Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

PTERYGIUM

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh:
Arya Yunan Permaidi
GIA009113

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

PTERYGIUM

Disusun oleh:
Arya Yunan Permaidi
G4A016125

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter pada


SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, Juni 2017

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp. M


NIP. 19820730 201412 2 001

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Yulia Fitriani, Sp.M selaku
pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi pembaca.

Purwokerto, Juni 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ...................................................................................................... 2
B. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva .......................................................... 2
C. Epidemiologi ............................................................................................. 4
D. Etiopatogenesis ......................................................................................... 4
E. Stadium Pterygium .................................................................................... 8
F. Tipe Pterygium .......................................................................................... 9
G. Penegakkan Diagnosis .............................................................................. 9
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 11
I. Diagnosis Banding .................................................................................... 13
J. Prognosis ................................................................................................... 15
III. KESIMPULAN ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

iii
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pterygium merupakan kata dalam bahasa yunani yang berarti kupu-kupu.

Pterygium adalah struktur mirip sayap berupa lipatan membran abnormal

berbentuk segitiga pada fisura interpalpebralis yang membentang dari

konjungtiva ke kornea. Masa pterygium terdiri dari jaringan fibrovaskular

(Jogi, 2009; Dorland, 2008) .

B. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang menutupi sklera dan

kelopak bagian belakang. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, antara lain,

konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks. Konjungtiva

tarsa menutupi tarsus dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi

menutupi sklera dan mudah digerakka dari sklera di bawahnya. Konjungtiva

forniks merupakan tempat perlihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar

dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak (Harvey et

al, 2013; Ilyas et Yulianti, 2011). Konjungtiva mempunyai fungsi antara lain,

melindung jaringan lunak orbita dan palpebra,, menyediakan film air mata

(glandula Krause dan Wolfring) dan lapisan mukosa (sel goblet), menyediakan

jaringan imun (MALT), dan memfasilitasi gerakan bola mata.

2
3

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva potongan koronal (Dartt, tanpa

tahun dalam: Lemp, 1992)

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva Potongan Sagital (Jogi, 2009)

3
4

C. Epidemiologi

Kejadian pterygium di Amerika Serikat bervariasi dengan adanya lokasi

geografis. Insidensi pterygium berkurang daerah geografi tinggi dan relative

meningkat di daerah geografis rendah. Diduga peningkatan kejadian

pterygium di daerah geografis rendah disebabkan peningkatan pajanan terhada

sinar ultraviolet pada ketinggian rendah (Fisher, 2015).

Pterygium terjadi dua kali lebih banyak pada laki-laki dibanding

perempuan. Pterygium tidak umum terjadi sebelum umur 20 tahun. Umur

lebih dari 40 tahun mempunyai prevalensi tertinggi terjadinya pterygium.

Insidensi pterygium tertinggi terjadi pada umur 20 40 tahun (Fisher, 2015).

D. Etiopatogenesis

Pterygium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar

ultraviolet, pengeringan, dan lingkungan dengan angin. Hal tersebut

didasarkan pada penyakit ini sering terdapat pada orang yang sebagian besar

hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu,

atau berpasir Temuan patololgik yang diadapatkan pada konjugtiva yaitu

lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hilain dan elastin (Garcia-

Ferrer et al, 2007)..

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pathogenesis pterygium

adalah sebagai berikut (Coroneo et Chui, 2013; Lee et Slomovic, 2004),

1. Sinar Ultraviolet

Sinar ultraviolet yang diserap oleh kornea dan konjungtiva mencetuskan

kerusakan, kemudian proliferasi sel. Banyaknya sinar ultraviolet yang diserap

bergantung pada ketinggian, medan reflektif, dan waktu yang dihabiskan

4
5

diluar ruangan. Efek sinar ultraviolet terhadap kejadian pterygium mempunyai

predileksi pada medial limbus. Kerusakan fokal kronik oleh sinar ultraviolet

diduga mengaktivasi sel stem limbal.

2. Herediter

Pola gen autosomal dominan diduga berperan pada faktor genetik pada

patogenesis pterygium.

3. Stress oksidatif dan Pensinyalan Reseptor Growth Factor

Induksi oksidatif stress oleh sinar UV berhubungan dengan

pathogenesis pterygium. Hal ini dibuktikan dengan adanya Reaktif Oksigen

Spesies seperti 8-hydroxydeoxyguanosine (produk foto oksidasi DNA)

malondialdehyde (produk peroksidasi lipid), inducible nitrit oksida sintase dan

nitrit oksida (NO) pada jaringan pterygium. ROS dapat mangaktivasi

Epidermal Growth Factor Receptors (EGFRs) dan pensinyalan downstream

melalui jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) seperti c-jun amino-

terminal kinase (JNK) dan p38. Pada kultur sel pterygium, sinar ultraviolet

mengaktivasi JNK dan p38 yang kemudian menginduksi ekspresi sitokin-

sitokin proinflamatori.

4. Sitokin-sitokin proinflamasi dan mekanisme imunologi

Inflamasi di jungture pembuluh darah konjungtiva dan membran

bowman mendagradasi protein yang berperan sebagai faktor angiogenik.

Interleukin (IL-1, IL-6, IL-8) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-)

diketahui dapat diinduksi oleh sinar UV. Selanjutnya, molekul-molekul

tersebut akan memediase influks sel-sel imun dan induksi expresi MMP pada

pterygium.

5
6

Enzime lain yang dapat diinduksi oleh sinar UV yaitu cycloxigenase-2

(COX-2) yang mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.

Ekspresi enzime tersebut berhubungan dengan faktor anti apoptosis. Stem Cell

Factor (SCF) juga meningkat di plasma dan jaringan ocular pada pasien

pterygium. SCF menarik dan menginduksi maturasi sel mast, dan

kehadirannya dapat meningkatkan fibrosis dan neovaskularisasi pada

pterygium.

5. Faktor Pertumbuhan Fibroangiogenik

Faktor-faktor pertumbuhan menginduksi proliferasi dan migarsi sel-sel

epitel, sel fibroblas yang berperan terhadap hyperplasia, fibrosis, dan

angiogenesis pada pterygium. TGF- salah satu faktor pertumbuhan yang

terekspresi pada pterygium dapat menginduksi diferensiasi miyofibroblas,

transisi mesenkim epitel, dan perubahan sintesis komponen matriks

ekstraseluler. Perubahan sinyaling TGF- diduga berkontribusi terhadap

terjadinya fibrosis pada pterygium. Aktivitas TGF- dapat disupresi oleh

membrane amniotik, yang dapat menjelaskan efisasi dari terapinya tersebut.

Elevasi faktor-faktor proangiogenic (IL-8, TNF-, VEGF, dan sebagainya)

bersamman dengan berkurangnya inhibitor angiogenic (PEDF dan

thrombospondin-1) meningkatkan neovaskularisasi pada pterygium. VEGF

sebagai faktor proangiogenik yang utama, meningkat di air mata, plasma, dan

jaringa ocular pasien pterygium. Ekspresi VEGF dapat meningkat dengan

adanya stimulus oleh sinar UV, hipoksia, sitokin-sitokin, dan faktor-faktor

pertumbuhan.

6
7

6. Matriks metalloproteinase dan remodeling matriks ekstraseluler.

Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan endopeptidase tergantung

zink yang mendagradasi komponen dari matriks ekstraseluler dan molekul

permukaan sel. Enzim ini di-counterbalance oleh inhibitor endogen yang

dinamakan tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP). MMP berperan

dalam proliferasi, migrasi sel, inflamasi dan angiogenesis. Ekspresi berlebihan

MMP relative terhadap TIMP diduga berperan pada fenotip invasive

pterygium, Ekspresi MMP dapat diinduksi oleh sinar ultraviolet, sitokin (IL-1

dan TNF-), dan faktor pertumbuhan (EGF).

7. Infeksi Virus

Peran virus onkogenik dalam patogenesis pterygium terdiri dari dua

tahap. Tahap pertama yaitu, predisposisi genetik pterygium, atau kerusakan

DNA berasal dari pajanan sinar UV. Tahap kedua yaitu, infeksi oleh Humam

Papillomavirus (HPV) atau Herpes Simplex Virus (HSV).

8. Genetik

Akumulasi kerusakan genome diduga terlibat dalam patogenesis

pterygium. Salah satu mutasi genome, p53 diduga mengalami mutasi pada

pterygium. Secara normal protein P53 berfungsi sebagai tumor supresor.

7
8

Bagan 1. Patogenesis Pterygium (Girolamo et al, 2002)

E. Stadium Pterygium

Tingkat keparahan pterygium diklasisifikasikan berdasarkan lokasi

head dari pterygium melewati kornea antara lain (Zhong et al, 2012),

1. Stadium I

Head dari pterygium terdapat pada limbus

2. Stadium II

Sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil

3. Stadium III

Sudah mencapai pupil

4. Stadium IV

Sudah melewati pupil

8
9

F. Tipe Pterygium

Berdasarkan progres penyakit, pterygium dibagi menjadi (Khurana,

2007),

1. Pterygium Progresif

Pterygium progresif memiliki penampakan tebal, berdaging, dan

bervaskularisasi dengan beberapa infiltrate di kornea, di depan head dari

pterygium, yang dinamkan cap of pterygium

2. Pterygium Regresif

Pterygium regresif memiliki penampakan tipis, atrofik, dengan sedikit

vaskularisasi. Pterygium regresif tidak memiliki cap. Pterygium regresif

pada akhirnya akan menjadi bermembran dan tidak akan menghilang.

G. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis

Pada stadium awal, pterygium tidak memberikan keluhan kecuali

berupa cosmetic intolerance. Gangguan penglihatan terjadi ketika

pterygium melewati are pupil atau oleh karena astigmantisme yang

disebabkan oleh fibrosis pada stadium regresif. Kadang-kadang terjadi

diplopia yang disebabkan oleh hambatan pergerakan bola mata (Khurana,

2007).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi akan didapatkan lipatan konjungtiva berbentuk

segitiga menutupi korea dalam area pembukaan palpebra. Pterygium dapat

terjadi unilateral ataupun bilateral. Pteriguim biasanya terdapat pada sisi

9
10

nasal, walaupun dapat juga terjadi pada sisi temporal. Pterygium yang

berkembang sempurna, terdiri dari tiga bagian yaitu, head, neck, dan body.

Head merupakan bagian apikal yang terdapat pada kornea, neck merupkan

bagian limbal dan body merupakan bagian sklera yang memanjang

diantara limbus dan kantus (Khurana, 2007). Pterygium dapat disertai

dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering), serta

garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterygium (Ilyas et

Yulianti, 2011).

Gambar 3. Slitlamp dari Pterygium (AAO, 2015 dalam: Reidy, 2010)

Gambar 4. Iron Line dari Stocker (Panah) (AAO, 2015)

10
11

Gambar 5. Sklera Dellen (AAO, 2015)

H. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa (Fisher, 2015)

a. Artificial tears (tetes lubrikan topical)

Obat ini berfungsi untuk melubrikasi permukaan ocular dan

menggantikan defek film air mata. Artificial tears menyediakan

lubrikasi topikal permukaan ocular pada pasien dengan permukaan

kornea dan film air mata yang ireguler. Konsdisi ini sangat umum

terjadi pada pterygium

b. Salep lubrikan topikal

Obat ini merupkan lubrikan permukaan okular yang mempunyai

viskositas yang tinggi. Preparat cenderung mengaburkan pandangan

pasien untuk sementara,. Oleh karena itu, preparat umumnya

digunakan di malam hari.

c. Tetes anti inflamasi

Obat ini bertujuan mengurangi inflamasi pada permukaan okuli dan

jaringan di sekitarnya. Kortikosteroid dapat membantu dapat

11
12

mengurangi edem jaringan di sekitar lesi. Termasuk dalam prepart ini

yaitu prednisolone ophthalmic. Penggunaanya harus dibatasi pada

mata yang tidak dapat berkurang inflamasi secara signikan dengan

lubrikan topikal.

2. Nonmedikamentosa

Bedah eksisi merupakan terapi yang paling memuaskan dengan

indikasi sebagai berikut (Khurana, 2007),

a. Alasan kosmetik

b. Ancaman penyakit berkembang progresif melewati area pupilaris

c. Diplopia akibat gangguan pergerakan okuli.

Tindakan bedah tidak perlu dilakukan pada pterygium tipe

regresif. Pada pterygium progresif tindakan bedah dilakukan dengan

simple exicision (ombrains method). Pada pterygium yang menginvasi are

pupilaris dilakukan simple exicision dengan lamellar keratoplasty. Pada

keadaan ini, pterygium dibiarkan untuk tumbuh melewati area pupilaris

untuk mencegah parut kornea. Pterygium rekuren diterapi dengan mucous

membrane autograft, transposition method (McReynolds), lamellar

corneal graft, dan lain-lain (Jogi, 2009).

3. Edukasi

Pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami perkembangan pterygium

seperti riwayat keluarga pterygium atau pajanan lama terhadap sinar

ultraviolet perlu untuk memakai kacamata anti sinar ultraviolet atau

instrumen sejenis untuk mengurani pajanan terhadapa sinar ultraviolet

(Fisher, 2015).

12
13

I. Diagnosis Banding

1. Pseudopterygium

Pseudopterygium muncul dari adesi kunjungtival ke defek kornea sebagai

hasil dari trauma, riwayat operasi, atau inflamasi. Pseudopterygium

mempunyai tepi yang luas, datar pada tempat perlekatan. Lesi yang

menonjol tidak melekat pada kornea (Coroneo et Chui, 2013).

Gambar 6. Pseudopterygium (AAO, 2015)

Tabel 1. Perbedaan Pterygium dan Pseudopterygium (Khurana, 2007)

Pterygium Pseudopterygium

1 Etiologi Degeneratif (jaringan Inflamasi

subkonjungtiva) (ulkus korna perifer)

2 Umur Pasien usia lanjut Semua umur

3 Letak Selalu di sisi aperture Semua lokasi

4 Stadium Dapat progresif, regresif, atau Selalu setasioner

stasioner

5 Uji probe Probe tidak dapat melewati Probe dapat melewati

lapisan lapisan

13
14

2. Pinguekula

Pinguekula tampak sebagai plak putih kuning yang meninggi pada

konjungtiva yang berdekatan dengan limbus nasal atau temporal.

Perbedaan pinugkula dengan pterygium yaitu pinguekula kurang

menginvasi kornea yang mungkin disebabkan oleh batas limbus intak.

Kebanyakan pinguekula tumbuh lambat dengan perjalanan penyakit yang

jinak. Beberapa pinguekula dapat berkembang menjadi pterygium

(Coroneo et Chui, 2013).

Gambar 7. Pingueculae (AAO, 2015)

J. Komplikasi

1. Astigmatisma

2. Gangguan penglihatan

3. Diplopia

4. Degenerasi kista dan infeksi jarang terjadi

5. Perubahan neoplasia ke epitelioma, fibrosarkoma, melanoma maligna

dapat terjadi (Jogi, 2009).

14
15

K. Prognosis

Hampir seluruh kasus pterygium tidak menimbulkan masalahan dan

tidak membutuhkan tindakan bedah (Lusby, 2016). Prognosis ad visam dan ad

kosmetika pasca eksisi pterium adalah bonam. Prosedurnya dapat ditoleransi

oleh pasien. Walapun dapat terjadi ketidaknyamanan beberapa hari pasca

operasi, kebanyakan pasien dapat kembali beraktivitas penuh dalam beberapa

jam setelah operasi. Pasien yang mengalami pterygium rekurent dapat diterapi

dengan eksisi ulang dan grafting dengan konjungtival/limbal autograph atau

transplantasi mambran amnion pada pasien tertentu (Fisher, 2015).

15
III. KESIMPULAN

1. Pterygium adalah perluasan pinguekula ke kornea, berbentuk segitiga,

bilateral, disisi nasal atau temporal, di daerah fisura palpebralis yang terdiri

dari jaringan hialin dan elastin

2. Pterygium disebabkan oleh fenomena iritatif akibat sinar matahari, debu, dan

pasir

3. Indikasi bedah eksisi pada pterygium antara lain, alasan kosmetik, pterygium

melewati area pupilarias, astigmatisma dan diplopia.

16
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology (AAO). 2015. Pterygium (online).


https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-latin-america. Diakses Juni
2017

Coroneo, Minas T.; et Jeanie J. Y. Chui. 2013. Pterigium. Dalam: Edward J.


Holland; Mark J. Mannis; et W. Barry Lee (Eds.) Ocular Surface Disease.
New York: Elsevier. Hal.: 125 144

Dartt, Darlene A. Tanpa tahun. The Conjunctiva-structure and function (online).


http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v8/v8c002.
html. Diakses Juni 2017

Dorland, W. A. Newman. 2008. Kamus Saku Kedokteran Droland Edisi 28.


Jakarta: EGC

Fisher, Jerome P. 2015. Pterygium (online).


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#a6. Diakses
Juni 2017

Garcia-Ferrer, Francisco J.; Ivan R. Schwab; et Debra J. Shetlar. Konjungtiva.


2007. Dalam: Paul Riordan-Eva et John P. Whitcher (Eds.) Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC. Hal.: 119

Girolamo, Nick Di; Rakesh K. Kumar; Minas T. Coroneo; et Denis Wakefield.


UVB-Mediated induction of interleukin 6 and 8 in pterygia and cultured
human pterygium epithelial cell. Investigative Ophtalmology & Visual
Science 43(11): 3430 3437

Harvey, Thomas M.; Aana G. Alzaga Fernandez; Ravi Pael; David Goldman; et
Jessica Ciralsky. 2013. Conjunctival anatomy and physiology. Dalam:
Edward J. Holland; Mark J. Mannis; et W. Barry Lee (Eds.) Ocular
Surface Disease. New York: Elsevier. Hal.: 42 43

Ilyas, Sidarta; et Sri Rahayu Yulianti. Anatomi dan Fisologi Mata. Dalam: Ilmu
Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal.:2 3

Jogi, Renu. 2009. Basic Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers

17
18

Khurana, A. K. 2007. Diseases of Conjunctiva. Dalam: Comprehensive


Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age International

Zhong, Hua; Xueping Cha; Tao Wei; Xianchai Lin; Xun Li; et Jun li. 2012.
Prevalance of and Risk Factors for Pterygium in Rural adult Chinese
populations of the bai nationality in dali: the Yunnan minority eye study.
Clinical and Epidemiologic Research 53(10): 6617 6621

Anda mungkin juga menyukai