sistem lahan basah buatan ?
3. Apa prinsip dasar pada sistem lahan basah buatan ?
4. Apa saja komponen dari sistem lahan basah buatan?
5. Sebutkan keunggulan dan kelemahan teknologi lahan basah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari sistem lahan basah buatan.
2. Mengetahui apa saja tipe dari sistem lahan basah buatan.
3. Mengetahui prinsip dasar sistem lahan basah buatan.
4. Mengetahui apa saja komponen sistem lahan basah buatan.
5. Mengetahui keunggulan dan kelemahan teknologi lahan basah.
BAB II
PEMBAHASAN
Lahan basah buatan (human-made wetlands) adalah suatu ekosistem lahan basah
yang terbentuk akibat intervensi manusia, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Lahan
basah buatan yang pembentukannya disengaja, biasanya dibuat untuk memenuhi berbagai
kepentingan tertentu; misalnya untuk meningkatkan produksi lahan pertanian dan
perikanan, pembangkit tenaga listrik, sumber air, atau untuk mengolah air limbah (Puspita,
dkk. 2005).
Pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan sistem constructed wetland (lahan
basah buatan). Constructed wetland adalah salah satu teknologi pengolahan air limbah
dengan konsep natural treatment, dengan menggunakan kolam dangkal yang didalamnya
terdapat beberapa macam substrat seperti tanah atau kerikil dan tanaman air. Sistem tersebut
memanfaatkan simbiosis mikroorganisme tanah dengan akar tumbuhan yang mengeluarkan
oksigen. (Tanggahu dan Warmadewanthi, 2001).
Sistem lahan basah buatan (constructed wetland) pada dasarnya berfungsi untuk
memperbaiki kualitas air limbah agar mutu hasil olahannya memenuhi baku mutu yang
telah ditetapkan dan tidak mencemari badan air penerima. Constructed wetland sampai saat
ini diyakini sebagai cara paling ekonomis untuk mengolah air limbah. Contructed wetland
sangat cocok diterapkan pada negara berkembang (terutama daerah tropis yang iklimnya
hangat), karena pengoperasian constructed wetland ini tidak membutuhkan biaya investasi
dan biaya pengoperasian yang tinggi, serta tidak memerlukan tenaga operator khusus untuk
mengoperasikannya. Selain itu ketersediaan tanah yang relatif luas dan harga tanah yang
tidak terlalu mahal di negara-negara berkembang (dibandingkan dengan harga instalasi
pengolahan limbah modern) juga menyebabkan kolam ini cocok dikembangkan di negara
berkembang (Puspita, dkk. 2005).
Air olahan dari sistem lahan basah buatan ini pada tahap selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian. Air olahan ini sangat baik bagi keperluan
irigasi karena didalamnya terkandung nitrogen, fosfor, dan natrium yang bermanfaat
sebagai nutrien bagi tanaman. Endapan tanah organik yang terkumpul di bagian dasar kolam
juga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah pertanian. Selain itu biogas yang
dihasilkan pada kolam anaerobik juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi (Puspita,
dkk. 2005).
Prinsip kerja instalasi pengolahan limbah cair buatan ini meniru atau hampir sama
dengan prinsip instalasi pengolahan limbah cair alami, tetapi perbedaannya adalah bisa
dibuat di tempat-tempat yang dikehendaki, instalasi pengolahan limbah cair buatan ini
semakin popular dan mampu mengolah berbagai limbah cair seperti limbah cair domestik,
limbah cair pemotongan hewan, limbah cair pabrik kertas, limbah cair pabrik gula, limbah
cair peternakan dan berbagai limbah cair lainnya (Kurniadie, 2011).
Instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan atau free water
surface constructed wetland (FWS) terdiri dari kolam atau saluran dengan menggunakan
tanah atau medium untuk mendukung perakaran tumbuhan (jika ada) dan air. Sistem FWS
ini sangant mirip dengan kondisi wetland secara alami (natural wetland) dan umumnya
merupakan kolam yang ditanami berbagai jenis tanaman gulma air (Kurniadie, 2011).
Masalah dari instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan
ataufree water surface flow ini adalah areal lahan yang diperlukan lebih luas, banyak
nyamuk, estetika kurang baik serta dapat menimbulkan bau. Berdasarkan jenis dari gulma
air, instalasi pengolahan limbah cair free surface dibagi kedalam beberapa sistem, yaitu:
a. Sistem dengan menggunakan gulma air yang terapung bebas seperti gulma air
Elchornia crassibes, Pistia stratiotes, Lemna spp., Spirodela polyrhiza,Wolfia spp.
b. Sistem dengan menggunakan gulma air terapung dengan akar yang menempel pada
tanah seperti gulma air Nymphaea spp., Nuphar luteadan Nelumbo nucifera.
Instalasi pengolahan limbah cair dengan pola aliran permukaan ini banyak dibuat di
negara-negara tropis, karena jenis gulma air ini tidak tahan pada cuaca dingin seperti
negara-negara sub tropis serta tingkat pertumbuhan akan berkurang pada temperatur
dibawah 10℃. Instalasi ini banyak digunakan untuk mengolah limbah cair industry
pertanian, peternakan, industry telstil, industry logam serta pestisida (Vymazal, 2011).
Instalasi pengolahan limbah cair tipe horizontal atau constructed wetland with a
horizontal subsurface flow (HF atau HSF) merupakan instalasi pengolahan limbah cair
dimana limbah cair dimasukkan ke dalam inflow dan mengalir secara lambat melalui media
yang porous secara horizontal menuju saluran outflow. Bahan-bahan organik pencemar
didegradasi secara aerob dan anaerob oleh bakteri yang menempel pada bagian akar dan
rhizome dari tumbuhan gulma air emergent dan permukaan media tumbuh.Oksigen yang
diperlukan untuk degradasi aerobik diberikan secra langsung dari atmosphere secara difusi
atau keluarnya oksigen dari akar dan rhizome pada bagian rhizosphere (Kurniadie, 2011).
Instalasi pengolahan limbah cair dengan menggunakan aliran vertikal atau vertical
flow system (VF) terdiri dari tanah yang digali berupa kolam dan dilapisi lapisan kedap air
berupa bahan terpal atau tanah liat dan diisi oleh batuan. Limbah cair akan mengalir secara
gradual turun ke lapisan bagian bawah dan akan ditampung pada bak outflow. Pada sistem
pengolahan limbah cair tipe vertikal ini jumlah oksigen yang berdifusi dari udara lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah oksigen yang ditransfer dari udara melalui saluran air
aerenchyma yang dimiliki oleh gulma air emergent. Dengan merembesnya air limbah secara
perlahan ke bawah reaktor maka kolom air pada permukaan filter bed akan kosong, hal ini
memperbesar kemungkinan terjadinya kontak oksigen dengan populasi mikroba pada
Rhizosfer. Fungsi dari gulma air emergent adalah untuk menjaga supaya konduktivitas
hidraulik bisa terjaga, sehingga filter bed tidak mudah mampet. Proses utama penjernihan
limbah cair pada instalasi pengolahan limbah cair tipe vertikal adalah sama dengan pada
instalasi pengolahan limbah cair horizontal, tetapi filter bed pada sistem vertikal lebih
bersifat aerob dibandingkan dengan sistem horizontal, sehingga proses nitrifikasi dan
penurunan BOD lebih cepat, tetapi proses penurunan suspended solid lebih baik pada sistem
pengolahan limbah cair tipe horizontal. Perbedaan sistem aliran dari kedua sistem Lahan
Basah tersebut dapat dilihat secara rinci pada gambar 2.2.berikut ini :
Proses eliminasi bahan organik dan unsur hara pencemar pada instalasi ini terjadi
melalui proses (Kurniadie, 2011):
b. Pengikatan kapasitas kation dan anion pada mineral liat dan oksida Fe
Platzer dan Mauch dalam Kurniadie (2011) mengatakan bahwa instalasi pengolah
limbah cair subsurface water flow system dengan aliran vertikal dibuat dengan tujuan untuk
meningkatkan efesiensi penurunan parameter limbah serta bahan yang diperlukan lebih
sedikit dibandingkan dengan instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran horizontal. Instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran vertikal mempunyai efesiensi pembersih lebih tinggi terhadap NH4N dan
COD dibandingkan dengan instalasi pengolah limbah cair subsurface water flow system
dengan aliran horizontal.
Proses pengolahan limbah pada Lahan Basah Buatan dapat terjadi secara fisik, kimia
maupun biologi. Proses secara fisik yang terjadi adalah proses sedimantasi, filtrasi, adsorpsi
oleh media tanah yang ada. Menurut Wood dalam Tangahu & Warmadewanthi (2001),
dengan adanya proses secara fisik ini hanya dapat mengurangi konsentrasi COD & BOD
solid maupun TSS, sedangkan COD & BOD terlarut dapat dihilangkan dengan proses
gabungan kimia dan biologi melalui aktivitas mikroorganisme maupun tanaman. Hal
tersebut dinyatakan juga oleh Haberl dan Langergraber (2002), bahwa proses eliminasi
polutan dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia dan biologi yang cukup
komplek yang terdapat dalam asosiasi antara media, tumbuhan makrophyta dan
mikroorganisme, yaitu :
Mekanisme penyerapan polutan pada Lahan Basah Buatan, menurut USDA and
ITRC dalam Halverson (2004) menyebutkan bahwa secara umum melalui proses
abiotik (Fisik dan kimia) atau biotik (mikrobia dan tanaman) dan gabungan dari
kedua proses tersebut. Proses pengolahan awal (primer) secara abiotik, antara lain
melalui :
• Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang terjadi pada tanaman,
substrat, sediment maupun air limbah, yang berkaitan erat dengan waktu retensi air
limbah.
• Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3 dalam Lahan Basah
Buatan.
Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan oleh tanaman juga
merupakan bentuk pengurangan polutan seperti halnya pada proses abiotik.
Beberapa proses pengurangan polutan yang dilakukan oleh mikrobia dan tanaman
dalam Lahan Basah, antara lain sebagai berikut :
Menurut Puspita, et.al (2005), faktor-faktor yang beperan dalam proses pengolahan limbah
pada lahan basah buatan adalah sebagai berikut:
1. Mikroorganisme
Mikroorganisme pada lahan basah buatan biasanya melekat pada permukaan perakaran dan
substrat/media membentuk biofilm.Mikroorganisme berperan sangat penting dalam sistem
lahan basah buatan karena mikroorganisme melaksanakan penguraian bahan-bahan organik
baik secara aerobik maupun anaerobik. Mikroorganisme juga berperan dalam proses
nitrifikasi dan denitrifikasi.
2. Tanaman
Tanaman adalah komponen terpenting yang berfungsi sebagai pendaur ulang bahan
pencemar dalam air limbah untuk menjadi biomassa yang bernilai ekonomis dan menyuplai
oksigen ke dasar air atau ke dalam substrat yang berkondisi anaerobik. Tanaman
menggunakan energi matahari untuk menggerakan reaksi biokimia di dalam selnya,
sehingga manusia tidak perlu lagi memasok energi listrik dalam proses pembersihan air
limbah (Khiatuddin, 2003). Tanaman pada lahan basah buatan berperan:
Tanaman air yang biasa digunakan di dalam lahan basah buatan dan telah terbukti
mempunyai kemampuan baik dalam proses pengolahan air limbah/air tercemar dapat
dikelompokkan menjadi:
3. Substrat/media
4. Kolam air
Kolom air dalam lahan basah buatan berperan penting, karena apabila kolom air
terlalu dalam akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan basah buatan.
Keunggulan teknologi lahan basah dibandingkan dengan fasilitas pembersih air yang
berteknologi konvensional adalah (Khiatuddin, 2003) :
c. Menyediakan fasilitas pembersih air limbah yang efektif dan dapat diandalkan.
sistem.
f. Bahan pencemar di dalam air dapat di daur ulang untuk menjadi biomassa
a. Memerlukan areal tanah yang luas untuk dapat menghasilkan air yang relatif
bersih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem lahan basah buatan (constructed wetland) adalah salah satu teknologi
pengolahan air limbah dengan konsep natural treatment.
2. Tipe sistem lahan basah buatan ada 2 yaitu : tipe aliran permukaan (free water
surface flow) dan tipe lairan bawah permukaan (subsurface water flow).
3. Prinsip dasar pada sistem lahan basah buatan yaitu proses pengolahan limbah pada
lahan basah buatan dengan proses secara fisika, kimia maupun biologi.
4. Komponen sistem lahan basah buatan yaitu mikroorganisme, tanaman, susbstrat atau
media, dan kolam air.
B. Saran
Adapun saran untuk makalah ini adalah diharapkan makalah tentang sistem lahan
basah buatan atau constructed wetland ini dapat berguna dalam menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan teutama di bidang Teknik Lingkungan yang memang akan sering
berhubungan dengan bioremediasi atau bioteknologi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Haberl, R., and Langergraber, H., 2002, Constructed wetlands: a chance to solve
Halverson, Nancy V., 2004, Review of Constructed Subsurface Flow vs. Surface
Jimmy P, 2015. Efektifitas Sistem Lahan Basah Buatan Sebagai Alternatif Pengolahan
Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias Iris Pseudoacorus. Universitas Maritim
Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.
Khiatuddin, M., 2003, Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa
Kurniadie, Denny. 2011.Teknologi Pengoloahan Air limbah Cair secara Biologis. Widya
Padjajaran.
Vymazal, J. 2010. Constructed Wetlands for Wastewater Treatment, Journal Water 2010, 2,
530-549, ISSN 2073-4441
LAHAN BASAH BUATAN SEBAGAI PENGOLAH
LIMBAH CAIR DAN PENYEDIA AIR NON-
KONSUMSI
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: sobriyah@ft.uns.ac.id
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: koosdaryani@gmail.com
4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: adiyusuf2013@gmail.com
ABSTRAK
Pencemaran air telah menjadi issu global terutama di kota-kota besar. Instalasi pengolah air
limbah konvensional membutuhkan biaya tinggi. Lahan basah buatan yang lebih fleksibel
dan ekonomis mulai banyak diterapkan sebagai teknologi hijau untuk mengolah limbah
cair. Tulisan ini menguraikan tipe dan komponen lahan basah buatan dan menyajikan hasil
uji eksperimen pengolahan limbah cair jenis greywater. Lahan basah buatan dalam studi ini
menggunakan media filter pasir dan kerikil serta tanaman air jenis Cyperus papyrus.
Pengolahan greywater terhadap parameter TSS, pH, BOD, COD, Minyak & Lemak, dan
Deterjen menghasilkan prosentase penyisihan berkisar antara 95,47% – 99,89%. Besaran
konsentrasi polutan di oulet, yang merupakan hasil pengolahan greywater, memenuhi
standar baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 5 tahun 2014, dan Peraturan
Pemerintah no. 82 tahun 2001 kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman dan atau
peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kata kunci: lahan basah buatan, greywater, penyediaan air, teknologi hijau
1. PENDAHULUAN
Isu global yang sedang berkembang terkait masalah air adalah pencemaran air, kekurangan air, dan
degradasi sumber-sumber air. Hal tersebut menjadi problem serius akibat akumulasi aktifitas manusia
yang cenderung merusak lingkungan dan meningkatnya jumlah penduduk terutama di negara-negara
berkembang (Vymazal, 2010; Wu et al., 2015). Di banyak negara berkembang, 90% limbah cairnya
dibuang langsung ke sungai, danau, atau laut tanpa diolah terlebih dahulu (UN Habitat, 2008). Di
Indonesia, sungai-sungai telah mengalami pencemaran. Pada tahun 2015, hampir 68% kualitas air sungai
di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat (KLHK, 2016). Penyumbang terbesar (60%)
pencemaran air pada sistim sumber-sumber air (air permukaan dan air tanah) di kota- kota di Indonesia
adalah akibat limbah domestik, karena limbah (jenis greywater) langsung dibuang ke selokan tanpa
pengolahan (treatment) terlebih dahulu sebelum masuk ke sungai-sungai atau badan air (Hendrawan et
al., 2013). Hal tersebut diperkuat oleh WWAP (2012) yang menyatakan bahwa limbah domestik
penduduk kota merupakan sumber pencemaran yang signifikan. Untuk limbah dometik jenis blackwater
(limbah kakus), TWB (2013) melaporkan bahwa di Indonesia rumah-rumah penduduk kota dan area
bisnis telah menggunakan septicktank untuk pengolahannya. Meskipun sudah ada kriteria desain
septicktank, namun tidak adanya ‘enforcement’ terhadap pembuatan septicktank yang memenuhi syarat
standar teknis, maka septicktank berpotensi tidak optimal (retal/pecah). Hal tersebut mengakibatkan
cairan dalam septicktank merembes dan mencemari air tanah. Mengingat air sungai dan air tanah
merupakan sumber air bersih yang dikonsumsi mayoritas masyarakat, maka pencemaran sumber air
tersebut membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dengan sistim terpusat (centralized) telah dibangun di 12 kota di
Indonesia (Medan, Prapat, Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Banjarmasin, Surakarta, Bali,
Balikpapan, Tangerang, dan Batam), namun ke 12 IPAL tersebut baru melayani 10% dari penduduk
Indonesia (Hendrawan et al., 2013). IPAL sistim terpusat atau sistim konvensional tersebut berbiaya
tinggi karena membutuhkan biaya besar dalam pengadaan lahan, pembangunan kolam-kolam aerasi,
pengolah lumpur, rotasi-biologi, pengadaan mesin-mesin mekanik, biaya operasional, biaya energy,
memerlukan operator terlatih, biaya sistim perpipaan, dan membutuhkan perencanaan dan
pembangunan yang relatif lama. Sistim konvensional dan terpusat tersebut sangat mahal bagi negara
berkembang yang selama ini pembangunannya mengandalkan bantuan/hutang dari luar negeri.
Di negara berkembang, fasilitas pengolahan limbah hanya dapat berkelanjutan dengan kriteria biaya
ekonomis dan menggunakan teknologi tepat guna; dan sistim Lahan Basah Buatan atau Constructed
Wetland System (CWs) merupakan teknologi pengolahan limbah yang memenuhi kriteria tersebut
(Kivaisi, 2001). CWs berbiaya relatif rendah dan berwawasan lingkungan yang berdasarkan pada konsep
lahan basah alami (Kadlec dan Wallace, 2009). Mengingat praktek pembuangan limbah domestik di
Indonesia mayoritas sudah memisahkan antara blackwater dan greywater, maka pengolahan greywater
berpotensi untuk dapat dilakukan di rumah-rumah tinggal, apartemen, maupun di kawasan
bisnis/perkantoran. Pengolahan dan pemanfaatan kembali greywater dengan menerapkan CWs sebagai
bagian dari konsep ekologi sanitasi (ecosan) masih merupakan konsep baru, namun hal tersebut sudah
diterapkan di negara-negara maju (Hoffmann et al., 2011). Di Indonesia, penerapan CWs tersebut belum
banyak dilakukan. Tulisan ini menguraikan tipe dan komponen CWs dan menyajikan hasil uji eksperimen
pengolahan greywater yang telah dilakukan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Greywater
Greywater adalah limbah cair dari semua aktifitas rumah / bangunan selain dari toilet (kakus).
Karaktersitik greywater dipengaruhi oleh gaya hidup penghuni rumah seperti budaya memasak/makanan,
volume penggunaan air, dan jenis bahan-bahan pembersih rumah tangga yang digunakan (Erickson et al.,
2002). Berdasar riview Pidou, M. et al (2007) terhadap 64 pengolahan greywater di negara-negara maju,
pemanfaatan hasil olahan greywater adalah untuk penyiraman tanaman, penggelontoran toilet,
pembersihan di luar rumah, laundry, dan infiltrasi.
CWs merupakan sistim enjinering pengolahan limbah cair yang menirukan proses alam dalam
memperbaiki kualitas air dengan menyisihkan polutan yang terkandung di dalam air limbah melalui
proses fisik (penyaringan dan sedimentasi), proses biologi (pertumbuhan mikroba dan tanaman air), dan
proses mekanik (Kadleck dan Knight, 1996). Proses dinamis yang terjadi di dalam CWs melibatkan
beberapa unsur antara lain: air, media filter atau substrate (pasir, kerikil, atau media filtrasi lainnya),
tanaman air (macrophyte), litter (daun atau batang tanaman yang gugur), dan beragam mikroorganisme
(Kadlec dan Wallace, 2009). Dengan demikian, CWs merupakan sistim yang komplek dan sulit dipahami
karena proses fisik, biologi, mekanik dan bahkan kimia terjadi secara aktif dan masing-masing komponen
saling mempengaruhi, maka CWs selama ini disebut sebagai “black boxes” (Langergraber et al., 2013).
Kelebihan teknologi CWs dibanding teknologi lainnya adalah mengolah greywater sekaligus
menciptakan estetika lingkungan, yang dikenal dengan istilah ecosan (ekologi sanitasi), dimana teknologi
ini menggunakan tanaman air sebagai salah satu media pengolahan limbah (Hoffmann et al., 2011).
Dalam beberapa literature, istilah lain dari constructed wetland (CW) antara lain: man-made, engineered,
artificial, atau treatment.
Sistim CWs pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan Jerman: Dr. K. Seidel - pada dekade 1960
(Vymazal, J., 2008). Hingga saat ini sistim CWs telah diterapkan di beberapa negara maju antara lain
Denmark (Brix dan Arias, 2007), Jerman (Hoffmann et al., 2011), dan beberapa negara maju lainnya
(Vymazal, J., 2010). Sistim CWs belum diterapkan secara persuasif di negara-negara berkembang
(khususnya di negara beriklim tropis dan sub-tropis) dimana pengendalian polusi dan pelestarian
lingkungan hidup belum banyak mendapat perhatian. Namun, di negara- negara berkembang seperti
Mesir (Elzein et al., 2016), Mexico (Merino et al., 2015), dan China (Wu et al., 2015), beberapa
penelitian dan penerapan CWs sudah mulai dipublikasikan. Di Indonesia, penerapan sistim CWs untuk
pengolahan greywater belum banyak diketahui.
Komponen CWs
Komponen CWs terdiri dari air, media lolos air (substrate), tanaman air, dan mikroorganisme yang
tumbuh di dalam lahan basah. Komponen air menghubungkan semua fungsi di dalam lahan basah, dan
efisiensi pengolahan limbah di CWs tergantung pada sifat-sifat air (limbah cair) yang bersangkutan.
Komponen media lolos air yang digunakan biasanya substrate alami seperti pasir, kerikil, atau pecahan
batu. Substrate tersebut disyaratkan bersih, keras, durabel, dan tidak berubah bentuk untuk menjaga
permeabilitas tanah dalam jangka panjang (USEPA, 2000). Fungsi substrate antara lain sebagai media
tumbuh bagi tanaman air, mensuport transformasi biologi dan kimia, memfasilitasi pergerakan aliran
limbah, menjadi media pertumbuhan microorganisme dengan membentuk biofilm di permukaan
substrate, membantu menyisihkan partikel halus melalui sedimentasi, adsorbsi, dan filtrasi (Kadlec and
Wallace, 2009). Lapisan media bertindak sebagai filter mekanik dan filter biologi. Filter mekanik
menyaring polutan suspended dan microbial solid, sedangkan polutan organik diserap oleh biofilm.
Melalui proses biologi, semua kandungan organik dihancurkan oleh mikroorganisme yang tumbuh pada
permukaan partikel tanah/pasir dan akar- akar tanaman air (Hoffmann et al., 2011). Komponen tanaman
air merupakan komponen utama dalam ekosistim lahan basah di alam, termasuk lahan basah buatan
(Vymazal, 2011). Karena keberadaan tanaman air tersebut, sistim lahan basah (CWs) disebut dengan
green technology. Meskipun tanaman air merupakan komponen utama di dalam ekosistim lahan basah,
pengolahan limbah mencakup beragam proses fisik, kimia, biologi, dan proses diantara tanaman-media
substrate-mikroorganisme.
Tanaman yang digunakan dalam CWs adalah tanaman yang terdapat di perairan atau lahan basah seperti di
bantaran sungai atau rawa. Terdapat 4 kelompok tanaman air berdasarkan bentuk atau lokasi pertumbuhannya,
yaitu: emergent plants, floating leaved plants, submerged plants, and free floating plants. Tanaman emergent
tumbuh pada tanah yang jenuh air. Sebagian dari batang tanaman berada diatas tanah dan terendam air, sisanya
di udara bebas. Tanaman floating leaved mempunyai akar di tanah yang submerged, semua batangnya berada di
dalam air. Tanaman submerged tumbuh dengan batang & daun di dalam air. Tanaman free floating tidak berakar di
media tanah. (Kadlec and Wallace, 2009). Berdasarkan Vymaxal (2011), tanaman tipe emerged yang paling sering
digunakan dalam CWs tipe sub-surface flow adalah Phragmites australis (di Europe, Canada, Australia, Asia, dan
Africa), kemudian tanaman jenis Typha (di America Utara, Australia, East Asia, dan Africa. Menurut Hoffmann et al.
(2011), jenis tanaman air yang bisa digunakan di daerah beriklim hangat seperti Asia, Afrika, Amerika Selatan
antara lain jenis Papyrus (Cyperus papyrus), Umbrella (Cyperus albostriatur), Dwarf papyrus (Cyperus haspens),
Small bamboo, Typa latifolia, Canna lily, Calla lily, dan jenis Vetifer. Dari jenis tanaman air tersebut yang bersifat
tanaman dekoratif adalah Cyperus papyrus, Bamboo, dan Canna lily, Calla lily.
Terdapat dua macam tipe lahan basah, yaitu: Free Water Surface (FWS) atau Surface Flow (SF), dan
SubSurface Flow (SSF). Pada sistim SF, aliran air berada di atas permukaan tanah. Pada sistim SSF,
permukaan air berada di bawah muka tanah. Berdasarkan arah aliran limbah, terdapat dua tipe SSF, yaitu
arah horizontal dan arah vertikal (Kadlec dan Wallace, 2009) seperti terlihat pada gambar berikut.
(a) (b)
Gambar 2. (a) Tipe Horizontal SubSurface Flow; (b) Tipe Vertical SubSurface Flow (Morel & Diener, 2006)
Desain luas permukaan CWs yang berdasarkan pendekatan empirik (rules of thumb), yaitu luas
permukaan (m2 luas) per m3 limbah dan dinyatakan dengan per person equivalent (PE) antara lain
terdapat pada beberapa sumber sebagai berikut:
Tabel 2. Parameter desain luas permukaan CWs (m2/PE) berdasar pendekatan
empirik
CWs
Sumber CWs
Horizontal Keterangan
Vertika
l
Brix and Arias (2005) < 3,2 Guide di Denmark
UN-Habitat (2008) 1-2 0,8-1,5 -
Hoffman et al., (2011) 3 1, Iklim sedang >
2 20oC Iklim dingin
8 < 10oC
4
Luas permukaan CWs yang dihitung berdasar simple first-order decay models yang mengacu pada persamaan yang
digunakan dalam desain limbah domestik (wastewater: greywater+blackwater) pada sub-surface flow (SSF)
diturunkan oleh Kadlec and Knight (1996) sebagai Persamaan 1).
As = x ln (1)
dengan As = luas area wetlands (m2), Q = rerata debit aliran limbah (m3/hr), C i = influen BOD5 (mg/l), Ce
= target efluen BOD5 (mg/l), C* = konsentrasi polutan acuan BOD=3,5 + 0,053 C i dan k = konstanta laju
pada tahap pertama (m/hr).
Pre-Tretament
Sebelum greywater diolah di dalam CW, pre-treatment diperlukan untuk mengendapkan suspended solid
atau partikel-partikel besar seperti seperti sobekan kertas tisu, remahan sisa makanan, dan lain-lain. Pre-
treatment dilakukan untuk menghindari adanya penyumbatan karena penggumpalan (clogging) partikel-
partikel kasar tersebut dan dapat dilakukan secara mekanik dengan menggunakan screen, atau saringan
dari pasir, atau grease trap (Hoffmann et al., 2011).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di Kota Surakarta selama bulan Juli sampai dengan Desember 2015. Sampling
greywater dari rumah tunggal dan perumahan dilakukan dengan metode pengambilan contoh air limbah
berdasar SNI 6989.59 – 2008. Uji kualitas sampel greywater dilakukan di laboratorium untuk mengetahui
karakteristik limbah greywater rumah tangga tersebut.
Kualitas greywater yang berasal dari dua perumahan dan satu rumah tunggal di Kota Surakarta dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Parameter greywater pada perumahan dan rumah tunggal di Surakarta
Baku Mutu Baku Mutu Perum. Perum. Rumah di
Parameter Sat *PM LH **PP kls IV Fajar Indah Nilagraha Manahan
o
Temperatur C - 26,1 26,1 26,00
TSS mg/l 100 775,0 45,0 7.435,00
pH - 6-9 5-9 6,6 6,5 8,92
Minyak/lemak mg/l 10 4,8 2,6 8,60
BOD mg/l 100 12 120,0 40,2 4.089,00
COD mg/l - 100 325,7 112,8 11.686,00
Keterangan:
*Peraturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI nomor 5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah,
**Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(kelas IV).
Tabel diatas menunjukkan bahwa greywater di Perumahan Fajar Indah dan rumah tunggal di Kalurahan
Manahan mengandung polutan TSS dan BOD yang melebihi standar baku mutu PerMen. LH no.5 tahun
2014. Konsentrasi BOD yang rendah di Perumahan Nilagraha disebabkan titik sampling berada cukup
jauh dari outlet perumahan. Berdasar Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001, kandungan COD di tiga
lokasi tersebut melebihi batas baku mutu
air Kelas IV (lebih besar dari 100 mg/l), dengan demikian limbah greywater tersebut tidak dapat
digunakan langsung sebagai air untuk mengairi tanaman. Kualitas ke tiga sampel greywater tersebut
sesuai dengan hasil pemantauan kualitas air sungai-sungai di Kota Surakarta yang dilakukan oleh Badan
Lingkungan Hidup Kota Surakarta yang menghasilkan bahwa air sungai-sungai di dalam Kota Surakarta
mengalami pencemaran (BLH, 2015).
Kinerja sistim pengolahan greywater dengan CWs tipe horizontal dan prosentase penyisihan polutan
dapat dilihat pada tabel berikut. Uji laboratorium dilakukan terhadap sampel greywater di inlet (sebelum
diolah) dan di outlet (setelah diolah) dalam CWs dengan HRT (hydraulic retention time) selama 1 hari, 2
hari, 3 hari.
Tabel 4. Parameter greywater di inlet & di outlet dengan HRT 1, 2, dan 3 hari
Mutu
Parameter Sat Mutu Penyisiha Outle Penyisiha Outle Penyisiha
PM LH PP kls Inlet
n t2 n t3 n
IV Outl % hari % hari %
et 1
hari
TSS mg/l 100 280,00 0,00 100,00 5,00 98,21 5,00 98,21
Ph - 6-9 5-9 6,29 6,23 6,12 6,25
BOD mg/l 100 12 68,90 2,79 95,95 1,85 97,31 1,42 97,93
COD mg/l - 100 527,93 19,17 96,36 14,17 97,32 3,83 99,27
NH3-N mg/l - - 11,13 0,11 99,01 0,11 99,01 0,02 99,82
Hasil pengolahan greywater tersebut diatas menunjukkan bahwa sebelum diolah, parameter TSS melebihi
baku mutu. Setelah diolah selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari, penyisihan TSS berturut-turut dapat mencapai
100%, 98,21%, dan 98,21%. TSS di outlet yang jauh dibawah 100 mg/l menunjukkan CWs tersebut
sangat efisien menyisihkan material suspended solid. Penyisihan BOD, COD, dan amoniak (NH3-N)
dapat mencapai lebih dari 95%. Konsentrasi BOD dan COD di outlet memenuhi standar baku mutu dan
masuk kriteria sebagai air yang dapat digunakan untuk mengairi tanaman; bahkan, masuk kriteria air
kelas II (BOD < 3mg/l dan COD < 25mg/l), yaitu air untuk kebutuhan mengairi tanaman, sarana dan
prasarana rekreasi air, budidaya ikan, dan peternakan.
Mengacu pada hasil yang tidak jauh berbeda antara HRT 1 hari, 2 hari, dan 3 hari tersebut di atas,
pengujian selanjutnya menggunakan HRT selama 1 hari dengan tenggang waktu istirahat selama kurang
lebih 12 hari. Hal tersebut diperlukan untuk membersihkan media dari bekas limbah sebelumnya. Hasil
pengujian disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5. Parameter greywater sebelum di olah & setelah diolah dengan HRT 1
hari
Mut Mutu
Parameter Uji ke-1 Uji ke-2 Uji ke-3
u PP
3&4 15 & 16 26 & 27
PM kls
Sat Nov’15 Nov’15 Nov’15
LH IV
Inlet Outlet % Inlet Outlet % Inlet Outlet %
o
Temp. C - - 26,90 27,20 23,20 24,20 26,40 26,30
TSS mg/l 100 461,00 2,00 99,56 238,00 2,00 99,16 222,00 10,00 95,47
Ph - 6-9 5-9 5,17 6,89 6,10 6,50 5,29 6,82
BOD mg/l 100 12 496,00 9,49 98,08 850,20 17,20 97,98 528,70 2,19 99,58
COD mg/l - 100 1254,00 26,64 97,87 1862,50 37,20 98,00 1252,00 6,10 99,51
Deterjen mg/l 76,41 0,11 99,86
M&Lemak mg/l 10 - 2,20 3,60 4,80 2,60
Hasil uji laboratorium di atas menunjukkan bahwa penyisihan parameter TSS dapat maksimal, mencapai
95.47% hingga 99.56% dengan rata-rata penyisihan of 98.06%. TSS di outlet tinggal 2-10 mg/liter yang
jauh berada dibawah ambang batas 100 mg/l (Per.Men.LH), bahkan dibawah 30 mg/liter berdasar standar
yang disyaratkan untuk air tanaman oleh US Environmental Protection Agency [US EPA, 2000). Untuk
parameter pH, semua percobaan sesuai kriteria baku mutu, yaitu antara 6-9. Penyisihan parameter BOD
dapat maksimal, mencapai 97.98% hingga 99.58% dengan rata-rata penyisihan of 98.55%. Kandungan
BOD di outlet pada uji pertama 9,49mg/l dan uji ketiga 2,19 mg/l, besaran ini memenuhi standar mutu
Per.Men LH dan PP untuk kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman. Namun, pada uji ke dua,
meskipun penyisihan mencapai 97,98%, besaran di outlet sebesar 17,20 mg/l. Besaran ini lebih besar dari
yang disyaratkan untuk mengairi tanaman berdasar PP kelas IV, namun masih masuk standar US
Environmental Protection Agency (US EPA, 2000). Untuk parameter COD, penyisihan mencapai 97,98%
hingga 99,51% dengan rata-rata penyisihan mencapai 98,46%. Konsentrasi COD di outlet untuk semua
pengujian berada jauh dibawah 100mg/l (mutu air kelas IV), bahkan dibawah 50mg/l (mutu air kelas III),
maka efluen tersebut dapat digunakan untuk mengairi tanaman dan atau peruntukan lain yang
mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut seperti air untuk bersih-bersih di outdoor
atau untuk penggelontoran toilet. Penyisihan kandungan deterjen mencapai 99,86%. Dengan demikian,
deterjen yang selalu digunakan dalam kegiatan mencuci dapat dinetralisir melalui sistim lahan basah
buatan. Untuk parameter minyak & lemak, terjadi peningkatan pada sampel pertama dan penurunan pada
sampel lainnya. Berdasar PP no. 82 tahun 2001, ambang batas minyak & lemak dan deterjen tidak
disyaratkan untuk air kelas IV. Air untuk tanaman merupakan pengeluaran terbesar dalam penyediaan
kebutuhan air; dan air bagi tanaman tidak membutuhkan kualitas air setinggi kualitas untuk air baku
untuk kebutuhan air minum (WHO, 2015). Dengan demikian, hasil olahan greywater dengan sistim CWs
dapat mengurangi kebutuhan pasokan air bagi rumah tinggal maupun area komunal yang membutuhkan
suplei air untuk tanaman/berkebun atau kebutuhan lain di out-door.
Tanaman air Cyperus papyrus yang digunakan dalam bak CWs hingga akhir penelitian mencapai
ketinggian kurang lebih 100cm seperti ditunjukkan pada Gambar 3a berikut. Tanaman tersebut termasuk
tanaman dekoratif sehingga menciptakan green-view bagi lingkungannya. Hal tersebut merupakan salah
satu kelebihan dari sistim pengolahan limbah dengan CWs dibandingkan dengan teknologi pengolahan
limbah lainnya. Contoh penerapan CWs di rumah tinggal di Nepal dan di kawasan komunal di Kuching,
Malaysia dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.
5. KESIMPULAN
Lahan Basah Buatan atau Constructed Wetlands (CWs) dengan media filter pasir dan kerikil serta
tanaman air jenis Cyperus papyrus mampu mengolah limbah greywater rumah tangga (parameter TSS,
pH, BOD, COD, Minyak & Lemak, dan Deterjen) dengan prosentase penyisihan berkisar antara 95,47%–
99,89%. Besaran konsentrasi polutan di oulet, yang merupakan hasil pengolahan greywater, memenuhi
standar baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 4 tahun 2014, dan Peraturan Pemerintah no.
82 tahun 2001 kelas IV sebagai air untuk mengairi tanaman dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut seperti untuk bersih- bersih di outdoor dan atau untuk
penggelontoran toilet. Air hasil pengolahan greywater tersebut jika dibuang ke saluran-saluran dapat
menetralisir pencemaran air tanah dan air permukaan (sungai). Penggunaan tanaman air di dalam sistim
Lahan Basah Buatan memberikan green space di rumah-rumah tunggal atau green public view di lahan-
lahan komunal. Konsep Lahan Basah Buatan tidak hanya mengatasi problem pencemaran lingkungan,
melainkan juga menyediakan sumber air non-konsumsi dan menciptakan kawasan hijau ramah
lingkungan. Dibanding teknologi konvensional, sistim Lahan Basah Buatan lebih ekonomis, fleksibel, dan
operasionalnya mudah.
REFERENSI
BLH - Badan Lingkungan Hidup. (2015). Pemantauan Kualitas air Sungai di Kota Surakarta. BLH Kota Surakarta.
Brix, H. and Arias, C.A. (2005). “The use of vertical flow constructed wetlands for on-site treatment of
domestic
wastewater: new Danish Guidelines”. Ecological Engineering. 25. 491-500.
Brix, H. and Arias, C.A. (2007). “Twenty years experiences with constructed wetland system in Denmark
– what
did we learn?”. Water Science & Technology. Vol. 56, No. 3, 63-69.
Eriksson, E., Karina A., Mogen H., Anna L. (2002). “Characteristic of grey wastewater”. Urban Water 4,
85-104.
Elzein, Z., Abdou, A., Elgawad, A. (2016). “Constructed wetlands as asustainable wastewater treatment
method in communities”. Procedia Environmental Sciences. 34, 605-617
Hoffman, H., Platzer, M., Winker, M., and Muench, E. (2011). Technology review of constructed wetlands.
Kivaisi, A. 2001. The Potential of Constructed Wetlands for Wastewater Treatment and Reuse in
Developing Country. Ecology Engineering. 16 (4): 545-560
Langergraber, G. (2013). “Are constructed treatment wetlands sustainable sanitation
solutions?” Water Science & Technology. Vol 67, 2133-2140.
Morel, A and Diener, S. (2006). Greywater Management in Low and Middle Income Countries: Review of
different treatment systems for households and neighbourhoods. Sandec Report No 14/6. Swiss
Federal Institute of Aquatic Science and Technology. Dubendorf. Switzerland.
Merino-Solis, M., Villegas, E., De Anda, J., dan Lopez, A. (2015). "The effect of hydraulic
retention time on the
performance of an ecological wastewater treatment system”. Water. 7, 1149-1163.
Pidou, M., Memon, FA, Stephenson, T., Jeffersen, B., Jeffrey, P. (2007). “Greywater recycling: treatment
options and applications”. Proceeding of the Institution of Civil Engineering Sustainability. Vol
160. Issue ES3. Hal 119-131.
TWB (The World Bank). 2013. East Asia Pacific Region Urban Sanitatin Review: Indonesia Country Study.
Australian Aid.
UN-HABITAT (2008). Constructed Wetlands Manual. United Nation Human Settlement
Programme. ISBN Number: Vol.978-92-1-131963-7. www.unhabitat.org Diakses
September 2015.
US EPA (2000). Constructed Wetlands Treatment of Municipal Wastewaters. EPA. 625/R-99/010. United
States.
Vymazal, J. (2008). “Constructed wetlands for treatment: a Riview”. Proceedings of Taal: The
12th World Lake Conference: 965-980.
Vymazal, J. (2010). Constructed Wetlands for Wasterwater Treatment, Water, 2, 530-549.
Vymazal, J. (2011). “Plants used in constructed wetlands with horizontal subsurface flow: a
review”.
Hydrobiologia, 674, 133-156..
Wu, H., Zhang, J., Ngo, HH, Guo, W., Hu, Z., Liang, S., Fan, J., and Liu, H. (2015). “A review
on the sustainability of constructed wetlands for waste water treatment: design and
operation”. Bioresources Technology. 175. 594-601.
WWAP (Word Water Assessment Programme). (2012). Managing Water under Uncertainty and Risk.
UNESCO –
Report 4. Paris.
WHO – regional office for South-East Asia. (2004). Minimum Water Quantity Needs for
Domestic Uses. Technical Note 9. www.who-int/water_sanitation_health. Diakses
September 2015.
EFEK MORFOLOGI PENYISIHAN POLUTAN PADA AIR
TERPRODUKSI DENGAN SISTEM LAHAN BASAH BUATAN
TERHADAP TANAMAN TYPHA LATIFOLIA
ABSTRACT
Produced water has a complex composition and more than 40% is discharged
into the environment. Constructed wetlands is one of the water produced
treatment systems that use vegetation, media, and microorganisms for
pollutants removal. The objectives of this research were to determine the effect
of pollutants removal for Typha Latifolia morfology. Subsurface constructed
wetlands is used in this study. The reactor is made with gravel, sand, and soil
medium and uses Typha Latifolia as a plant. This research consist of detention
time 1,3,5,7,9 day. The experimental result shows that 9 days of detention time,
Typha Latifolia has average growth rate 31 cm and weight gain was 0,6 kg.
KESIMPULAN SARAN
1. Pada akhir tahap penelitian rata- Saran pada penelitian selanjutnya agar
rata pertambahan tinggi tanaman dapat dilakukan penelitian lebih lanjut
Typha latifolia adalah 31 cm. untuk mengetahui kandungan nutrisi
2. Terdapat penambahan berat yang terdapat pada bagian tanaman.
tanaman Typha latifolia yaitu 0,6
kg selama penelitian.
Jenis Waktu Detensi
Aliran Aklimatisasi 1 Hari 3 Hari 5 Hari 7 Hari 9 Hari
Aliran
Bawah
Permukaa
n (ABP)
ABSTRAK
Air limbah yang tidak terolah merupakan salah satu penyebab pencemaran. sistem
pengolahan air limbah (IPAL) yang sederhana dapat digunakan untuk mengolah air limbah
dengan konsentrasi bahan pencemaran yang tidak terlalu besar. Penelitian pengolahan limbah
domestik ini menggunakan tanaman rumput payung. Penelitian ini bertujuan mengetahui
tingkat efisiensi penurunan kadar Biochemical oxygen demand (BOD), TSS dan pH yang
terkandung dalam limbah domestik setelah melalui Constructed Wetland. Pengaruh dan
potensi tanaman telah dipelajari melalui pengamatan efisiensi pengolahan air limbah dan efek
air limbah terhadap kualitas air hasil pengolahan serta pertumbuhan tanaman. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa dengan menggunakan tanaman rumput payung dalam sistem
lahan basah buatan dapat menyisihkan kandungan pencemar dalam air limbah dengan waktu
sampling 1 sampai dengan 5 hari, efisiensi penyisihan BOD 44,4% - 90,5% , TSS 18,2 % - 90,2 %
dan pH 5,6 – 7,9. Pengolahan air limbah dengan sistem lahan basah buatan memberikan
beberapa keuntungan. Selain penerapannya sangat mudah dan ramah lingkungan, pengolahan
air limbah dngan sistem ini akan menghasilkan air pengolah dengan kualitas yang sesuai
dengan baku mutu air limbah domestik.
ABSTRACT
The untreated wastewater is one of the cause of contamination the simple treatment
system of wastewater ( IPAL ) can be used to treat the wastewater with the medium
concentrate of the contamination material. This domestic waste treatment research use
cyperus alternifolius as the sample of object. This research is conducted to determine the
decereasing efficiency level of Biochemical oxygen demand ( BOD ) , TSS and pH content of the
domestic waste after being trated in the constructed wetland. The influence and the potential
of the plant have been learnt through the analysis of the wastewater treatment efficiency and
the effect of the wastewater to the quality of the treatment outcome water and the growth of
the plant. The result of the experiment shows that by using cyperus alternifolius in the
constructed wetland system can eliminated the contamination content of the wastewater in
one up to BOD 44,4 % - 90,5 % , TSS 18,2 % - 90,2 % and pH 5,6 – 7,9. The treatment of the
wastewater using constructed wetland provide some aadvantages. It is not only easy to be
applied and safe for the enviroment, but also provide the water treatment with standard
quality of the domestic wastewater from the wastewater treatment of this system.
2
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
hanies.ambarsari@bppt.go.id
ABSTRACT
An integrated constructed wetland method was applied in this environmental remediation study to reduce the
levels of mercury (Hg) in gold mine tailing with Phragmites australis and microbes in the compost. Wastewater
which was used in this study consisted of original gold mine tailing wastewater that was contaminated by mercury
up to 27 ppb and artificial wastewater consisting of various doses of mercury in 30 ppb, 60 ppb and 90 ppb levels.
The results showed that the efficiency levels of mercury after treatment reached 99.6% in both the original
wastewater as well as 30 ppb wastewater of mercury, while the efficiency levels for wastewater of 60 ppb and 90
ppb levels of mercury reached 99.8%. This study also showed that the highest accumulation of mercury was found
in the roots, with the total accumulation of mercury in Phragmites australis was 3.502mg/kg, 5.102 mg/kg and
12.066 mg/kg in artificial wastewater at 30 ppb, 60 ppb and 90 ppb levels, respectively. The highest accumulation
of mercury in the roots, compared with those at different parts of the plant, can be used as the proof that the
microbes from the compost present at the roots are involved in the mercury accumulation process by the plant.
ABSTRAK
Suatu metode lahan basah buatan terpadu diterapkan pada penelitian remediasi lingkungan dengan
menggunakan tanaman Phragmites australis dan mikroba pada kompos untuk mengurangi konsentrasi
merkuri (Hg) pada air limbah. Air limbah yang digunakan pada penelitian terdiri dari limbah asli tambang
emas rakyat Pongkor dengan konsentrasi 27 ppb dan limbah buatan dengan konsentrasi 30 ppb, 60 ppb
dan 90 ppb. Hasil penelitian menunjukkan tingkat efisiensi penurunan konsentrasi Hg yang dihasilkan
adalah sebesar 99,8% pada air limbah buatan dengan konsentrasi 60 ppb dan 90 ppb, serta sebesar 99,6%
pada air limbah asli dan air limbah buatan konsentrasi 30 ppb. Tingkat akumulasi Hg tertinggi ditemukan
di bagian akar tanaman dengan konsentrasi Hg total pada bagian akar, batang dan daun tanaman
Phragmites australis adalah sebesar 3,502 mg/kg, 5,102 mg/kg dan 12,066 mg/kg pada air limbah buatan
konsentrasi 30 ppb, 60 ppb dan 90 ppb. Lebih tingginya tingkat akumulasi Hg di bagian akar,
dibandingkan dengan bagian lain dari tanaman, dapat menjadi suatu tanda bukti bahwa mikroba dari
kompos yang menempel pada bagian akar tanaman itu juga ikut berperan dalam proses penyerapan Hg
oleh tanaman.
Kata kunci: lahan basah buatan, merkuri (Hg), tambang emas rakyat, tailing
Rasio
Perlakuan Satuan Konsentrasi Hg (ppm) Konsentrasi Total Hg pada
Akar/Tajuk tanaman (ppm)
Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat terlihat konsentrasi limbah Hg yang diberikan, maka total
bahwa pada limbah konsentrasi Hg buatan akumulasi penyerapan Hg pada tanah pun akan
dengan konsentrasi 0,03 pppm, total akumulasi meningkat.
Hg pada media lahan basah buatan (constructed Berdasarkan Tabel 5 diketahui penyisihan Hg
wetland) adalah sebesar 0,021 ppm, sedangkan yang terdapat pada permukaan tanah jika
untuk limbah dengan konsentrasi Hg buatan 0,06 dibandingkan dengan karakteristik awal pada air
ppm, total akumulasi Hg pada tanah adalah limbah buatan 0,03 ppm Hg mencapai 64%. Hal
sebesar 0,027 ppm dan pada limbah buatan ini pun diikuti dengan air limbah buatan
dengan konsentrasi Hg 0,09 ppm total akumulasi konsentrasi 0,06 ppm Hg dan 0,09 ppm Hg yakni
Hg pada tanah adalah 0,082 ppm. Pada limbah 43% dan 94%. Pada limbah buatan dengan
asli dengan konsentrasi 0,027 ppm diketahui total konsentrasi 0,06 ppm kontrol positif dan kontrol
akumulasi Hg pada tanah adalah sebesar 0,016 negatif masing-masing mengalami penyisihan Hg
ppm. Berdasarkan data pada Tabel 4 tersebut dari konsentrasi awal adalah sebesar 48% dan
juga dapat terlihat adanya penyerapan konsentrasi 47%. Tingginya persentase akumulasi Hg pada
Hg yang berasal dari air limbah yang cukup tanah hal ini dikarenakan terjadinya reaksi antara
tinggi di dalam tanah. HgCl2 dengan H2O yang dapat terlihat pada
Data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi reaksi persamaan berikut :
konsentrasi Hg pada air limbah yang diberikan
pada suatu sistem lahan basah buatan HgCl2 + H2O Hg(OH)Cl + H+(aq) + Cl-
(constructed wetland), maka jumlah akumulasi
(aq)
penyerapan Hg pada permukaan tanah akan
semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan Senyawa Hg(OH)Cl merupakan produk yang
penelitian yang telah dilakukan oleh El-Agroudy dihasilkan dari pencampuran reaksi antara HgCl 2
pada tahun 1999(7), dimana seiring besarnya dengan H2O. Senyawa Hg(OH)Cl tersebut
memiliki massa molar 253,05 gram/mol. Jika
dibandingkan dengan massa molar Hg0 adalah area utama dalam
200,59 gram/mol maka Hg(OH)Cl memiliki
massa yang lebih berat dibandingkan massa Hg 0.
Melalui gaya gravitasi yang terjadi, maka
Hg(OH)Cl tersebut dapat dengan mudah jatuh
pada media lahan basah buatan (constructed
wetland) dan terakumulasi pada tanah.
Pada limbah asli diketahui perbandingan
total akumulasi Hg di tanah adalah 59,62% dari
konsentrasi Hg awal yang terdapat pada air
limbah. Karakteristik Hg yang dihasilkan oleh air
limbah tailing pertambangan emas rakyat adalah
Hg0 dengan massa molar adalah sebesar 200,59
gram/mol.
Jika molar massa Hg(OH)Cl dan Hg0
dibandingkan pula dengan molar massa H2O (air)
sebesar 18,02 gram/mol maka adanya penurunan
senyawa Hg(OH)Cl dan Hg0 dengan gaya
gravitasi dapat mungkin terjadi, hingga total
akumulasi Hg di tanah menjadi lebih dominan
dan tinggi dibandingkan di air.
Hal yang sama terjadi pula pada keadaan asli
di lokasi tambang emas rakyat di Pongkor, Jawa
Barat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh sebelumnya diketahui bahwa konsentrasi
konsentrasi Hg (Hg) air limbah tailing memiliki
kisaran antara 0,004 - 0,39 ppm sedangkan pada
sedimen tailing diketahui konsentrasi konsentrasi
Hg memiliki rentang 22,67 - 598 ppm(21). Hal
tersebut dapat memperlihatkan bahwa Hg dengan
karakteristik logam berat dapat sangat mudah
terakumulasi dalam padatan berupa lumpur dan
tanah dikarenakan massa molar unsur yang besar.
“BIOAKUMULATOR”
OLEH:
E1F119025
FAKULTAS TEKNIK
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas Kimia
Rekayasa yang telah diberikan oleh Pak DR.Ranno Marlany R., ST., M.Kes mengenai makalah
“Bioakumulator”.
Tak lupa saya berterimakasih kepada teman – teman dan keluarga saya yang telah
memberi dukungan hingga tugas ini dapat terselesaikan. Sayapun menyadari bahwa makalah saya
ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka dari itu saya juga dengan senang hati menerima
masukan yang diberikan kepada saya. Terimakasih,
Faktor yang menyebabkan sukar hilangnya limbah logam dalam air adalah tidak dapat terurainya
logam berat secara biologis seperti halnya pencemar-pencemar organik nonplastik. Selain itu
logam berat cenderung mengendap di dasar perairan yaitu dengan membentuk persekutuan bersama
senyawa organik (Damin Sumardjo, 2009).
Kemampuan menyerap logam per satuan berat kering eceng gondok lebih tinggi pada umur
muda dari pada umur tua (Kirbky dan Mengel, 1987). Tumbuhan eceng gondok berpotensi sebagai
agen pembersih perairan dari limbah logam dan menurunkan tingkat toksisitas yang terdapat pada
limbah tersebut (Kirbky dan Mangel, 1987).
B. Rumusan Masalah.
Untuk mengetahui respon eceng gondok sebagai bioakumulator terhadap logam Pb dan Cd
menggunakan metode Inductively Couple Plasma (ICP).
C. Tujuan
Untuk mengetahuai lebih mengenai bioakumulator organisme berupa eceng gondok sehingga
menjadi bahan yang ramah lingkungan dengan mendegradasi logam-logam berat.
BAB II PEMBAHASAN
Bioakumulator adalah kemampuan organisme untuk menyerap logam – logam berat seperti
Cd, Cu, dan sebagainya yang kemudian mendegradasinya menjadi bahan ramah lingkungan.
Pemilihan batang eceng gondok ini dikarenakan secara morfologi bagian tanaman yang
digunakan memiliki rongga yang diduga dapat menjadi tempat pengendapan logam-logam berat
seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik (Al-Ayubi, 2008).
Logam berat kadmium bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy
metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi bagi kesehatan manusia (Palar, 2004), sehingga perlu
dilakukan studi untuk mengetahui apakah batang eceng gondok itu menyerap logam atau tidak,
terutama logam Pb dan Cd di sungai Pegangsaan Dua.
Batang eceng gondok diambil dari sungai Pegangsaan Dua, mengingat keberadaan industri
otomotif yang beroperasi di samping sungai, sehingga diduga hasil limbah produksi dibuang ke
aliran sungai Pegangsaan Dua.
Hasil determinasi sampel tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang diperoleh dari
beberapa titik di Sungai Pegangsaan Dua menunjukkan kebenaran identitas tanaman yang
merupakan anggota suku Pontederiaceae.
Pemeriksaan logam dilakukan dengan metode Inductively Couple Plasma (ICP). Pemilihan
metode ini dilakukan berdasarkan kemampuannya untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi
semua elemen logam dengan pengecualian Argon. Inductively Couple Plasma (ICP) cocok untuk
semua konsentrasi tidak memerlukan sampel yang banyak, batas deteksi umumnya rendah untuk
elemen dengan jumlah 1 - 100 g / L .
Tanaman eceng gondok yang digunakan sebagai kontrol diambil di Balitro karena eceng
gondok tersebut dibudidayakan bukan tumbuhan liar sehingga diharapkan tidak tercemar logam Pb
dan Cd. Hasil penelitian ternyata eceng gondok kontrol mengandung logam berat Pb dan sedikit
sekali mengandung logam berat Cd , hal ini diduga karena letak lokasi budidaya tanaman eceng
gondok berada dipinggir jalan, sehingga masih dapat tercemar polutan yang berasal dari gas hasil
sisa pembakaran kendaraan bermotor dan partikel logam berat seperti timah hitam (Pb) (Fergsson,
1990).
Hasil uji batang eceng gondok pada titik 1 ternyata terdapat logam Pb sebesar 0,5002 mg/L
dan Cd sebesar 0,0560 mg/L . Hasil yang besar ini dikarenakan lokasi titik 1 merupakan lokasi
terdekat dengan muara pembuangan limbah industri sehingga masih terdapatnya sisa cemaran yang
berasal dari hasil pengolahan limbah industri. Pada titik 2, kadar logam Pb dan Cd berkurang
menjadi 0,0215 mg/L dan 0,0328 mg/L, hal ini dapat terjadi karena letak pengambilan eceng
gondok yang sudah jauh dari muara pembuangan limbah produksi. Sementara pada titik 3, kadar
logam Pb pada sampel batang eceng gondok sebesar 1,293 mg/L.
Tingginya kadar logam Pb pada titik 3 dikarenakan lokasi tersebut berada dekat dengan
jalan raya dan pemukiman waga yang mungkin bahan pencemar (polutan) berasal dari gas
kendaraan bermotor, industri rumahan dan limbah dari masyarakat sekitar yang diduga ikut serta
dalam pencemaran aliran sungai. Pada titik yang sama, kadar logam Cd tidak mengalami
peningkatan bahkan kadar logam yang didapat cenderung turun menjadi 0,0143 mg/L.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dari pembahasan di atas, maka dapat di berikan saran untuk lebih merawat tanaman-
tanaman atau organisme lain yang terdapat logam berat sehingga dapat di manfaatkan sebagai
bahan yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ayubi, 2008. Study Keseimbangan Adsorpsi Merkuri (II) pada Biomassa Daun Eceng Gondok
(Eichornia crassipes). Skripsi Jurusan Kimia Fakultas SAINTEK. Universitas Islam Negri Malang.
Malang.
Azizah R., Pariani S. dan Wijoyo S., 1998. Kualitas Sungai Kalimas dalam Analisis Penegakan
Hukum Lingkungan dan Pengaturannya Terhadap Kesehatan Penduduk di Kotamadya Surabaya,
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1,2,11,23.
Budavari, S., 2001. The Merck Index an Encyclopedia of Chemical Drug and Biologicals, 13 th
Ed., New Jersey, Merck & Co. Inc., Pp. 2545, 5415.
Fergusson, J.E. 1990. The Heavy Element Chemistry, Environmental Impact And Health Effect.
Fergusson Press: Oxford.
Kirkby dan K. Mengel. 1987. Principles of Land Nutrition. Swithzerland: International Potash
Institute.
POTENSI Acrostichum aureum L.
(PTERIDACEAE) SEBAGAI BIOAKUMULATOR
LOGAM BERAT MANGAN (Mn) DAN TEMBAGA
(Cu)
Meirina Orchidanti Sanubari1*, Agung Sedayu1, Mieke Miarsyah2
1
Prodi Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia. 2Prodi Pendidikan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
*Email: meirinasanubari@gmail.com
ABSTraCT
Acrostichum aureum L. is a fern from family Pteridaceae, commonly called as swamp fern or mangrove fern
and usually found in mangrove, swamp or brackish area. It noted that heavy metal concentration was found in
Acrostichum aureum, but distinction measure in each organs was unknown. This study was conducted to acquire
information about heavy metal concentration in Acrostichum aureum, the differential expression of Mn and Cu
concentration in each organs, and examine the potential of Acrostichum aureum as Mn and Cu bioaccumulator.
Acrostichum aureum and sediment sample taken from Muara Angke Wildlife Reserve, North Jakarta which
contaminated by heavy metal Mn and Cu. As a proponent data, Acrostichum aureum and sediment sample also
taken from Gunung Kapur Ciseeng that assumpted as uncontaminated area. The methods used was descriptive
with purposive sampling technique. The result showed that Acrostichum aureum was bioaccumulator for Mn
with BCF average value 1.06. Organs with the highest Mn and Cu concentration was root. U-Mann Whitney test
result showed that Mn and Cu concentration in each lower organs significantly different to the upper organs.
PENDAHULUAN
Logam berat telah menjadi perhatian di bidang lingkungan karena keberadaannya di lingkungan
dapat berbahaya bagi manusia (Nazir, et al., 2011). Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar
berbahaya yaitu karena logam berat tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme dan terakumulasi di
lingkungan. Untuk mengurangi dampak jangka panjang dari cemaran logam di lingkungan seperti di atas, perlu
dilakukan upaya pengembalian fungsi lahan pada lingkungan terkontaminasi.
Salah satu tumbuhan yang diduga berpotensi mengakumulasi logam berat adalah Acrostichum aureum.
Menurut Sharma dan Irudayaraj (2010), Acrostichum aureum memiliki potensi sebagai fitoremediator potensial
pada lahan basah terpolusi logam berat. Acrostichum aureum merupakan tumbuhan lokal yang biasa ditemukan
di habitat estuari yang tercemar. Dalam penelitian sebelumnya, Acrostichum aureum tercatat memiliki
konsentrasi Mn pada daun lebih tinggi dibanding pada tangkai daun (Badarudeen et al., 2014) dan konsentrasi
Cu tinggi pada musim postmonsoon (setelah musim hujan) (Prasannakumari et al., 2014), namun belum
diketahui potensi bioakumulasinya dan pada organ mana Mn dan Cu terakumulasi paling tinggi. Pada
penelitian ini, kami ingin mengetahui organ Acrostichum aureum yang paling banyak terakumulasi logam
Mn dan Cu yang tinggi.
1
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara (sebagai
kawasan tercemar) dan Gunung Kapur Ciseeng, Bogor (sebagai kawasan terduga tidak tercemar). Sampel
diambil dengan teknik purposive sampling. Sampel akar, tangkai daun, dan daun diambil dari Acrostichum
aureum dewasa atau individu yang telah memiliki sporangium kecoklatan pada daun fertilnya, terdapat pada
area terbuka dan terendam air. Sampel akar yang diambil adalah akar yang terbenam seluruhnya di dalam
sedimen, sedangkan untuk sampel tangkai daun dan daun yang diambil adalah pada daun steril. Sebagai data
lingkungan dilakukan juga pengukuran logam berat pada sedimen pada kedua lokasi.
Kandungan logam Mn dan Cu dianalisa dengan menggunakan Atom Absorbance Spectrofotometry
(AAS) Shimadzu AA 7000. Untuk mengetahui perbedaan kadar logam berat pada tiap organ, dilakukan
pengujian statistik menggunakan uji post-hoc U-Mann Whitney dengan software SPSS v.16 untuk masing-
masing pasangan organ. Kemampuan bioakumulasi dianalisis dengan menggunakan rumus Biological
Accumulation Coefficient (BAC), Biological Transfer Coefficient (BTC), dan Bio-concentration Factor
(BCF) sebagai berikut:
BAC = Logam berat daun (mg/kg)/Logam herat sedimen
(mg/kg) BTC = Logam berat daun (mg/kg)/Logam berat
akar (mg/kg) BCF = Logam berat akar (mg/kg)/Logam berat
sedimen (mg/kg)
Kadar kedua logam pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke jauh melampaui standar baku
mutu sedimen USEPA. Ini membuktikan bahwa kawasan Muara Angke merupakan kawasan yang tercemar.
Kadar logam Mn pada kawasan Gunung Kapur Ciseeng juga melampaui standar baku mutu sedimen USEPA,
sedangkan kadar logam Cu pada kawasan ini masih berkisar pada nilai standar tersebut, yaitu 16.32 mg/kg.
Kadar logam Mn yang melampaui standar baku mutu USEPA ini dapat disebabkan oleh perubahan
bentuk Mn pada perairan. Dalam kondisi aerob, Mn dalam perairan terdapat dalam bentuk MnO2. Sedangkan
dalam air yang kekurangan oksigen atau pada dasar perairan, MnO2 tereduksi menjadi Mn2-. Oleh karena itu
pada suatu sumber air, sering ditemukan Mn dalam konsentrasi tinggi (Achmad, 2004). Mn dengan konsentrasi
tinggi ini dapat mengendap pada dasar perairan dan mengakibatkan tingginya konsentrasi Mn pada
sedimen.
Tabel 2. Kadar Logam Mn dan Cu pada A. aureum di SMMA
Kadar logam yang ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan kedua logam pada
sedimen di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke lebih tinggi dibanding di kawasan Gunung Kapur
Ciseeng. Hal ini disebabkan oleh kawasan Muara Angke yang berada di Teluk Jakarta merupakan badan air
terakhir yang menampung limbah dari industri-industri dan pembuangan sampah yang ada di Jakarta dan
sekitarnya yang membuang limbah secara langsung maupun tidak langsung ke 13 sungai yang bermuara ke
kawasan ini. Ketiga belas sungai tersebut yaitu: Kali Mookervaart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan Kali Grogol,
Kali Krukut, Kali Baru Barat, Sungai Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali
Jati Keramat dan Kali Cakung. Sungai-sungai tersebut melalui daerah pemukiman dan industri yang cukup
padat di sekitar Jakarta. (Rochyatun & Rozak, 2007).
Sedangkan, kandungan kedua logam di Gunung Kapur Ciseeng relatif lebih kecil karena kegiatan
manusia di kawasan ini cenderung lebih sedikit dan tidak mendapat akumulasi cemaran dari aliran sungai
dibandingkan dengan kegiatan manusia di Muara Angke. Meski Gunung Kapur Ciseeng merupakan objek
wisata lokal yang banyak dikunjungi wisatawan dan juga berpotensi tercemar, namun cemaran di kawasan
ini hanya berasal dari sampah domestik.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Bio-Concentration Factor (BCF) didapat bahwa BCF tertinggi
untuk logam Mn sebesar 3.03 dan untuk logam Cu sebesar 0.96. Biological Accumulation Coefficient (BAC)
untuk logam Mn yang tertinggi sebesar 0.24 dan untuk logam Cu sebesar 0.28. Sedangkan Biological Transfer
Coefficient (BTC) yang tertinggi untuk logam Mn sebesar 0.41 dan untuk logam Cu sebesar 0.45. Potensi
akumulasi Acrostichum aureum dapat diketahui dengan nilai BCF, BAC dan BTC seperti pada Tabel 3.
Berdasarkan penggolongan akumulator oleh Zayed et al. (1998), diketahui Acrostichum aureum merupakan
bioakumulator untuk logam Mn dengan nilai BCF tertinggi sebesar 3.03, dan rata-rata nilai BCF >1 yaitu
sebesar 1.0681. Sedangkan nilai BAC dan BTC < 1 pada logam Mn menunjukkan bahwa logam ini tidak
terkonsentrasi di daun dengan baik karena tidak tertranslokasi dengan baik pula.
Berdasarkan kriteria Fitter dan Hay (1991), mekanisme akumulasi Mn pada Acrostichum aureum
lebih mendekati mekanisme ameliorasi dengan pendekatan lokalisasi pada akar. Hal ini dapat dilihat dari
terkonsentrasinya logam Mn dalam jumlah besar pada akar dibanding pada akar dibanding pada organ lain
dan belum diketahuinya mekanisme adaptasi lain Acrostichum aureum terhadap Mn. Mekanisme lain dapat
diketahui dengan studi lanjutan mengenai reaksi fisiologis dan biokimia seperti kelasi dan mekanisme
toleransi lainnya.
Data untuk logam Cu menunjukkan bahwa Acrostichum aureum bukan bioakumulator untuk logam ini
karena baik nilai BCF, BAC, maupun BTC Acrostichum aureum untuk Cu < 1. Hal ini mendukung teori
bahwa logam Cu merupakan salah satu logam yang sulit ditranslokasi tumbuhan dari akar ke organ tumbuhan
lain yang lebih tinggi (Alloway dalam Zitka et al., 2013).
Sampai saat ini hiperakumulasi oleh paku yang tertinggi dilakukan oleh Pteris vittata, yang dapat
bertahan hidup dan mengakumulasi arsenik (As) dengan kadar sekitar 3280 – 23000 mg/kg. P. vittata dapat
tumbuh pada sedimen dengan kadar arsenik sebesar 1500 mg/kg, sedangkan tumbuhan lain umumnya
tidak dapat bertahan pada kadar sedimen 50 mg/kg (Ma et al., 2001). Tumbuhan paku lain yang tercatat
dapat mengakumulasi logam di antaranya Pteris cretica, Azolla pinnata, dan Equisetum sp. (Mehltreter,
2010).
Dibandingkan dengan kemampuan hiperakumulator P. vittata untuk logam As, Acrostichum aureum
hanya memiliki kemampuan sebagai bioakumulator (bukan hiperakumulator) untuk logam Mn. Namun
demikian, Acrostichum aureum tetap dapat dimanfaatkan untuk mengakumulasi cemaran logam Mn pada
kawasan perairan
dengan logam Mn yang relatif tinggi seperti di sekitar kawasan industri, pabrik tekstil, elektronik, dan galvanis.
KESIMPULAN
Acrostichum aureum merupakan bioakumulator untuk logam Mn namun bukan bioakumulator untuk logam Cu,
sehingga potensinya dapat dimanfaatkan dalam pengendalian cemaran logam Mn di lingkungan perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Badarudeen, A., K. Sajan, R. Srinivas, K. Maya dan D. Padmalal. 2014. Environmental Significance of Heavy Metals in
Leaves and Stems of Kerala Mangroves, SW Coast of India. Indian J Mar Sci. 43(6) 1021-1029.
Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ma, L.Q., K.M. Komar, C. Tu dan W.A. Zhang. 2001. A Fern That Hyperaccumulates Arsenic. Nature 411: 409-
579.
Mehltreter, K., L.R. Walker, J.M. Sharpe (ed). 2010. Fern Ecology. Cambrigde University Press.
Nazir, A., R.N. Malik, M. Ajaib, Nasrullah K. dan M.F. Siddiqui. 2011. Hyperaccumulators of Heavy Metals of
Industrial Areas of Islamabad and Rawalpindi. Pak. J. Bot. 43(4) 1925-1933.
Prasanakumari, A.A., Gangadevi T. dan Jayaraman P.R. 2014. Absorption Potensial for Heavy Metals by Selected
Ferns Associated with Neyyar River (Kerala), South India. Intl. J. Env. Sci. 5(2): 270-276.
Rochyatun, E., dan A. Rozak. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta.
Makara Sains.11(1):28-36.
Sharma, C.L., dan V. Irudayaraj. 2010. Studies on Heavy Metal (Arsenic) Tolerance in a Mangrove Fern
Acrostichum aureum L. (Pteridaceae). J. of Basic App. Biol., 4(3):143-152.
USEPA. 1999. US Environmental Protection Agency: Screening Level Ecological Risk Assessment Protocol for
Hazardous Waste Combustion Facilities. Appendix E: Toxicity Reference Values. Vol. 3.
Zayed, A., Gowthaman, S. dan N. Terry. 1998. Phytoaccumulation of Trace Elements by Wetland Plants:
Duckweed. J. Environ. Qual., 27: 715- 721.
Zitka, O., Krystofova, O., Hynek, D., Sobrova, P., Kaiser, J., Sochor, J., Zehnalek, J., Babula, P., Ferrol, N., Kizek,
R. dan V. Adam 2013. Metal Transporters in Plants. In: d. K. Gupta, C. F. J & J. M. Palma,
eds. Heavy Metal Stress in Plants. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 1:19-42.
Azotobacter sebagai Bioakumulator Merkuri
e-mail: enny@bio.its.ac.id
I. PENDAHULUAN
ERKURI merupakan salah satu logam berat
M paling toksik dan keberadaannya
lingkungan dapat terakumulasi pada berbagai
di
blue dan untuk memastikan bahwa isolat tersebut IsolatBentukElevasiTepiWarna koloni kolonimuda Warna
Ukuran
Azotobacter, dilakukan pewarnaan Gram dan koloni tua
(> 1 bln)
koloniBentuk sel
pewarnaan kista.
C. Uji Resistensi Terhadap HgCl2
Uji resistensi dilakukan dengan menumbuhkan isolat
Azotobacter yang didapat dari hasil isolasi pada media
selektif Azotobacter slant agar [11], yang mengandung
HgCl2 berbagai konsentrasi mulai dari konsentrasi 0.5
mg/L dan seterusnya sampai konsentrasi yang mampu
ditoleransi isolat Azotobacter. Inkubasi dilakukan
selama 24 jam pada suhu ruang, koloni yang tumbuh
merupakan isolat yang resisten terhadap HgCl 2. Isolat
yang digunakan adalah isolat yang paling resisten
terhadap HgCl2.
pewarnaan Gram menunjukkan bahwa semua isolat resistensi yang lebih tinggi dari konsentrasi merkuri
adalah bakteri Gram (-), dan hasil pewarnaan cysta dihabitatnya. Menurut Manampiring dan Keppel, suatu
terlihat ukuran sel menjadi lebih kecil atau lebih bakteri dikatakan resisten merkuri apabila bakteri
pendek dengan dinding cysta yang tebal. tersebut dapat bertahan pada konsentrasi merkuri 0,01
ppm [19]. Hasil uji resistensi menunjukkan resistensi
isolat Azotobacter terhadap HgCl2 bervariasi seperti
pada Tabel 2.
Tabel 2.
Krem
A1a Irregular Flat Undulate Coklat 1 cm Basil pendek A9 +++ +++ +++ + +
Slimy (berair)
A1bCircularConvexEntireKrem bening Krem A10 +++ +++ +++ ++ -
2 mmBasil pendek
Slimy (berair) kecoklata
n Ket : +++ (baik), ++ (cukup baik), + (kurang baik).
Krem bening
Circular Pulvinate Entire Kuning; pusat
A3 3 mm Basil pendek
koloni: orange
Slimy (berair)
Kuning
A5 Circular Convex Undulate Putih susu 3 mm Basil pendek Berdasarkan pada tabel 2, semua isolat Azotobacter mampu
kecoklatan
3 mm Basil pendek
tumbuh dengan baik pada konsentrasi 0,5 dan 5 mg/L
Krem
A6 Circular Convex Erose Putih susu HgCl2 kecuali isolat A1a yang yang mampu tumbuh
kecoklatan cukup baik pada
konsentrasi 5 mg/L HgCl2. Pada konsentrasi 10 mg/L
A7 Circular Convex Erose Putih susu Krem 2 mm Basil pendek
IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Sepuluh isolat Azotobacter resisten merkuri yang diisolasi dari lahan eco urban farming ITS yaitu A1a,
A1b, A2, A3, A5, A6, A7, A8, A9, dan A10. Semua isolat resisten 0,5 dan 5 mg/L HgCl 2, dan hanya 3
isolat yang resisten sampai dengan konsentrasi 20 mg/L yaitu isolat A5, A6, dan A9.
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Keramati, M. Hoodaji, and A. Tahmourespour, “Multi-Metal Resistance Study of Bacteria Highly
Resistant to Mercury Isolated from Dental Clinic Effluent,” African Journal of Microbiology
Research, Vol. 3 (2011) 831–837.
[2] Inswiasri, “Paradigma Kejadian Penyakit Pajanan Merkuri,“ Jurnal Ekologi Kesehatan,Vol. 7 (2008)
775–785.
[3] E. Hodgson, “Texbook of Modern Toxicology,” 3rd Ed. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc (2004)
ch. 5.
[4] N. Hachiya, “The History And The Present Of Minamata Disease,” Japan Medical Association
Journal, Vol 49 (2006) 112-118.
[5] N.L. Brown, Y.C. Shih, C. Leang, K.J. Glendinning, J.L. Hobman, and
J.R. Wilson, “Mercury Transport and Resistance,” Biochemical Society Transactions, Vol 30 (2002)
715-718.
[6] A.M.A. Nascimento, and E. Chartone-Souza, “Operon mer : Bacterial Resistance To Mercury And
Potential For Bioremidiation Of Contaminated Environments,” Genetics and Molecular Research,
Vol. 2 (2003) 92-101.
[7] H.R. Dash and S. Das,” Bioremediation of Mercury and The Importance of Bacterial mer Genes,”
International Biodeterioration and Biodegradation, Vol. 75 (2012) 207-213.
[8] E. Zulaika, A. Luqman, T. Arindah, dan U. Sholikah, “Bakteri Resisten Logam Berat yang Berpotensi
Sebagai Biosorben dan Bioakumulator,” Seminar Nasional Waste Management for Sustainable
Urban Development, Feb. 21 (2012) Teknik Lingkungan, FTSP-ITS Surabaya Indonesia.
[9] I.G. Rojas, A.B.T. Geraldo, and N.M. Sarmiento, “Optimising Carbon and Nitrogen Sources for
Azotobacter chroococcum Growth,” African Journal of Biotechnology, Vol. 10 (2011) 2951-2958.
[10] Z. Mazinani, M. Aminafshar, A. Asgharzadeh, and M. Chamani, “Effect of Azotobacter Population
On Physico-Chemical Characteristics of Some Soil Sample In Iran, “Annals of Biological Research,
Vol. 3 (2012) 3120-3125.
[11] E. Zulaika, “Eksplorasi Bakteri Resisten Merkuri (BRM) Endogenik Kalimas Surabaya Sebagai
Kandidatus Agensia Pencemaran Merkuri, “ Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya (2013).
[12] S. Ray, R. Gatchhui, K. Pahan, J. Chaudhury, and A. Mandal, “Detoxification or Mercury and
Organomercurials by Nitrogen-Fixing Soil Bacteria, “Journal Bioscience, Vol. 14 (1989) 173-182.
[13] www.digilib.its.ac.id
[14] Z.H. Hasibuan, T. Sabrina, dan M.B. Sembiring, “Potensi Bakteri Azotobacter dan Hijauan Mucuna
bracteata Dalam Meningkatkan Hara Nitrogen Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit, “Jurnal
Agroekoteknologi, Vol. 1 (2012) 237-253.
[15] R. Saraswati, E. Husen, dan R.D.M. Simanungkalit, “Metode Analisis Biologi Tanah, “Jawa Barat :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2007) ch 2.
[16] J.P. Harley, and L.M. Prescott, “Laboratory Exercises in Microbiology,” 5th Ed. USA : The McGraw-
Hill Companies (2002).
[17] M. Stella, and M. Suhaimi, “Selection of Suitable Growth Medium For Free-Living Diazotrophs
Isolated From Compost,” Journal Tropical Agricultural and Food Science, Vol. 38 (2010) 211-219.
[18] M.T. Madigan, J.M Martinko, D.A. Stahl, and D.P Clark, “Brock Biology of Microorganisms,” 13th
Ed. USA : Pearson Education, Inc. (2012).
[19] A.E. manampiring, dan B.J.Keppel, “Studi Populai Bakteri Resisten Merkuri Di Daerah Aliran
Sungai Tondano, Kelurahan Ketang Baru, Manado,” Jurnal Ilmiah Sains, Vol. 11 (2011) 26-30.
[20] M. Narita, K. Chiba, H. Nishizawa, H. Ishii, C.C. Huang, Z. Kawabata,
S. Silver, and G. Endo, “Diversity of Mercury Resistance Determinants Among Bacillus Strains
Isolated From Sediment of Minamata Bay,” FEMS Microbiology Letters, Vol. 223 (2003) 73-82.
[21] L. Ranjard, A. Richaume, L. Jocteur-Monrozier, and S. Nazaret, “Response of Soil Bacteria to Hg(II)
in Relation to Soil Characteristics and Cell Location,” FEMS Microbiology, Vol. 24 (1997) 321-331.
RESPON BIOAKUMULATOR ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) TERHADAP LOGAM
BERAT Pb dan Cd DI SUNGAI PEGANGSAAN DUA MENGGUNAKAN ME- TODE INDUCTIVELY
COUPLED PLASMA (ICP)
ABSTRAK
Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu tanaman liar Indonesia yang dianggap sebagai
gulma. Keberadaannya dapat mengganggu ekosistem yang ada di sungai, tetapi eceng gondok terbukti
da- pat menyerap logam Pb dan Fe, diyakini juga bahwa eceng gondok dapat menyerap logam-logam lain
seperti Hg, Zn, Cu dan Cd yang termasuk pada golongan logam berat bersama Pb dan Fe. Selain sebagai
penyerap logam berat, eceng gondok dapat juga menyerap residu pestisida. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, untuk mengetahui respon bioakumulator terhadap logam Pb dan Cd di sungai
Pegang- saan Dua dengan metode Inductively Coupled Plasma (ICP). Sampel tumbuhan eceng gondok
yang dianal- isis respon bioakumulatornya adalah organ batang. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat
diketahui bahwa tumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes), mampu mengakumulasi logam berat Cd
dan Pb. Organ yang paling berpotensi dalam menyerap Cd dan Pb adalah organ batang dengan rata-rata
titik 1 Cd : 0,056 ppm dan Pb : 0,5002 ppm, kemudian rata-rata titik 2 Cd : 0,0328 ppm dan Pb : 0,0215
ppm, dan rata
Kata Kunci : Respon Bioakumulator, Eceng Gondok (Eichhornia crassipes), Logam Berat Pb and Cd, In-
ductively Coupled Plasma (ICP).
ABSTRACT
Eichhornia crassipes is one of Indonesia's wild plant considered a weed. It is presence can disrupt ecosys-
tems in the river, but is proven to absorb Pb and Fe, believed also that Eceng Gondok Eichhornia crassipes
can absorb other metals such as Hg, Zn, Cu and Cd were included in the group with heavy metals of Pb
and Fe. In addition to heavy metal sequestration, Eichhornia crassipes can also absorb pesticide residues.
This research is descriptive, to determine bioaccumulator response of Pb and Cd in Pegangsaan Two river
by Inductively Coupled Plasma (ICP) method. Bioaccumulator response of Eichhornia crassipes were ana-
lyzed from the stem. Based on the results of the study also showed that the Eichhornia crassipes plants
are able to accumulate heavy metals of Pb and Cd. The organs most potential to absorb Cd and Pb are
stem organ with average point 1 Cd : 0,056 ppm and Pb : 0,5002 ppm, then the average point 2 Cd :
0,0328 ppm and Pb : 0,0215 ppm , and the average point 3 Cd : 0.0143 ppm and Pb : 1,293 ppm .
Keywords: Bioaccumulator Response, Eichhornia crassipes, Heavy Metal of Pb and Cd, Inductively Cou-
pled Plasma (ICP).
Kadmium
0,07 ppm 0,056 0,0328 0,0143 0,0094
(Cd)
KESIMPULAN
Tanaman eceng gondok (Eichhornia
Crassipes) dapat berfungsi sebagai bioakumu-
lator dengan menyerap logam Pb dan Cd pada
Sungai Pegangsaan Dua.
DAFTAR PUSTAKA
e-mail: ennyzulaika@bio.its.ac.id
Abstrak— Kadmium adalah logam beracun yang bersifat hidup di media terpapar Cd2+ 11,24 mg/L [5]. Paparan
toksik dan dapat membahayakan makhluk hidup serta ekosistem Cd2+ 5 µmol/L menghambat 50% pertumbuhan
perairan. Chlorella sp. memiliki kapasitas tinggi untuk mengikat
logam berat seperti kadmium. Penelitian ini bertujuan untuk
Chlorella vulgaris [6]. Pada mikroalga Isochrysis
mengetahui kemampuan hidup Chlorella sp., daya resistensi di galbana mampu mengakumulasi 0,02 mg/g Cd2+ dari 1
media terpapar logam Cd, serta kemampuan bioakumulasi mg Cd [7]. Pada Planothidium lanceolatum mampu
terhadap logam Cd. Tahap pertama pemeliharan kultur Chlorella mengakumulasi Cd2+ 3,1 mg/L [7], sehingga mikroalga
sp. dengan subkultur setiap 48 jam. Penentuan kurva berpotensi sebagai bioakumulator logam kadmium
pertumbuhan Chlorella sp. dengan mengukur densitas (OD)
menggunakan spektrofotometer setiap 2 jam selama 24 jam.
termasuk Chlorella sp. Penelitian ini akan menguji
Selanjutnya Uji resistensi logam Cd dilakukan dengan kisaran
konsentrasi CdCl2 0-50 mg/L selama 24, 48, dan 72 jam. Uji
bioakumulasi logam Cd oleh Chlorella sp. berdasarkan hasil uji
resistensi (range finding test), yaitu 0, 5, 10, dan 15 mg/L Cd
selama 24, 48, dan 72 jam. Data dianalisis secara deksritif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Chlorella sp.
resisten terhadap logam berat Cd hingga konsentrasi 15 mg/L.
I. PENDAHULUAN
ENINGKATNYA berbagai aktivitas manusia
M seperti kegiatan
pertambangan,
industri,
teknologi
komunikasi dan transportasi akan menyebabkan
berbagai dampak termasuk dampak yang merugikan.
Salah satu dampak yang merugikan bagi lingkungan
dan manusia adalah pencemaran lingkungan oleh
logam berat di perairan [1]. Kadmium (Cd)
merupakan logam berat yang sangat
toksik yang mungkin dapat terpapar di perairan [2].
Penghilangan logam berat dari limbah industri
sangat penting bagi masyarakat sebagai upaya untuk
mendaur ulang dan menghilangkan logam dari
lingkungan, namun remediasi logam dengan metode
fisika-kimia masih mahal dan tidak ramah lingkungan
[3]. Teknik bioremoval logam berat dengan
memanfaatkan fitoplankton atau mikroalga merupakan
salah satu alternatif teknik bioremediasi di lingkungan
perairan [4].
Beberapa penelitian tentang mikroorganisme
khususnya mikroalga sebagai agen bioremediasi telah
banyak dikembangkan. Pada strain Chlorella mampu
apakah kultur Chlorella sp. dari BBAP Situbondo (batu dan selang aerasi) dicuci menggunakan air
mampu resisten terhadap logam Cd. mengalir dan detergen, ditiriskan sampai kering.
Sel Chlorella sp. berbentuk bulat atau bulat telur Selanjutnya alat non- gelas direndam dalam larutan
dan umumnya merupakan alga bersel tunggal kaporit 20 ppm (selama 24 jam). Selanjutnya dibilas
(unicellular), meskipun kadang-kadang dijumpai dengan air tawar dan dikering anginkan [9].
berkelompok. Diameter selnya berkisar antara 2-8 Sterilisasi untuk alat gelas (pipet tetes, erlenmeyer,
µm, berwarna hijau, dan dinding selnya keras yang gelas beaker, gelas ukur, wadah kaca) dicuci dengan
terdiri dari selulosa dan pektin, serta mempunyai air mengalir dan detergen kemudian dikering anginkan.
protoplasma yang berbentuk cawan. Chlorella sp. Selanjutnya alat gelas diautoklaf dengan suhu 121 o C
dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada dan tekanan 1 atm selama 30 menit [9].
pengamatan seakan-akan tidak bergerak [8]. C. Persiapan Media Untuk Kultivasi Chlorella sp.
Media untuk kultur Chlorella sp. menggunakan air
II. METODOLOGI tawar (pH netral) yang disaring dengan filter bag dan
ditampung dalam wadah yang bersih dan tahan panas.
A. Waktu dan Tempat Penelitian Selanjutnya air tawar tersebut dipanaskan sampai
Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2013 - mendidih (100o C) selama
Maret 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan 5 menit, didinginkan dan disaring menggunakan kertas
Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA ITS. Analisis saring Whatman no. 1, filtrat ditampung ke dalam
logam kadmium dilakukan di Laboratorium Balai wadah kaca volume 250 ml [9].
Penelitian dan Konsultasi Industri Surabaya. Nutrisi kultur Chlorella sp. adalah pupuk Aqua-
Walne dan vitamin (Tabel 1). Semua bahan nutrisi
B. Sterilisasi Alat dilarutkan ke dalam akuades 1 L kemudian dipanaskan
Sterilisasi alat untuk mensterilisasi semua peralatan dengan suhu 60oC selama 15 menit, selanjutnya
dari kontaminasi mikroorganisme lain. Alat non-gelas diautoklaf dengan suhu 120oC selama 30 menit [9].
Tabel 1.
mg/L. Kultur yang dipapar CdCl2 diletakkan di atas
Komposisi pupuk aqua-Walne dan vitamin Rotary shaker 100 rpm, diinkubasi pada suhu ruang
serta
C1 x V1 = C2 x
V2 (1) Gambar 1. Area perhitungan haemacytometer [8].
Keterangan:
V1 : Volume larutan yang diinginkan (kultur Chlorella sp.) C2 : E. Kultivasi Chlorella sp. Untuk Perlakuan
Konsentrasi larutan stok (mg/L) Biakan Chlorella sp. diperoleh dari Balai Besar
V2 : Volume konsentrasi larutan stok kadmium yang ditambahkan ke V1 Penelitian Air Payau (BBAP) Situbondo dengan
kepadatan awal (100×104) sel/ml. Stok kultur
Chlorella sp. dibuat dengan mencampurkan 100 ml Chlorella sp. di area pengamatan yang berjumlah 5
biakan Chlorella sp. dan air tawar atau disebut kamar R, dihitung jumlahnya dengan
menggunakan hand tally counter baik yang mati
400 ml ke dalam erlenmeyer volume 500 ml, kemudian
ataupun hidup. Jika sudah didapatkan jumlah
ditambahkan pupuk aqua-Walne dan vitamin masing-
mikroalga maka untuk mengetahui jumlah mikroalga
masing 1 ml. Selanjutnya diletakkan di atas Rotary
per 1 ml dengan menggunakan rumus persamaan yang
shaker 100 rpm, diinkubasi pada suhu ruang serta
disajikan pada persamaan (2) [11], yaitu :
pencahayaan 12 jam menggunakan lampu TL 40 watt
[7]. Setiap 48 jam dilakukan sub kultur untuk
kontinyuitas kultivasi Chlorella sp [4]. Jumlah sel/ml = [(A+B+C+D+E) / 5] x 4.106]
(2)
F. Kurva Pertumbuhan Chlorella sp.
Keterangan :
Kurva pertumbuhan untuk menentukan umur
perlakuan Chlorella sp. Pertumbuhan sel Chlorella sp. A, B, C, D, E :jumlah sel yang dihitung menggunakan hand tally
counter tiap kamar R
diamati dengan cara mengukur optical density (OD)
pada 600 nm menggunakan spektrofotometer. 5 :jumlah kotak yang diamati dalam kamar R
Pengukuran dilakukan setiap 2 jam sekali dimulai dari 6
jam ke - 0 sampai jam ke - 4.10 :volume setiap kotak pengamatan haemacytometer
A B
Gambar 5. Bentuk sel Chlorella sp. yang dipapar logam CdCl2 (A. Hidup, B. Mati) (Dokumentasi pribadi, 2014).
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian Potensi Chlorella sp. Sebagai Bioakumulator Logam Berat Kadmium adalah :
1. Mikroalga Chlorella sp. resisten terhadap logam Cd2+ sampai dengan konsentrasi 15 mg/L.
2. Mikroalga Chlorella sp. berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen bioremediasi logam berat kadmium di
IPAL yang mengandung logam kadmium.
3. Data bioakumulasi logam kadmium oleh Chlorella sp. tidak ditampilkan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ahuja, S. 2009. “Overview, in Satinder Ahuja edition, Handbook of Water Quality and Purity 1st edition”. Academic Press. New York.
[2] Cotton, F.A. & Wilkinson, G. 1995. “Kimia Anorganik Dasar”. UI Press. Jakarta.
[3] Hashim, S.O., Delgado,O., Hatti, K.R., Mulaa, F.J. & Mattiasson, B. 2004. “Starch Hydrolyzing Bacillus halodurans Isolated From A Kenyan
Soda Lake”. Biotechnology. 26 (8): 23–828.
[4] Monteiro, C.M., Castro, P.M.L. & Malcata, F.X. 2010. “Cadmium Removal by Two Strain of Desmodesmus pleiomorphus Cells”. Water Air
Soil Pollution. 208: 17-27.
[5] Matsunaga, T., Takeyama, H.N.T. & Yamazawa, A. 1999. “Screening of Marine Microalgae for Bioremediation of Cadmium Polluted
Seawater”. Journal Biotechnology. 70: 33–38.
[6] Ouyang, H., Kong, X, He, W., Qin, N., He, Q., Wang, Y. Wang, R. & Xu, F. 2012. “Effects of Five Heavy Metals at Sub-Lethal Concentrations
on The Growth and Photosynthesis of Chlorella vulgaris”. Chinnese Science Bulletin. 57 (25): 3363-3370.
[7] Sbihi, K., Cherifi O., Gharmali A.E., Oudra, B. & Aziz. 2012. “Accumulation and Toxicological Effects of Cadmium, Copper And Zinc on The
Growth and Photosynthesis of The Freshwater Diatom
Planothidium lanceolatum (Brébisson) Lange-Bertalot: A laboratory study”. Journal Material Environmental Science. 3 (3) 497-506.
[8] Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Jakarta.
[9] Cahyaningsih, S., Muchtar, A.N.M., Purnomo, S.J., Pujiati, Kusumaningrum, I., Haryono, A. Slamet., Y;ulaeni, F., Ramadhan, F. & Bagus.
2006. Petunjuk Teknis Produksi Pakan Alami. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai
Budidaya Air Payau Situbondo.
[10] Edris, G., Alhamed, Y. & Alzahrani, A. 2012. “Cadmium and Lead Biosorption by Chlorella vulgaris”. Sixteenth International Water
Technology Conference. Turkey. 16: 1-11.
[11] Suminto. 2005. Budidaya Pakan Alami Mikroalgae dan Rotifer. Universitas Diponegoro. Semarang.
[12] Klochkova, T.A. & Kim, G.H. 2005. “Ornamented Resting Spores of a Green Alga, Chlorella sp., Collected from the Stone Standing
Buddha Statue at Jungwon Miruksazi in Korea”. Algae. 20 (4): 295- 298.
[13] Manisha, S.C.A. 2007. “Growth, Survival and Reproduction in Chlorella vulgaris and Chlorella variegata with Respect to Culture Age and
Under Different Chemical Factors”. Folia Microbiology. 52 (4), 399-406.
[14] Arunakumara, K. K. I. U. & Zhang, X. 2008. “Heavy Metal Bioaccumulation and Toxicity with Special Reference to Microalgae”. Journal
Ocean University Chinesse. 1 (7): 25-30.
[15] Carfagna, S., Lanza, N., Salbitani, G., Basile, A., Sorbo, S. & Vincenza, V. 2013. “Physiological and Morphological responses of Lead or
Cadmium exposed Chlorella sorokiana 211-8K (Clorophyceae)”. SpringerPlus. 2: 147.