Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021

UNIVERSITAS HALUOLEO

BILOMA

Oleh :

Sabda Yulika Rahmayanthy, S. Ked

K1A1 15 113

Pembimbing :

dr. La Ode Rabiul Awal, Sp.B-KBD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Sabda Yulika Rahmayanthy

NIM : K1A1 15 113

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Biloma

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. La Ode Rabiul Awal, Sp.B-KBD

2
BILOMA

Sabda Yulika Rahmayanthy, dr. La Ode Rabiul Awal Sp. B-KBD

A. PENDAHULUAN

Biloma merupakan kumpulan cairan empedu yang terletak di dalam rongga

abdomen baik dapat berupa intrahepatik maupun ekstrahepatik. Biloma dapat terjadi

secara spontan, akibat adanya lesi traumatis serta tindakan iatrogenik pada sistem

bilier. Kasus pertama ditemukan pada tahun 1898 oleh Gould yang dimana biloma

terjadi akibat trauma benda tumpul. Namun, biloma lebih sering terjadi akibat

tindakan iatrogenik seperti operasi laparoskopi kolesistektomi yang dapat

mengakibatkan kerusakan pada sistem bilier. Ketika penyebab terjadinya biloma tidak

dapat diidentifikasi maka kasus ini disebut sebagai biloma spontan1.

Biloma merupakan kasus langka dengan insiden hanya sekitar 0,3% hingga

2,0%. Etiologi yang paling sering menyebabkan terjadinya biloma yaitu

koledocholitiasis, trauma abdomen dan penyebab iatrogenik seperti kolesistektomi

pasca laparoskopi atau intervensi hepatobilier. Adapun etiologi biloma yang jarang

terjadi adalah Spontan Bilier Leak (SBL), di mana penyebab spesifik tetap tidak dapat

diidentifikasi. Temuan klinis biloma sangat bervariasi, mulai dari temuan insidental

pada pencitraan dalam keadaan asimtomatik sampai dengan keluhan perut terasa

penuh, nyeri, demam, dan ikterus, serta munculnya tanda peritonitis2.

3
B. ANATOMI

Gambar 1. Anatomi Hepar

Hati merupakan organ terbesar dengan berat 1,4 kg yang menyumbang sebagian

berat badan setiap individu. Hati berbentuk seperti baji, menempati sebagian besar

daerah hipokondrium dan epigastrik kanan. Terletak di bawah diafragma, hati hampir

seluruhnya diproteksi atau dilindungi oleh tulang rusuk. Hati memiliki empat lobus

primer yaitu lobus hepatic dextra, lobus hepatic sinistra, lobus kaudatus dan lobus

kuadratus. Lobus hepatic dextra dan lobus hepatic sinistra dipisahkan oleh

ligamentum falciformis dan bagian tepi inferior ligamentum falciformis adalah

ligamentum teres.

4
Gambar 2. Anatomi Sistem Biliaris

Kantung empedu berada dipermukaan inferior lobus hepatic dextra. Empedu

memiliki beberapa saluran yang akhirnya akan bermuara menuju duodenum. Kantung

empedu adalah kantung otot berdinding tipis berwarna hijau dengan panjang sekitar

10 cm (4 inci). Kantung empedu memiliki ukuran seperti buah kiwi. Kantung empedu

menyimpan cairan empedu yang tidak segera dikeluarkan untuk proses pencernaan.

Cairan empedu akan dikeluarkan jika seorang pasien mengkonsumsi makanan

berlemak dengan tujuan untuk mengemulsifikasi lemak. Cairan empedu akan keluar

oleh karena adanya kontraksi dari dinding kantong empedu.

Cairan empedu mengandung garam empedu, pigmen empedu, kolesterol,

trigliserida, fosfolipid (lesitin dan lainnya), dan berbagai elektrolit. Dari jumlah

tersebut, hanya garam empedu dan fosfolipid yang memiliki peran dalam proses

pencernaan. Garam empedu, terutama asam kolat dan chenodeoxycholic merupakan

turunan kolesterol yang berperan dalam mengemulsi lemak.

5
Pigmen empedu utama adalah bilirubin yang merupakan produk dari hasil

pemecahan eritrosit. Hem dan globin akan disimpan dan didaur ulang, tetapi bilirubin

diserap dari darah oleh sel hati, diekskresikan ke empedu, dan dimetabolisme di usus

kecil oleh bakteri. Bilirubin akan dimetabolisme menjadi sterkobilin yang akan

memberi warna kecoklatan pada feses dan akan dimetabolisme menjadi urobilinogen

yang akan memberi warna pada urin3.

C. DEFINISI

Biloma didefinisikan sebagai kumpulan cairan empedu baik itu berkapsul

ataupun tidak berkapsul yang dapat dijumpai pada intrahepatik maupun ekstrahepatik.

Umumnya biloma bersifat iatrogenik atau dihasilkan dari adanya trauma abdominal.

Istilah "biloma" pertama kali digunakan oleh Gould & Patel pada tahun 1979, yang di

definisikan sebagai pecahnya kandung empedu secara spontan yang dikaitkan dengan

koledokolitiasis4.

D. EPIDEMIOLOGI

Tindakan laparoskopi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya

bile leak atau biloma yang merupakan cedera pada saluran empedu dalam beberapa

dekade terakhir. Beberapa penelitian menyebutkan angka kejadian biloma berkisar

antara 0,3% hingga 0,6% pasca operasi kolesistektomi. Biloma didefinisikan sebagai

kumpulan cairan empedu yang berada dirongga intraperitoneum. Jika tidak diobati,

biloma dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Progresifitas dari kebocoran

empedu bisa cepat atau lambat yang dimana pada akhirnya tetap akan menyebabkan

terjadinya peritonitis5.

6
Selain akibat prosedur operati, kasus biloma dapat terjadi oleh karena luka

bakar. Luka bakar dapat menyebabkan ablasi pada sel-sel saluran empedu sehingga

menyebabkan penipisan dari kandung empedu dan menyebabkan terjadinya

ekstravasasi cairan empedu kerongga peritoneum. Insidensi biloma yang terjadi akibat

luka bakar berkisar 0,1% hingga 12%6.

E. ETIOLOGI

1. Pasca kolesistektomi

Selama awal 1990-an, tindakan laparoskopi semakin banyak.

Kolesistektomi berperan dalam terjadinya kasus biloma yaitu sekitar 7%.

2. Penyebab Lain

Karsinoma hepatoseluler menyumbangsi sekitar 4,0% terhadap terjadinya

biloma. Trauma tumpul abdomen juga dapat menyebabkan terjadinya biloma

dalam waktu 1 sampai 2 hari setelah trauma. Meskipun sangat jarang, ruptur

spontan sistem duktus bilier dapat terjadi, pada kasus ini untuk mendiagnosis

penyebab dari biloma sangat sulit, namun kasus yang paling sering menyebabkan

ruptur spontan yaitu koledocholitiasis yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan

intraduktal sehingga dinding duktus bilier melemah dan memudahkan terjadinya

ruptur. Selain itu biloma dapat terjadi oleh akibat adanya keganasan salah satunya

kanker pankreas7.

F. PATOMEKANISME

Pembentukan enkapsulasi dari biloma terjadi akibat salah satu dari dua

mekanisme yang tergantung pada tingkat kebocoran bilier. Enkapsulasi lebih umum

dijumpai pada kebocoran empedu kronis sehingga menghasilkan enkapsulasi dengan

7
menginduksi respon inflamasi ringan dan pembentukan jaringan fibrosis. Kebocoran

empedu akut dapat juga membentuk enkapsulasi namun jarang oleh karena peritonitis

bilier yang muncul secara akut dengan disertai sepsis oleh karena itu tidak ada waktu

yang cukup untuk pembentukan enkapsulasi. Kedua proses ini menyebabkan

mesenterium dan omentum dapat membentuk adhesi inflamasi untuk membantu

pembentukan enkapsulasi.

Biloma merupakan cairan empedu yang berwarna kuning kehijauan tetapi dapat

dijumpai darah dan cairan eksudasi oleh karena adanya infeksi sekunder. Lokasi dan

ukuran biloma bergantung oleh beberapa faktor seperti penyebab kebocoran empedu,

serta kecepatan peritoneum menyerap empedu.

Cairan empedu yang mengalami ekstravasasi sering mengikuti bentuk anatomi

intraabdominal sehingga umumnya biloma berbatas tajam oleh kontur hati,

mesenterium, mesokolon transversal, dan permukaan diafragma. Biloma bisa

berukuran hingga 20 × 30 cm7.

G. DIAGNOSIS

1. Klinis

Gejala klinik yang paling sering dirasakan adalah nyeri kuadran kanan atas

atau nyeri epigastrik yaitu (92%), ikterus (80%), asites (70%), demam (68%) dan

disertai leukositosis. Menurut Rao Devaji mengatakan bahwa umumnya tanda

klinis yang muncul dari biloma yaitu dijumpai adanya fistel pada kulit disekitar

kuadran kanan atas, disertai adanya nyeri perut hebat (peritonitis) dan asites8,9.

8
Gambar 3. Fistula bilier eksternal

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dapat digunakan dalam menegakan

diagnosis pasti kasus biloma namun ada beberapa hasil yang khas dijumpai

seperti terdapat leukositosis yang menandakan pasien tersebut sedang

mengalami infeksi dan sebagai penanda terjadinya peritonitis. Selain itu

pemeriksaan C-reaktif protein (CRP) yang positif menunjukan adanya

kolangitis. Peningkatan kadar bilirubin total dan bilirubin direk terjadi akibat

adanya obstruksi bilier oleh karena kompresi duktus bilier ektrahepatik yang

disebabkan oleh biloma10.

b. Pencitraan

Pencitraan seperti cholescintigraphy, ultrasound graphy (USG),

Computer tomografi (CT), dan Magnetic Resonance

9
Cholangiopancreatography (MRCP), masing-masing memiliki kelebihan dan

kekurangan. Cholescintigraphy sensitif untuk mendeteksi adanya kebocoran

empedu namun kekurangannya rosolusinya masih sangat rendah sehingga

lokasi cedera pada saluran empedu sulit untuk dideteksi. Ultrasound dapat

mendeteksi adanya penumpukan cairan, mendeteksi adanya dilatasi pada

saluran empedu serta mampu mendeteksi adanya cedera arteri, namun

kekurangannya yaitu sulitnya mendapat operator yang berkompoten dalam

menggunakan alat tersebut.

CT scan juga mampu mendeteksi semua yang dapat dideteksi oleh

USG namun kekurangan dari CT-scan sulit untuk menilai adanya cedera

arteri yang dikarenakan resolusinya cukup tinggi serta tidak dapat digunakan

pada pasien-pasien yang memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal.

MRCP merupakan gold standar dalam mendeteksi adanya biloma hal

ini dikarenakan MRCP mampu menggambarkan lokalisasi cedera pada

duktus dan mampu menilai derajat atau tingkat keparahan dari cedera11.

Gambar 4. Strasberg Classification of Bile Duct Injuries

10
Gambar 5. Bismuth Classification of Bile Duct Injuries

Computer Tomografi potongan aksial menunjukan adanya dilatasi

saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik disertai adanya

ekstravasasi cairan empedu di area pararenal anterior dan posterior12.

Gambar 6. CT Scan potongan aksial menunjukan banyak cairan perirenal

H. TATALAKSANA

Pada umumnya bile leaked atau biloma dapat sembuh secara spontan dengan

syarat tidak adanya obtruksi bilier bagian distal. Namun apabila didapatkan fistula

11
external billier persisten maka harus segera ditatalaksana dengan cara yaitu dengan

pemberian antibiotik spektrum luas dan terapi pembedahan13.

Terapi pembedahan yang dapat dilakukan harus sesuai dengan jenis cidera.

Klasifikasi Strasberg bermanfaat untuk memutuskan intervensi yang terbaik untuk

setiap kasus sesuai dengan mekanisme etiologi cidera. Tujuan dari manajemen BDI

(Bile Duct Injury) adalah mengembalikan aliran duktus bilier agar masuk ke traktus

gastrointestinal proksimal, mencegah kolangitis, pembentukan sludge atau batu,

pembentukan striktur lagi, dan kerusakan hepar yang progresif14.

1. Strasberg A

Menjaga kontinyuitas dari duktus biliaris yang tersisa, mudah dilakukan

dengan intervensi endoskopi. Dapat dilakukan ERCP ± sphincterotomy ± stent.

Tujuannya untuk mengurangi tekanan intraduktal distal ke saluran empedu yang

bocor. Jika tidak ada endoskopi, dapat menggunakan T-tube. Jika itupun tidak

ada, dapat di pasang drain sub hepatal untuk mengontrol kebocoran empedu dan

kemudian dirujuk ke center yang lebih lengkap.

2. Strasberg B

Oklusi duktus biliaris segmental adalah merupakan penyebab dari tipe ini.

Jika nyerinya ringan, peningkatan test fungsi liver tanpa gangguan klinis dapat

dilakukan dengan manajemen konservatif. Adanya kolangitis yang sedang atau

berat diperlukan drainase dari segmen yang oklusi. Drainase perkutaneus atau

reseksi bedah dapat dilakukan jika kolangitis tidak membaik dengan pengobatan.

Shunting biliodigestif (anastomosis hepatiko yeyenostomi dengan memasang

NGT 5F sebagai stent bilier) dari duktus bilier segmental dapat dilakukan

walaupun kadang agak sulit.

12
Gambar 7. Hepatiko yeyenostomi Roux en Y

3. Strasberg C

Tidak adanya kontinyuitas dengan system duktus bilier yang tersisa membuat

tidak mungkin dilakukan tindakan secara endoskopi. bile sub hepatic injury

sering terjadi post operasi, kasus ini harus dilakukan drainase untuk mencegah

terjadinya peritonitis atau syok sepsis. Biasanya dapat tertutup secara spontan,

jika tidak menutup dapat dilakukan manajemen seperti cidera tipe Strasberg B

yaitu biliodigestif shunting (dengan prognosis jangka panjang juga jelek),

drainase perkutaneus dan hepatektomi.

4. Strasberg D

Jika cidera kecil tanpa devaskularisasi, dapat di jahit dengan monofilament

5.0 absorbable. Pada kasus yang jarang terjadi, bisa di pasang drainase eksternal

kemudian di lakukan endoskopi, wajib dilakukan spinterotomi kemudian

dipasang stent. Pada keadaan dengan devaskularisasi (iskemia yang signifikan,

kerusakan karena kauter di tempat cidera), walaupun sudah dijahit dengan

13
monofilamen 5.0 absorbable, dapat terjadi bile leak pada minggu pertama post

operasi. Manajemen kasus seperti ini membutuhkan pendekatan multidisiplin,

dengan pendekatan endoskopi dan drainase dipandu radiologi sebagai pilihan

pertama. Operasi anastomosis hepatiko yeyenostomi adalah pilihan terakhir jika

ditemukan adanya jaringan duktus bilier yang hilang dan berpindah menjadi

cidera tipe D atau E.

5. Cidera tipe Strasberg E

Devaskularisasi dan hilangnya jaringan duktus biliaris diwajibkan untuk

dilakukan anastomosis hepatiko yeyenostomi dapat menjamin perfusi duktus

biliaris yang baik dan mencegah terjadinya peningkatan tegangan dari hasil

anastomosis. Sebaliknya jika dilakukan anastomosis koledoko-koledoko atau

anastomosis hepatiko-duedenum dimana duktus bilier yang devaskularisasi

dipakai untuk rekonstruksi sehingga akan meningkatkan tegangan dari hasil

anastomosis.

Gambar 7. Anastomosis koledoko-koledoko

14
Gambar 8. Anastomosis koledoko-duedenum

I. KOMPLIKASI

Bile Leak atau biasa dikenal dengan istilah biloma membutuhkan intervensi

bedah. Apabila intervensi bedah tidak dilakukan dapat menyebabkan terjadinya

obstruksi bilier kronis sehingga dapat menyebabkan terjadinya disfungsi atau

kerusakan pada hati (sirosis bilier), peritonitis bilier dan sepsis15.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Valle Della, Eshja and Bassi. 2015. Spontaneous Biloma: A Case Report. Journal

Ultrasound. Department of Radiology, University of Pavia. Italy

2. Yousaf Muhammad N, Souza Rowena, Chaudarhy Fizah, et.all. 2020. Biloma: A Rare

Manifestation of Spontaneous Bile Leak. Internal Medicine, medstar Union Memorial

Hospital, Baltimore, USA

3. Marieb EN, Hoehn K, Textbook of Human Anatomy and Physiology. Ed 9. United State.

Library Congress Catalogin; 2013.

4. Sharma P, Neupane P, Poudel R. 2018. Biloma: An Unusual Complication in a Patient

with Calculus Cholecystitis. Department of Radiology and Imaging, Manipal Teaching

Hospital, Pokhara, Nepal

5. Cassis P, Sardar Musa Shah-Khan, John Nasr. 2020. EUS-Guided Drainage Of A 20-Cm

Biloma By Use Of A Lumen-Apposing Metal Stent. Department of Medicine, West

Virginia University, Morgantown, West Virginia, USA

6. Liu Jia, Wu Yuxuan, Xu Erjiao, et all. 2019. Risk Factors Of Intrahepatic Biloma And

Secondary Infection After Thermal Ablation For Malignant Hepatic Tumors.

International Journal of Hyperthermia. Department of Ultrasound, Guangdong Key

Laboratory of Liver Disease Research, China

7. Alexander Copelan, Lawrence Bahoura, Frances Tardy, et al. 2015. Etiology, Diagnosis,

and Management of Bilomas: A Current Update. Elseiver.

8. Rao Devaji S. 2005. Gastrointestinal Surgery Step by Step Management. Teaching

Faculty, National Board of Examinations Senior Consultant in General Surgery Surgical

Gastroenterology and Surgical Oncology St. Isabel’s Hospital and Chennai Meenakshi

16
Multispeciality Hospital, Mylapore Harvey Multispeciality Hospital, Alwarpet, Chennai,

India

9. Rao Devaji S. 2009. Gastrointestinal Surgery. Teaching Faculty, National Board of

Examinations Senior Consultant in General Surgery Surgical Gastroenterology and

Surgical Oncology St. Isabel’s Hospital and Chennai Meenakshi Multispeciality

Hospital, Mylapore Harvey Multispeciality Hospital, Alwarpet, Chennai, India

10. Claudio Tana, Patrizio D’Alessandro, Armando Tartaro, et al. 2013. Sonographic

Assessment Of A Suspected Biloma: A Case Report And Review Of The Literature. World

Journal of W J R Radiology. Unit of Internistic Ultrasound, “G. d’Annunzio” University,

Italy

11. Nael Saad, MB, bch, and Michael Darcy, MD. 2008. Iatrogenic Bile Duct Injury During

Laparoscopic Cholecystectomy. Elseiver. Mallinckrodt Institute of Radiology,

Washington University. USA

12. Jorge Cuahutemoc, Blake-Siemsen, Marisol Kortright-Farias. 2018. Spontaneous

Retroperitoneal Biloma: A Case Report. Servicio de Cirugia General y Aparato

Digestivo, Hospital Angeles, Ciudad Juarez, Chihuahua, Mexico.

13. Tariq Al-Munaizel, Abdulhamid Al-Abbadi, Raed Al-Jarrah, et al. 2020. Novel Surgical

Technique For The Management Of Biliary-Enteric Anastomotic Strictures. Int J

Hepatobiliary Pancreat Diseases. Department of Gastroenterology, King Hussein

Medical Center, Amman, Jordan.

14. Muhammad Sayuti. 2019. Variations And Management Of Bile Duct Injury In Post-

Cholecystectomy. Jurnal Averrous. Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas

Malikussaleh

15. Charu Tiwari, Om Prakash Makhija, Deepa Makhija, et al. 2016. Post Laparoscopic

Cholecystectomy Biloma in a Child Managed by Endoscopic Retrograde Cholangio-

17
Pancreatography and Stenting: A Case Report. Department of Paediatric Surgery,

TNMC and BYL Nair Hospital, Mumbai Central, Mumbai, India

18

Anda mungkin juga menyukai