Anda di halaman 1dari 47

Pola Pengorganisasian Penangkapan Ikan pada Skala Kapal Slerek Sendang Biru

(Studi Kasus Perbandingan Dua Pola Pengorganisasian Kapal Slerek di Sendang Biru
Kabupaten Malang)

Penelitian ini dilakukan untuk pemenuhan Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metode
Penelitian Etnografi yang di bimbing oleh Dhanny S. Sutopo, S.Sos., M.si

Oleh :
Ganis Ihda Lutfiyatin Nisa’ 175110807111008
Rosita Nur Azizah 175110801111002
Indah Julia Yasmine 175110801111003
M. Tiessa Adjie Prabowo 175110801111021
Alya Aisha Nadine 175110807111004
Ilham Satria Fakhri 175110807111006

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MEI 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.499
pulau dari Sabang hingga Merauke. Menurut (Roza, 2017) total luas wilayah yang dimiliki
oleh Indonesia adalah 7,81 juta km2 dimana itu semua terdiri dari 2,01 juta km2 daratan,
3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Indonesia meiliki
luas daerah lautan yang lebih luas dari pada daerah daratannya itu lah mengapa Indonesia
disebut sebagai Negara Maritim. Keindahan bahari dan hasil laut yang dimiliki Indonesia
juga tidak boleh untuk dilupakan, mulai pulau yang cantik dengan berbagai isi lautnya
seperti terumbu karang dan tumbuhan laut. Luas terumbu karang di Indonesia sendiri
mencapai 50.875 km2 yang mana ini menyumbang 18% luas total terumbu karang dunia
dan 65% luas total di coral triangle. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian
timur Indonesia. Luas wilayah kelautan di Negara Indonesia melebihi dari daratan, itu yang
membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemewahan yang luar biasa dalam sektor
kelautan. Kekayaan laut yang dimiliki seperti ikan, udang, dan berbagai jenis hewan laut
lainnya membuat perhatian masyarakat luar negeri menjadi meyukai hasil laut Indonesia.
Hal ini tentu menjadi daya tarik tersediri bagi Negara asing atau orang yang tidak
bertanggungjawab yang memungkinkan melakukan tindak kejahatan terhadap Indonesia.
Memanfaatkan kekayaan bahari Indonesia dengan menangkap ikan secara ilegal (ilegal
fishing). Kemudian agar terwujud Negara sebagai poros maritim dunia, memungkinkan
Indonesia untuk bekerja ekstra keras dalam bentuk pengamanan dan melindungi sumber
daya di laut. Dengan kekayaan yang dimiliki serta perlindungan dan kedaulatan bangsa di
laut, langkah Indonesia menjadi poros maritim dunia sudah di dapat terlihat.
Kemakmuran Indonesia dalam hal hasil laut tidak hanya menjadi minat pihak asing
namun masyarakat Indonesia sendiri. Terlihat dari wilayah laut yang mendominasi negara
Indonesia dengan banyak pulau pula tentu bisa di lihat jika banyak sekali daerah pesisir
dimana masyarakatnya bermata pencaharian sebagai seorang nelayan. Banyak sekali
wilayah di Indonesia yang menjadi penyumbang hasil laut dan salah satunya yang terbesar
adalah di dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan,
Kabupaten Malang. Menilik dari apa yang dituliskan oleh (Suwito, 2013) dusun Sendang
Biru merupakan wilayah pesisir atau daerah pesisir pantai dengan wilayah pantainya yang
berhadapan langsung dengan salah satu cagar alam yaitu Pulau Sempu. Secara geografis
Dusun Sendang Biru berada pada koordinat 8°26 - 8°30 lintang selatan dan 112°38 - 112°43
bujur timur. Dusun Sendang Biru termasuk bagian dari Desa Tambakrejo, Kecamatan
Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Keadaan topografi
dusun Sendang Biru merupakan daerah dengan bukit-bukit kecil yang memiliki jumlah
cukup banyak. Pantai yang ada di dusun Sendang Biru sebagian berupa pantai berpasir dan
sebagian pantai berkarang. Jumlah penduduk dusun Sendang Biru per September 2012
adalah sebesar 4.986 jiwa. Dengan rincian laki-laki berjumlah 2.276 jiwa dan perempuan
berjumlah 2.710 jiwa atau dengan jumlah kepala keluarga sebesar 1.441 (Suwito, 2013).
Jarak dari kota Malang menuju dusun Sendang Biru sekitar 79 km dan memakan waktu
sekitar 3 jam menggunakan mobil. Letak geografis Sendang Biru terbagi antara daerah
perbukitan dan pantai yang menyebabkan terjadinya pemukiman penduduk cukup padat,
sehingga seiring berjalannya waktu, mayoritas penduduk Dusun Sendang Biru yang semula
beragama Kristen mulai terpadukan dengan masuknya berbagai budaya dan agama dari
luar. Kondisi tersebut membuat masyarakat Sendang Biru memiliki keragaman suku,
agama, dan budaya yang berbeda. Melihat dari mata pencaharian pun penduduk Dusun
Sendang Biru sangat lah beragam, namun sebagai wilayah pesisir tentunya mayoritas
penduduknya merupakan seorang nelayan. Dusun Sendang Biru sendiri memiliki tiga
pengelompkan wilayah yang berada di sekitar pantai dan dermaga, ketiga wilayah ini
adalah Kampung Baru, Kampug Perumnas, dan juga Kampung Raas. Ketiga kampung ini
para penduduknya mayoritas adalah seorang nelayan, dimana untuk menghidupi keluarga
mereka harus pergi melaut. Nelayan sendiri adalah mereka yang menggantungkan hidup
pada hasil laut, baik itu dengan cara menangkap ikan, rumput laut atau bahkan budidaya.
Melaut bagi masyarakat Sendang Biru seperti kebiasaan dan bagian dari hidup mereka
yang mendarah daging dan melaut sendiri memiliki struktur dan aturannya tersendiri. Di
Sendang Biru sistem dalam melaut paling banyak diikat oleh kontrak patron-klien.
Mengutip dari Scott dalam (Qurrata, 2017) ikatan patron-klien merupakan kasus khusus
dari hubungan diantara dua orang atau dua pihak yang melibatkan hubungan instrumental
antara seorang individu atau pihak dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi yaitu
patron yang menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan perlindungan
dan keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah yaitu klien. Lalu
pada gilirannya klien akan membalas jasa sang patron dengan menawarkan dukungan
umum dan bantuan kepada nya. Hubungan jenis ini sering disebut pula sebagai hubungan
induk semang-klien. Pada hubungan patron-klien, terjadi hubungan timbal balik, dimana
biasanya induk semang atau patron merupakan orang atau pihak yang berkuasa dalam
masyarakat dan harus bisa memberi perlindungan sebanyak mungkin kepada para klien yag
termasuk dalam patronnya. Sebaliknya para klien wajib membalas budi baik induk semang
dan membelanya dari para pesaingnya.
Patron-klien tidak hanya menyediakan hubungan untuk saling balas budi atau
melindungi, dalam patron-klien juga terdapat ikatan-ikatan tertentu yang apabila dilanggar
maka akan menghancurkan atau merusak kontrak yang ada. Beberapa diantara aturan yang
ada adalah dimana seorang klien tidak dapat memiliki dua patron atau lebih namun patron
berhak untuk memiliki klien sebanyak-banyaknya dan dalam beberapa relasi patron-klien
kedua belah pihak tidak hanya terikat dalam hal kerja atau balas budi semata tapi juga
dalam ikatan hutang. Seorang patron biasanya akan dengan suka rela memberikan pinjaman
hutang kepada kliennya dan klien sendiri hanya bisa berhutang pada patron yang sama.
Selain patron-klien dalam melaut sistem kekerabatan juga terkadang digunakan di Sendang
Biru. Struktur dalam melaut tentu melibatkan pihak yang berposisi sebagai pemilik kapal
dan jika pihak tersebut menggunakan sistem kekerabatan maka dia akan merekrut
saudaranya atau orang terdekatnya sebagai bagian dari anak buah kapalnya. Namun pada
dasarnya sistem ini juga termasuk yang paling sering digunakan oleh nelayan di Sendang
Biru.
Sendang Biru sendiri merupakan salah satu tempat pendaratan ikan pelagis terbesar di
Jawa, khususnya tuna. Selain tuna juga ada beberapa ikan yang menjadi sasaran para
nelayan Sendang Biru, seperti ikan cakalang, ikan bonggol, dan lainnya. Penangkapan ikan
juga menyesuaikan kapal yang digunakan. Jenis-jenis kapal yang mendominasi di Sendang
Biru adalah kapal slerek, kapal sekoci, dan kapal speed. Biasanya kapal-kapal akan diberi
nama di sisi kanan atau kiri kapalnya. Selain itu kapal-kapal juga diberi di cat warna.
Tujuan dari penamaan dan cat ini adalah agar kapalnya mudah dikenal oleh pemilik dan
juga anak buah kapal, untuk membedakan dengan kapal lainnya, serta penamaan tersebut
berharap memiliki dampak yang baik bagi kapal maupun penghasilannya.
Kapal slerek merupakan kapal terbesar di Sendang Biru. Kapal ini memiliki pasangan,
sehingga kapal slerek ini merupakan 2 kapal yang beriringan. Kapal yang besar merupakan
kapal induk, kapal induk biasanya digunakan untuk membawa jaring. Sedangkan satunya
adalah kapal yang lebih kecil daripada slerek yang mana kapal ini digunakan untuk
menampung ikan hasil tangkapan. Kapal slerek ini bekerja menggunakan jaring slerek yang
terbuat dari nylon. Tujuan dari kapal slerek adalah mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya.
Ikan yang biasa dicari oleh kapal slerek adalah ikan locok atau ikan cakalang, ikan bonggol
atau ikan laying, dan ikan-ikan kecil lainnya. Penggunaan jaring slerek membuat semua
ikan akan tertangkap karena jaring yang digunakan memiliki lubang kecil dan ukuran
bentang jaringnya besar. Kapal slerek ini biasanya memiliki anak buah kapal sebanyak 35-
45 orang. Biasanya kapal slerek ini memiliki nahkoda atau kapten sendiri, dan seorang
nahkodanya merupakan orang kepercayaan pemilik kapal. Nahkoda merupakan tangan kiri
pemilik kapal karena dia memimpin kapal dan juga sebagai navigator. Pemilik kapal slerek
ini jarang untuk ikut melaut, namun beberapa pemilik kapal pun ikut melaut dan menjadi
kapten utama. Dalam kapal slerek ini masing-masing nelayan memiliki perannya masing-
masing. Jadi, nelayan kapal slerek ini dibagi 2, pada kapal jaring akan membutuhkan 5-8
orang untuk menjadi nahkoda atau kapten dan pemegang jaring. Sisanya akan berada di
kapal induk sebagai nahkoda atau kapten, pemantau ikan, pemegang tali, timah atau
pemberat. Kapal slerek menerapkan one day fishing yaitu menangkap ikan satu hari. Para
nelayan slerek memiliki dua opsi untuk melaut, jika siang maka mereka akan berangkat
pada pukul 2 pagi dan kembali sore, jika malam maka mereka akan berangkat pukul 4 sore
dan kembali sekitar subuh. Perbekalan yang dibutuhkan kapal slerek sebesar 2-3 juta
rupiah. Perbekalan kapal slerek adalah solar, es balok, oli, sparepat, baju pelampung, dan
makanan jadi. Paling jauh kapal slerek ini akan berlayar sekitar 30 mil atau sebatas blitar.
Cara kerja kapal selerek ini adalah kapal induk akan jalan didepan sedangkan kapal jaring
akan berada dibelakang kapal induk. Jika telah menemukan tempat yang menurut nahkoda
ada ikan yang banyak maka kapal jaring akan memutari area tersebut untuk menyebar
jaring lalu kembali menuju kapal induk untuk melempar jaring, setelah itu kapal jaring akan
pergi. Setelah menunggu 15 menit, maka jaring akan ditarik ke atas kapal induk. Setelah
itu ikan-ikan yang didapat akan dipindahkan ke dalam palka atau tempat penampung ikan
yang berisi balok es. Kapal slerek dapat menangkap hingga ratusan ton. Harga baru dari
kapal slerek ini hampir mencapai 2 milyar rupiah.
Kapal sekoci merupakan kapal berukuran sedang yang biasanya anak buah kapalnya 5-
7 orang. Kapal sekoci ini berlayar sekitar 7-15 hari, dan paling lama 20 hari. Kapal sekoci
akan berfokus pada ikan tuna dan marlin. Ikan yang banyak bukan tujuan dari kapal sekoci
tetapi ikan besar merupakan prioritasnya. Perbekalan yang dibutuhkan nelayan sekoci
sekitar 5 juta hingga 15 juta rupiah karena harus berlayar dengan waktu yang lama.
Sehingga kapal sekoci hanya akan berlayar jika perbekalannya sudah mencukupi. Jika
kapal slerek dan speed hanya membawa bekal seperti solar, es balok, oli, sparepat, baju
pelampung, dan makanan yang telah dimasak didarat, maka kapal sekoci harus membawa
beras, kompor gas, gas, peralatan dapur dan sebagainya untuk keperluan hingga 15 hari
kedepan. Tidak seperti kapal slerek, kapal sekoci menangkap ikan dengan menggunakan
pancingan. Kapal sekoci juga tidak memiliki nahkoda atau kapten sendiri karena pemilik
kapal lah yang berperan dalam hal itu. Perjalanan kapal sekoci bisa hingga 300 mil, bahkan
bisa menuju sampai Pulau Christmas. Pemilik kapal pun biasanya tidak hanya akan
memiliki satu kapal saja, mereka akan memiliki beberapa kapal sekaligus. Harga baru kapal
sekoci sekitar 250 juta rupiah.
Kapal speed merupakan kapal terkecil untuk mencari ikan. Kapal ini mirip dengan
perahu pada biasanya. Pada kedua sisinya ada penopang agar seimbang saat berlayar. Kapal
sekoci ini biasanya hanya berisi satu orang dan paling banyak dua orang. Biasanya pemilik
kapal yang akan berlayar. Kapal speed ini tidak memiliki anak buah kapal. Untuk waktu
keberangkatan berlayar, kapal speed cenderung lebih berlayar kapan saja. Sehingga kapal
speed juga menerapkan one day fishing seperti kapal slerek tetapi dengan waktu yang
fleksibel. Ikan yang ditangkap oleh kapal speed merupakan penggabungan dari ikan yang
ditangkap oleh kapal slerek dan juga kapal sekoci yaitu ikan tuna, ikan tongkol, ikan
cakalang, dan merlin. Jadi kapal speed menggunakan pancingan dan juga rumpon. Ikan
yang didapat kapal speed biasanya untuk konsumsi sendiri dan juga untuk dijual. Kapal
speed juga kadang memancing cumi-cumi. Maksimal hasil yang di bawa oleh kapal speed
adalah 3 kuintal. Harga baru kapal speed sekitar 25 juta rupiah.
Hasil tangkapan ikan kapal slerek dan juga kapal sekoci biasanya akan langsung di
lelang ke para pengambak. Sedangkan untuk kapal speed lebih kepada konsumsi pribadi
atau dijual di Tempat Pelelangan Ikan yang ada di Sendang Biru. Kapal slerek dan kapal
sekoci jarang menjual hasil tangkapan di TPI karena mereka telah memiliki langganan
pembeli sendiri, sedangkan kapal speed tidak melakukan pelelangan. Biasanya musim ikan
di Sendang Biru terjadi pada awal bulan 6 atau bulan Juni hingga bulan 10 atau bulan
Oktober. Ada beberapa kapal lainnya yang terdapat di Sendang Biru seperti kapal
pariwisata dan juga kapal payangan. Kapal pariwisata biasanya digunakan untuk mengantar
para wisatawan melihat pulau sempu, pantai tiga warna dan beberapa daerah di Sendang
Biru yang dapat diakses menggunakan kapal pariwisata. Sedangkan kapal payangan
merupakan kapal yang hampir sama seperti selerek, namun yang membedakan adalah kapal
payangan ini tidak memiliki kapal kecil sebagai pasangan seperti kapal slerek. Jaring yang
digunakan kapal payangan juga berbeda yaitu jaring gede.
Sedikit disinggung di atas mengenai pengambek, dalam tata kelola atau pihak-pihak
yang terlibat dalam organisasi ini sebenarnya tidak hanya pemilik kapal dan ABK namun
juga terdapat pengambek. Untuk lebih fokusnya lagi penelitian ini membahas lebih dalam
tentang kapal slerek yang menjadi kapal dengan jumlah terbanyak di Sendang Biru. Dalam
organisasinya pihak-pihak yang terlibat dalam kapal slerek ada tiga yaitu, pemilik kapal,
anak buah kapal dan satu pihak lagi adalah pengambek. Ketiga pihak ini pada dasarnya
memiliki struktur dan kepentingan juga peran tersendiri.
Dalam kapal slerek seorang pemilik kapal terkadang akan menjadi nahkoda atau
kapten, namun terkadang mereka hanya berstatus sebagai pemilik kapal dan tidak terlibat
didalam aktivitas melaut. Seorang pemilik kapal biasanya bertanggung jawab atas
kesejahteraan para anak buah kapalnya, dia yang bertugas untuk membagi pendapatan hasil
dari melaut dan menjadi pihak yang mendapat bagian paling besar. Pemilik kapal yang
biasanya tidak ikut melaut akan bertanggung jawab mengelola ikan setelah hasil tangkapan
tersebut tiba di dermaga dan untuk pemilik kapal yang ikut melaut biasanya mereka akan
menjadi kapten atau nahkoda di kapal utama. Seorang pemilik kapal biasanya akan
memiliki satu pengambek yang membantunya untuk menjualkan ikan hasil tangkapan.
Pegambek disini bertugas untuk menjadi perantara antara pemilik kapal dengan
pedagang ikan dan pengambek juga merupakan pihak pemberi modal dari pemilik kapal.
Pemilik kapal biasanya hanya akan memiliki satu pengambek, namun pengambek sendiri
memeiliki hak untuk bekerja sama dengan lebih dari satu pemilik kapal. Pengambek dalam
sistem kerja yang dimiliki kapal slerek tidak akan memiliki peran di dalam kapal karna
peran pengambek sendiri murni hanya saat proses mencari ikan itu selesai.
Kemudian selain pemilik kapal dan pengambek tentu terdapat pihak ketiga yang
menjadi pihak krusial dalam organisasi kapal yaitu anak buah kapal atau ABK. Seperti
yang sudah dijelaskan di atas anak buah kapal dari kapal slerek biasanya adalah 35 sampai
dengan 45 orang. Total dari jumlah kemudian akan dibagi dua untuk berada di kapal utama
dan kapal yang lebih kecil dengan jumlah ABK di kapal utama yang lebih besar. ABK yang
berjumlah 35-45 orang itu kemudian memiliki tugas mereka masing-masing seperti yang
sudah dijelaskan di atas. ABK dalam pengorganisasian kapal slerek hanya akan berkolerasi
dengan pemilik kapal dan sama sekali tidak berkolerasi dengan pengambek begitupun
sebaliknya, maka dari iru ABK hanya akan bertanggung jawab kepada pemilik kapal.
Seorang ABK sendiri selama memiliki kontrak kerja dengan salah satu pemilik kapal maka
dia tidak boleh bekerja di kapal lain atau bekerja pada pemilik kapal lainnya.
Waktu pengoprasian kapal slerek pun biasanya sangat bergantung pada musim juga
cuaca atau keadaan laut dan tidak seperti kapal speed yang sangat fleksibel. Waktu kerja
efektif dari kapal slerek sendiri pada satu bulan paling lama adalah 21 hari dan paling
sedikit adalah 15 hari. Dalam setahun kapal slerek akan beroprasi selama enam bulan saja
karna terdapat musim paceklik yang tentunya jika dipaksakan melaut tidak akan
membuahkan hasil sama sekali. Penjelasan lebih lanjut dari kapal slerek terpisah dari apa
yang sudah di jelaskan di atas adalah kapal slerek memiliki keuntungan dalam hal muatan.
Seperti yang sudah diketahui bahwasanya kapal slerek memiliki kapal lain sebagai
pasangan dan kedua kapal ini memiliki beban muatan perkapalnya mulai dari 30 sampai
dengan 40 ton. Dengan sistem kerja one day fishing dan muatan kapal yang sedemikian
rupa kapal slerek tentunya menjadi kapal dengan tingkat keuntungan yang tidak main-main.
1.2. Rumusan Masalah
Menilik lebih jauh lagi, maka dalam melakukan proses melaut tentunya akan
memunculkan sebuah pola kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi sebuah
rutinitas, dimana proses yang dilakukan anatara satu nelayan tentunya akan berbeda dengan
nelayan yang lainnya. Pada penelitian ini kemudian yang lebih disoroti yaitunya terkait
pola kebiasaan yang terbentuk dari masing-masing nelayan tersebut, terkhususnya pada
nelayan kapal slerek, dimana perbedaan pola pikir, pandangan serta perbedaan pemahaman
tentunya juga akan melahirkan sebuah prkatik pengorganisasian yang berbeda pula dalam
mempersiapkan proses melaut, dimana hal tersebut tergantung kepada para pemimpin
kapal yang dalam hal ini yaitunya Juragan kapal yang juga menjadi nahkoda dari kegiatan
melaut di kapal slerek tersebut. Berangkat dari pola kebiasaan yang terus-menerus
dilaksanakan oleh para nelayan dalam proses mencari dan menangkap ikan, dimana hal
tersebut seakan menjadi sebuah fenomena sosial yang telah terus terjadi setiap harinya di
daerah Sendang Biru Kabupaten Malang, maka pada penelitian ini kemudian ditimbulkan
sebuah pertanyaan yaitu Bagaimana pola pengorganisasian penangkapan ikan pada skala
kapal slerek di Sendang Biru ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk pola
pengorganisasian yang terjadi setiap harinya pada proses penangkapan ikan yang kemudian
menggunakan kapal slerek sebagai salah satu modal ekonominya, kemudian penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui bentuk perbedaan yang muncul dari kebiasaan para
pekerja di kapal slerek tersebut, dimana dalam hal ini pola perilaku dan mekanisme yang
dijalankan oleh para pekerja kapal slerek kemudian menjadi sebuah perhatian khusus yang
digunakan untuk membandingkan perbedaan yang terbentuk di antara kelompok nelayan
kapal slerek di daearah Sendang Biru. Serta peneltian ini juga bertujuan untuk mencari tahu
mengenai bentuk relasi yang terbentuk diantara para pekerja yang kemudian juga bertujuan
untuk mengetahui bentuk pembagian peran dan upah yang dilaksanakan dalam kelompok
kapal slerek tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Secara akademis, dengan adanya penelitian ini kemudian diharapkan dapat menjadi
sebuah bentuk penelitian ilmiah yang berkontribusi dalam menerangkan terkait pola
pengorganisasian penangkapan ikan yang terjadi pada skala kapal slerek. Penelitian yang
membahas tentang pola nelayan dalam melaut memang sudah cukup banyak dan beragam,
namun yang kemudian fokus dalam menyoroti pola pengorganisasiannya masihlah sangat
minim, bahkan belum ada yang menjelaskan secara spesifik terkait pola yang dilakukan
oleh para nelayan tersebut sebelum berangkat menangkap ikan. Oleh karena itulah
penelitian ini diharapkan mampu menyediakan sebuah referensi baru terkait pola
pengorganisasian penangkapan ikan yang terjadi pada skala kapal slerek sebagai bentuk
fenomena yang berkembang. Sedangkan secara praktik, hasil analisa yang telah dilakukan
pada penelitian ini kemudian diharapkan dapat memberi manfaat kepada masyarakat
umum, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar daerah pesisir guna menambah dan
meningkatkan wawasan mereka tentang pola pengorganisasian yang dapat dilakukan dalam
melakukan penangkapan ikan ketika melaut terutama dengan penggunaan kapal slerek.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

1. Identifikasi Keberadaan Pengamba’ Dan Pola Relasi Dengan Masyarakat


Nelayan Pesisir Timur Banyuwangi (Atmadjaja, 2017)

(Atmadjaja, 2017) pada jurnal ini mencoba menjelaskan terkait beberapa hal
yang mendasari dan menunjang keberadaan pengambak dalam aktivitas nelayan di
Pesisir Timur Banyuwangi, khususnya di Kampung Mandar, Kecamatan
Banyuwangi. (Atmadjaja, 2017) kemudian menjelaskan bahwa adanya
ketergantunan nelayan yang telah berlangsung lama terhadap pengambak dalam
hal ini yaitu terkait kebutuhan dana, baik dana untuk pembelian aset maupun dana
kerja malut, bahkan beliau juga membahas bahwasanya adanya hubungan yang erat
dan saling menguntungkan antara nelayan dan pengambak misalnya dengan bagi
hasil tangkapan dan pemberian bonus-bonus. Peneliti juga menjelaskan bahwa pola
relasi yang terbentuk antara pengambak dan nelayan di pesisir Timur Banyuwangi
ternyata sangat erat dan saling menguntungkan. Pola relasinya tidak hanya
berdasarkan hutang piutang, tetapi sudah menjadi seperti keluarga atau saudara.
Bahkan peneliti juga menyebutkan bahwasanya relasi akan terputus apabila
nelayan berpindah ke pengambak lain yang berada di satu wilayah dengan
pegamba' lama. Tetapi pemutusan hubungan harus dengan syarat pelunasan
pinjaman terlebih dahulu.

Berdasarkan penjelasan (Atmadjaja, 2017) pada tulisan ini, ternyata ada hal
yang kemudian belum dibahas, dimana beliau kemudian hanya membahas satu
studi kasus saja, beliau tidak membandingkan hasil penelitian dengan relasi
pengambak dan nelayan lainnya, sehingga tidak diketahui perbedaan dan
persamaannya dengan pengambak dan nelayan lainnya. Berdasarkan hal
tersebutlah pada penelitian ini kemudian akan membahas yang belum di bahas oleh
peneliti, sehingga hal tersebut kemudian menjadi sebuah bahan dalam melakukan
penelitian yang dilaksanakan di Desa Sendang Biru, Kabupaten Malang.
2. Dinamika Hubungan Patron-Klien Pada Masyarakat Nelayan Di Desa
Prenduan, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur (Fajar,
2017)

Pada jurnal ini (Fajar, 2017) mencoba menganalisis mengenai hubungan patron-
klien pada masyarakat nelayan di Desa Prenduan. Hubungan patron-klien berawal
dari pinjaman modal yang kemudian berkembang menjadi sebuah hubungan
kekerabatan, keduanya memiliki hubungan timbal balik dan saling memiliki
ketergantungan antara satu dengan lainnya. Hubungan patron-klien bisa bertahan
sangat lama karena di dasari oleh rasa kepercayaan yang tinggi antar individu yang
terlibat di dalamnya, serta menjadi sebuah jaringan penting yang menjadi alat untuk
mempermudah kerjasama dan terdapat norma-norma yang landasi hubungan ini
agar tidak terjadi kerugian salah satu pihak. Hal ini menjelaskan bahwa hubungan
patron-klien yang ada pada masyarakat nelayan Prenduan berperan sebagai modal
sosial bagi masyarakat nelayan Prenduan untuk mewujudkan tujuan bersama serta
menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Fajar, 2017), beliau
hanya menjelaskan bahwasanya faktor terjadinya hubungan patron-klien hanya
satu faktor, dan juga tidak dijelaskan hal apa yang memungkinkan klien
memutuskan hubungan dengan patronnya. Penelitian ini hanya menjelaskan dalam
masalah hubungan saja dan tidak terdapat faktor lain yang ada dalam hubungan
tersebut seperti sistem kerja atau juga sistem pembagian upah. Berdasarkan hal
tersebutlah pada penelitian ini kemudian akan membahas yang belum di bahas oleh
peneliti, sehingga hal tersebut kemudian menjadi sebuah bahan dalam melakukan
penelitian yang dilaksanakan di Desa Sendang Biru, Kabupaten Malang.

3. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (Mahmudah, 2013)

Jurnal yang ditulis oleh (Mahmudah, 2013) mencoba menjelaskan bahwa ada
pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat. Pengelolaan ini biasanya disebut
Community Based Management (CBM). Pengelolaan ini diartikan sebagai suatu
pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat terlibat aktif
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Ada dua pendekatan yang
dilakukan untuk mengembangkan masyarakat yaitu bersifat structural dan non
structural. Pendekatan structural adalah pendekatan makro yang mengutamakan
penataan system dan struktur sosial politik seperti peranan instansi yang
berwewenang atau organisasi yang di bentuk untuk pengelolaan pesisir laut.
Pendekatan ini diharapkan masyarakat dapat kesempatan lebih luas untuk
memnafaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Serta dapat menciptakan
peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari
ancaman yang dari dalam maupun luar. Lalu juga ada pendekatan subyektif atau
non structural yaitu pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang
mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif. Dengan pendekatan ini masyarakat
lokal diharap dapat meningkatkan perannya dalam perlindungan sumber daya alam
disekitarnya dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran yang mereka miliki.
Sehingga upayanya adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
kesadaran masyarakat untuk melindungi sumber daya alam. Hal ini berkaitan
dengan usaha ekonomi sehingga masyarakat harus dibekali beberapa pengetahuan
mengenai ekonomi.

Pada jurnal ini (Mahmudah, 2013) tidak menjelaskan struktur sosial masyarakat
disana dan hanya fokus bagaimana pengelolaan wilayah pesisir berbasis
masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebutlah pada penelitian ini kemudian akan
membahas yang belum di bahas oleh peneliti, sehingga hal tersebut kemudian
menjadi sebuah bahan dalam melakukan penelitian yang dilaksanakan di Desa
Sendang Biru, Kabupaten Malang.

4. Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut


(Rudyanto, 2004)

Artikel yang ditulis oleh (Rudyanto, 2004)berusaha menjelaskan mengenai


kerangka kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat pesisir serta pemerintah
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Kerangka kerjasama ini perlu
disusun sedemikian rupa karena sebagai suatu keharusan bagi masyarakat dalam
pentingnya pemanfaatan laut Indonesia secara maksimal serta dengan cara yang
tepat. Pada tahun 1990 strategi yang digunakan untuk memanfaatkan pengelolaan
laut adalah dengan menggunakan pengelolaan yang diatur oleh masing-masing
daerah pada tahun tersebut disebut dengan era otonomi. Setiap daerah memiliki
hak untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Namun,
otonomi daerah tersebut menjadikan pemda kurang maksimal dalam melakukan
pengelolaan sumber daya. hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan
sumbedaya laut seperti sasi, seke, panglima laot juga masih kurang dihargai
sehingga ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir pun masih terbatas. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang
haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan warga dan
mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan ekonomi
lokal/daerah. Disisi lain, Era otonomi daerah telah mendorong pemerintah
daerah/kabupaten untuk menggali potensi ekonomi secara optimal untuk
membiayai kegiatan pembangunan daerah.

Upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam bidang


kelautan menghasilkan persoalan serius yang menjadi beberapa isu-isu strategis
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut ini, antra lain : (1) Kondisi
sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property (milik bersama)
dengan akses yang bersifat quasi open access, (2) Adanya degradasi lingkungan
pesisir dan laut, (3) Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan, (4) Akses pemanfaatan
teknologi yang terbatas, (5) Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif. Untuk
mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang mucul dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut ini, dibutuhkan suatu model pengelolaan yang
kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok
nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan co-
management yang menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada
satu pihak dapat dieliminasi. pengelolaan co-management menggabungkan antara
pengelolaan sumberdaya yang sentralistis yang selama ini banyak dilakukan oleh
pemerintah (government based management) dengan pengelolaan sumberdaya
yang berbasis masyarakat (community based management). Pengolaan ini akan
menciptakan hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar
sektor, antar wilayah, serta antar aktor yang terlibat

5. Pola Hubungan Kerja Antara Nelayan Pemilik Kapal Purse Seine Dengan
Buruh Di Pangkalan Pendaratan Ikan (Ppi) Unit 2 Pantai Utara Desa
Bajomulyo Kecamatan Juwana Kabupaten Pati (Wijayanti, 2008)
Jurnal ini berusaha menjelaskan mengenai hubungan kerja antara nelayan yang
memiliki kapal purse seine dengan buruh yang ada di Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) Unit 2 Pantai Utara yang berada di Desa Bajomulyo. Sebelum menjelaskan
tentang pola hubungan kerja, jurnal ini terlebih dahulu menjelaskan mengenai
karakteristik sosial ekonomi nelayan pantai utara Desa Bajomulyo. Untuk
membedah permasalahan dalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan teori
pertukaran dalam sistem sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Teori
pertukaran ini diporeleh dari Homans yang menyatakan bahwa proses pertukaran
dilakukan melalui beberapa pernyataan proporsional yang terhubung satu sama lain
dari psikologi Skinner. Proporsi-proporsi tersebut antara lain, (1) proposisi sukses,
(2) proporsisi pendorong, (3) proporsisi nilai, (4) proporsisi deprivasi-kejemuan,
(5) proporsisi persetujuan-agresi. Terjalinnya hubungan antara nelayan dan buruh
akan menimbulkan sebuah interaksi yaitu proses transaksi yang diposisikan
sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan dan hal ini berlaku pada dalam
hubungan patron-klien. Terkait dengan teori yang digunakan, penelitian ini
melibatkan beberapa variabel, yaitu nelayan, karaktersitik moral ekonomi nelayan,
hubungan kerja, jaringan sosial dalam hubungan kerja, dan sistem bagi hasil.
Variabel yang telah disebutkan akan membantu dalam pembahasan yang ada dalam
penelitian ini.
Pada jurnal ini penulis menyatakan terdapat perbedaan dalam setiap bagian
sistem hubungan kerja nelayan yang terjadi di PPI Desa Bajomulyo yang berkaitan
dengan aspek ekonomi dan sosial, namun faktor ekonomi yang dijadikan sebagai
alasan utama para nelayan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebuah
hubungan kerja dalam suatu sistem melibatkan berbagai macam elemen yang akan
terjalin antar bagian satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut akan membawa
pengaruh timbal balik yang memicu adanya hubungan sosial dalam kehidupan
masyarakat. Ditekankan oleh penulis bahwa pekerjaan hanya dipandang sebagai
sarana pengabdian terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika, dan
keagamaan atau hanya sebatas upaya manusia untuk mempertahankan hidup.
Berdasarkan jurnal ini, penjelasan mengenai pola hubungan kerja yang terjadi
antara nelayan pemiliki kapal dan buruh yang ada di PPI Unit 2 dilakukan dengan
baik oleh Wijayanti. Pada penelitian ini, penulis berusaha untuk membahas lebih
kepada pengorganisasian penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal slerek.
Dengan menggunakan jurnal yang ditulis oleh Wijayanti, penulis mendapatkan
gambaran yang terjadi pada msyarakat dan beberpa hal yang tidak dibahas
sebelumnya oleh Wijayanti.

6. Manajemen Operasi Penangkapan Ikan Menggunakan Gillnet Millenium


di Karangsong, Indramayu.

Jurnal yang ditulis oleh Yusuf Rohadi memberikan penjelasan tentang


manajemen operasi yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat pancing bernama gillnet millenium. Fokus penelitian dalam
jurnal ini berada pada daerah pesisir Kerangsong yang berada di Indramayu, Jawa
Barat. Dalam jurnal ini, penelitian dilakukan pada operasi kegiatan penangkapan
ikan dengan menggunakan gillnet millennium karena alat pancing ini memiliki
beberapa keuntungan, yaitu perawatannya yang mudan dan masa pemakaiannya
relative lama, sekitar 10-12 tahun. Kemudian keuntungan lainnya yang dirasakan
oleh nelayan adalah dengan menggunakan gillnet millennium pendapatannya rata-
rata meningkat. Keadaan ini menjadikan penggunaan gillnet millennium
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jurnal ini menjelaskan dengan baik
kerangka teknis perikanan gillnet milleium, mengidentifikasi usaha penangkapan
gillnet millennium, dan menentukan faktor-faktor yang berpengaruh dalam usaha
unit penangkapan gillnet millennium yang berada di Kerangsong, Indramayu.

Pembahasan yang ada dalam jurnal ini menjelaskan secara runtut kegiatan
operasi penangkapan ikan. Kegiatan tersebut dimulai dari persiapan, metode
operasi, penanganan hasil tangkapan, pendaratan hasil tangkapan. Pembahasan
tidak hanya sekedar pada kegiatan operasi saja, melainkan biaya operasional usaha,
pendapatan usaha, sistem bagi hasil, dan analisis finansial usaha juga dijelaskan.
Jika dikaitkan dengan penelitian yang penulis lakukan, kegiatan operasi yang
dijelaskan dalam jurnal ini kurang begitu terperinci. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan penulis untuk mengetahui secara rinci tentang pengoperasian
penangkapan ikan khususnya yang terjadi pada kepal slerek, dari persiapan hingga
ikan-ikan tersebut terdistribusikan.

7. Manajemen Usaha Penangkapan Ikan Di Pelabuhan Perikanan

Pantai Sadeng Kabupaten Gunung Kidul


Jurnal yang ditulis oleh Resna Trimerani memberikan penjelasan mengenai
pengaturan sebuah usaha penangkapan ikan yang terjadi di pelabuhan perikanan
yang terletak di Pantai Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul. Sebagian besar
masyarakat sekitar Pantai Sedeng berprofesi sebagai nelayan. Jenis nelayan yang
ada di Pantai Sedeng terdiri atas nelayan lokal dan nelayan pendatang. Jika dilihat
dari kemampuannya, nelayan pendatang lebih menguasai keterampilan melaut
dibandingkan dengan nelayan lokal. Keadaan ini menimbulkan satu hubungan
anatar mereka. Hubungan yang terjadi diantara keduanya adalah kerjasama dalam
operasi penangkapan ikan serta adanya tukar informasi tentang ilmu melaut
sehingga nelayan di Sedeng mengalami peningkatan keterampilan dalam hal
melaut. Untuk menjalankan sebuah usaha diperlukan adanya modal dalam
menunjang keberhasilannya. Modal tersebut berupa biaya awal terdiri atas biaya
tetap dan biaya tidak tetap. Modal tersebut berasal dari kepemilikian sendiri atau
dari pihak lain, biasanya adalah pengambak (pedagang besar pemilik sumberdaya
paling besar). Dari uraian tersebut terlihat ada satu hubungan kerja yang kuat, biasa
disebut dengan patron-klien. Seberapa besar ikatan patron-klien menunjukkan
besarnya konsekuensi yang didapatkan dari sifat kegiatan penangkapan yang
memiliki risiko dan ketidakpastian yang besar. Bentuk modal lainnya yang
menunjang kegiatan penangkapan ikan adalah modal usaha dan modal sosial yang
pada dasarnya memang saling berkaitan. Suatu manajemen usaha yang baik harus
ada dalam kegiatan penangkapan, sehingga dapat mengorelasikan antara modal
usaha dengan modal sosial.

Uraian yang terdapat dalam jurnal ini memuat penjelasan hak dan kewajiban
juragan darat, juru mudi, dan ABK sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati
sebelumnya, rincian modal yang diperlukan oleh juragan darat dalam menjalankan
kegiatan penangkapan ikan setiap satu kali jalan serta penjelasan mengenai
manajemen yang diterapkan agar memperoleh hasil yang maksimal termasuk
pembagian hasil diantara pihak yang terlibat, kemudian terdapat penjelasan
mengenai prosentase pengaruh modal sosial dan non sosial terhadap hasil
tangkapan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan. Penjelasan yang
terdapat pada jurnal ini jika dihubungkan dengan penelitan yang dilakukan oleh
peneliti sudah memiliki kesinambungan, namun dalam jurnal ini lebih
menitikberatkan pada manajemen yang baik dalam kegiatan penangkapan ikan,
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menitikberatkan proses
pengelolaan dalam penangkapan ikan.

8. Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di


Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat

Dalam artikel yang ditulis oleh Dety Sukmawati menjelaskan mengenai strukur
dan pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara juragan dengan buruh. Fokus
penelitian dalam jurnal ini adalah nelayan yang berada di pantai utara Jawa Barat.
Dalam jurnal ini, penulis berusaha untuk memberikan gambaran mengenai struktur
sosial masyarakat nelayan, jenis simbiosis yang terjadi dalam hubungan sosial
ekonomi juragan dengan nelayan bururh, pendapat yang didapatkan antara nelayan
buruh dan juragan, kemudian faktor-faktor yang mendorong dan menarik nelayan
buruh untuk bekerja pada juragan nelayan.

Gambaran yang terjadi pada masyarakat nelayan di Pantura memiliki beberapa


struktur sosial. Dari beberapa juragan yang ada pada masyarakat nelayan terbagi
menjadi beberapa kelompok juragan antara lain, juragan pengusaha, juragan kuli,
juragan sebagai mata pencaharian pokok, juragan sebagai sambilan. Kemudian
struktur pekerja pada pekerjaan di laut atau perahu adalah nahkoda, motoris, orang
tengah, koki atau dapur. Dalam keadaan ini simbiosis yang terjadi adaah mutualism
dan sesuai dengan realitas sosial yang ada tidak semua masyarakat nelayan
dinyatakan sebagai lapisan masyarakat yang miskon atau lapisan bawah. Sesuai
dengan penjabaran jurnal ini, jika dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis akan menjelaskan pola pengorganisasian yang terjadi pada hubungan
mutualisme ini. Pengorganisasian yang diambil adalah kegiatan penangkapan ikan
yang melibatkan pihak juragan dan nelayan. Dalam penelitian ini, penulis berfokus
di kegiatan pengelolaan ikan di kapal slerek.

2.2. Landasan Teoritis


Teori yang digunakan sebagai pisau bedah pada penelitian ini yaitu Teori
Solidaritas yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, dimana Durkheim dalam
(Violanita, 2015) menyatakan bahwasanya solidaritas kemudian menjadi sebuah hal
yang merujuk kepada suatu hubungan anatara suatu individu maupun kelompok yang
kemudian didasari pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, juga
diperkuat dengan adanya sebuah pengalaman emosional secara bersama. Durkheim
juga menjelaskan bahwasanya dalam hal ini solidaritas kemudian juga dapat menjadi
sebuah perekat sosial, dimana adanya sebuah aturan berupa nilai, kepercayaan, adat
istiadat yang diyakini dan dianut secara bersama oleh suatu kelompok kemudian akan
melahirkan sebuah ikatan kolektif di antara anggota kelompok tersebut.
Secara lebih rinci Durkheim di dalam (Hasan, 2015) menyebutkan bahwasanya
sebuah kepercayaan yang diberikan oleh seseorang ketika sedang berhubungan dengan
individu maupun kelompok lain kemudian juga dapat menjadi sebuah langkah untuk
melahirkan sebuah rasa solidaritas, dimana hubungan yang terbina kemudian dapat
menjadi lebih baik dan menuju ke sebuah tingkatan yang lebih dalam seperti sebuah
persahabatan, sehingga rasa hormat-menghormati akan terbina di lingkungan kelompok
tersebut, juga hal ini akan mendorong terbentuknya sebuah rasa tanggung jawab dalam
memperhatikan satu sama lain. Durkheim di dalam (Harsono, 2014) menjelaskan
bahwasanya adanya sebuah pertumbuhan dan pembagian kerja yang kemudian mulai
meningkat juga menimbulkan sebuah perubahan dalam struktur sosial, dimana
solidaritas kemudian mengalami perubahan dari solidaritas mekanik menuju ke
solidaritas organik.
Solidaritas mekanik menurut Durkheim di dalam (Harsono, 2014) lebih di
dasarkan pada suatu kesadaran kolektif yang terbentuk secara bersama, dimana
kesadaran tersebut lebih merujuk kepada sebuah kepercayaan-kepercayaan yang
terbentuk antara anggota suatu keompok masyarakat secara totalitas, juga terbentuknya
sebuah sentimen-sentimen bersama antara anggota kelompok masyarakat tersebut.
Durkheim dalam menggambarkan solidaritas mekanik yaitu dengan melihat individu-
individu yang kemudian cenderung memiliki sebuah sifat yang sama, serta individu-
individu tersebut juga menganut sebuah pola normatif yang sama pula. Dalam hal ini
Durkheim juga menekankan bahwasanya pada solidaritas mekanik juga terdapat sebuah
hukum yang menekan, dimana solidaritas ini kemudian terbentuk berdasarkan sebuah
hukum represif, dimana hukum represif ini kemudian dapat diartikan sebagai sebuah
hukum yang sangat menekan juga dapat mendatangkan penderitaan pada
pelanggaranya. Durkheim juga mencirikan solidaritas ini dengan masyarakat yang
homogen dalam sebuah kepercayaan serta memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
Teori Solidaritas Mekanik dalam penelitian ini kemudian memiliki relevansi
yang sangat erat dengan analisa yang dimunculkan pada penelitian ini, dimana dalam
hal ini solidaritas mekanik digambarkan dari hubungan yang terbentuk antara para
pekerja di kapal slerek yang mana mereka kemudian bekerja dengan suatu tujuan dan
asas yang sama yaitunya berdasarkan kesepakatan bersama yang telah mereka ambil.
Juga solidaritas mekanik dalam penelitian ini kemudian digambarkan dengan upaya
mencoba untuk mengetahui lebih dalam terkait kesamaan pola perilaku yang tercipta
pada saat proses melaut, dimana aturan yang telah disepakati secara bersama kemudian
menjadi suatu hal yang mengatur para pekerja di kapal slerek agar mampu bekerja
secara profesional sesuai dengan jobdesk mereka masing-masing. Serta pada penelitian
ini kemudian juga dilihat terkait sanksi yang terjadi jika salah satu anggota kemudian
mencoba melanggar sabuah aturan yang ada, dimana hukum yang bersifat represif ini
kemudian juga mengikat dan mengharuskan setiap anggota pekerja di kapal slerek
untuk mampu melakukan tanggung jawab mereka sedemikian mungkin.
Berbeda dengan solidaritas mekanik, maka Durkheim menjelaskan solidaritas
organik di dalam (Violanita, 2015) sebagai sebuah bentuk yang kemudian menjadikan
seseorang terikat menjadi satu kesatuan yang kompleks, dimana adanya pemahaman
dari diri anggota suatu kelompok terkait pembagian kerja yang teratur, sehingga hal ini
memunculkan suatu kesatuan berdasarkan pada ketergantungan anatara anggota yang
satu dengan anggota yang lainnya. Durkheim kemudian menjelaskan bahwasanya
solidaritas organik kemudian muncul dengan sebuah ciri khas yaitunya adanya
pembagian kerja yang terus berkembang dan semakin besar, sehingga keterkaitan
antara suatu individu dengan individu lainnya menjadi sebuah modal untuk saling
mengakrabkan. Dalam hal ini Durkeim kemudian juga menekankan bahwasanya
solidaritas organik ini kemudian dibentuk dari adanya sebuah hukum restitutif yang
pada dasarnya bertujuan untuk memulihkan suatu keadaan kembali seperti semula,
sehingga permasalahan yang muncul kemudian dapat di atasi dengan baik. Durkheim
kemudian juga melihat bahwasanya di suatu anggota masyarakat dalam solidaritas
organik, biasanya terdapat sebuah motif yaitu untuk mendapatkan sebuah peran dalam
suatu kelompok masyarakat, dimana dibalik hal tersebut terdapatnya sebuah keinginan
untuk memperoleh upah atau gaji dari kelompok tersebut, sehingga solidaritas organik
juga dapat dikatakan sebagai sebuah cara untuk memperoleh perekonomian.
Teori Solidaritas Organik juga memiliki relevansi yang dilakukan pada
penelitian ini, dimana dalam hal ini ada sebuah proses yang dilakukan oleh para pekerja
dalam mendekatkan diri satu sama lain dimana pendekatan yang dilakukan yaitu untuk
menimbulkan suatu ikatan yang kemudian dapat mejadikan para pekerja memiliki
ketergantungan antara satu degan yang lainnya. Juga, pada penelitian ini akan dikupas
terkait peranan yang kemudian dimainkan oleh para pekerja di kapal slerek serta akan
dilihat pula keuntungan yang kemudian diperoleh oleh para pekerja setelah melakukan
peran mereka, dalam hal ini yaitu berupa upah atau gaji yang di dapatkan.
2.3. Alur Penelitian

MENENTUKAN
TOPIK PENELITIAN

MELAKUKAN
PENGAMATAN AWAL
Melakukan Studi
Literatur
MENEMUKAN
RUMUSAN MASALAH
Membedah Jurnal Terkait :
1. Pengorganisasian Nelayan
2. Mekanisme Penangkapan Ikan KERANGKA
3. Pola Relasi Antar Nelayan TEORITIS

METODE
ETNOGRAFIS
Menentukan Instrumen
Penelitian
Menulis Catatan TEKNIK
Lapangan Dan Transkip PENGUMPULAN Observasi
Wawancara DATA PENELITIAN

Membuat Kode-Kode PENGELOHAN & Wawancara


Istilah dan Struktur ANALISIS DATA

Interpretasi MENULIS
Struktur ETNOGRAFI

Peneliti dalam penelitian ini menjalankan beberapa prosedur dalam


melaksanakan penelitian, dimana penelitian ini diawali dengan penentuan tema dan
topik terkait penelitian yang akan dilaksanakan, pada penelitian ini topik yang akan
peneliti bahas yaitu terkait struktur pengorganisasian pada kapal. Setelah menemukan
tema dan topik penelitian, peneliti kemudian melaksanakan observasi terkait tema
yang akan diteliti dengan berkeliling pada tiga kampung di daerah Sendang Biru,
dimana peneliti mencoba mencari tahu terkait keberadaan masyarakat yang juga
merupakan seorang juragan atau pemilik kapal. Setelah melakukan observasi, peneliti
kemudian melakukan pengamatan serta mencari sumber literature yang berkaitan
dengan topik yang peneliti teliti, dimana peneliti mencoba mencari beberapa jurnal
yang kemudian membahas terkait pola pengorganisasian nelayan, mekanisme
penangkapan ikan, juga jurnal terkait sistem relasi yang ada diantara para nelayan,
sehingga setelah membaca beberapa jurnal tersebut, maka peneliti mencoba mencari
celah untuk melengkapi hal-hal yang belum dibahas oleh beberapa jurnal yang peneliti
temukan tersebut. Setelah menemukan celah dari beberapa literatur tersebut, akhirnya
peneliti menemukan permasalahan yang kemudian ingin di teliti lebih lanjut, dimana
peneliti mencoba mengangkat permasalahan terkait pola pengorganisasian
penangkapan ikan pada skala kapal slerek, dimana peneliti belum menemukan jurnal
yang membahas terkait hal tersebut.
Peneliti kemudian mencari sebuah teori yang dapat dijadikan sebagai pisau
bedah dalam penelitian ini, dimana teori Solidaritas yang dikemukakan oleh Emile
Durkheim dirasa berhubungan dengan konsep penelitian yang peneliti laksanakan
yaitu simbolik. Pada penelitian ini peneliti menggunakan konsep simbolik karena
peneliti ingin meneliti mengenai pola pengorganisasian yang mengikat setiap unsur di
dalam sistem kapal slerek. Setelah itu peneliti melakukan proses penelitian dengan
melakukan wawancara secara mendalam, sehingga peneliti memperoleh data yang
kemudian dapat digunakan sebagai bahan analisis dalam mencari sebuah pembahasan.
Setelah melakukan analisis, maka langakah selanjutnya yaitu peneliti memaparkan
hasil analisis data tersebut menjadi sebuah tulisan etnografi.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Metode dan Teknik Penelitian


Peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan etnografi untuk kemudian dapat memahami kondidi sosial
budaya masyarakat yang diteliti. Etnografi sendiri merupakan suatu kebudayaan yang juga
mempelajari kebudayaan lainnya. Etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian
yang sistematik mengenai semua kebudayaan yang dimiliki manusia dari perspektif orang
yang telah memepelajari kebuadaayan itu sendiri (Spradley, 2007). Pendekatan etnografi
ini diharapkan dapat membantu peneliti untuk mengetahui kehidupan masyarakat mulai
dari budaya dan sosial mereka lebih dalam lagi dengan secara langsung mengambil
perspektif masyarakat sebagai pemilik kebudayaan tersebut.
Spradley menyebutkan jika penelitian etnografi menitik beratkan pada bagaimana
peneliti kemudian mengulik sudut pandang masyarakat tersebut akan dunia, dengan
mendapatkan sudut pandang masyarakat terhadap dunia peniliti akan dengan mudah
mendapat gambaran tentang kebudayan yang mereka miliki. Deskripsi budaya yang
didapat ini di satu sisi menggambarkan perbedaan-perbedaan dan di sisi yang lain
menerangkannya. Perbedaan-perbedaan kebudayaan ini kemudian dijelaskan sesuai
dengan penyusunan perbandingan lintas-budaya yang digunakan. Perbandingan tidak
hanya mengungkapkan perbedaan suatu kebudayaan tetapi juga kemiripan, yaitu hal-hal
yang sama dalam semua kebudayaan di dunia.
Penelitian Etnografi sendiri berorientasi pada tujuan untuk memahami ciri kehidupan
masyarakat dari mulai sosial budayanya dalam menyusun sebuah pendeskripsian yang
sistematis (Nugrahani, 2014). Kemudian melanjutkan apa yang dikatakan Nugrahani
mengenai pendeskripsian budaya yang dimiliki suatu mesyarakat terdapat (Subadi, 2006)
dengan pendapatnya dalam bukunya yang berjudul ‘Metode Penelitian Etnografi’,
menyebutkan jika Etnografi bukan lah tentang deskripsi mengenai kehidupan masyarakat
kita dalam beragam situasinya, seperti: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka
memandang kehidupan, perilakunya dan semacamnya, akan tetapi studi etnografi
merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berfikir, hidup, berprilaku. Hal ini
tentu sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Sendang Biru tentang bagaimana
masyarakat mendiskipsikan perilaku mereka dalam melaut. Penelitian ini mencoba
mendeskripsikan pola pengorganisasian yang secara terstruktur hadir dalam kehidupan
masyarakat dengan profesi seorang nelayan yang khususnya menggunakan kapal Slerek,
data-data dari penelitian kemudian akan didapat dari interpretsi masyarakat tentang
kehidupan mereka mealui wawancara mendalam.
3.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah salah satu tahapan yang terpenting dalam sebuah penelitian
karena jika pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki
kredibilitas yang baik. Teknik pengumpulan data juga menyesuaikan bagaimana cara
peneliti ingin memperoleh data. Penelitian yang dilakukan di Sendang Biru Kabupaten
Malang ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara.
Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan dua pola pengorganisasian penangkapan
ikan skala kapal slerek di Sendang Biru Kabupaten Malang sehingga populasi dalam
penelitian ini adalah nelayan Kapal Slerek Mandala dan Kapal Slerek Sinar Terang.

3.2.1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk membantu dalam
proses pelaksanaan penelitian. Para peneliti menggunakan instrumen penelitian untuk
mengumpulkan data-data yang akan diperoleh. Manfaat dari adanya instrumen
penelitian adalah untuk menjadikan kegiatan penelitian menjadi mudah dan sistematis.
Instrument penelitian menjadi alat bantu dalam menggunakan metode pengumpulan
data merupakan salah satu sarana yang dapat diwujudkan dalam bentuk benda, antara
lain pedoman observasi, angket, pedoman wawancara dan sebagainya. Untuk
mempermudah pelaksanaan penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara
yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh narasumber. Peneliti
juga menggunakan instrumen perekam dalam merekam percakapan antara peneliti dan
informan untuk menghindari kemungkinan ketertinggalan informasi dari apa yang
diucapkan oleh informan.

3.2.2. Observasi

Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat sering
dilakukan dalam sebuah penelitian. Observasi juga merupakan hal yang terpenting
dalam pengumpulan data karena seperti apa yang dikatakan Sugiono (2014), belum
tentu apa yang dikatakan orang akan sama dengan apa yang dikerjakannya. Menurut
Sugiyono (2015: 204), observasi merupakan kegiatan pemuatan penelitian terhadap
suatu objek. Sugiyono (2009: 144) juga mengatakan bahwa observasi tidak terbatas
pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain. Dapat disimpulkan bahwa
observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati secara langsung dengan menggunakan penglihatan, penciuman,
pendengaran dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menjawab
rumusan masalah sebuah penelitian. Observasi ini dilakukan guna memperoleh
gambaran sebenarnya yang mana hasil obervasi akan berupa aktivitas, kejadian,
peristiwa, objek, kondisi atau suasana, dan perasaan emosi seseorang.

Teknik pengumpulan data observasi yang peneliti gunakan dibedakan menjadi


dua jenis yaitu observasi partisipan dan observasi non-partisipan. Obervasi
partisipan yaitu pengumpulan data dimana peneliti ikut dalam kegiatan sehari-hari
orang yang di teliti. Mengetahui dan melihat langsung interaksi yang ada di lapangan
memungkinkan peneliti akan memperoleh data yang akurat dan tajam mengenai
obyek yang akan diteliti. Sedangkan observasi non-partisipan yaitu pengumpulan
data dimana peneliti tidak terlibat dalam setiap kegiatan obyek yang diteliti. Peneliti
hanya menganalisis dari setiap data yang dicatat atau dilihat, kemudian membuat
kesimpulan mengenai obyek yang diteliti.

3.2.3. Wawancara

Wawancara menurut Kartini Kartono (1986: 171) adalah suatu percakapan yang
diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan,
dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Wawancara merupakan
kegiatan untuk memperoleh informasi yang mendalam mengenai masalah yang
diangkat dalam penelitian. Wawancara juga dapat dikatakan sebagai pembuktian
mengenai informasi yang telah didapatkan melalui teknik sebelumnya karena bisa
saja hasil wawancara sesuai atau berbeda dengan informasi yang telah diperoleh
sebelumnya.

Terdapat juga dua jenis wawancara yaitu wawancara mendalam dan wawancara
terarah. Wawancara medalam merupakan cara peneliti mengali informasi secara
mendalam dengan cara terlibat langsung di dalam kehidupan informan dan
melakukan tanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan. Sedangkan
wawancara terarah merupakan cara peneliti mengajukan pertanyaan yang telah
disiapkan sebelum bertanya kepada informan. Peneliti menggunakan wawancara
sebgai cara untuk mendapatkan data terkait dengan penelitian di Sendang Biru.
Sebelumnya peneliti telah membuat daftar pertanyaan untuk kemudian diajukan
kepada informan, peneliti juga telah menentukan informan seesuai dengan kriteria
dan setelah itu barulah peneliti mendatangi informan. Selama penelitian, peneliti tak
jarang harus mendatangi langsung ke kediaman informan dan terkadang berjanji
bertemu di tempat yang sudah disepakati, setelah bertemu dengan informan barulah
peneliti mulai mengajukan pertanyaan yang telah dirancang. Wawancara sendiri
oleh peneliti dibuat semendalam mungkin dan seterarah mungkin guna mendapatkan
data yang diinginkan.

3.3. Teknik Analisis Data


3.3.1. Catatan lapangan dan transkip wawancara
Peneliti dalam menjalankan penelitian di Sendang Biru melakukan salah satu
tahap dalam proses penelitian yaitu menuliskan catatan lapangan. Catatan lapangan
ditulis dalam buku yang selalu dibawa peneliti selama melakukan penelitian
dilapangan. Informasi yang diterima melalui wawancara dan observasi secara
singkat ditulis ke dalam buku sebagai catatan lapangan. Catatan lapangan kemudian
akan dituliskan kembali menjadi transkrip wawancara setiap satu hari dan ditulis
sesuai dengan informan yang diwawancara.
(Spradley, 2007) sendiri menyebutkan jika catatan lapangan memiliki
beberapa jenis dan salah satu yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
membuat laporan ringkas. Laporan ringkas sendiri merupakan catatan-catatan yang
dituliskan oleh peneliti mengenai informasi yang didapat selama wawancara atau
observasi, informasi yang dituliskan sendiri adalah versi ringkas dari apa yang
sesungguhnya terjadi dan apa yang dikatakan oleh informan. Kemudian jenis catatan
lapangan selanjutnya yang diadaptasi pada penelitian adalah bagaimana kemudian
peneliti menuliskan laporan yang diperluas, Spradley menyebutkan jika laporan
yang diperluas ini merupakan penjelasan dari laporan ringkas yang telah dicatat
selama melakukan penelitian di lapangan. Laporan yang diperluas ini meliputi
penjelasan lebih luas dari catatan singkat peneliti dan juga transkrip wawancara.
3.3.2. Kategori – kategori yang muncul
Setelah menuliskan hasil transkip wawancara dan juga mengumpulkan
catatan lapangan, maka peneliti selanjutnya melakukan proses pengelompokan hasil
data temuan dengan mengkategorikan istilah-istilah lokal yang muncul menjadi
sebuah struktur-struktur yang dapat mendukung penelitian ini. Pengkategorian
struktur-struktur istilah peneliti bedakan menjadi tiga kelompok yaitu terkait
kategori pola pengorganisasian, penangkapan ikan, dan kapal slerek. Struktur yang
muncul tersebut kemudian peneliti gunakan untuk memunculkan jawaban-jawaban
atas rumusan masalah yang telah penulis buat, sehingga dengan menghubungkan
struktur yang muncul di setiap kategori, maka munculan kalimat-kalimat yang
kemudian peneliti gunakan pada poin pembahasan.
Berikut merupakan tabel pengelompokan yang telah peneliti lakukan
berdasarkan hasil temuan data di catatan penelitian peneliti, dimana tabel tersebut
menjelaskan terkait kategori-kategori yang berhubungan dengan pola
pengorganisasian, penangkapan ikan, dan kapal slerek.

Pola Pengorganisasian Status Struktur status 1:


Pengambek…
Struktur status 2: Juragan …
Struktur status 3: ABK…

Aktivitas Struktur aktivitas 1:


mayang…
Struktur aktivitas 2: prei…
Struktur aktivitas 3: nimah

Struktur aktivitas 4: niten …
Struktur aktivitas 5:
mantau…
Struktur aktivitas 6:
nylerek…
Penangkapan ikan Alat Struktur alat 1: kletek…
Struktur alat 2: timah…
Struktur alat 3: njaring,
kolor…
Struktur alat 4: pemakaian
HP…
Struktur alat 5: ngrumpon…

Ruang dan Waktu Struktur waktu 1: padangan



Struktur waktu 2: baratan…
Struktur waktu 3: nemor…
Kapal Slerek Upah Struktur upah 1: uang
operasional (makan,
kesehatan, …
Struktur upah 2: uang bonus
(terima kasih…

ABK Struktur ABK 1: nangros…


Struktur ABK 2: tukang
kletek…
Struktur ABK 3: tukang
Tarik timah…
Struktur ABK 4: tukang
karet kolor…
Struktur ABK 5: pemantau

Struktur ABK 6: kapten…
Struktur ABK 7 : penguras
...

3.3.3. Interpretasi struktur

Untuk memunculkan sebuah interpretasi data, maka dalam hal ini peneliti
mencoba menghubungkan ketiga kategori yang muncul, dimana dalam kategori
tersebut juga terdapat struktur-struktur yang mengandung berbagai macam jenis
aktivitas, sehingga dalam hal ini ketika peneliti mengkaitkan struktur-struktur yang
muncul, maka peneliti dapat menghasilkan sebuah bentuk aktivitas yang
berhubungan dengan pola pengorganisasian, penangkapan ikan, dan kapal slerek.
Bahkan ketika peneliti mencoba menggabungkan struktur yang ada di ketiga
kategori tersebut, maka peneliti kemudian berhasil dalam melahirkan tema-tema
yang penjelasanya dapat menjawab rumusan masalah yang peneliti buat. Misalnya
yaitu dalam memunculkan tema struktur pembagian kerja di kapal slerek, penulis
menghubungkan ketiga kategori yang ada yaitunya pola pengorganisasian,
penangkapan ikan, dan kapal slerek, diamana penggabungan beberapa struktur
tersebut menghasilkan kalimat seperti berikut :

“Bapak Sam selaku Juragan kapal slerek “Mandala Sam” bertugas dalam
mengawasi dan mengayomi para ABK, dimana beliau memperoleh informasi
dari nangros dengan menggunakan Hp, bahakan beliau selalu mengetahui
segala perkembangan para ABK nya, baik itu terkait kebutuhan para ABK
ataupun keluhan yang dirasakan oleh para ABK ketika nemor maupun baratan.”
3.3.4. Menulis Etnografi

Menulis Etnografi menjadi langkah yang dilakukan oleh seorang etnografer


dalam menerjemahkan suatu fenomena atau budaya yang dimiliki oleh suatu
masyarakat dan untuk menuliskan sebuh karya etnografis sendiri diperlukan tujuan dan
acuan yang jelas dan terkait untuk dapat menjelaskan kebudayaan yang ingin dituliskan
dengan baik. Menulis Etnografi mengikuti (Spradley, 2007) memiliki proses yang
cukup panjang untuk kemudian peneliti mendapatkan jawaban yang sesuai dengan
rumusan masalah yang diajukan. Sedikit disinggung sebelumnya untuk menulis
etnografi peneliti harus mengikuti proses-proses yang secara rinci telah dijelaskan.
Peneliti harus turun ke lapangan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan fokus
penelitian dan kemudian data tersebut akan dituliskan dalam catatan lapangan dan
transkrip-transkip untuk selanjutnya dianalisis guna mengetahui pola-pola dan struktur-
struktur yang terdapat dalam data. Hasil analisis inilah yang kemudian dapat menjawab
rumusan masalah dari penelitian dan akan dituliskan dalam naskah akhir untuk
menyempurnakan tulisan etnografis.
BAB IV
GAMBARAN UMUM
Lokasi penelitian berada di Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan
Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Terletak di bagian ujung
selatan daerah Malang. Desa Sendang biru terbagi atas beberapa wilayah yang memiliki
karakteristik berbeda-beda. Wilayah-wilayah tersebut dibedakan atas penduduk-penduduk
yang tinggal disana, anatara lain Perumnas, Kampung Baru, Kampung Raas, dan Kampung
Langit. Penduduk asal Bugis yang merupakan suku Sulawesi Selatan kebanyakan bertempat
tinggal di Perumnas. Seperti perumans-perumnas pada umumnya, rumah-rumah yang ada di
Perumnas memiliki bangunan-bangunan yang besar dan bagus meskipun ada beberapa yang
biasa saja. Letak wilayah Perumnas tepat ditengah-tengah Dusun Sendang Biru. Kemudian
Sendnag Biru juga didatangi oleh orang-orang Madura, mereka memilih satu wilayah yang
berada di dekat rawa-rawa yang dulunya adalah tempat pengasapan ikan, disebut dengan
Kampung Raas. Nama Raas sendiri berasal dari nama daerah yang ada di Madura, karena
kebanyakan dari penduduk di Kampung Raas adalah orang-orang Madura. Kemudian terdapat
satu kampung yang letaknya sedikit menanjak dan dapat dikategorikan lumayan jauh dari
tengah dusun, yaitu Kampung Baru. Kampung Baru tidak memiliki satu karakteristik yang
menonjol jika dilihat dari penduduk-penduduk pendatangnya, karena menurut observasi yang
dilakukan oleh peneliti, Kampung Baru diisi oleh berbagai macam pendatang, ada yang berasal
dari orang Jawa, Madura, Pandalungan (Wilayah Besuki).Selanjutnya adalah Kampung Langit
yang berisikan orang-orang asli Sendang Biru dan mayoritas beragama Nasrani. Penduduk
Kampung Langit sangat jarang berkomunikasi dengan pendatang yang ada di Sendang Biru
karena mereka merasa tersaingi dengan keberadaannya. Meskipun tiap-tiap wilayah memiliki
satu pendatang yang berasal dari satu wilayah misalnya Bugis, tidak menutup kemungkinan
wilayah tersebut juga ditempati oleh orang-orang pendatang dari Jawa, Madura, dan
Pandalungan.
Sesuai dengan uraian di atas, penduduk Sendang Biru mayoritas bukanlah penduduk
asli, melainkan orang-orang pendatang yang kebanyakan berasal dari Jawa, Madura, Bugis,
dan Pandalungan. Para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah tersebut membawa
keahliannya dibidang melaut dan memilih Sendang Biru sebagai tempat untuk beradu nasib.
Mereka memilih Sendang Biru untuk beradu nasib karena kekayaan laut yang dimiliki sangat
melimpah. Awalnya para pendatang hanya berniat untuk hidup sementara, namun banyak dari
mereka akhirnya menetap dan menjadi penduduk resmi disana. Mayoritas penduduk di
Sendang Biru bermata pencarian sebagai nelayan. Jenis-jenis nelayan yang ada di Sendang
Biru bergantung pada kapal yang digunakan, antara lain nelayan speed (jungkung), nelayan
slerek, nelayan payangan, dan nelayan sekoci.
Penelitian ini berfokus pada pola pengorganisasian penangkapan ikan di Sendang Biru.
Pola pengorganisasian yang dilakukan tiap jenis kapal berbeda-beda. Dalam penelitian ini,
peneliti memilih pola pengorganisasian di kapal slerek. Jenis kapal slerek memiliki
pengorganisasian yang kompleks, sehingga peneliti berusaha menemukannya secara runtut.
Perbedaan yang ada tidak hanya pada jenis kapal satu dengan yang lain. Terdapat perbedaan
yang jelas anatara kapal slerek datu dengan kapal slerek yang lain. Perbedaan tersebut
bergantung pada pemilik kapal. Semua pengorganisasian yang ada dalam kapal dipegang
sepenuhnya oleh pemilik kapal. Penelitian ini memilih Kapal Slerek Sinar Terang milik Pak
Buhari dan Kapal Slerek milik Pak Sam.
BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Struktur Pembagian Kerja Kapal Slerek


Memutuskan untuk bekerja secara berkelompok, tentunya dalam hal ini juga
terdapat sebuah struktur dan juga pembagian kerja yang akan mengikat para pekerja
tersebut. Begitu juga hal yang terjadi dengan kelompok kapal slerek di daerah Sendang
Biru, adanya pembentukan sebuah kelompok kapal nelayan tentunya juga membentuk
sebuah pola struktur yang memang mengharuskan para pemilik kapal untuk membagi
jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan. Pada penelitian ini peneliti kemudian
mencoba melihat bentuk struktur dari pembagian kerja tersebut, dimana dalam hal ini
peneliti mencoba memfokuskan penelitian pada dua kapal yang berjenis slerek di
daerah Sendang Biru, yakninya pada kelompok kapal slerek Mandala Sam, dan pada
kelompok kapal slerek Sinar Terang. Peneliti merasa bahwasanya sistem pembagian
kerja kemudian menjadi sebuah hal yang penting dilakukan oleh para pemilik kapal
sebelum melakukan proses melaut, dimana hal tersebut juga menjadi sebuah unsur yang
mendukung terciptanya pola pengorganisasian pada kapal tersebut.
Peneliti kemudian mencoba menelaah lebih jauh terkait sistem pembagian kerja
yang kemudian terjadi pada skala kapal slerek Mandala Sam, dimana peneliti
memperoleh informasi dari salah seorang informan yaitu Bapak Imam yang merupakan
salah satu Anak Buah Kapal di kapal slerek Mandala Sam sekaligus seorang nangros
pada kapal tersebut, beliau menyatakan bahwasanya dalam kapal slerek sendiri terdapat
berbagai jenis pembagian kerja, dimana beliau kemudian juga menjelaskan bahwasanya
Bapak Sam selaku Juragan kapal slerek “Mandala Sam” bertugas dalam mengawasi
dan mengayomi para ABK, dengan memperoleh informasi dari nangros dengan
menggunakan Hp, beliau selalu mengetahui segala perkembangan para ABK nya, baik
itu terkait kebutuhan para ABK ataupun keluhan yang dirasakan oleh para ABK.
Bapak Imam menerangkan kepada peneliti bahwasanya dalam pembagian jenis
pekerjaan di kapal slerek “Mandala Sam” , ABK memiliki beberapa pembagian kerja
pada saat nemor, dimana Juragan lah yang memutuskan jenis pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para ABK tersebut, dan dalam hal ini jenis pekerjaanlah yang nantinya
akan menentukan jumlah upah operasional yang akan diterima oleh ABK. Juragan
kapal slerek “Mandala Sam” pada saat mayang juga membagi struktur pekerja menjadi
dua kategori yaitu Pekerja Inti (yang terdiri dari nangros dengan tugas sebagai pemberi
informasi , tukang tarek kletek dengan tugas menarik kletek, pemanto yang bertugas
untuk manto, nahkoda dua, dan penguras) dan Pekerja Biasa (yang terdiri dari tukang
tarek timah dengan tugas mengangkat timah, tukang tarek kolor dengan tugas
menyebar dan menarik jaring, pemasak).
Pada saat yang bersamaan, Bapak Imam juga menjelaskan kepada peneliti
bahwasanya beliau sebagai seorang nangros di kapal Mandala Sam bertugas dalam
menghubungi seluruh ABK dengan menggunakan Hp, dalam hal ini beliau bertugas
untuk memberitahu ABK terkait kepastian dalam mayang, dimana nangros akan
mengkonfirmasi hal tersebut terlebih dahulu kepada Bapak Sam selaku juragan. Bapak
Imam yang selaku nangros ketika mayang ternyata juga memiliki tugas sebagai tukang
tarek kletek, dimana beliau juga bertugas dalam menyebarkan jaring.
Peneliti kemudian juga memperoleh informasi dari Bapak Imam, dimana beliau
menyatakan bahwasanya Juragan kapal slerek “Mandala Sam” yang juga sebagai
seorang Nahkoda Utama pada saat proses mayang baik itu ketika nemor maupun
baratan, bertugas dalam mencari dan memberikan informasi terkait keberadaan ikan
dengan menghubungi kapten dari kapal slerek lainnya dengan menggunakan hp. Bukan
hanya itu saja, ketika sedang nemor, juragan juga bertugas dalam memberikan
informasi kepada nangros guna memberitahu terkait kepastian beliau untuk ikut
mayang, juga beliau akan menjadi kapten sekaligus nahkoda pada kapal slerek utama.
Setelah memperoleh informasi tersebut, barulah seorang nangsros akan menghubungi
para ABK juga para pekerja lainnya seperi penguras. Pada saat nemor, penguras yang
telah memperoleh informasi dari nangros kemudian akan segera mempersiapkan segala
kebutuhhan pada saat sebelum mayang, dimana mereka akan membersihkan, mengisi
segala keperluan yang dibutuhkan, dan mereka pula yang akan menjemput bekal makan
siang yang telah dimasak oleh pemasak bagi para pekerja ketika mayang, juga beliaulah
yang sekaligus akan menjemput kapten untuk menjalankan proses mayang.
Pembagian kerja yang sangat terstruktur dai Bapak Sam selaku Juragan di Kapal
Slerek Mandala Sam, kemudian ketika nemor hal tersebut seolah membuat para ABK
dituntut agar lebih profesional dan disiplin dalam melakukan proses pekerjaan, sebab
masing-masing tugas kemudian akan sangat penting untuk kelancaran memperoleh
hasil tangkapan ikan yang banyak, dan juga hal tersebut sebagai syarat dalam
memperoleh upah operasional. ABK akan memperoleh upah operasional berdasarkan
jenis kegiatan kerja yang dilaksanakan, dimana Tukang Tarek Kletek akan
menyebarkan dan menarik kembali jaring yang telah disebarkan. Pemanto kemudian
akan selalu siaga di tempatnya guna memanto tanda-tanda keberadaan ikan, ketika
keberadaan ikan telah terlihat, maka beliau akan memberikan informasi tersebut kepada
kapten dan kapten akan memberitahu para ABK untuk menyebar jaring, kemudian
ketika telah terkumpul sejumlah ikan maka tukang tarek kolor akan segera menaikan
jaring. Tukang Tarek Timah kemudian akan nimah setelah proses melaut dirasa sudah
cukup oleh kapten dan bersiap untuk kembali ke daratan. Pengambek menunggu kapal
bersama manol di dermaga, setelah sampai manol akan segera memindahkan hasil
tangkapan ikan, dan pengambek akan melakukan proses menjual ikan dengan pelelang.
Hal berbeda yang dapat terlihat pada kapal slerek Mandala Sam ini yaitu kebiasaan
juragan dalam niten yang juga memudahkan proses nyelerek, bukan hanya itu saja
beliau juga akan memberikan ilmu tersebut kepada para ABK kepercayaannya, dimana
dalam hal ini Bapak Sam memilih salah seorang pekerja yaitu Bapak Sapto untuk
menjadi Kapten kedua yang membawa kapal belakang pada saat mayang, dimana pada
kapal tersebut terdapat 7 orang ABK lainnya yang nantinya bertugas dalam menarik
jaring hasil tangkapan ikan. Ilmu tersebut beliau ajarkan kepada Bapak Sapto
dikarenakan kepercayaan yang telah beliau berikan pada Bapak Sapto dalam
mengoperasikan kapal slerek Mandala Sam bersama beliau selama 10 tahun terakhir
ini.
Peneliti kemudian menemukan hal yang berbeda terjadi pada kelompok kapal slerek
Sinar Terang, dimana pada kelompok kapal slerek ini pola pembagian kerja yang
ditetapkan oleh pemilik kapal tidaklah seperti di kapal Mandala Sam. Peneliti mencoba
mengkaji lebih jauh mengenai sistem pembagian kerja kapal slerek Sinar Terang milik
Pak Bukhari, dimana peneliti memperoleh informasi dari salah seorang ABK kapal
slerek Sinar Terang yaitu Pak Hari Gondrong. Pak Hari Gondrong adalah seorang
kapten dan pemanto kapal slerek Sinar Terang milik Pak Bukhari. Menurut Pak Hari
Gondrong, pembagian kerja yang ada di kapal slerek Sinar Terang ini dibagi
berdasarkan dua kapal yaitu kapal induk dan kapal pemburu. Pembagian ini juga
berdasarkan berapa banyak jumlah ABK yang akan ikut mayang. Pada kapal induk,
biasanya terdiri dari 5 sampai 8 orang sesuai dengan jumlah seluruh nelayan yang akan
ikut mayang, dimana terdapat satu orang nahkoda dan sisanya adalah pemegang jaring.
Lalu, pada kapal induk merupakan sisa dari ABK di kapal induk. Biasanya pada kapal
induk, terdapat tukang pegang pelampung berjumlah 3 orang, tukang timah berjumlah
4 sampai 8 orang, tukang pegang tali atau kolor berjumlah 2 orang, pemanto 1 orang,
dan sisanya adalah tukang pegang jaring yang menurut Pak Hari Gondrong adalah
pasukan tidur. Pada kapal induk ini juga dibagi menjadi pasukan depan dan pasukan
belakang. Pasukan depan berisi pemanto dan para tukang timah, sedangkan pasukan
belakang sisa dari semua ABK. Pak Hari Gondrong yang merupakan seorang pemanto
di kapal induk slerek "Sinar Terang" ini bercerita kepada peneliti bahwa semua ABK
dapat bersantai kecuali Pak Hari Gondrong, karena Pak Hari Gondrong harus
mengetahui keberadaan ikan.
Pemilihan ABK biasanya dilakukan oleh juragan yaitu Pak Bukhari yang dibantu
oleh orang kepercayaan Pak Bukhari yaitu Pak Yanto yang merupakan seorang ABK di
kapal slerek "Sinar Terang" dan Pak Hari Gondrong itu sendiri. Dalam pemilihan ABK,
tidak ada kriteria khusus yang diminta oleh sang juragan. Pak Hari Gondrong memberi
tahu kepada peneliti, jika dulu kriteria ABK harus bisa memperbaiki jaring, maka
sekarang hanya dengan satu syarat yaitu tidak mabuk laut. Kriteria yang di ajukan tidak
terlalu berat dikarenakan pencarian ABK yang dirasa cukup sulit sekarang. Pak Yanto
juga bercerita kepada peneliti bahwa selain membantu dalam perekturan, Pak Yanto
juga membantu Pak Bukhari dengan bertanggung jawab dalam mengurus pembukuan
atau keuangan dari usaha penangkapan ikan pak Bukhari.
Pak Hari Gondrong menjelaskan kepada peneliti bahwa sebelum mayang, yang
bertugas mengumpulkan dan menghubungi ABK adalah penggosok atau lebih dikenal
dengan penguras. Penguras merupakan bagian dari ABK itu sendiri, sehingga dari 38
hinga 45 ABK kapal slerek "Sinar Terang", akan ada beberapa penggosok tersebut. 3
jam sebelum keberangkatan, para ABK diharap sudah berkumpul semua di rumah
juragan atau rumah khusus yang disediakan juragan untuk para ABK. Lalu, sembari
menunggu keberangkatan, para penguras ini akan memasukan barang-barang yang
dibutuhkan saat mayang seperti solar dan makanan. Pengisi juga diminta membantu
dalam memasukan es balok ke dalam palka.
Pemanto yang harus mengetahui keberadaan ikan akan memberitahu kapal
pemburu jika dirasa lokasi terdapat ikan. Lalu, kapal pemburu akan memutar area yang
terdapat ikan untuk melakukan lingkar ikan. Sekitar 15 menit hingga 30 menit dirasa
cukup untung menarik jaring kembali. Jaring pun dipindahkan ke kapal induk dan
pencarian ikan dilanjutkan kembali. Pencarian ikan akan dilakukan hingga 26 mil
jauhnya. Jika pencarian dianggap cukup oleh kapten, maka kapal akan kembali menuju
daratan. Saat arah kembali menuju daratan, kapten akan mengubungi pengambak
menggunakan sms. Setelah sampai daratan, ikan akan diangkut menggunakan torsa
menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau diberikan kepada pengambak. Menurut Pak
Yanto, pengambak sangat membantu sang juragan karena pengambak bertanggung
jawab dalam pengurusan ikan di TPI, memonitor harga dan memasarkan ikan hasil
tangkapan ke pengepul-pengepul, termasuk mengatur pengiriman ikan ke pembeli-
pembeli.
Berbeda dengan kapal slerek "Mandala Sam', pemilihan ABK kapal slerek "Sinar
Terang" lebih simple dalam segi persyaratan dan tata caranya. Jika pada kapal slerek
"Mandala Sam", para ABK diharuskan untuk menghubungi nangros dan juga dituntut
untuk profesional dan disiplin dalam melakukan proses pekerjaan, maka pada kapal
slerek "Sinar Terang", para ABK dapat langsung mengubungi juragan. Kriteria yang di
diberikan juragan juga tidak berat yaitu tidak mabuk laut. Hal ini menjadi bukti bahwa
antara kapal slerek "Sinar Terang" dan kapal slerek "Mandala Sam" memiliki pola
pembagian kerja yang tidak sama.
Dibalik perbedaan tersebut, tentunya juga terdapat sebuah persamaan yang terjadi
pada pembagian kerja di kedua jenis kapal ini, hal yang membuat kedua kapal ini
terlihat sama yaitunya terkait kepercayaan yang diberikan oleh para juragan kepada
para orang kepercayaan mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Durkheim di dalam
(Hasan, 2015) bahwasanya sebuah kepercayaan yang diberikan oleh seseorang ketika
sedang berhubungan dengan individu maupun kelompok lain kemudian juga dapat
menjadi sebuah langkah untuk melahirkan sebuah rasa solidaritas, dimana hubungan
yang terbina kemudian dapat menjadi lebih baik dan menuju ke sebuah tingkatan yang
lebih dalam seperti sebuah persahabatan, sehingga rasa hormat-menghormati akan
terbina di lingkungan kelompok tersebut, juga hal ini akan mendorong terbentuknya
sebuah rasa tanggung jawab dalam memperhatikan satu sama lain. Hal ini kemudian
dapat dijumpai pada kedua jenis kapal ini, dimana pembagian kerja kemudian
didasarkan pada rasa percaya seorang juragan terhadap ABK nya, sehingga pada saat
proses mayang para juragan akan membagi berbagai jenis pekerjaan kepada individu
yang memang dirasa mampu untuk menjalankan tugas tersebut, dengan demikian
pembagian kerja yang dilakukan oleh juragan harus dapat diterima baik oleh seluruh
ABK, sehingga pada saat mayang rasa hormat menghormati menjadi sebuah hal yang
mendorong terbentuknya rasa tanggung jawab ABK dalam bekerja
5.2. Struktur Penangkapan Ikan Kapal Slerek
Waktu melaut pada umumnya terbagi menjadi dua musim yaitu nemor dan
baratan. Nemor sendiri jika disamakan dengan musim di Indonesia adalah saat musim
kemarau dan baratan adalah saat musim hujan. Nemor menjadi musim dimana nelayan
juga menyebut dengan musim ikan yaitu saat dimana banyak ikan muncul dan baratan
adalah musim paceklik bagi nelayan dimana tidak banyak ikan atau bahkan tidak ada
ikan sama sekali. Musim nemor dan baratan ini masing-masing berdurasi selama 6
bulan, kemudian dalam satu bulan sendiri nelayan biasanya pergi mayang selama 15-
21 hari karna selama padangan nelayan akan prei mayang selama bebrapa hari
tergantung dengan juragan. Pak Sam selaku Juragan dari kapal Slerek Mandala Sam
kemudian menjadi pihak yang menentukan kapan akan pergi mayang di hari-hari efektif
melaut. Juragan akan mengabari nangros dengan menggunakan hp untuk segera
mengumpulkan para ABK di dermaga. Nangros yang telah mendapat kabar kemudian
akan menghubungi penguras terlebih dahulu untuk menyiapkan perbekalan yang
dibutuhkan seperti, balok es, bahan bakar dan lain sebagainya. Setelah penguras,
nangros kemudian akan menghubungi ABK lainnya menggunakan hp dan terkadang
mengabari langsung ke rumah ABK tersebut.
Setelah mendapat kabar dari nangros, penguras kemudian akan segera menyiapkan
berpekalan dan menyiapkan kapal. ABK yang termasuk dalam penguras sebagian akan
membersihkan dan mengecek mesin kapal dan sebagian lagi akan pergi berbelanja
perbekalan yang dibutuhkan selama mayang. Sama halnya dengan penguras, ABK lain
pun akan bersiap-siap dan segera pergi ke tempat dimana kapal bersandar. Nangros
kemudian akan datang untuk memastikan apakah semua ABK telah berkumpul, apabila
semua ABK sudah berkumpul nangros akan segera pergi ke rumah juragan untuk
menjemputnya dan segera berangkat ke kapal. Setelah sampai di kapal juragan akan
melakukan pengecekan terakhir pada mesin kapal dan setelahnya semua ABK akan naik
ke kapal untuk berangkat mayang.
Juragan akan berada di kapal utama sebagai nahkoda utama, sebelumnya sebagaii
informasi singkat kapal Slereka memiliki dua kapal dimana kapal utama akan
mengangkur jaring di dalamnya dan kapal yang satu lagi bertugas sebagai pemburu
ikan dan menjadi tempat menyimpan ikan tangkapan, ketika mulai berlayar kapal utama
akan berada di depan dan juragan akan menjadi nahkodanya. Juragan kedua atau
nahkoda cadangan akan menahkodai kapal belakang, di kapal ini akan mengangkut
tukang tarek kolor dan beberapa ABK biasa di dalamnya. Nangros disini kemudian akan
ikut melaut dan dia akan berada di kapal belakang sedangkan penguras akan tetap
tinggal di darat.
Kapal akan berlayar sampai 5 mil ke tengah atau 40 mil ke Timur dan terkadang
30 mil ke Barat. Kapal akan berhenti jika jarak dan tempat di rasa tepat untuk mulai
menebar jaring. Sejak keberangkatan kapal ABK yang bertugas sebagai pemanto akan
berada di menara yang ada di kapal utama dan terus manto keberadaan ikan, salah satu
faktor dari pemberhentian kapal di tengah laut sendiri adalah jika pemanto sudah
mendapatkan spot yang tepat dimana dirasa banyak ikan berkumpul di sana. Pemanto
yang sudah mendapatkan lokasi keberadaan ikan kemudian akan memberitahukan
informasi terkait kepda nahkoda utama. Informasi yang telah diterima oleh nahkoda
utama kemudian akan diberitahukan kepada nahkoda di kapal belakang melalui hp.
Nahkoda belakang kemudian akan mensejajarkan kapal dengan kapal utama dan mulai
menarik jaring dari kapal utama untuk kemudian di bentangkan secara melingkar sesuai
dengan luas yang diberitahukan oleh pemanto.
Jaring akan di bentangkan selama beberapa waktu dan saat ikan sudah banyak
terkumpul di dalamnya makan tukang tarek kolor akan mulai menarik kolor jaring
sehingga ikan-ikan yang berada dalam jaring akan terangkut. Ikan-ikan tersebut
kemudian akan di angkat dan dimasukkan oleh para ABK ke dalam rumpon-rumpon
yang berada di kapal kedua. Setelah ikan dinaikkan ke kapal, tukang tarek timah akan
nimah dan tukang kletek akan menarik kletek ke atas kapal utama dan jaring akan
disimpan kembali ke kapal utama. Proses yang sama akan diulang kembali sampai di
kapal belakang telah menampung banyak ikan. Saat ikan tangkapan di rasa cukup
nahkoda utama kemudian akan mengisyaratkan untuk kembali ke darat.
Sebelum sampai di dermaga juragan atau nahkoda utama akan menghubungi
pengambek melalui HP agar kemudian pengambek telah berada di dermaga saat kapal
bersandar. Ikan-ikan kemudian akan diangkut ke darat untuk kemudian ditimbang
setelah kapal bersandar, setelahnya ABK dan juragan akan beres-beres dan kembali ke
rumah masing-masing. Ikan sendiri menjadi urusan pengambak setelahnya untuk
kemudian dijual.
Berbeda dengan Kapal Mandala Sam di Kapal Sinar Terang sebelum mayang, yang
bertugas mengumpulkan dan menghubungi ABK adalah penggosok atau lebih dikenal
dengan penguras. Penguras merupakan bagian dari ABK itu sendiri, sehingga dari 38
hinga 45 ABK Kapal Slerek Sinar Terang, akan ada beberapa penggosok tersebut. 3 jam
sebelum keberangkatan, para ABK diharap sudah berkumpul semua di rumah juragan
atau rumah khusus yang disediakan juragan untuk para ABK. Lalu, sembari menunggu
keberangkatan, para penguras ini akan memasukan barang-barang yang dibutuhkan
saat mayang seperti solar dan makanan. Pengisi juga diminta membantu dalam
memasukan es balok ke dalam palka.
Pemanto yang harus mengetahui keberadaan ikan akan memberitahu kapal
pemburu jika dirasa lokasi terdapat ikan. Lalu, kapal pemburu akan memutar area yang
terdapat ikan untuk melakukan lingkar ikan. Sekitar 15 menit hingga 30 menit dirasa
cukup untung menarik jaring kembali. Jaring pun dipindahkan ke kapal induk dan
pencarian ikan dilanjutkan kembali. Proses dalam penangkapan ikan mulai dari
menebar jaring sampai dengan megangkut ikan ke dalam kapal di Kapal Sinar Terang
ini agaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Kapal Mandala Sam. Pencarian
ikan kemudian akan dilakukan hingga 26 mil jauhnya. Jika pencarian dianggap cukup
oleh kapten, maka kapal akan kembali menuju daratan. Saat arah kembali menuju
daratan, kapten akan mengubungi pengambak menggunakan sms. Setelah sampai
daratan, ikan akan diangkut menggunakan torsa menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
atau diberikan kepada pengambak.
Secara umum mungkin struktur dalam penangkapan ikan di antara Kapal Mandala
Sam dan Kapal Sinar Terang terliat sama saja, namun jika dilihat lebih detail lagi kedua
kapal ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan yakni dalam hal keberadaan dan
peranan nangros. Jika di Kapal Mandala Sam yang bertugas sebagai pengantar berita
atau perantara antara juragan dan ABK adalah nangros, maka di Kapal Sinar Terang
tidak memiliki seorang yang bertugas sebagai perantara antara juragan dan ABK dan
yag bertugas untuk pengantar berita sendiri adalah seorang penguras. Satu hal lagi yang
membedakan kedua kapal ini adalah keikutsertaan penguras dalam mayang, jika di
Kapal Mandala Sam yang ikut serta sat mayang adalah nangros maka di Kapal Sinar
Terang yang ikut serta saat mayang adalah penguras.
Kedua Kapal ini memiliki struktur mereka sendiri dalam hal penangkapan ikan dan
menilik dari konsep solidaritas organik milik Durkheim tentang bagaimana kemudian
muncul satu ciri khas yaitu adanya pembagian kerja yang terus berkembang dan
semakin besar, sehingga keterkaitan antara suatu individu dengan individu lainnya
menjadi sebuah modal untuk saling mengakrabkan, terlihat dari kepengaturan kerja dari
seluruh ABK ketika telah berada di atas kapal dengan satu tujuan yang sama yaitu
mendapatkan ikan. Sedikit menyinggung kemudian tentang ABK yang tentu berasal
dari berbagai daerah akan mendapatkan pembagian kerja masing-masing dan
selanjutnya akan saling mengakrabkan diri mereka untuk dapat bekerja sama dengan
baik ketika berada di laut. Durkheim dalam solidaritas organik juga menyebutkan jika
peran atau tugas yang didapat ini akan menuntun mereka ke dalam satu tujuan atau
keinginan untuk memperoleh sebuah upah atau gaji dari kelompok terkait, sehingga
secara tidak langsung solidaritas organik ini juga dapat menuntun seseorang dalam
memperoleh jalan perokonomian mereka, pembahasan tentang bagaimana upah ini di
dapat sendiri akan dilanjutkan pada sub bab selanjutnya.
5.3. Struktur Pembagian Upah Kapal Slerek
Sedikit disinggung tentang solidaritas organis sebagai salah satu jalan memperoleh
pemasukan atau perekonomian kemudian akan dijelaskan struktur pembagian upah di
kedua kapal terkait. Yang pertama adalah Kapal Slerek Mandala Sam, kapal ini sendiri
pada dasarnya memiliki dua waktu pembagian upah, yang pertama adalah saaat setiap
kali selesai mayang dan yang kedua adalah setiap padangan datang yang merupakan
waktu dimana upah pokok dibagikan. Padangan sendiri datang sebulan yang berarti
upah pokok akan dibagikan setiap sebulan sekali kepada para ABK. Sistematika
pembagian upah sendiri akan dimulai saat hasil penjualan ikan didapat yaitu setiap kali
selesai mayang, namun sebelum ikan dijual oleh pengambak ikan tangkapan akan
terlebih dahulu disishkan sejumlah 10% yang mana jika mendapat ikan sebanyak 100
basket maka akan diberikan 10 basket untuk penguras dan masih dalam bentuk ikan.
Setelah diberikan kepada penguras baru lah ikan akan dijual dan hasil penjualan akan
kembali dikurangi sebanyak 10% untuk menjadi bagian dari upah pengambak. Hasil
penjualan yang telah dikurangi bagian milik pengambek kemudian akan tetap berada di
tangan pengambek sampai dengan waktu padangan dan kemudian akan diberikan pada
juragan.
Uang yang diterima juragan dari pengambek setiap padangan tiba kemudian oleh
juragan yaitu Pak Sam akan dikurangi terlebih dahulu untuk membayar biaya
perbekalan yang telah dipakai selama mayang. Sisa uang setelah mendapat
pengurangan barulah akan dibagiakan kepada para ABK. Dalam pembagian ini juragan
akan mendapatkan 5 bagian yang mana menjadi bagian paling banyak. Seperti yang
sudah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya mengenai pembagian ABK terdapat ABK
inti dan ABK biasa. Juragan kedua yang merupakan bagian dari ABK inti akan
mendapatkan bagian sebanyak 3 bagian. Nangros kemudian akan mendapat bagian
sebanyak 2 bagian dan jumlah bagian ini sama dengan jumlah bagian yang diterima
oleh pemanto. Kemudian terdapt tukang tarek kletek yang akan mendapatkan 1 1/2
bagian dan akan mendapat tambahan 1 bagian lagi, namun tambahan ini kemudian
harus dibagi sejumlah ABK yang bertugas menarik kletek. Tukang tarek kletek sendiri
terdapat tiga orang ABK sehingga setiap orangnya akan mendapat 1/3 bagian. Penguras
selain mendapat bagian berupa ikan juga akan mendapat tambahan 1 bagian berupa
uang. Selain upah yang sudah ditetapkan para ABK inti ini akan memperoleh upah
tambahan setiap selesai mayang berupa Uang Terimakasih dari Juragan.
Kemudian beralih pada pembagian upah ABK biasa terapat tukang tarek kolor
yang akan mendapatkan 1 bagian dan karna terdapat dua orang yang bertugas menarik
kolor maka akan mendapat tambahan 1 bagian yang kemudian dibagi sejumlah 1/2
bagian untuk masing-masing orang. Tukang tarek timah juga mendapat 1 bagian dan
sama seperti tarek kolor ada 4 orang yang bertugas sehingga mendapat tambahan 1
bagian yang kemudian di bagi 4 sehingga tiap orang mendapat tambahan 1/4 bagian.
ABK yang lainnya akan mendapat 1 bagian saja setiap orangnya. Selain upah inti ABK
juga akan menerima upah bonus dari juragan pada saat sebelum kupatan, dimana ABK
akan mendapatkan parcel sembako dan uang tunai sejumlah 100.000. Seluruh ABK juga
memperoleh upah seperti uang kesehatan, uang makan dari Juragan.
Upah yang didapat para ABK Kapal Sinar Terang beragam tergantung pembagian
pekerjaan pada ABK. Juragan sebagai pemilik perahu mendapatkan keuntungan bagi
hasil yang sama besarnya ABK yaitu masing-masing 35% bagian. Jadi, menurut Pak
Yanto, Pak Bukhari yang merupakan Juragan kapal slerek “Sinar Terang” ini mendapat
2 upah, pertama sebagai pemilik kapal, lalu sebagai ABK. Namun Pak Bukhari
menjelaskan kepada peneliti bahwa 2 upah yang diterima, terutama upah sebagai
pemilik kapal akan digunakan dalam perbaikan kapal itu sendiri. Sedangkan untuk ABK
lainnya seperti pemanto akan mendapatkan upah lebih besar daripada ABK lain,
kisarannya pembagiannya antara 1,5 - 2 kali gaji yang diperoleh ABK pada umumnya.
Lalu, tukang tarik jaring akan mendapat bagian 1,75%. Lalu, tukang jaga kolor atau
tali mendapatkan bagian 0,25%. Terakhir, tukang jaga jaring akan mendapatkan 1
bagian.
Sesuai dengan yang disebutkan Durkheim tentang solidaritas organik dapat
menjadi penuntun pelaku kebudayaan pada sumber perekonomian mereka, bila melihat
dari struktur pembagian upah yang dimiliki baik oleh Kapal Mandala Sam maupun
Kapal Sinar Terang upah yang diperoleh jumlahnya sesuai dengan peranan yang
mereka miliki dalam pengorganisasian kapal ini. Mari kita lihat bagaimana seorang
juragan yang juga pemilik kapal akan mendapatkan bagian yang lebih tinggi dari pada
ABK meskipun pada Kapal Sinar Terang upah juragan sendiri dijelaskan terbagi
menjadi dua yaitu satu untuk kepentingan kapal dan satu lagi atas peran sebagai seorang
nahkoda, sedangkan di Kapal Mandala Sam bagian untuk juragan sudah dihitung
dengan 5 bagian yang artinya lebih banyak dari pada ABK namun didalamnya juga
termasuk uang perawatan kapal dan uang bonus. Lain pada juragan pada ABK sendiri
upah juga menyesuaikan dengan peran dan tugas mereka selama mayang, dari sini yang
kemudian yang dimaksut dengan solidaritas organik sebagai penuntun kepada
perekonomian adalah bagaimana peran yang dimiliki oleh masing-masing individu
dalam pengorganisasian kapal slerek ini mempengaruhi pula pada perolehan upah yang
didapat.
5.4. Struktur Pola Relasi yang Terbentuk di Kapal Slerek
Pada kelompok kapal slerek di Sendang Biru, sistem hutang seolah telah
menjadi sebuah hal keharusan yang dilaksanakan oleh para ABK yang kemudian ingin
bergabung untuk mayang bersama kapal tersebut, dimana hal ini seolah telah menjadi
sebuah aturan yang kemudian mengikat hubungan sosial antara pemilik kapal dan juga
ABK tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Durkheim di dalam (Harsono,
2014) yang menekankan bahwasanya pada solidaritas mekanik juga terdapat sebuah
hukum yang menekan, dimana solidaritas ini kemudian terbentuk berdasarkan sebuah
hukum represif, dimana hukum represif ini kemudian dapat diartikan sebagai sebuah
hukum yang sangat menekan juga dapat mendatangkan penderitaan pada
pelanggaranya. Durkheim juga mencirikan solidaritas ini dengan masyarakat yang
homogen dalam sebuah kepercayaan serta memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
Pada penelitian ini solidaritas mekanik kemudian dapat dijumpai pada saat terjadinya
perjanjian awal di antara para ABK dengan Juragan kapal.
Peneliti dalam hal ini mencoba melihat pola relasi yang terbentuk pada kapal
slerek Mandala Sam, dimana pola relasi kemudian terlihat sendari awal kontrak terjadi
di antara kedua belah pihak. Masyarakat yang ingin menjadi ABK kapal slerek Mandala
Sam pada saat nemor, kemudian harus melapor kepada nangros terlebih dahulu.
Nangros akan memberitahukan Juragan terkait individu yang ingin bergabung dengan
kapal Mandala Sam. Jika Juragan telah menyetujui keberadaan calon ABK tersebut,
maka Hutang menjadi sebuah kontrak kerja awal antara seorang ABK dengan Juragan,
dimana hutang juga menjadi penentu lama waktu bekerja ABK dengan Juragan, dan
untuk pembayaran hutang dapat dipotong dari hasil upah operasional yang diterima
ABK pada saat padangan. Namun, dalam pembayaran hutang ini Juragan tidak akan
memaksa para ABK untuk dapat melunasi hutang tersebut sesegara mungkin, dan yang
yang menjadi pembeda di kelompok kapal slerek Mandala Sam ini yaiunya ketika para
ABK telah lama bekerja di dalam kelompok kapal ini, dan tiba-tiba yang bersangkutan
ingin keluar dikarenakan sakit ataupun ingin mencari pekerjaan lain selain melaut,
maka Bapak Sam selaku juragan akan menggap hutang tersebut lunas tanpa harus di
bayar. Namun, ABK jika ingin berhenti kerja kemudian harus megikuti prosedur yang
telah ditetapkan oleh Bapak Sam, dimana mereka harus menghubungi nangros terlebih
dahulu, dan nangros akan menghubungi Juragan dengan hp untuk mengabari hal
tersebut, jika Juragan menyetujui maka ABK yang bersangkutan barulah dapat
melunasi hutang kepada Juragan, sekaligus memutuskan untuk berhenti.
Pada kapal slerek Mandala Sam, relasi yang kemudian terbentuk di antara
Juragan dan Pekerja Inti begitu erat, terutama hubungan juragan dengan juragan kapal
dua dan nangros. Pekerja Inti dipilih oleh Bapak Sam berdasarkan kinerja ABK yang
baik dan berdasarkan kepercayaan beliau terhadap individu yang bersangkutan, dimana
pekerja inti akan memegang jenis alat yang berat pula seperti kletek, sehingga pekerja
inti akan memperoleh upah bonus dari kerja yang ia laksanakan.
Juragan mempercayai nangros sebagai pihak yang dapat menghandle segala
sesuatu yang berhubungan dengan ABK, dimana segala kebutuhan ABK yang
berhubungan dengan proses mayang kemudian harus dilaporkan kepada nangros.
Bahkan nangros juga bertugas dalam memberikan segala sesuatu informasi kepada para
pekerja kapal Mandala Sam dengan menggunakan hp, sehingga ABK jika ingin
berhubungan dengan Juragan harus melalui perantara nangros. Pada saat pantengan,
Nangros dipercayai oleh Juragan sebagai penentu kelayakan seseorang untuk menjadi
ABK di Kapal Mandala Sam. Jika para ABK memerlukan pinjaman uang, maka mereka
harus melapor terlebih dahulu kepada nangros, mereka tidak boleh meminjam uang
dari orang lain selain hanya kepada Juragan kapal Mandala Sam. Dengan demikian
dapat terlihat jelas bahwasanya relasi yang tercipta di anatara nangros dan juragan
kemudian sangatlah eratada saat nemor maupun baratan, Juragan akan selalu
memberitahu informasi terkait kegiatan mayang kapal slerek Mandala Sam kepada
nangros.

Peneliti kemudian juga mencoba mengkaji lebih jauh mengenai polasi relasi
yang terbentuk di kapal slerek Sinar Terang milik Pak Bukhari, dimana peneliti
memperoleh informasi dari istri Pak No yaitu seorang ABK di kapal slerek slerek "Sinar
Terang". Pak No menjadi bagian dari ABK setelah melakukan pinjaman atau hutang
kepada juragan yaitu Pak Bukhari. Pinjaman tersebut dilakukan secara berkala, karena
pinjaman ini menjadi sebuah pengikat antara juragan dan ABK agar tetap menjadi mitra
kerja. Sehingga pengikat kontrak kerja di kapal slerek "Sinar Terang" adalah pinjaman
atau hutang. Pak Hari Gondrong bercerita pada peneliti bahwa saat pembagian upah,
juragan akan bertanya kepada ABK, apakah upah akan dipotong hutang yang di miliki
ABK apa tidak. Biasanya para ABK akan menolak agar upah tidak dipotong hutang
dahulu, mereka lebih memilih untuk dibayar nanti saat mereka merasa memiliki uang
yang cukup bahkan lebih. Para ABK yang ingin melakukan pinjaman atau hutang dapat
langsung menghubungi sang juragan yaitu Pak Bukhari. Tetapi saat ingin memutus
kontrak kerja, maka ABK harus melunaskan pinjaman atau hutangnya terlebih dahulu.
Selain itu dalam hal ini, pengambak sangat membantu juragan, karena saat Pak Eko
yang merupakan seorang pengambak Pak Bukhari, menyebutkan kepada peneliti bahwa
dirinya investor karena biaya kebutuhan kapal untuk kapal slerek "Sinar Terang".
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil data yang telah peneliti analisis pada poin pembahasan,
dimana dalam hal ini penulis menoba menganalisa pola pengorganisasian penangkapan
ikan yang terjadi pada skala kapal slerek di daerah Sendang Biru, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwasanya dalam pola pengorganisasian kapal slerek tersebut ternyata
antara kapal yang satu dengan kapal lainnya memiliki perbedaan. Hal ini dapat terlihat
pada beberapa aspek yang menunjukan bahwasanya pola pengorganisasian yang terjadi
pada kapal slerek Mandala Sam dengan kapal slerek Sinar Terang terlihat sangat
berbeda. Jika ditinjau dari segi pembagian kerja yang terjadi, maka pada kapal slerek
Mandala Sam aturan yang diterpakan ternyata lebih mengikat, dimana pembagian kerja
yang sangat terstruktur kemudian menjadikan kapal slerek Mandala Sam memilki
beragam jenis pekerjaan yang membedakan kelompoknya dengan kelompok kapal
slerek Sinar Terang, salah satunya dalam hal penentuan pekerja inti yang pada kapal
slerek Mandala Sam terdapat seorang nangros yang kemudian bertugas sebagai
pemberi informasi kepada para ABK, sedangkan pada kapal slerek Sinar Terang yang
memberikan informasi tersebut adalah Juragannya.

Perbedaan juga terlihat dalam struktur pembagian upah dan struktur relasi yang
terbentuk di antara para pekerja di kedua jenis kapal tersebut, dalam hal ini pada kapal
slerek Sinar Terang dalam pembagian upah, selain memperoleh persenan tersendiri,
sang juragan kemudian juga memperoleh upah dari persenan ABK, dimana dalam hal
ini beliau memperoleh upah dua kali, yaitu dari persenannya sendiri dan juga persenan
para ABK. Jika ditinjau pola relasi yang terjadi, maka pada dasarnya kedua juragan
kapal tersebut sama-sama menerapkan sistem hutang sebagai bentuk memulai ikatan
sosial yang ada, akan tetapi yang membedakannya adalah dalam hal pembayaran
hutang, pada kapal slerek Sinar Terang ketika ABK ingin berhenti bekerja, maka
mereka harus membayar hutang yang telah ada, sedangkan pada kelompok kapal slerek
Mandala Sam ketika ABK ingin berhenti bekerja, maka juragan akan melihat alasannya
berhenti terlebih dahulu, jikalau ABK keluar dikarenakan alasan sakit ataupun
memutuskan untuk tidak melaut lagi, maka juragan akan menganggap lunas hutang
ABK tersebut tanpa harus melakukan pembayaran, akan tetapi jika ABK keluar karena
pindah ke jurgan yang lain, maka ABK tersebut harus melunasi terlebih dahulu hutang
yang dimiliki. Sedangkan jika dilihat dari sistem penangkapan ikan, maka pola yang
terbentuk pada dasarnya sama, akan tetapi yang membedakan hanyalah penggunaan
alat yang mana kapal slerek Mandala Sam memiliki alat yang lebih canggih
dibandingkan kapal slerek Sinar Terang.

6.2. Saran
Peneliti meenyadari jika masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan
laporan penelitian dan masih banyak kekurangan dalam penelitian yang telah peneliti
kerjakan sehingga untuk penelitian yang mungkin akan dilakukan kedepannya peneliti
meenyarankan dalam melakukan penelitian terkait pola pengorganisasian hendaknya
mencantumkan setiap unsur yang ada dan menggali data sedalam dan selengkap
mungkin. Kelengkapan data tersebut kemudian akan membantu dalam menjelaskan
maksut dari penelitian itu sendiri dengan lebih jelas dan terstruktur. Peneliti juga
menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat membahas pola pengorganisasian
dalam penjualan ikan ssebab peniliti belum berkesempatan untuk meniliti hal terkait
dalam penelitian kali ini.
Daftar Pustaka

Atmadjaja, Y. V. (2017). Identifikasi Keberadaan Pengamba’dan Pola Relasi dengan


Masyarakat Nelayan Pesisir Timur Banyuwangi. Ekspektra: Jurnal Bisnis dan
Manajemen, 1(1), 31-45.

Fajar, A. R. (2017). DINAMIKA HUBUNGAN PATRON-KLIEN PADA MASYARAKAT


NELAYAN DI DESA PRENDUAN, KECAMATAN PRAGAAN, KABUPATEN
SUMENEP. Malang: Universitas Brawijaya.

Harsono, S. S. (2014). Pola Solidaritas Kelompok Pedagang Angkringan di Kota Ponorogo.


Journal Sosial Humaniora Unpad Vol.16, No. 1.

Hasanah, H. (2017). Teknik-teknik Observasi (Sebuah Alternatif Metode Pengumpulan Data


Kualitatif Ilmu-ilmu Sosial). At-Taqaddum, 8(1), 21-46.

Hasan, Z. (2015). Solidaritas Komunitas Waria dan Respon Masyarakat di Kelurahan


Penjaringansari Kecamatan Rungkut Kota Surbaya. Surabaya: UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA.

Mahmudah, H. (2013). Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat.


Lamongan: Universitas Islam Lamongan.

Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nugrahani, F. (2014). Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa.


Surakarta: Cakra Books.

Qurrata, V. A. (2017). PATRON CLIENT : KONTRAK SEMI MUDHARABAH DALAM


TEORI KEAGENAN DI PERIKANAN LAUT. Jurnal Keuangan dan Perbankan
Syariah, 3.

Rahardjo, M. (2011). Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif. Malang: UIN Maliki
Malang.
Roza, E. (2017, September 01). Maritim Indonesia, Kemewahan Yang Luar Biasa. Dipetik
April 11, 2019, dari KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN:
https://kkp.go.id/artikel/2233-maritim-indonesia-kemewahan-yang-luar-biasa

Rudyanto, A. (2004). Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut.
Jakarta: Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP.

Spradley, J. P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subadi, T. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Suwito. (2013). Pelayanan Pastoral Gereja Terhadap Remaja Berprilaku Konsumtif Melalui
Program Penangan Keluarga. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana.

Violanita, T. (2015). Penerapan Teori Solidaritas Emile Duerkheim Pada Masyarakat di


Wilayah Mendawai. Palangkaraya: Universitas Palangkaraya.

Anda mungkin juga menyukai