Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dunia, menurut perkiraan WHO, 80% orang yang mengalami masalah

gangguan pendengaran tinggal di negara berkembang. Pada tahun 1995 terdapat

120 juta penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta

orang. Pada tahun 2005, WHO memperkirakan terdapat 278 juta orang menderita

gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara.

Jumlah orang diseluruh dunia dengan semua tingkat gangguan pendengaran

meningkat terutama disebabkan meningkatnya populasi global dan usia harapan

hidup. Persentase prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk

secara umum bervariasi dari minimal 4,2% di Indonesia hingga 9% di Sri Lanka,

13,3% di Thailand dan 16,6% di Nepal. Berdasarkan angka-angka diatas,

terdapat lebih dari pada 100 juta orang yang menderita masalah ketulian dan

gangguan pendengaran di kawasan Asia Timur.

Menurut WHO, penyakit tidak menular merupakan salah satu jenis

penyakit yang paling berbahaya. Obstruksi paru dan asma merupakan salah satu

dari empat penyakit tidak menular paling mematikan didunia. ( Riskesdas, 2013).

International Labour Organization (ILO) tahun 2005 memperkirakan

insidn rata-rata penyakit paru akibat kerja sekitar satu kasus per 1000 pekerja

setiap tahun. Data WHO, menunjukan bahwa pada Negara berkembang


2

setidaknya ada 400 sampai dengan 500 juta orang terserang penyakit pernapasan

dari akut sampai kronis (Sholiah dan Tualeka, 2015:2), Nasional Institute For

Occupational Safety And Health (NIOSH) Memperkirakan bahwa angka kematian

yang terkait dengan penyakit paru akibat kerja sekitar 70% dari total kematian

akibat kerja.

Upaya bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional yang meliputi

aspek keamanan dan aspek kesejahteraan, telah dilaksanakan rangkaian

pembangunan nasional yang terencana, bertahap dan terpadu. Pelaksanaan

pembangunan nasional bagi suatu Negara kepulauan yang terdiri atas 13.677

pulau besar dan kecil dengan 2/3 wilayahnya adalah laut mengharuskan pula

tersedianya tenaga kerja matra laut. Di lain pihak, kepentingan bangsa Indonesia

di laut nusantara adalah pemanfaatan laut nusantara sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Pemanfaatan ini telah terlihat

dengan laju pertumbuhan ekonomi dewasa ini yang memungkinkan

berkembangnya kegiatan eksplorasi kekayaan laut.

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat antara lain;

penangkapan ikan, lobster, teripang, dan mutiara. Kegiatan tersebut dilakukan

dengan melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh meter di bawah

laut, karena lobster, teripang, dan mutiara banyak terdapat di dasar laut.

Penyelaman ini banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir karena ikan jenis

tertentu, lobster, teripang dan mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup

tinggi. Penyelaman pada kedalaman lebih dari 20 meter mempunyai resiko yang

cukup besar terhadap keselamatan dan kesehatan penyelam. Oleh karena itu
3

penyelaman harus dilakukan dengan syarat tertentu dan menggunakan alat selam

yang memenuhi standar (Scuba). Pekerjaan sebagai penyeam tradisional memiiki

tingkat resiko yang sangat tinggi. Resiko pekerjaan dalam penyelaman sangat

bervariasi tergantung pada jenis peneyelam yang dilakukan. Terdapat beberapa

jenis peyelaman yang biasa dilakukan oleh nelayan yakni penyelaman dengan

menggunakan kompresor sebagai suplai udara, penyelaman tahan nafas dan

sedikit yang melakukan penyelaman dengan scuba (Indriani P. 2013).

Sesuai dengan perkembangan jaman, cara kerja nelayanpun berkembang

yang semula hanya bekerja dipermukaan laut, sekarang banyak yang bekerja

didalam laut bahkan sampai pada dasar laut untuk mendapatkan hasil yang lebih

banyak seperti mencari teripang atau kerang mutiara (Tuti Ekawati, 2016)

Kompresor sebagai alat bantu bernapas di dalam air, dipasang selang (warna

kuning) sepanjang 50-75 meter yang disambungkan salah satu ujungnya ke

saluran udara (Output Pipe) kompresor ban tersebut. Di ujung satunya dipasang

regulator yang akan membantu nelayan untuk menghirup udara yang berasal dari

selang tersebut melalui mulutnya. Di satu kompresor bisa terpasang sampai 4

buah selang. Selang-selang tersebut selanjutnya diikatkan ke tubuh penyelam,

biasanya di bagian pinggang. Tujuannya adalah agar tidak terbawa arus yang bisa

melepaskan regulator dari mulut penyelam. Akibat ikatan yang erat ke tubuh

penyelam, aliran udara akan terhambat sehingga udara yang dihirup oleh

penyelam sebagian besar berasal dari gelembung-gelembung air yang keluar dari

selang yang terhambat tadi. Jika terjadi sesuatu hal seperti mesin kompresor mati

mendadak atau kehabisan bahan bakar, seorang penjaga (Operator) di atas perahu
4

tidak punya pilihan selain harus segera menarik selang dan penyelamnya ke

permukaan. Pada titik inilah sering terjadi kasus dekompresi dan kecelakaan

penyelaman karena penyelam tidak punya kesempatan untuk melakukan

decompression stop, sebuah istilah penyelaman yang artinya berhenti di

kedalaman tertentu untuk mengeluarkan gas-gas terlarut dari dalam tubuh

penyelam dalam perjalanan menuju permukaan air. Kondisi ini diperburuk dengan

tidak adanya jam tangan atau alat penunjuk kedalaman yang merupakan syarat

standar dalam penyelaman, juga pelatihan yang memadai tentang melakukan

penyelaman yang sehat dan aman, antara lain bagaimana merencanakan

penyelaman dan melakukan stop untuk dekompresi.

Penyelam tradisional merupakan penyelam yang belajar menyelam secara

alami dari keluarga maupun teman-temannya. Mereka tidak terdidik untuk

menyelam dengan baik dan hanya menyelam dengan peralatan sederhana

(Yulianto, et al. 2014).

Para penyelam tradisional ini tidak mengikuti Standar Operational Prosedur

Penyelaman yang tertera pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia No. KEP.56/MEN/III/2009 tentang Penetapan Standar

Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan

Wisata Selam. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya perhatian dan dukungan

pemerintah dalam hal mengantisipasi dan mencegah terjadinya risiko menyelam

pada pekerja sektor non formal yang tergolong Underserved Working Population

yaitu populasi yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai

(Kementrans, 2009).
5

Menurut Kemenkes resiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan

dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengenai penyakit dan kecelakaan

yang terjadi pada nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan bahwa

sejumblah nelayan di pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat menderita nyeri

persendian ( 57,5%) dan gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%).

Sedangkan, nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengalami kasus

barotrauma (41,37%) dan kelaianan dekompresi (6,91%) (Kemenkes, 2014).

Puluhan warga kelurahan Pulau Barang Lompo, kecamatan Ujung Tanah,

Makasar, Sulawesi Selatan terserang penyakit lumpuh akibat menyelam.

Kurangnya kesadaran menggunakan alat pengaman saat menyelam diduga

menjadi penyebab kelumpuhan. Berdasarkan data puskesmas setempat, penyakit

yang menyerang warga pulau ini terjadi sejak tahun 2000 yang lalu. Hingga tahun

2006, warga yang lumpuh mencapai 60 orang dan 13 diantaranya meninggal

dunia. Jumlah ini setiap bulan meningkat bahkan tahun ini tercatat 30 orang dan 2

diantaranya meninggal dunia. Kepala Puskesmas pembantu Pulau Barang lompo,

mengatakan penderita lumpuh kebanyakan nelayan pencari teripang dan warga

yang menderita kelumpuhan akibat menyelam dengan tidak menggunakan alat

selam sesuai standar. Para nelayan ini pada umumnya hanya memakai selang

udara yang disambung ke mesin pemompa udara (kompresor) sebagai alat bantu

pernapasan selama berada di bawah laut. (Rauf, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya di

Desa Boring Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara diperoleh hasil yakni

penyelam yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 72,72% dan sisanya


6

27,27% yang tidak mengalami gangguan pendengaran (Darryl Virgiawan Tanod,

2007). Studi observasional pada penyelam tradisonal suku Bajo, Kabupaten Bone

Sulawesi Selatan menemukan dari 47 penyelam, terdapat 23 penyelam atau

sekitar 49,15% menderita gangguan pendengaran (Thiritz & Kadir dalam Wahyu

2012), (DinKes, Makassar. 2013)

Dusun luhulama merupakan daerah pesisir yang berada di Kecamatan

Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat yang tepatnya di daerah negeri Iha.

Kehidupan masyarakat didaerah pesisir tersebut banyak bergantung pada laut

(nelayan), walaupun tidak dipungkiri sebagian kecil dari masyarakat tersebut

masih juga bercocok tanam.

Dari hasi survey data penyakit berdasarkan Pelayanan Kesehatan

(Puskesmas) setempat yang di lakukan peneliti di Desa Iha Dusun Luhu Lama

Kecamatan Huamual Kabupaten Seram bagian barat Pada Tahun 2013-2014 yang

mengalami gangguan pada pendengaran sebanyak 22,3%, nyeri pada persendian

22,7%, pandangan mata kabur sebanyak 30% dan gatal-gatal pada kulit 25%.

Sedangkan pada Tahun 2015-2017 yang mengalami gangguan pada

pernapasan 17,10%, kelelahan pada persendian atau keram pada kaki 20%, nyeri

pada tulang pinggang 24,5% dan pusing sebanyak 30,5%.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap beberapa

penyelam tradisional tentang gangguang kesehatan menyatakan bahwa terdapat

beberapa keluhan sakit seperti gangguan pada pendengaran, gangguan pada

pernapasan dan keluhan pada sistem motorik seperti susah berjalan, keram pada

kaki, hal ini dirasakan sebelum dan sesudah melakukan penyelaman, namun tidak
7

mendapatkan penanganan serius seperti memeriksa atau berobat ke Puskesmas

dengan alasan, jarak antara rumah ke Puskesmas jauh dan dapat menyita waktu

istirahat mereka, penanganan yang mereka lakukan hanya sebatas membeli obat

di warung terdekat. Jika rasa keluhan sakit yang dirasakan berlanjut barulah

mereka melakukan pemeriksaan atau berobat ke Rumah Sakit atau Puskesmas.

(Sumber data, 2018).

Meihat masalah di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul “Gambaran Gangguan Kesehatan Pada Penyelam Tradisional Di Dusun

Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2018 “

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam peneitian

ini adalah “Gambaran Gangguan Kesehatan Pada Penyelam Tradisional Di

Dusun Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun

2018 “

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran gangguan kesehatan pada penyelam

tradisional di Dusun Luhulama Kec. Huamual Kab. Seram Bagian

Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran gangguan kesehatan pada penyelam

tradisional di Dusun Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten

Seram Bagian Barat.


8

b. Teridentifikasi gangguan kesehatan pada penyelam tradisional di

Dusun Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian

Barat.

c. Untuk mengetahui gambaran gangguan kesehatan pada penyelam

tradisional di Dusun Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten

Seram Bagian Barat.

d. Di ketahui gambaran gangguan kesehatan pada penyelam

tradisional di Dusun Luhulama Kecamatan Huamual Kabupaten

Seram Bagian Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan

terhadap berbagai bidang kesehatan, khususnya dalam bidang kesehatan

dan keselamatan kerja serta informasi untuk para nelayan penyelam

tradisional didaerah daaerah jauh atau terpencil.

1.4.2 Manfaat Praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para penyelam

khususnya penyelam tradisional untuk lebih mengetahui gangguang

kesehatan serta kecelakaan yang terjadi serta mengetahui teknik atau

cara yang tepat dalam mencegah serta mengurangi resiko kecelakaan

atau gangguang kesehatan akibat penyelaman.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Konsep

2.1.1 Gambaran Umum Masyarakat Nelayan

Masyarakat merupakan komunitas yang mendiami wilayah

tertentu. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling

berinteraksi dan berhubungan serta memiliki nilai-nilai dan

kepercayaan yang kuat untuk mencapai tujuan dalam hidupnya.

Menurut Hassan Sadly, masyarakat dipahami sebagai suatu

golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia yang

dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh

mempengaruhi satu sama lain (Sadly, 1980). Masyarakat merupakan

sekumpulan individu-individu yang di dalamnya terdapat norma-norma

yang harus dijaga dan dijalankan.

Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian

utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Nelayan didalam

Ensiklopedi Indonesia dinyatakan sebagai orang-orang yang secara

aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan, baik secara langsung

maupun tidak langsung sebagai mata pencahariannya (Ensiklopedia

Ina, 1983). Nelayan merupakan suatu pekerjaan menangkap ikan di laut

yang dilakukan oleh seseorang. Kebanyakan orang yang bekerja

sebagai nelayan adalah masyarakat yang tinggal di desa pesisir.


10

Nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya

menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana,

mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu

atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan. Namun dalam

perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan sebagai seorang

yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa

kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai

anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat diartikan

sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan

keramba-keramba di pantai.

Masyarakat nelayan merupakan kumpulan orang-orang yang

bekerja mencari ikan di laut yang menggantungkan hidup terhadap hasil

laut yang tidak menentu dalam setiap harinya. Masyarakat nelayan

cenderung mempunyai sifat keras dan terbuka terhadap perubahan.

Sebagian besar masyarakat nelayan adalah masyarakat yang

mempunyai kesejahteraan rendah dan tidak menentu. Kesulitan

mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari membuat masyarakat nelayan

harus rela terlilit hutang dan menanggung hidup yang berat, mereka

tidak hanya berhutang kepada kerabat dekat, tetapi mereka juga

berhutang kepada tetangga dan teman mereka.

Menurut Raymond Firth (2014) karakteristik yang menandai

kehidupan nelayan miskin adalah :


11

1. Pendapatan nelayan bersifat harian dan tak menentu dalam setiap

harinya.

2. Rendahnya tingkat pendidikan para nelayan serta anak-anak dari

keluarga nelayan yang menyebabkan para nelayan tersebut sulit

untuk mendapatkan pekerjaan lain.

3. Sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan

menimbulkan ketergantungan yang besar bagi nelayan kepada

pedagang atau pengepul hasil tangkapan (produk).

4. Besarnya jumlah modal yang dikeluarkan dibidang usaha

perikanan, menyebabkan para nelayan lebih memilih bergerak di

bidang perikanan kecil-kecilan.

5. keluarga nelayan miskin umumnya sangat rentan dan mudah

terjerumus dalam perangkap utang yang merugikan.

Masyarakat nelayan umumnya masyarakat yang memiliki etos

kerja tinggi dan mempunyai sifat kekerabatan yang erat diantara

mereka. Masyarakat nelayan umumnya masyarakat yang kurang

berpendidikan (Suyanto,2013). Pekerjaan sebagai nelayan adalah

pekerjaan kasar yang banyak mengandalkan otot dan pengalaman,

sehingga untuk bekerja sebagai nelayan latar belakang pendidikan

memang tidak penting.

Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, ternyata bukan hanya

masyarakat yang sudah berumur lanjut, tetapi banyak masyarakat

generasi muda yang masih berumur 17-25 tahun juga sudah bekerja
12

sebagai nelayan (Karnaji, 2015). Umunya mereka adalah anak dari

keluarga nelayan yang ikut bekerja sebagai nelayan yang terkadang

masih duduk dibangku sekolah.

Secara sosial ekonomi, tingkat kehidupan nelayan khususnya

nelayan kecil tidak banyak berubah dari tahun ke tahun, tingkat

kesejahteraan mereka semakin merosot jika dibandingkan pada masa

masa tahun 1970-an (Kusnadi, 2013). Hal itu disebabkan karena

kondisi ikan diperairan laut Jawa umunya sudah mengalami over

exploited.

Komunitas desa pesisir, khususnya nelayan kecil pada dasarnya

adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung

pada hasil laut. Seperti juga pada masyarakat petani yang kehidupannya

tergantung pada irama musim, pasang surut kelangsungan hidup

keluarga nelayan kecil sangat dipengaruhi oleh musim panen dan

paceklik ikan. Saat kondisi laut sedang tak bersahabat dan ikan-ikan

cenderung bersembunyi di dasar laut, maka pada saat itu pula rizki

terasa seret dan keluarga-keluarga nelayan kecil kemudian harus hidup

serba irit, bahkan kekurangan.

2.1.2 Kehidupan Keluarga Nelayan Kecil

Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan sosial yang

membentuk masyarakat. Di dalam keluarga terdapat anggota-anggota

keluarga, seperti suami, istri, dan anak. Seperti halnya dengan

keluarga-keluarga pada umumnya, keluarga nelayan juga mempunyai


13

tanggungan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari anggota

keluarganya. Dalam keluarga, semua modal dan barang diatur oleh

kepala keluarga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan

bersama. Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan jenis

kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk kepentingan

bersama. Masing-masing anggota keluarga akan berkontribusi sesuai

dengan peran, tanggungjawab dan kemampuannya.

Nelayan kecil merupakan nelayan tradisional yang mencari ikan

di laut dengan menggunakan perahu kecil dan alat tangkap yang

sederhana dan tidak banyak tersentuh oleh teknologi canggih. Wilayah

peraian yang dapat diakses oleh nelayan kecil pun tidak sejauh nelayan

modern yang menggunakan banyak teknologi canggih, nelayan kecil

hanya mampu menjangkau perairan di pinggir-pinggir pantai saja,

berbeda dengan nelayan modern yang dapat menjakau perairan laut

sampai jauh di tengah-tengah laut. Berbeda dengan nelayan modern

yang acap kali mampu merespon perubahan dan lebih kenyal dalam

menyiasati kondisi over fishing, nelayan tradisional seringkali justru

mengalami proses marginalisasi dan menjadi korban dari

pembangunan dan modernisasi perikanan.

Dengan menggunakan alat tangkap yang sedikit dan teknologi

yang sederhana, nelayan kecil hanya mampu memperoleh hasil

tangkapan ikan dalam jumlah yang sedikit pula yang hanya cukup

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, itu pun saat cuaca dan kondisi
14

laut yang sedang bersahabat. Saat cuaca dan kondisi laut yang tidak

bersahabat, para nelayan kecil tidak dapat mencari ikan di laut dan hal

itu mengakibatkan nelayan kecil tidak dapat memperoleh penghasilan

sehingga keluarga nelayan kecil tidak dapat memenuhi kebutuhan

sehari- hari mereka, keadaan tersebut yang menjadikan keluarga

nelayan kecil hidup dalam keterbatasan ekonomi dan jauh dari

kesejahteraan.

Berbeda dengan keluarga nelayan modern atau juragan kapal yang

rata-rata hidup berkecukupan, keluarga nelayan kecil sering kali hidup

dengan kondisi serba pas-pasan. Keluarga nelayan kecil dituntut untuk

bertahan hidup dalam himpitan ekonomi yang melanda keluarga

mereka, disaat harga kebutuhan pokok yang setiap tahunnya naik, mau

tidak mau mereka harus tetap bisa membelinya demi kelangsungan

hidup anggota keluarga mereka, belum juga biaya pendidikan untuk

anak mereka yang harus mereka tanggung.

2.1.3 Tipologi Nelayan

Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam

golongan-golongan menurut kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam

tipologi masyarakat nelayan dapat dilihat berdasarkan tiga sudut

pandang, yaitu : (Suyanto, 2013).

a. Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap

yang dimiliki nelayan. Dalam sudut pandang ini, nelayan bisa

dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan nelayan yang


15

mempunyai alat-alat produksi sendiri (pemilik alat produksi) dan

golongan nelayan yang tidak mempunyai alat-alat produksi

sendiri (nelayan buruh), dalam hal ini nelayan buruh hanya dapat

menyumbang jasa tenaganya dalam kegiatan menangkap ikan

serta mendapatkan upah yang lebih kecil dari pada nelayan

pemilik alat produksi.

b. Dari segi skala investasi modal usahanya. Nelayan yang di

pandang dari sudut pandang ini dapat di golongkan menjadi dua

tipe, yaitu nelayan besar yang memberikan modal investasi

dengan jumlah yang banyak untuk kegiatan menangkap ikan dan

nelayan kecil yang hanya bisa memberikan modal investasinya

dengan jumlah yang sedikit.

c. Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap ikan

Berdasarkan teknologi peralatan tangkap ikan, nelayan dapat

dibedakan menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional.

Nelayan modern cenderung lebih menggunakan teknologi

canggih dan berpendapatan lebih besar dibandingkan dengan

nelayan tradisional, ini dikarenakan nelayan modern wilayah

produksinya dapat menjakau perairan yang lebih jauh.

Arif Satria menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan

yang dilihat dari kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik

hubungan produksi. Keempat tingkatan nelayan tersebut adalah :


16

1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten).

Nelayan ini masih menggunakan alat tangkap yang tradisional,

seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih

melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

2. Post-peasant fisher, dicirikan dengan penggunaan teknologi

penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau

kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin

membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di

wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari

hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.

Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir.

Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu,

tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak bergantung

pada anggota keluarga saja.

3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada

peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang

dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status

yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang

digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian

tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan

cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri dinegara-


17

negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan

pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik

untuk pemilik maupun awak perahu, dan menghasilkan untuk

ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor (Satria,

2013).

2.1.4 Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan merupakan salah satu penyakit sosial yang ada

dimasyarakat yang sampai saat ini sulit untuk mengatasinya.

Kemiskinan secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa

pengertian. Di mata sebagian ahli, kemiskinan acap kali didefinisikan

semata hanya sebagai fenomena yang ekonomi, dalam arti rendahnya

penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup

mapan untuk tempat bergantung hidup (Mubyarto, 2013).

Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan seseorang

untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.Menurut Levitan,

kemiskinan di definisikan sebagai suatu keadaan kekurangan barang-

barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai

standar hidup yang layak (Suyanto, 2015)

Kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kurangya

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar

hidup layak, namun lebih dari itu esensi kemiskinan adalah

menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga


18

miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta

taraf kehidupannya.

Secara garis besar, kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolute (Suyanto, 2015).

Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dinyatakan dengan berapa

persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok

penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibandingkan dengan

proporsisi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok

penduduk dengan kelas pendapatan lainnya. Sedangkan kemiskinan

absolut diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan

absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya, seperti; sandang, pangan, pemukiman, kesehatan, dan

pendidikan.

Kehidupan keluarga nelayan khusunya nelayan kecil tidak bisa

dipisahkan dengan kemiskinan. Sangat rendahnya tingkat

kesejahteraan karena pendapatan yang tidak menentu setiap harinya

dan hanya menggantungkan hidupnya terhadap hasil laut

menyebabkan mereka digolongkan ke dalam masyarakat miskin.

Menurut kusnadi kemiskinan yang diderita masyarakat nelayan itu

bersumber dari dua hal: pertama, faktor alamiah, yaitu faktor yang

berhubungan dengan Fluktuasi musim ikan, saat musim ikan banyak

maka pndapatan yang diperoleh para nelayan bisa terjamin, sebaliknya

apabila saat tidak musim ikan para nelayan akan mengalami kesulitan
19

mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, dan keadaan itu terus

dialami oleh para nelayan dalam setiap tahunnya. Kedua, faktor non

alamiah, faktor ini berhungan dengan keterbatasan daya jangkau

teknologi penangkapan, ketimpangan dalam pranata bagi hasil,

ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan

yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi

pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya

peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumah tangga nelayan

(Suyanto 2015). Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh

terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan

rumahtangga nelayan ke dalam lingkaran kekurangan.

2.2 Teori Umum

2.2.1 Pengertian Nelayan

Memberikan definisi terhadap nelayan bukanlah merupakan

pekerjaan yang mudah mengingat ada beberapa aspek yang harus

diperhatikan, seperti apakah definisi nelayan tersebut mengacu kepada

pekerjaan, tempat tinggal ataupun status pekerjaan (Mulyadi S, 2015).

Pengertian nelayan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah orang atau masyarakat yang mata pencarian utamanya adalah

menangkap ikan (http://kbbi.web.id/nelayan, dipaeroleh tanggal 2

Agustus 2018). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang

No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan didefinisikan sebagai

orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan.


20

Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan

menjadi tiga kelompok, yaitu (1) nelayan buruh, (2) nelayan juragan,

dan (3) nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja

dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan

adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang

lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki

peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan

orang lain ((Mulyadi S, 2015).

Berdasarkan penggolongan sosialnya nelayan dapat dilihat dari tiga

sudut pandang, yaitu : Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi

atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan lainnya),

struktur masyarakat ini terbagi menjadi kategori nelayan pemilik (alat-

alat produksi) dan nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan

dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya

menyumbangkan jasa tenanganya dengan memperoleh hak-hak yang

sangat terbatas. Kedua, dari skala investasi modal usahanya, struktur

masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan besar di mana jumlah

modal yang diinventasikan dalam usaha perikanan relative banyak, dan

nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dari tingkat teknologi peralatan

tangkap ikan, yang terbagi menjadi modern yaitu nelayan yang

menggunakan teknologi penangkpan yang lebih canggih dari nelayan

tradisional (Suyanto, 2013).


21

Kemudian dari perbedaan sumber daya, latar belakang sampai

ekonomi membuat Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori

menurut kepemilikan kapalnya yaitu:

1. Nelayan pemilik, nelayan yang memiliki kapal perahu atau kapal

penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut

untuk memperoleh hasil laut.

2. Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi

ia tidak memiliki kapal.

3. Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki faktor produksi

tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan.

2.2.2 Nelayan Tradisional

Di lingkungan masyarakat pesisir, nelayan tradisional adalah

kelompok yang paling menderita, miskin dan acapkali merupakan

korban proses marginalisasi akibat kebijakan modernisasi perikanan.

Secara umum, yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang

memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap

tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang

relatif sederhana. Nelayan tradisional juga diartikan sebagai orang

yang bergerak di sector kelautan dengan menggunakan perahu layar

tanpa motor, sedangkan mereka yang menggunakan mesin atau perahu

motor merupakan nelayan modern ((Suyanto, 2013).

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Asri. Untuk menjawab

pertanyaan klasifikasi nelayan tradisional dan modern, Asri membuat


22

dua kemungkinan jawaban, yaitu nelayan yang muncul akibat dari

kegiatan warisan turun temurun dan nelayan yang tumbuh didasarkan

pada pertimbangan ekonomis semata. Kalangan nelayan pertama

adalah yang termasuk ke dalam kategori nelayan tradisional. Dengan

demikian, kategori sebagai nelayan tradisional menurut Asri, tidak saja

mengacu kepada alat atau teknologi yang dipergunakan untuk

menangkap ikan, tetapi juga adanya faktor kegiatan yang diwariskan

secara turun temurun oleh sang nelayan. Hal tersebut diperkuat dengan

adanya data bahwa sekitar 70% dari nelayan yang berusaha dengan

perahu tanpa motor adalah nelayan yang melakukan kegiatan

penangkapan ikan secara turun temurun. Artinya, Nelayan Tradisional

muncul sebagai kelanjutan dari usaha orang tua yang juga memiliki

kegiatan utama sebagai nelayan (Asri,2015).

Kemudian menurut Sawit dan Sumiono, nelayan tradisional

adalah nelayan skala kecil yang mempunyai ciri-ciri: (1) kegiatan lebih

padat kerja (labour intensive) dengan alat tangkap sederhana, (2)

teknologi penangkapan atau pengelolaan ikan masih sangat sederhana,

(3) tingkat pendidikan dan keterampilan relatif rendah dan sederhana.

Berbeda hal dengan Rachmat Safa’at, nelayan tradisional adalah

nelayan yang menggunakan perahu layar tradisional tak bermotor

maupun bermotor tempel, menggunakan peralatan tangkap yang masih

tradisional seperti jaring, pancing, petorosan, atau toros, dan lain

sebagainya. Sawit dan Sumiono (dalam Safa’at, 2016).


23

1. Sejarah Nelayan Tradisional di Indonesia

Awal mula kemunculan Nelayan Tradisional di berbagai

daerah di Indonesia ditandai dengan adanya organisasi nelayan

tingkat lokal, seperti misalnya Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN)

Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan, Solidaritas Nelayan

Kabupaten Bengkalis (SNKB), Forum Komunikasi Nelayan

Jakarta (FKNJ). Bahkan organisasi nelayan tradisional yang

dibentuk di jaman orde baru lebih dikenal sebagai organisasi yang

mengerjakan program-program bantuan pemerintah khususnya dari

Departemen Kelautan dan Perikanan (http://knti.or.id/sejarah/, 1,

diperoleh tanggal 03 Agustus 2018).

Kemudian muncul ancaman dari disahkannya Keputusan

Menteri Nomor 06 tahun 2008 yang memperbolehkan penggunaan

jaring trawl/pukat harimau/pukat hela beroperasi di perairan

Kalimantan Timur bagian Utara. Sehingga bagi nelayan tradisional

hal ini akan menjadi kemunduran pengelolaan laut serta sumber-

sumber agraria di dalamnya. Maka pada awal tahun 2008 berbagai

perwakilan organisasi nelayan lokal melakukan pertemuan di

Jakarta dan mendeklarasikan terbentuknya KPNNI (Komite

Persiapan Organisasi Nelayan Nasional). KPNNI yang akan

mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi nelayan tingkat

Nasional. Kemudian pada Tanggal 11-12 Mei 2009 di Manado

berlangsunglah Kongres Nelayan Tradisional Indonesia I


24

bertepatan dengan kegiatan World Ocean Conference (WOC)

Dalam kongres tersebut disepakati bahwa nama organisasi nelayan

saat itu yang berlaku sampai sekarang yakni KNTI (Kesatuan

Nelayan Tradisional Indonesia).

2. Penyebaran Nelayan Tradisional di Kepulauan Indonesia

Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari

17.000 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan

banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis

pantai yang panjangnya sejauh 81.000 km dan merupakan salah

satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai

yang panjang menguntungkan bagi Negara itu, batas-batas wilayah

laut di Indonesia harus diakui oleh dunia Internasional (Erika J.,

2014:79).

Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara kepulauan

adalah Negara-Negara yang seluruhnya terdiri dari suatu atau lebih

kepulauan. Adapun yang dimaksud dengan kepulauan ialah

sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (inter-

connecting waters), dan karakteristik ilmiah lainnya dalam

pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk satuan

instrinsik geografi, ekonomi, dan politis atau secara historis

memang dipandang demikian (Munavvar, 2013).

Negara kepulauan menarik garis pangkal (baseline) dengan

menggunakan metode garis pangkal kepulauan (archipelagic


25

baseline). Konsekuensi penarikan garis pangkal dengan cara

demikian adalah terjadinya perubahan status bagian-bagian laut

yang tadinya merupakan laut bebas menjadi laut wilayah Negara

Kepulauan tersebut dibarengi dengan berbagai pengaturan lain

yang memberikan jaminan terhadap hak lintas damai (right of

innocent passage)27 dan hak lintas melalui alur alur laut

kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage), bagi kapal

asing dalam laut pedalaman Negara kepulauan. Selain itu, Negara

kepulauan juga harus menghormati hak-hak penangkapan

tradisional dari Negara-Negara tetangga dan perjanjian-perjanjian

yang telah ada dengan Negara lain (Pasal 311 (2) UNLOS 1982).

Garis pangkal kepulauan juga cara formal diakui eksistensinya

dalam UNCLOS 1982, tegasnya dalam Bab/Bagian IV Pasal 46-

54, yang secara khusus mengatur tentang Negara kepulauan.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa garis pangkal

kepulauan ini khususnya hanya diterapkan oleh Negara kepulauan,

meskipun secara geografis Negara itu berbentuk kepulauan, maka

Negara yang demikian tidak menetapkan garis pangkal kepulauan.

Negara itu hanya bisa menerapkan garis pangkal normal dan garis

pangkal lurus dalam pengukuran lebar laut teritorial.

Tentang garis pangkal kepulauan secara khusus diatur dalam

Pasal 47 ayat 1-9 Ayat (1) UNLCOS 1982, menegaskan hak

Negara kepulauan untuk menetapkan garis pangkal kepulauan.


26

Selanjutnya ditegaskan tentang cara menarik menarik garis

pangkal kepulauan, yakni dengan menghubungkan titik-titik terluar

dari pulau-pulau terluar. Syarat garis lain adalah seperti yang

ditegaskan pada ayat (2) pada UNCLOS 1982, bahwa panjang

garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi dari 100 mil laut,

kecuali hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang

mengelilingi setiap kepulauan diperkenankan melebihi dari

panjang tersebut hingga pada panjang maksimum 125 mil laut.

Hal inilah yang menyebabkan banyaknya nelayan tradisional

yang tersebar di beberapa titik pulau Indonesia, seperti di Perairan

Laut antara Australia-Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia yang

bisa bebas menggunakan Hak tradisionalnya untuk menangkap

ikan. Hal ini pula masuk ke dalam wilayah Negara lain sesuai

dengan perjanjian bilateral yang telah dilakukan. Hal ini sesuai

dengan Pasal 47 ayat (6) dalam UNCLOS 1982 yang menegaskan

tentang perairan di Negara kepulauan yang terletak antara dua

bagian dari suatu Negara tetangganya yang secara langsung berada

dalam posisi berdampingan. Pada perairan kepulauan itu, Negara

tetangga memiliki hak-hak serta kepentingan-kepentingan lainnya

yang secara sah memang ada jauh sebelumnya, dan secara

tradisional dilaksanakan oleh Negara tetangga di dalam perairan

tersebut (Parthiana, 2014).


27

3. Karakteristik Sosial Nelayan Tradisional

Nelayan tradisional pada dasarnya adalah salah satu kelompok

masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi dan secara

sosial relatif paling tertinggal. Dari 200 nelayan tradisional yang

diteliti oleh Bagong Suyanto pada tahun 2004, hanya 1% yang

mengaku pernah kuliah, dan 12% mengaku berpendidikan SLTA.

Sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (60%),

dan bahkan 5% responden mengaku sama sekali tidak mengenal

bangku sekolah.Untuk bekal mencari ikan di laut, letar belakang

pendididikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena

pekerjaan sebagai nelayan sedikit-banyak merupakan pekerjaan

kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman,

maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan

mempengaruhi kecapakan mereka melaut.

4. Karakteristik Ekonomi Nelayan Tradisional

Komunitas desa pantai, khususnya nelayan tradisional pada

dasarnya adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat

bergantung pada hasil laut. Seperti juga masyarakat pantai yang

kehidupannya tergantung pada irama musim, pasang surut

kelangsungan hidup keluarga nelayan tradisional sangat

dipengaruhi musim panen dan paceklik ikan.

Bagi nelayan tradisional jelas tidak memiliki alat tangkap ikan

yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka semakin


28

terburuk tatkala sumber daya laut semakin langka. Studi yang

dilakukan Suyanto dkk (2004) menyatakan bahwa Nelayan

tradisional dikatakan kelompok masyarakat paling miskin dan

tidak berdaya karena mereka rawan menjadi eksploitasi para

tengkulak dan pengijon dan pendapatan perbulannya hanya

berkisar 250-500 ribu dengan jumlah anak 2-3 orang. Seseorang

yang bekerja sebagai nelayan tradisional, kondisi ekonominya bisa

dipastikan kurang lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya

bedanya buruh nelayan berpenghasilan kecil karena sistem bagi

hasil yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan

mereka pas-pasan karena jumlah tangkapan yang relatif sedikit.

(diperoleh tanggal 03 Agustus 2018).

2.3. Gambaran tentang gangguann kesehatan pada nelayan penyelam

tradisional.

Resiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan dalam upaya

memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat melakukan penyelaman seringkali

terjadi kecelakaan, dimana nelayan tidak segera mendapat pertolongan yang

mengakibatkan kelumpuhan, bahkan kematian (kemenkes 2013).

2.3.1. Gangguan kesehatan pada nelayan

Gangguan kesehatan pada nelayan yang umumnya terjadi adalah

kurangnya periaku hidup bersih sehat masyarakat selain itu, mayoritas

masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan membangun rumah di


29

pesisir pantai sehinnga tidak memilik septic tank dan limbaah

langsung di buang ke laut.

1.3 Penyakit nelayan

- Barotrauma

Merupakan padanan dari baro dan trauma. Baro berararti

berhubungan dengan tekanan dan trauma bermakna cedera dari

padanan tersebut, secara sederhana barotrauma dapat di artikan

sebagai cedera ( pada telinga ) yang terjadi akibat (perubahan)

tekanan.

- Pterigium

adalah gangguan mata akibat adanya selaput lendir yang

menutupi bagian putih mata. Penyakit mata ini sering terjadi

akibat terpapar radiasi sinar matahari. Gejalanya bisa meliputi

mata merah, pandangan mata kabur, serta mata yang terasa

gatal atau panas.

- Derrmatitis kontak

Merupakan penyakit yang berpotensi terjadi pada nelayan

karna sering berkontak dengan air dan binatang laut.


30

2.3.2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan

kesehatan pada penyelam tradisional

a. Faktor individu

1. Umur

Menurut suyono,2014 umur merupakan variable yang

penting dalam hal terjadinya gangguan kesehatan salah

satunya adalah fungsi paru. Umur pertamakali menyelam

sangat mempengaruhi kesehatan seorang nelayan

penyelam tradisional, karena umur merupakan gambar

kesehatan yang dimiliki manusia. Penyelam yang masih

muda belum siap organ dan fungsi tubuhnya untuk

melakukan pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan

khusus.

2. Tingkat Pendidikan

Menurut penelitian Paskarini (2013), pendidikan tidak

memiliki pengaruh terhadap kejadian kecelakaan dan

pendarahan pada nelayan penyelam. Pendidikan yang

relatif rendah menyebabkan ketidaktahuan nelayan

terhadap resiko pemakaian kompresor, nelayan hanya

melihat bahwa pemakaian kompresor lebih aman dan lebih

baik. Selalin itu nelayan menyelam hanya tahu bahwa

dengan memakai kompresor, mereka dapat menyelam lebih


31

lama dan lebih dalam, sehingga akan mendapatkan hasil

lebih baik dan lebih banyak.

3. Masa kerja

Menurut penelitian Sukbar (2016), masa kerja

memiliki pengaruh terhadap kapasitas vital paru pada

nelayan penyelam. Nelayan penyelam dengan masa kerja

dari 5 tahun memiliki proporsi KVP retriksi yang tinggi

yaitu 57,5%. Hal ini disebabkan karena paparan factor

negative akibat penyelam dalam waktu lama dapat

menurunkan kesehatan paru dan berkontribusi terhadap

penurunan kapasitas vital paru. Masa kerja nelayan

penyelam tradisional terutama menyumbang kerusakan

kesehahtan paru secara kronis yang dapat menyebabkan

penurunan kapasitas vital paru. Hal ini disebabkan karena

penurunan baik cadangan inspirasi dan ekspirasi

pernapasan, sel paru yang berfungsi untuk meningkatkan

kesehatan paru terutama adalah sel alveolus dimana

didalam sel alveoli paru terdapat sel yang menghasilkan

surfaktan untuk melarutkan oksigen didalam tubuh

(Sukbar, 2016).

4. Kebiasaan Merokok

Asap rokok mengandung racun termasuk hydrogen

sianida, oksidanitrox, dan karbondioksida. Tingkat karbon


32

monoksida yang diperoleh pada penyelam angkatan laut

amerika adallah 20 ppm, sedangkan asap rokok

mengandung karbon monoksida sekitar 400-500 ppm.

Merokok memiliki pengaruh yang merugikan pada system

pernapasan dan kardiovaskuler. Merokok merupakan factor

lain yang secara langsung mempengaruhi kadar oksigen

darah dan menjadi factor resiko penyakit dekompresi pada

nelayan penyelam (Shillig, 1984).

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan

fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Kebiasaan

merokok akan mempercepat penurunan kesehatan paru.

Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun untuk non

perokok adalah 28,7 ml, untuk bebas perokok adalah 38,4

ml dan untuk perokok aktif adalah 41,7 ml (Muis dalam

Sukbar 2016).

Merokok sangat mempengaruhi kebersihan

mukosiliaris saluran pernapasan serta menbentuk sekresi

yang lebih kental dan lengket (Sabiston, 1995:88). Didalam

tubuh, rokok dapat meningkatkan sekresi mucus disaluran

napas dan memperlambat gerak silia yang terdapat

didinding saluran napas. Akibatnya kemampuan silia untuk

mengeluarkan benda asing dan mucus menjadi berkurang,

dinding saluran napas akan mengalami iritasi dan


33

menyebabkan gangguang dalam proses pengambilan udara

untuk bernapas. Paru-paru tidak dapat mengambil oksigen

yang diperlukan oleh tubuh secara maksimal dan kapasitas

paru-paru juga akan mengalami penurunan (Widodo dalam

putrid, 2015).

5. Riwayat Penyakit

Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas vital

paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat

berkurang akibat sakit (Ganong, 2013). Menurut Gayton

dan, 2018 penyakit yang dapat mempengaruhi kapasitas

paru meliputi emfisema paru kronik, pneumonia, atelektasi,

asma, tuberculosis, dan alvetis. Beberapa penyakit pada

jalan pernapasan antara lain, asma, bronchitis, kronik,

karsinoma bronkogenik dan bisinosis (Iksan, 2018).

Menurut penelitian Sudjono dan Nugraheni, pekerjaan

yang mempunyai riwayat penyakit paru mempunyai resiko

2 kali lebih besar untuk mengalami gangguan fungsi paru.

Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung

akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan

terlalu sedikit mengalami pertukaran udara, akibatnya akan

menurunkan kadar oksigen dalam darah.


34

b. Faktor Lingkungan

Menurut Ekawati (2005:17), kenyamanan nelayan penyelam

dalam melakukan pekerjaan penyelaman dipengaruhi oleh factor-

faktor dari luar penyelaman yang meliputi :

1. Tekanan Lingkungan Penyelam

Dalam lingkungan penyelaman terjadi perubahan tekanan

udara diluar tubuh pada saat penyelaman. Manusia menerima

tekanan udara sebesar 1 atmosfir dipermukaan, bila manusia

masuk ke air akan menerima tekanan lingkungan lebih besar.

Tekanan yang terdapat pada suatu titik didalam air

menunjukkan tekanan 1 atmosfir (Ekawati, 2015).

Menurut Gayton dan Hall (2014), efek penting dari

kedalaman ialah adanya kompresi gas sehingga volume

semakin kecil. Menurut Sukbar, et al., (2016), kedalamam

penyelam berisiko tinggi terhadap kejadian retriksi paru.

Kondisi retriksi diakibatkan karena kondisi kronis paru yang

terpapar oleh tekanan udara yang lebih tinggi dalam

kedalamamn lebih dari 30 meter telah menyebabkan kondisi

kerusakan pada alveolus paru.

2. Temperatur (Suhu)

Air merupakan penghantar (konduktor) panas yang buruk,

sehingga panas matahari dipermukaan tidak dihantarkan dengan


35

baik ke tempat yang lebih dalam, sehingga makin kedalam

menyelam makin dingin suhunya (Ekawati, 2015). Penurunan suhu

akan berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik berupa

peningkatan aliran darah dari perifer ke rongga dada sehingga

meningkatkan volume darah intratoraks sekitar 700 ml yang akan

menurunkan volume paru secara mekanis sekitar 300 ml dari

kapasitas vital yang mirip dengan pajanan suhu rendah. Penigkatan

tekanan PO2 dan PN2 didalam darah berhubungan dengan

penurunan cardiac ouput karena penurunan denyut jantung dan isi

sekuncup (Herman, 2014).

c. Faktor Pekerjaan

1. Jenis Penyelaman

Menurut Asyari (2014), menyelam memiliki beberapa teknik

yaitu :

- Penyelam tahan napas adalah penyelam tanpa alat bantu

pernapasan, penyelam hanya mengandalkan kemampuan

dalam menahan napas (Massi, 2015).

- Penyelam SCUBA adalah penyelamam yang memakai

peralatan yang memungkinkan penyelam bisa bernapas

dalam air (Abshor, 2016).

- Penyelamam dengan suplai udara dari permukaan

menggunakan alat-alat ringan, untuk penyelamam dangkal.


36

Penyelamam yang dilakukan mendapat suplai udara dari

udara yang dikompresi dari lokasi penyelamam.

2. Lama Penyelaman

Menurut Paskarini (2013), lama menyelam mempengaruhi

kejadian kecelakaan pada penyelam. Seorang penyelam yang

berada lama didalam laut menyebabkan sejumlah besar

nitrogen terlarut dalam tubuhnya. Jika tiba-tiba naik

kepermukaan laut, dapat timbul sejumlah gelembung

nitrogen yang cukup signifikan dalam cairan tubuhnya baik

didalam maupun diluar sel. Hal ini dapat menimbulkan

kerusakan hampir setiap tempat dalam tubuh.

3. Frekuensi Menyelam

Menurut Paskarini (2013), frekuensi menyelam memiliki

kecenderungan mempengaruhi kejadian kecelakaan dan

perdarahan pada nelayan penyelam. Dari hasil enelitian yang

dilakukan oleh Darryl (2015) pada nelayan tradisional di

minahasa utara, juga menunjukan bahwa barotraumas

terbanyak dialami oleh penyelam tradisional dengan frekuensi

penyelaman 5 sampai 7 kali seminggu.

4. Kecepatan Naik Kepermukaan

Menurut Ekawati (2015), kecepatan turun naik penyelaman

merupakan cara nelayan penyelam tradisional melakukan

ekuilisasi untuk menyamakan tekanan air disekitarnya. Dalam


37

kecepatan naik ke permukaan lebih banyak nelayan penyelam

tradisional melakukan perasaan yang penting cepat sampai ke

permukaan dibanding dengan yang melakukan secara perlahan

dengan tidak melampaui gelembung udara napas terkecil.

Sewaktu meyelam naik, tekanan akan berkurang dan terjadi

pengeluaran gas N2. Bila penyelaman naik perlahan,

pengeluaran gas N2 akan melalui paru. Bila penyelaman naik

terlalu cepat, disamping pengeluaran gas N2 melalui paru, gas

N2 keluar didalam jaringan atau cairan darah dalam bentuk

gelembung, hal ini disebut penyakit dekompresi (Paskarini

(2013).

5. Waktu Istirahat

Menurut Ekawati (2015), waktu istirahat di permukaan merupakan

perhitungan waktu sejenak nelayan penyelam tradisional naik ke

permukaan setelalh melakukan penyelaman pertama sampai

nelayan penyelam tradisional turun kembali pada penyelam

berikutnya. Waktu istirahat penyelam didasarkan pada perbandigan

kedalaman dan waktu pertama dengan kedalaman dan waktu

penyelam kedua. Menurut penelitian Gempp dan Blatteau pada

tahun 2006, penyelam yang dilakukan pada kedalaman 10-18

meter dengan durasi penyelaman 2 jam dan waktu istirahat

dipermukaan 5-6 menit akan mengalami gejala pusing, gangguan


38

visuall, sesak dada disertai dengan dyspnae dan wajah memerah

(Lemaitre, 2013).

2.3 Kerangkah Konsep

Vriabel Independen Variabel Dependen

Gambaran Gangguan
kesehatan

Gambar 2.3 kerangka konsep


39

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Deskriptif, Penelitian

Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,

suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pikiran, ataupun suatu kelas

peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah

untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang diselidiki. Dalam penlitian ini pendekatan yang di gunakan adalah

Survei sample yaitu di lakukan hanya pada sebagian kecil dari populasi.

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Dusun Luhulama Kecamatan

Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang telah di laksanakan pada bulan agustus 2018

sampai dengan bulan september 2018.

3.3. Populasi, Sampel, Dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang


40

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan (Sugiyono, 2012:80). Populasi dalam penelitian ini

adalah nelayan penyelam aktif yang ada di Dusun Luhulama, Negeri

Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat yang

berjumlah 80 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoadmodjo, 2010). Pada penelitian ini yang menjadi

sampel penelitian adalah nelayan tradisonal yang aktif dengan jumlah

40 orang.

3.3.3. Teknik pengambilan sampel

Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

Stratified Random Sampling adalah cara pengambilan sampel dengan

memperhatikan strata (tingkatan) di dalam populasi.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Independen

Variabel bebas (independen) adalah variabel yang menjadi

penyebab atau variabel yang mempengaruhi adanya atau timbulnya

perubahan variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian

ini adalah gambaran.

3.4.2. Variabel dependen

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang di

pengaruhi atau di kenal juga sebagai variabel yang menjadi akibat


41

karna adanya variabel independen. Variabel dalam penelitian ini

adalah gangguan kesehatan.

3.5. Defenisi Operasional

Tabel 3.1. Variabel dan definisi operasional.

n Variabel Defenisi operasional kategori Teknik Skala data


penelitian pengambilan
o data
1 Variabel
independen
Faktor Lama waktu hidup a. 15-24
individu sejak di lahirkan Tahun
a. Umur sampai di lakukannya b. 25-34
penelitian Tahun
c. 35-44
Tahun
d. 45-54 wawancara Ordinal
Tahun
e. > 55
Tahun

Lama seseorang a. ≤ 10
b. Masa kerja bekerja Tahun
sebagai nelayan b. 11-20
penyelam dalam satu Tahun
tahun > 20 Tahun

c. Riwayat Kondisi penyakit a. ada


penyakit responden dapat b. Tidak ada
mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
2 Variabel
dependen
Gangguan Ketidaknormalan atau a. Ada Wawancara Ordinal
kesehatan kelainan yang terjadi b. Tidak ada
pada kondisi tubuh
seseorang
42

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa

angket atau kuisioner yang dibuat sendiri oleh peneliti. “Instrumen

penelitian adalah suatu alat pengumpul data yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati” Sugiyono (2014).

Dengan demikian, penggunaan instrumen penelitian yaitu untuk mencari

informasi yang lengkap mengenai suatu masalah, fenomena alam maupun

sosial. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

menghasilkan data yang akurat yaitu dengan menggunakan jenis instrumen

angket atau kuesioner.

3.7. Prosedur Pengumpulan Data

3.7.1. Data Primer

Data primer adalah data mentah yang diambil oleh peneliti sendiri

(bukan oleh orang lain) dari sumber utama melalui wawancara,

kuesioner, dokumentasi dan observasi guna kepentingan penelitian

(Juliandi 2014). Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui

wawancara terkait gangguan kesehatan yang dialami oleh nelayan

penyelam tradisional. Data primer meliputi data hasil wawancara

langsung dengan nelayan penyelam tradisional yang berada di dusun

luhulama.
43

3.7.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang sudah tersedia yang dikutip oleh

peneliti guna kepentingan penelitian (Juliandi 2014). Data sekunder

dalam penelitian ini meliputi data tertulis Kepala Dusun luhulama

terkait jumlah nelayan penyelam yang berada di dusun luhulama.

3.8. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan menggunakan analisis univariat

bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap

variabel penelitian (Notoatmodjo, 2013). Dalam penelitian ini variabel yang

akan dianalisis secara deskriptif adalah faktor individu (umur, masa kerja

dan riwayat kesehatan).

3.9. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti membuat formulir izin tertulis yang

ditandatangani oleh responden sebelum mereka terlibat dalam penelitian.

Formulir ini menjelaskan bahwa hak-hak responden akan dijaga selama

pengumpulan data. Dalam melakukan penelitian, peneliti harus memperhatikan

masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Lembar persetujuan responden

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang diteliti dalam

bentuk lembar persetujuan, dimana jika responden tidak setuju maka tidak

akan dipaksa sebagai responden. Pada lembar persetujuan ini peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Serta

dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data, bila
44

responden menolak maka peneliti akan menghormati hak-hak responden.

2. Kerahasiaan nama

Masalah etika penelitian merupakan yang memberikan jaminan dalam

penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama, hal ini untuk menjaga kerahasiaan responden,

peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan

data, tetapi dalam bentuk kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Kerahasiaan

Masalah merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkann dijamin kerahasiaan

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil penelitian.
45

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran umum lokasi penelitian

Dusun Luhulama merupakann salah satu dusun yang terletak di

Negeri Iha Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat.

Secara letak geografis batas wilayah dusun Luhulama Kecamatan

Huamual Kabupaten Seram Bagian barat dengan batas wilayah

yaitu :

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Dusun Amaholu

Sebelah Timur : Berbatasan dengan laut Seram

Sebelah Selatam : Berbatasan dengn Dusun Warau

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Iha


46

4.1.2. Hasil

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Pada table 1.1 responden pada kelompok umur 55

sampai dengan 60 tahun sebanyak (35%), kelompok umur

50 sampai dengan 54 tahun sebanyak (32,5%), dan

kelompok umur 45 sampai dengan 49 sebanyak (20%), serta

kelompok umur 60 tahun keatas sebanyak (5%). Data

selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Distribusi responden menurut umur, September 2018.


No Variabel (N) %
1 35 – 40 Tahun 0 0
2 45 - 49 Tahun 8 20
3 50 – 54 Tahun 13 32,5
4 55 – 60 Tahun 14 35
5 >60 Tahun 5 12,5
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

b. Pendidikan

Berdasarkan tabel 1.2 responden yang berpendidikan

tingkat menengah sebanyak 11 orang sebanyak (27,5%),

berpendidikan tingkat atas sebanyak (10%), berpendidikkan

dasar sebanyak (45%), dan rendah (tidak sekolah, tidak

tamat SD). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.
47

Tabel 1.2 Distribusi responden menurut Pendidikan, September 2018.


No Variabel (N) %
1 Tidak sekolah 2 5
2 Tidak tamat SD 5 12,5
3 SD 18 45
4 SLTP 11 27,5
5 SLTA 4 10
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

c. Masa kerja

Dari 40 responden yang menjadi objek penelitian ada

15 responden yang masa kerjanya selama 30 sampai dengan

35 tahun dengan persentase sebesar (37,5%), 12 responden

dengan masa kerja selama 25 sampai dengan 29 tahun

sebanyak (30%). Distribusi reponden dengan masa kerja

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.3 Distribusi responden menurut masa kerja, September 2018.


No Variabel (N) %
1 10 - 20 Tahun 6 15
2 20 - 25 Tahun 3 7,5
3 25 - 30 Tahun 12 30
4 30 - 35 Tahun 15 37,5
5 >35 Tahun 4 10
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

4.1.3. Aktifitas Penyelaman


48

a. Alat selam

Berdasarkan objek yang diteliti sebagian besar responden (para

nelayan) melakuakkan penyelaman tanpa menggunakan alat

(manual), sebanyak 38 orang tidak menggunakan alat selam

dengan persentase (95%), dan 2 orang yang menggunakkan alat

selam (kompresor) dengan persentase (5%). Distribusi reponden

dengan alat selam dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.4 Distribusi responden menurut alat selam yang digunakan,


September 2018.
No Variabel (N) %
1 Tanpa Alat 38 95
2 Kompresor 2 5
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

b. Lama Menyelam

Ada 17 responden yang lama menyelamnya selama 5 sampai

dengan 8 menit dengan persentase sebesar (42,5%), 23

responden dengan lam menyelam selama lebih dari 8 menit

dengan persentase sebesar (57,5%). Data selengkapnya dapat

dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.5 Distribusi responden menurut lama menyelam, September 2018.


No Variabel (N) %
1 <5 Menit 0 0
2 5 – 8 Menit 17 42,5
3 >8 Menit 23 57,5
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018


49

c. Kedalamam Menyelam

Dari keseluruhan responden yang melakukan penyelaman,

masing-masing responden memiliki kedalaman menyelam yang

berbeda-beda, 26 responden menyelam dengan mencapai 5-8

meter dengan persetase sebesar (65%) , 12 responden dengan

kedalaman mencapai kurang dari 5 meter dengan persentase

sebesar (30%). Data dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.6 Distribusi menurut kedalaman menyelam, September 2018.


No Variabel (N) %
1 <5 Meter 12 30
2 5– 8 Meter 26 65
3 >10 Meter 2 5
Total 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

4.1.4. Analisis Univariat

Tabel 1.7 Gambaran gangguan kesehatan pada responden tahun 2018.

No Jenis gangguan kesehatan (N) (%)


1 Pendarahan 8 20
2 Tuli 5 12,5
3 Pusing 11 27,5
4 Nyeri pada persendian 4 10
5 Kelelahan persendian 3 7,5
6 Gatal-gatal 2 5
7 Pandangan mata kabur 3 7,5
8 Nyeri pada tulang pinggang 3 7,5
9 Kesulitan BAK 1 2,5
Jumlah 40 100

Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan hasil pada tabel 1.7 Seluruh responden (100%) pernah

mengalami gangguan kesehatan. Jenis gangguan kesehatan sangat


50

bervariasi dan sebagian besar responden mengalami gangguan kesehatan

lebih dari satu jenis gangguan. Gangguan yang paling banyak dirasakan

responden adalah pusing dan perdarahan.

Tabel 1.8 Distribusi respon responden tentang alat selam dan


gangguan kesehatan, September 2018.
Persentase
No kuisioner Kriteria
Ya Tidak
1 10 90
2 15 85
3 85 15 56,25
4 65 35
Nilai rata-rata 43,75 56,25 Tidak

Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan hasil pada tabel 1.9 diatas menunjukan bahwa seluruh

responden tidak mengetahui cara penggunaan alat selam dengan baik. Dari

jawaban responden yang menjawab tidak dengan persentase nilai rata-rata

sebesar (56,25%), sedangkan responden yang mengetahui atau menjawah

ya tentang gangguan kesehatan mencapai (43,75%).

4.2 Pembahasan

Dari 40 responden yang menjadi objek penelitian ada 15 responden yang

masa kerjanya selama 30 sampai dengan 35 tahun dengan persentase sebesar

(37,5%), 12 responden dengan masa kerja selama 25 sampai dengan 29 tahun

sebanyak (30%), Responden pada kelompok umur 55 sampai dengan 60 tahun

sebanyak (35%), kelompok umur 50 sampai dengan 54 tahun sebanyak

(32,5%), dan kelompok umur 45 sampai dengan 49 sebanyak (20%), serta

kelompok umur 60 tahun keatas sebanyak (5%).


51

Responden yang berpendidikan tingkat menengah sebanyak 11 orang

sebanyak (27,5%), berpendidikan tingkat atas sebanyak (10%),

berpendidikkan dasar sebanyak (45%), dan rendah (tidak sekolah, tidak tamat

SD).

Gangguan kesehatan (Perdarahan) hanya terjadi pada kelompok umur

dibawah 55 tahun. Responden dengan masa kerja diatas 20 tahun tidak

mengalami perdarahan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa masa kerja

tidak ada kecenderungan mempengaruhi kejadian perdarahan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darryl (2005) pada penyelam

tradisional di Minahasa Utara, menunjukkan bahwa gangguan pendengaran

banyak terdapat pada penyelam tradisional dengan masa kerja diatas 6 tahun.

Gangguan yang diakibatkan dari penyelaman, bukan hanya gangguan yang

langsung dirasakan sesaat setelah melakukan penyelaman tetapi juga

gangguan jangka panjang, yang dirasakan setelah beberapa tahun menjadi

penyelam. tradisional. Dari hasil penelitian yang dilakukan Kemal (2005)

pada penyelam tradisional di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi, menunjukkan

bahwa faktor cara dan kecepatan penyelam naik ke permukaan mempunyai

korelasi yang paling erat dengan terjadinya dekompresi pada penyelam

tradisional.

Responden yang tidak sekolah, tidak tamat SD dan SLTA seluruhnya

pernah mengalami gangguan kesehatan. Pada kelompok SD dan SLTP meski

tidak seluruhnya pernah mengalami kecelakaan tetapi persentase terjadinya

gangguan kesehatan cukup besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa


52

pendidikan tidak ada kecenderungan mempengaruhi kejadian gangguan

kesehatan pada penyelam tradisional.

Perdarahan terjadi pada responden yang tidak tamat SD. Pada kelompok

pendidikan lainnya ( SD, SLTP, SLTA ) persentase terjadinya perdarahan

tidak terlalu besar. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan tidak

ada kecenderungan mempengaruhi kejadian perdarahan (gangguan

Kesehatan).

Pendidikan responden yang memang relatif rendah mungkin

menyebabkan ketidaktahuan mereka terhadap resiko pemakaian kompresor

maupun tanpa bantuan alat. Mereka hanya melihat bahwa pemakaian tanpa

kompresor lebih aman dan lebih baik. Selain itu mereka hanya tahu bahwa

dengan tidak memakai kompresor, mereka dapat menyelam hanya dalam

waktu beberapa menit dan tidak terlalu dalam, berarti akan mendapatkan hasil

yang cukup dan bahkan tidak sama sekali. Mereka tidak melengkapi diri

dengan sarung tangan dan pelindung kaki agar tidak terkena goresan karang.

Mereka juga tidak tahu mengapa ada rekannya yang mengalami lumpuh, tuli

atau perdarahan. Bahkan ada yang menganggap peristiwa itu ada

hubungannya dengan magis.

Responden yang menyelam kurang dari 8 menit, 62,5%, mengalami

perdarahan. Persentase ini meningkat pada kelompok selanjutnya. 25%,

responden yang menyelam selama 5 menit sampai 8 menit pernah mengalami

perdarahan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa lama menyelam ada

kecenderungan mempengaruhi kejadian perdarahan.


53

Berdasarkan hasil pada tabel 1.8 Seluruh responden (100%) pernah

mengalami gangguan kesehatan. Jenis gangguan kesehatan sangat bervariasi

dan sebagian besar responden mengalami gangguan kesehatan lebih dari satu

jenis gangguan. Gangguan yang paling banyak dirasakan responden adalah

pusing dan perdarahan.

Dari hasil penelitian Djuanri Thiritz dan Abdul Kadir (2006) pada

penyelam tradisional suku Bajo, Sulawesi Selatan menunjukkan dari 47

penyelam, 25.325 responden mengalami gangguan pendengaran dan

keseimbangan. 49.15% reponden mengalami gangguan pendengaran dan

14.91% responden mengalami gangguan keseimbangan. Jumlah penyelam

dengan gangguan pendengaran bertambah sesuai dengan dalamnya

penyelaman tetapi penyelam dengan gangguan keseimbangan bertambah

dengan semakin lamanya menyelam yang dilakukan responden dalam satu

hari.

Responden yang menyelam kurang dari 5 meter, sebanyak 12 responden

dengan prosentase sebesar (30%), yang pernah mengalami kecelakaan.

Persentase itu meningkat pada responden yang menyelam pada kedalaman

diatas 5 meter sebesar (65%). Semua responden yang menyelam dengan

kedalaman diatas 10 meter pernah mengalami gangguan kesehatan.

Hanya (30%) responden yang menyelam dibawah kurang dari 5 meter

pernah mengalami gangguan kesehatan. Tetapi persentase itu meningkat

sampai dengan (65%) pada responden yang menyelam diatas 5 meter. Dari
54

hasil tersebut dapat dilihat bahwa kedalaman menyelam ada kecenderungan

mempengaruhi kejadian gangguan kesehatan.

Dari hasil penelitian Sad Ari Kartono (2007) pada penyelam di kabupaten

Jepara, menunjukkan bahwa faktor resiko yang paling dominan untuk

kejadian barotrauma adalah faktor kedalaman penyelaman ( OR=0.55 ). Setiap

penurunan kedalaman penyelaman 10 meter, risiko penyelam mengalami

kejadian barotrauma sebesar 0,55 kali. Faktor risiko yang paling dominan

terhadap kejadian dekompresi adalah penurunan temperatur air laut (OR=2.1).

semakin dingin temperatur air laut, akan meningkatkan faktor risiko

dekompresi pada penyelam sebesar 2.1 kali.

Menurut Darjo, dalam kumpulan makalah (1983), Makin dalam

responden menyelam, akan mendapatkan tekanan makin besar, berarti makin

besar pengaruhnya pada kesehatan penyelam. Tubuh manusia yang mendapat

tekanan air di kedalaman akan menyesuaikan dengan tekanan ini. Bila tubuh

tidak dapat menyesuaikan dengan tekanan tersebut maka dapat terjadi squeese

/ trauma. Squeese / trauma umumnya dapat terjadi pada penyelaman 10 meter

dan dekompresi dapat terjadi pada penyelaman 12.5 meter. Selain itu semakin

dalam penyelaman, suhu air semakin dingin, oleh karena itu penyelam dapat

kehilangan panas tubuh, disusul gangguan lain ( kesemutan, kram dll ).

Persentase penambahan tekanan paling besar pada kedalaman 10 meter

pertama, oleh karena itu penyelam tidak boleh turun terlalu cepat, kecepatan

yang disarankan untuk 10 meter pertama adalah 7 – 8 meter permenit. Makin

dalam meyelam, makin tinggi tekanan, makin banyak pula gas N2 yang larut
55

dalam jaringan tubuh. Sewaktu penyelam naik, tekanan akan berkurang dan

terjadi pengeluaran gas N2 . bila penyelam naik perlahan, pengeluaran gas N2

akan melalui paru. Bila penyelam naik terlalu cepat, disamping pengeluaran

gas N2 melalui paru, gas N2 juga keluar di dalam jaringan atau cairan darah

dalam bentuk gelembung, maka terjadilah dekompresi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darryl (2005) pada penyelam

tradisional di Minahasa Utara, juga menunjukkan bahwa barotrauma

terbanyak dialami oleh penyelam tradisional dengan frekuensi penyelaman 5

sampai 7 kali seminggu. Selang penyelaman yang dianjurkan adalah 18 jam

setelah penyelaman, hal ini untuk mencegah terjadinya gangguan dekompresi

pada penyelam. Frekuensi penyelaman dengan selang 18 jam untuk

penyelaman berikutnya adalah 4 kali seminggu.

beberapa responden yang menggunakan kompresor pernah mengalami

gangguan kesehatan (5%). Sedangkan responden yang tidak menggunakan

kompresor mencapai (95%), yang pernah mengalami gangguan kesehatan.

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pemakaian kompresor ada

kecenderungan mempengaruhi kejadian gangguan kesehatan.

Responden yang menggunakan kompresor menyelam lebih lama dan

lebih dalam untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Oleh karena itu

kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan menjadi lebih besar

dibandingkan pada responden yang menyelam tanpa bantuan kompresor.

Adakalanya kompresor mati mendadak atau kehabisan bahan bakar, seorang

penjaga di atas perahu tidak punya pilihan selain harus segera menarik selang
56

( dan penyelamnya ) ke permukaan. Pada titik inilah sering terjadi kasus

dekompresi dan gangguan kesehatan penyelaman. Penyelam tidak punya

kesempatan untuk melakukan decompression stop ( berhenti untuk kedalaman

tertentu untuk mengeluarkan gas terlarut dari dalam tubuh ).

Dari hasil penelitian Farjiani (2005) pada penyelam tradisional di

kecamatan Semarang Utara kota Semarang menunjukkan bahwa 67.5%

responden mengalami gangguan fungsi paru. Ada hubungan yang bermakna

antara penggunaan alat selam dan ketaatan pada prosedur penyelaman dengan

gangguan fungsi paru pada penyelam tradisional.

Menurut Iskandar Siregar (2008), kasus lumpuh maupun meninggal yang

dialami penyelam kompresor akibat ketidaktahuan mereka terhadap tata cara

penyelaman yang aman. Penyelam kompresor lebih beresiko terkena

keracunan nitrogen.

4.3. Keterbatasan Penelitian

Adapun kendala yang dihadapi peneliti ketika berada di tempat penelitian

antara lain, (1) belum mengenal alat-alat yang menjadi keperluan para

nelayan pada saat menyelam. (2) akses transportasi laut maupun darat sangat

terbatas, (3) mengelolah data ditempat penelitian cukup sulit karena

berhubugan dengan akses internet yang belum tersedia.


57

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Umur responden berkisar antara 45 tahun sampai lebih 60 tahun .

Sebagian besar responden ( 45,5% ) berumur antara 60 tahun sampai 65

tahun. Masa kerja responden berkisar antara 25 sampai 30 tahun. Sebagian

besar ( 29,3% ) masa kerja responden dibawah 30 tahun. 100% responden

sudah menikah. Pendidikan responden mulai tidak sekolah sampai SLTA.

Sebagian besar ( 46,4% ) responden berpendidikan SD.

Kecelakaan yang pernah dialami responden, antara lain tergores

karang, digigit binatang laut / disengat binatang laut berbisa, selang

terjepit dan tenggelam.

Gangguan kesehatan responden, antara lain; perdarahan, pusing, nyeri

pada persendian dan tulang pinggang, pandangan mata kabur, tuli,

kelelahan berlebihan, gatal-gatal, tidak sadarkan diri dan kesulitan buan

air kecil. Riwayat kesehatan responden, antara lain ; sakit kepala, batuk,

batuk darah, hipertensi, kram, nyeri pada dada sebelah kiri sakit pada

persendian, sesak nafas, tukak lambung dan malaria.

Lama responden menyelam antara 5 menit sampai 8 menit. Sebagian

besar (51,4%) menyelam antara 9 menit sampai 10 menit. Sebagian besar

menyelam antara 5 meter sampai 8 meter.


58

Faktor alat selam yang digunakan, masa kerja, lama penyelaman,

kedalaman penyelaman dan frekuensi menyelam ada kecenderungan

mempengaruhi kejadian kecelakaan. Faktor masa kerja, lama penyelaman,

kedalaman penyelaman, frekuensi menyelam dan alat selam yang

digunakan ada kecenderungan mempengaruhi kejadian gangguan

kesehatan ( perdarahan ).

5.2. Saran

1. Melakukan prinsip be SAFE ( Slowly Ascend For Every Dive ) dan

melakukan Savety Stop atau berhenti sejenak pada kedalaman tertentu,

selain itu ada interval waktu untuk istirahat sebelum melakukan

penyelaman berikutnya.

2. Diadakan program edukasi bagi penyelam mengenai bahaya selam

kompresor dan perlunya savety stop.

3. Peningkatan motivasi penyelam untuk peduli akan kesehatan dan

keselamatannya.

4. Penyelam harus menguasai lingkungan penyelaman dengan baik,

temperatur / suhu air, tinggi gelombang, kecepatan dan arah arus, jarak

pandang, hewan dan tumbuhan yang ada di lokasi penyelaman untuk

mengurangi resiko kecelakaan.

Anda mungkin juga menyukai