Anda di halaman 1dari 18

Journal Reading

UPDATE ON THE MECHANISM AND MENAGEMENT OF


PTERYGIUM: A BRIEF REVIEW
Fazella Kirara

Oleh:

Angelique Calista Milenia Tanan

210141010198

Masa KKM: 13 Maret 2023 – 9 April 2023

Residen Pembimbing:

dr. Vina Wuwung

Supervisor Pembimbing:

dr. Laya Rares, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2023
LEMBAR PENGESAHAN

Journal Reading dengan judul:

“Updates on the Mechanism and Management of Pterygium: A Brief


Review”
Fazella Kirara Sakti

Diterjemahkan Oleh:
Angelique Calista Milenia Tanan
210141010198
Masa KKM: 13 Maret 2023 – 9 April 2023

Telah dibacakan, dikoreksi, dan disetujui pada April 2023, untuk memenuhi
syarat tugas Kepanitraan Klinik Madya di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Residen Pembimbing

dr. Vina Wuwung

Supervior Pembimbing

dr. Laya Rares, Sp.M


ABSTRAK

Pterigium adalah penyakit permukaan okular yang ditandai dengan

pertumbuhan fibrovaskular invasif akibat proliferasi patologis dan peradangan

pada jaringan konjungtiva dan kornea. Kejadian ini dikaitkan dengan paparan

ultraviolet kronis sehingga menjadi salah satu masalah mata yang paling umum di

daerah tropis di seluruh dunia. Meskipun pterygium jarang menyebabkan

gangguan penglihatan atau kebutaan yang parah, hal ini sering menjadi masalah

yang menyusahkan karena tingkat kekambuhan yang tinggi dan hasil kosmetik

yang tidak memuaskan, meskipun telah dilakukan penanganan pengangkatan.

Dalam beberapa dekade terakhir, studi tentang mekanisme molekuler dan

manajemen dari pterigium telah maju. Tinjauan ini memberikan pembaruan

singkat tentang mekanisme dan manajemen untuk mencapai pendekatan

terapeutik pterigium yang lebih optimal dan memuaskan.

Kata kunci: diagnosis, penatalaksanaan, pterigium, tinjauan.

PENDAHULUAN

Pterygium adalah penyakit proliferatif fibrovaskular segitiga yang paling

umum yang ditandai dengan pertumbuhan berbentuk sayap dari konjungtiva

bulbous di atas permukaan okular. Ini mengacu pada istilah "pterygion" atau

"pterygos" atau "pteron", yang berarti sayap kecil dalam bahasa Yunani [1].

Insiden pergium secara global bervariasi dari 1,4% hingga 33% dan lebih tinggi di

daerah tropis di mana paparan ultraviolet lebih intens dengan risiko kekeringan

permukaan mata kronis yang lebih tinggi [2]. Dengan demikian, paparan
ultraviolet memainkan peran utama dalam etiopatogenesis terjadinya pterigium.

Faktor risiko lain juga dikaitkan dengan pertumbuhan pterigium, seperti garis

lintang geografis, tempat tinggal di daerah pedesaan, pekerjaan di luar ruangan,

usia tua, ras, jenis kelamin, iritasi kronis, dan proses peradangan pada permukaan

mata [3].

Pertumbuhan pterigium seringkali menyebabkan penampilan kosmetik

yang kurang memuaskan bagi penderitanya. Meskipun jarang, pterygium juga

dapat menyebabkan gangguan penglihatan dengan mengganggu stabilitas film air

mata, mengaburkan aksis visual, dan menginduksi astigmatisme [4]. Pembedahan

merupakan prinsip utama dalam pengobatan pterigium, yang bertujuan untuk

memperbaiki fungsi optik, koreksi kosmetik, dan mengurangi keluhan. Namun,

pilihan teknik yang tepat dan terapi adjuvant pasca operasi masih menjadi bahan

perdebatan karena tingginya tingkat kekambuhan, yang kemudian berakhir

dengan hasil klinis yang tidak memuaskan. Saat ini, berbagai modalitas

pengobatan baru untuk pterygium telah dikembangkan, yang diyakini dapat

meningkatkan manfaat klinis pada pasien. Studi ini menekankan pembaruan

singkat mengenai diagnosis dan pengelolaan pergium untuk mencapai pendekatan

terapeutik yang lebih optimal dan memuaskan dengan sukses.

MANIFESTASI KLINIS

Pterigium ditandai dengan adanya pertumbuhan segitiga jaringan

fibrovaskular, dengan ekor dan badan melekat pada lapisan konjungtiva bulbosa,

dan kepala menginvasi lapisan membran Bowman sehingga meluas ke sentral di

atas kornea. Diperkirakan 90% pterigium terletak di konjungtiva hidung karena


bagian ini menerima sinar ultraviolet matahari relatif lebih banyak dari pantulan

tulang hidung [5]. Dengan demikian, pterigium dapat diklasifikasikan menurut

lokasi pertumbuhannya (Gambar 1).

Gambar 1. Temuan klinis pterygium (A) pterygium temporal dan nasal


(B) pterygium nasal diam (C) pterygium nasal meradang, (D) pterygium
temporal[6]

Pertumbuhan jaringan pterygium umumnya mengikuti pola horizontal,

sedangkan pola pertumbuhan jaringan lainnya biasanya pseudo-pterygium yang

dapat disebabkan oleh trauma dan peradangan (Gambar 2). Tes probe Bowman

dapat dilakukan dengan memasukkan probe di bawah lesi untuk membedakan

kedua lesi. Jika probe dapat menembus lesi, itu memang pseudo-pterygium yang

ditandai dengan lesi yang tidak melekat erat pada lapisan konjungtiva. Ciri khas

lain dari pterygium adalah adanya deposisi besi di lapisan basal epitel kornea,

bermanifestasi sebagai garis vertikal kecoklatan di tepi pertumbuhan jaringan,

yang dikenal sebagai garis Stocker. Hal Ini biasanya terlihat pada keadaan

pterigium yang berkembang karena adanya laktoferin dalam film air mata [7].
Gambar 2. Pseudo-pterygium di terletak di kuadran hidung inferior
konjungtiva bulbous

MEKANISME PTERYGIUM

Meskipun pterygium telah dipelajari selama bertahun-tahun, patogenesis

pastinya masih belum pasti. Peran patogenetik langsung dari radiasi matahari

dalam perkembangan pterigium telah dilaporkan. Secara fisiologis, mata telah

mengembangkan sistem anatomi yang berfungsi sebagai pelindung terhadap

radiasi ultraviolet (UVR), termasuk kelopak mata dan struktur hidung serta pipi

yang memungkinkan cahaya jatuh tepat ke dalam media pembiasan. Namun,

paparan UVR yang kronis dan bertahap akan menyebabkan kerusakan rantai

DNA, stres oksidatif, gangguan reseptor permukaan sel, dan aktivasi jalur

pensinyalan intraseluler patologis dalam sel okular. Efek tersebut berkaitan erat

dengan perubahan profil transkripsi beberapa gen, menyebabkan perubahan

perilaku biologis sel[8-10]

Sinar ultraviolet menjangkau berbagai panjang gelombang, terdiri dari

UVA (panjang gelombang 315-400 nm), UVB (panjang gelombang 280-315 nm),

dan UVC (panjang gelombang 100-280 nm). Semakin pendek panjang

gelombang, semakin banyak energi yang dihasilkan UVR untuk memberikan efek
mutagenik. Saat UVR mencapai permukaan okular, panjang gelombang UV di

bawah 300 mm akan diserap oleh kornea. Jadi, karena lapisan ozon sebagian

besar menyerap UVC, paparan UVB menjadi kunci utama yang berkontribusi

terhadap terjadinya pterigium [11]. Mekanisme yang tepat dari pterygium yang

diinduksi UVR dimulai dengan destabilisasi genetik pada sel induk basal limbal

dan fibroblas limbal. Peran biomarker juga terkait dengan mekanisme patologis

pterygium (Gbr. 3) [10].

Gambar 3. Ringkasan biomarker molekuler yang terkait dengan mekanisme


patologis pterygium

A. Protein Matriks Ekstraseluler

Matriks ekstraseluler (ECM) adalah komponen struktural dari jaringan

yang mengelilingi sel dan berperan dalam menyediakan makromolekul dan

mineral untuk mendukung proses biokimia sel. Ekspresi anomali protein

ECM, termasuk keratin (K8, K10, K14, K16, dan AE3), elastin, kolagen, dan

fibrin, berkorelasi dengan proliferasi abnormal jaringan fibrovaskular pada

pterigium [12]. Secara khusus, Dake et al. menemukan bahwa ekspresi

kolagen tipe II hanya ditemukan pada mata pterigium, tetapi tidak pada mata

normal [13]. Namun, Girolamo et al. menemukan bahwa komponen utama


kolagen pada mata pterigium adalah kolagen tipe III [14]. Tropoelastin, yang

bertindak untuk mendorong migrasi fibroblas, ditemukan diekspresikan secara

berlebihan pada jaringan konjungtiva dengan pterigium [15].

B. Matrix Metalloproteinases dan Jaringan Inhibitor Metalloproteinases

Matrix metalloproteinases (MMPs) terdiri dari berbagai komponen enzim

yang berperan dalam degradasi ECM. Pada pterygium, ditemukan perubahan

ekspresi komponen substrat antara lain collagenase (MMP-1), gelatinase

(MMP-2, MMP-9), stromelysins (MMP-3), mengakibatkan invasi jaringan

pterygium dan disolusi lapisan Bowman, yang pada gilirannya menyebabkan

adhesi lesi pada permukaan kornea[10]. Sedangkan tissue inhibitor

metalloproteinases (TIMPs) merupakan enzim yang berperan dalam mencegah

aktivitas MMPs.

C. Interleukin

Interleukin (ILs) terdiri dari berbagai komponen protein sitokin yang

memodulasi proses inflamasi pada tingkat molekuler. Paparan ultraviolet

pada permukaan okular menyebabkan peningkatan IL-6 dan IL-8, sehingga

menginduksi peradangan yang terjadi pada pterigium [16]. Pada pterigium,

peningkatan ekspresi IL-la, IL-1b RA, dan IL-1b juga ditemukan [17].

Jabaran dkk. baru-baru ini menentukan peran IL-17 dalam mekanisme

patologis pterigium[18].

D. Faktor Pertumbuhan

Faktor pertumbuhan adalah zat molekuler yang umumnya disekresikan

untuk memodulasi proliferasi, diferensiasi, dan migrasi sel. Peningkatan

ekspresi beberapa komponen growth factor telah terbukti berperan dalam


patogenesis pterygium, antara lain vascular endothelial growth factor (VEGF),

transforming growth factor-beta (TGF-B), fibroblast growth factor (FGF),

insulin- seperti faktor pertumbuhan (IGF), faktor pertumbuhan saraf (NGF),

dan faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF), dan faktor pertumbuhan

epidermal pengikat heparin (HB-EGF) [10], [19]. Ekspresi berlebih dari TGF-

BI dan TGF-$2 ditemukan tinggi pada mata pterigium. Sebaliknya, reseptor

TGF-B-1 dan -2 (TGFR-B1 dan -B2) menurun pada mata pterigium [20].

Ekspresi VEG juga dominan ditemukan pada mata pterigium, terutama dalam

memodulasi pertumbuhan jaringan vaskuler pada proses angiogenesis (21).

E. Gen Penekan Tumor

Gen penekan tumor merupakan komponen genetik yang umumnya

berperan dalam mengatur proses apoptosis dan mencegah proliferasi sel yang

berlebihan. Disregulasi gen ini menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak

terkontrol pada pterigium, salah satunya adalah overekspresi gen p53 [22].

Meskipun jarang, komponen genetik lainnya, yaitu p63 dan p16, juga

ditemukan mengalami perubahan pada mata pterigium, yang tidak ditemukan

pada mata normal [23]. Di sisi lain, ekspresi gen p27 menurun pada mata

pterigium [24]. Tong menyatakan bahwa dengan keterlibatan p27, studi

tentang peran protein siklin E terkait proliferasi lebih lanjut diperlukan karena

penghambatannya diatur oleh gen p27 [25].

F. Protein terkait proliferasi

Proliferasi sel diatur oleh urutan proses yang terkoordinasi dan terorganisir

secara ketat sehingga terjadi siklus sel yang terkontrol. Disregulasi protein

terkait proliferasi menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkontrol yang


berkontribusi pada perkembangan pterigium. Ekspresi antigen Ki-67

ditemukan pada mata pterigium dan meningkat dengan durasi penyakit [22],

[26]. Antigen nuklir sel proliferasi (PCNA) adalah kofaktor dalam DNA

polimerase-s dan merupakan biomarker yang mempengaruhi proliferasi

abnormal pada mata pterigium [23]. Regulator lain, termasuk ekspresi cyclin

D1, juga ditemukan meningkat [24]. Namun, Süren et al. tidak menemukan

perbedaan yang signifikan antara mata pterigium dan mata normal [27].

G. Protein terkait apoptosis

Secara fisiologis, siklus sel diatur oleh mekanisme apoptosis yang

menginduksi kematian sel, sehingga mencegah perkembangan sel yang

abnormal. Terganggunya mekanisme ini juga berperan dalam terjadinya

pterigium. Gen BIRC5 mengatur ekspresi protein survivin yang bekerja

menghambat caspases, menghasilkan mekanisme antiapoptosis [28]. Pada

pterygium, hiperproliferasi terjadi akibat peningkatan ekspresi survivin, yang

juga dipengaruhi oleh penurunan gen p63 [29]. Selain itu, penghambatan

apoptosis juga melibatkan ekspresi gen Bcl-2 dan Bcl-w. Proliferasi sel yang

melibatkan Bcl-2 dipengaruhi oleh aktivasi rapamycin complex 1 (mTORCI),

yang juga ditemukan menghambat regulasi fibroblast growth factor receptor 3

(FGFR3) [30]. Sementara itu, ekspresi Bcl-w ditemukan bertepatan dengan

penurunan microRNA-122, menyebabkan regulasi apoptosis abnormal [31].

H. Protein Kejut Panas

Heat shock protein (HSPs) adalah sekelompok protein molekuler dengan

peran sitoprotektif yang melindungi sel dari kerusakan yang berpotensi

berbahaya. Ekspresi HSP meningkat dalam kondisi sengatan panas, serta


paparan UVR. Pada pterigium, peningkatan ekspresi Hsp27 secara signifikan

ditemukan pada sel otot polos pembuluh darah epitel, endotel, dan

konjungtiva. Selain itu, peningkatan ekspresi Hsp70 dan Hsp90, serta

perubahan hipoksia-inducible factor-la (HIF-la), juga ditemukan menginduksi

mekanisme pterigium [32].

I. Protein Tight Junction

Protein tight junction terdiri dari sekelompok protein yang berperan dalam

mempertahankan adhesi lapisan sel dan memastikan pertukaran zat protein,

ion, dan molekul lain antar sel. Protein tight junction sebagian besar terdiri

dari claudins, di mana kegagalan untuk mempertahankan integritas claudins

diketahui berkontribusi pada berbagai hasil patologis. Dogan dkk.

menemukan bahwa konjungtiva mata pterigium secara signifikan kehilangan

komponen claudin-1, mengakibatkan kerusakan penghalang antar sel [33].

J. Molekul Adhesi Sel

Molekul adhesi sel (CAM) juga berperan dalam adhesi fisiologis antar sel.

Pada mata pterigium, peningkatan regulasi molekul adhesi antar sel-1 (ICAM-

1) menginduksi peradangan pada pterigium [34]. Ekspresi E-cadherin dan B-

catenin juga menyebabkan adhesi sel epitel dan pembuluh darah, yang

selanjutnya memperburuk proses patologis pada pterigium 35].

TATALAKSANA

Metode pengelolaan pterygium terutama dilakukan dengan eksisi bedah.

Eksisi bedah dapat dikombinasikan dengan kepatuhan cangkok dan pemberian

terapi adjuvan, seperti agen anti-VEGF, untuk mencegah kekambuhan pasca


operasi. Manajemen konservatif terutama simtomatik dan sementara untuk tahap

awal penyakit. Ini melibatkan penggunaan air mata buatan atau salep mata

pelumas yang tidak diawetkan yang berguna untuk memberikan kenyamanan dan

menghilangkan gejala [36].

1) Eksisi Bedah

Standar pengobatan pterigium saat ini adalah eksisi bedah; namun masih

belum ada pandangan definitif mengenai intervensi bedah mana yang paling

efektif [37]. Indikasi untuk eksisi bedah adalah adanya gangguan terkait

fungsi visual, ketidaknyamanan yang signifikan, preferensi kosmetik, dan

kegagalan manajemen konservatif [36]. Ada beberapa teknik dasar yang dapat

dipertimbangkan dalam pengangkatan pterygium, antara lain teknik bare

sclera, autograft konjungtiva, autograft konjungtiva limbal, dan aplikasi

membran amnion [38].

Secara teknis, operasi pterygium bertujuan untuk mengangkat seluruh

jaringan fibrovaskular, termasuk kepala, badan, dan penutup. Pembedahan

dapat dilakukan dengan anestesi topikal atau umum, tergantung pada

preferensi pasien atau ahli bedah. Anestesi retrobulbar atau peribulbar

umumnya digunakan pada pasien karena memberikan kontrol nyeri yang

relatif lebih baik selama prosedur pembedahan [39]. Alternatif lain adalah

dengan menggunakan anestesi subconjunctival menggunakan injeksi lidokain

atau proparacaine [40]. Namun, pada pasien dengan fobia jarum, anestesi

topikal dengan gel lidokain 2% atau 5% dapat dipertimbangkan [40], [41].

Pengangkatan pterygium dimulai dengan sayatan di kepala jaringan

pterygium yang terletak di tepi limbus kornea. Anestesi lokal yang


mengandung adrenalin disuntikkan, menyebabkan pembengkakan permukaan

mata untuk memudahkan sayatan. Kepala pterygium dijepit menggunakan

forceps, kemudian dipotong menggunakan lamellar kornea blade hingga

terlepas. Eksisi dilanjutkan dengan membuang sisa jaringan pterigium dengan

melakukan diseksi tumpul di bawah badan pterigium sampai benar-benar

diangkat dari sklera. Buang sisa jaringan pterygium yang telah dibedah

dengan forsep, lalu potong hingga benar-benar lepas, sisakan jaringan Tenon

dan caruncle di bawahnya sehalus mungkin. Pastikan bahwa seluruh prosedur

telah menghasilkan lapisan kornea yang bersih. Jika ada perdarahan, kauter

dapat diterapkan seminimal mungkin agar tidak meninggalkan jaringan parut

lebih lanjut.

Eksisi sederhana konvensional dengan teknik bare sclera dilakukan dengan

membiarkan sisa area sclera yang dipotong terbuka, sehingga akan sembuh

dengan reepitelisasi alami hingga selanjutnya bertindak sebagai penghalang

pertumbuhan kembali pterigium.

Hal ini jarang dilakukan karena memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi,

dengan pertumbuhan kembali lesi yang cenderung lebih agresif [42]. Hingga

saat ini, autograft konjungtiva tetap menjadi pilihan teknik pembedahan yang

terbaik dan merupakan standar emas yang sering digunakan dalam

pembedahan pterigium. Graft konjungtiva adalah teknik pembedahan dengan

menutupi defek konjungtiva dengan menggunakan graft, yang umumnya

diambil dari bulbous conjunctiva pada kuadran supratemporal. Cangkok

konjungtiva yang telah terpasang kemudian dapat diperbaiki dengan atau

tanpa jahitan menggunakan perekat jaringan [43].


Graft yang dilakukan dengan teknik jahitan sering menimbulkan keluhan

pasca operasi seperti nyeri dan tidak nyaman [42]. Teknik tanpa jahitan dapat

menjadi alternatif unggulan untuk meminimalisir komplikasi tersebut. Teknik

tanpa jahitan kini telah dikembangkan dengan menerapkan penggunaan lem

fibrin dan darah otologus. Lem fibrin komersial telah banyak digunakan

karena dianggap lebih nyaman dan membutuhkan waktu pembedahan yang

lebih singkat. Namun, ketersediaan lem fibrin komersial masih sangat terbatas

dan harganya cukup mahal. Juga telah dilaporkan meningkatkan risiko

penularan infeksi patogen melalui darah dan tingkat anafilaksis yang tinggi di

antara pasien. Lem fibrin autologous yang berasal dari darah pasien dapat

digunakan untuk mengatasi masalah kekurangan ini. Lebih hemat biaya

karena tidak memerlukan prosedur khusus tambahan, dengan risiko alergi dan

infeksi yang lebih rendah karena spesimen darah berasal dari pasien. Namun,

prosedur ini membutuhkan waktu persiapan yang lebih lama karena

memerlukan teknik dan peralatan laboratorium khusus, sehingga sulit

dilakukan di daerah terpencil atau pasien dengan status sosial ekonomi rendah

[42].

Pencangkokan membrane amnion adalah teknik lain yang menggunakan

membrane amnion untuk menutupi sklera yang terbuka setelah eksisi

pterigium. Dapat diimplementasikan langsung saat masih segar atau setelah

cryopreserved. Karena tidak adanya antigen leukosit manusia, penggunaan

selaput ketuban memberikan risiko penolakan jaringan yang minimal.

Cangkok membrane amnion dianggap mempercepat penyembuhan dan

mengurangi tingkat kekambuhan karena efek anti-inflamasinya, mendorong


pertumbuhan epitel, serta menginduksi supresi TGF-B dan proliferasi

fibroblas. Selaput ketuban ditempatkan di atas permukaan sklera, dengan

dasar menghadap ke atas dan stroma avaskular menghadap ke bawah sklera.

Penggunaan lem fibrin juga berperan dalam membantu selaput ketuban untuk

melekat pada jaringan episklera [42].

Teknik eksisi jaringan lainnya dilakukan dengan menggunakan laser argon

dan pisau laser excimer [43], [44]. Dengan menggunakan modalitas ini, hasil

bedah utama untuk memastikan lapisan kornea pasca-eksisi yang halus dan

bersih dapat dengan mudah dicapai.

Namun, komplikasi dengan laser dapat terjadi karena sulitnya menentukan

area pemisahan yang tepat pada saat prosedur diseksi tumpul. Penggunaan

etanol pra-bedah dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini [45].

Etanol mampu melarutkan persimpangan antara sel epitel kornea,

membuat pemisahan jaringan pergium lebih mudah. Teknik ini dapat

digunakan, terutama pada pasien dengan pterigium berulang, di mana lapisan

kornea menjadi tipis atau pada pterigium tipe dupleks [46].

2) Adjuvant Terapi

Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan komplikasi pasca operasi

terus menjadi masalah; dengan demikian, manajemen medis tambahan telah

dimasukkan ke dalam perawatan bedah pterygium. Terapi tambahan dalam

manajemen pterygium meliputi pemberian mitomycin C, anti-VEGF, 5-

fluorouracil (5-FU), dan loteprednol etabonate [47].

Mitomycin C (MMC) adalah zat antibiotik/antineoplastik yang diisolasi

dari Streptomyces caespitosus yang telah disarankan sebagai terapi tambahan


pada operasi pterigium sejak tahun 1963 [48]. Penggunaan kombinasi

autograft konjungtiva dengan MMC, terlepas dari dosis atau metode aplikasi,

menunjukkan kekambuhan pterigium yang jauh lebih rendah [49], [50].

Penggunaan rejimen ini juga dapat diberikan pasca operasi, dengan

menggunakan obat tetes mata topikal. Biswas dkk. melaporkan bahwa

tingkat kekambuhan berkisar dari 4% sampai 6% menggunakan 0,02% dan

0,04% MMC, masing-masing [51].

Namun demikian, penggunaan MMC membawa risiko komplikasi yang

menyebabkan keratopati kronis dan keratokonjungtivitis toksik. Oleh karena

itu, penggunaan intraoperatif dianjurkan agar dosis obat ini dapat lebih mudah

dikontrol [47]. Anti-VEGF dalam terapi tambahan pterigium dilakukan

dengan menggunakan preparat bevacizumab. Bevacizumab adalah

imunoglobulin G1 monoklonal murine manusia rekombinan yang bekerja

dengan menghambat isoform VEGF-A, sehingga mencegah angiogenesis.

Rejimen ini diberikan melalui injeksi subkonjungtiva dan diharapkan

dapat mengurangi kekambuhan pterigium dengan mengurangi

neovaskularisasi [52]. Shenasi et al. direkomendasikan menggunakan injeksi

bevacizumab subconjunctival segera setelah operasi pterigium [53]. Studi lain

melaporkan bahwa suntikan berulang pada tahun pertama setelah operasi

dapat mencegah tingkat kekambuhan; namun, efek samping dan biaya tinggi

untuk bevacizumab harus dipertimbangkan [54]. 5-Fluorouracil adalah analog

pirimidin yang bertindak sebagai antimetabolit yang menghambat sintesis

DNA dalam menginduksi proliferasi sel epitel kornea dan fibroblas

konjungtiva [55]. Dosis 25 mg/mL 5-FU dapat mengurangi 60% angka


kekambuhan setelah operasi bare sclera. Meskipun ada kekurangan bukti

dalam literatur untuk mendorong penggunaan 5-FU secara rutin untuk

pembedahan, terapi tambahan ini tampaknya mempertahankan peran dalam

mengobati pterigium berulang. Namun, 5-FU memiliki toksisitas yang masih

mungkin terjadi bahkan pada dosis yang lebih rendah. Penggunaan 5-FU

tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat penyakit kornea [56].

Peradangan pasca operasi dapat menyebabkan kekambuhan pterygium.

Akibatnya, rejimen steroid topikal yang berbeda telah disarankan untuk

mengontrol proses peradangan setelah operasi. Dianjurkan untuk

menggunakan prednisolon asetat topikal setiap dua jam selama 21 hari dan

kemudian diikuti empat kali sehari selama enam minggu berikutnya [58].

Penggunaan rejimen kortikosteroid seperti loteprednol etabonate juga

dianjurkan dalam pengelolaan ptergium. Keunikan rejimen ini terletak pada

strukturnya yang dapat menembus membran sel secara menyeluruh dan

dengan cepat diubah menjadi metabolit inaktif, sehingga mengurangi risiko

efek samping penggunaan steroid pada mata, seperti peningkatan tekanan

intraokular dan pembentukan katarak. Dengan demikian, rejimen ini dapat

menjadi potensi terapi pterigium di masa depan [47]. Studi lain menunjukkan

penurunan tingkat kekambuhan sebesar 50% dengan menggunakan tetes mata

pelumas setelah berangsur-angsur steroid untuk periode pasca operasi tiga

bulan [59].
PENUTUP

Pterygium adalah manifestasi unik dari kelainan permukaan okular yang

ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang menyerupai lesi

berbentuk sayap. Mekanisme pterygium sangat kompleks dan melibatkan

berbagai fungsi molekul bersama dengan komponen biomarker yang dipengaruhi

terutama oleh paparan sinar ultraviolet dalam jangka panjang.

Penatalaksanaan pterigium terus berkembang untuk memastikan

keberhasilan operasi dan meminimalkan komplikasi dan kekambuhan pasca

operasi. Klinisi perlu menyadari dan memahami mekanisme perkembangan

pterigium untuk dapat memberikan pilihan penatalaksanaan yang optimal bagi

pasien.

Anda mungkin juga menyukai