Anda di halaman 1dari 9

Daftar dapus skripsi

Daftar Pustaka
1. Prof.dr.H.Sidarta ilyas,SpM.dr.sri rahayu yulianti,SpM.ILMU PENYAKIT
MATA.edisi ke-empat.badan penerbit fakultas kedokteran universitas Indonesia.
(Pterigium merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan adanya pertumbuhan
jaringan fibrovaskular di konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif.pertumbuhan jaringan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang dapat meluas ke kornea.tanda khas pterygium
adalah jaringan yang tumbuh berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau
di daerah kornea.pteregium memiliki sifat mudah meradang dan bila terjadi
peradangan akan berwarna merah.pterigium dapat pula asimptomatik atau
simptomatik1.
didukung oleh teori ilyas (2008) bahwa paparan sinar matahari merupakah factor
penting dalam perkembangan pteregium1,

2. Laszuarni. 2009. Prevalensi Pterygium Di Kabupaten Langkat. [Tesis]. Medan :


Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D.2013. Geographical Prevalence And Risk


Factors For Pterygium: A Systematic Review And Meta-Analysis BMJ Open.
3(11):00387
4. Evi Emilia. Third Grade Pterygium Of A Farmer. Medical Faculty Of Lampung
University. Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014
5. Ulfah Fathimah Fairuz. Analisis Faktor Risiko Dengan Kejadian Pterigium Di Rumah
Sakit Panti Rahayu Yakkum Purwodadi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang 2021

ulfah Fatimah Fairuz (2021) melakukan analisis di rs panti rahayu yakkum purwodadi
didapatkan mayoritas pasien di rentang usia >46 tahun sebesar 22 orang (55%)5.
6. Gazzard, G.Pterigium in Indonesia:prevalence, severity and risk factor. BMC
Ophthalmology, pp.1–12. et al., 2002.
Singapore National Eye Center, melakukan penelitian di daerah Riau untuk meninjau
pterigium berhubungan dengan umur .didapatkan prevalensi pada usia 21 tahun
sebesar 10%, usia diatas 40 tahun sebesar 16,8% (Gizzard, et al., 2002).
7. Novita rany,hubungan lingkungan kerja dan perilaku nelayan dengan kejadian
pteregium di desa kemang kecamatan pangkalan kuras kebupaten
pelalawan.keskom.2017;3(4):153-153.
Tambah dapus toni cari

1. Masa dan durasi kerja


Berdasarkan hasil penelitian novita rany (2017) didapatkan asil penelitian
adanya hubungan masa kerja nelayan terhadap kejadian pteregium itu dikaitan
dengan durasi kerja semakin lama melaut maka akan semakin lama terpapar
sinar matahari.dan didukung oleh teori ilyas (2008) bahwa paparan sinar
matahari merupakah factor penting dalam perkembangan pteregium,dimaan
untuk nelayan rata rata lama durasi kerja > 5 jam dan hal tersebut memiliki
resiko meningkatkan terjadi pteregium.7
2. Penggunaan APD
Bersadarkan hasil penelitian novita rany (2017) didapatkan bahwa terdapat
hubungan penggunaan alat pelindung diri (APD) pada nelayan dengan resiko
kejadian ptreigium.sejalan dengan penelitian nasution (2013) bahwa alat
pelindung diri (APD) sangat mempengaruhi Kesehatan mata pasien.7

8. Ira sandi, Hubungan antara Pengetahuan dengan Upaya Pencegahan Pterigium pada
Kelompok Nelayan Ikan Tuna di Desa Asilulu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten
Maluku Tengah. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. Volume 12 Nomor 2,
April 2021. p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778

Nelayan yang menderita pterigium lebih banyak pada nelayan dengan upaya
pencegahan kurang hal ini dikarenakan pertumbuhan pterigium berhubungan dengan
paparan sinar UV selain sebagian besar responden memiliki lama kerja > 20 tahun
sehingga dengan lama kerja yang tinggi dan kebiasaan tidak menggunakan alat
pelindung diri berupa kaca mata hitam dan topi mengakibatkan risiko terpapar sinar
UV semakin tinggi yang mengakibatkan tingginya risiko terjadinya pterigium8.

9. Sary somba dkk,gambaran pengetahuan mesyarakat yang bekerja sebagai nelayan


tentang pteregium di desa kapitu kabupaten minahasa selatan.universitas sam ratulagi
manado.vol 6 no 2 (2018)
10. berta yolanda selviana,aryanti ibrahim.pteregium grade III pada oculi sinistra.fakultas
kedokteran universitas lampung.vol 8 no 2 2019
(Gejala yang dapat muncul adalah mata merah dan mungkin dapat menimbulkan
astigmatisma yang mengarah pada gangguan pengelihatan10.)

11. riskesdes (2015) riset Kesehatan dasar.jakarta : badan penelitian dan pengembangan
Kesehatan (online).
Prevalensi pterygium menurut riskesdas di Indonesia pada tahun 2015 menunjukkan
bahwa prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3% dengan prevalensi tertinggi
ditemukan di bali (25,2%),diikuti maluku (18,0%) dan nusa tenggara barat
( 17%).provinsi DKI Jakarta mempunyai prevelensi pterygium terendah yaitu
(3,7%),diikuti oleh banten (3,9%).sedangkan untuk di daerah riau pterygium yaitu
(6,0%).tinggi prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan nelayan atau petani
dibandingkan dengan pekerjaan nelayan atau petani dibandingkan dengan pekerja
lainnya yaitu 15,8%.hal tersebut dapat berkaitan dengan tingginya paparan matahari
yang mengandung sinar ultraviolet11.
12. American Academy of Ophtalmology. Pterygium-Asia Pacific [Internet]. 2015 [cited
2017 May 31]. Available from: https://www.aao.org/topic-detail/pterygium- asia-

Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di daerah dataran

rendah. Peningkatan kejadian pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona


khatulistiwa antara 30° lintang Utara dan Selatan. Pterigium lebih sering ditemukan di
daerah panas dengan iklim kering; prevalensinya dapat mencapai 22% di daerah
ekuator12

13. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan paparan sinar matahari dengan angka kejadian
pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Moluca Medica.
2014; 4(2);101-9

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui; telah terdapat banyak teori patogenesis,
antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-sitokin pro-
inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama
terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan
akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan
produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa
radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi
proliferasi abnormal epitel limbus. Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-
inflamasi mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang
merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti FGF (Fibroblast
Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor), TGF-β (Transforming Growth
Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodelling matriks ektra-sel
dan angiogenesis Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar
ultraviolet, angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-
inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga
akan memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth
factor akan mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel
dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan pterigium13 .
14. Green,L,health promotion planning,An Educational and Environmental
Approach,Second Edi(Mayfield Publishing Company,2005)
15. Green,L,health education planning,A Diagnostic Approunch ( New York: The John
Hopkins University : Mayfield Publising Co,1980)
16. Saifuddin azwar,sikap manusia teori dan pengukurannya,edisi kedua ( Yogyakarta :
PT Pustaka Pelajar,2012)
17. Notoadmodjo,soekidjo (2003).ilmu Kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dsar.jakarta
:PT Rineka cipta
18. Notoadmodjo,soekidjo (2005).promosi Kesehatan teori dan aplikasi.jakarta : Rineka
cipta
19. Notoadmodjo,soekidjo (2007).pendidikan dan perilaku kesehatan.jakarta : Rineka
cipta

20. .

21. Zhou WP, Zhu YF, Zhang Bei, Qiu WY, Yao YF. The role of ultraviolet radiation in
the pathogenesis of pterygia. Mol med rep. 2016; 14(1): 3-15.

Paparan sinar ultraviolet dapat memediasi peningkatan jumlah sel di dalam limbus
untuk pembentukan pterygium Sel-sel pterigium mengkespresikan berbagai macam
sitokin proinflamasi, faktor-faktor pertumbuhan dan matriks metalloproteinase
(MMPs) yang berperan dalam inflamasi, fibrogenesisis, vaksularisasi dan invasi dari
pterigium. Fibroblast limbus diaktivasi oleh radiasi sinar UV atau oleh sel-sel
pterigium dalam b-FGF/TGF-β-dependent manner yang menghasilkan peningkatan
produksi faktor pertumbuhan dan MMPs yang berkontribusi pada remodelling dari
matriks ekstraseluler dan kerusakan membran bowman dan invasi pterigium 21

22. Nadia eav Zahra,(2020),paparan sinar matahari sebagai factor resiko pterygium
pekerja sector agrikultur.UNILA vol 1 no.1 (literatur review)

23. Erry,ullya,A,Dwi,S(2011).distribusi dan karakteristik pterygium di Indonesia (online)


bulletin pendidikan system Kesehatan.vol.14 no 1 januari 2011:84-89,Jakarta

Pendidikan merupakan salah satu factor resiko pteregium dikaitkan dengan beberapa
penelitian bahwa minimnya pengetahuan mansyarakat terkait ptereigium,pencegahan
serta bahaya paparan sinar matahari.didukung oeh penelitian erry (2010) didapatkan
hasil bahwa adanya hubungan dengan pengetahuan masyarakat terkait prevalensi
pterygium dua mata maupun satu mata.23

24. Felmi V,Amanda G. (2012).hubungan paparan sinar matahari dengan angka kejadian
pterygium di dewa waai kabupaten maluku tengah tahun 2013. MOLUCCA
MEDICA (MM)
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
ISSN 1979 – 6358, VOLUME 4, NOMOR 2, MARET 2014
Pteregium berubungan erat dengan paparan sinar matahari Adapun pekerjaan yang
berkaitan dengan paparan sinar matahari langsung salah satunya nelayan. didukung
oleh penelitian toni (2005) didapatkan bahwa salah satu factor resiko pteregium
adalah pekerjaan (pertmbuhan pterygium berhubungan dengan paparan sinar
matahari) salah satunya yaitu nelayan.7didukung oleh penelitian felmi (2015) bahwa
Hasil uji Chi-Square memiliki hubungan yang signifikan dengan angka kejadian
pterigium di Desa Waai dengan tingkat signifikansi 0,001 (p < 0,05). 24
Berdasarkan
uji regresi logistik juga didapati lama aktivitas di luar ruangan merupakan variabel
yang memiliki hubungan paling erat dengan angka keja- dian pterigium yang
ditemukan di Desa Waai dengan tingkat signifikansi 0,001 (p < 0,05)24.

25. .(ABC OF WYWS fourth edition ).


Pasien mengeluh adanya area merah fokal atau benjolandaerah interpalpebra.
Mungkin sudah ada sebelumnya lesi di area yang mungkin telah diperhatikan pasien
sebelumnya25.

26. 1ANIZWA ZAIRINA RAHMA, 2HEPPY JELITA SARI BATUBARA . PREVALENSI PENYAKIT
MATA PTERIGIUM PADA NELAYAN DI DESA BOGAK KABUPATEN BATUBARA PADA
BULAN NOVEMBER - DESEMBER TAHUN 2020 JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 5
No. 3 ISSN. 2550-0414 Agustus 2021

Penelitian anizwa,dkk (2021) Didapatkan hasil prevalensi tertinggi dari nelayan di


desa Bogak usia di atas 40 tahun sebanyak 26 orang dan lamanya bekerja sebagai
nelayan 32 orang26.

27. Rezvan F,khabazkhoob M,hooshmand E,prevalence and risk factors of pterygim : a


systematic review and meta-analysis.BMJ open acces.2013;3(1):1-6

Berdasarkan penelitian Rezvan et al menunjukan bahwa laki-laki memiliki risiko 1.3 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Perbedaan gaya hidup, seperti menghabiskan
waktu berjam-jam di luar ruangan tampaknya menjadi alasan utama perbedaan risiko
antara pria dan wanita 27.

28. Mackenzie,FD
Menurut penelitian Mackenzie et al,(1992) dalam meseret,bejiga & ayelew
(2008),terdapat peningkatan prevalensi presentasi jumlah pasien yang tdak
menggunakan apd seperti kaca mata ataupun topi yang berhbungan dengan paparan
sinar matahari28.

29. Dewinta P. Ama,1 Rillya D. P. Manoppo,2 Wenny P. Supit2 . Gambaran Tingkat


Pengetahuan tentang Pterygium pada Pengendara Bentor di Kecamatan Mananggu e-
CliniC, Volume 9, Nomor 1, Januari-Juni 2021, hlm. 15-19

Sejalan dengan penelitian dewinta dkk (2021) terkait kategori tingkat pengetahuan
tentang pterygium,didapatkan hasil bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang
mempengaruhi tingginya pengetahuan terkait pterygium29.

30. SkolnickCA,GrimmetMR.Managementofpterygium.In:Krachmer JH, Mannis MJ,


Holland EJ, editors. Cornea. Volume 2. 2nd Edition. Philadelphia: Elsevier Mosby;
2005: 1749–61.
31. Waller SG, Adamis AP. Pterygium. In: Duane’s clinical ophthalmology on CD ROM.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2003.
32. PutraAK.Penatalaksanaanpterigium.Maj.Kedokt.AtmaJaya2003; 2(2): 137–47.
33. Kapti R E. Rustina Y. Widyastuti. Efektivitas audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan
terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap ibu dalam tatalaksana balita dengan diare di dua rumah
sakit Kota Malang. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2013;1(1).
34. Chuang, F. Y. The effectiveness of computer-based materials as a means of teaching the English article
system. University of Warwick, Coventry, 2009.
35. Paranthaman, V., Satnam, K., Lim, J.- L., Amar-Singh, H. S. S., Sararaks, S., Nafiza, M.-N., Ranjit, K.,
et al. Effective implementation of a structured psychoeducation programme among caregivers of
patients with schizophrenia in the community. Asian Journal of Psychiatry, 3(4), 206-212.
doi:16/j.ajp.2010.07.002
36. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan
teori dan aplikasi edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.

37. Mubarak dan Chayatin N. (2009). Ilmu kesehatan masyarakat, teori dan aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.
38. Nursalem dan efendi F (2008) ,pendidikan dalam keperawatan.jakarta salemba
medika
39. Notoajmodjo .
(2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

40. Kanski J Jack , Pterigium , Clinical Ophthalmology a Systematic Approach , Chapter


4 , Butterworth Heinemann Elsevier , 2007 , p : 242 – 245
41.

Anda mungkin juga menyukai