Anda di halaman 1dari 18

MONITORING PEMANTAUAN KESEHATAN IKAN DAN

LINGKUNGAN DI WILAYAH PULAU MELUR, KELURAHAN


SIJANTUNG, KECAMATAN GALANG- KOTA BATAM

MAKALAH

Oleh :
ROMI NOVRIADI
(PHPI Terampil Lanjutan)

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BUDIDAYA LAUT BATAM
2010

1
MONITORING PEMANTAUAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DI
WILAYAH PULAU MELUR, KELURAHAN SIJANTUNG, KECAMATAN
GALANG- KOTA BATAM

Romi Novriadi
Balai Budidaya Laut Batam
Jl. Barelang Raya Jembatan III, Pulau Setokok-Batam
PO BOX 60 Sekupang, Batam – 29422
E-mail : Romi_bbl@yahoo.co.id

Abstrak

Monitoring pemantauan kesehatan ikan dan lingkungan sebagai bagian dari


tugas pejabat fungsional PHPI telah dilakukan di wilayah Perairan Pulau
Melur, Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam pada tanggal 25
Februari 2010. Adapun kegiatan monitoring ini merupakan kegiatan rutin yang
dilakukan oleh Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BBL Batam
berdasarkan dana DIPA Tahun Anggaran 2010. Kegiatan monitoring ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi keragaan kualitas lingkungan perairan
dan juga distribusi penyebaran penyakit khususnya di daerah Pulau Melur.
Kegiatan monitoring ini secara umum dibagi menjadi dua tahapan, dimana
pada Tahapan pertama merupakan tahapan survey/wawancara dengan
menggunakan metoda Report Generative yang berfungsi untuk mendapatkan
data sekunder tentang kondisi umum unit produksi KJA di Pulau Melur
tersebut. Sementara Tahapan Kedua merupakan tahapan pemeriksaan
terhadap kondisi kesehatan ikan dan lingkungan yang dilakukan baik secara
langsung (In situ) maupun analisa di laboratorium. Metoda pengambilan
sampel ikan dilakukan secara purposive (ditentukan), sementara untuk
metoda pengambilan air didasarkan pada SNI No. 6989.57 : 2008.
Dari hasil pemantauan menunjukkan bahwa kualitas perairan secara umum
masih cukup optimal, pH : 7,52, salinitas 31 ‰, NH3 = 0,02 mg/L dan Oksigen
terlarut 5,4 mg/L. sementara untuk pengamatan secara biologi menunjukkan
jenis Diplectanum untuk parasit dan Vibrio sp untuk bakteri yang disertai
dengan munculnya kista berwarna hitam terdapat di hampir seluruh
permukaan tubuh ikan. Akibat kondisi ini, hanya dalam waktu 2 (dua) bulan,
tingkat kematian ikan yang dialami oleh pembudidaya ikan di Pulau Melur
mencapai 60%.

Kata kunci : Monitoring, Kimia dan Biologi, Pulau Melur

2
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Penyakit ikan merupakan kendala penting dan umum dialami dalam


budidaya ikan di laut. Penyakit ikan menyerang baik di tingkat perbenihan
maupun di pembesaran. Semakin luas dan semakin intensif usaha budidaya
ikan, maka akan semakin meningkat pula intensitas serangan penyakit.
Penyakit terdiri atas berbagai macam organisme yang dapat bersifat
sebagai wabah dan menyerang semua jenis dan ukuran ikan peliharaan baik
di perairan tawar, payau maupun laut. Pada umumnya penyakit tidak hanya
disebabkan oleh jasad pathogen melainkan juga oleh faktor lingkungan dan
pakan.
Perlu diperhatikan bahwa semua penyebab kematian ikan adalah
karena penyakit. Sehingga dalam menangani masalah kematian ikan,
tindakan penanggulangan perlu dilakukan dengan hati-hati dan teliti
sehingga tidak akan menimbulkan tindakan yang salah bahkan merugikan.
Didalam melakukan penanggulangan penyakit ada beberapa hal yang perlu
dilakukan. Yaitu :
1. Lingkungan perairan, baik fisik, kimia dan biologi
2. Teknik yang akan dipakai
3. Sosial dan ekonomi agar tindakan yang dilakukan menguntungkan dan
diterima masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan peran organisasi ataupun
instansi pemerintah untuk dapat melakukan sosialisasi tentang berbagai
mekanisme pengendalian hama penyakit ikan dan lingkungan. Khususnya
untuk daerah-daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor
Kelautan dan Perikanan.
Pulau Melur yang berada di Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang,
Kota Batam merupakan salah satu Pulau yang memiliki potensi untuk
pengembangan budidaya ikan laut. hal ini semakin diperkuat dengan adanya
PERDA Kota Batam Nomor 2, Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
wilayah pulau Melur termasuk kedalam wilayah pengembangan budidaya
ikan laut.
Volume dan nilai produksi perikanan di Kota Batam pada tahun 1997
dan 1998 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1997,
volume ikan tangkap mencapai 3.703,05 ton, dan pada tahun 1998 meningkat
menjadi sekitar 11.760,41 ton. Pada tahun 1999 terjadi penurunan, menjadi
sekitar 4.954,10 ton dengan nilai Rp 14.862,3 juta. Hal ini diakibatkan oleh
tingginya sedimentasi oleh pengerukan pasir, tingginya arus lalu lintas
perairan, dan pembangunan di daerah Barelang yang kurang memperhatikan
pelestarian potensi perikanan laut. Di masa mendatang, hal-hal ini perlu
diperhatikan karena mengganggu keberlanjutan kegiatan perikanan.
Oleh karena itu untuk menjaga agar potensi ini dapat terus
dikembangkan, maka tim Pengendali Hama dan Penyakit Ikan serta Tim
Pengawas Balai Budidaya Laut Batam akan melakukan kagiatan monitoring
pada semester I 2010 yang dilanjutkan dengan kegiatan Surveillance pada
semester II Tahun 2010. semoga hasil-hasil yang diperoleh dari kegiatan
monitoring ini dapat bermanfaat dan manjadi dasar pengambilan kebijakan
untuk pengembangan budidaya ikan laut khususnya di daerah Pualu Melur.

3
I.2 Tujuan dan Manfaat

Kegiatan monitoring kesehatan ikan dan lingkungan ini bertujuan untuk


memperoleh data dan informasi mengenai kondisi perairan budidaya serta
paparan distribusi penyebaran penyakit yang terdapat di kawasan budidaya di
dan untuk kegiatan ini mengambil lokasi di Pulau Melur-Kelurahan Sijantung.
Selain itu juga kegiatan monitoring ini bertujuan untuk melakukan sosialisasi
penggunaan bahan kimia dan obat obatan dalam rangka budidaya ramah
lingkungan dan berkelanjutan serta memberikan saran dan masukan tentang
pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit ikan.
Diharapkan hasil kegiatan monitoring ini dapat digunakan sebagai informasi
dan menjadi salah satu acuan bagi pembudidaya khususnya serta para
pengambil kebijakan di daerah untuk keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan
budidaya perikanan.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit ikan merupakan kendala penting dan umum dialami dalam


budidaya ikan di laut. Penyakit ikan menyerang baik di perbenihan maupun di
pembesaran. Semakin luas dan semakin intensif usaha budidaya ikan
semakin meningkat intensitas serangan apalagi menggunakan pakan ikan
rucah segar. Untuk ikan kerapu (Cromileptes sp), terutama di perbenihan ada
beberapa jenis penyakit yang sering menyerang. Penyebab penyakit dapat
dibagi dua golongan yaitu non hayati yang bersifat non infeksius dan hayati
yang bersifat infeksius. Penyebab penyakit non hayati terutama kualitas air
yang rendah, pakan yang kurang tepat dan kelainan genetik. Penyebab
penyakit hayati ditinjau dari tingkat intensitas serangan dan kerugian dan
kesulitan pengendalian adalah : virus, bakteri, protozoa, jamur dan parasit.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.

VIRUS
Salah satu virus yang telah diketahui menyerang ikan laut dan tersebar luas
di dunia adalah Nervous Necrosis Virus (NNV) yang menyebabkan Viral
Nervous Necrosis (VNN). Virus ini mempunyai genom RNA dan tergolong
Nodaviridae. Nodaviridae banyak menyerang dan menyebabkan kematian
yang tinggi pada larva dan juwana. Berdasarkan genomnya, nodaviridae
dibagi empat genotipe yaitu tiger puffer nervous necrosis virus (TPNNV),
striped jack nervous necrosis virus (SJNNV), barfin flounder nervous necrosis
virus (BFNNV) dan re grouper nervous necrosis virus (RGNNV). Nodaviridal
yang menyerang ikan laut tersebut telah diteliti baik di Amerika, Eropa,
Jepang maupun di Taiwan (Chi, Lo dan Lin, 2001). Di Taiwan, budidaya
grouper merupakan industri penting dalam sektor perikanan. Penyakit VNN
termasuk masalah serius terutama di perbenihan baik untuk larva maupun
juwana. Uji laboraturium menunjukkan bahwa virus ini dapat menyebabkan
kematian 100 % dalam waktu 3 hari (Che et al., 1999) .
Di Philipina VNN pada kerapu ditemukan pertama kali oleh Maeno et.
al. (2002) dengan menggunakan mikroskop elektron dan PCR. Uji coba
infeksi dengan filtrat jaringan yang terinfeksi berhasil cukup baik. Di Indonesia
telah ditemukan dua jenis virus yang menjadi kendala dalam perbenihan,
yaitu VNN (virus RNA) dan iridovirus (virus DNA). Kedua jenis virus tersebut
secara rinci belum banyak diketahui dan belum dapat dikendalikan dengan
tepat kecuali pencegahan (Rukyani, 2001). Beberapa cara yang mungkin
dapat dilakukan adalah seleksi benih, sanitasi lingkungan termasuk wadah
dan air dengan desinfektan, pemberian obat-obatan dan antibiotik untuk
mengendalikan parasit dan patogen lain yang turut memperburuk kondisi ikan
(penyakit sekunder) serta meningkatkan daya tahan dengan immunostimulan.
Namun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut untuk memperoleh metode
yang tepat. Menurut Yuasa et. al. (2001) VNN ternyata tidak saja menyerang
kerapu di perbenihan tetapi juga di pembesaran. Koesharyani dkk. (2001)
juga menyatakan bahwa VNN dan iridovirus menyerang kerapu di
pembesaran yang dikenal dengan sleepy grouper disease. Gejala yang jelas
teramati adalah ikan menjadi anemia dan limpa membesar. Tingkat kematian
larva dapat mencapai 100 %. Perlu ditambahkan, bahwa VNN ternyata
mempunyai sekitar 20 jenis inang. Teknik diagnosa yang paling tepat adalah
dengan PCR.

5
BAKTERI
Ada beberapa jenis bakteri yang bersifat patogen pada ikan laut dan
sangat mengganggu ikan budidaya. Tetapi yang sangat di kenal luas
penyebarannya dan dapat menyebabkan kematian dalam jumlah besar
secara singkat adalah Vibrio spp. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 20
species Vibrio yang menyerang ikan, udang dan beberapa hewan laut serta
payau (salinitas di bawah 10 promil) (Evelyn, 1984). Tingkat kematian oleh
serangan Vibrio berbeda-beda tergantung jenis, ukuran ikan, kualitas air dan
faktor virulen yang dimiliki. Faktor virulen pada Vibrio terutama adalah
plasmid. Perbedaan jenis plasmid yang dimiliki akan membedakan tingkat
keganasannya (Crosa et. al., 1983). Murdjani (2002) melaporkan bahwa ada
beberapa jenis bakteri yang berasosiasi dengan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis) antara lain V. alginolyticus., V. anguillarum., V. fuscus.,
Pseudomonas sp dan Branhamella sp. Hasil uji laboratorium ternyata hanya
V. alginolyticus dan V. anguillarum yang menyebabkan kematian larva kerapu
tikus. Vibrio alginolyticus dapat mematikan 100 % ikan uji, sedang V.
angguillarus 20 % dalam waktu 96 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan
bahwa extracelluler product (ECP) dapat mematikan larva kerapu tikus
melalui penyuntikan. Tetapi setelah dipisahkan berbagai proteinnya, hanya
satu dari beberapa jenis protein pada ECP yang dapat menyebabkan
penyakit dan mematikan ikan uji. Taufik (2001) menemukan disamping V.
alginolyticus terdapat pula V. Parahaemolyticus

PARASIT, PROTOZOA DAN JAMUR


Parasit, protozoa dan jamur juga sering menyerang kerapu tikus.
Dalam kondisi tertentu serangan kelompok penyakit tersebut dapat
mematikan. terutama larva dan juvenil, dalam jumlah cukup tinggi. Disamping
itu serangan parasit, protozoa dan jamur meskipun tidak mematikan dapat
menurunkan daya tahan ikan dan menjadi predisposisi serangan bakteri dan
virus. Berbagai teknik pengendalian bakteri dan virus akan kurang efektif
apabila masih terserang berbagai penyakit tersebut di atas. Dalam ruang
terbatas seperti di perbenihan telah ditemukan beberapa teknik pengendalian
yang cukup efektif. Untuk parasit ikan terutama golongan Crustacea dan
berbagai cacing trematoda baik monogentik maupun digenetik dapat
dikendalikan dengan perendaman air tawar selama 10 menit. Serangan
protozoa dengan perendaman acriflavin 10 ppm selama 1 jam, atau
oxytetracycline 1 ppm dalam 1kg pakan. Pengendalian jamur terutama yang
bersifat eksternal dengan perendaman Methylene Blue 5 ppm selama 30
menit atau treflan 1 ppm (Puja dkk.).
Dalam melakukan tindakan mencegah dan mengurangi serangan
berbagai hama dan penyakit tersebut, maka Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah membangun sebuah Balai Penyidikan Penyakit Ikan dan
Lingkungan di Kabupaten Serang Provinsi Banten, yang diharapkan dapat
melakukan kajian terhadap berbagai hama, penyakit dan lingkungan secara
detail dan mendalam yang diharapkan dapat memecahkan dan mengatasi
masalah hama, penyakit dan lingkungan secara fundamental dan
komprehensif sehingga produktivitas budidaya perikanan dapat kembali
digalakkan.

6
Pekerjaan di laboratorium

Pekerjaan yang paling penting bagi ahli penyakit adalah mendiagnosa


penyakit. Jika diagnosanya salah, maka penanganannya juga akan salah.
Bila terlalu lama untuk mendiagnosa penyakit, ikan mati sebelum pengobatan
dilakukan, diagnosa harus tepat dan cepat. Prosedur diagnosa adalah
sebagai berikut : pertama, coba isolasi patogen dari ikan yang sakit (kecuali
untuk infeksi oleh virus); kedua, patogen yang diisolasi diinfeksikan ke ikan
yang sehat. Bila diduga virus, larutan yang sudah disaring dengan
menggunakan saringan 0,45 µm homogen, diinfeksikan ke ikan yang sehat.
Jika ikan yang sekarat (moribund) dengan gejala seperti ikan yang sakit
tersebut, hal ini membuktikan bahwa yang diisolasikan tersebut merupakan
penyebab penyakit. Dengan demikian, penyebab penyakit teridentifikasi
sebagai spesies yang sama dengan patogen sebelumnya. Diagnosa penyakit
ikan dapat menjadi lengkap dengan adanya identifikasi penyebab penyakit.
Metode pemeriksaan untuk konfirmasi diagnosa berbeda untuk setiap jenis
patogen, virus, bakteri, jamur dan parasit.

Tindakan penanganan

 Penyakit viral : jika ikan terinfeksi oleh virus sangatlah sulit untuk diobati.
Ada dua cara tindakan pencegahan yaitu membersihkan virus penyebab
penyakit dari lingkungan clan meningkatkan kekebalan ikan terhadap viral.
Tindakan pencegahan pertama, desinfeksi semua wadah dan peralatan,
seleksi induk dan telur bebas virus. Tindakan selanjutnya bila
memungkinkan adalah meningkatkan kualitas telur, penggunaan vaksin
clan immunostimulan atau vitamin. Diantara tindakan penanganan yang
ada, vaksin merupakan tindakan yang paling efektif untuk mencegah
penyakit viral.
 Penyakit bakterial : penyakit bakterial dapat diobati dengan antibiotika.
Namun, penggunaan antibiotika yang tidak tepat menghasilkan efek yang
negatif. Itulah sebabnya pemilihan antibiotika yang tepat merupakan
pekerjaan yang paling penting untuk masalah infeksi bakteri. Pemilihan
antibiotika dilakukan berdasarkan hasil uji sensitivitas obat.
 Penyakit jamur : sampai sekarang belum dikembangkan tindakan
penanganan untuk infeksi jamur pada hewan air. Jadi pencegahan
merupakan tindakan terbaik yang dapat dilakukan.
 Penyakit parasitik : pada umumnya ektoparasit dapat ditangani dengan zat
kimia. Namun, telur dan siste memiliki resistensi terhadap zat kimia.
Berdasarkan keberadaan parasit, pengobatan kedua harus dilakukan
setelah spora atau oncomiracidium menetas. Untuk menentukan jadwal
pengobatan untuk setiap parasit, studi siklus hidup parasit sangatlah
penting.

7
POTENSI YANG BELUM TERGARAP

Masyarakat Pulau Melur hampir 90%-nya merupakan nelayan


tradisional. Mereka biasa menangkap ikan tidak jauh dari garis pantai. Tanpa
disadari para nelayan itu sering melempar jangkar tepat di atas daerah
terumbu karang. Biasanya hal itu dilakukan saat menggunakan alat tanpa
pancing untuk menangkap sotong atau cumi-cumi.

Pada kenyataannya upaya untuk menguak potensi kelautan dan


perikanan di Pulau Melur masih dihadapi beberapa kendala. Fasilitas
infrastruktur seperti dermaga pelabuhan yang memadai masih belum tersedia
di sana. Terlebih belum ada transportasi laut yang tetap antara pulau Melur
dan Pulau Batam. Belum lagi masalah kelangkaan Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang benar-benar melumpuhkan kegiatan melaut masyarakat nelayan
di Pulau Melur dan sekitarnya, sehingga jangankan di Pulau Melur yang
letaknya jauh dari pusat Kota Batam, di Pulau Galang saja yang dekat sulit
mendapatkan BBM. Untuk sarana penerangan di pulau Melur dan sekitarnya
masih menggunakan mesin diesel.

Secara geografis, Pulau Melur yang masih berada dalam Kawasan


Kepulauan Rempang dan Galang Terletak diantara 00o30’ – 01o55’ LU dan
103o45’ – 104o30; BT . Secara garis besar daerah ini dibedakan menjadi dua
wilayah air tanah yaitu air tanah perbukitan lipatan yang terdapat hampir di
sebagian wilayah dan yang lainnya mempunyai wilayah berupa batu pasir,
batu lempung, filit dan kuarsit yang bersifat padu. Air tanah umumnya
tersimpan dalam aquifer berupa rekahan atau secah serta pada material
rombakan hasil lapukan batuan padu tersebut dan terdapat pada kedudukan
dangkal.

Kondisi air tanah di wilayah sekitar kepulauan Batam umumnya berupa


air payau, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kedalaman air tanah
dengankualitas air tawar yang cukup baik dijumpai pada kedalaman 20–30 m.
Perairan di wilayah laut dangkal dengan kedalaman berkisar antara 17 – 40m.
secdara fisik perairan tersebut berwarna air bening (kebiru-biruan) hingga
hijau dan keruh, karena longsoran tanah yang berasal darikegiatan pekerjaan
tanah di P Batam. Kadar garam berkisar antara 29 – 35 u/oo. Jenis perairan
lainnya adalah perbatasan laut dengan daratan berupa daerah pasang surut,
berupa rawa-rawa pantai (swamp) yang umumnya merupakan hutan
mangrove pantai, dengan karakter air payau bercampur lumpur.

Ekonomi
Sebagai salah satu kawasan yang menjadi bagian dari Kota Batam,
maka perekonomian Kawasan Rempang – Galang tidak akan lepas dari
struktur perekomian Kota Batam sendiri.
Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Kota Batam mencapai 3,07%.
Angka ini relatif menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
pada tahun 1997 yang mencapai sekitar 13,55%. Dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi nasional, angka ini jauh lebih baik (pada tahun 1998,
angka pertumbuhan ekonomi nasional sekitar –13,68% dan pada tahun 1997
sekitar –7%). Membaiknya perekonomian Kota Batam mampu menggerakkan

8
kembali kegiatan produksi di seluruh sektor ekonomi. Hal ini terlihat
meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi Kota Batam pada tahun 2000
mencapai 7,67%.
Peningkatan taraf perekonomian di Kota Batam terlihat pula dari
peningkatan angka PDRB per kapita. Pada tahun 1997, PDRB per kapita
(berdasarkan harga berlaku) adalah Rp 12,8 juta, sedangkan pada tahun
1999 meningkat menjadi Rp 20,1 juta. Namun demikian, jika dibandingkan
dengan pendapatan rata-rata berdasarkan PDRB harga konstan, maka
terlihat bahwa krisis ekonomi ternyata menyebabkan turunnya pendapatan
rata-rata masyarakat Kota Batam sebesar 4,21%, walaupun tetap ada
pertumbuhan ekonomi. Dari PDRB tahun 1998, diketahui bahwa sektor yang
berkontribusi cukup dominan terhadap perekonomian Kota Batam adalah
sektor industri (67,37%), diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran
(18,05%).

Sektor Perikanan
Kota Batam terdiri atas pulau-pulau yang dikelilingi oleh perairan yang
cukup luas. Dilihat dari perputaran arusnya, maka perairan di Kota Batam
yang berada di Selat Malaka ini tergolong subur bagi kegiatan perikanan dan
budidaya biota laut lainnya, karena dipengaruhi oleh gerakan arus yang
berasal dari Samudera Hindia yang melewati Selat Malaka dan gerakan arus
yang berasal dari Laut Cina Selatan.
Sektor pertanian sub sektor perikanan ini telah menjadi basis ekonomi
bagi wilayah hinterland Kota Batam, terutama perikanan tangkapan laut dan
budidaya. Potensi perikanan di perairan Kota Batam ini cukup beragam,
seperti ikan pelagis kecil, demersal, ikan karang, ikan hias, udang, kerang,
mamalia, rumput laut, dan benih alam komersial.
Volume dan nilai produksi perikanan di Kota Batam pada tahun 1997
dan 1998 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1997,
volume ikan tangkap mencapai 3.703,05 ton, dan pada tahun 1998 meningkat
menjadi sekitar 11.760,41 ton. Pada tahun 1999 terjadi penurunan, menjadi
sekitar 4.954,10 ton dengan nilai Rp 14.862,3 juta. Hal ini diakibatkan oleh
tingginya sedimentasi oleh pengerukan pasir, tingginya arus lalu lintas
perairan, dan pembangunan di daerah Barelang yang kurang memperhatikan
pelestarian potensi perikanan laut. Di masa mendatang, hal-hal ini perlu
diperhatikan karena mengganggu keberlanjutan kegiatan perikanan.
Sebagian besar hasil tangkapan ikan dipasarkan dengan perantara
pengumpul di Pulau Siali dan Pulau Buluh, untuk selanjutnya dibawa ke
Singapura. Hal ini terutama dilakukan oleh para nelayan yang memiliki
seaman book, sedangkan nelayan dengan hasil tangkapan tidak terlalu baik,
membawa hasil tangkapannya ke Pulau Batam.
Sementara itu, pengembangan budidaya perikanan cukup potensial pula
dikembangkan, terutama di Pulau Setoko/Teluk Senimba, Selat Bertam, dan
Dangsi (budidaya perikanan dan kerang-kerangan), serta Pulau Kasu, Pulau
Mubut dan Pulau Melur untuk pengembangan budidaya ikan laut ekonomis
penting.

9
III. METODA PENGAMATAN

III.1 Waktu Pelaksanaan


Kegiatan pemantauan Kesehatan Ikan dan Lingkungan ini dilaksanakan
pada hari Kamis, Tanggal 25 Februari 2010 di satu titik KJA milik Bp.
Ayau yang bertempat di Pulau Melur, Kelurahan Sijantung, Kecamatan
Galang, Kota Batam.

III.2 Alat dan Bahan


III.2.1 Alat
1. Dissecting Set
2. pH meter
3. HACH DR 890 Kolorimeter
4. Hand Refraktometer
5. Botol Sampel
6. Kamera digital
7. Bunsen
8. Ember
9. Pena
10. Form Kuisioner Monitoring

III.2.2 Bahan

1. Ammonia Salycilate reagen sachet


2. Ammonia Cyanurate reagen sachet
3. NitraVer reagen sachet
4. NitriVer reagen sachet
5. pH Buffer 7.0
6. pH Buffer 4.0
7. TSA
8. TCBS
9. Aquadest

III.2.3 Metoda

Didalam kegiatan monitoring pemantauan kesehatan ikan dan


lingkungan di daerah Galang Baru ini, pengamatan dibagi atas dua
Tahapan, Tahapan pertama, melakukan survey/wawancara dengan
metoda Report Generative untuk mendapatkan data sekunder yang
memberikan gambaran secara utuh tentang lokasi budidaya . Tahapan
kedua adalah melakukan pengamatan Kesehatan ikan dan lingkungan
baik yang dilakukan secara In situ maupun yang dilakukan di
Laboratorium. Pengamatan metoda ini mencakup parameter biologi dan
kimia air dan mikrobiologi ikan seperti parasit, bakteri dan Virus.
Untuk pengamatan di Laboratorium, pengambilan sampel dilakukan
berdasarkan SOP yang telah dibuat oleh Tim Laboratorium Kesehatan
Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Laut Batam. Diantaranya
pengambilan sampel air untuk parameter NO2, NO3, NH3, pH, salinitas,
Total Bakteri Umum (TBU) dan Total Bakteri Vibrio (TBV) di dalam air
media pemeliharaan.

10
Didalam melakukan sampling, patokan yang digunakan oleh Tim
Monitoring Pemantauan Kesehatan Ikan dan Lingkungan adalah SNI
6989.57:2008, dimana kegiatan yang dilakukan meliputi :
1.1 Untuk penentuan tentang titik sampling, didasarkan pada prinsip
tempat pengambilan sampel dapat mewakili kualitas badan perairan.
1.2 Membuat persyaratan wadah contoh, diantaranya :
a) Menggunakan bahan gelas atau plastik Poli Etilen (PE) atau Poli
Propilen (PP) atau Teflon (Poli Tetra Fluoro Etilen, PTFE);
b) dapat ditutup dengan kuat dan rapat; tidak mudah pecah
c) bersih dan bebas kontaminan;
d) contoh/sampel tidak berinteraksi dengan wadah yang digunakan.
1.3 Persiapan Wadah Sampel
a) untuk menghindari kontaminasi contoh di lapangan, seluruh wadah
contoh harus benar-benar dibersihkan di laboratorium sebelum
dilakukan pengambilan contoh.
b) wadah yang disiapkan jumlahnya harus selalu dilebihkan dari yang
dibutuhkan, untuk jaminan mutu, pengendalian mutu dan
cadangan.
c) Jenis wadah contoh dan tingkat pembersihan yang diperlukan
tergantung dari jenis contoh yang akan diambil.
1.4 Cara pengambilan contoh dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Disiapkan alat pengambil contoh yang sesuai dengan keadaan
sumber airnya;
b) Dibilas alat pengambil contoh dengan air yang akan diambil,
sebanyak 3 (tiga) kali;
c) Diambil contoh sesuai dengan peruntukan analisis dan
campurkan dalam penampung sementara, kemudian
homogenkan;
d) Dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai peruntukan analisis;
e) Dilakukan segera pengujian untuk parameter suhu, kekeruhan
dan daya hantar listrik, pH dan oksigen terlarut yang dapat
berubah dengan cepat dan tidak dapat diawetkan;
f) Hasil pengujian parameter lapangan dicatat dalam buku catatan
khusus;
g) Pengambilan contoh untuk parameter pengujian di laboratorium
dilakukan pengawetan
Sementara untuk pengamatan hama dan penyakit ikan, sampel
diambil dari suatu populasi secara selektif yang menunjukkan tanda-
tanda klinis ikan terserang penyakit sesuai dengan data yang telah ada.
Apabila tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda klinis pengambilan
sampel dilakukan secara acak. Pengamatan gejala klinis ikan sakit,
pemeriksaan patologi anatomi dan pengambilan / isolasi bakteri dari
organ dalam. Parameter uji untuk penyakit ikan yang diamati yakni
parasit dan bakteri dan virus. Semua sampel dibawa ke laboratorium
kesehatan ikan dan lingkungan Balai Budidaya Laut Batam untuk
dilakukan analisa/uji. Disamping itu juga dilakukan pengambilan data
sekunder dengan mewawancarai pembudidaya mengenai kondisi
budidaya, lingkungan, kasus serangan penyakit, cara penanggulangan
penyakit, taksiran kerugian, obat-obatan yang dipakai, pakan, dan lain
sebagainya.

11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil.

Berdasarkan Tahapan wawancara yang dilakukan, maka diperoleh


beberapa data sekunder yang dirangkum dalam table berikut :

No Item Pertanyaan Deskripsi Jawaban


1 Nama Pemilik A Yau
2 Lokasi Pulau Melur
Kelurahan : Sijantung
Kecamatan : Galang
Kotamadya : Batam
Provinsi : Kepulauan Riau
3 Luas / Jumlah Unit Jumlah Unit KJA : 90 Hle
Ukuran : 3 x 3 m/hole
4 Tingkat Teknologi Madya
5 Komoditas 1. Kerapu Macan
2. Bawal Bintang
6 Asal Benih Bali dan BBL Batam
7 Padat Tebar 1.200 ekor/hole
8 Ukuran Ikan Kerapu Macan : 10 – 15 cm
Bawal Bintang : 8 – 12 cm
9 Waktu Tebar Benih Kerapu Macan : 30 Desember 2009
Bawal Bintang : 8 Februari 2010
10 Jenis Obat Yang digunakan 1. Acriflavine
2. Vitamin C
3. Multivitamin
4. Vaksin Vibrio polyvalen
11 Penerapan Biosecurity Tidak ada

Lokasi Pemantauan
Monitoring HPI

12
Gambaran Lokasi Budidaya

Secara umum, Lokasi budidaya di Pulau Melur-Kelurahan Sijantung ini cukup


strategis dalam mendukung optimalisasi produksi budidaya. Hal ini
dikarnakan lokasi budidaya berada pada tempat yang cukup terlindungi
terutama dari arus gelombang kuat air laut. Barisan tanaman bakau di
sepanjang garis pantai menjadi salah satu keuntungan tersendiri dalam
mereduksi berbagai unsur-unsur toksik yang ada di dalam perairan. Namun
sejak dibukanya ijin bersandar bagi Kapal-kapal tanker bermuatan besar di
sekitar perairan Rempang dan Galang, maka dari Pulau Melur saja sangat
terlihat jelas aktivitas kapal-kapal tanker tersebut. Yang menjadi kekhawatiran
utama adalah ketika Kapal-kapal tersebut melakukan kegiatan pencucian /
Tank Cleaning. Bila ini terjadi maka limbah sludge oil akan masuk ke dalam
perairan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan
organisme akuatik.
Saat ini ada beberapa unit budidaya, dimana hanya satu yang bersifat
Keramba Jaring Apung (Milik Bp. A yau) dan selebihnya merupakan Keramba
Jaring Tancap. Dari sisi konstruksi, KJA miliki Bp. Ayau yang memiliki 90 hole
dengan ukuran 3x3 m tergolong masih baru dan operasional produksi baru
berjalan selama 2 (dua) bulan.
Namun selama 2 (dua) bulan berjalan ini, tingkat kematian ikan yang dialami
oleh Bp. A yauhampir mencapai 60%, dimana berdasarkan informasi bahwa
jumlah ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang didatangkan
sebanyak 10.000 ekor, estimasi yang tinggal saat ini sekitar 4.000 ekor
dimana 25% diantaranya terindikasi terkena infeksi penyakit.

Kronologis Pemeliharaan Ikan

Pada bulan Desember 2009, Bp. A Yau memesan benih Kerapu Macan yang
didatangkan dari bali sebanyak 10.000 ekor. Pengiriman dilakukan dalam 2
(dua) tahap. Tahap 1 sebanyak 7500 ekor secara fisik terlihat sehat, hal ini
diindikasikan dengan responsifnya ikan terhadap pakan yang diberikan.
Namun tahap ke 2, yang datang seminggu kemudian, diperkirakan berjumlah
2500 ekor, kondisi pada saat datang sudah tidak baik, bila dilihat metode
packing yang dilakukan tidak benar. Suhu dalam wadah packing tidak terjaga
karna es yang diletakkan sudah mencair. Pada saat ikan dikeluarkan, ikan
hanya berenang di permukaan tanpa menunjukkan respon ketika pakan
diberikan.

13
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Karyawan Bp. A yau adalah ketika
mencampur ikan sakit yang datang dengan ikan sehat yang telah tiba lebih
dahulu. Sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit secara
horizontal kepada ikan-ikan yang sehat.
Pada awalnya jumlah kematian hanya berkisar 5 – 10 ekor/hari pada minggu
ke dua dan ketiga Januari 2010, namun jumlah kematian meningkat terus
hingga ratusan ekor pada minggu ke –empat Januari 2010. kematian ikan
disertai dengan munculnya kista-kista berwarna hitam disekujur tubuh ikan.
Dimana ketika kita berusaha untuk melepaskan kista ini, maka dari bekas
tempat kista tersebut mengeluarkan cairan putih seperti nanah.

Kista di seluruh Ikan kerapu yang mati, Wawancara dengan


permukaan tubuh dijemur sebagai bukti pembudidaya

Untuk mengetahui penyebab pasti kematian ikan, maka tim monitoring


kesehatan ikan dan lingkungan melakukan pengambilan sampel, baik air
maupun ikan untuk dilakukan uji baik langsung maupun di laboratorium.

Tahapan Pengamatan Kondisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan di Lapangan

Berdasarkan pemantauan lingkungan yang dilakukan secara In situ diperoleh


data sebagai berikut :
SPESIFIKASI
PARAMETER SATUAN HASIL UJI METODE
No
PARAMETERS UNIT TEST RESULT METHODE
SPESIFICATION

1 pH 7,52 SNI 06-6989.11-2004


o
2 Salinitas /oo 31 IKM/5.4.4/BBL-B
3 Oksigen terlarut mg/L 5,4 Elektrometri
0
4 Temperatur c 30,1 Elektrometri

14
Pemeriksaan Patologi Klinis Ikan
PARAMETER SATUAN HASIL UJI
No
PARAMETERS UNIT TEST RESULT
Cacing insang
1 Parasit
Diplectanum
2 Bakteri Vibrio sp
Pemeriksaan Kualitas Air Secara Laboratorium

SPESIFIKASI
PARAMETER SATUAN HASIL UJI METODE
No
PARAMETERS UNIT TEST RESULT METHODE
SPESIFICATION

1 Nitrit mg/L 0,00 Kolorimetri


2 Nitrat mg/L 0,00 Kolorimetri

3 Amonia mg/L 0,02 Kolorimetri

4 Posfat mg/L 0,09 Ion Spektrometri

Pembahasan

Berdasarkan data kualitas air baik secara kimia maupun biologi menunjukkan
bahwa perairan Tiaw Wang Kang dan P.Nipah/Setokok masih cukup optimal
dalam mendukung budidaya perikanan. Hanya saja untuk parasit seperti
Benedenia sp dan Diplectanum serta Vibrio sp sudah terdeteksi
keberadaannya pada tubuh ikan. Hal ini harus mendapatkan perhatian
khusus bagi pembudidaya untuk melakukan treatment pengobatan bila ikan
mengalami gejala klinis terserang penyakit mikrobial tersebut.
Untuk keberlanjutan budidaya perikanan, pihak pembudidaya masih sangat
optimis untuk mengembangkan usaha perikanan ini dan mereka sangat
mengharapkan bantuan dari pemerintah baik bantuan berupa modal maupun
sarana dan prasarana.

15
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
1. Kondisi lingkungan perairan cukup optimal mendukung budidaya
perikanan, namun dengan lokasi budidaya yang berdekatan
dengan muara sungai, hal yang harus diperhatikan adalah
kekeruhan yang ditimbulkan oleh arus sungai serta adanya
fluktuasi salinitas di badan perairan.
2. Hasil analisa untuk parameter biologi pada sample ikan yang
dibawa menunjukkan bahwa ikan terserang cacing insang dan
Diplectanum dan cacing insang untuk parasit serta Vibrio sp.
Untuk bakteri.

V.2 Saran
1. Diharapkan pembudidaya ikut aktif dalam memeriksakan kondisi
penyakit ikan yang dialami agar dapat dilakukan tindakan dan
saran perlakuan pengobatan yang efektif.
2. Pakan yang digunakan diharapkan juga bagus dalam hal kualitas
dan gizi. Kana bila pakan yang telah menurun kualitas dan
disertai dengan bau yang menyengat tetap diberikan pada ikan
yang dibudidayakan dikhawatirkan akan menjadi pemicu
tersendiri bagi tumbuh kembangnya penyakit ikan.
3. Perlunya dibentuk tata Ruang Wilayah yang jelas untuk area
pengembangan budidaya ikan agar kasus pencemaran
lingkungan yang merugikan para pembudidaya tidak terjadi lagi
4. Perlu dilakukan uji lanjutan kualitas perairan Pulau Melur terutama
untuk parameter logam berat dan minyak

16
VI. DAFTAR PUSTAKA

.............,2008, Potensi Pulau Batam, www. Pemko-batam.go.id


.............,2004, Gambaran Umum Kawasan Rempang Galang, www. Pemko-
batam.go.id
Anonim. 2002. Pedoman Umum Monitoring dan Surveilance Hama dan
Penyakit Ikan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Direktorat
Kesehatan Ikan Dan Lingkungan
Crosa, J.H., M.A. Walter, and S.A. Potter, 1983. The genetic of plasmid-
mediated virulence in the marine fish pathogen Vibrio anguillarum.
Bacterial and viral diseases of fish. Molecular studies. A
Washington Sea Grant Pub. Univ. of Washington, Seattle.
Evelyn, T.P.T., 1984. Immunization against pathogenic Vibrio. Symposium on
fish Vaccination. OIE, Paris 20-22 February 1984.
Glamuzina, B., N. Glavic, B. Skaramuca, V. Kozul and P. Turtman, 2001.
Early development of the hybrid Epinephelus costal (male) x E.
marginatus (female). Aquaculture 198 (1-2) 55-61
Kamiso H.N., 1985. Diferences in Pathogenicity and Pathology Vibrio
anguillarum and V. ordalii in Chum salmon (Oncorhynchus keta)
and English sole (Parophrys vetulus). Ph.D Thesis, Oregon State
University, Corvallis.
Kamiso, H.N., Triyanto., dan C. Kokarkin, 1998. Penggunaan bibit udang
bebas (SPF) Vibrio dan vaksinasi polivalen untuk
penanggulangan Vibriosis. RUT, 1996-1998. Kantor Menristek,
DRN. Jakarta.
Kamiso, H.N., Triyanto dan Hartati, S., 1993. Uji antigenik dan efikasi vaksin
Aeromonas hydrophila. ARM Project. Deptan. Jakarta.
Kamiso, H.N., 1996. Vaksinasi induk untuk meningkatkan kekebalan bibit lele
dumbo (Clarias gariepinus) terhadap serangan Aeromonas
hydrophila. Buletin Ilmu Perikanan, 7 (20-31).
Koesharyani, I. 2001. Iridovirus penyebab kematian pada budidaya ikan
Kerapu lumpur (Epinephelus coioides) deteksi menggunakan
PCR. Seminar Nasional Pengembangan Budidaya Laut
Berkelanjutan. Jakarta, 7-8 Maret 2001.
Koesharyani, I, D. Rosa, K.Mahardika, F. Johny, Zafran, K. Yuasa, K.
Sugama, K.Hatai, dan T. Nakai, 2001. Penuntun Diagnosa
Penyakit Ikan II. Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia.
JICA-BBRPBL Gondol.
Lo, B.J, and S.C. Lin, 2001. Charcterization of grouper nervous necrosis virus
(GNVVV). J. Fish Diseases. 24 (1) 3-14
Maeno, Y., L.D. de la Pena, and E.R.C. Lacierda, 2002. Nodavirus infection in
hatchery reared orange spotted grouper Epinephleus coioides.
First record of viral nervous necrosis in the Philipines. Fish
Pathology, 37(2) 87-89
Murdjani, M. 2002. Patologi dan patogenisitas Vibrio alginolyticus pada ikan
Kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Tesis S-3, Universitas
Brawijaya. Malang.

17
Olafsen, J.A. 2001. Interaction between fish larvae and bacteria in marine
aquaculture. Aquaculture 200 (1-2) 223-247.
Puja, Y., S. Akbar, dan Evalawati, 2001. Pemantauan teknologi produksi
budidaya Kerapu dalam program intensifikasi perikanan.
Pertemuan LintasUPT Lingkup Ditjen Perikanan Budidaya,
Yogyakarta. 11-14 September 2001.
Rukyani, A. 2001. Strategi pengendalian penyakit viral pada budidaya ikan
kerapu. Seminar Nasional Pengembangan Budidaya Laut
Berkelanjutan. Jakarta, 7-8 Maret 2001.
Tanaka, S., K.M.M. Arimoto, T. Iwamoto, and T. Nakai, 2001. Protective
immunity of seven band grouper Epinephelus septafasciatus,
agints experimental viral nervous necrosis. J. Fish Diseases 24
(1) 15-22.
Taufik, P. 2001. Bakteri patogen pada ikan Kerapu (Epinephelus sp) dan
Bandeng Chanos chanos. Seminar Nasional Pengembangan
Budidaya Laut Berkelanjutan. Jakarta, 7-8 Maret 2001.
Zhou, Y.C., Huang, J.wang, B.Zhang, and Y.Q. Su, 2002. Vaccination of the
Grouper, Epinephelus awoara, against Vibriosis using the
ultrasonic technique. Aquaculture, 203 (1-2) 229-238.

18

Anda mungkin juga menyukai