DISUSUN OLEH :
ROMI NOVRIADI
( PHPI PELAKSANA LANJUTAN )
1
MONITORING PEMANTAUAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DI DESA
Tg. BATU KECIL, KECAMATAN BURU, KABUPATEN KARIMUN, PROVINSI
KEPULAUAN RIAU
Romi Novriadi
Balai Budidaya Laut Batam
Jl. Barelang Raya Jembatan III, Pulau Setokok-Batam
PO BOX 60 Sekupang, Batam – 29422
E-mail : Romi_bbl@yahoo.co.id
Abstrak
Kata kunci : Monitoring, Kimia dan Biologi, Desa Tg. Batu kecil, Karimun
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Pendahuluan
Hingga kini belum tersedia data yang pasti tentang kerugian ekonomi akibat
penyakit ikan, biasanya angka yang tercatat lebih didasarkan pada laporan parsial
yang sangat mungkin hanya merupakan puncak “gunung es” dari kondisi yang
sesungguhnya. Sebagai gambaran, akibat infeksi “luminescent vibriosis” pada
udang windu telah mengakibatkan kerugian puluhan milyar rupiah pada awal tahun
1990-an. Sejak tahun 1994 hingga kini, kerugian akibat White Spot Syndrome Virus
(WSSV) pada budidaya udang windu diperkirakan mencapai lebih dari 100 milyar
rupiah/tahun. Akibat kasus penyakit Koi Herpesvirus (KHV) selama periode 2002
hingga akhir 2006, secara kumulatif diperkirakan telah menimbulkan kerugian lebih
dari 150 milyar rupiah. Kerugian tidak langsung yang berkaitan dengan kasus
penyakit ikan relatif sulit dihitung nilainya, karena hal ini terkait dengan kredit macet,
pengangguran, inefisiensi penggunaan lahan budidaya, terhambatnya investasi
baru, dan industri saprokan (pakan, mesin-mesin perikanan, dll.) menjadi terganggu.
3
Sebagai salah satu sentra produksi perikanan budidaya, Kabupaten Karimun
menyimpan potensi yang sangat besar untuk pengembangan berbagai komoditas
budidaya. Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang terdapat di Kabupaten
Karimun ini terdiri dari berbagai hasil perikanan laut, wisata bahari dan pantai,
ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut serta beragam jenis biota laut
lainnya. Salah satu daerah yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang adalah
Kecamatan Buru. Oleh karena itu Tim Kesehatan Ikan dan Lingkungan
mengarahkan Monitoring ke Desa Tg. Batu kecil sebagai salah satu sentra
pengembangan produksi ikan laut dan payau di Kecamatan Buru, Kabupaten
Karimun.
4
BAB III
METODA PENGAMATAN
Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
A. Bahan:
− Kuisioner monitoring
− Media agar umum ( Triple Soya Agar )
− Media agar selektif ( TCBS )
− Alkohol 75%
− Spritus
− Ammonia salycilate
− Ammonia cyanurate
− NitriVer
− NitraVer
− Ammonium visicolor test kit
− Nitrit visicolor test kit
− Glyserol
− NaOH
− HCl
− Indikator phenolphtalein
− H2SO4
− Buffer pH 4,01
− Buffer pH 7,0
− Buffer pH 10,0
− Larutan elektrolit
− Aquadest
− IQ 2000 PCR analisis kit
− NaCl fisiologis
− Parafilm
− Agarose
5
B. Peralatan
− Hand Refraktometer
− DO meter
− pH meter
− HACH DR 890 Kolorimeter
− HANNA C203 Ion Specific meter
− Inkubator
− Oven
− Mikroskop
− Cawan petri
− Cool box
− Kamera digital
− Thermocycler
− Vortex
− UV dokumentasi
− Elektroforesis chamber
− Buret
− Statif dan klem
− Glassware
− Dissecting set
6
Didalam melakukan sampling, baik air atau ikan, patokan yang digunakan oleh
Tim Monitoring Pemantauan Kesehatan Ikan dan Lingkungan adalah SNI dan
juknis yang direkomendasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
1.1 Untuk penentuan tentang titik sampling, didasarkan pada prinsip tempat
pengambilan sampel dapat mewakili kualitas badan perairan.
1.2 Membuat persyaratan wadah contoh, diantaranya :
a) Menggunakan bahan gelas atau plastik Poli Etilen (PE) atau Poli
Propilen (PP) atau Teflon (Poli Tetra Fluoro Etilen, PTFE);
b) dapat ditutup dengan kuat dan rapat; tidak mudah pecah
c) bersih dan bebas kontaminan;
d) contoh/sampel tidak berinteraksi dengan wadah yang digunakan.
1.3 Persiapan Wadah Sampel
a) untuk menghindari kontaminasi contoh di lapangan, seluruh wadah
contoh harus benar-benar dibersihkan di laboratorium sebelum
dilakukan pengambilan contoh.
b) wadah yang disiapkan jumlahnya harus selalu dilebihkan dari yang
dibutuhkan, untuk jaminan mutu, pengendalian mutu dan cadangan.
c) Jenis wadah contoh dan tingkat pembersihan yang diperlukan
tergantung dari jenis contoh yang akan diambil.
1.4 Cara pengambilan contoh dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Disiapkan alat pengambil contoh yang sesuai dengan keadaan sumber
airnya;
b) Dibilas alat pengambil contoh dengan air yang akan diambil, sebanyak 3
(tiga) kali;
c) Diambil contoh sesuai dengan peruntukan analisis dan campurkan
dalam penampung sementara, kemudian homogenkan;
d) Dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai peruntukan analisis;
e) Dilakukan segera pengujian untuk parameter suhu, kekeruhan dan daya
hantar listrik, pH dan oksigen terlarut yang dapat berubah dengan cepat
dan tidak dapat diawetkan;
f) Hasil pengujian parameter lapangan dicatat dalam buku catatan khusus;
g) Pengambilan contoh untuk parameter pengujian di laboratorium
dilakukan pengawetan
7
Non probability sampling dalam metode ini, probabilitas anggota
populasi hewan yang dipilih tidak diketahui dan ada kecenderungan
kelompok tertentu mendapat perhatian lebih dari kelompok lainnya. Contoh
metode ini yaitu:
8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
9
B. Data Analisa Kualitas Air
Pengambilan data dan analisa kualitas air dilakukan dengan dua (2) tahap,
yakni :
1. Pengambilan data langsung di lapangan, dilakukan untuk parameter
yang mengharuskan pengamatan secara In-situ, diantaranya adalah pH
(derajat keasaman), oksigen terlarut, temperatur, salinitas dan
Ammonium.
2. Pengambilan data secara laboratorium, dilakukan untuk sampel air
yang dapat dianalisa di laboratorium setelah mendapatkan perlakuan
preparasi sampel menurut SNI 6989.57:2008.
HASIL UJI
SATU TEST RESULT SPESIFIKASI METODE
PARAMETER
AN METHODE
PARAMETERS
UNIT TITIK A TITIK B SPESIFICATION
Alkalinitas 90 90 Titrimetri
mg/l
Oksigen Elektrometri
5,1 5,0
terlarut
0
Elektrometri
Temperatur c 29,4 29,3
10
C. Data Analisa Mikrobiologi
Berdasarkan isolasi organ target untuk analisa bakteri dan virus diperoleh
hasil sebagai berikut :
KODE SPESIFIKASI
PARAMETER HASIL UJI
N SAMPEL METODE
PARAMETER TEST
o SAMPLE METHODE
S RESULT
CODE SPESIFICATION
Isolasi dan
Bakteri Vibrio sp Identifikasi
Bawal
1 Konvensional
Bintang
IKM/5.4.1/BBL-B
VNN Negatif (-)
(PCR)
Isolasi dan
Bakteri Vibrio sp Identifikasi
2 Kerapu Konvensional
IKM/5.4.1/BBL-B
VNN Negatif (-)
(PCR)
Sampel 1 :
Bawal Bintang
( Trachinotus blochi, Lacepede)
Asal Benih :
Balai budidaya Laut batam
Gejala klinis :
1. Exopthalmia
2. Luka sirip
3. Berenang abnormal
4. Kurang nafsu makan
Sampel 2 :
Kerapu Lumpur
( Epinephelus coiodes)
Asal benih :
Medan, Tangkapan alam
Gejala klinis :
1. Luka di permukaan tubuh
2. Berenang abnormal
11
3. Kurang nafsu makan
IV.2 Pembahasan
Secara geografis, Kabupaten Karimun berada pada posisi 000 – 50’ – 25”
Lintang Utara, 010 – 10’ – 30” Lintang Selatan, 030 – 31’ – 20” Bujur Barat dan
1020 – 15’ – 15” Bujur Timur. Kabupaten Karimun mencakup wilayah seluas
12
7.984 Km2 , yang terdiri dari Wilayah Daratan seluas 1.524 Km2 dan Wilayah
Lautan seluas 6.460 Km2 serta memiliki tapal batas wilayah langsung dengan
Selat Singapura, Selat Malaka dan Semenanjung Malaysia.
Dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :
Disamping Perairan Laut daerah ini memiiliki beberapa Selat yang berpotensi
untuk Pengembangan Usaha Perikanan di bidang Budidaya Keramba Jaring
Apung dan Budidaya Rumput Laut serta pertambakan. Selain itu juga memiliki
13
sungai namun tidak begitu berarti dalam pemanfaatan baik bagi Transportasi
maupun untuk Pengembangan Budidaya Perikanan.
B. Manajemen Budidaya
Penyakit ikan biasanya timbul karena adanya interaksi antara tiga faktor yaitu
lingkungan, inang dan adanya jasad penyebab penyakit. Apabila ketiga faktor
tersebut berada dalam keseimbangan maka tidak akan terjadi masalah
penyakit.
Penyakit yang muncul pada ikan selain di pengaruhi kondisi ikan yang
lemah juga cara penyerangan dari organisme yang menyebabkan penyakit
tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit pada ikan antara lain :
1. Adanya serangan organisme parasit, virus, bakteri dan jamur.
2. Lingkungan yang tercemar (amonia, sulfida atau bahanbahan kimia
beracun)
3. Lingkungan dengan fluktuasi ; suhu, pH, salinitas, dan kekeruhan yang
besar
4. Pakan yang tidak sesuai atau Gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan
ikan
5. Kondisi tubuh ikan sendiri yang lemah, karena faktor genetik (kurang
kuat menghadapi perubahan lingkungan).
Berdasarkan hasil survey dan
wawancara yang
dilakukan, beberapa
kegiatan yang dilakukan
Bp. A Ho untuk
manajemen kesehatan
ikan dan lingkungan
adalah perendaman
dengan air tawar dan
perendaman
1. pH (derajat keasaman)
16
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses Nitrifikasi terhambat
Sumber : Modifikasi Baker et al., 1990- dalam Effendi, 2003
2. NH3 (Ammonia)
Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber
amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan
nitrogen anorganik yang banyak terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal
dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati)
oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas
metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain
adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer,
limbah industri dan domestik. Amonia yang terdapat dalam mineral masuk ke
badan air melalui erosi tanah. Di perairan alami, pada suhu dan tekanan normal
amonia berada dalam bentuk gas dan membentuk kesetimbangan dengan gas
amonium.
Berdasarkan pengamatan, rentang konsentrasi NH3 (Ammonia) di
perairan KJA Bp. A Ho di wilayah ds. Tg. Batu, Kecamatan Buru berada pada
rentang konsentrasi 0,11 – 0,14 mg/l. Keadaan ini sudah jauh melampaui batas
ambang kelayakan konsentrasi Ammonia perairan yang mempersyaratkan
konsentrasi <0,02 mg/l. Bila dilihat kembali hasil analisa maka terdapat kenaikan
hingga 600%.
Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi (Unionized) bersifat toksik
terhadap makhluk akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme budidaya
dapat meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu.
Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang tinggi di
perairan karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan
pada akhirnya akan menyebabkan Sufokasi. (Hafni Effendi, 2003).
3. Alkalinitas
Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang
mampu menetralisir keasaman dalam air. Secara khusus, alkalinitas sering
disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pem - buffer -an dari ion
bikarbonat, dan sampai tahap tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air.
Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga
menurunkan kemasaman dan menaikkan nilai pH.
Bila ditinjau dari hasil pengamatan di ds. Tg. Batu, nilai alkalinitas yang
diperoleh adalah 90 mg/l. Nilai alkalinitas yang baik adalah 100 mg/l. Hal ini
berarti perairan dapat diklasifikasikan sebagai perairan lunak (Soft water).
Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium Karbonat
(CaCO3). Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat
menimbulkan permasalahan pada kehidupan makhluk hidup. Terutama yang
17
berhubungan dengan iritasi pada sistem pencernaan (Gastro intestinal). Jika
dididihkan dalam waktu yang cukup lama, perairan dengan nilai alkalinitas yang
tinggi akan menghasilkan deposit dan menimbulkan bau yang kurang sedap.
Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi (100-200 mg/l) lebih produktif bila
dibandingkan dengan nilai alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini
berkaitan dengan keberadaan Posfor dan elemen essensial lainnya yang
kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas.
4. T D S (Total Dissolved Solid)
Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah bahan-
bahan terlarut (Diameter <10-6 mm) dan koloid (Diamater 10-6 – 10-3 mm) yang
berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada
kertas saring berdiameter 0,45 μm. TDS sangat penting karena pengaruhnya
terhadap palatabilitas dan efeknya untuk menyebabkan reaksi fisiologis yang
buruk. Air yang kaya mineral juga kurang bagus bagi aplikasi industri, dan juga
kualitasnya untuk irigasi agak terbatas.
TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion
yang biasa ditemukan di perairan. Untuk air laut biasanya memiliki nilai TDS
yang cukup tinggi, karena banyak mengandung senyawa kimia, yang juga
mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik / Konduktivitas.
Baku Mutu Lingkungan (BML) untuk TDS adalah <400 mg/l. Bila ditinjau
dari hasil analisa maka rentang konsentrasi yang diperoleh adalah 569 – 622
mg/l. Hal ini sudah jauh melampaui BML yang ditetapkan. Salah satu hal yang
patut menjadi perhatian bila nilai padatan terlarut ini tinggi adalah terganggunya
proses osmoregulasi pada ikan akibat banyakya partikel terlarut di dalam air.
5. Posfat (PO4)
18
data Total Bakteri Umum dalam perairan yang mencapai 5,04 x 104 - 5,11 x 104
CFU/ml.
6. Salinitas
19
papan dalam jumlah besar, dikhawatirkan perairan mengalami penurunan
konsentrasi salinitas yang menyebabkan ikan lebih sering melakukan
osmoregulasi, yang berarti energi yang diberikan melalui pakan akan habis untuk
menyesuaikan tekanan osmotik dalam tubuh dan lingkungan. Bila ini terjadi
dalam waktu yang cukup lama dan berkelanjutan dikhawatirkan ikan mengalami
kematian bila ada arus air yang berasal dari muara sungai gunung papan. Solusi
yang dapat diambil aalah memilih lokasi budidaya baru yang memiliki nilai
salinitas yang lebih stabil sepanjang tahun.
Penyakit Vibriosis pada ikan budidaya laut telah diketahui sebagai salah satu
penyebab rendahnya sintasan baik pada saat di pembenihan maupun pada saat
pembesaran. Ada beberapa bakteri Vibrio sp yang berperanan dalam
menyebabkan timbulnya penyakit pada ikan, namun menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Murdjani (2002) yang paling dominan adalah V.
alginolyticus. Penanggulangan penyakit Vibriosis pada ikan kerapu sampai saat
ini masih tertumpu pada penggunaan obat-obatan atau antibiotika, namun
hasilnya belum memuaskan. Hal ini disebabkan singkatnya waktu inbukasi
bakteri tersebut sampai menyebabkan kematian. Dengan semikian pengobatan
dengan antibiotik sering mengalami keterlambatan dan akibatnya antibiotik
menjadi tidak efektif. Disamping itu, pembudidaya ikan, khususnya dan
pembudidaya ikan pada umumnya tidak melakukan monitoring penyakit secara
rutin dan benar, sehingga adanya penyakit sering diketahui sudah dalam
keadaan tidak bisa diobati atau sakitnya sudah terlalu lanjut
Tidak konsistennya pembudidaya dalam melakukan monitoring internal
menyebabkan terdapat beberapa sampel ikan yang mengalami berbagai gejala
Vibriosis. Pengobatan dengan perendaman ataupun Acriflavine tidak terlalu
efektif dalam menanggulangi penyakit ini. Saran yang diberikan adalah dengan
dilakukannya pemberian Vitamin sejak dini ataupun dengan pemberian vaksinasi
pada benih yang baru didatangkan.
20
Untuk hasil analisa VNN (Viral Nervous Necrosis) menunjukkan hasil negatif. Hal
ini juga didukung dengan kondisi di lapangan. Dimana tidak ditemukannya gejala
klinis yang memperlihatkan ikan terserang penyakit virus VNN.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
1. Penerapan Good Aquaculture Practices pada KJA Bp. A Ho, sudah baik.
Namun beberapa hal yang harus diperhatikan adalah tingkat padat tebar,
pemberian pakan, grading dan Biosekuriti harus diaplikasikan sesuai dengan
petunjuk teknis budidaya ikan.
2. Lingkungan KJA Bp. A Ho sangat tidak optimal dalam mendukung budidaya
ikan berkelanjutan, hal ini terbukti dari hasil analisa untuk parameter pH,
NH3, salinitas, PO4, Alkalinitas, TDS dan Total Bakteri Umum yang
semuanya telah melampaui Ambang batas Baku Mutu Lingkungan baik
menurut Kepmen LH No.51/2004 untuk biota laut maupun menurut juknis
pemeliharaan ikan laut Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3. Analisa Mikrobiologi pada sampel ikan menunjukkan bahwa penyakit
Vibriosis sudah mulai menyerang komoditas ikan budidaya sementara hasil
analisa virus negatif.
V.2 Saran
21
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan yang berbahagia ini ijinkan kami mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran tugas monitoring di
Desa Tanjung Batu, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau.
Sehingga berjalan lancar dan tidak ada halangan satu apapun. Adapun pihak-
pihak yang ingin kami haturkan terima kasih adalah :
1. Bp. Ir. Hazmi Yuliansyah, M.Si selaku Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karimun
2. Ibu Nurjanah, S.Pi, selaku Kepala Bagian Budidaya Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karimun
3. Bp. Saiful, S.St.Pi, Selaku staff bagian budidaya Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karimun
4. Bp. Anton, selaku petugas PPL Kecamatan Buru Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karimun
5. Bp. Samad, selaku staff teknis KJA milik Bp. A Ho
Demikian ucapan terima kasih ini kami haturkan, semoga bantuan yang
Bapak/Ibu berikan menjadi amal jariyah dan diberikan balasan yang setimpal
dari Yang Maha Kuasa
22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Pedoman Umum Monitoring dan Surveilance Hama dan Penyakit
Ikan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Direktorat Kesehatan Ikan Dan
Lingkungan
Cameron, A. 2002. Survey Toolbox for Aquatic Animal Diseases. A Practical Manual
and Software Package. ACIAR Monograph, No. 94, 375p.
Crosa, J.H., M.A. Walter, and S.A. Potter, 1983. The genetic of plasmid-mediated
virulence in the marine fish pathogen Vibrio anguillarum. Bacterial and viral
diseases of fish. Molecular studies. A Washington Sea Grant Pub. Univ. of
Washington, Seattle.
Effendi, Hefni, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Iverson, J. B. (1971) Strontium chloride B and E. E. enrichment broth media for the
isolation of Edwardsiella, Salmonella and Arizona species from Tiger Snakes.
Journal of hygiene, Cambridge 69, 323-330
23
Johni F, Roza. D dan Zafran. 2005. Infeksi Bakteroal pada Ikan Laut Budidaya dan
Upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi
Budidaya Laut Berkelanjutan 10 – 13 April. BBRBL Gondol Bali. 11 hal
Kamiso, H.N., Triyanto dan Sri Hartati, 1992. Penanggulangan penyakit Motil
Aeromonas Septisemia (MAS) pada ikan lele (Clarias sp.). ARM Project,
Balitbang Pertanian, Deptan., 38 p.
Kasonchandra, J., 1999. Major viral bacterial diseases of marine fishes with
emphasison seabass and grouper. Paper contributed to the Fourth
Symposium on Diseases in Asian Aquaculture. Cebu International
Convention Centre, Waterfront Cebu City Hotel, Cebu Cyti Philippines.
Kitao T., T. Aoki, M. Fukudome, K. Kawano, Y. Wada dan Y. Mizuno, 1983.
Serotyping of Vibrio anguillarum isolated from diseased freshwater fishes in
Japan. J. Fish Diseases, 6:175-181.
Murdjani, M., 1997. Pembenihan ikan kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) dalam bak
terkendali di Loka BAP Situbondo. Ditjen Perikanan, Deptan., 9 hal.
Murdjani, M., 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan
kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Disertasi, Program Pasca Sarjana,
Universitas Brawijaya, Malang.
Taukhid, 2010, Dukungan Monitoring dan Pemetaan Sebaran Jasad Patogen Bagi
Upaya Pengendalian Penyakit Ikan, Makalah, Disampaikan di Hotel Salak
pada pertemuan : Penyusunan Pedoman Umum Monitoring dan Surveillance,
Bogor.
24