Anda di halaman 1dari 24

REFERENSI ARTIKEL

PALATOSCHIZIS

Disusun Oleh:
DWIANA KARTIKAWATI G991902016
FATIMAH G991906015
HAN YANG G991903022
MUHAMMAD RIJALULLAH G992003103

Periode : 30 Maret – 3 April 2020

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP-RE (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
PALATOSCHIZIS

A. Definisi
Cleft palate atau palatoschizis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana
atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke
daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.
Cleft lips and palate (CLP) adalah suatu kecacatan kongenital pada kraniofasial
yang paling sering ditemui. Permasalahan pada penderita celah bibir dan langit-langit
sudah muncul sejak penderita lahir. Beberapa masalah yaitu gangguan pada fungsi bicara,
penelanan, pendengaran, keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis dari orang tua pasien serta adanya
gangguan fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada faring yang berhubungan
dengan fosa nasal, pendengaran, dan bicara. Derita psikis dapat pula dialami oleh
penderita setelah menyadari dirinya berbeda dengan yang lain. Secara fisik adanya celah
akan membuat kesukaran minum karena adanya daya hisap yang kurang dan banyak yang
tumpah atau bocor ke hidung, Se1ain itu terjadi permasalahan dalam segi
estetik/kosmetik, perkembangan gigi yang tidak sempuma serta gangguan pertumbuhan
rahang dan gangguan bicara berupa suara sengau. Penyulit yang juga mungkin terjadi
pada penderita celah bibir adalah infeksi pada telinga tengah hingga gangguan
pendengaran.

B. Embriologi
Ellis (2003) menjelaskan tentang proses normal pembentukan palatum yaitu selama
minggu kelima kehamilan akan terjadi dua pertumbuhan ridge yang berlangsung dengan
cepat yaitu yaitu tonjolan lateral dan medial hidung. Tunjolan lateral akan tumbuh
menjadi alae dan tonjolam medial akan membentuk empat daerah yaitu bagian medial
hidung, bagian medial bibir atas, bagian medial maksila, dan langit - langit primer yang
lengkap. Tonjolan maksila secara simultan akan mendekat kearah medial dan lateral
hidung tetapi tetap terpisah oleh adanya groove. Dua minggu sesudahnya atau minggu
ketujuh, terjadi perubahan pada wajah. Tonjolan maksila terus tumbuh kearah medial
dan mencapai tonjolan nasal medial hingga mideline. Kemudian secara simultan tonjolan
ini saling bertemu, kemudian tonjolan maksila terus berkembang kearah lateral.
Dengan demikian maka bibir atas terbentuk oleh dua tonjolan hidung medial dan
dua tonjolan maksila. Pertemuan dua tonjolan medial tidak hanya terjadi di wajah tetapi
juga terjadi pada bagian dalam. Struktur yang terbentuk oleh pertemuan dua tonjolan
dikenal sebagai segmen intermaksilari yang terdiri dari tiga komponen yaitu komponen
labial membentuk filtrum bibir atas, komponen rahang atas merupakan tempat keempat
gigi insisivus, dan komponen palatal yang terbentuk dari prominensia frontalis.
Dua bagian yang tumbuh keluar dari tonjolan maksila akan membentuk palatum
sekunder. Palatina tumbuh pada minggu keenam dengan arah oblik kebawah mendekati
lidah. Pada minggu ketujuh, palatina naik hingga mencapai posisi horizontal diatas lidah
dan bergabung dengan yang lain membentuk palatun sekunder. Bagian anterior yang
bergabung dengan segitiga palatum primer dan foramen insisivus membentuk junction.
Pada saat yang bersamaan septum hidung tumbuh kebawah dan bergabung dengan
permukaan superior palatum yang baru terbentuk. Bagian palatina bergabung dengan
palatum primer pada munggu ketujuh hingga minggu kesepuluh.
C. Etiologi
CLP merupakan cacat pada wajah yang paling sering, ditemukan  satu tiap 700
kelahiran hidup di seluruh dunia. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir
sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga
dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah
Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang. 

Pada  25 % pasien, terdapat riwayat celah pada wajah (facial clefting) di


keluarga,  tidak diikuti resesif atau pun dominan paternal. Timbulnya celah tidak ada
hubungannya dengan pola warisan Mendelian, dan hal tersebut menunjukkan bahwa
celah yang timbul diwariskan secara heterogen. Pandangan ini didukung dengan fakta
dari beberapa penelitian pada anak kembar yang menunjukkan pengaruh relatif genetik
dan non-genetik terhadap timbulnya celah. Pada isolated cleft palate dan
CL/P, proband  tidak memiliki pengaruh pada keluarga tingkat pertama dan kedua, secara
empiris resiko pada saudara yang lahir dengan cacat/kelainan yang sama 3-5%. Akan
tetapi jika terdapat proband dengan CL/P kombinasi yang mempengaruhi keluarga
tingkat pertama dan kedua, resiko bagi saudara atau keturunan berikutnya 10-20%.
D. Faktor Resiko
Penyebab terjadinya palatoschizis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa palatoschizis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor
genetik dan faktor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para
peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga palatoschizis
akan mengalami palatoschizis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika,
kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau
menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan palatoschizis.
Faktor risiko terjadinya cleft lip and palate ini, dapat berasal dari bayi sendiri
maupun dari ibunya. Faktor risiko tersebut antara lain:
 Bayi yang memiliki cacat lahir lainnya
 Memiliki saudara kandung, orang tua, atau saudara dekat lain yang lahir dengan
sumbing wajah.
 Ibu mengkonsumsi alkohol selama kehamilan
 Memiliki penyakit atau infeksi saat hamil
 Kekurangan asam folat pada pembuahan atau selama kehamilan awal

E. Patofisologi
Gejala patologis pada celah bibir mencakup kesulitan pemberian makanan dan
nutrisi, infeksi telinga yang rekuren, hilangnya pendengaran, perkembangan pengucapan
yang abnormal dan kelainan pada perkembangan wajah. Adanya hubungan antara saluran
mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tak terbentuk
mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis
dan maksilaris) pecah kembali, Semua yang mengganggu pembelahan sel dapat
rnenyebabkan ini: defisiensi, bahan-bahan obat sitostatik, radiasi.
Problem yang ditimbulkan akibat cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik
Ketiganya saling berhubungan, Problem psikis yang mengenai orang tua dapat diatasi
dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai langit-langit, bayi tak
dapat mengisap. Karena sfingter muara tuba Eustachii kurang normal lebih mudah terjadi
infeksi ruang telinga tengah. Sering ditemukan hipolplasia pertumbuhan maksilla
sehingga gigi geligi depan atas/rahang atas kurang maju pertumbuhannya.
Insersi yang abnormal dari tensor veli palatini menyebabkan tidak sempurnanya
pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga rekuren menyebabkan hilangnya
pendengaran yang dapat rnernperburuk pengucapan yang abnormal. Mekanisme
veloparingeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai
modulator aliran udara dalarn produksi fonem lainnya yang membutuhkan nasal
coupling, Maniputasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme veloparingeal, jika
tidak sukses dilakukan pada awal perkernbangan pengucapan, dapat menyebabkan
berkurangnya pengucapan normal yang dapat dicapai.
F. Diagnosa
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah
digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini bersifat
invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun demikian, teknik ini
mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa cacat/kelainan pada kehamilan
yang  kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik lain seperti ultrasonografi
intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi kelainan enzim pada cairan amnion
dan transvaginal ultrasonografi keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP
secara antenatal. Tetapi, pemeriksaan-pemeriksaan tersebut  dibatasi pada biaya,
invasifitas dan persetujuan pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang
paling sering digunakan pada deteksi antenatal CLP, yang memberikan keamanan dalam
prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining anatomi antenatal. 
Deteksi dini memperkenankan  kepada keluarga untuk menyiapkan diri terlebih
dahulu terhadap suatu kenyataan bahwa bayi mereka akan memiliki suatu kelainan/cacat.
Mereka dapat menemui anggota dari kelompok yang memiliki CLP, belajar mengenai
pemberian makanan khusus dan memahami apa yang harus diharapkan ketika bayi lahir.
Sebagai pembanding, ibu yang menerima konseling pada 2 pekan awal kehidupan
mungkin akan lebih merasa bingung dan kewalahan.  Deteksi dini juga memperkenankan
kepada ahli bedah untuk  bertemu dengan keluarga sebelum kelahiran dan mendiskusikan
pilihan perbaikan.  Dengan waktu konseling dan rencana yang tepat, memungkinkan
untuk melaksanakan perbaikan dari unilateral cleft lip pada minggu pertama kehidupan. 

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan palatoschizis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labiognatopalatochizis. Adanya labiognatopalatochizis memberikan kesulitan pada
bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Bayi yang hanya
menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat
menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya membutuhkan
penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan
tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschizis dan bayi
dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labiognatopalatochizis mungkin mempunyai
masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi
dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk. Infeksi telinga Anak
dengan labiognatopalatochizis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
3. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of speech). Meskipun
telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/
kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu.

H. Klasifikasi
Malformasi kraniofasial, dimana salah satunya adalah facial cleft telah mengalami
beberapa tahap klasifikasi. Dimulai dari tahun 1887 oleh Morian, muncullah klasifikasi
Morian yang mengklasifikasikan facial cleft menjadi dua tipe yaitu tipe I yang
merupakan oculonasal cleft dan tipe II, dari foramen infraorbita hingga aspek luar wajah.
Setelah itu, klasifikasi tersebut mengalami beberapa penyesuaian dan pembaharuan
seperti klasifikasi AACPR(American Association of Cleft Palate Rehabilitation) pada
tahun 1962, klasifikasi Boo-Chai, klasifikasi Karfik, klasifikasi Tessier, dan klasifikasi
van de Meulen. Dua klasifikasi yang diterima secara luas adalah sistem
klasifikasiTessier dan van de Meulen.
Klasifikasi Tessier didasarkan pada posisi anatomi celah. Pada sistem klasifikasi
ini, cleft berdasarkan posisinya diberi nomor 0-14 dengan nomor 30 menunjukkan
simfisis media dari mandibula. Penomoran ini memudahkan nomenklatur cleft. Sistem ini
murni bersifat deskriptif dan tidak berkaitan dengan faktor-faktor embriologi maupun
patologi.Berbeda dengan klasifikasi Tessier, klasifikasi Van de Meulen didasarkan pada
hubungan cleft dengan asal embriogenesisnya. Klasifikasi Tessier merupakan cara paling
mudah untuk mendeskripsikan cleft dan nomenklaturnya, sehingga menjadi klasifikasi
yang paling sering digunakan hingga sekarang.

Gambar 2. Klasifikasi tessier pada tulang tengkorak dan wajah

Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit Klasifikasi yang diusulkan oleh
Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
- Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar A).
- Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
insisivum (gambar B).
- Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada satu sisi (gambar C).
- Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada dua sisi (gambar D).
Gambar 3. Klasifikasi Veau
Berikut ini merupakan klasifikasicleft lip and palatemenurut Freitas :
 Cleft Lip
Kelompok ini melibatkan celah yang mempengaruhi bibir dengan atau tanpa
mempengaruhi alveolar dan mungkin unilateral, bilateral atau median.Berdasar luasnya,
cacat yang berkisar dari lekukan ringan padavermillion lip, disebut cicatricial cleft,
apabila melibatkan bibir dan alveolar ridge, mencapai foramen incicivus, disebut
complete cleft. Sedangkan disebut inclomplete cleft apabila cacat hanya melibatkan
bibirtanpa melibatkan alveolar.
 Complete Cleft Lip and Palate
Menurut klasifikasi, jenis celah ini benar-benar melibatkan bibir, alveolar dan langit-
langit.Celah melintasi foramen incisivus, mungkin unilateral, bilateral atau median.
 Cleft Palate
Kelompok ini hanya mencakup sumbing pada palatum.Jenis sumbing dapat
melibatkan luasan yang berbeda, total atau sebagian, selain itu juga digambarkan
sebagai lengkap atau tidak lengkap sesuai dengan luasnya langit-langit yang terlibat.
 Rare facial cleft
Kelompok ini terdiri dari sumbing langka, yang belum tentu melibatkan foramen
incisivus, biasanya terjadi jauh dari wilayah pembentukan palatum primer dan sekunder.
Seringkali didefinisikan sebagai celah atipikal karena mereka melibatkan struktur wajah
lain selain bibir dan / atau langit-langit, seperti sumbing oro-okular, unilateral dan / atau
bilateral macrostomia, sumbing bibir bawah, sumbing mandibula , sumbing palpebra
dan sumbing oblique, dan lain-lain.

I. Penatalaksanaan
Rencana terapi dari celah wajah dibuat setelah diagnosis. Rencana ini mencakup
setiap operasi yang dibutuhkan dalam 18 tahun pertama kehidupan pasien untuk
merekonstruksi wajah sepenuhnya. Perlakuan terhadap cleft lip and palate dapat dibagi di
berbagai wilayah wajah: anomali tengkorak, anomali orbit dan mata, anomaly hidung dan
anomali midface mulut. Bayi yang baru lahir dengan CLP segera dipertemukan dengan
pekerja sosial untuk diberi penerangan agar keluarga penderita tidak mengalami stress
dan menerangkan harapan yang bisa didapatkan dengan perawatan yang menyeluruh bagi
anaknya, Selain itu dijelaskan juga masalah yang akan dihadapi kelak pada anak.
Menerangkan bagaimana memberi minum bayi agar tidak banyak yang tumpah. Pekerja
sosial membuatkan suatu record psicososial pasien dari sini diambil sebagai bagian
record CLP pada umumnya. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan psikososial
anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya. Adapun beberapa perbaikan yang
dapat dilakukan, diantaranya :
1. Operasi perbaikan terhadap bibir disebut Cheiloraphy atau
Labioplasty.
Dilakukan pada usia 3 bulan. Sebe1um dilakukan observasi pada penderita
melihat kondisi bayi harus sehat, tindakan pembedahan mengikuti tata cara ""rule of
ten": bayi berumur lebih 10 minggu, berat 10 pon atau 5 kg, dan memiliki hemoglobin
lebih dari 10 gr% dan lekosit di bawah 10.000.
2. Perbaikan langit-langit disebut Palatoraphy
Dilakukan pada usia 10 - 12 bulan, usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberikan kesempatan jaringan pasca operasi sampai
matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara
dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Jika operasi dilakukan
terlambat sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal, tak
sengau, sulit dicapai
3. Speech therapy
Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar dari orang lain, speech therapy dapat
diperlukan setelah operasi palatoraphy yang akan meminimalkan suara sengau.
Namun apabila masih saja didapatkan suara sengau, maka dapat dilakukan
phayngoplasty. Operasi ini akan membuat “bendungan" pada faring untuk
memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun ke atas.
4. Alveolar Bone Graft
Pada usia 8-9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah
alveolar/maxilla untuk tindakan bone graft dimana ahli orthodonti yang akan mengatur
pertumbuhan gigi caninus kanan-kiri celah agar normal. Bone graft ini diambil dari
bagian spongius crista iliaca.
5. Advancement Osteotomy Le Fort I
Evaluasi pada perkembangan selanjutnya pada penderita CLP sering didapatkan
hipoplasia pertumbuhan maxilla sehingga terjadi dish face muka cekung. Keadaan ini
dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement ostetomi Le Fort I pada usia 17
tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya. Hal ini dilakukan
oleh bedah ortognatik, memotong bagian tulang yang tertinggal pertumbuhannya dan
merubah posisinya maju ke depan.
Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media dan kontrol
pendengaran. Penderita CLP mengalami gangguan pada tuba eustachia dimana akan
tetjadi kelumpuhan otot levator palatine dan tensor vili palatine yang terinsersi dengan
daerah tepi pada langit-langit keras. Dengan bertambahnya usia maka insiden terjadi
kegagalan fungsi tuba eustachia semakin tinggi pula. Evaluasi dilakukan setiap 3-4
bulan hingga ada perbaikan. Indikasi untuk dilakukan miringotomi dan insersi pada
tuba sangat konduktif untuk mengatasi kehilangan pendengaran dan otitis media yang
tidak kunjung sembuh.

J. Komplikasi
Komplikasi dari celah bibir dan langit-langit bila tidak di operasi adalah secara fisik
membuat kesulitan dalam makan dan minum karena daya hisap yang kurang maksimal
dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, gangguan kosmetik, gangguan bicara
berupa suara sengau, retardasi mental, infeksi telinga tengah, gangguan pendengaran dan
gangguan pertumbuhan gigi.
Komplikasi yang dapat timbul pada operasi adalah perdarahan, obstruksi saluran
pernapasan, infeksi, deviasi septim nasi dan terjadinya fistula. Perdarahan yang banyak
jarang terjadi, tapi mungkin memerlukan operasi kembali untuk mengontrol perdarahan.
Penyumbatan pernapasan juga jarang terjadi jika tidak ada perdarahan yang berlebihan
tetapi dapat mengancam jiwa. Saluran harus dipantau secara hati-hati. Monitor saturasi
O2 bisa digunakan di ruang perawatan atau pasien dapat di pantau dalam ruang ICU.
Fistula palatum bisa ada karena celah asimptomatik atau menyebabkan gejala-gejala
seperti masalah pengucapan dan kesulitan kebersihan gigi.

K. Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang
telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau
selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-
celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika
Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi
pada populasi negara itu.
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh
kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan
dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alkohol
syndrome). Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga
sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni
karena alkohol.
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan
sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang
normal dari fetus.
a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial sulit
untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber
makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya
diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin
memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial.Folat merupakan
bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat
sintetis.Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap
kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran
dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin
jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah
dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.Telah
disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam
mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit
sumbing.
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah
orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya, demikian juga
kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid.Deoksipiridin, atau
antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi
vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut
sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban.Namun penelitian pada
manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya
vitamin B-6.
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan
resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah
peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu
menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada
babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid
dan diet tinggi vitamin A jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang
gawat.Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di
Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada
wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa
perikonsepsional.

4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyarankan bahwa ada
hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan,
industri reparasi, pegawai agrikulutur). Teratogenesis karena trichloroethylene dan
tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani
mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa
penelitian. namun tidak semua. Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik
mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti
pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui
meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial.
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia
untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang
dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang
dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di
Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis
statistik yang dilaporkan.Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen
multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan penelitinya
mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian
tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu
tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial adalah
mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.
I. FISTULA PALATAL
A. Definisi
Fistula palatal adalah keadaan dimana terdapatnya hubungan abnormal antara
hidung dan mulut melalui palatum. Kondisi ini merupakan komplikasi tersering dan
paling umum terjadi pada tindakan palatoplasty pada kondisi palatoschizis atau cleft
palate.

B. Insidensi
Fistula palatal adalah komplikasi operasi palatoplasty yang cukup sering terjadi.
Insidensi terjadinya fistula palatal setelah operasi palatoplasty bervariasi dari 0-68%.
Terdapat laporan yang menyebutkan bahwa pada lebih dari setengah anak yang menjalani
operasi palatoplasty ditemukan adanya fistula palatal. Data dari RS Cipto
Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian fistula palatal pasien yang menjalani one
stage-palatoplasty mencapai 20,4%, dengan proporsi laki-laki 53,8% dan wanita 46,2%.
Fistula palatal lebih sering ditemukan setelah perbaikan awal palatum. Resiko
bentuk fistula terlihat sangat berhubungan dengan ukuran dari celah yang asli. Metode
perbaikan yang digunakan oleh ahli bedah dapat mempengaruhi perjalanan fistula.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa palatoplasty dengan 2 flap dihubungkan dengan
tingkat yang rendah (3,4%) pada pembentukan fistula palatal. Daerah yang paling umum
untuk perkembangan residu palatal yaitu pada pertemuan palatum keras dan lunak diikuti
oleh anterior palatum keras dan region foramen insisivus.
Hampir semua fistula yang terlihat dini pada periode pasca operasi, setelah
perbaikan dan merupakan hasil langsung dari luka lokal sebagai akibat gangguan tekanan
atau vascular. Periode waktu lainnya ketika fistula palatal kemungkinan ditemukan
selama tahap I perawatan ortodontik (pre bone graft), khususnya ketika ekspansi maksila
telah dilakukan.

C. Klasifikasi
Gambar 4. Klasifikasi Fistula menurut Pittsburgh
Selain klasifikasi fistula menurut Pittsburgh, pembagian fistula berdasarkan ukurannya
dibagi menjadi tiga kategori: small fistula (1-2mm), medium (2-3mm), large (>5mm).

D. Indikasi Perbaikan Fistula Palatal


Rekomendasi mengenai waktu penutupan fistula secara signifikan bervariasi dan
menjadi topic yang controversial. Beberapa ahli bedah dapat memberikan penanganan
yang relative agresif untuk penutupan fistula lebih awal setelah perbaikan palatum. Pada
bayi, penutupan fistula yang kecil (1 sampai 4 mm), fistula non fungsional secara umum
dapat di tangguhkan sampai pada masa anak-anak. Pada beberapa kasus perbaikan fistula
dapat dihubungkan dengan sejumlah prosedur yang penting untuk kedepannya seperti
bedah faringeal untuk ketidaksesuaian velofaringeal atau rekonstruksi bone graft dari
celah maksila dan alveolus sepanjang tidak menggangu fungsi berbicara atau fungsi
konsumsi makanan.
Pada fistula yang lebih besar (> 5 mm), terdapat kecenderungan fungsi fungsional
yang akan di hadapi seperti terperangkapnya udara pada nasal yang akan memepengaruhi
cara berbicara, refluks makanan dan cairan pada nasal,dan kesulitan yang berhubungan
dengan hygene. Pada situasi klinik dimana tidak terdapat masalah fungsional yang
signifikan, penutupan dini dari fistula yang persisten diindikasikan sebagai proses
pengambilan keputusan, ahli bedah harus menimbang keuntungan perbaikan fistula
terhadap dampak negative pada bedah palatal kedua yang melibatkan lapisan terluar dari
mukoperiosteum dari perkembangan maksila sebelumnya.
Pertimbangan lainnya dalam merencanakan waktu yang tepat dari penutupan fistula
adalah tipe dari teknik perbaikan yang digunakan untuk perbaikan ini. Usaha untuk
menutup fistula dengan flap lokal atau palatoplasty dapat dilakukan selama masa bayi
atau kanak-kanak secara dini. Dengan kata lain pada kasus dimana penggunaan flap
regional (misalnya, lidah) diperlukan, anak-anak harus cukup umur untuk mampu
menerima regimen perioperatif.

E. Teknik Operasi Fistula Palatal


Salah satu prosedur yang paling sering digunakan untuk penutupan fistula residual
adalah penggunaan flap jaringan lunak local yang dibuat sampai mukosa palatal dan
dirotasi diatas daerah yang rusak untuk penutupan. Komponen pendekatan ini adalah
pembuatan turn over flaps disekeliling daerah yang rusak untuk penutupan daerah nasal,
elevasi pada palatal finger flap dan rotasi pada bayi, flap untuk menutupi
kerusakan.daerah yang tampak dengan tulang yang terbuka dibiarkan pada daerah
donor,dan hal ini digunakan untuk cacat palatal yang sangat kecil dan berhubungan
dengan tingkat kegagalan yang relatif tinggi. Flap rotasional yang kecil dalam jaringan
palatum yang mengandung jaringan parut yang luas dari prosedur pembedahan
sebelumnya sulit untuk dimobilisasi tanpa residual tension dan kemungkinan
menurunkan suplai darah yang menghasilkan kapasitas penyembuhan yang kurang ideal
dan kemungkinan besar terjadinya luka.
Pendekatan lain adalah prosedur Bardach atau Font Langenback. Pendekatan ini
memberikan penutupan yang adekuat bahkan untuk cacat yang besar dengan penggunaan
flap jaringan luka yang besar, lapisan pada daerah nasal dan rongga mulut dan penutupan
secara tension free line. Kemudian,jumlah tulang yang dibiarkan terbuka setelah
perbaikan adalah minimal bahkan sampai tidak ada. Hal ini karena kedalaman vertikal
dari ubah palatal dialihkan kedalam perluasan jaringan lunak ke medial sehingga hasilnya
berupa flap jaringan lunak palatal yang secara adekuat menutupi dasar tulang dengan
lapisan pada death space antara palatal shelves dan tepi mukosa oral.
”Bardach palatoplasty “ (dua flap) merupakan operasi yang dipilih pada kasus
dimana cacat fistula adalah ≥ 5mm. Keuntungan primer dari pendekatan ini adalah
kemampuannya untuk mendapatkan flap jaringan lunak yang besar, yang dapat
dimobilisasi dengan mudah dan memberikan kemudahan untuk visualisasi dan penutupan
pada mukosa nasal.sebagai pembanding,salahsatu keuntungan secara teori dengan
prosedur font langenback adalah pembuatan bipedicled flaps yang mempertahankan
suplai darah anterior dan posterior, sementara anterior pedicled yang memberikan
tambahan perfusi, juga dihasilkan flap yang kurang bebas bergerak dengan akses yang
terbatas, begitu juga dengan visualisasi pada jaringan teoi nasal.

Gambar 5. Penggunaan flap rotasional untuk penutupan fistula palatal residual. A. Turn
over flap digunakan untuk mendapatkan penutupan daerah nasal dan mucosa palatal flap
dibentuk. B. Pola acak, full-thickness mucoperiostal flap dielevasi dan dimobilisasi untuk
penutupan daerah cacat.

Gambar 6. Modifikasi teknik palatoplasty dua flap untuk penutupan fistula palatal
residual. A. Dua flap mukoperiostal yang besar dibuat dengan diseksi meluas sampai ke titik
posterior cacat fistula. Mukosa nasal dikembalikan sebagai lapisan terpisah. B. Penutupan pada
daerah rongga mulut. Awalnya midline ditutup dengan menggunakan interrupted sutures,
kemudian insisi lateral diperkirakan.
Pada situasi dimana terdapat cacat yang besar (>1,5cm) keberhasilan penutupan
mengharuskan ahli bedah menambah jaringan lunak dengan menggunakan flap regional.
Cacat fistula sampai palatum keras posterior atau palatum lunak dapat dirawat dengan
menggunakan prosedur palatoplaty modifikasi, seperti yang dijelaskan di atas utamanya
dengan flap pharyngeal. Setelah flap palatal diperluas dan diseksi tepi nasal selesai, flap
pharyngeal dibuka. Flap jaringan lunak pharyngeal kemudian disatukan ke dalam daerah
penutupan tepi nasal dimana fistula tampak. Dengan menggunakan teknik ini, sejumlah
tambahan jaringan lunak diperlukan untuk perbaikan “tension-free” pada cacat palatum.
Ketika fistula terletak pada dua per tiga anterior dari palatum keras, prosedur pilihan
untuk pengambilan tambahan jaringan lunak ke anterior didasarkan pada flap dorsal
lidah.
Pertama, penutupan sisa nasal dari cacat palatum dilakukan dengan turnover flap
dengan multiple interrupted sutures. Kemudian teknik ini memerlukan perluasan ke
anterior berdasar flap lidah yaitu panjangnya sekitar 5 cm dengan 1 – 2/3 lebar lidah. Flap
lidah diperluas sepanjang underlying musculature dan kemudian disisipkan dengan
menggunakan multiple mattress suture untuk penutupan pada daerah rongga mulut.
Recipent bed sampai ke lidah ditutup. Setelah pembedahan awal, flap awal akan sembuh
sekitar dua minggu. Pada saat itu, pasien kembali di operasi. Intubasi dengan nasal-fiber
optic diindikasikan untuk prosedur kedua sebab lidah masih terjahit sampai pada langit-
langit, membatasi visualisasi normal dari jalan nafas. Flap kemudian dipotong dan ujung
daerahdonor dirapikan dan disipkan ke dalam lidah. Penggunaan flap lidah ke arah lateral
dan posterior juga telah diperlihatkan pada literature mengenai celah (Gambar 3).
Gambar 7. Penggunaan flap dorsal lidah anterior untuk mrnutupi fistula besar pada palatum
keras anterior. A. Diagram dari cacat palatal dan elevasi dari flap lidah anterior. Turn over flap
awalx digunakan untuk memperbaiki daerah nasal kemudian flap lidah dilakukan. Lebar flap
sekitar 2/3 lebar lidah dan panjangnya sekitar 4-6 cm. B. Daerah donor ditutup dengan
menggunakan multiple interrupted sutures dan flap lidah disisipkan dan dijahit disekeliling
mukosa yang rusak. C dan D. Gambaran intraoperasi pada pembuatan flap lidah dan
penempatannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdollahi S, Moghaddam YJ, Reza R, et al. (2008). Results of Difficult Large Palatal Fistula
Repair by Tongue Flap. Rawal Med J 2008;33:56-58
Aslam M, Ishaq I, Malik S, et al. (2015). Frequency of Oronasal Fistulae in Complete Cleft
Palate Repair. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2015, Vol. 25
(1): 46-49
Atthahirah AI, Pamungkas KA, Mursali LB (2015). Angka Kejadian Fistula Palatum Pada
Pasien Post-Palatoplasty Di Rs Awal Bros Sudirman Pekanbaru Periode Januari 2011-
Desember 2013. JOM FK Volume 2 No. 2 Oktober 2015
Bykowski et al (2015). The Rate of Oronasal Fistula Following Primary Cleft Palate Surgery: A
Meta-Analysis. Cleft Palate–Craniofacial Journal. 52(4). pp: 81-87
Cholid Zainul.(2013). CELAH PALATUM (PALATOSCIZIS). Stomatognatic (J. K. G Unej)
Vol. 10 No. 2 2013: 99-104
Coronella M, Foti PV, Vasta G, et al (2009). Oroantral fistulas: CT evaluation with Dentascan
software. European Society of Radiology
Diah E, Lo L, Yun C, et al. (2007). Cleft Oronasal Fistula: A Review of Treatment Results and A
Surgical Management Algorithm Proposal. Chang Gung Med J 2007;30:529-37
Eberlinc A, Kozˇel V (2012). Incidence of Residual Oronasal Fistulas: A 20-Year Experience.
The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6) pp. 643–648
El-Leathy MM, Attia MF (2009). Closure of Palatal Fistula with Bucco-labial Myomucosal
Pedicled Flap. Annals of Pediatric Surgery, Vol 5, No 2, April 2009, PP 104-108
Engelbrecht H, Butow KW (2013). Hard palate cleft and oro-nasal fistula reconstruction utilising
a resorbable sheet. SADJ February 2013, Vol 68 no 1 p24 - p28
Kale TP, Urolagin S, Khurana V et al. (2010). Treatment of Oroantral Fistula using Palatal Flap
– A Case Report and Technical Note. J. Int Oral Healt 2010 Vol 2 (Issue 3)
Khanna S, Dagum AB (2012). Waltzing a Facial Artery Musculomucosal Flap to Salvage a
Recurrent Palatal Fistula. The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6) pp. 750–752
November 2012
Klima LJ (2010). Modern Techniques in Oronasal Fistula Repair
Landheer JA, Breugem CC, Mink van der Molen AB (2010). Fistula Incidence and Predictors of
Fistula Occurrence After Cleft Palate Repair: Two-Stage Closure Versus One-Stage
Closure. Cleft Palate–Craniofacial Journal, November 2010, Vol. 47 No. 6
Lithovius et al (2014). Incidence of palatal fistula formation after primary palatoplasty in
northern Finland. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery.
Maine RG, Hoffman WY, Palacios-Martinez JH, et al. (2012). Comparison of Fistula Rates after
Palatoplasty for International and Local Surgeons on Surgical Missions in Ecuador with
Rates at a Craniofacial Center in the United States. Plastic and Reconstructive Surgery
2012 Volume 129, Number 2
Martelli, et al (2015). Association between maternal smoking, gender, and cleft lip and palate.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology
Moghe S, Gupta MK, Pillai A, et al. (2014). Repair of Oronasal fistula with Split-thickness
Palatal graft. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences Volume 13, Issue 5 Ver. IV.
(May. 2014), PP 89-92
Murthy J (2011). Descriptive study of management of palatal fistula in one hundred and ninety-
four cleft individuals. Indian Journal of Plastic Surgery January-April 2011 Vol 44 Issue 1
Passos et al (2014). Prevalence, Cause, and Location of Palatal Fistula in Operated Complete
Unilateral Cleft Lip and Palate: Retrospective Study. Cleft Palate–Craniofacial Journal.
51(2). pp: 158-164.
Pingky Krisna Arindra, Prihartiningsih, dan Bambang Dwi Rahardjo. (2015). Penatalaksanaan
Repair Palatoplasty dengan Teknik Furlow Double Opposing Z Plasty. Maj Ked Gi Ind.
Juni 2015; 1(1): 115 - 121 p-ISSN 2460-0164 e-ISSN 2442-2576
Rohleder NH, Loeffelbein DJ, Feistl W, et al. (2013). Repair of Oronasal Fistulae by
Interposition of Multilayered Amniotic Membrane Allograft. Plastic and Reconstructive
Surgery 2013, Volume 132, Number 1
Seim H (2013). Oronasal Fistula Repair. Western Veterinary Conference 2013
Shah SA, Khan F, Bilal M (2011). Frequency of Fistula Formation After Two Stage Repair of
Cleft Palate. JKCD December 2011, Vol. 2, No. 1
Smith DM, Vecchione L, Jiang S, et al. (2007). The Pittsburgh Fistula Classification System: A
Standardized Scheme for the Description of Palatal Fistulas. Cleft Palate–Craniofacial
Journal, November 2007, Vol. 44 No. 6
Utama D, Buchari F, Sudjatmiko (2013). The Incidence of Palatal Fistula Postpalatoplasty in
Children with Dental Caries: A Multi Centre Study. Jurnal Plastik Rekonstruksi - April -
June 2013, Volume 2 - Number 2
Vityadewi N, Bangun K (2013). Incidence of Palatal Fistula after One-Stage Palatoplasty and
Factors Influencing the Fistula Occurrence. Jurnal Plastik Rekonstruksi - April - June
2013, Volume 2 - Number 4

Anda mungkin juga menyukai