Anda di halaman 1dari 3

Nama : Naufal Aria Kusma

NPM : 230110200064
Kelas : Perikanan A

Polemik Tata Kelola Perikanan Tangkap

Narasumber:
Prof. Dr. Zuzy Anna, M.Si.
Kekayaan Perairan Laut dan Pesisir Indonesia
Potensi yang dimiliki laut Indonesia mengungguli pertumbuhan ekonomi global baik
dari sisi nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja dengan menghasilkan barang jasa
senilai 115$ 2.5 Trilyun/tahun. Dengan potensi panjang pantai 95.181 km kedua terpanjang
dunia, luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71% dari
keseluruhan wilayah dan 17.504 pulau yang terdaftar di PBB (sudah benama $ berkoordinat)
14.572 pulau. Kekayaan dari Indonesia yang sudah diketahui mencapai lebih dari Rp 1.700
Triliun atau setara dengan 93% dari total APBN Indonesia tahun 2018 (P2OLIPI, 2019).
Kekayaan wilayah pesisir merupakan penyumbang kekayaan terbesar laut Indonesia, yakni
mencapai Rp 560 triliun, lalu disusul potensi kekayaan bioteknologi sebesar Rp 400 triliun,
kekayaan perikanan sebesar Rp 312 triliun, kekayaan minyak dan bumi sebesar Rp 210 triliun,
dan transportasi taut Rp 200 triliun.
Hampir 37% kekayaan biodiversity hayati laut berada di Indonesia Indonesia memiliki
17,95% Terumbu karang di dunia, 910 jenis karang (corals) atau 75% dari total spesies karang
di dunia, dan 37% dari total ikan karang dunia (UNDP.2016). Indonesia juga memiliki 30%
hutan mangrove dunia, 13 spesies lamun (seagrass) dari 20 spesies lamun dunia dan berbagai
potensi keragaman hayati laut lainnya seperti 35.000 spesies biota laut, 850 spesies sponges,
682 spesies rumput laut (seaweed), 2500 spesies moluska, 1502 spesies krustasea, 745 spesies
ekinodermata, 6 spesies penyu, 29 spesies paus dan dolphin, 1 spesies dugong, dan lebih dari
2000 spesies ikan hidup, (Dahuri, 2003).
Berikut merupakan beberapa pemanfaatan potensi kekayaan perairan laut dan pesisir
Indonesia:
1. Capture Fisheries
2. Aqua/Brackish/Mari-Culture
3. Fisheries Product/Processing Industry
4. Biotechnology Industry/obat-obatan, lndustri kelautan baru berkelanjutan
5. Marine Tourism
6. Mineral and energy /pertambangan
7. Marine Transportation
8. Industry and Maritime Services/transportation
9. Small Islands
10. Coastal forestry
11. Non-conventional resources
Sisi lain dari Perikanan Tangkap
Tetapi Perikanan Tangkap juga memiliki sisi lain yang menyedihkan. Kemiskinan
dikarenakan penghasilan Rp 82.000- Rp 225.000 per kapita per bulan (dibawah UMR). Selain
itu, dari 2012-2015 Kemenlu memfasilitasi kasus 2.368 ABK Indonesia di Luar Negeri, kasus
ketenagakerjaan (48,4% atau 1.148 kasus), kasus penyelundupan manusia (35,1% atau 833
kasus) dan kasus perdagangan manusia (12,1% atau 287 kasus). Peikanan tangkap juga salah
satu pekerjaan yang paling berbahaya (keselamatan dan kesehatan), kotor dan sulit (FAO 2008),
di AS tingkat kematian yang 23 kali lebih tinggi daripada untuk semua pekerja lainnya.
Kompleksitas Pemanfaatan Laut dan Pesisir
• Pelestarian/ Konservasi
• Penangkapan ikan komersial
• Wisata laut
• Industri Perkapalan
• Mendukung ekonomi lokal
• Transportasi
Selain pemanfaatannya, perikanan tangkap (laut) juga memiliki karakteristik
kompleksitas yang terbagi menjadi biologi/lingkungan, sosial dan ekonomi. Ada beberapa isu
dalam menata pengelolaan perikanan yang diantara adalah:
• Data yang tidak memadai
• Penelitian berbasis kebijakan yang tidak memadai
• Kegagalan untuk mengikuti saran ilmiah
• Kurangnya transparansi dan ketertelusuran
• Terlalu sedikit area terlarang untuk kegiatan penangkapan
• Peraturan perikanan yang tidak memadai
• Kurangnya implementasi/penegakan peraturan
Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan kontrol umum baku mutu, larangan
dengan penundaan (moratorium) dan pengendalian quota. Pemerintah juga dapat mengedukasi
stakeholders dan memberikan insentif instrumen ekonomi berbasis pasar untuk mendorong
perubahan perilaku para pelaku kegiatan perikanan tangkap dan stakeholders. Manajemen
berbasis masyarakat dapat dilakukan untuk area kecil tertentu.
Ringkasan
Kompleksitas Industri perikanan tangkap menyebabkan rezim tatakelola perikanan
sangat mahal tergantung dari tipe pengelolaan yang diimplementasikan, biaya dari mulai riset,
pengelolaan enforcement, monitoring, control dan surveillance mencapai 1 sampai 14 percent
dari nilai landings (Schrank, Arnason, and Hannesson 2003; Kelleher 2002). Sunken Billions
report (World Bank and FAO 2009), menyatakan hanya sebagian kecil dari biaya ini berasal
dari nelayan, sebagain besar dari public sector, sementara benefits terkonsentrasi pada nelayan,
yang relative lebih sedikit. Pengelolaan perikanan Science based harus diutamakan. Mengelola
SDA lebih pada mengelola masyarakat yang memanfaatkan SDA, karena ada masalah "equity"
yang harus diselesaikan.
Pengelolaan bersifat path depencence, dimana hal tersebut menangani sumber daya
(stock assessment; stock valuation) dan penanganan input ekstrasi sdi (capital, nelayan, kapal,
dlsb). Pengelolaan harus berfokus pada permasalahan yang ada (real problem) yaitu inefisiensi,
irrasional use, area based. Dalam pengelolaan ada 3 rezim penting yaitu scientific assessment
of the stock, limiting fishing pressure, dan enforcing regulations. Aturan-aturan pengelolaan
perikanan kelautan harus juga diikuti dengan pengelolaan sisi sosial ekonomi masyarakat
dengan mengembangkan instrumen ekonomi dan sosial dalam pengelolaan sumber daya
perikanan dan kelautan.

Remember Murphy's Law, “Anything that can go wrong, will go wrong”

Anda mungkin juga menyukai