Disusun oleh :
Kelompok 8 / Kelautan
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun makalah dapat menyelesaikan makalah Biologi
Laut yaitu marine fish di zona laut dalam dengan tepat waktu.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai marine fish di zona laut dalam dan memberikan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai marine fish di zona laut dalam
Penulis berterimakasih atas pihak-pihak yang sudah membantu dan
harapan penulis makalah ini dapat menjadi evaluasi dan tolak ukur dalam
pelaksanaanmata kuliah Biologi Laut di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran dan semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua.
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat memahami tentang marine fish di laut dalam.
2. Dapat mengetahui sistematika marine fish di laut dalam.
3. Dapat mengetahui bentuk adaptasi fisiologi marine fish di laut dalam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistematika
Ikan laut dalam, secara umum ditemukan di kedalaman > 600 m bahkan
sampai berada pada kedalaman 8.370 m.Di laut dalam, hampir tidak ada cahaya,
kecuali pada zona mesopelagik dimana pada waktu atau kondisi tertentu masih
terdapat sedikit cahaya matahari. Intensitas cahaya di zona ini sangat rendah,
sehingga tidak memungkinkan adanya produksi primer di laut dalam. Cahaya
yang ada biasanya berasal dari hewan-hewan laut dalam. Untuk beradaptasi, ikan
laut dalam memiliki indra khusus untuk mendeteksi makanan dan lawan jenis,
keperluan reproduksi serta mempertahankan asosiasinya, baik bersifat intra
maupun inter-spesies (Dahuri, 2003, hlm: 90).
Deep sea water atau biasa disebut DSW adalah air laut yang berada pada
kedalaman lebih dari 200 meter. Air laut pada kedalaman lebih dari 200 meter
memiliki kadar garam yang lebih rendah dibandingkan air laut di permukaan. Air
laut memiliki variasi temperatur dan salinitas yang bergantung pada
kedalamannya. Sekitar 95% dari total volume air laut di bumi adalah DSW.Pada
beberapa tahun terakhir, DSW telah digunakan untuk keperluan berbagai industri,
yaitu pemrosesan pangan, agrikultur, industri farmasi, serta industri kosmetik.
Saat ini, penelitian tentang pemanfaatan DSW sedang digencarkan untuk berbagai
aplikasi. Potensi DSW dinilai sangat besar, salah satunya ditinjau dari
ketersediaannya di bumi ini.
Sinar matahari tidak dapat mencapai wilayah DSW karena sinar matahari
telah diserap oleh air yang berada di permukaan laut hingga beberapa meter di
atas DSW. Tidak adanya sinar matahari yang sampai ke zona DSW
mengakibatkan fotosintesis terhambat sehingga jumlah fitoplankton dalam DSW
sangat sedikit. Keadaan lingkungan DSW tersebut mengakibatkan DSW memiliki
beberapa karakteristik, di antaranya adalah bertemperatur rendah dan stabil,
jernih, tidak bersifat patogen, mengandung nutrisi yang sangat banyak, dan
mengandung mineral seperti magnesium (Mg), kalsium (Ca), potasium (K) serta
3
mineral-mineral lain dalam jumlah banyak saat ini, penggunaan DSW paling
banyak di bidang perikanan adalah untuk budidaya ikan-ikanan, kerang, rumput
laut, dan fitoplankton. Karena kandungan nutrisi DSW yang tinggi, secara praktis,
DSW tentu diharapkan untuk memiliki pengaruh baik yang besar, baik untuk
budidaya perikanan maupun untuk meningkatkan kualitas daging pada
peternakan. Hal ini tentu memberikan efek yang besar terhadap kehidupan
manusia, mengingat saat ini tingkat pertumbuhan populasi manusia meningkat
tajam. Banyaknya populasi manusia sebanding dengan banyaknya bahan pangan
yang dibutuhkan. Produktivitas DSW yang besar tentu saja memengaruhi peran
akuakultur untuk penyediaan pangan bagi manusia. Aplikasi praktis lain dari
DSW di bidang perikanan adalah untuk penanganan ikan yang ditangkap dari laut.
Penggunaan DSW dimaksudkan untuk menjaga kesegaran ikan-ikan yang telah
ditangkap. Kegunaan lain dari DSW yang sedang dalam penelitian adalah
restorasi lingkungan dan salinitas dengan memanfaatkan banyaknya nutrisi yang
terkandung dalam DSW.
2.2.1 Mata
Salah satu ciri lau dalam (deep sea) adalah minimnya cahaya. Menurut
Nybakken (1992) Laut dalam gelap-gulita, kecuali di bagian atas mesopelagik
dimana pada waktu atau kondisi tertentu masih terdapat sedikit cahaya matahari.
Cahaya, seperti halnya faktor ekologi lain berpengaruh penting bagi kehidupan
ikan. Efek langsung yang utama adalah pada penglihatan (Lagler et al., 1977
dalam Syam dan Satria, 2009). Maka dari itu, ikan dan organisme laut dalam
lainnya memiliki bentuk adaptasi khusus terkait kondisi ini.
Salah bentuk adaptasi ikan mesopelagik adalah adanya sepasang mata
yang besar. Jika dibandingkan dengan besarnya tubuh, ukuran mata ikan-ikan ini
jauh lebih besar daripada ikan-ikan epipelagik. Selain itu, ikan-ikan ini juga
memiliki “pengelihatan senja” yang peka karena tingginya nilai kepadatan sel
batang retina atau rod cells (Nybakken, 1992).
4
Hal yang sama disampaikan oleh Walls (1942) dalam Gunarso (1985).
Pada jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di
daerah yang nyaris tak terjangkau sinar matahari mempunyai reseptor pada retina
matanya hanya terdiri atas rod (misalnya pada ikan bertulang rawan seperti
Mystelus sp., Myliosates sp., dan Megaprion sp.). Hasil perhitungan banyaknya
rod pada beberapa jenis ikan laut-dalam menunjukan jumlah rod lebih dari 25 juta
per mm2 retina.
Beberapa spesies ikan bahkan mempunyai apa yang dinamakan tapetum
lucidum yaitu elemen tertentu yang membantu memperbesar jumlah cahaya yang
diterima oleh reseptor (cone dan rod) sebagaimana halnya reflektor pada lampu
blits; sedangkan untuk dapat mempertahankan jumlah cahaya maksimum yang
dapat diterima oleh reseptor, beberapa jenis ikan memiliki retina dengan pigmen
retina yang banyak. Pigmen retina tersebut mempunyai kemampuan menyerap
sinar yang terlalu banyak sebelum mencapai reseptor (Syam dan Satria, 2009).
Adaptasi lainnya dari ikan laut dalam adalah mata yang berbentuk pipa
(tubular). Beberapa famili ikan memiliki mata berbentuk pipa sehingga wujud
ikan-ikan ini sangat aneh. Mata ikan-ikan ini berbentuk silinder pendek berwarna
hitam dengan sebuah lensa tembus cahaya berbentuk setengah lingkaran di
puncak silinder. Tiap mata memiliki dua retina, yang satu dipangkal silinder
5
berfungsi untuk melihat objek yang dekat. Retina satunya berada di dinding
silinder berfungsi untuk melihat objek yang jauh (Nybakken, 1992).
2.2.2 Mulut
Bagian laut dalam dimana lingkungannya minim cahaya berarti
produktivitas primer sangat sedikit dan hal ini membuat ketersdiaan pakan
menjadi sedikit. Langkanya pakan mengakibatkan terdapatnya beberapa adaptasi
lain. Kebanyakan ikan laut dalam memiliki mulut yang besar. Dalam mulutnya
terdapat gigi-gigi yang panjang dan melengkung kea rah tenggorokan, sehingga
menjamin mangsa yang sudah tertangkap tidak lepas kembali. Uniknya lagi mulut
ini dihubungkan dengan tengkorak oleh suatu engsel yang memungkinkan ikan
membuka mulutnya sangat lebar. Hal ini memungkinkan ikan untuk menelan
mangsa yang bahkan lebih besar dari ukuran tubuhnya (Nybakken, 1992).
6
Gambar 3. Adaptasi dari ikan Chauliodus sloani yang memiliki mulut besar
dengan rahang berengsel.
Sumber: www.marinespecies.org
2.2.3 Bioluminesens
Nybakken (1992) menjelaskan dalambukunya bahwa banyak organisme
laut dalam yang dapat menghasilkan cahaya. Namun tidak hanya itu,
perkembangan organ-organ penghasil cahaya itu sendiri juga sangat rumit. Organ
penghasil cahaya dinamakan fotofor. Khususnya pada ikan dan cumi terdapat
jumlah fotofor yang sangat besar. Di laut dalam hewan yang memiliki fotofor
banyak dijumpai di zona mesopelagic dan batipelagik. Keberadaan fotofor sebagai
penghasil cahaya berfungsi untuk melindungi organisme tersebut dari predator
juga berfungsi sebagai umpan dalam aktivitas berburu. Misalnya pada ikan
pemancing (Ceratoidea), organ penghasil cahaya ini berfungsi sebagai umpan agar
mangsa mendekat sampai jaraknya cukup terjangkau oleh predator, dengan kata
lain ikan pemancing menjadikan dirinya perangkap untuk berburu mangsa.
7
Gambar 4. Deep sea angler fish (Ceartias hobolli)
Sumber: bioluminescenctprcoesses.weebly.com
2.2.4 Reproduksi
Kepadatan organisme laut dalam cenderung rendah karena ketersediaan
pakan yang sedikit. Hal ini dapat menjadi masalah dalam proses reproduksi,
karena akan sulit bagi organisme untuk menemukan pasangan dari jenis kelamin
berbeda. Salah satu adaptasi untuk mengatasinya terlihat pada ikan pemancing
(Ceratoidea). Pada ikan ini ukuran ikan pemancing jantan jauh lebih kecil
dibanding ukuran ikan pemancing betina. Ceratias sp. jantan hidup menempel
pada betina sebagai parasit. Dengan demikian, yang jantan dipastikan akan selalu
ada untuk menyediakan sperma jika saatnya pembuahan tiba. Tentunya Ceratias
sp. jantan harus terlebih dahulu menemukan betina dan kemudian menempel di
tubuhnya. Dianggap bahwa yang jantan dapat menemukan betinanya melalui
indria olfaktorik (Nybakken, 1992).
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Deep sea water atau biasa disebut DSW
adalah air laut yang berada pada kedalaman lebih dari 200 meter. Air laut
pada kedalaman lebih dari 200 meter memiliki kadar garam yang lebih
rendah dibandingkan air laut di permukaan. Selain itu cahaya matahari
yang tembus ke area ini sangat minim. Pada kedalaman tersebut biota –
biota beradaptasi secara fisiologis seperti memiliki sepasang mata yang
besar , mampu menghasilkan cahaya (bioluminesens) ,dan beradaptasi
dalam hal reproduksi seperti pada ikan ini ukuran ikan pemancing jantan
jauh lebih kecil dibanding ukuran ikan pemancing betina. Ceratias sp.
jantan hidup menempel pada betina sebagai parasit.
9
Daftar Pustaka
10