Anda di halaman 1dari 15

KEPANITERAAN KLINIK REFERAT

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA DESEMBER 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

PTERIGIUM

Oleh :
Sabda Yulika Rahmayanthy
K1A1 15 113

Pembimbing :
dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, M.Kes., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu penyakit pada mata bagian ekternal yang
sering dijumpai dengan prevalensi berkisar antara 0,7% sampai dengan 33% di
dunia1. Penyakit ini ditandai dengan pertumbuhan fibrovaskuler pada konjungtiva
yang bersifat invasif dan degeneratif. Pterigium terjadi di celah mata bagian nasal
atau temporal konjungtiva yang akan meluas ke arah kornea membentuk segitiga
dengan puncak yang berada disentral atau berada dikornea (Ida, Syamsul dan
Nataniel, 2018). Pterigium dapat menyebabkan terjadinya astigmatisme yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Selain itu keluhan lain yang dapat
dijumpai seperti iritasi kronik, inflamasi rekuren, penglihatan ganda, gangguan
pada pergerakan bola mata, mengganggu kosmetik serta apabila terus dibiarkan
maka akan menyebabkan terjadinya kebutaan (Dara dan Nora, 2015).
Pterigium lebih sering dijumpai pada daerah tropis dan subtropis.
Prevalensi pterigium di Amerika Serikat yaitu 2% sampai dengan 7%. Prevalensi
pterigium bervariasi baik itu berdasarkan usia, jenis kelamin, ras dan geografi.
Pterigium dijumpai sekitar 23,4% pada orang berkulit hitam dan 10% pada orang
yang berkulit putih. Di China prevalensi pterigium tepatnya didaerah Tibet
berkisar antara 14,49% dan di China terdapat 33,01% orang memiliki pterigium di
sebelah matanya. Di Indonesia prevalensi pterigium sebesar 8,3% dengan
prevalensi tertinggi ditemukan di Bali yaitu 25,2% disusul maluku yaitu 18,0%
dan Nusa Tenggara Barat yaitu 17,0% (Dara dan Nora, 2015).
Pterigium diduga muncul oleh beberapa faktor seperti iritasi kronik yang
disebabkan oleh debu, cahaya sinar matahari serta udara yang panas. Etiologi
pasti dari terjadinya pterigium belum diketahui secara jelas namun diduga oleh
faktor yang diatas serta merupakan suatu proses neoplasma, radang dan
degenerasi. Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan pterigium itu
sendiri dilihat berdasarkan derajat keparahannya yang dimana apabila pterigium
belum menimbulkan gejala seperti gangguan penglihatan maka hanya disarankan
dengan melakukan terapi konservatif atau terapi dengan menghindari faktor-faktor
yang dapat menyebabkan pterigium. Namun apabila pterigium sudah
menyebabkan gangguan pada penglihatan seseorang maka terapi yang dianjurkan
merupakan tindakan pembedahan (Ilyas dan Yulianti, 2017).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskuler dari
epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif yang terdapat dicelah kelopak mata bagian medial
atau nasal yang berbentuk segitiga di mana puncaknya mengarah kebagian
tengah dari kornea. Pterigium lebih sering tumbuh di bagian nasal dari
pada dibagian temporal. Namun pertumbuhan pterigium dapat juga terjadi
pada daerah nasal dan temporal pada satu mata yang disebut dengan
double pterigium. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhannya yang berbeda. Apabila terdapat pada kedua mata
berbagai kombinasi dapat terjadi, yang lebih sering pada daerah nasal dan
nasal dari pada daerah temporal dan temporal. Pterigium dapat menutupi
seluruh kornea atau bola mata (Erry, ully dan Dwi, 2011).

Gambar 1. Pertumbuhan Pterygium (Ardalan, Ravi, David dkk. 2010)


B. Epidemiologi
Pterigium merupakan penyakit yang berpotensi dapat
menyebabkan kebutaan dan mengganggu kosmetik, pterigium dengan
stadium lanjut memerlukan tindakan operasi untuk perbaikan visus.
Adanya faktor-faktor resiko, penyebab dan distribusi penyakit ini berguna
untuk memberikan strategi yang tepat dalam pencegahan terjadinya
pterigium. Angka prevalensi pterigium sangat besar mulai dari 0,7 sampai
dengan 31%, yang dimana berkisar 1,2% ditemukan di daerah urban pada
orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis Barbados pada orang kulit
hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2% (bagian Utara) sampai
7% (bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda di antara jenis ras, luas
dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi
pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra
violet merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai
dengan peta distribusi pterigium dari Cameron, secara geografis
memperlihatkan angka kejadian pterigium, yang meningkat bila mendekati
khatulistiwa (37° LU dan 37° LS). Prevalensi penderita pterigium sebesar
22,5% dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40° LU dan LS. Di
daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi,
risiko timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan daerah non-
tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%
yang dimana pada laki-laki berkisar 16,1% dan pada perempuan berkisar
17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 1993–1996 memaparkan bahwa angka kejadian
pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata. Di
Sulawesi Selatan, pterigium menduduki peringkat kedua dari sepuluh
macam penyakit utama dengan insidens sekitar 8,2% (Djajakusli, Rukiah,
Junaedi dkk. 2010). Prevalensi pterigium pada dua mata ataupun satu mata
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi
terendah menurut usia yaitu sekitar 0,03% mengenai anak usia 5 sampai 9
tahun dan sekitar 15,9% mengneai usia diatas 70 tahun. Prevalensi
pterigium tidak menunjukan perbedaan signifikan berdasarkan jeis
kelamin namun perbedaan yang begitu signifikan dijumpai pada kasus
pterigium yang mengenai kedua mata yang dimana laki-laki sekitar 3,2%
dan perempuan sekitar 1,9% (Erry, ully dan Dwi, 2011). Munculnya
pterigium diduga oleh karena beberapa faktor seperti terjadinya iritasi pada
mata secara berkepanjangan yang disebabkan oleh paparan debu, asap,
cahaya sinar matahari serta udara yang panas (Ilyas dan Yulianti, 2017).
C. Patogenesis
Patomekanisme terjadinya pterigium belum diketahui secara pasti
namun terdapat banyak teori mengenai proses terjadinya pterigium
meliputi (Maria Marcella. 2019) :
1. Teori sinar Ultra Violet (UV)
Teori pajanan sinar Uv mengungkapkan pajanan terutama sinar
UV-B dapat menyebabkan pertumbuhan sel di dekat limbus,
proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase dan
terjadi penigkatan secara signifikan dari produksi mediator inflamasi
berupa ilterleukin yaitu IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa. Selain itu teori
lain mengatakan pajanan sinar UV dapat menyebabkan mutasi
supresor dari gen P53 sehingga terjadi proses proliferasi yang
abnormal pada epitel limbus.
2. Teori growth factor dan sitokin pro-inflamasi
Teori ini mengungkapkan bahwa pada kasus pterigium terjadi
inflamasi kronik yang dapat menstimulasi keluarnya berbagai growth
factor dan sitokin seperti Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet
Derived Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor-B
(TGF-B) dan Tumor Necrosis Factor alfa (TNF-alfa) serta Vascular
Endotheliat Growth Factor (VEGF) yang dapat menyebabkan
terjadinya proliferasi pada sel, remodelling matriks ekstra seluler dan
terjadinya angiogenesis.
3. Teori stem cell
Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan dari faktor lingkungan
seperti sinar ultraviolet, angin dan debu dapat merusak sel basal
limbus dan menstimulasi sum-sum tulang untung mengeluarkan stem
cell yang juga akan memproduksi sitokin dan beberapa growth factor
yang akan mempengaruhi sel limbus sehingga terjadi perubahan sel
fibroblas endotel dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan
pterigium
D. Maniftasi Klinis
Gejala yang biasa ditemukan pada kasus pterigium yaitu mata
memerah, perih, panas, perasaan mengganjal pada mata dan dapat
menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Mata perih sering
berhubungan dengan paparan sinar matahari oleh karena konjungtiva bulbi
selalu berhubungan dengan dunia luar. Perasaan mengganjal terjadi karena
kontak yang cukup lama dengan debu dan sinar matahari secara langsung
dapat menimbulkan penebalan sehingga membuat mata terasa pengganjal.
Penurunan tajam penglihatan terjadi oleh karena jaringan fibrovaskuler
dapat mengganggu visual aksis. Selain itu pada kasus pterigium akan
didapatkan pertumbuhan massa yang akan bertambah ukuran dengan cepat
yang sering dijumpai di daerah interpalpebr dekat nasal atau temporal
limbus. Namun dapat juga mengenai konjungtiva palpebra atau kornea.
Tingkat keparahat pterigium dapat dilihat berdasarkan derjatnya yang
terbagi atas 4 derajat yaitu (Gladys. 2015) :
1. Derajat I : puncak pterigium belum mencapai garis tengah antara
limbus dan pupil
2. Derajat II : puncak pterigium melewati garis tengah limbus namun
belum mencapai pupil
3. Derajat III : puncak pterigium sudah melewati pinggir pupil
4. Derajat IV : puncak pterigium sudah melewati pupil

Gambar II. Stadium Pterigium (Gladys. 2015)


E. Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis dari pterigium maka sebagai seorang
dokter wajib membekali dirinya dengan pengetahuan dan skill yang tepat.
Langkah yang dapat digunakan untuk menegakan diagnosis pterigium
berupa (Prasetya, Pritasari, Indrajati dkk. 2019)
1. Anamnesis
Gejala klinis pterigium pada tahapan awal biasanya ringan bahkan
sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa
keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
a. Mata sering berair dan tampak merah
b. Merasa seperti ada benda asing
c. Timbul astigmatisme akibat kornea mengalami penarikan oleh
pertumbuhan pterigium.
d. Pada pterigium derajat 3 dan 4 dapat menyebabkan penutupan pada
pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga akan
menurun
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan kartu snellen
untuk memastikan tidak adanya penurunan tajam penglihatan yang
disebabkan oleh mata yang mengalami pterigium
b. Pemeriksaan segmen anterior (Putu, Sukartini, I Made dkk. 2017)
1) Lampu atau senter untuk memperjelas objek pemeriksaan
2) Lup untuk memperbesar objek penglihatan dan
3) Slit lamp merupakan alat yang lebih canggih dibandingkan
dengan menggunakan lampu atau senter
4) Jarak antara pemeriksa dengan pasien sekitar 20 sampai 50 cm
dan lebih dekat jika menggunakan lup
5) Pemeriksaan dilakukan pada mata kanan dan mata kiri
6) Pemeriksaan segmen anterior pada mata terdiri dari
a) Palpebra
b) Konjungtiva
c) Sklera
d) Kornea
e) Bilik mata depan
f) Iris
g) Pupil
h) Lensa
Pemeriksaan segmen anterior bola mata berfungsi untuk
menilai segmen anterior bola mata serta dapat menentukan derajat
pertumbuhan pterigium.
F. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterigium.
1. Pinguecula
Pinguecula merupakan perubahan jaringan normal yang terjadi
pada konjungtiva yang dimana terjadi deposit protein dan lemak.
Pinguecula memiliki gejala seperti pertumbuhan jaringan merah muda
atau bercak pada konjungtiva. Lokasi tersering munculnya pinguecula
yaitu disisi mata yang berdekatan dengan hidung. Sesekali orang yang
memiliki pinguekula pada matanya akan merasakan seperti ada benda
asing dimata.
Penyebab pasti terjadinya pinguekula belum diketahui secara pasti
namun diduga ada beberapa faktor risiko seperti paparan sinar
ultraviolet, angin dan paparan debu dengan waktu yang lama. Selain
itu pinguekula juga dapat terjadi oleh karena mata kering.
Penatalaksanaan pada pinguekula hanya diberikan apabila telah terjadi
iritasi atau peradangan. Penatalaksanaan tersering yang dapat
digunakan pada kasus pinguekula yaitu dengan pemberian obat tetes
mata sebanyak 4 sampai 6 kali dalam sehari. Selain itu apabila terjadi
iritasi atau peradangan pada pinguekula maka dapat diberikan obat
tetes steroid namun penggunaannya tidak diperbolehkan dalam jangka
waktu panjang (Katalog Eye Center. 2015)
2. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan pertumbuhan yang membentuk
jaringan parut fibrovaskuler yang timbul pada konjungtiva bulbi
menuju kornea. Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium
diakibatkan oleh karena adanya inflamasi pada permukaan okular
sebelumnya yang diakibatkan oleh trauma fisik, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma post operasi dan ulkus kornea. Untuk
membedakan pterigium dengan pseudopterigium yaitu
pseudopterigium tidak melekat pada limbus kornea sehingga apabila
dilakukan penyondean makan pseudopterigium dapat dengan mudah
terlepas (Ajaiyeoba, Isawumi, Adeoye dkk. 2006)
G. Penatalaksanaan
Terapi awal yang sering diberikan pada pasien dengan pterigium
yaitu dengan menggunakan kacamata yang dapat mencegah terpaparnya
mata dari sinar ultraviolet, debu maupun udara. Selain itu manajemen
medikamentosa hanya diberikan jika terdapat keluhan sehingga obat yang
dapat diberikan meliputi obat tetes ,ata artifisial atau steorid apabila
disertai dengan inflamasi. Namun terapi medikamentosa tidak dapat
menghilangkan atau mengurahi pterigium namun hanya menghilangkan
keluhan yang ada.
Tindakan yang dapat digunakan untuk kasus pterigium dengan
grading 3 dan 4 yaitu tindakan pembedahan. Indikasi dilakukan tindakan
pembedahan apabila didapatkan gangguan visus berupa astigmatisme,
mengganggu pergerakan bola mata, progresivitasnya terus menerus
meningkat, merasa sensasi benda asing yang berada pada mata ataupun
masalah gangguan kosmetik (Sanjay. 2017). Adapun teknik tindakan
pembedahan meliputi (Ardalan, Ravi, David dkk. 2010) :
1. Bare sclera
Merupakan suatu teknik eksisi sederhana yang dimana pterigium
diangkat dengan membiarkan dasar sklera terbuka sehingga proses
reepitelisasi lebih cepat terjadi. Namun kerugian dari teknik ini adalah
tingkat kekambuhan yang dapat mencapai 24-89%.
2. Conjungtival autograft technique
Merupakan prosedur pembedahan yang menggunakan free graft yang
biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superotemporal yang
dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan. Faktor terpenting untuk
keberhasilan operasi pterigium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis
dan memiliki ukuran yang tepat untuk menutupi defek pada konjungtiva
dengan inklusi minimal dari jaringan Tenon. Angka rekurensi dari teknik
ini cukup rendah yaitu antara 2% hingga 40%.

Gambar 3. Conjungtival Autograft (John, Christopher, David dkk.


2017).
3. Amniotic membrane grafting
Merupakan teknik yang digunakan untuk mencegah terjadinya
rekurensi, selain itu dapat digunakan untuk menutupi sklera yang terbuka
setelah eksisi pterigium. Graft ini dianggap dapat memicu kesembuhan
dan mengurangi angka rekurensi oleh karena efek anti inflamasinya
sehingga memicu pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang dapat menekal
sinyal transformasi TGF-beta dan proliferasi fibroblas. Membran amniotik
akan diletakan diatas permukaan sklera dengan bagian basis menghadap
keatas dan stroma menghadap kebawah. Lem fibrin berfungsi untuk
membantu membran amniotik agar dapat menempel ke jaringan episklera.
Tingkat rekurensi dari teknik ini yaitu berkisar antara 2,6% sampai dengan
10,7% untuk pterigium primer dan berkisar 37,5% untuk pterigium
sekunder.

Gambar 4. Amniotic membrane grafting (John, Christopher, David


dkk. 2017).
Terapi tambahan yang dapat digunakan pada kasus pterigium
untuk masalah rekurensi tinggi yang antara lain:
a. Mitomycin-C (MMC).
MMC digunakan karena mampu menghambat fibroblas. Terdapat dua
cara penggunaannya yaitu aplikasi intraoperatif langsung ke
permukaan sklera setelah eksisi pterigium dan aplikasi post-operatif
sebagai terapi tetes mata topikal. Beberapa studi mengatakan bahwa
menganjurkan MMC intra-operatif untuk mengurangi toksisitas.
b. Terapi iradiasi beta
Terapi ini digunakan untuk mencegah rekurensi karena dapat
menghambat mitosis cepat di dalam sel pterigium. Efek samping
iradiasi antara lain nekrosis sklera, endoftalmitis, pembentukan
katarak. Akibat efek samping ini, terapi ini tidak banyak digunakan.
c. Anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)
Berdasarkan teori, VEGF memiliki peran utama dalam angiogenesis
dan stimulasi fibroblas.
H. Komplikasi
Berbagai komplikasi telah dilaporan pasca operasi pengangkatan
pterigium yang dimana komplikasi tersering didapatkan tergantung dari
jenis tindakan operasi yang digunakan selama pengangkatan pterigium.
Penggunaan MMC topikal pasca operasi telah dilaporkan dapat
menyebabkan terjadinya cacat pada epitel kornea. Namun menurut komite
klinik ASCRS Cornea Clinical Commite menyetujui penggunaan MMC
lebih baik digunakan saat tindakan operatif dibandingkan penggunaan
topikal pasca operatif. Komplikasi lain yang didapatkan pada operasi
pterigium berupa perdarahan yang berlebihan, edema pada graft,
hematoma dibawah graft atau didapatnya jaringan parut pada kornea,
komplikasi tersebut tidak menyebabkan gangguan penglihatan dan dapat
diatas dengan cepat. Kecacatan pada epitel kornea dapat sembuh dalam
waktu 24 jam.
Rekurensi dianggap sebagai komplikasi akhir cukup signifikan dari
tindakan pembedahan yang sering terjadi dalam beberapa kasus terakhir
ini. Semakin sering terjadi kekambuhan pada mata pasca tindakan operasi
maka mata akan semakin sulit untuk dirawat karena kekambuhan dari
pterigium sering disertai dengan peradangan konjungtiva dan kornea.
Ulserasi pada skelra merupakan komplikasi jangka panjang dari teknik
pembedahan bare sclera. Selain itu penggunaan terapi dengan
menggunakan radiasi beta yang digunakan untuk pencegahan kekambuhan
pterigium malah akan menyebabkan ptosi pada mata yang bersifat
iatrogenik, symblepharon dan iris atrofi (John, Christopher, David dkk.
2017).
I. Prognosis
Prognosis dari kasus pterigium umumnya baik apabila segera
dilakukan tindakan dan menghindari faktor risiko terjadinya pterigium.
Keluhan seperti gangguan penglihatan, rasa tidak nyaman pada mata, mata
merah serta keadaan kosmetik pasien dengan pterigium akan kembali
membaik. Didukung oleh kepustakan yang mengakatan bahwa
kebanyakan kasusu kekambuhan dapat dicegah dengan teknik operasi
Amniotic membrane grafting seta dengan pemberian obat tetes mata (Toni.
2015).
DAFTAR PUSTAKA
Ajaiyeoba, Isawumi, Adeoye, Oluleye. 2006. Prevalence and Cause of Eye
Disease Amongst Students in South Western Nigeria. Jurnal. Departement
Oftalmologi Rumah Sakit College. Nigeria. Vol 5, No: 4
Ardalan Aminlari, Ravi Singh, David Liang. 2010. Management of Pterygium.
Ophthalmic Pearls
Dara Phonna Ardianty dan Nora Maulina. 2015. Hubungan Faktor Risiko Dengan
Kejadian Pterigium Di Poliklinik Mata Badan Layanan Umum Daerah
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015. Jurnal.
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh. Aceh
Djajakusli Shintya, Rukiah Syawal, Junaedi Sirajuddin dan Noor Syamsu. 2010.
The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in Pterygium
Patients. JurnalOftalmologi Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar. Vol 7. No : (139)
Erry, Ully Adhie Mulyani dan Dwi Susilowati. 2011. Distribusi dan Karakteristik
Pterigium Di Indonesia. Buletin. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan. Vol 14. No : (1)
Gladys Clara Dea Putri. 2015. Pterigium Oculi Dextra Stage III. Jurnal Agromed.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Vol 2: Hal (19-20)
Ida Farida, Syamsul Hidayat dan Nataniel Tandirogang. 2018. Faktor-Faktor
Yang Berpengaruh Terhadap Kekambuhan Pasien Pterigium Post Operasi Di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal. Fakultas kedokteran
Universitas Mulawarman. Samarinda
Ilyas Sidarta dan Yulianti Rahayu. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Depok. Edisi Ke V. Hal :119
John Hovanesam, Christopher Starr, David Vroman, Francis Mah, Jose Gomes,
Dkk. 2017. Surgical Techniques and Adjuvants For The Management of
primary and Recurrent Pterygia. Artikel. Vol 43, Hal : (3)
Katalog Eye Center. 2015. University Of Michigan Health System
Maria Marcella. 2019. Manajemen Pterigium. Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara. Jakarta. Continuing Medical Education Vol 46 No (1-2)
Prasetya harka, Pritasari Sita Mydriati, Indrajati Christina, Bellarinatasari Nika,
Anggraini Irastri Dkk. 2019.Panduan Praktis Klinis Mata. Rumah Sakit Islam
Sultan Agung. Semarang
Putu Budhiastra, Sukartini Djelantik, I Made Agus, Jayanegara, Mas Putrawati,
Dkk. 2017. Buku Panduan Belajar Ilmu Kesehatan Mata. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar
Sanjay Kumar Singh. 2017. Epidemiology Prevention and Treathment. Jurnal
Community Eye Health.Vol 27, Hal : (99). Nepal
Toni Alie Ngena Pinem. 2015. Pterigium Temporalis grade 3 okular Sinistra.
Jurnal. Fakultas Kedokteran Universitas lampung Vol 4, Hal (168)

Anda mungkin juga menyukai