NPM : 230110200068
Laut Indonesia menghasilkan barang jasa dengan nilai sebesar US$ 2.5 Triliyun/tahun.
Penghasilan ini memiliki potensi untuk mengungguli pertumbuhan ekonomi global baik dari
sisi nilai tambah ataupun penyerapan tenaga kerja. Luas perairan laut Indonesia mencapai 5,8
juta kilometer persegi, yang merupakan 71% dari keseluruhan wilayah NKRI dengan potensi
panjang pantai 95.181 km yang merupakan panjang pantai kedua terpanjang di dunia setelah
Kanada dengan panjang 202.080 km. Indonesia memiliki 17.504 pulau dengan 14.572 pulau
sudah terdaftar di PBB (sudah bernama dan berkoordinat). Potensi kekayaan dari Indonesia
yang sudah diketahui mencapai lebih dari Rp. 1.700 Triliun atau setara dengan 93% dari total
APBN Indonesia pada tahun 2018 (P2OLIPI 2019).
Kekayaan terbesar laut Indonesai disumbang oleh kekayaan wilayah pesisir, yakti
mencapai Rp. 560 triliun. Kemudian disusul oleh potensi kekayaan bioteknologi sebesar Rp.
400 triliun, kekayaan perikanan sebesar Rp. 312 triliun, kekayaan minyak dan bumi sebesar
Rp. 210 triliun dan transportasi laut Rp. 200 triliun. Laut Indonesia memiliki kekayaan
biodeversity yang melimpah, hal ini dibuktikan dengan hampir 37% kekayaan biodeversity
hayati laut dunia ada di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki 17,95% Terumbu karang
dunia, 910 jenis karang (corals) atau 75% dari total spesies karang di dunia, dan 37% dari total
ikan karang dunia (UNDP 2016). Selain kekayaan bawah airnya, Indonesia memiliki 30%
hutan mangrove dunia dengan 13 spesies lamun (seagrass) dari 20 spesies lamun dunia.
Indonesia memiliki berbagai potensi keragaman hayati laut lainnya seperti 35.000 spesies biota
laut, 850 spesies sponges, 682 spesien rumput laut (seaweed), 2.500 spesies moluska, 1.502
spesies krustasea, 745 spesies ekinodermata, 6 spesies penyu, 29 spesies paus dan dolphin, 1
spesies dugong dan lebih dari 2.000 spesies ikan hidup (Dahuri 2003).
Struktur Komponen Bisnis Perikanan Tangkap : terdiri dari resource base, industri primer,
pengolahan dan perdagangan (trade) dan komponen pendukung (supporting services).
Ringkasan
• Kompleksitas industri perikanan tangkap menyebabkan rezim tatakelola perikanan sangat
mahal tergantung dari tipe pengelolaan yang diimplementasikan, biaya dari mulai riset,
pengelolaan enforcement, monitoring, control dan surveillance mencapai 1 samai 14% dari
nilai landings (Schrank, Arnason, and Hannesson 2003; Kelleher 2002).
• Sunken Billions report (World Bank and FAO 2009), menyatakan hanya sebagian kecil
dari biaya ini berasal dari nelayan, sebagian besar dari public sector, sementara benefits
terkonsentrasi pada nelayan, yang relative lebih sedikit.
• Science based management tetap menjadi utama.
• Mengelola SDA lebih pada mengelola masyarakat yang memanfaatkan SDA, karena ada
masalah “equity” yang harus diselesaikan.
• Pengelolaan bersifat path depencence : menangani sumber daya 9stock assessment; stock
valuation) dan penanganan input ekstraksi sdi (capital, nelayan, kapal, dlsb).
• Fokus pada permasalahan yang ada ( real problem) : inefisiensi, irrasioanal, use, area based.
• 3 rezim pengelolaan penting : scientific of the stock, limiting fishing pressure, and
enforcing regulations.
• Aturan-aturan pengelolaan perikanan kelautan diikuti dengan pengelolaan sisi sosial
ekonomi masyarakat.
• Pengembangan instrumen ekonomi dan sosial dalam pengelolaan sumber daya perikanan
dan kelautan.
• Remember Murphy’ Law.